net/publication/351283333
Psikologi Resiliensi
CITATIONS READS
0 1,158
2 authors:
All content following this page was uploaded by Fuad Nashori on 03 May 2021.
Penulis:
Penerbit:
2021
Psikologi Resiliensi
©2020 Penulis
Hak cipta dilindungi Undang-Undang.
Dilarang memperbanyak atau memindahkan seluruh atau sebagian
isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronik ataupun
mekanik termasuk memfotokopi, tanpa izin dari Penulis.
Ukuran : 16 cm x 23 cm
Jumlah Halaman: x + 134
Cetakan I
April 2021 M / Ramadhan 1442 H
ISBN : 978-602-450-590-5
E-ISBN : 978-602-450-591-2 (PDF)
Penerbit:
Buku ini lahir dari ruang perkuliahan mata kuliah Psikologi Positif
pada Program Studi Psikologi Profesi (S2) Fakultas Psikologi dan
Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia. Salah satu topik
yang selalu menarik dibahas adalah resiliensi. Resiliensi sendiri
merupakan salah satu topik dalam gerakan psikologi positif yang
mulai dihidupkan oleh para ahli psikologi sejak akhir dekade
1990-an. Resliensi ini menjadi bukti sejarah kekuatan manusia
menghadapi ketidakpastian dan pasang surut kehidupan. Selain itu,
topik ini selalu hadir menjadi topik yang menarik ketika mahasiswa
Magister Psikologi Profesi (S2) memilih topik tesis. Hingga kini, topik
resiliensi adalah salah satu topik psikologi yang paling diminati oleh
mahasiswa Magister Psikologi Profesi.
Tidak hanya terkait dengan matakuliah dan tesis, topik ini juga
menarik perhatian kami berdua. Kebetulan penulis pertama buku
ini, saya -Fuad Nashori-, pernah melakukan penelitian bersama
peneliti kedua, yaitu Iswan Saputro. Tulisan tersebut masuk
dalam Jurnal Psikologi Islam (2017) dengan judul Resiliensi
Mahasiswa Ditinjau dari Pemaafan dan Sifat Kepribadian
Agreeableness.
Tiada gading yang tak retak. Pastinya banyak bagian buku ini yang
punya kekurangan. Berbagai masukan dan kritik yang membangun
dari para pembaca akan sangat bermanfaat.
vi
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..........................................................................v
Daftar Isi....................................................................................vii
Daftar Gambar..........................................................................ix
1 Pengantar Psikologi Resiliensi..........................................1
1.1 Pentingnya Resiliensi dalam Hidup Manusia.............. 1
1.2 Kajian Itu Bernama Psikologi Resiliensi........................ 2
1.3 Pentingnya Resiliensi Saat Pandemi.............................. 5
1.4 Daftar Pustaka...................................................................... 8
2 Definisi, Komponen, dan Proses Resiliensi......................11
2.1 Definisi Resiliensi................................................................ 11
2.2 Tiga Aliran dalam Memahami Resiliensi...................... 12
2.3 Komponen-komponen Resiliensi ................................... 13
2.4 Proses Terbentuknya Resiliensi....................................... 16
2.5 Daftar Pustaka ..................................................................... 22
3 Pengukuran Resiliensi.......................................................27
3.1 Resilience Scale (RS)............................................................. 27
3.2 Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC)................. 29
3.3 Brief Resilience Scale (BRS)................................................ 31
3.4 Child and Youth Resilience Measure (CYRM-28)........... 32
3.5 Resilience Scale for Adults (RSA)...................................... 33
3.6 Daftar Pustaka...................................................................... 34
4 Resiliensi dalam Konteks Khusus.....................................37
4.1 Resiliensi Keluarga.............................................................. 37
4.2 Resiliensi Komunitas & Negara........................................ 42
4.3 Resiliensi Akademik............................................................ 47
4.4 Resiliensi Daring.................................................................. 51
4.5 Daftar Pustaka...................................................................... 58
vii
5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi................61
5.1 Usia dan Gender................................................................... 61
5.2 Status Sosial Ekonomi........................................................ 62
5.3 Karakteristik Kepribadian................................................ 65
5.4 Religiusitas............................................................................ 68
5.5 Koping Stres.......................................................................... 69
5.6 Efikasi diri (self-efficacy).................................................... 70
5.7 Kecerdasan emosi................................................................ 71
5.8 Optimisme............................................................................. 73
5.9 Kebersyukuran..................................................................... 74
5.10 Gaya pola asuh..................................................................... 74
5.11 Dukungan Sosial.................................................................. 77
5.12 Daftar Pustaka...................................................................... 78
6 Resiliensi dalam Perspektif Islam....................................85
6.1 Pengantar Perspektif Islam............................................... 85
6.2 Definisi dan Ciri-ciri Kelapangdadaan........................... 88
6.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kelapangdadaan.................................................................. 90
6.4 Ramadhan Sebagai Sarana Latihan Melapangkan
Dada ....................................................................................... 92
6.5 Kelapangdadaan Mahasiswa-Santri
dan Mahasiswa-reguler. ................................................... 97
6.6 Daftar Pustaka...................................................................... 98
7 Kisah-kisah Resiliensi Klasik dan Masa Kini...................101
7.1 Nabi Yusuf dan Iri Dengki Saudara-saudaranya........ 101
7.2 Keluarga Suroso dan Kesabarannya atas
Kematian Aaak-anaknya .................................................. 106
7.3 Nick Vujicic dan tetra-amelia syndrome.................... 110
7.4 Mawar, Pasien Positif Covid-19........................................ 113
Glosari........................................................................................117
Indeks.........................................................................................125
BIODATA PENULIS.....................................................................129
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
1
Di awal perkembangan psikologi pada abad ke-19 dan awal abad ke-20,
terdapat ketertarikan dalam memahami adaptasi individu terhadap
lingkungan, baik dari teori seleksi alam hingga teori psikoanalisis. Pada
abad ke-20 banyak studi yang membahas konstruk psikologi, seperti
motivasi, kompetensi, dan self-efficacy yang berfokus pada aspek positif
dalam perkembangan manusia. Akan tetapi, pada abad ke-20 juga secara
kontras banyak kajian terkait anak dan remaja dengan masalah atau
lingkungan yang berbahaya di mana fokus kajian berada pada analisis
risiko dan intervensi terhadap simptom (Snyder & Lopez, 2002).
Kajian ini kita beri nama psikologi resiliensi. Psikologi adalah kajian ilmiah
tentang jiwa dan perilaku manusia (Nashori, 2008) yang dimaksudkan
untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Kualitas hidup adalah
kondisi psikofisik yang menunjukkan berkembang optimalnya potensi-po-
tensi manusia, baik yang bersifat fisik, psikis, sosial, dan spiritual. Psikologi
resiliensi adalah kajian ilmiah tentang jiwa dan perilaku melenting
yang mengantarkan individu untuk terus bertumbuh kembang kualitas
hidupnya.
2 Psikologi Resiliensi
iensi. Ini sebagaimna digambarkan oleh Campbell-Sills dan Stein (2007
yang mengkonstruk resiliensi dengan aspek hardiness (tahan banting) dan
persistent (kegigihan).
Etis berarti bahwa kajian psikologi ini dilakukan sesuai dengan rule of
conduct yang disepakati oleh ilmuwan dengan mendasarkan diri pada nilai-
nilai agama dan nilai-nilai kultural yang berkembang dalam masyarakat.
Nilai agama dan nilai budaya menggariskan tentang beberapa aturan
penting dalam bantuan psikologis, seperti respek terhadap orang lain,
menjaga kerahasiaan informasi yang sejak awal dikomitmenkan bersifat
4 Psikologi Resiliensi
kekuatan kolektif dalam menghadapi krisis yang skalanya lebih besar. Krisis
skala besar yang dapat terjadi seperti bencana alam, konflik atau perang,
permasalahan ekonomi, dan penyebaran wabah penyakit atau pandemi.
Berdasarkan data yang dirilis oleh WHO per 5 Februari 2021, diketahui
jumlah kasus positif Covid-19 di seluruh dunia mencapai lebih dari 104
juta kasus dan lebih dari 2,2 juta kematian. Kemudian, data yang dirilis
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Indonesia tercatat 1,1 juta
lebih kasus positif dengan kematian lebih dari 31 ribu orang. Pemerintah
Indonesia dalam penanganan dan mencegah penyebaran Covid-19 juga
melakukan sejumlah upaya, seperti pengawasan ketat dalam transportasi
dan Pembatasan Sosial Berskala Besar di sejumlah wilayah di Indonesia.
Kompleksnya dampak yang muncul dari suatu wabah juga akan mempen-
garuhi keamanan pada suatu wilayah atau negara. Menurunnya rasa
aman dapat disebabkan oleh adanya kecemasan dari penyebaran virus itu
sendiri, adanya diskriminasi kepada tenaga kesehatan atau orang-orang
dalam pengawasan selama wabah, dan meningkatnya angka kriminalitas
akibat dari tuntutan ekonomi. Sejumlah penelitian juga dilakukan untuk
melihat dampak psikologis dari pandemi Covid-19, yaitu menurunnya
6 Psikologi Resiliensi
kepuasan hidup, meningkatnya kecemasan, stres, gejala depresi, marah,
takut, penolakan, kecemasan publik yang mendorong diskriminasi dan
stigmatisasi (Wang, et al., 2020; Torales, O’Higgins, Castaldelli-Maia &
Ventriglio, 2020; Li, Wang, Xue, Zhao & Zhu, 2020)
Bastaminia, A., Rezaei, M. R., Rezai, M. R. & Tazesh, Y. (2016). Resilience and
quality of life among students of Yasouj State University. International
Journal of Research in Humanities and Social Studies.3 (8), 6-11.
Li, S., Wang, Y., Xue, J., Zhao, N. & Zhu, T. (2020). The impact of COVID-19
epidemic declaration on psychological consequences: A study on
8 Psikologi Resiliensi
active Weibo users. International Journal of Environmental Research
and Public Health. 17, 1-9. doi:10.3390/ijerph17062032
Lima, G. S., Souza, I. M. O., Storti, L. B., Silva, M. M. J., Kusumota, L. & Marques,
S. (2019). Resilience, quality of life and symptoms of depression among
elderlies receiving outpatient care. Revista Latino-Americana de Enfer-
magem, 27.
Qiu, W., Rutherford, S., Mao, A. & Chu, C. (2017). The pandemic and its
impacts. Health, Culture and Society. 9, 1-11.
Synder, C.R. & Lopez, S.J. (2002). Handbook of positive psychology. New
York. Oxford University Press.
Torales, J., O’Higgins, M., Maia, J. M. C. & Ventriglio, A. (2020). The outbreak
of COVID-19 coronavirus and its impact on global mental health. Inter-
national Journal of Social Psychiatry. 1-4.
Wang, C., Pan,R., Wan, X., Tan, Y., Xu, L., Ho, C. S. & Ho, R. C. (2020). Immediate
psychological responses and associated factors during the initial stage
of the 2019 Coronavirus Disease (COVID-19) epidemic among the
general population in China. International Journal of Environmental
Research and Public Health. 17, 1-25. doi: 10.3390/ijerph17051729
Secara etimologis resiliensi diadaptasi dari kata resilience yang berarti daya
lenting atau kemampuan untuk kembali dalam bentuk semula (Aprilia,
2013). Menurut American Psychological Association (APA), resiliensi adalah
proses adaptasi dalam menghadapi kesulitan, trauma, tragedi, ancaman
atau bahkan sumber-sumber signifikan yang dapat menyebabkan individu
stres (Southwick dkk., 2014). Hal senada juga disampaikan oleh Connor
dan Davidson (2003) yang menyatakan bahwa resiliensi adalah kualitas
kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan. Oleh Wagnild dan
Young (Losoi dkk, 2013), resiliensi didefinisikan sebagai suatu kemampuan
individu untuk pulih kembali dari kondisi yang tidak nyaman dan sebagai
karakteristik kepribadian positif yang meningkatkan kemampuan individu
dalam beradaptasi dan menghadapi emosi negatif dari stres.
Kedua: The resiliency process, yaitu proses koping dengan stresor, kondisi
yang tidak menyenangkan, perubahan, atau kesempatan dalam berpe-
rilaku yang menghasilkan identifikasi, pertahanan, dan mendukung faktor
protektif. Luaran dari kajian ini memberikan deskripsi tentang hal yang
mengganggu dan proses reintegratif untuk mendapatkan kualitas resilien.
Model yang diperoleh dapat dilakukan untuk membantu klien dalam
memilih antara reintegrasi resilien, reintegrasi kembali ke dalam zona
nyaman, atau reintegrasi dengan kehilangan.
12 Psikologi Resiliensi
2.3 Komponen-komponen Resiliensi
Kedua, percaya kepada orang lain, memiliki toleransi terhadap emosi negatif
dan tegar dalam menghadapi stres. Ketika menerima berbagai kondisi
negatif yang menimpanya, para resilien berupaya tegar dan memelihara
sikap toleran terhadap kondisi yang dialaminya. Apa yang dialaminya
sebagai kenyataan yang diterimanya. Selain menerima kondisi yang ada,
mereka tetap berupaya mendapatkan dukungan dari orang lain yang
berdaya untuk membantu perbaikan keadaannya. Dukungan dari orang
lain menjadi penting bagi mereka untuk mempercepat bangkit dari keter-
purukan. Dukungan yang dapat diberikan, seperti dukungan emosional,
penghargaan, maupun informasi. Kehadiran orang lain menjadi sumber
kekuatan tambahan dalam berproses menghadapi kesulitan.
Apa yang disampaikan oleh Connor dan Davidson (2003) tertuang dalam
Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC). Berdasarkan konstruk teori
yang dirumuskan Connor dan Davidson di atas, sejumlah ahli melakukan
rekonstruksi atas konstruk mereka. Ahli yang melakukan rekon-
struksi adalah Yu dan Zhang (2007) serta Dong dkk (2013). Yu dan Zhang
melakukan analisis faktor dan evaluasi psikometri terhadap skala resil-
iensi Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC) dalam versi Cina. Melalui
exploratory factor analysis, diperoleh tiga aspek yang membangun resil-
iensi. Adapun tiga aspek resiliensi menurut Yu dan Zhang adalah sebagai
berikut. Pertama: Tenacity, yaitu menggambarkan ketenangan mental,
keadaan siap, kegigihan dan kontrol diri ketika menghadapi situasi yang
sulit ataupun menghadapi tantangan. Mereka yang resilien memiliki
keyakinan mampu mengendalikan diri dalam mengatasi kesulitan dan
bangkit dari keterpurukan. Keyakinan ini membawa ketenangan dalam
menyikapi segala kemungkinan terburuk yang dapat terjadi pada diri
mereka.
Kedua: Strength, yaitu berfokus pada kemampuan individu untuk pulih dan
menjadi lebih kuat setelah mengalami kemunduran dan pengalaman masa
lalu. Kesulitan dinilai sebagai suatu peluang untuk berkembang. Peluang
ini mendorong mereka fokus pada pembelajaran yang bisa didapat.
14 Psikologi Resiliensi
Ketiga: Optimism, yaitu mencerminkan kecenderungan individu untuk
melihat sisi positif dari suatu hal dan mempercayai diri sendiri serta
percaya pada orang lain. Optimisme mampu menguatkan keyakinan
individu atas dirinya agar bisa bangkit kembali dari keterpurukan atau
kesulitan.
16 Psikologi Resiliensi
aset/sumber daya (karakteristik individu, sosial, atau materi yang dimiliki
untuk dimanfaatkan dalam proses adaptasi), dan faktor protektif (karakter-
istik yang terukur dalam sebuah kelompok atau individu atau situasi yang
memberikan pengaruh positif/penguat di masa depan ketika dihadapkan
dengan suatu kesulitan atau risiko).
Variable-focused models
Person-focused models
18 Psikologi Resiliensi
Pada Kuadran II, individu yang kompeten namun tidak tertantang ditandai
dengan memiliki tingkat komptensi/adaptasi yang baik namun berada pada
situasi yang memiliki tingkat risiko/kesulitan yang rendah. Pada kuadran
ini individu dikatakan kompeten atas kemampuan yang ada dalam dirinya.
Akan tetapi, kondisi saat ini belum banyak mendapatkan tantangan atau
kesulitan dalam hidupnya sehingga proses pengembangan diri dari sebuah
masalah dirasa belum optimal.
20 Psikologi Resiliensi
nilai-nilai budaya dan sosial diinternalisasi ketika menyikapi suatu tekanan.
Oleh karena itu, studi tentang resiliensi dalam perspektif ekologi perlu
memahami bagaimana nilai-nilai budaya yang ada untuk menjelaskan
proses individu mampu resilien ketika dihadapkan dengan tekanan.
Amat, S., Subhan, M., Jaafar W. M. W., Mahmud, Z. & Johari, K. S. K. (2014).
Evaluation and psychometric status of the Brief Resilience Scale in a
sample of Malaysian International students. Asian Social Science. 10
(18), 240-246.
Aprillia, W. (2013). Resiliensi dan Dukungan Sosial Pada Orang Tua Tunggal
(Studi Kasus Pada Ibu Tunggal di Samarinda). eJournal Psikologi. 1 (3),
268-279.
22 Psikologi Resiliensi
Dong, F., Nelson, C., Shah-Haque, S., Khan, A., & Ablah, E. (2013). A Modified
CD-RISC : Including Previously Unaccounted for Resilience Variables.
Kansas Journal of Medicine. 6 (1), 11-20.
Herrman, H., Stewart, D. E., Diaz-Granados, N., Berger, E. L., Jackson, B. &
Yuen, T. (2011). What Is Resilience ?. The Canadian Journal of Psychiatry.
56 (5), 258-265.
Lai, J. C. L. & Yue, X. (2014). Using the Brief Resilience Scale to assess Chinese
People’s Ability to bounce back from stress. Sage Open. 1-9.
Losoi, H., Turunen, S., Waljas, M., Ohman, J., Julkunen, J. & Rosti-Otajarvi, E.
(2013). Psychometric properties of the finnish version of the resilience
scale and its short version. Psychology, Community & Health. 2(1), 1-10.
Murtaza, G., Sultan, S., Ahmed, F. & Mustafa, G. (2016). Exploring construct
validity of resilience scale in Pakistani Youth. Journal of Applied
Environment and Biological Sciences. 6 (25), 79-83.
Phipps, S., Long, A., Willard, V. W., Okado, Y., Hudson, M., Huang, Q., Zhang,
H. & Noll, R. (2015). Parents of children with cancer: At-risk or resilient
Reivich, K. & Shatte, A. (2002). The Resilience Factor: 7 Essential Skills for
Overcoming Life’s Inevtible Obstacles. New York: Broadway Books.
Smith, B. W., Dalen, J., Wiggins, K., Tooley, E., Christoper, P. & Bernard, J.
(2008). The Brief Resilience Scale: Assessing the ability to bounce back.
International Journal of Behavioral Medicine. 15, 194-200.
24 Psikologi Resiliensi
cultural ambiguity of a nascent construct. American Journal of Ortho-
psychiatry, 81 (1), 1-17.
Pengukuran Resiliensi
Resilience Scale (RS) pertama kali dikembangkan oleh Wagnild dan Young
pada tahun 1993. Tujuan RS dibuat adalah untuk mengidentifikasi tingkat
resiliensi individu dengan mempertimbangkan karakter kepribadian
positif yang akan meningkatkan kemampuannya dalam beradaptasi. Studi
longitudinal secara kualitatif dilakukan oleh Wagnild dan Young kepada
24 perempuan berusia lanjut yang telah berhasil melewati masa-masa
sulit dalam hidup. Para partisipan menunjukkan adaptasi psikosoial yang
positif ditandai dengan baiknya level moral dan keterlibatan terhadap
lingkungan. Setiap partisipan diwawancara tentang bagaimana mereka bisa
bertahan dan bangkit kembali dari kesulitan yang dihadapi. Berdasarkan
hasil wawancara menunjukkan bahwa terdapat lima komponen yang
membentuk resiliensi, yaitu equanimity (ketenangan), perseverance
(ketekunan), self-reliance (kemandirian), meaningfulness (kebermaknaan),
dan existential aloneness (keunikan pribadi). Equanimity adalah sebuah
keseimbangan perspektif seseorang dan pengalaman yang dimilikinya.
Pengukuran Resiliensi 27
Kemampuan ini dimiliki dengan mempertimbangkan pengalaman yang
dimiliki dan bersikap tenang terhadap kesulitan yang datang. Referensi
keberhasilan dalam penyelesaian masalah dapat memotivasi seseorang
untuk bangkit kembali dari keterpurukan atau kesulitan. Kondisi ini dapat
membantu seseorang menjadi lebih resilien kedepannya.
Dalam pengembangan RS, Wagnild dan Young meneliti resiliensi pada 810
orang berusia lanjut yang tinggal sendiri. Selain itu, RS juga diukur dengan
sejumlah variabel psikologi lainnya, yaitu kepuasan hidup, moral, depresi,
dan kesehatan. Hasil dari analisis psikometri menunjukkan RS memiliki
25 item dengan nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,91 dan nilai korelasi item
total bergerak dari 0,37 sampai dengan 0,75. Kemudian, hasil dari evaluasi
28 Psikologi Resiliensi
psikometri menunjukkan bahwa resiliensi dibentuk oleh dua faktor,
yaitu personal competence dan acceptance of self and life. Faktor personal
competence meliputi self-reliance, independence, determination, invinci-
bility, mastery, resourcefulness, dan perseverance. Faktor acceptance of self
and life meliputi adaptability, balance, flexibility, dan perspektif terhadap
hidup yang seimbang. Uji concurrent validity menunjukkan bahwa RS juga
memiliki korelasi positif dengan kepuasan hidup, moral, dan kesehatan
serta berkorelasi negatif dengan depresi.
Connor dan Davidson pada tahun 2003 tertarik meneliti tentang konsep
resiliensi yang berkaitan dengan penanganan dalam kondisi klinis, seperti
cemas, dan depresi. Ketertarikan ini dimulai dengan sejumlah temuan
sebelumnya, yaitu bahwa obat fluoksetin (anti depresan) memproduksi
manfaat terapeutik terhadap koping stres dibandingkan sebagai efek
placebo terhadap PTSD. Kemudian, observasi terhadap catatan ekspedisi
antartika oleh Sir Edward Shackleton pada tahun 1912 menunjukkan
bahwa pemimpin memiliki karakteristik yang resilien dilihat dari kemam-
puannya bertahan hidup dan mencapai tujuannya.
Pengukuran Resiliensi 29
Pengembangan CD-RISC juga dilakukan dengan mempelajari sejumlah
sumber yang menggambarkan karakteristik individu yang resilien.
Adapun sejumlah konsep yang digunakan dalam mengembangkan alat
ukur, yaitu pandangan bahwa perubahan atau stres sebagai sebuah
tantangan/peluang, komitmen, menyadari batasan diri dalam mengen-
dalikan sesuatu, mendapatkan dukungan dari orang lain, memiliki
kedekatan dengan orang lain, memiliki tujuan hidup, self-efficacy, eustress,
pengalaman keberhasilan, realistis dalam menentukan pilihan, humor,
kesabaran, orientasi terhadap tindakan, toleransi terhadap emosi negatif,
beradaptasi terhadap perubahan, optimisme, dan keyakinan.
30 Psikologi Resiliensi
aspek yang membentuk resilisiensi pengusaha, yaitu hardiness, optimism,
dan resourcefulness. Alarcon, Cerezo, Hevilla, dan Blanca (2020) melakukan
evaluasi psikometri CD-RISC kepada 169 perempuan yang telah menjalani
operasi kanker payudara. Hasil dari evaluasi psikometri menunjukkan
bahwa CD-RISC memiliki nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,83.
Pengukuran Resiliensi 31
ini menunjukkan nilai Cronbach’s Alpha BRS versi Belanda sebesar 0,78.
Uji psikometri BRS juga dilakukan kepada 511 mahasiswa di China oleh
Fung (2020). Hasilnya menunjukkan BRS memiliki nilai Cronbach’s Alpha
sebesar 0,71.
32 Psikologi Resiliensi
kontekstual meliputi budaya, pendidikan, dan spiritual. Uji analisis konfir-
matori menemukan bahwa model ketiga faktor tersebut sesuai (fit) dengan
data yang ada.
Pengukuran Resiliensi 33
dengan rentang Cronbach’s Alpha sub skalanya dari 0,50 sampai dengan
0,82. Morote, Hjemdal, Uribe, dan Corveleyn (2017) melakukan evaluasi
psikometri RSA kepada 805 orang Amerika Latin. Hasil dari evaluasi psiko-
metri menunjukkan RSA memiliki nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,90 dan
disetiap sub skalanya bergerak dari 0,70 sampai dengan 0,80.
Abiola, T., & Udofia, O. (2011). Psychometric assessment of the Wagnild and
Young’s resilience scale in Kano, Nigeria. BMC research notes, 4, 509.
https://doi.org/10.1186/1756-0500-4-509
Fung, S. (2020). Validity of the Brief Resilience Scale and Brief Resilient
Coping Scale in a Chinese Sample. International Journal of Enviromental
Researh and Public Health. 17 (1265). doi:10.3390/ijerph17041265
Govender, K., Cowden, R. G., Asante, K. O., George, G. & Reardon, C. (2017).
Validation of the Child and Youth Resilience Measure among South
African adolescents. PloS ONE, 12 (10), 1-13.
34 Psikologi Resiliensi
Hjemdal O, Friborg O, Martinussen M. & Rosenvinge J. H. (2001) Prelim-
inary results from the development and validation of a Norwegian
scale for measuring adult resilience. Journal of Norwegian Psychology
Association, 38 (4), 310–17.
Hjemdal, O., Friborg, O., Braun, S., Kempenaers, C., Linkowski, P. & Fossion,
P. (2011): The Resilience Scale for Adults: Construct Validity and
Measurement in a Belgian Sample. International Journal of Testing, 11
(1), 53-70. http://dx.doi.org/10.1080/15305058.2010.508570
Liebenberg, L., Ungar, M. & Vijver, F. F. (2012). Validation of the Child and
Youth Resilience Measure-28 (CYRM-28). Among Canadian youths.
Research on Social Work Practice, 22 (2), 219-226.
Losoi, H., Turunen, S., Waljas, M., Helmien, M., Ohman, J., Julkunen, J. &
Rosti-Otajarvi, E. (2013). Psychometric Properties of the Finnish
Version of the Resilience Scale and its Short Version. Psychology,
Community & Health, 2 (1), 1-10.
Morote, R., Hjemdal, O., Martinez Uribe, P., & Corveleyn, J. (2017). Psycho-
metric properties of the Resilience Scale for Adults (RSA) and its
relationship with life-stress, anxiety and depression in a Hispanic
Latin-American community sample. PloS one, 12 (11), 1-20. https://doi.
org/10.1371/journal.pone.0187954
Soer, R., Dijkstra, M.W.M.C.S, Bieleman, H., Steawart, R.E., Reneman, M.F.,
Oosterveld, F.G.J., & Schreurs, K.M.G (2019) . Measurement Properties
Pengukuran Resiliensi 35
and Implications of the Brief Resilience Scale in Healthy Workers.
Journal of Occupational Health, 61 (3), 242-250.
Smith, B. W., Dalen, J., Wiggins, K., Tooley, E., Christopher, P. & Bernard,
J. (2008). The Brief Resilience Scale: Assessing the ability to bounce
back. International Journal of Behavioral Medicine, 15, 194-200. doi:
10.1080/10705500802222972
Yu, X., & Zhang, J. (2007). Factor analysis and psychometric evaluation
of the Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC) with Chinese
people. Social Behavior and Personality: An international journal, 35
(1), 19-30. https://doi.org/10.2224/sbp.2007.35.1.19
4
Keluarga adalah sistem pertama dan utama pada setiap individu dalam
hidup. Keluarga menjadi sumber kekuatan bagi individu dalam meng-
hadapi dan bangkit dari permasalahan. Hal ini didasari dari sebuah
permasalahan serius dan kesulitan jangka panjang dapat mempengaruhi
seluruh anggota keluarga. Kondisi ini kemudian juga akan mempengaruhi
sistem keluarga dan mempengaruhi anggota keluarga lainnya. Resiliensi
tidak hanya dilihat sebagai proses individual, namun juga dilihat pada
konteks ekologi dan perkembangan sehingga menciptakan konsep resi-
liensi keluarga di mana adanya proses interaksi antara individu dengan
38 Psikologi Resiliensi
Ketiga: dimensi proses komunikasi dan pemecahan masalah. Dimensi
communication and problem-solving processes ditandai dengan adanya
kejelasan (clarity), berbagi emosi secara terbuka (open emotional sharing),
dan berkolaborasi dalam penyelesaian masalah (collaborative problem-
solving). Kejalasan dalam komunikasi terlihat dari jelas dan konsistennya
informasi yang disampaikan serta adanya upaya mencari kejelasan
di tengah situasi yang ambigu. Keluarga yang mampu berbagi emosi
secara terbuka ditandai dengan adanya interkasi positif (kasih sayang,
menghargai, bersyukur, humor, dan menyenangkan) dan terbuka tentang
emosi negatif (kesedihan, penderitaan, marah, takut, dan kecewa). Berko-
laborasi dalam penyelesaian masalah dilakukan dengan bertukar pikiran
secara kreatif dengan negosiasi yang adil, fokus pada tujuan dan langkah
kongkrit sehingga menciptakan sikap proaktif, seperti persiapan, peren-
canaan, dan pencegahan.
Kedua, utilizing social and economic resources (USER) adalah norma internal
dan eksternal yang membuat keluarga menyelesaikan aktivitas sehari-hari
dengan mengidentifikasi dan memanfaatkan potensi yang ada, seperti
anggota keluarga yang bermanfaat, sistem di masyarakat, atau tetangga.
Kesadaran tentang pentingnya kehadiran nilai atau dukungan eksternal
40 Psikologi Resiliensi
Walsh (2003) mengembangkan alat ukur “Walsh Family Resilience
Questionare” yang merujuk pada key process dalam resiliensi keluarga
yang terdiri atas 31 item. Sejumlah penelitian juga dilakukan untuk
validasi alat ukur resiliensi keluarga pada sejumlah karakteristik subjek.
Rochi dkk (2017) melakukan validasi alat ukur ini kepada 421 masyarakat
Italia dan hasilnya menunjukkan bahwa alat ukur Walsh Family Resilience
Questionare Italian Version memiliki nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,946.
Karaminia, Haji, Salimi, dan Tahour (2018) juga melakukan validasi alat
ukur kepada 350 keluarga yang berada di pusat militer di Iran dan hasil
reliabilitas berulang menunjukkan nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,87.
42 Psikologi Resiliensi
untuk tetap bersama dan membantu komunitasnya sendiri sebagai sebuah
kelompok serta keluarga dan individu yang ada didalamnya. Resiliensi
komunitas membutuhkan kehadiran, pengembangan, dan kelekatan dari
sumber daya suatu komunitas untuk melewati kondisi lingkungan yang
berubah, tidak pasti, tidak bisa diprediksi, dan dadakan. Komunitas yang
resilien memiliki dorongan untuk mengembangkan kapasitas pribadi atau
kelompok yang diikuti untuk merespon dan mempengaruhi, menjaga dan
memperbaharui komunitas, dan mengembangkan jalan baru bagi masa
depan komunitas.
44 Psikologi Resiliensi
Keempat, integrasi anatara pemerintah dan organisasi non-pemerintah
dapat meningkatkan kapasitas dalam pemulihan. Keberagaman dan
kerjasama antara sumber daya yang dimiliki dapat menguatkan resi-
liensi dengan semakin banyaknya keterlibatan dari organisasi. Semakin
banyaknya organisasi yang terlibat dapat meningkatkan kepercayaan dan
wawasan masyarakat sehingga meningkatkan kemampuan komunitas
dalam menjalankan rencana dan mempercepat pemulihan. Selain itu,
keterlibatan banyak pihak organisasi dengan berbagai latar belakang
dapat menunjang kesejahteraan suatu komunias. Kelima, keterhubungan
sosial adalah hubungan antara individu dengan masyarakat dalam sebuah
komunitas. Hubungan antara individu dengan organisasi berkontribusi
terhadap resiliensi komunitas. Keberagaman individu menjadi faktor
protektif dalam meningkatkan resiliensi dan pemulihan. Menghargai
keberagaman yang ada menunjukkan kesadaran atas kompetensi dan
kekurangan yang ada dalam masyarakat. Kesadaran ini menjadi kunci
penting dalam menjalin hubungan yang konstruktif di antara masyarakat.
Kedua, solidarity and social justice ditandai dengan rasa aman yang muncul
pada masyarakat karena baiknya kualitas hubungan horizontal antar
kelompok yang ada. Tidak ada ketegangan antar kelompok masyarakat
membuat hubungan masyarakat dalam negara menumbuhkan rasa
peduli dan saling membutuhkan. Ketika ada pelanggaran hukum terjadi,
masyarakat meyakini akan ada proses pengadilan yang baik di negaranya.
46 Psikologi Resiliensi
atau krisis terjadi bagaimana sistem pengadilan menyikapinya dapat
membentuk resiliensi sebuah negara jika menghadapi kondisi yang sama
dimasa depan.
Analisa lebih lanjut dilakukan untuk melihat faktor lain yang memiliki
pengaruh terhadap resiliensi nasional. Temuan dalam penelitian ini
menunjukkan religiusitas dan rata-rata pendapatan masyarakat yang
baik memiliki korelasi positif yang signifikan dalam membentuk resiliensi
nasional. Selain itu, bagaimana sikap politik masyarakat juga menentukan
kemampuan sebuah negara untuk resilien.
48 Psikologi Resiliensi
ulasi emosi. Regulasi emosi menjadi penting karena stresor yang dapat
muncul bagi siswa tidak hanya dari tanggungjawab akademik, namun dari
hubungan interpersonal yang ada di sekolah. Kemudian, regulasi emosi
juga dapat menguatkan siswa dalam mentoleransi tekanan atau stres yang
diperolehnya selama menjalani pendidikan.
Studi meta analisis yang dilakukan oleh Beri dan Kumar (2018) menemukan
sejumlah prediktor terhadap resiliensi akademik. Faktor internal yang
menjadi prediktor terhadap resiliensi akademik adalah kemampuan siswa
dalam memotivasi diri, rasa percaya diri, memahami serta mengelola stres
selama menghadapi situasi yang sulit. Proses pembelajaran yang bersifat
Pengembangan alat ukur ini menemukan bahwa terdapat tiga faktor yang
membentuk resiliensi akademik, yaitu ketekunan (perseverance), refleksi
dan mencari bantuan secara adaptif (reflecting and adaptive-help-seeking),
serta afek negatif dan respon emosi (negative affect and emotional response).
50 Psikologi Resiliensi
Ketekunan meliputi kerja keras dan terus mencoba, tidak menyerah, fokus
pada rencana dan tujuan, menerima dan memanfaatkan setiap umpan balik,
imaginative problem solving, melihat hambatan sebagai sebuah peluang
untuk bertemu tantangan dan meningkatkan kemampuan. Refleksi dan
mencari bantuan secara adaptif meliputi refleksi diri terhadap kelebihan
dan kekurangan yang dimiliki, mencari dukungan dan penguatan, serta
memperhatikan usaha, pencapaian, hukuman, dan imbalan yang diterima.
Afek negatif dan respon emosi meliputi ada tidaknya perasaan cemas,
hambatan dan tidak berdaya, menghindari respon atas emosi negatif, dan
memiliki perasaan optimis (Cassidy, 2016).
52 Psikologi Resiliensi
anak mampu merespon masalah yang ditemui secara proaktif dan berniat
menyelesaikan masalahnya, maka dapat menjadi tanda bahwa anak
mampu mengatasi perasaan sedih dan stres.
54 Psikologi Resiliensi
Caregiver climate menjelaskan tentang kualitas pengasuhan orangtua dari
sudut pandang psikologis kepada anak. Hal ini dikarenakan pola asuh
memiliki peranan penting dalam menentukan bagaimana anak akan
mendekati dunia digital. Terdapat tiga aspek penting dalam caregiver
climate yang memiliki hubungan kuat dengan resiliensi daring anak,
yaitu caregiver involvement, autonomy support, dan unconditional regard.
Caregiver involvement ditandai dengan kehadiran orangtua/pengasuh bagi
anak, berpengetahuan luas, dan menaruh perhatian terhadap pengala-
man-pengalaman anak. Autonomy support ditandai dengan orangtua/
pengasuh menghargai sudut pandang dan nilai yang dimiliki oleh
anaknya. Unconditional regard dilihat dari tidak adanya standar perilaku
yang harus dipenuhi oleh anak agar mendapatkan kasih sayang dari
orangtua/pengasuh. Caregiver climate diukur dengan menggunakan Parent
Involvement and Autonomy Support Scale yang mencakup tiga aspek di atas.
Digital skills and attitude menjelaskan tentang bagaimana sikap anak dalam
menggunakan teknologi digital, internet, dan media sosial yang kemudian
akan menentukan apa yang akan diperoleh dari aktivitas daring. Anak
yang meyakini bahwa teknologi dan internet memberikan keuntungan
bagi masyarakat dan dapat melatih kemampuan akan cenderung memiliki
pengendalian diri dan resiliensi daring yang baik. Baiknya sikap anak dalam
memandang dan menggunakan teknologi dan internet berkorelasi secara
positif dengan resiliensi daring. Baiknya sikap anak juga ditandai dengan
ketertarikan dalam pembelajaran online, pengembangan sosial, ekspresi
diri, dan ekspresi kreativitas secara online. Digital skill and attitudes diukur
dengan menggunakan kuisioner untuk mengetahui tentang kepercayaan
diri anak dan orangtua dalam menggunakan internet dan teknologi serta
kemampuan teknis yang dimiliki dalam menggunakannya.
Resiliensi daring tidak akan terbentuk dengan sendirinya pada anak tanpa
peran dari orangtua. Tingkat resiliensi daring akan sejalan dengan berbagai
risiko yang mungkin akan anak temukan dalam aktivitas di aktivitas
daring. Menumbuhkan resiliensi daring tidak bisa dilakukan dengan
menjauhkan sepenuhnya anak dari penggunaan teknologi digital, namun
harus dengan pendampingan dari orangtua. Apabila anak dijauhkan atau
dilarang menggunakan tekonologi digitial akan membuat anak semakin
memiliki rasa ingin tahu atas apa yang tidak diperbolehkan. Hal ini justru
akan membuat anak menjadi sulit dikendalikan ketika mendapatkan apa
yang disenangi dan dapat memuaskan rasa ingin tahunya. Kemudian, hal
ini dikuatkan dengan orangtua yang mengajarkan koping komunikatif dan
proaktif ketika anak mendapatkan sesuatu yang baru atau berisiko dalam
aktivitas daring.
56 Psikologi Resiliensi
hidup anak. Ketika terbiasa membangun hubungan dan komunikasi positif,
langkah selanjutnya adalah membangun kesadaran dan wawasan anak
tentang berbagai konsekuensi dan risiko dari aktivitas daring. Wawasan
yang berimbang tentang manfaat dan risiko dari aktivitas daring dapat
membuat anak memiliki gambaran tentang hal apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan. Kemudian, orangtua mengembangkan dialog bersama
anak dengan membahas pentingnya membekali diri tentang keterbukaan
dalam mengelola risiko dari aktivitas daring serta menggunakan koping
komunikatif dan proaktif. Terakhir, orangtua mengoptimalkan dukungan
dan kontrol dalam pengasuhan agar perilaku anak berada dalam penga-
wasan dan situasi yang aman.
Gaya pola asuh otoriter memiliki korelasi negatif dengan resiliensi daring
karena orangtua mengambil kontrol penuh atas hak anak dalm melakukan
aktivitas daring. Ketika anak berada dalam kontrol orangtua yang ketat
maka akan membuat anak tidak memiliki kesempatan untuk mengemu-
kakan pendapat atau mandiri ketika dihadapkan dengan risiko dari aktivitas
daring kedepannya. Anak tidak terbiasa melakukan komunukasi dua
arah dan melakukan koping yang adaptif dalam menyelesaikan masalah
yang ada. Kemudian, gaya pola asuh yang permisif juga memiliki korelasi
negatif dengan resiliensi daring anak. Pola asuh ini akan membuat anak
Cohen, O., Leykin, D., Lahad, M., Goldberg, A., & Aharonson-Daniel,
L. (2013). The conjoint community resiliency assessment measure
as a baseline for profiling and predicting community resilience for
emergencies. Technological Forecasting and Social Change, 80(9),
1732–1741. doi:10.1016/j.techfore.2012.12.009
Deist, M., & Greeff, A. P. (2016). Living with a parent with dementia: A family resil-
ience study. Dementia, 16(1), 126–141. doi:10.1177/1471301215621853
Firdaus, I. K. & Kelly, E. (2019). Pengaruh pola asuh terhadap online resil-
ience. Jurnal Psikologi, 6 (1), 20-38.
58 Psikologi Resiliensi
and validation of the “Walsh Family Resilience Questionnaire” for
Iranian Families. International Journal of Behavior Science, 12 (2),
48-52.
Kimhi, S., Eshel, Y., Lahad, M. & Leykin, D. (2019). National resilience: A
new self-report assessment scale. Community Mental Health Journal,
55, 721-731.
Leykin, D., Lahad, M., Cohen, O., Goldberg, A., & Aharonson-Daniel, L.
(2013). Conjoint Community Resiliency Assessment Measure-28/10
Items (CCRAM28 and CCRAM10): A Self-report Tool for Assessing
Community Resilience. American Journal of Community Psychology,
52(3-4), 313–323. doi:10.1007/s10464-013-9596-0
Martin, A.J., & Marsh, H. W. (2006). Academic resilience and its psycho-
logical and educational correlates: A construct validity approach.
Psychology in the Schools, 43, 267-282. DOI: 10.1002/pits.20149.
Norris, F. H., Stevens, S. P., Pfefferbaum, B., Wyche, K. F., & Pfefferbaum, R. L.
(2007). Community Resilience as a Metaphor, Theory, Set of Capacities,
and Strategy for Disaster Readiness. American Journal of Community
Psychology, 41(1-2), 127–150. doi:10.1007/s10464-007-9156-6
Power, J., Goodyear, M., Maybery, D., Reupert, A., O’Hanlon, B., Cuff, R., &
Rocchi, S., Ghidelli, C., Burro, R., Vitacca, M., Scalvini, S., Vedova, A. M. D.,
Roselli, G., Ramponi, J. P., Bertolotti, G. (2017). The Walsh Family Resil-
ience Questionnare,: The Italian version. Neuropsychiatric Disease
and Treatment, 13, 2987-2999.
Schaufeli, W. B., Pinto, A. M., Salanova, M., & Bakker, A. B. (2002). Burnout
and engagement in university students. A Cross-National Study, 33(5),
464–48.
62 Psikologi Resiliensi
dalam mendapatkan penghormatan untuk bisa merasakan sesuatu yang
berharga dalam hidup bermasyarakat. Stepleman, Wright, dan Bottonari
(2008) dalam tulisannya yang berjudul “Socioeconomic Status: Risks and
Resilience” menjelaskan terdapat dua model untuk melihat hubungan
antara kesehatan mental dan SSE. Pertama, model social causation
menjelaskan tentang meningkatnya tingkat stres pada individu dipe-
ngaruhi oleh rendahnya lingkungan SSE yang dimiliki sehingga berisiko
terhadap tingginya tingkat gangguan psikologis. Rendahnya SSE dapat
memperburuk kesehatan fisik dan emosi karena paparan stres yang tinggi
namun tidak diimbangi dengan kesempatan untuk mengakses layanan
psikologis. Kedua, model social selection menekankan pada faktor genetik
dan lingkungan menjadi predisposisi terhadap gangguan psikologis yang
diderita oleh individu. Hal ini kemudian membuat individu tidak bisa
memenuhi ekspektasi dalam norma sosial, tidak mendapatkan pekerjaan,
atau tidak memiliki hubungan sosial yang efektif. Kedua model tersebut
saling mempengaruhi dalam membentuk pribadi individu sehingga tidak
ada faktor tunggal dalam membentuk resiliensi.
Pada level pribadi atau individu terdapat sejumlah aspek yang mempe-
ngaruhi kesejahteraan psikologis dan resiliensi individu, seperti status
pernikahan/hubungan, tingkat pendidikan, dan status pekerjaan. Individu
yang memiliki kepuasan dalam pernikahan menunjukkan kondisi psikologis
yang lebih baik, faktor protektif dalam resiliensi, dan menurunkan risiko
mengalami stres. Tingkat pendidikan dan status pekerjaan memiliki
korelasi yang kompleks terhadap resiliensi dan stres yang dialami oleh
individu. Hal ini ditentukan dengan faktor-faktor lain yang menyertainya.
Tingkat pendidikan dan status pekerjaan dapat menjadi faktor protektif
dan faktor risiko dalam waktu yang bersamaan terkait hubungannya
dengan isu kesehatan mental.
64 Psikologi Resiliensi
akademik buruk memiliki korelasi negatif yang signifikan terhadap resi-
liensi. Kemudian, kondisi keluarga juga mempengaruhi resiliensi remaja
di kota tersebut. Temuan ini dilihat dari adanya korelasi negatif yang
signifikan antara resiliensi dengan status perekonomian keluarga, riwayat
penggunaan obat-obatan atau alkohol di keluarga, dan tingginya frekuensi
pertengkaran orangtua di rumah.
66 Psikologi Resiliensi
sungguh-sungguh dalam menyatakan sesuatu), altruism (murah hati dan
membantu orang lain), tender-mindedness (simpati dan peduli terhadap
orang lain), compliance (kerelaan), dan modesty (sederhana dan rendah
hati).
Oshio, Taku, Hirano, dan Saeed (2018) melakukan meta analisis dengan
menggunakan 30 penelitian untuk mengetahui korelasi antara resiliensi
dan big five personality traits. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan
ciri kepribadian neuroticism memiliki korelasi negatif dengan resiliensi.
Kemudian, ciri kepribadian extraversion, openness to experience, agree-
ableness, dan conscientiousness memiliki korelasi positif dengan resiliensi
yang signifikan. Ercan (2017) melakukan penelitian kepada mahasiswa
untuk mengetahui hubungan antara big five personality dengan resi-
liensi. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan ciri kepribadian extra-
version, openness to experience, agreeableness, dan conscientiousness
memiliki korelasi positif yang signifikan dengan resiliensi sedangkan
ciri kepribadian neuroticism memiliki korelasi negatif yang signifikan
dengan resiliensi. Penelitian yang dilakukan oleh Nuriyah dan Ambarini
(2019) menemukan bahwa kepribadian dalam big five personality memiliki
korelasi dengan resiliensi pada family caregiver orang dengan skizofrenia.
Ciri kepribadian neuroticism memiliki korelasi negatif yang signifikan
dengan resiliensi. Kemudian, ciri kepribadian extraversion, openness to
experience, agreeableness, dan conscientiousness memiliki korelasi positif
dengan resiliensi.
68 Psikologi Resiliensi
positif terhadap resiliensi perempuan yang mengalami kekerasan dalam
rumah tangga. Jangi dan Sardari (2019) juga menyimpulkan bahwa religi-
usitas efektif dalam meningkatkan resliensi pada pasien kanker.
Penelitian yang dilakukan oleh Rice dan Liu (2016) kepada tentara menun-
jukkan koping stres memiliki korelasi dengan resiliensi. Pada kelompok
emotion-focused menunjukkan bahwa acceptance, humor, positive
reframing, dan religion memiliki korelasi positif dengan resiliensi. Pada
kelompok problem-focused menunjukkan active coping dan planning
memiliki korelasi positif dengan resiliensi. Kemudian, pada kelompok
dysfunctional coping menunjukkan bahwa denial, substance use, behavioral
disengagement, self-blame, dan venting memiliki korelasi negatif dengan
resiliensi.
70 Psikologi Resiliensi
dirinya mampu menyelesaikan suatu tugas. Semakin kuat keyakinan
individu akan dirinya maka akan semakin tinggi efikasi diri yang dimiliki
untuk menyelesaikan tugas.
72 Psikologi Resiliensi
Craparo, dan Paolillo (2016) melakukan penelitian untuk melihat hubungan
antara kecerdasan emosi, resiliensi, dan motivasi berprestasi pada 488
pekerja di Italia berusia 18 sampai dengan 55 tahun. Hasil dari penelitian
tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan emosi memiliki korelasi positif
yang signifikan terhadap resiliensi dan motivasi berprestasi pada pekerja.
Promsri (2019) juga melakukan penelitian tentang hubungan kecerdasan
emosi dengan resiliensi pada mahasiswa internasional. Ia ingin menge-
tahui bagaimana hubungan antara keempat aspek kecerdasan emosi
(self-awareness, self-management, social awareness, dan relationship
management) terhadap resiliensi mahasiswa. Hasil dari penelitian tersebut
menunjukkan bahwa kecerdasan emosi memiliki korelasi positif yang
signifikan terhadap resiliensi. Kemudian, lebih lanjut hasil dari uji korelasi
menemukan bahwa hanya self-awareness dan relationship management
yang memiliki korelasi positif dengan resiliensi secara signifikan.
5.8 Optimisme
Individu yang resilien dapat dilihat dari sebearapa banyak harapan yang
dimiliki ketika dihadapkan dengan situasi atau kondisi yang menekan. Bagi
mahasiswa, optimisme memiliki korelasi positif yang signifikan terhadap
resiliensi (Panchal, Mukherjee & Kumar, 2016; Gomez-Molinero, Zayas,
5.9 Kebersyukuran
Kata gratitude diambil dari akar Latin gratia, yang artinya kelembutan,
kebaikan hati, atau berterima kasih. Kata-kata yang terbentuk dari
akar kata gratia berhubungan dengan suatu kebaikan, kedermawaan,
pemberian, keindahan dari memberi dan menerima, atau mendapatkan
sesuatu tanpa tujuan apapun (Emmons & McCullough, 2003). Emmons
dan McCullough (2003) mendefinisikan syukur sebagai sebuah perasaan
atau emosi, yang kemudian diimplementasikan dalam sikap, sifat moral
yang baik, sifat kepribadian, dan akan mempengaruhi bagaimana individu
menanggapi suatu situasi. Menurut Snyder dan Lopez (2002), secara
psikologis, gratitude merupakan suatu perasaan yang menakjubkan, rasa
terima kasih, dan penghargaan terhadap kehidupan. Beberapa laporan
yang mendalam tentang pengalaman kebersyukuran terdapat dasar secara
agama atau diasosiasikan dengan penghormatan yang luar biasa untuk
menghargai alam semesta (acknowledgment of the universe).
74 Psikologi Resiliensi
Baumrind (Santrock, 2007) menjelaskan bahwa pola asuh orangtua adalah
sikap atau perilaku orangtua terhadap anak dengan mengembangkan
aturan-aturan dan mencurahkan kasih sayang kepada anak. Pola asuh
ditandai dengan adanya pemenuhan kebutuhan anak oleh orangtua, baik
kebutuhan fisik (makan, minum, dan sebagainya), kebutuhan psikologis
(rasa aman, kasih sayang, perhatian, dan sebagainya), dan mengajarkan
norma-norma atau nilai-nilai yang ada di masyarakat agar anak dapat
hidup selaras dengan lingkungan di mana ia tinggal.
Pola asuh orangtua dapat dilihat dari bagaimana dua dimensi yang
menyusunnya, yaitu dimensi kontrol dan dimensi responsivitas. Dimensi
kontrol menjelaskan tentang tuntutan yang diberikan oleh orangtiua
kepada anak agar anak menjadi individu yang bertanggung jawab dan
dewasa. Selain itu, tujuan adanya kontrol adalah agar anak memberlakukan
aturan-aturan, norma, atau batasan yang sudah ditetapkan. Kemudian,
dimensi responsivitas meliputi kehadiran dukungan, kehangatan, dan
kasih sayang yang diberikan oleh orangtua kepada anak. Berdasarkan dua
dimensi ini, Baumrind mengelompokkan terdapat empat jenis pola asuh,
yaitu authoritative, authoritarian, permissive, dan uninvolved.
Pola asuh uninvolved adalah pola asuh yang ditunjukkan dengan sangat
rendahnya tingkat responsivitas dan tingkat kontrol kepada anak. Hal ini
membuat orangtua sangat kurang dalam memberikan afeksi dan kontrol
kepada anak sehingga orangtua hanya berfokus pada kebutuhannya
sendiri. Dalam pola asuh ini orangtua cenderung mengabaikan kebutuhan
fisik dan psikologis anak di rumah sehingga tidak memberikan tuntutan
kepada anak.
76 Psikologi Resiliensi
tative sedangkan pola asuh ayah yang authoritarian memiliki korelasi
negatif dengan resiliensi. Mohammadi, Sanagoo, Kavosi, dan Kavosi (2018)
meneliti pengaruh pola asuh terhadap resiliensi siswa SMA yang berisi
anak berkebutuhan khusus dan berbakat. Hasil dari penelitian tersebut
menunjukkan pola asuh authoritative memiliki korelasi positif dengan
resiliensi, sedangkan pola asuh authoritarian dan permissive berkorelasi
negative dengan resiliensi.
Bandura, A. (1997). Self efficacy: The exercise of control. New York: W.H.
Foreman & Company.
Bulut, N. S., Bulut, G. C., Kupeli, N. Y., Genc, H. A., Aktas, I., Yasar, V., Aktas,
M. C. & Topcuoglo, V. (2019). Living in difficult conditions: A analysis of
the factors associated with resilience in youth of a disadvantage city.
Psychiatry and Clinical Psychopharmacology, 29 (4), 587-596.
Crane, M., Brabazon, G., Gucciardi, D., Loveday, T., & Wiggins, M. (2017).
General Self-Efficacy and Psychological Resilience Promote Skill
Acquisition Rate Under Psychological Pressure. Australasian Journal
of Organisational Psychology, 10, E3. doi:10.1017/orp.2017.3
Carver, C. S. (1997). You want to measure coping but your protocol’s too
long: Consider the BRIEF Cope. International Journal of Behavioral
Medicine, 4 (1), 92-100
78 Psikologi Resiliensi
Well-Being in Daily Life. Journal of Personality and Social Psychology.
84 (2) : 377-389.
Ercan, H. (2017). The relationship between resilience and the Big Five
Personality traits in emerging adulthood. Eurasian Journal of Education
Research, 70, 83-103.
Gooding, P. A., Hurst, A., Johnson, J., & Tarrier, N. (2012). Psychological
resilience in young and older adults. International journal of geriatric
psychiatry, 27(3), 262–270. https://doi.org/10.1002/gps.2712
Magnano, P., Craparo, G. & Paolillo, A. (2016). Resilience and emotional intel-
ligence: Which role in achievement motivation. International Journal
of Psychology Research, 9 (1), 9-20.
Makshin, M., Noor, N. F. M., Ismail, N. H., Bohari, A. M., Amirul & Sukeri, F.
M. (2019). Journal of Self-Hisbah Reflection: Islamic innovation and
creativity in increasing adolescent religiosity and resilience. Interna-
tional Journal of Innovative Technology and Exploring Engineering, 8
(752), 61-66.
McCanlies, E. C., Gu, J. K., Andrew, M. E. & Violanti, J. M. (2018). The effect
of social support, gratitude, resilience and satisfaction of life on
depressive symptoms among police officers following Hurricane
Katrina. International Journal of Social Psychology, 64 (1), 63-72.
80 Psikologi Resiliensi
Ngui, G.K., & Lay, Y.F. (2020). The Effect of Emotional Intelligence,
Self-Efficacy, Subjective Well-Being and Resilience on Student
Teachers’ Perceived Practicum Stress: A Malaysian Case
Study. European Journal of Educational Research, 9 (1), 277-291.
doi:10.12973/eu-jer.9.1.277
Oshio, A., Taku, K., Hirano, M. & Saeed, G. (2018). Resilience and Big Five
personality traits: A meta-analysis. Personality and Individual Differ-
ences, 127, 54-60.
Rice, V. & Liu, B. (2016). Personal Resilience and Coping Part II: Identifying
Resilience and Coping Among U.S. Military Service Members and
Veterans with Implications for Work. Work. 54 (2), 335-350.
82 Psikologi Resiliensi
Sunindijo R.Y., Hadikusumo, B.H.W. & Ogunlana, S. (2007). Emotional intel-
ligence and leadership styles in construction project management.
Journal of Management in Engineering. 23(4), 166–70.
Zimet, G. D., Dahlem, N. W., Zimet, S. G. & Farley, G. K. (1988). The multi-
dimentional scale of perceived social support. Journal of Personality
Assessment. 52. 30-41.
Situasi yang sulit bisa terjadi karena faktor ekonomi. Seseorang yang
hidup di tengah kesulitan ekonomi yang menyebabkan kelaparan atau
penuh kekurangan. Nenek moyang kita yang hidup di alam penjajahan
Belanda makan dengan makanan seadanya yang beruntungnya adalah
alam di Indonesia menyediakan berbagai tanaman liar yang dapat dikon-
sumsi. Orang-orang Etiopia selama bertahun-tahun mengalami kelaparan
yang menjadikan mereka lebih rentan terkena penyakit. Namun, kesulitan
ekonomi ini tetap dapat ditanggapi secara positif oleh orang-orang yang
memiliki kelapangdadaan.
Situasi yang tidak menyenangkan juga dapat terjadi karena faktor sosial,
yaitu situasi yang terjadi saat dan akibat berhubungan dengan orang lain,
86 Psikologi Resiliensi
baik secara personal maupun secara kelompok. Sebagai contoh, menjadi
korban pelecehan seksual atau korban perundungan (bullying) adalah
situasi yang secara objektif tidak menyenangkan bagi siapapun. Contoh
kongkrit lain yang mencerminkan adanya kelapangdadaan ini adalah apa
yang terjadi dalam diri seorang santri saat menghadapi kesulitan. Seorang
santri menghadapi kenyataan bahwa ia di-drop out dari pondok pesantren
tempat ia menimba ilmu agama selama lima tahun. Ia terkena DO karena
“dinyatakan melakukan palanggaran dan karenanya tidak diperkenankan
tinggal di pondok pesantren lagi”. Jalan ceritanya adalah demikian: ia
pernah mengalami gangguan psikologis yang luar biasa yang menye-
babkan ia harus istirahat dari perguruan tinggi dan pondok pesantrennya.
Ia akhirnya istirahat dan menenangkan dirinya di tempat tinggalnya
yang agak jauh dari Kota Yogyakarta. Ia berangsur-angsur sembuh, dapat
menyelesaikan pendidikan reguler di kampusnya, namun ia merasa malu
untuk tinggal bersama-sama temannya di pondok. Ia sudah diberi perin-
gatan (kalau tiga semester berturut-turut tidak tinggal di pondok pesantren
akan terkena ancaman drop out), tetapi peringatan itu tidak membuatnya
untuk pindah dari tempat tinggalnya ke pondok pesantren. Karena sudah
diperingatkan sebanyak tiga kali dan tidak ada tanggapan yang berarti,
maka ia dinyatakan drop out. Awalnya, ia berat menerima keputusan itu,
walau tak lama kemudian ia bisa menerimanya.
88 Psikologi Resiliensi
tumbuhlah dalam diri orang tersebut kesiapan untuk berhadapan dengan
hal-hal yang tidak menyenangkan. Kesiapan ini merupakan respons atas
kepastian datangnya ujian dari Allah ‘Azza wa jalla. Allah berfirman:
Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan
(juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang
diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan
Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar
dan bertakwa,maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang
patut diutamakan (QS Ali Imran, 3:186).
90 Psikologi Resiliensi
dadaan. Semakin tinggi kualitas dzikir semakin tinggi kelapangdadaan.
Kelima: Usia. Orang yang berusia memasuki lansia cenderung lebih bisa
menerima penderitaan daripada orang yang lebih muda. Hal ini dikare-
nakan pengalaman mereka lebih banyak dibanding dengan orang-orang
yang berusia lebih muda.
Bila dalam hari-hari yang kita jalani banyak pengalaman yang tak
menyenangkan, haruskah kita diam saja (karena diam adalah emas)?
Bila pelecehan seksual menimpa diri kita, haruskah cerita ini kita simpan
sampai akhir hayat kita? Bila perundungan (bullying) menimpa diri kita,
haruskah cerita ini kita simpan sampai akhir hayat kita?Bila kita adalah
korban peledakan bom Bali, haruskah kita memendam cerita duka itu?
Bila kita adalah pengungsi-pengungsi yang merasakan sulitnya hidup di
tempat pengungsian, haruskah kita diam dan tak berhak mengeluhkan
penderitaan lahir dan batin kita?
92 Psikologi Resiliensi
Pengungkapan Diri
Dari penjelasan di atas dapat diungkapkan bahwa apabila ada sesuatu yang
tidak menyenangkan masuk ke dalam sistem diri kita, maka langkah yang
semestinya kita tempuh adalah melakukan pengakuan diri atau pengung-
kapan diri. Bila hal ini tidak dilakukan (atau kita melakukan pengekangan
diri), maka resiko yang bakal kita hadapi adalah masalah kesehatan
jangka panjang dan rendahnya performansi diri kita. Dengan demikian,
manusia memerlukan sarana untuk selalu bisa melakukan pengungkapan
diri. Secara sosial, pengungkapan diri kadang tidak mudah. Pengalaman-
pengalaman yang memalukan sangat tidak nyaman untuk diceritakan.
Pennebaker menggambarkan bahwa orang-orang yang kehilangan keluar-
ganya tidak menderita stres terlalu lama karena menceritakan kesedihan
akibat kehilangan orang yang dicintai biasanya dianggap sebagai hal
Memperluas Diri
94 Psikologi Resiliensi
diri atau pengungkapan berbagai perasaan dan pengalaman yang tidak
menyenangkan sangat diperlukan.
Sekalipun demikian, ada suatu pilihan lain yang dapat kita lakukan. Untuk
menjadi pribadi yang sehat di tengah beragam pengalaman buruk, yang
dapat kita lakukan tidak hanya melakukan pengungkapan atau pengakuan
diri. Ada pilihan lain yang memungkinkan kita melakukan pengem-
bangan diri. Kita bisa mengubah diri kita dari pribadi yang berwadah
sempit menuju pribadi yang lapang dada. Hal yang yang hendak penulis
ungkapkan bahwa manusia dimungkinkan untuk memperluas dirinya.
Manusia dapat memperluas wadah psikospiritual dalam dirinya sehingga
hal-hal yang tidak menyenangkan dalam kehidupannya dapat diteri-
manya dengan lapang dada, tidak mengganggu kehidupannya, tapi malah
menambah kebijaksanaannya. Sedemikian luas diri orang ini, sedemikian
lapang dada orang ini, ia tidak mudah muntap atau marah. Ia tidak harus
mengeluarkan segala stimulasi yang tidak menyenangkan. Ia begitu luas
seluas danau atau bahkan laut, sehingga bila ada rasa pahit yang masuk ke
lautnya rasa pahit itu segera diurai oleh air bening.
Contoh nyata dari pribadi yang lapang dada adalah Nabi Muhammad. Saat
beliau ditimpuki dengan kotoran di punggung dan kepala beliau tenang-
tenang saja. Saat orang-orang Thaif menolak mentah-mentah dakwah
beliau dan melemparkan batu kepada beliau, beliau tetap tenang saja.
Malaikat yang menawarkan untuk meruntuhkan gunung untuk menga-
khiri kecongkakan orang Thaif pun ditolak beliau. Beliau juga tenang-
tenang saja manakala seoang laki-laki Yahudi setiap bertemu Rasulullah
selalu meludahinya saat beliau berjalan di suatu jalan. Menghadapi
kenyataan pahit itu, Rasulullah bisa dengan lapang dada menerimanya.
Mungkinkah manusia memiliki kelapangdadaan seperti Muhammad ini?
Secara horisontal, pada bulan ini orang juga banyak beramal terhadap
fakir miskin dan manusia pada umumnya. Pada bulan ini pula orang
banyak mengeluarkan zakat fitrah dan juga zakat maal.
96 Psikologi Resiliensi
untuk berkeluh kesah kepada orang lain. Dalam dada kita menancap
kesadaran bahwa segala hal, termasuk buruk adalah ciptaan Allah. Kalau
Allah tidak berkenan, keburukan tidak terjadi pada kita. Kalau ia akhirnya
hadir dalam kehidupan kita, maka itu adalah cara Allah untuk menge-
tahui sejauh mana kita akan mengalami peningkatan kualitas pribadi kita.
Semoga melalui puasa ini ada kesempatan bagi kita untuk memiliki .
Kalau akhirnya berbagai peristiwa itu datang, maka kita akan menam-
pungnya dan mengolahnya dalam wadah psiko-spiritual kita yang luas.
Bila Kalau akhirnya berkeluh kesah.
Ancok, D. & Suroso. (2005). Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-
problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Frager, Robert. (2003). Hati, Diri, & Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi.
Terjemahan Hasmiyah Rauf. Jakarta: Penerbit Serambi.
Frank, M.G., Ekman, P., & Friesen, M.V. (1993). Behavioral Markers and
Recognizability of the Smile of Enjoyment. Journal of Personality and
Social Psychology, 64, 1, 83-93.
Hidayat, R. (2005). Peta Problem Psikologis Para Survivor Bencana Gempa dan
Tsunami Aceh. Makalah. Dipresentasikan dalam Diskusi Memahami
Lebih Mendalam Bencana Aceh. Hasil Kerjasama PP Asosiasi Psikologi
98 Psikologi Resiliensi
Islami dan Panitia Psikologi UII Peduli Aceh, Yogyakarta, 18 Januari
2004.
Nashori. F. (1991). Pengaruh Film Televisi terhadap Perilaku Anak dan Alter-
natif Pemecahannya, Laporan Penelitian.Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.
Nashori, H.F. (2004). Menjadi Pribadi yang Lapang Dada. Buletin Al-Is-
lamiyyah, Nomor 18, Th. XII, Februari 2004.
Tasmara, T. (1995). Etos Kerja Pribadi Muslim. Yogya: PT Dana Bhakti Wakaf.
Yusuf kecil adalah seorang piatu. Ia lahir dari keluarga Nabi Ya’qub yang
dikaruniai banyak anak. Nabi Ya’qub sendiri memiliki tiga istri. Dari tiga
istri lahirlah 12 orang anak. Yusuf adalah anak kesebelas dari Ya’qub dan
anak pertama dari istri ketiga Nabi Yusuf. Takdir menentukan bahwa
ibunda kandung Yusuf meninggal dunia di saat usia yang masih muda, saat
Yusuf masih kanak-kanak. Satu-satunya saudara seibu Yusuf dan sekaligus
adiknya adalah Benyamin.
Apa yang dirasakan oleh seorang anak yang terdampar di dalam sumur
yang gelap? Tidak diceritakan bagaimana perasaan Yusuf setelah dalam
kegelapan sumur itu. Kalau kita berempati, kita akan merasakan ketakutan
yang merasuk dalam diri Yusuf. Sendirian dalam gelap, kedinginan
merasuk ke dalam tubuh. Semua ini dijalani Yusuf sekitar tiga atau empat
hari. Sekalipun demikian, Allah swt tidak membiarkan Yusuf dalam keter-
purukannya. Allah telah berfirman pada Yusuf dan itu menjadikan Yusuf
menjadi tegar menjalaninya.
Zulaikha bukan tipe wanita yang hanya menyimpan dalam hati ketika jatuh
cinta kepada orang lain. Cinta yang teramat besar menjadikan Zulaikha
ingin menundukkan Yusuf . “Dan perempuan yang dia (Yusuf) tinggal di
rumahnya menggoda dirinya. Dan dia menutup pintu-pintu, lalu berkata:
‘Marilah mendekat kepadaku.’ Yusuf berkata: ‘ Aku berlindung kepada Allah,
sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.’ Sesungguhnya
orang yang zalim itu tidak beruntung.” (QS Yusuf, 12:23).
Apa yang dirasakan Yusuf ketika diperlakukan seperti ini? Yusuf bukanlah
model yang sedemikian senang dan bangga menunjukkan diri di hadapan
sosialita. Ia sangat malu dengan apa yang terjadi. Namun, karena
menyadari posisi dirinya sebagai seorang budak, maka dijalaninya keti-
daknyamanan itu.
Yang menarik adalah apa yang tampak buruk tidak selalu buruk. Dijeb-
loskan ke dalam penjara tapi tidak melakukan kesalahan adalah sesuatu
yang mengenaskan. Itu yang tampak. Yang tidak tampak adalah Nabi
Yusuf pada dasarnya sedang menjalani takdirnya. Selama di penjara bakat
menakwilkan mimpi berkembang sangat baik. Mata hatinya sedemikian
jernih sehingga hal-hal yang tidak tampak menjadi kelihatan transparan
di mata Yusuf.
Keadaan berpihak kepada Yusuf ketika Raja Fir’an menghadapi mimpi yang
pelik. Raja bermimpi tentang tujuh sapi betina yang gemuk yang dimakan
oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus. Raja juga bermimpi tujuh tangkai
gandum yang hijau dan tujuh lainnya yang kering. Raja mencari penakwil
mimpi. Akhirnya teman Yusuf yang sudah bebas menjadi teringat kepada
Yusuf yang ahli dalam menakwilkan mimpi. Akhirnya di antarlah Yusuf ke
hadapan raja. Setelah raja menyampaikan mimpi dan permintaan tafsir
atas mimpinya.
Akhir drama perjulanan Yusuf adalah ketika Yusuf menjadi pejabat negara
yang bertangung jawab terhadap pengendalian ekonomi nasional. Orang-
orang dari negeri di luar Mesir berdatangan ke Mesir untuk mendapatkan
bantuan. Yusuf mengetahui ketika ayah, ibu, dan 11 saudaranya termasuk
bagian dari rombongan yang hadir ke Mesir untuk memperoleh bantuan.
Dengan cara berliku, akhirnya rombongan orangtua sampai di istana
Yusuf. “Dan dia menaikkan kedua orangtuanya ke singgasananya. Dan
mereka semua tunduk bersujud kepadanya. Dan dia (Yusuf) berkata: ‘Inilah
takwil mimpiku yang dulu itu. Dan sesungguhnya Tuhanku telah menja-
dikannya kenyataan” (QS Yusuf 12: 100). Mimpi Yusuf yang menjadi
kenyataan adalah matahari (yang adalah ayahnya), bulan (yang adalah
ibunya), dan 11 bintang (sebelas saudaranya) datang kepadanya dalam
posisi menghadap kepada pemegang amanat nasional.
Dari rangkaian cerita yang luar biasa ini, dapat ditangkap ciri-ciri resi-
liensi yang dimiliki Yusuf.
Suroso dan Muntini adalah pasangan istri yang resilien. Mereka tinggal
sebagai pasangan suami istri di sebuah desa di Mojokerto. Takdir demi
takdir harus mereka jalani. Anak-anak yang diamahkan kepada mereka
sebagian berpulang keharibaan Allah dengan cara yang berat, yaitu melalui
kecelakaan. Pasangan hidup mereka sebelumnya juga meninggal dalam
usia muda. Sekalipun berkali-kali dirundung malang, namun mereka terus
bertekad untuk mendukung anak-anak yang masih dipercayakan kepada
mereka dengan penuh kesungguhan agar sukses hidup dunia dan akhirat.
Sebelum menikah dengan Muntini, Suroso adalah suami dari Siti Rodiah.
Ketika bersama Siti, Suroso bekerja sebagai pedagang roti di pasar.
Suatu hari malang tak dapat ditolak. Dua anak mereka yang sedang bermain
di rumah tetangga mengalami kecelakaan. Entah apa sebabnya truk tidak
terkendali dan menyasar ke rumah tetangga rumah mereka yang kebetulan
berada di jalan besar, jalan negara yang menghubungkan Surabaya,
Mojokerto, hingga Yogya. Dua anak balita berada di depan rumah tersebut.
Anak pertamanya (laki-laki) terluka parah, namun bertahan hidup. Ada
bekas goresan besar di jidatnya yang dibawanya hingga meninggal dunia
pada usia lebih kurang 40 tahun. Anak keduanya (perempuan) meninggal
di lokasi dalam kondisi yang mengenaskan. Peristiwa itu belum berakhir.
Beberapa saat berikutnya, istri Suroso dikabarkan sakit yang berat. Istri
yang dicintainya kembali keharibaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Peristiwa berat ini dihayati Suroso sebagai ujian dari Tuhannya. Manusia
boleh merencanakan, Tuhan yang menentukan. Kesedihan yang penuh
kepedihan harus dijalani. Hanya kepada Tuhan diri dipasrahkan.
Tak lama kemudian, sang kakak kandung Suroso, Muhadi namanya, sakit-
sakitan dan akhirnya meninggal dunia. Sang kakak sebenarnya telah
tampak kemoncerannya. Dalam usia 19 tahun sudah terpilih sebagai
sekretaris desa. Jabatan yang diemban hingga akhir hayatya dalam usia
sekitar 35 tahun.
Sang kakak meninggalkan seorang istri yang bernama Muntini. Sang kakak
ipar perempuan kini harus menanggung empat anak yang semuanya masih
anak di bawah umur 10 tahun. Para sesepuh memberi nasihat kepada
Suroso agar mau menjalani apa yang disebut turun ranjang. Mereka
menasihati agar Suroso bertanggung jawab atas keponakan-keponakannya
dengan cara menikahi ibu mereka. Dan, terjadilah pernikahan itu.
Suami istri Suroso dan Muntini bekerja sama dalam mengabdi kepada
Allah swt, mengasuh anak, mengelola tanah pertanian di sawah dan
kebun, serta hidup bermasyarakat. Suroso lebih banyak mengolah sawah
Dari perkawinan mereka, lahir lima orang anak. Ketika pasangan ini baru
memiliki 3 anak, ada sebuah kepedihan yang terjadi. Suatu saat, ketika
semuanya berjalan baik-baik saja, Suroso menggali tanah untuk dijadikan
tempat sampah. Kebiasaan orang-orang desa pada masa itu adalah sampah
dimasukkan ke dalam lubang dan sesudah penuh lubang itu ditutup
dengan tanah hasil galian lubang berikutnya. Suroso tidak berpikir bahwa
tempat sampah bisa sangat berbahaya untuk anak-anaknya.
Setelah itu, lahirlah anak keempat dan kelima dari pernikahan tersebut.
Semua anak tumbuh sehat. Sekolah di sekolah agama saat sekolah dasar
dan sekolah menengah pertama dan mengambil sekolah negeri ketika di
SMA dan mahasiswa. Prestasi anak-anak mereka umumnya baik, bahkan
ada yang sangat baik. Anak-anak juga tumbuh keberagamaannya dan
akhlaknya. Tiap hari anak-anak berlatih dan memelihara ngajinya, baik
ngaji al-Qur’an, hadis nabi, maupun kitab kuning, di masjid atau di tempat
guru ngaji.
Sang ibu, Muntini, dan sang ayah tiri sekaligus pamannya, lagi-lagi
merasakan duka. Putranya yang telah mekar dan siap berkarya terbaik
ternyata dipanggil Allah dalam usia yang masih muda, belum berusia 35
tahun.
Duka Muntini belum juga berakhir. Anak pertamanya, Suyanto (45 tahun),
yang mengalami kecelakaan tersetrum listrik sebelum ia berangkat haji
Nicholas James Vujicic atau yang lebih dikenal Nick Vujicic adalah seorang
motivator dunia yang lahir di Melbourne pada tanggal 4 Desember
1982. Nick, sapaannya, lahir tanpa memiliki dua lengan dan dua kaki.
Kondisi langka ini dalam dunia medis dikenal dengan istilah tetra-amelia
syndrome. Melansir dari laman Genetics Home Reference U.S. National
Library of Medicine, tetra-amelia syndrome ditandai dengan tidak adanya
tungkai pada keempat anggota tubuh sehingga menyebabkan malformasi
pada bagian tubuh, seperti wajah, kepala, sistem saraf, jantung, tulang
belakang, dan genitalia. Pada banyak kasus paru-paru penderitanya sulit
berkembang sehingga menyebabkan kesulitan dan ketidakmampuan
dalam bernafas. Karena penderita tetra-amelia syndrome memiliki masalah
kesehatan serius membuat beberapa penderitanya meninggal tidak lama
setelah lahir dan beberapa masih bisa melanjutkan hidup, salah satunya
Nick Vujicic.
Dalam sebuah tulisan yang dirilis pada tanggal 29 Juli 2016 dalam situs
Fatherly.com berjudul “My son was born with no arms or legs and it’s
nothing like you’re thinking”, Boris Vujicic menceritakan pengalamannya
dalam membesarkan Nick Vujicic. Boris berusaha memahami bagaimana
kondisi Nick dengan segala keterbatasannya. Boris menyadari bahwa
anaknya berjuang bahkan untuk mengangkat tubuhnya. Boris melihat
tubuh Nick berbaring di lantai, kemudian menguatkan dirinya dengan
meletakkan dahinya di atas karpet dan melengkungkan punggungnya
sampai Nick bisa menggeser tubuh bagian bawahnya ke depan sehingga
perlahan bisa mengangkat tegak tubuhnya sendiri. Melihat hal itu Boris
dan istrinya menyadari bahwa untuk tidak berfokus pada kelemahan
dan keterbatasan, namun fokus pada perjuangan dan memberi harapan
kepada Nick.
Boris dan istrinya meragukan bahwa Nick bisa berguling, duduk, atau
berdiri dengan kondisinya ketika bayi. Namun keraguan tersebut salah
dan Nick bisa melakukan semua itu seperti anak normal pada umumnya.
Boris mengungkapkan bahwa sejak kecil dia sangat tersentuh ketika Nick
menceritakan mimpi-mimpi dan harapannya. Salah satu keinginannya
adalah bisa bermain sepak bola bersama anak-anak lain ketika kecil. Ketika
dewasa Nick bahkan menceritakan keinginannya untuk berselancar,
skydiving, dan snowboarding. Perjuangan Boris dalam membesarkan Nick
dituliskan dalam bukunya yang berjudul “Raising The Perfectly Imperfect
Child: Facing Challenges With Strength, Courage, and Hope”.
Ibu Mawar memiliki seorang suami dan anak laki-laki semata wayang.
Kejadian bermula ketika suami ibu Mawar mengalami kecelakaan di mana
suaminya ditabrak oleh sepeda motor di jalan. Setelah kejadian tersebut
suami ibu Mawar hanya dirawat di rumah. Akan tetapi, tiga hari kemudian
suami ibu Mawar dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya semakin
memburuk. Suami ibu Mawar meninggal dunia tidak lama setelah dirawat
di rumah sakit. Ibu Mawar merasa terpukul mengingat kepergian suaminya
yang begitu cepat dan mengingat luka yang dialami suaminya dirasa tidak
begitu parah. Kematian mendadak suami ibu Mawar membuat pihak
rumah sakit memutuskan untuk melakukan proses pemakaman sesuai
dengan protokol Covid-19. Hal ini membuat ibu Mawar merasa semakin
terpukul melihat suaminya dimakamkan seusai protokol Covid-19.
Pihak rumah sakit kemudian melakukan rapid test kepada ibu Mawar dan
anaknya walaupun tidak menunjukkan gejala-gejala Covid-19. Hasil dari
rapid test adalah positif dan membuat ibu Mawar semakin terpukul dengan
kenyataan yang harus diterimanya. Ibu Mawar dan anaknya kemudian
diminta pihak rumah sakit untuk melakukan karantina mandiri di rumah.
Kondisi ini membuat ibu Mawar merasa diasingkan di saat kondisinya
masih berduka. Beberapa hari kemudian pihak Puskesmas setempat
melakukan tes SWAB dan hasilnya menunjukkan bahwa ibu Mawar dan
anaknya positif Covid-19 dengan status orang tanpa gejala (OTG). Kondisi
ini membuat ibu Mawar tidak bisa berinteraksi secara langsung dengan
kerabat atau tetangga di sekitar rumahnya di tengah duka yang masih
Ibu Mawar dan anaknya tanpa berpikir panjang mengiyakan saran dari
pihak Puskesmas untuk menjalani isolasi di balai karantina. Aktivitas-ak-
tivitas di balai karantina dilakukan secara bersama dengan pasien lain
yang menjalani isolasi, seperti olahraga bersama, berjemur di bawah sinar
matahari setiap pagi, ruang terbuka agar sesama pasien bisa berinteraksi
satu sama lain, dan tinggal di ruangan bersama tanpa dipisah. Ibu Mawar
mengungkapkan kondisi di balai karantina membuatnya semakin membaik
dibandingkan menjalani isolasi mandiri di rumah karena kesehatan dan
kondisi psikologisnya menjadi lebih diperhatikan sehingga memban-
tunya dalam proses penyembuhan. Hal ini dikarenakan ibu Mawar tidak
merasakan kesepian dan bisa berinteraksi secara langsung dengan pasien
lain sehingga merasa tidak sendiri dalam menjalani isolasi.
Agreeableness atau kebaikan hati (juga dapat disebut dengan social adapt-
ability atau social likability) adalah ciri kepribadian yang ditandai dengan
individu yang ramah, mudah mengalah, menghindari konflik, dan memiliki
kecenderungan untuk mengikuti orang lain. Individu yang memiliki tingkat
kepribadian agreeableness yang tinggi digambarkan sebagai individu yang
penyayang, gemar membantu, dan mudah memaafkan.
Altruism adalah ciri kepribadian yang ditandai oleh sikap dan perilaku
murah hati dan membantu orang lain
Glosari 117
Anxiety atau kecemasan adalah kekhawatiran yang kurang jelas atau
kurang berdaasar.
Depression atau depresi adalah keadaan patah hati atau putus asa yang
disertai oleh melemahnya kepekaan terhadap stimuli tertentu, pengu-
rangan aktivitas fisik atau mental dan kesukaran dalam berpikir.
Glosari 119
fikasi perasaan-perasaan tersebut, dan menggunakannya dalam memandu
proses berpikir dan bertindak terhadap sesuatu.
Modesty adalah ciri kepribadian yang ditandai oleh sikap dan perilaku
sederhana dan rendah hati
Glosari 121
Openness to experience atau terbuka terbuka terhadap pengalaman
adalah ciri kepribadian yang merujuk pada kesediaan melakukan penye-
suaian terhadap situasi atau ide yang baru. Hal ini ditandai dengan
individu yang mudah bertoleransi, cenderung lebih mudah menyele-
saikan masalah karena terbuka terhadap pengalaman baru, kreatif, fokus,
mampu menyerap informasi, serta mampu untuk waspada pada berbagai
perasaan, pemikiran, dan impulsivitas.
Parenting style atau pola asuh orangtua adalah sikap atau perilaku
orangtua terhadap anak dengan mengembangkan aturan-aturan dan
mencurahkan kasih sayang kepada anak. Pola asuh ditandai dengan
adanya pemenuhan kebutuhan anak oleh orangtua, baik kebutuhan fisik
(makan, minum, dan sebagainya), kebutuhan psikologis (rasa aman, kasih
sayang, perhatian, dan sebagainya), dan mengajarkan norma-norma atau
nilai-nilai yang ada di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan
lingkungan di mana ia tinggal.
Psikologi adalah kajian ilmiah tentang jiwa dan perilaku manusia yang
dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia
Resiliency process, yaitu proses koping dengan stresor, kondisi yang tidak
menyenangkan, perubahan, atau kesempatan dalam berperilaku yang
menghasilkan identifikasi, pertahanan, dan mendukung faktor protektif.
Glosari 123
bahwa individu mampu memecahkan masalah yang dialami dan mencapai
kesuksesan.
Self-esteem atau harga diri yaitu rasa harga diri; kesan seseorang mengenai
dirinya yang dianggap baik.
Stress coping atau koping stres adalah proses di mana individu berusaha
untuk mengatasi atau mengurangi stres
Strength adalah kemampuan individu untuk pulih dan menjadi lebih kuat
setelah mengalami kemunduran dan pengalaman masa lalu.
Trust adalah ciri kepribadian yang ditandai oleh rasa percaya kepada
orang lain
A
Academic resilience xx
Agreeableness xx
Akhlak
Akidah
American Psychological Association (APA)
Anger hostility
Anxiety
Autonomy support
B
Big five personality traits
Brief Resilience Scale (BRS)
C
Capability enhancement
Capacity building
Caregiver climate
Caregiver involvement
Caregiver mediation strategies
Causal analysis xx
Child and Youth Resilience Measure (CYRM-28)
Commitment
Commucative coping
Community resilience
Composure
Confidence
Conjoint Community Resiliency Assessment Measure (CCRAM)
Connor and Davidson
Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC)
Control
Conscientiousness
Covid 19
Indeks 125
D
d’Haenens, Vandoninck, dan Donoso
Daily non-traumatic stressors
Depression
Digital skills and attitude
E
Empathy
Emotional intelligence
Emotional regulation
Equanimity
Existential aloneness
Extraversion
F
Familiy resilience
Family Resilience Assessment Scale (FRAS)
Fatalistic or passive coping
G
Ganor dan Lavy
Gratitude
H
Hardiness
I
Ibadah
Ihsan
Ilmu
Impulse control
Impulsiveness
Individual differences
Innate Resilience
Insecure
M
Martin dan Mash
Meaningfulness
O
Online resilience
Openness to experience
Optimism
P
Parent Involvement and Autonomy Support Scale
Parenting style
Passive coping
Persistence
Person-focused models
Perseverance
Proactive coping
Przybylski, Mishkin, Shotbolt, dan Linington
Psikologi
R
Reaching out
Reivich dan Shatte
Religiosity
Resilience Scale (RS)
Resilience Scale for Adults (RSA)
Resiliensi
Resilient qualities
Resiliency process
S
Schizophrenia
Self actualization
Self consciousness
Self efficacy
Self esteem
Self reliance
Sixbey
Snyder and Lopez
Indeks 127
Social causation
Social selection
Stress
Stress coping
Strength
T
Tenacity
The Academic Resilience Scale (ARS-30)
U
Unconditional regard
Ungar and Liebenberg
V
Variable-focused models
Vulerability
W
Wagnild dan Young
Walsh
Warmth
World Health Organization (WHO)
Y
Yu dan Zhang
BIODATA PENULIS
Fuad Nashori adalah sebuah nama yang begitu lekat dengan psikologi
Islam. Ayah lima anak ini menyelesaikan pendidikan S1 Psikologi (UGM),
S2 Akidah dan Filsafat Islam (UIN Yogya), S2 Psikologi Sosial (UGM),
dan S3 Psikologi Sosial (Unpad). Pada tahun 2003-2011, pendiri Asosiasi
Psikologi Islam ini diamanati menjadi Ketua Umum Pengurus Pusat
Asosiasi Psikologi Islam periode pertama dan periode kedua (2003-2011).
Pada tahun 2011-2015, 2015-2020, 2020-2024 diamanati sebagai Wakil
Ketua Dewan Pakar Asosiasi Psikologi Islam Himpsi. Selain itu, pada tahun
2006-2010, 2014, 2018-2022, aktivis Islam ini diamanati sebagai dekan
Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia.
Pada tahun 1995 hingga sekarang, menjadi Direktur Yayasan Al-Arkham
Mojokerto. Pada tahun 2015-2022, diamanati sebagai Presiden Inter-Is-
lamic University Conference on Psychology Forum (IIUCP-Forum).
Sehari-hari Cak Fuad bekerja sebagai dosen tetap program Studi Psikologi
Profesi (S2) Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII, di samping
kegemarannya menulis, meneliti, dan menonton bola. Di sela-sela