Anda di halaman 1dari 145

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/351283333

Psikologi Resiliensi

Book · April 2021

CITATIONS READS

0 1,158

2 authors:

Fuad Nashori Iswan Saputro


Universitas Islam Indonesia Universitas Islam Indonesia
285 PUBLICATIONS   524 CITATIONS    9 PUBLICATIONS   12 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Fuad Nashori on 03 May 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Psikologi Resiliensi

Penulis:

Dr. H. Fuad Nashori, M.Si., M.Ag.,


Psikolog
Iswan Saputro, S.Psi., M.Psi.,
Psikolog

Penerbit:

2021
Psikologi Resiliensi

Penulis: Dr. H. Fuad Nashori, M.Si., M.Ag., Psikolog


Iswan Saputro, S.Psi., M.Psi., Psikolog

©2020 Penulis
Hak cipta dilindungi Undang-Undang.
Dilarang memperbanyak atau memindahkan seluruh atau sebagian
isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronik ataupun
mekanik termasuk memfotokopi, tanpa izin dari Penulis.

Ukuran : 16 cm x 23 cm
Jumlah Halaman: x + 134

Cetakan I
April 2021 M / Ramadhan 1442 H

ISBN : 978-602-450-590-5
E-ISBN : 978-602-450-591-2 (PDF)

Penerbit:

Kampus Terpadu UII


Jl. Kaliurang Km 14,5 Yogyakarta 55584
Tel. (0274) 898 444 Ext. 2301; Fax. (0274) 898 444 psw 2091
http://gerai.uii.ac.id; e-mail: penerbit@uii.ac.id

Anggota IKAPI, Yogyakarta


Kata Pengantar

Alhamdulillah. Syukur alhamdulillah, akhirnya buku yang berjudul


Psikologi Resiliensi.

Buku ini lahir dari ruang perkuliahan mata kuliah Psikologi Positif
pada Program Studi Psikologi Profesi (S2) Fakultas Psikologi dan
Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia. Salah satu topik
yang selalu menarik dibahas adalah resiliensi. Resiliensi sendiri
merupakan salah satu topik dalam gerakan psikologi positif yang
mulai dihidupkan oleh para ahli psikologi sejak akhir dekade
1990-an. Resliensi ini menjadi bukti sejarah kekuatan manusia
menghadapi ketidakpastian dan pasang surut kehidupan. Selain itu,
topik ini selalu hadir menjadi topik yang menarik ketika mahasiswa
Magister Psikologi Profesi (S2) memilih topik tesis. Hingga kini, topik
resiliensi adalah salah satu topik psikologi yang paling diminati oleh
mahasiswa Magister Psikologi Profesi.

Tidak hanya terkait dengan matakuliah dan tesis, topik ini juga
menarik perhatian kami berdua. Kebetulan penulis pertama buku
ini, saya -Fuad Nashori-, pernah melakukan penelitian bersama
peneliti kedua, yaitu Iswan Saputro. Tulisan tersebut masuk
dalam Jurnal Psikologi Islam (2017) dengan judul Resiliensi
Mahasiswa Ditinjau dari Pemaafan dan Sifat Kepribadian
Agreeableness.

Kami berdua sudah berkolaborasi dalam penulisan artikel


dengan topik yang menjadi topik andalan penulisan
pertama, yaitu pemaafan. Syukur alhamdulillah tulisan
kami yang berjudul Forgiveness among javanese ethnicity
mancanegari subculture: A case study in Indonesia, dimuat
salah satu jurnal internasional bereputasi.

Terkait pemaafan, penulis pertama buku ini, pernah


mempublikasi buku Psikologi Pemaafan (Sa iria, 1995).
Selanjutnya, terkait dengan agreaableness penulis pertama juga
sudah menerbitkan buku v
agreeableness yang menceritakan berbagai pengalaman kebaikan
manusia. Judulnya Orang-orang Baik (Pro-You, 2021).

Tentu saya berharap dapat menulis buku yang terkait resiliensi.


Kali ini kami berkolaborasi. Alhamdulillah naskah buku Psikologi
Resiliensi dapat diselesaikan. Tentu kami berharap akan muncul
beragam manfaat melalui buku ini.

Tiada gading yang tak retak. Pastinya banyak bagian buku ini yang
punya kekurangan. Berbagai masukan dan kritik yang membangun
dari para pembaca akan sangat bermanfaat.

Yogyakarta, Desember 2020

vi
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................v
Daftar Isi....................................................................................vii
Daftar Gambar..........................................................................ix
1 Pengantar Psikologi Resiliensi..........................................1
1.1 Pentingnya Resiliensi dalam Hidup Manusia.............. 1
1.2 Kajian Itu Bernama Psikologi Resiliensi........................ 2
1.3 Pentingnya Resiliensi Saat Pandemi.............................. 5
1.4 Daftar Pustaka...................................................................... 8
2 Definisi, Komponen, dan Proses Resiliensi......................11
2.1 Definisi Resiliensi................................................................ 11
2.2 Tiga Aliran dalam Memahami Resiliensi...................... 12
2.3 Komponen-komponen Resiliensi ................................... 13
2.4 Proses Terbentuknya Resiliensi....................................... 16
2.5 Daftar Pustaka ..................................................................... 22
3 Pengukuran Resiliensi.......................................................27
3.1 Resilience Scale (RS)............................................................. 27
3.2 Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC)................. 29
3.3 Brief Resilience Scale (BRS)................................................ 31
3.4 Child and Youth Resilience Measure (CYRM-28)........... 32
3.5 Resilience Scale for Adults (RSA)...................................... 33
3.6 Daftar Pustaka...................................................................... 34
4 Resiliensi dalam Konteks Khusus.....................................37
4.1 Resiliensi Keluarga.............................................................. 37
4.2 Resiliensi Komunitas & Negara........................................ 42
4.3 Resiliensi Akademik............................................................ 47
4.4 Resiliensi Daring.................................................................. 51
4.5 Daftar Pustaka...................................................................... 58

vii
5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi................61
5.1 Usia dan Gender................................................................... 61
5.2 Status Sosial Ekonomi........................................................ 62
5.3 Karakteristik Kepribadian................................................ 65
5.4 Religiusitas............................................................................ 68
5.5 Koping Stres.......................................................................... 69
5.6 Efikasi diri (self-efficacy).................................................... 70
5.7 Kecerdasan emosi................................................................ 71
5.8 Optimisme............................................................................. 73
5.9 Kebersyukuran..................................................................... 74
5.10 Gaya pola asuh..................................................................... 74
5.11 Dukungan Sosial.................................................................. 77
5.12 Daftar Pustaka...................................................................... 78
6 Resiliensi dalam Perspektif Islam....................................85
6.1 Pengantar Perspektif Islam............................................... 85
6.2 Definisi dan Ciri-ciri Kelapangdadaan........................... 88
6.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kelapangdadaan.................................................................. 90
6.4 Ramadhan Sebagai Sarana Latihan Melapangkan
Dada ....................................................................................... 92
6.5 Kelapangdadaan Mahasiswa-Santri
dan Mahasiswa-reguler. ................................................... 97
6.6 Daftar Pustaka...................................................................... 98
7 Kisah-kisah Resiliensi Klasik dan Masa Kini...................101
7.1 Nabi Yusuf dan Iri Dengki Saudara-saudaranya........ 101
7.2 Keluarga Suroso dan Kesabarannya atas
Kematian Aaak-anaknya .................................................. 106
7.3 Nick Vujicic dan tetra-amelia syndrome.................... 110
7.4 Mawar, Pasien Positif Covid-19........................................ 113
Glosari........................................................................................117
Indeks.........................................................................................125
BIODATA PENULIS.....................................................................129

viii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Person-focused model.....................................................18

ix
1

Pengantar Psikologi Resiliensi

1.1 Pentingnya Resiliensi dalam Hidup Manusia

Ide terkait resiliensi individu dalam menghadapi kondisi yang tidak


nyaman sudah ada sejak lama, seperti dalam kitab suci, mitos, cerita rakyat,
seni, dan literatur di berbagai agama, budaya, dan berbagai negara yang
menggambarkan sosok pahlawan. Orang-orang besar di masa lalu, seperti
Nabi Ibrahim yang lahir dari keluarga penyembah berhala, Nabi Musa
yang sejak bayi sudah diburu Raja Fir’aun, Nabi Yusuf yang sejak kecil
telah dimusuhi saudaranya, Nabi Muhammad yang yatim dan dimusuhi
oleh orang-orang satu suku bangsanya adalah contoh orang-orang yang
sukses melewati berbagai kesulitan, tantangan, permusuhan, dan tetap
gigih menggapai cita-citanya. Contoh-contoh lain bertebaran di berbagai
agama, budaya, dan negara.

Di awal perkembangan psikologi pada abad ke-19 dan awal abad ke-20,
terdapat ketertarikan dalam memahami adaptasi individu terhadap
lingkungan, baik dari teori seleksi alam hingga teori psikoanalisis. Pada
abad ke-20 banyak studi yang membahas konstruk psikologi, seperti
motivasi, kompetensi, dan self-efficacy yang berfokus pada aspek positif
dalam perkembangan manusia. Akan tetapi, pada abad ke-20 juga secara
kontras banyak kajian terkait anak dan remaja dengan masalah atau
lingkungan yang berbahaya di mana fokus kajian berada pada analisis
risiko dan intervensi terhadap simptom (Snyder & Lopez, 2002).

Lois Murphy, pada tahun 1962, menyatakan penentangannya terhadap


banyaknya kajian yang berfokus pada sisi negatif anak dengan masalah
tanpa mempertimbangkan adanya individual differences. Satu dekade
kemudian, kajian sistematis terkait resiliensi hadir dalam ilmu psikologi

Pengantar Psikologi Resiliensi 1


dan banyak dilakukan dari kasus anak dengan masalah dan psikopa-
tologi. Para psikolog dan psikiater tertarik untuk mengkaji anak dengan
risiko permasalahan yang serius sepanjang waktu, seperti adanya faktor
keturunan secara genetik (misalnya parkinson, skizofrenia), permas-
alahan kehamilan (misalnya kelahiran prematur), atau kondisi lingkungan
mereka (misalnya kemiskinan). Observasi yang dilakukan menunjukkan
bahwa anak-anak yang berada pada permasalahan yang memiliki risiko
tinggi tetap mampu berkembang dengan baik. Hal ini kemudian menjadi
acuan dalam memahami fenomena “mampu beraktivitas dengan baik di
tengah risiko yang ada” (Snyder & Lopez, 2002).

Berdasarkan publikasi yang telah dilakukan sebelumnya tentang resiliensi


terkait fenomena tersebut, keberhasilan anak menghadapi hidup dengan
risiko tinggi biasa dikenal dengan beberapa istilah, seperti “stress-re-
sistant”, “invulnerable”, dan “resilient”. Pada akhirnya “resilient” adalah
istilah yang biasa dan banyak digunakan dalam menggambarkan kondisi
individu dengan kondisi yang kokoh menghadapi beragam kesulitan ini.

1.2 Kajian Itu Bernama Psikologi Resiliensi

Kajian ini kita beri nama psikologi resiliensi. Psikologi adalah kajian ilmiah
tentang jiwa dan perilaku manusia (Nashori, 2008) yang dimaksudkan
untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Kualitas hidup adalah
kondisi psikofisik yang menunjukkan berkembang optimalnya potensi-po-
tensi manusia, baik yang bersifat fisik, psikis, sosial, dan spiritual. Psikologi
resiliensi adalah kajian ilmiah tentang jiwa dan perilaku melenting
yang mengantarkan individu untuk terus bertumbuh kembang kualitas
hidupnya.

Sebagai sebuah kajian ilmiah, psikologi memiliki sejumlah ciri, yaitu


objektif, rasional, empiris, dan etis. Sebagai sebuah kajian yang objektif,
psikologi menelaah objek-objek yang dapat diukur. Psikologi sendiri
berkembang sangat kuat menjadi ilmu yang didukung oleh penguku-
ran-pengukuran ilmiah. Bahkan salah satu bidang kajian psikologi adalah
psikometri. Objek-objek itu digambarkan oleh para ahli dalam ruang
lingkup kajian tertentu. Terkait dengan resiliensi, ruang lingkup resiliensi
tercermin dari faktor-faktor yang membentuk konstruk psikologi resil-

2 Psikologi Resiliensi
iensi. Ini sebagaimna digambarkan oleh Campbell-Sills dan Stein (2007
yang mengkonstruk resiliensi dengan aspek hardiness (tahan banting) dan
persistent (kegigihan).

Rasional berarti kajian psikologi pasti melibatkan adanya penalaran.


Istilah populer yang biasa diucapkan ilmuwan dan praktisi psikologi
adalah dinamika psikologis. Dinamika psikologis adalah bentuk penalaran
yang digunakan ahli psikologi untuk menjelaskan proses berlangsungnya
perilaku manusia. Dinamika psikologis menggambarkan proses mental
dan bahkan fisiologis terkait bagaimana suatu sebab menghasilkan akibat.
Sebuah sebab dapat menghasilkan sejumlah akibat. Sejumlah sebab
dapat menghasilkan suatu akibat. Dalam beberapa dekade ini, salah satu
penalaran yang banyak diacu ahli-ahli psikologi adalah neuro-science.
Dalam penjelasan neuro-science, hal yang terpenting adalah dilibatkannya
penejalasan-penjelasan yang bersifat fisiologis, seperti kondisi alpha-be-
ta-teta, kortisol, otak kiri dan otak kanan, dan sebagainya. Tentu ini hanya
merupakan salah satu penalaran di antara berbagai cara penalaran yang
lain.

Empiris menunjukkan bahwa kajian yang dilakukan ahli psikologi


melibatkan realitas yang terjadi dalam kehidupan individu. Pemahaman
atas suatu kondisi tidak hanya didasarkan pada dalil-dalil keilmuan atau
keagamaan yang seringkali menjadi pakem. Pemahaman atas kondisi
individu tidak hanya berbasis pada rasionalitas. Sebagai contoh, rasion-
alitas menunjukkan bahwa kondisi ekonomi yang berat memudahkan
individu melakukan bunuh diri. Namun, fakta empiris menunjukkan
bahwa kondisi ekonomi yang berat dapat direspons individu secara positif.
Mereka justru menjadi lebih kuat dengan kondisi ekonomi yang berat
itu, tergerak hatinya untuk membantu orang lain, dan bahkan menja-
dikan dirinya bekerja untuk membantu orang lain bertahan hidup dengan
melakukan perbaikan kondisi sosial-ekonomi masyarakatnya.

Etis berarti bahwa kajian psikologi ini dilakukan sesuai dengan rule of
conduct yang disepakati oleh ilmuwan dengan mendasarkan diri pada nilai-
nilai agama dan nilai-nilai kultural yang berkembang dalam masyarakat.
Nilai agama dan nilai budaya menggariskan tentang beberapa aturan
penting dalam bantuan psikologis, seperti respek terhadap orang lain,
menjaga kerahasiaan informasi yang sejak awal dikomitmenkan bersifat

Pengantar Psikologi Resiliensi 3


konfidensial, menyebarkan informasi setelah mengecek kebenarannya,
dan seterusnya. Salah satu rule of conduct dalam penelitian ilmiah di bidang
psikologi adalah publikasi yang berpotensi meresahkan masyarakat. Suatu
riset empiris boleh jadi berhasil memotret kondisi masyaarakat yang
bersifat negatif, namun ketika hendak mempublikasikannya, peneliti
perlu mempertimbangkan dampak psikososial yang muncul. Beberapa
hasil penelitian di Indonesia yang pernah bermasalah secara etis adalah
97,3% mahasiswi suatu kota sudah tidak perawan lagi, dua dari tiga lelaki
di suatu kota pernah berselingkuh, hampir 50% laki-laki di suatu negara
pernah memiliki pengalaman homoseksual.

Pembahasan tentang resiliensi tidak hanya berfokus pada pengembangan


individu. Seiring berjalannya waktu konsep resiliensi berkembang pada
kajian yang lebih beragam dan spesifik. Misalnya kajian tentang resiliensi
akademik, yaitu bagaimana seorang siswa mampu bertahan dan bangkit
di tengah tanggung jawab dan tuntutan akademik. Level kesulitan dan
tanggung jawab yang semakin meningkat di setiap jenjang pendidikan
membutuhkan adaptasi dan kompetensi untuk bertahan dan menyele-
saikan tugas yang ada. Meningkatnya kualitas pendidikan diikuti dengan
penggunaan teknologi sebagai media dalam pembelajaran. Penggunaan
teknologi dan internet dalam proses pembelajaran menjadi tantangan
baru bagi setiap orang untuk beradaptasi.

Berbagai tindakan merugikan atau dampak negatif dari penggunaan


teknologi seringkali juga mempengaruhi kondisi psikologis. Resiliensi
daring sebagai faktor protektif dalam bertahan dan bangkit dari kesulitan
yang ditemui selama menggunakan teknologi secara daring adalah isu
yang juga perlu diteliti lebih lanjut.

Kemampuan individu bangkit dari kesulitan juga akan semakin terbantu


ketika mendapatkan dukungan dari kelompok, masyarakat, dan bahkan
unit terdekat, yaitu keluarga. Keluarga adalah sistem pertama dari
setiap orang. Kesulitan yang dialami individu bisa jadi hadir dari keti-
dakmampuan keluarga dalam memberikan dukungan, beradaptasi, dan
bertumbuh ketika mendapatkan masalah. Kemampuan dan ketahanan
keluarga untuk bangkit dari keterpurukan atau masalah disebut dengan
resiliensi keluarga. Lebih lanjut pada sistem yang lebih besar, sebuah
komunitas, kelompok, dan negara diharapkan juga mampu memiliki

4 Psikologi Resiliensi
kekuatan kolektif dalam menghadapi krisis yang skalanya lebih besar. Krisis
skala besar yang dapat terjadi seperti bencana alam, konflik atau perang,
permasalahan ekonomi, dan penyebaran wabah penyakit atau pandemi.

1.3 Pentingnya Resiliensi Saat Pandemi

Pandemi adalah kondisi di mana terjadi penyebaran penyakit secara global


yang ditandai dengan cakupan geografis yang luas. Dampak yang ditim-
bulkan pun tidak hanya pada kondisi ekonomi dan kesehatan, namun juga
berdampak pada kondisi psikologi masyarakat dan tatanan sosial. Oleh
karena itu, bertahan dan bangkit dari segala keterpurukan akibat pandemi
menjadi penentu apakah individu, keluarga, komunitas, dan bahkan
negara mampu resilien atau tidak.

Fenomena resiliensi pada masa kini dapat dijelaskan melalui fenomena


yang terjadi pada akhir 2019 yang dikenal sebagai novel coronavirus disease
(Covid-19). Covid-19 awalnya dikenal dengan istilah “2019 Novel Corona-
virus (2019-nCoV) Pneumonia” yang pertama kali ditemukan di Wuhan,
Provinsi Hubei, China pada Desember 2019. Kemudian pada tanggal 7
Januari 2020, Chinese Center for Disease Control (CCDC) mengidentifikasi
bahwa 2019-nCoV bernama Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus
2 (SARS-CoV-2) yang mengarah ke Covid-19. SARS-CoV-2 dapat ditularkan
antar sesama manusia melalui kontak fisik jarak dekat, seperti bersin,
batuk, atau menyentuh benda yang telah terkontaminasi. Individu yang
telah terinfeksi dapat mengalami gangguan pernafasan berat sehingga
membutuhkan perawatan intensif, dan bahkan berakibat kematian.

Pada tanggal 23 Januari 2020, melihat besarnya risiko kesehatan dan


penyebaran akibat Covid-19, pemerintah China menerapkan karantina
wilayah yang ketat pada Wuhan dan sejumlah daerah di China. Kebijakan
karantina ini dimaksudkan untuk mencegah dan mengendalikan epidemi
virus ini. Sejak tanggal 27 Januari 2020 pemerintah China menetapkan
bahwa Covid-19 menjadi kondisi darurat terhadap kesehatan di seluruh
daratan China.

Pada tanggal 30 Januari 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health


Organization) menetapkan bahwa Covid-19 merupakan pandemi dan
isu kesehatan global. Penetapan didasarkan pada fakta bahwa Covid-19

Pengantar Psikologi Resiliensi 5


menunjukkan penyebaran yang mendunia. Pada awal Januari 2020
semua benua telah terkena sebaran virus yang daya sebarnya luar biasa
ini. Pemerintah Indonesia mengumumkan kasus pertama Covid-19 pada
tanggal 2 Maret 2020.

Berdasarkan data yang dirilis oleh WHO per 5 Februari 2021, diketahui
jumlah kasus positif Covid-19 di seluruh dunia mencapai lebih dari 104
juta kasus dan lebih dari 2,2 juta kematian. Kemudian, data yang dirilis
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Indonesia tercatat 1,1 juta
lebih kasus positif dengan kematian lebih dari 31 ribu orang. Pemerintah
Indonesia dalam penanganan dan mencegah penyebaran Covid-19 juga
melakukan sejumlah upaya, seperti pengawasan ketat dalam transportasi
dan Pembatasan Sosial Berskala Besar di sejumlah wilayah di Indonesia.

Covid-19 bukan kali pertama wabah yang menyebabkan kerugian secara


global. Sebelumnya tercatat sejumlah wabah dan pandemi yang tercata
WHO menyerang sejumlah negara, seperti Flu Spanyol, Flu Hongkong, SARS,
Flu Babi (H1N1), Flu Burung (H7N9), Ebola, dan Zika. Qiu, Rutherford, Mao
dan Chu (2017) mengungkapkan selain berdampak pada kesehatan, wabah
atau pandemi juga menimbulkan kriris ekonomi, sosial, keamanan negara
dan keamanan global. Dampak kesehatan yang jelas dapat terlihat dari
angka kematian dari sebuah wabah dikarenakan penyebaran virus yang
relatif cepat. Terganggunya kondisi dan sistem kesehatan suatu wilayah
atau negara juga akan berdampak pada kondisi ekonomi. Dampak ekonomi
yang dirasakan seperti besarnya pengeluaran yang harus dilakukan untuk
mencegah penyebaran, pengobatan, dan keperluan lain dalam penan-
ganan wabah. Dampak ekonomi dari suatu wabah dalam jangka panjang
akan mengganggu kondisi sosial masyarakat, seperti pemutusan hubungan
kerja, sulitnya mencari pekerjaan, proses pendidikan, dan pembatasan
dalam interaksi sosial.

Kompleksnya dampak yang muncul dari suatu wabah juga akan mempen-
garuhi keamanan pada suatu wilayah atau negara. Menurunnya rasa
aman dapat disebabkan oleh adanya kecemasan dari penyebaran virus itu
sendiri, adanya diskriminasi kepada tenaga kesehatan atau orang-orang
dalam pengawasan selama wabah, dan meningkatnya angka kriminalitas
akibat dari tuntutan ekonomi. Sejumlah penelitian juga dilakukan untuk
melihat dampak psikologis dari pandemi Covid-19, yaitu menurunnya

6 Psikologi Resiliensi
kepuasan hidup, meningkatnya kecemasan, stres, gejala depresi, marah,
takut, penolakan, kecemasan publik yang mendorong diskriminasi dan
stigmatisasi (Wang, et al., 2020; Torales, O’Higgins, Castaldelli-Maia &
Ventriglio, 2020; Li, Wang, Xue, Zhao & Zhu, 2020)

Pandemi Covid-19 mempengaruhi aspek psikologis, kondisi fisik,


hubungan sosial, dan kondisi lingkungan. Keempat aspek ini adalah
indikator dari kualitas hidup yang dirumuskan oleh WHO (1998). Kualitas
hidup merupakan persepsi individual terhadap bagaimana posisinya
dalam menjalani hidup, dalam konteks budaya, dan sistem nilai di mana
individu tersebut tinggal serta hubungan terhadap tujuan hidup, harapan,
standar, dan aspek lainnya yang terkait. Baiknya kualitas hidup individu
tidak hanya terbebas dari penyakit atau kekurangan, namun juga adanya
keseimbangan antara fungsi fisik, psikologis, dan sosial. Oleh karena itu,
kondisi pandemi Covid-19 memiliki dampak psikologis yang berbeda bagi
setiap orang tergantung dari kemampuannya beradaptasi dan bangkit dari
masalah yang dirasakan.

Individu yang mampu untuk bangkit kembali dan beradaptasi terhadap


masalah yang dirasakan disebut dengan individu yang resilien. Resiliensi
menjadi penting di tengah pandemi Covid-19 yang telah mempengaruhi
sejumlah aspek kehidupan. Resiliensi terbentuk dari interaksi faktor
internal dan eksternal individu yang menentukan bagaimana ia merespon
suatu masalah dalam hidup. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa
resiliensi memiliki korelasi positif yang signifikan terhadap baiknya
kualitas hidup individu (Nawaz, Malik & Batool, 2014; Bastaminia, Rezai,
Rezai & Tazesh, 2016; Karimirad, Seyedfatemi, Noghani, Hasanpourdeh-
kordi & Barasteh, 2018; Lima, Souza, Storti, Silva, Kusumota & Marques,
2019). Sebaliknya jika resiliensi individu rendah selama pandemi Covid-19
maka akan menurunkan kualitas hidupnya. Rendahnya kualitas hidup
kemudian membuat individu semakin rentan mengalami permasalahan
psikologis lainnya.

Resiliensi dibutuhkan dalam masa pandemi Covid-19 untuk menjaga


kesejahteraan psikologis dan mampu berdaya di tengah keterbatasan
yang ada. Mampu tidaknya individu menjadi resilien ditentukan dari
sejauh mana kemampuan dan kemauan dalam menghadapi masalah yang
ada, seperti kemampuan melakukan penyelesaian masalah yang efektif,

Pengantar Psikologi Resiliensi 7


mengelola emosi dan stres, perasaan optimis dan berpikir positif, mampu
mencari hikmah di tengah situasi sulit, dan yakin atas kemampuan
diri sendiri. Selain itu, karakteristik kepribadian individu juga menen-
tukan seberapa kuat daya lenting atau resiliensi dalam mengadapi suatu
tekanan. Mengingat dampak dan masa pemulihan pandemi Covid-19 yang
berlangsung tidak sebentar sehingga diperlukan faktor dari dalam diri
untuk menjaga kestabilan psikologis.

Lingkungan juga menjadi faktor yang signifikan dalam membantu


individu menjadi resilien. Resiliensi akan semakin kuat ketika individu
mendapatkan dukungan sosial, seperti dukungan informasi, emosional,
dan materi. Jika individu tidak berada atau tidak mendapatkan dukungan
dari lingkungannya, maka akan menghambat individu tersebut menjadi
resilien. Merasa berjuang sendiri tentu lebih sulit jika dibandingkan
dengan berjuang dan bangkit secara bersama-sama. Oleh karena itu,
masa pandemi Covid-19 jika mendapatkan dukungan dan dihadapi secara
bersama akan menguatkan psikologis satu sama lain dan membuat
masyarakat bangkit dari keterpurukan. Dukungan ini akan sangat berarti
tidak hanya bagi masyarakat terdampak, namun para pemangku kepen-
tingan, tenaga kesehatan, dan masyarakat yang masih harus bekerja untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya selama pandemi Covid-19.

1.4 Daftar Pustaka

Bastaminia, A., Rezaei, M. R., Rezai, M. R. & Tazesh, Y. (2016). Resilience and
quality of life among students of Yasouj State University. International
Journal of Research in Humanities and Social Studies.3 (8), 6-11.

Campbell-Sills, L. & Stein, M.B. (2007). Psychometric analysis and refinement


of the Connor-davidson Resilience Scale (CD-RISC): Validation of a
10-item measure of resilience. J Trauma Stress, 20(6),1019-28.
doi: 10.1002/jts.20271.

Karimirad, M. R., Seyedfatemi, N., Noghani, F., Hasanpourdekhordi, A. &


Barasteh, S. (2018). The relationship between resilience and quality of
life in family caregivers of patients with mental disorders. 12 (11), 5-8.

Li, S., Wang, Y., Xue, J., Zhao, N. & Zhu, T. (2020). The impact of COVID-19
epidemic declaration on psychological consequences: A study on

8 Psikologi Resiliensi
active Weibo users. International Journal of Environmental Research
and Public Health. 17, 1-9. doi:10.3390/ijerph17062032

Lima, G. S., Souza, I. M. O., Storti, L. B., Silva, M. M. J., Kusumota, L. & Marques,
S. (2019). Resilience, quality of life and symptoms of depression among
elderlies receiving outpatient care. Revista Latino-Americana de Enfer-
magem, 27.

Nashori, H.F. (2008). Agenda psikologi islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nawaz, A., Malik, J. A. & Batool, A. (2014). Relationship between resilience


and quality of life in diabetics. Journal of the College of Physicians and
Surgeons Pakistas, 24 (9), 670-675.

Qiu, W., Rutherford, S., Mao, A. & Chu, C. (2017). The pandemic and its
impacts. Health, Culture and Society. 9, 1-11.

Synder, C.R. & Lopez, S.J. (2002). Handbook of positive psychology. New
York. Oxford University Press.

Torales, J., O’Higgins, M., Maia, J. M. C. & Ventriglio, A. (2020). The outbreak
of COVID-19 coronavirus and its impact on global mental health. Inter-
national Journal of Social Psychiatry. 1-4.

Wang, C., Pan,R., Wan, X., Tan, Y., Xu, L., Ho, C. S. & Ho, R. C. (2020). Immediate
psychological responses and associated factors during the initial stage
of the 2019 Coronavirus Disease (COVID-19) epidemic among the
general population in China. International Journal of Environmental
Research and Public Health. 17, 1-25. doi: 10.3390/ijerph17051729

World Health Organization (1998). Programme on Mental Health: WHOQOL


User Manual. Division of Mental Health & Prevention of Substance
Abuse: Geneva.

Pengantar Psikologi Resiliensi 9


10 Psikologi Resiliensi
2

Definisi, Komponen, dan Proses


Resiliensi

Sebagaimana objek psikologi lainnya, resiliensi dijelaskan pengertiannya


dan komponen-komponennya secara beragam oleh para ahli. Umumnya
ahli psikologi menjelaskan resiliensi sebagai respon yang positif atas
berbagai kesulitan dan pengalaman negatif yang melanda kehidupan
individu. Namun area pengertiannya dan komponen-komponennya dapat
berbeda satu dengan yang lain. Bagian ini akan menjelaskan berbagai
pengertian resiliensi dari beragam ahli. Juga menjelaskan komponen-kom-
ponen resiliensi menurut berbagai ahli. Di bagian akhir bagian ini
dijelaskan proses resiliensi.

2.1 Definisi Resiliensi

Secara etimologis resiliensi diadaptasi dari kata resilience yang berarti daya
lenting atau kemampuan untuk kembali dalam bentuk semula (Aprilia,
2013). Menurut American Psychological Association (APA), resiliensi adalah
proses adaptasi dalam menghadapi kesulitan, trauma, tragedi, ancaman
atau bahkan sumber-sumber signifikan yang dapat menyebabkan individu
stres (Southwick dkk., 2014). Hal senada juga disampaikan oleh Connor
dan Davidson (2003) yang menyatakan bahwa resiliensi adalah kualitas
kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan. Oleh Wagnild dan
Young (Losoi dkk, 2013), resiliensi didefinisikan sebagai suatu kemampuan
individu untuk pulih kembali dari kondisi yang tidak nyaman dan sebagai
karakteristik kepribadian positif yang meningkatkan kemampuan individu
dalam beradaptasi dan menghadapi emosi negatif dari stres.

Snyder dan Lopez (2002) mengungkapkan bahwa resiliensi merupakan


adaptasi yang baik ketika individu berada di bawah kondisi yang
merugikan atau tidak menyenangkan. Yu dan Zhang (2007) menambahkan

Definisi, Komponen, dan Proses Resiliensi 11


bahwa resiliensi merupakan kemampuan untuk bertahan dan penye-
suaian diri setelah mengalami kejadian yang traumatis. Hal senada juga
dikemukakan oleh Rutten dkk (2013) yang menyatakan bahwa resiliensi
sebagai sebuah proses yang dinamis dan adaptif yang membantu memper-
tahankan kondisi individu atau kembali kekondisi semula dengan cepat
dari kondisi stres atau tertekan.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis merujuk pengertian resiliensi


menurut APA. Resiliensi adalah proses adaptasi dalam menghadapi
kesulitan, trauma, tragedi, ancaman atau bahkan sumber-sumber
signifikan yang dapat menyebabkan individu stres.

2.2 Tiga Aliran dalam Memahami Resiliensi

Richardson (2002) mengemukakan bahwa terdapat tiga aliran tentang


penyelidikan terkait resiliensi. Pertama: Resilient qualities, yaitu deskripsi
fenomenologi terkait kualitas resilien individu dan support systems yang
dapat memprediksi kesuksesan diri dan sosial. Kajian ini berisi tentang
kualitas, modal, atau fakto protektif yang dapat membantu individu
tumbuh melalui kondisi yang tidak menyenangkan (misalnya self-esteem,
self-efficacy, support systems, dan sebagainya).

Kedua: The resiliency process, yaitu proses koping dengan stresor, kondisi
yang tidak menyenangkan, perubahan, atau kesempatan dalam berpe-
rilaku yang menghasilkan identifikasi, pertahanan, dan mendukung faktor
protektif. Luaran dari kajian ini memberikan deskripsi tentang hal yang
mengganggu dan proses reintegratif untuk mendapatkan kualitas resilien.
Model yang diperoleh dapat dilakukan untuk membantu klien dalam
memilih antara reintegrasi resilien, reintegrasi kembali ke dalam zona
nyaman, atau reintegrasi dengan kehilangan.

Ketiga: Innate Resilience, yaitu identifikasi multidisiplin lebih terkait sumber


motivasional dalam individu dan kelompok dan upaya untuk membantu
mengaktivasi dan pemanfaatan sumber-sumber tersebut. Luaran dari
kajian ini dapat membantu klien untuk menemukan dan mengaplikasikan
kekuatan yang dapat mendorong individu kepada self-actualization dan
melakukan resiliensi dalam mengintegrasikan dari gangguan atau perma-
salahan.

12 Psikologi Resiliensi
2.3 Komponen-komponen Resiliensi

Connor dan Davidson (2003) mengemukakan lima aspek yang dapat


membangun resiliensi pada diri individu, yaitu (a) kompetensi personal,
standar yang tinggi dan keuletan, (b) percaya kepada orang lain, memiliki
toleransi pada emosi negatif dan tegar dalam menghadapi stres, (c) pene-
rimaan yang positif terhadap perubahan dan menjalin hubungan yang
aman dengan orang lain, (d) kontrol diri, dan (e) spiritualitas. Pertama,
kompetensi personal, standar yang tinggi, serta keuletan. Para resilien
memposisikan kesulitan, gangguan, atau ancaman sebagai tantangan yang
harus diselesaikannya. Mereka juga mempunyai keyakinan yang kuat
bahwa diri mereka mampu menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.
Kemudian, mereka juga mampu meningkatkan standar atau target yang
harus dicapainya. Hal ini membantu orang-orang yang resilien fokus pada
pengembangan dirinya di balik tantangan atau masalah yang dihadapi.
Para resilien memiliki dorongan untuk terus berkembang yang didukung
dengan keuletan dalam berproses. Keuletan ini membuat mereka berusaha
stabil di tengah terpaan masalah atau ketika bangkit dari keterpurukan.

Kedua, percaya kepada orang lain, memiliki toleransi terhadap emosi negatif
dan tegar dalam menghadapi stres. Ketika menerima berbagai kondisi
negatif yang menimpanya, para resilien berupaya tegar dan memelihara
sikap toleran terhadap kondisi yang dialaminya. Apa yang dialaminya
sebagai kenyataan yang diterimanya. Selain menerima kondisi yang ada,
mereka tetap berupaya mendapatkan dukungan dari orang lain yang
berdaya untuk membantu perbaikan keadaannya. Dukungan dari orang
lain menjadi penting bagi mereka untuk mempercepat bangkit dari keter-
purukan. Dukungan yang dapat diberikan, seperti dukungan emosional,
penghargaan, maupun informasi. Kehadiran orang lain menjadi sumber
kekuatan tambahan dalam berproses menghadapi kesulitan.

Ketiga, penerimaan yang positif dari perubahan dan memiliki hubungan


yang aman. Para resilien menerima kesulitan yang dialaminya dengan
pikiran yang positif. Selalu ada kebaikan dalam keadaan seburuk apapun.
Adanya hikmah atau pembelajaran di balik kesulitan atau perubahan
membuat mereka mampu melihat sesuatu secara berimbang. Mereka
juga punya keyakinan bahwa mereka dapat mengarahkan diri ke penca-
paian tujuan pribadi atau kelompok. Keyakinan ini membuat mereka lebih

Definisi, Komponen, dan Proses Resiliensi 13


percaya dengan diri sendiri dan orang-orang di sekelilingnya. Selain itu,
kuatnya keyakinan dan baiknya relasi yang tercipta membuat mereka
merasa aman (secure) dalam menjalani hidup dan kesulitan yang ada. Rasa
aman mampu memaksimalkan potensi yang ada dalam diri mereka.

Keempat, kemampuan mengontrol diri. Para resilien memiliki kemampuan


mengendalikan emosi mereka, baik saat terpuruk maupun kondisi yang
baik. Emosi negatif yang berlangsung dalam dirinya tetap dikendalikannya
secara baik. Selain itu, mereka bersikap realistis terhadap kemampuan
mengendalikan yang ada dalam diri mereka. Mereka sadar bahwa mereka
tidak selalu mampu mengontrol emosi dalam level yang tinggi.

Kelima, kesadaran akan pengaruh spiritual. Para resilien memiliki


kesadaran bahwa daya yang mereka miliki bersumber dari keimanan
yang ada dalam diri mereka. Dengan keimanan itu, mereka memelihara
optimisme dan melakukan penyesuaian diri hingga dapat menanggapi
kesulitan yang dihadapinya secara positif.

Apa yang disampaikan oleh Connor dan Davidson (2003) tertuang dalam
Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC). Berdasarkan konstruk teori
yang dirumuskan Connor dan Davidson di atas, sejumlah ahli melakukan
rekonstruksi atas konstruk mereka. Ahli yang melakukan rekon-
struksi adalah Yu dan Zhang (2007) serta Dong dkk (2013). Yu dan Zhang
melakukan analisis faktor dan evaluasi psikometri terhadap skala resil-
iensi Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC) dalam versi Cina. Melalui
exploratory factor analysis, diperoleh tiga aspek yang membangun resil-
iensi. Adapun tiga aspek resiliensi menurut Yu dan Zhang adalah sebagai
berikut. Pertama: Tenacity, yaitu menggambarkan ketenangan mental,
keadaan siap, kegigihan dan kontrol diri ketika menghadapi situasi yang
sulit ataupun menghadapi tantangan. Mereka yang resilien memiliki
keyakinan mampu mengendalikan diri dalam mengatasi kesulitan dan
bangkit dari keterpurukan. Keyakinan ini membawa ketenangan dalam
menyikapi segala kemungkinan terburuk yang dapat terjadi pada diri
mereka.

Kedua: Strength, yaitu berfokus pada kemampuan individu untuk pulih dan
menjadi lebih kuat setelah mengalami kemunduran dan pengalaman masa
lalu. Kesulitan dinilai sebagai suatu peluang untuk berkembang. Peluang
ini mendorong mereka fokus pada pembelajaran yang bisa didapat.

14 Psikologi Resiliensi
Ketiga: Optimism, yaitu mencerminkan kecenderungan individu untuk
melihat sisi positif dari suatu hal dan mempercayai diri sendiri serta
percaya pada orang lain. Optimisme mampu menguatkan keyakinan
individu atas dirinya agar bisa bangkit kembali dari keterpurukan atau
kesulitan.

Berdasarkan kelima aspek yang dikemukakan oleh Connor dan Davidson


(2003), Dong dkk (2013) juga melakukan analisis faktor dan evaluasi psiko-
metri terhadap Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC). Hasilnya
diperoleh empat aspek yang dapat membangun resiliensi individu, yaitu
(a) fleksibilitas individu dalam mengatasi perubahan dan tantangan, (b)
dukungan yang diperoleh dari sosial dan keluarga, (c) spiritualitas, dan (d)
memiliki suatu tujuan hidup.

Searah dengan pandangan di atas, dua ahli psikologi, yaitu Campbell-Sills


dan Stein (2007), menawarkan konstruk resiliensi secara lebih sederhana.
Campbell-Sills dan Stein membagi resiliensi menjadi dua aspek, yaitu
tahan banting dan kegigihan. Pertama, hardiness atau tahan banting.
Resilien memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan perubahan yang
terjadi dalam kehidupannya, dalam hal ini adalah keadaan yang menun-
jukkan adanya kesulitan. Kemampuan ini terlihat dalam responnya yang
positif terhadap keadaan yang berubah secara tak terduga, keadaan yang
banyak tekanan, dan adanya dampak negatif dari kesulitan yang terjadi.
Daya banting individu yang resilien juga terlihat dari sense of humor
yang dimilikinya. Sekalipun diliputi berbagai kesulitan, individu mampu
melihat ada sisi humor dari apa yang dialaminya.

Kedua, kegigihan (persistence). Para resilien tidak menyerah dengan


keadaan terpuruk yang dialaminya, tetap memiliki kepercayaan diri untuk
sukses memperbaiki keadaannya, tetap melakukan usaha yang terbaik
yang mungkin dilakukan untuk menuju keadaan yang lebih baik.

Pendapat tentang aspek-aspek resiliensi berikutnya dikemukakan oleh


Wagnild dan Young (Losoi dkk, 2013). Mereka menyatakan bahwa terdapat
lima aspek resiliensi, yaitu equanimity, perseverance, self-reliance, menan-
ingfulness, dan existential alonneness. Pertama: Equanimity atau ketenangan
hati, yaitu keseimbangan perspektif dari kehidupan individu dan pengala-
man-pengalaman yang dirasakan.

Definisi, Komponen, dan Proses Resiliensi 15


Kedua: Perseverance atau ketekunan, yaitu tindakan yang persisten
walaupun berada pada kondisi yang tidak nyaman dan keputusasaan.
Ketiga: Self-reliance atau kemandirian, adalah keyakinan individu pada
diri sendiri dan kemampuan yang dimiliki. Keempat: Meaningfulness atau
kebermaknaan, adalah kesadaran individu bahwa kehidupan memiliki
suatu tujuan. Kelima: Existential aloneness atau eksistensial, adalah
kesadaran bahwa jalan hidup setiap individu adalah unik.

Selanjutnya, ahli psikologi yang menyampaikan konstruk resiliensi adalah


Reivich dan Shatte (2002). Mereka mengemukakan tujuh aspek yang dapat
membentuk resiliensi pada individu, yaitu emotional regulation, impulse
control, optimism, causal analysis, empathy, self efficacy, dan reaching out.
Pertama: Emotional regulation, yaitu kemampuan untuk tetap tenang
dibawah kondisi yang menekan. Kedua: Impulse control, yaitu kemampuan
individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan serta
tekanan yang muncul dari dalam diri. Ketiga: Optimism, yaitu perasaan
individu bahwa masa depan yang akan dihadapi akan lebih cemerlang
atau lebih baik.

Keempat: Causal analysis, yaitu kemampuan individu untuk mengiden-


tifikasi secara akurat penyebab dari permasalahan yang dihadapi.
Kelima: Emphaty, yaitu kemampuan individu untuk membaca tanda-
tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain. Keenam: Self-efficacy,
yaitu kemampuan merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa individu
mampu memecahkan masalah yang dialami dan mencapai kesuksesan.
Ketujuh: Reaching out, yaitu kemampuan individu meraih aspek positif
dari kehidupan setelah mengalami suatu permasalahan.

2.4 Proses Terbentuknya Resiliensi

Snyder dan Lopez (2002) mengemukakan bahwa terdapat dua pendekatan


atau model dalam menjelaskan bagaimana resiliensi dapat berkembang
dalam diri individu, yaitu variable-focused models dan person-focused
models. Kedua model ini memiliki sejumlah kata kunci dalam menjelaskan
bagaimana resiliensi bisa terbentuk dalam diri individu, yaitu risiko
(kemungkinan terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan muncul), faktor
risiko (karakteristik yang terukur dalam sebuah kelompok atau individu
atau situasi yang dapat memberikan pengaruh negatif dimasa depan),

16 Psikologi Resiliensi
aset/sumber daya (karakteristik individu, sosial, atau materi yang dimiliki
untuk dimanfaatkan dalam proses adaptasi), dan faktor protektif (karakter-
istik yang terukur dalam sebuah kelompok atau individu atau situasi yang
memberikan pengaruh positif/penguat di masa depan ketika dihadapkan
dengan suatu kesulitan atau risiko).

Variable-focused models

Variable-focused models menyebutkan bahwa resiliensi terbentuk dari


interaksi antara karakteristik individu, lingkungan, dan pengalaman-pen-
galaman yang membuat individu memiliki kekuatan sebagai indikator
baiknya kemampuan adaptasi ketika dihadapkan dengan risiko atau
kesulitan yang berat. Model ini dapat menggambarkan interaksi satu arah
atau secara independen antara aset, risiko, faktor protektif, atau faktor
risiko dengan individu atau suatu kelompok berisiko. Terdapat korelasi
antara individu dengan suatu indikator yang dapat mempengaruhi
resiliensi, seperti kepribadian, kemampuan intelektual, tingkat pendi-
dikan, status sosial ekonomi, kualitas pola asuh, kondisi dalam keluarga,
kehidupan bertetangga, fasilitas kesehatan, dan sebagainya. Inter-
akasi antar indikator membantu peneliti dalam memetakan bagaimana
pengaruh setiap indikator sebagai variabel dalam memahami resiliensi
(Snyder & Lopez, 2002).

Kualitas interaksi suatu indikator dalam perjalanan hidup individu akan


menentukan kompetensi dan kemampuan adaptasinya dalam menghadapi
setiap kesulitan. Semakin positif interaksi dari setiap indikator yang ada,
maka akan membuat individu menjadi resilien di masa yang akan datang
dan sebaliknya. Oleh karena itu, intervensi dengan cara preventif dan
kuratif bisa dilakukan dengan meningkatkan atau memperbaiki kualitas
dari suatu indikator dalam hidup individu baik secara langsung maupun
tidak langsung. Intervensi ini dapat dilakukan dengan fokus pada mening-
katkan kualitas aset dan faktor protektif untuk meningkatkan kompe-
tensi dan kemampuan adaptasi terhadap situasi yang sulit; menurunkan
risiko dan faktor risiko yang dapat menghambat individu beradaptasi dan
mengatasi situasi sulit dalam hidupnya (Snyder & Lopez, 2002).

Person-focused models

Person-focused models mengidentifikasi resiliensi individu dan berusaha


memahami bagaimana perbedaannya atau dibandingkan dengan orang

Definisi, Komponen, dan Proses Resiliensi 17


lain ketika menghadapi situasi sulit sampai dengan mengalami perkem-
bangan. Dalam studinya terdapat tiga pendekatan dalam memahami
bagaimana individu bisa menjadi resilien ketika dihadapkan dengan situasi
sulit. Pertama, memahami kondisi seseorang dalam situasi natural untuk
mengetahui kemampuannya dalam menilai, memahami, memecahkan,
dan belajar dari masalah. Kedua, memahami bagaimana individu menjadi
resilien selama berada di situasi yang penuh risiko. Ketiga, memban-
dingkan resiliensi individu satu dengan individu lain yang berada pada
situasi yang berbeda, misal yang berada pada situasi penuh risiko, rendah
risiko, dan pergaulan yang maladaptif. Model ini lebih berfokus untuk
mengidentifikasi interaksi aset, risiko, faktor protektif, dan faktor risiko
secara holistik dalam memahami bagaimana terbentuknya resiliensi
(Snyder & Lopez, 2002). Dalam menentukan resiliensi, model ini menggu-
nakan empat kuadran untuk mengidentifikasi sejauh mana kemampuan
individu. Pengelompokan kuadran resiliensi menggunakan dua kriteria,
yaitu level risiko/kesulitan dan level kompetensi/adaptasi.

Gambar 1. Person-focused model

Pada Kuadran I, individu yang sangat berisiko ditandai dengan rendahnya


tingkat kompetensi/adaptasi dan dihadapkan dengan tingkat risiko/
kesulitan yang juga rendah. Kondisi ini menjelaskan tentang rendahnya
kemampuan individu untuk resilien karena tidak memiliki kompetensi
yang kuat ketika dihadapkan dengan kesulitan bahkan pada level risiko
yang rendah. Dalam hal ini tidak banyak terjadi proses pembelajaran dan
pengembangan ketika individu mendapatkan masalah dalam hidupnya.

18 Psikologi Resiliensi
Pada Kuadran II, individu yang kompeten namun tidak tertantang ditandai
dengan memiliki tingkat komptensi/adaptasi yang baik namun berada pada
situasi yang memiliki tingkat risiko/kesulitan yang rendah. Pada kuadran
ini individu dikatakan kompeten atas kemampuan yang ada dalam dirinya.
Akan tetapi, kondisi saat ini belum banyak mendapatkan tantangan atau
kesulitan dalam hidupnya sehingga proses pengembangan diri dari sebuah
masalah dirasa belum optimal.

Pada Kuadran III, individu yang maladaptif ditandai dengan rendahnya


tingkat kompetensi/adaptasi ketika dihadapkan dengan risiko/kesulitan
yang tinggi. Maladaptif dapat dilihat dari ketidakmampuan individu dalam
menyikapi suatu masalah dengan seharusnya sehingga berisiko menim-
bulkan permasalahan lainnya. Rendahnya kompetensi menjelaskan sedik-
itnya referensi dalam melakukan penyelesaian masalah dan beradaptasi
terhadap kesulitan atau kondisi yang tidak terduga. Pada kuadran IV,
individu yang resilien ditandai dengan baiknya tingkat kompetensi/
adaptasi ketika dihadapkan dengan risiko/kesulitan yang tinggi. Melalui
keempat kuadran tersebut, individu disebut resilien ketika dihadapkan
dengan tingkat risiko/kesulitan yang tinggi membuatnya memiliki perkem-
bangan kompetensi dan mampu beradaptasi pada situasi tersebut.

Ecological Definition of Resilience

Ungar (2011) mengungkapkan bahwa resiliensi adalah kemampuan


individu dalam mengendalikan (navigate) hidupnya dengan menggunakan
sumber daya baik psikologi, sosial, budaya, dan alam untuk tetap menjaga
kesejahteraan psikologis. Kemudian, hal ini diikuti dengan kemampuan
individu baik secara pribadi maupun kolektif dalam mengatasi (negotiate)
perbedaan sumber daya ini untuk digunakan dan dilakukan dengan
pemaknaan terhadap nilai budaya. Dalam penelitiannya, ia menjelaskan
tentang adanya peran sosial dan ekologi dalam terbentuknya resiliensi
pada diri individu. Ia menyebutkan bahwa lingkungan di mana individu
tinggal memiliki pengaruh terhadap kemampuannya untuk resilien dan
berkembang secara positif. Salah satu kritiknya adalah memahami resil-
iensi bukan hanya sebagai karakter internal dan sebuah proses saja
namun dipengaruhi oleh faktor ekologi, baik dari kualitas sosial dan
kondisi alamnya. Terdapat empat prinsip yang dipegang dalam memahami
konsep ekologi dari resiliensi, yaitu decentrality, complexity, atypicality, dan
cultural relativity.

Definisi, Komponen, dan Proses Resiliensi 19


Prinsip pertama, decentrality menekankan pada pemahaman bahwa dalam
membahas resiliensi kita harus memahami bagaimana interaksi antara
individu dengan lingkungannya dan tidak hanya terfokus pada karakter
internal individu itu saja. Hal ini dikarenakan interaksi tersebut dapat
membawa keuntungan bagi keduanya. Seringkali kemampuan individu
untuk resilien dilihat dari bagaimana kemampuannya dalam menghadapi
situasi sulit di lingkungannya. Akan tetapi, temuan lapangan melihat
kondisi ekologi di mana individu tinggal memiliki pengaruh signifikan
terhadap kemampuannya untuk resilien. Luaran dari prinsip ini adalah
ketika ingin membentuk individu yang resilien dimulai dengan membuat
kondisi ekologi yang dapat memfasilitasi individu berproses.

Prinsip kedua, complexity menjelaskan tentang kemungkinan banyaknya


faktor yang dapat membentuk resiliensi individu terutama dari sudut
pandang ekologi. Banyaknya perbedaan ekologi mendorong pemahaman
bahwa dalam memahami terbentuknya resiliensi perlu mempertim-
bangkan konteks situasi dan kondisi di mana individu tersebut menjalani
hidup. Kemudian, pemahaman ini juga menekankan untuk tidak langsung
menggeneralisasi temuan tentang resiliensi kecuali individu tersebut
berada pada kondisi ekologi yang relatif konstan. Prinsip complexity sejalan
dengan konsep equifinality di mana suatu tujuan dapat diraih dengan cara
dan awalan yang berbeda-beda.

Prinsip ketiga, atypicality atau ketidakkhasan menekankan untuk tidak


memahami sesuatu secara dikotomi (misalnya A adalah faktor positif
maka B menjadi negatif) dalam memahami terbentuknya resiliensi.
Dalam hal ini penting sekali untuk melihat nilai atau motif dari seseorang
melakukan sesuatu ketika berada pada situasi sulit. Salah satu penelitian
oleh Wang dan Ho (Ungar, 2011) menjelaskan wanita dewasa melakukan
kekerasan sebagai bentuk koping untuk melindungi diri dari laki-laki yang
mengancam hidupnya akibat bias gender yang membudaya ketika berada
dalam sebuah relasi. Oleh karena itu, dalam memahami resiliensi dari
sudut pandang ekologi penting untuk memperhatikan kualitas individu itu
sendiri ketika menjelaskan kemampuan resiliensinya.

Prinsip keempat, cultural relativity menjelaskan tentang proses perkem-


bangan positif individu ketika berada dibawah tekanan bisa dipengaruhi
oleh nilai budaya dan sejarah. Resiliensi individu tergantung sejauh mana

20 Psikologi Resiliensi
nilai-nilai budaya dan sosial diinternalisasi ketika menyikapi suatu tekanan.
Oleh karena itu, studi tentang resiliensi dalam perspektif ekologi perlu
memahami bagaimana nilai-nilai budaya yang ada untuk menjelaskan
proses individu mampu resilien ketika dihadapkan dengan tekanan.

Penelitian resiliensi dengan menggunakan perspektif ekologi pernah


dilakukan oleh Ruswahyuningsih dan Afiatin (2015) tentang resiliensi
pada remaja Jawa. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif yang
ditujukan kepada remaja Jawa berusia 16 sampai dengan 21 tahun yang
pernah mengalami keterpurukan terkait permasalahan dalam keluarga
dan masih aktif dalam pendidikan. Hasil dari penelitian tersebut menun-
jukkan bahwa faktor yang mempengaruhi resiliensi adalah keluarga, teman
sebaya, religiusitas, lingkungan sosial, dan nilai-nilai budaya Jawa. Nilai-
nilai budaya Jawa yang dipegang oleh remaja dalam penelitian ini adalah
sabar, nrima, dan rila untuk mewujudkan kerukunan, keharmonian, dan
rasa hormat. Nrima artinya remaja Jawa mampu menerima apapun yang
terjadi sebagai sesuatu yang harus diterima dan mejadikannya sebagai
proses pembelajaran sekalipun pengalaman yang menyakitkan. Sikap rila
menjelaskan tentang keikhlasan hati melalui rasa bahagia atas pencapaian
yang didapat dari usaha sendiri.

Maulidya dan Eliana (2013) melakukan studi untuk mendapatkan


gambaran resiliensi perantau Minangkabau yang berwirausaha di Medan.
Latar belakang penelitian ini adalah adanya tradisi migrasi (merantau)
oleh suku Mingkabau yang kuat. Merantau dianggap menjadi solusi atas
pertentangan pembagian harta warisan berdasarkan adat dan agama
Islam di mana harta yang diperoleh dari perantauan dapat dibagikan
secara agama Islam. Hal ini membuat orang suku Minangkabau tidak
terlalu tergantung pada harta pusaka (harta warisan) yang hanya akan
diwariskan kepada perempuan secara adat. Merantau tentu tidak mudah
dan membutuhkan kemampuan adaptasi dan resiliensi karena akan
dihadapkan dengan kesulitan dan tekanan yang banyak. Hambatan bisa
muncul dari perbedaan adat, bahasa, dan norma di daerah tujuan.

Temuan dari penelitian ini menunjukkan perantau Minangkabau yang


berwirausaha di Medan memiliki resiliensi yang tinggi dan salah satu
faktor signifikannya adalah nilai budaya yang dipegang. Nilai budaya
suku Minangkabau adalah tidak ragu untuk hidup sulit di perantauan.

Definisi, Komponen, dan Proses Resiliensi 21


Hal ini dikarenakan jika perantau gagal di perantauan dan kembali ke
kampong maka akan dikucilkan dan diminta kembali untuk berusaha
dengan merantau kembali. Selain itu, budaya Minangkabau menga-
jarkan sikap kemandirian sejak anak-anak dimana pemuda Minang-
kabau harus memiliki keterampilan seperti bela diri, bertukang, dan
sebagainya sebelum merantau. Perantau memiliki misi budaya dimana
harus membawa kekayaan, prestise baru, atau ilmu pengetahuan baru jika
kembali ke kampung halaman.

Berdasarkan dua penilitian tersebut kita bisa memahami bahwa sistem


dan nilai-nilai ekologi memiliki sumbangan yang cukup signifikan dalam
proses terbentuknya resiliensi. Hal ini perlu kita sadari dan dalami bahwa
setiap individu memiliki proses resiliensi yang berbeda jika dilihat dari
sudut pandang ekologi. Kemudian, perspektif ekologi akan memperkaya
pembahasan dan temuan lainnya tentang studi resiliensi.

2.5 Daftar Pustaka

Amat, S., Subhan, M., Jaafar W. M. W., Mahmud, Z. & Johari, K. S. K. (2014).
Evaluation and psychometric status of the Brief Resilience Scale in a
sample of Malaysian International students. Asian Social Science. 10
(18), 240-246.

Aprillia, W. (2013). Resiliensi dan Dukungan Sosial Pada Orang Tua Tunggal
(Studi Kasus Pada Ibu Tunggal di Samarinda). eJournal Psikologi. 1 (3),
268-279.

Campbell-Sills, L. & Stein, M.B. (2007). Psychometric analysis and refinement


of the connor–davidson resilience scale (CD‐RISC): Validation of a
10‐item measure of resilience. Journal of Traumatic Stress, 20 (6),
1019-1028. https://doi.org/10.1002/jts.20271

Connor, K. N. & Davidson, J. R. T. (2003). Development of a new resilience


scale: The Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC). Depression
and anxiety. 18, 76-82.

Derakhshanrad, S. A., Piven, E., Rassafiani, M., Hosseini, S. A. & Shahbou-


laghi, F. M. (2014). Standarization of Connor-Davidson Resilience Scale
in Iranian subjects with cerebrovascular accident. Journal of Rehabili-
tation Sciences and Research. 1 (4), 73-77.

22 Psikologi Resiliensi
Dong, F., Nelson, C., Shah-Haque, S., Khan, A., & Ablah, E. (2013). A Modified
CD-RISC : Including Previously Unaccounted for Resilience Variables.
Kansas Journal of Medicine. 6 (1), 11-20.

Herrman, H., Stewart, D. E., Diaz-Granados, N., Berger, E. L., Jackson, B. &
Yuen, T. (2011). What Is Resilience ?. The Canadian Journal of Psychiatry.
56 (5), 258-265.

Holaday & McPhearson. (1997). Resilience and Severe Burns. Journal of


Counseling and Development. 75 (5),346-356.

Khairiyah, U., Prabandari, Y. S. & Uyun, Q. (2015). Terapi zikir terhadap


peningkatan resiliensi penderita low back pain (LBP). Jurnal Ilmiah
Psikologi Terapan. 3 (2), 359-369.

Lai, J. C. L. & Yue, X. (2014). Using the Brief Resilience Scale to assess Chinese
People’s Ability to bounce back from stress. Sage Open. 1-9.

Losoi, H., Turunen, S., Waljas, M., Ohman, J., Julkunen, J. & Rosti-Otajarvi, E.
(2013). Psychometric properties of the finnish version of the resilience
scale and its short version. Psychology, Community & Health. 2(1), 1-10.

Maulidya, M. & Eliana, R. (2013). Gambaran resiliensi perantau Minang-


kabau yang berwirausaha di Medan. Psikologia, 8 (1), 34-39.

Muiz, R. H. & Sulistyarini, R. I. (2015). Efektivitas terapi dukungan kelompok


dalam meningkatkan resiliensi pada remaja penghuni lembaga
permasyarakatan. Jurnal Intervensi Psikolohgi. 7 (2), 173-190.

Murtaza, G., Sultan, S., Ahmed, F. & Mustafa, G. (2016). Exploring construct
validity of resilience scale in Pakistani Youth. Journal of Applied
Environment and Biological Sciences. 6 (25), 79-83.

Oladipo, S. E. & Idemudia, E. S. (2015). Reliability and validity testing of


Wagnild and Young’s resilience scale in a sample of Nigerian youth.
Journal Psychology. 6 (1), 57-65.

Octarina, M. & Afiatin, T. (2013). Efektivitas pelatihan koping religius untuk


meningkatkan resiliensi pada perempuan penyintas erupsi Merapi.
Jurnal Intervensi Psikologi. 5 (1), 95-110.

Phipps, S., Long, A., Willard, V. W., Okado, Y., Hudson, M., Huang, Q., Zhang,
H. & Noll, R. (2015). Parents of children with cancer: At-risk or resilient

Definisi, Komponen, dan Proses Resiliensi 23


?. Journal of Peediatric Psychology. 40 (9), 914-925.

Reivich, K. & Shatte, A. (2002). The Resilience Factor: 7 Essential Skills for
Overcoming Life’s Inevtible Obstacles. New York: Broadway Books.

Richardson, G. E. (2002). The metatheory of resilience and resiliency. Journal


of Clinical Psychology. 58 (3), 307-321.

Rutten, B. P. F., et al. (2013). Resilience in Mental Health: Linking Psycho-


logical and Neuorobiological Perspectives. Acta Psychiatrica Scandi-
navica. 128, 3-20.

Ruswahyuningsih, M. C. & Afiatin, T. (2015). Resiliensi pada remaja Jawa.


Gadjah Mada Journal of Psychology, 1 (2), 96-105.

Saffarina, M., Mohammadi, N. & Afshar, H. (2016). The role of interpersonal


forgiveness in resilience and severity of pain in chronic pain patients.
Journal of Fundamentals of Mental Health. 18 (4), 212-219.

Smith, B. W., Dalen, J., Wiggins, K., Tooley, E., Christoper, P. & Bernard, J.
(2008). The Brief Resilience Scale: Assessing the ability to bounce back.
International Journal of Behavioral Medicine. 15, 194-200.

Southwick, S. M., Bonanno, G. A., Masten A. S., Panter-Brick, C. & Yehuda,


R. (2014). Resilience Definitions, Theory, And Challanges : Interdisci-
plinary Perspectives. European Journal of Psychotraumatology. 5, 1-16.

Snyder, C. R. & Lopez, S. J. (2002). Handbook of Positive Psychology. New


York: Oxford University Press.

Syaiful, I. A. & Dearly (2015). Program Peningkatan Resiliensi Bagi Pecandu


Narkoba: Pendekatan Riset Tindakan Berbasis Kualitatif. Jurnal Inter-
vensi Psikologi. 7 (1), 116-129.

Talepasand, S., Pooragha, F. & Kazemi, M. (2013). Resiliency and Quality


of Life in Patients With Cancer : Moderating Role of Duration of
Awareness of Cancer. Iranian Journal Cancer Prevention. 6 (4), 222-226.

Tian, J. & Hong, J. (2014). Assessment of the Relationship Between Resil-


ience And Quality of Life in Patients with Digestive Cancer. World
Journal Gastroenterology. 20 (48), 18439-18444.

Ungar, M. (2011). The social ecology of resilience: Adressing contextual and

24 Psikologi Resiliensi
cultural ambiguity of a nascent construct. American Journal of Ortho-
psychiatry, 81 (1), 1-17.

Vagharseyyedin, S. A. & Molazem, Z. (2013). Burden, resilience, and


happiness in family caregivers of spinal cord injured patients. Middle
east Journal of Psychiatry and Alzheimers. 4 (1), 29-35.

Wagnild, G. M. & Young, H. M. (1993). Development and psychometric


evaluation of the Resilience Scale. Journal of Nursing Measurement. 1
(2), 165-178.

Yu, X. & Zhang, J. (2007). Factor Analysis and Psychometric Evaluation of


The Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC) with Chinese People.
Social Behavior and Personality. 35 (1), 19-30.

Definisi, Komponen, dan Proses Resiliensi 25


26 Psikologi Resiliensi
3

Pengukuran Resiliensi

Pengukuran memastikan kita mengetahui suatu kondisi psikologis


seseorang secara objektif. Para ahli merancang berbagai alat ukur untuk
memastikan resiliensi dapat diketahui secara objektif. Apakah seseorang
yang mengalami kesulitan memiliki resiliensi rendah, sedang, atau tinggi
dapat diketahui dari pengukuran resiliensi. Wagnild dan Young (1993), sang
penyusun Resilience Scale (RS) adalah pelopor penyusunan skala resiliensi.
Connor dan Davidson adalah penyusun skala yang paling banyak dirujuk
melalui Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC). Sejumlah ahli lain
menyusun skala untuk kelompok usia khusus seperti anak-anak, remaja,
dan lanjut usia.

3.1 Resilience Scale (RS)

Resilience Scale (RS) pertama kali dikembangkan oleh Wagnild dan Young
pada tahun 1993. Tujuan RS dibuat adalah untuk mengidentifikasi tingkat
resiliensi individu dengan mempertimbangkan karakter kepribadian
positif yang akan meningkatkan kemampuannya dalam beradaptasi. Studi
longitudinal secara kualitatif dilakukan oleh Wagnild dan Young kepada
24 perempuan berusia lanjut yang telah berhasil melewati masa-masa
sulit dalam hidup. Para partisipan menunjukkan adaptasi psikosoial yang
positif ditandai dengan baiknya level moral dan keterlibatan terhadap
lingkungan. Setiap partisipan diwawancara tentang bagaimana mereka bisa
bertahan dan bangkit kembali dari kesulitan yang dihadapi. Berdasarkan
hasil wawancara menunjukkan bahwa terdapat lima komponen yang
membentuk resiliensi, yaitu equanimity (ketenangan), perseverance
(ketekunan), self-reliance (kemandirian), meaningfulness (kebermaknaan),
dan existential aloneness (keunikan pribadi). Equanimity adalah sebuah
keseimbangan perspektif seseorang dan pengalaman yang dimilikinya.

Pengukuran Resiliensi 27
Kemampuan ini dimiliki dengan mempertimbangkan pengalaman yang
dimiliki dan bersikap tenang terhadap kesulitan yang datang. Referensi
keberhasilan dalam penyelesaian masalah dapat memotivasi seseorang
untuk bangkit kembali dari keterpurukan atau kesulitan. Kondisi ini dapat
membantu seseorang menjadi lebih resilien kedepannya.

Perseverance adalah sikap persisten dalam menghadapi kesulitan dan


keputusasaan. Hal ini dilihat dari adanya keinginan individu untuk
berjuang memperbaiki kembali kehidupannya dengan selalu terlibat dan
menerapkan disiplin diri. Motivasi untuk terus berkembang dapat terjaga
dengan konsistensi dan komitmen yang dipegang dalam diri. Kondisi ini
mencerminkan kemampuan seseorang dalam menguasai dirinya dalam
menjalani hidup.

Self-reliance adalah suatu keyakinan terhadap diri sendiri dan kemampuan


yang dimiliki. Kemampuan ini dilihat dari sejauh mana individu mampu
bergantung dengan dirinya sendiri serta menyadari kekuatan dan
kelemahan yang dimiliki. Kesadaran ini membantu seseorang lebih percaya
diri dan optimis atas segala pengalaman dan kelebihan yang dimilikinya.

Meaningfulness adalah menyadari bahwa hidup memiliki suatu tujuan dan


bernilai untuk berkontribusi selama hidupnya. Hal ini ditunjukkan dengan
adanya perasaan memiliki sesuatu untuk hidup. Tujuan hidup dapat
menjadi harapan bagi seseorang ketika dihadapkan dengan kesulitan.

Existential aloneness adalah menyadari bahwa jalan hidup setiap orang


berbeda walaupun dengan banyaknya pengalaman orang lain yang
diketahui namun masih menyadari bahwa segala sesuatu akan dihadapi
sendiri. Hal ini diikuti dengan perasaan bebas dan unik terhadap diri
sendiri. Dengan kata lain, seseorang yang resilien menyadari adanya
keunikan disetiap individu atau sering dikenal dengan istilah individual
differences.

Dalam pengembangan RS, Wagnild dan Young meneliti resiliensi pada 810
orang berusia lanjut yang tinggal sendiri. Selain itu, RS juga diukur dengan
sejumlah variabel psikologi lainnya, yaitu kepuasan hidup, moral, depresi,
dan kesehatan. Hasil dari analisis psikometri menunjukkan RS memiliki
25 item dengan nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,91 dan nilai korelasi item
total bergerak dari 0,37 sampai dengan 0,75. Kemudian, hasil dari evaluasi

28 Psikologi Resiliensi
psikometri menunjukkan bahwa resiliensi dibentuk oleh dua faktor,
yaitu personal competence dan acceptance of self and life. Faktor personal
competence meliputi self-reliance, independence, determination, invinci-
bility, mastery, resourcefulness, dan perseverance. Faktor acceptance of self
and life meliputi adaptability, balance, flexibility, dan perspektif terhadap
hidup yang seimbang. Uji concurrent validity menunjukkan bahwa RS juga
memiliki korelasi positif dengan kepuasan hidup, moral, dan kesehatan
serta berkorelasi negatif dengan depresi.

Pengembangan dan evaluasi psikometri terhadap RS juga dilakukan pada


karakteristik individu yang berbeda. Evaluasi psikometri RS dilakukan
pada 70 orang mahasiswa klinik di Nigeria oleh Abiola dan Udofia (2011).
Hasil dari evaluasi ini menunjukkan nilai Cronbach’s Alpha RS sebesar
0,87. Ruiz-Parraga, Lopez-Martinez, dan Gomez-Perez (2012) melakukan
evaluasi psikometri dan analisis faktor RS pada 300 pasien nyeri muscu-
loskeletal kronis di Spanyol. RS yang mulanya memiliki 25 item setelah
dilakukan uji psikometri mengerucut menjadi 18 item. Hasilnya menun-
jukkan RS dengan 18 item ini (RS-18) memiliki memiliki nilai Cronbach’s
Alpha sebesar 0,92. Selain itu, RS-18 berkolerasi negatif dengan kecemasan,
depresi, dan rasa sakit akibat dari penyakit kronis yang diderita. Losoi,
dkk (2013) melakukan evaluasi psikometri RS kepada 243 orang Finlandia
berusia 17 sampai dengan 92 tahun. Hasilnya menunjukkan RS memiliki
nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,90 dengan nilai korelasi item-total
bergerak dari 0,76-0,88.

3.2 Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC)

Connor dan Davidson pada tahun 2003 tertarik meneliti tentang konsep
resiliensi yang berkaitan dengan penanganan dalam kondisi klinis, seperti
cemas, dan depresi. Ketertarikan ini dimulai dengan sejumlah temuan
sebelumnya, yaitu bahwa obat fluoksetin (anti depresan) memproduksi
manfaat terapeutik terhadap koping stres dibandingkan sebagai efek
placebo terhadap PTSD. Kemudian, observasi terhadap catatan ekspedisi
antartika oleh Sir Edward Shackleton pada tahun 1912 menunjukkan
bahwa pemimpin memiliki karakteristik yang resilien dilihat dari kemam-
puannya bertahan hidup dan mencapai tujuannya.

Pengukuran Resiliensi 29
Pengembangan CD-RISC juga dilakukan dengan mempelajari sejumlah
sumber yang menggambarkan karakteristik individu yang resilien.
Adapun sejumlah konsep yang digunakan dalam mengembangkan alat
ukur, yaitu pandangan bahwa perubahan atau stres sebagai sebuah
tantangan/peluang, komitmen, menyadari batasan diri dalam mengen-
dalikan sesuatu, mendapatkan dukungan dari orang lain, memiliki
kedekatan dengan orang lain, memiliki tujuan hidup, self-efficacy, eustress,
pengalaman keberhasilan, realistis dalam menentukan pilihan, humor,
kesabaran, orientasi terhadap tindakan, toleransi terhadap emosi negatif,
beradaptasi terhadap perubahan, optimisme, dan keyakinan.

Pengembangan 25 item CD-RISC dilakukan dengan melibatkan 577


pasien yang sedang menjalani perawatan atau terapi, seperti gangguan
kecemasan menyeluruh (general anxiety disorder), gangguan stres pasca
trauma (posttraumatic stress disorder), pasien psikiatrik, dan pasien
umum. Hasil analisis faktor menemukan bahwa terdapat lima faktor yang
membentuk resiliensi, yaitu a) kompetensi personal, keuletan, dan standar
yang tinggi, b) percaya pada diri sendiri, toleransi pada emosi negatif, dan
tegar menghadapi stres, c) Penerimaan yang positif terhadap perubahan
dan menjalin hubungan yang aman dengan orang lain, d) kontrol diri,
dan e) spiritualitas. Hasil psikometri menunjukkan CD-RISC memiliki nilai
Cronbach’s Alpha sebesar 0,89 dengan nilai korelasi item-total bergerak
dari 0,30 sampai dengan 0,70.

Evaluasi psikometri dan pengembangan CD-RISC seiring berjalannya


waktu dilakukan pada berbagai karakteristik responden. Yu dan Zhang
(2007) melakukan analisis faktor dan evaluasi psikometri CD-RISC pada
masyarakat Tiongkok. Hasilnya menunjukkan bahwa karakteristik
individu yang resilien terbentuk dari tenacity, strength, dan optimism
dengan Cronbach’s Alpha sebesar 0,91. Kemudian, Singh dan Yu (2010)
melakukan evaluasi psikometri CD-RISC pada 256 siswa India. Hasilnya
analisis faktor menunjukkan bahwa hardiness, optimism, resourcefulness,
dan purpose adalah aspek yang membentuk resiliensi dengan Cronbach’s
Alpha sebesar 0,89. Selain itu, CD-RISC dalam penelitian ini memiliki
korelasi positif terhadap kepuasan hidup dan afek positif serta berkorelasi
negatif dengann afek negatif. Manzano-Garcia dan Calvo (2013) melakukan
evaluasi psikometeri CD-RISC kepada 783 pengusaha di Spanyol. Hasil
analisis faktor menunjukkan nilai Cronbach’s Alpha diatas 0,80 pada ketiga

30 Psikologi Resiliensi
aspek yang membentuk resilisiensi pengusaha, yaitu hardiness, optimism,
dan resourcefulness. Alarcon, Cerezo, Hevilla, dan Blanca (2020) melakukan
evaluasi psikometri CD-RISC kepada 169 perempuan yang telah menjalani
operasi kanker payudara. Hasil dari evaluasi psikometri menunjukkan
bahwa CD-RISC memiliki nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,83.

3.3 Brief Resilience Scale (BRS)

Smith dkk (2008) mengembangkan BRS pertama kali untuk mengukur


relibialitas alat ukur resiliensi dengan menggunakan satu faktor, baik
untuk mengukur resiliensi yang kaitannya dengan faktor protektif maupun
kesehatan. Penyusunan skala awalnya dilakukan kepada para mahasiswa
untuk mendapatkan item yang sesuai. Penyusunan skala terdiri atas 6
item, yaitu 3 item favourable dan 3 item unfavourable untuk mengurangi
efek social desireability dan bias. Uji concurrent validity juga dilakukan
dengan CD-RISC, hubungan sosial, kesehatan, gaya koping, dan karakter-
istik personal. BRS diujikan kepada empat kelompok responden. Kelompok
pertama terdiri atas 128 mahasiswa, kelompok kedua 64 mahasiswa,
kelompok ketiga 112 pasien rehabilitasi jantung, serta kelompok keempat 50
perempuan penderita fibromyalgia dan yang menjalani kontrol kesehatan.

Hasilnya menunjukkan keempat kelompok memiliki nilai Cronbach’s Alpha


sebesar 0,84 pada kelompok pertama; 0,87 pada kelompok kedua; 0,80 pada
kelompok ketiga; 0,91 pada kelompok keempat. Kemudian pada keempat
kelompok hasil lainnya juga menunjukkan BRS memiliki korelasi positif
dengan CD-RISC, optimisme, dan tujuan hidup. BRS memiliki korelasi positif
dengan dukungan sosial dan korelasi negatif dengan interaksi negatif.
Pada gaya koping, BRS memiliki korelasi positif dengan active coping dan
positive reframing serta korelasi negatif dengan behavioral disengagement,
denial, dan self-blame. Kaitannya dengan kesehatan BRS memiliki korelasi
negatif dengan stres, kecemasan, depresi, afek negatif, dan gejala fisik.

Pengembangan BRS kemudian juga dilakukan kepada karakteristik


individu yang berbeda. Garcia-Cantero dan Alonso-Topia (2018) mengem-
bangkan BRS yang berfokus kepada 615 orangtua yang memiliki anak
dengan permasalahan perilaku. Hasilnya BRS memiliki nilai Cronbach’s
Alpha sebesar 0,87. Soer dkk (2019) melakukan uji psikometri BRS versi
Belanda kepada 1023 pengawas kesehatan. Kemudian, hasil dari evaluasi

Pengukuran Resiliensi 31
ini menunjukkan nilai Cronbach’s Alpha BRS versi Belanda sebesar 0,78.
Uji psikometri BRS juga dilakukan kepada 511 mahasiswa di China oleh
Fung (2020). Hasilnya menunjukkan BRS memiliki nilai Cronbach’s Alpha
sebesar 0,71.

3.4 Child and Youth Resilience Measure (CYRM-28)

CYRM-28 adalah 28 item skala yang mengukur resiliensi remaja lintas


budaya dan konteks yang dikembangkan oleh Ungar dan Liebenberg
(2011). Pengembangan alat ukur ini menggunakan mixed-methods design
(kuantitatif dan kualitatif) di 11 negara dengan 1.451 remaja berusia 13
sampai dengan 23 tahun. Negara dan remaja dari tempat yang berbeda
dipilih secara langsung untuk mendapatkan keberagaman dalam konteks
sosial dan risiko yang mereka hadapi di masa muda. Mulanya CYRM terdiri
atas 58 item yang merupakan hasil dari studi kualitatif kepada remaja yang
berasal dari tempat yang berbeda. Para partisipan ditanya tentang hal
penting apa yang mereka miliki dalam komunitasnya dan risiko apa yang
mereka hadapi di sana. Dari hasil studi kualitatif tersebut tidak ditemukan
faktor pembentuk yang sama karena setiap tempat memiliki keunikan
yang berbeda.

Temuan kualitatif tersebut kemudian diuji dengan exploratory factor


analysis sehingga mendapatkan 28 item. Akan tetapi, CYRM-28 memiliki
kelemahan dengan belum memiliki nilai reliabilitas dan validitas yang
terukur mengingat kompleksnya perbedaan karakteristik partisipan. Oleh
karena itu, banyak peneliti setelahnya yang mengadaptasi CYRM-28 kepada
remaja di sejumlah budaya dan negara tertentu untuk mendapatkan hasil
psikometeri yang reliabel dan valid. Libenberg, Ungar, dan Vijver (2012)
kemudian melakukan uji validasi CYMR-28 kepada remaja di Kanada
dengan melakukan uji analisis eksploratori (497 remaja) dan konfirmatori
(410 remaja). Berdasarkan uji tersebut menemukan bahwa terdapat tiga
faktor yang membangun resiliensi pada remaja, yaitu individual (Cronbach’s
Alpha = 0,803), relational (Cronbach’s Alpha = 0,833), dan contextual
(Cronbach’s Alpha = 0,794). Faktor individu meliputi kemampuan pribadi,
kemampuan sosial, dan dukungan sebaya yang diperoleh. Faktor relasi
dengan pengasuh meliputi pengasuhan secara fisik dan psikologis. Faktor

32 Psikologi Resiliensi
kontekstual meliputi budaya, pendidikan, dan spiritual. Uji analisis konfir-
matori menemukan bahwa model ketiga faktor tersebut sesuai (fit) dengan
data yang ada.

Sanders, Munford, Anwar, dan Liebenberg (2015) melakukan uji validasi


CYRM-28 kepada 593 remaja berisiko di Selandia Baru. Hasil uji validitas
menemukan bahwa CYRM-28 terbentuk dari empat faktor, yaitu individual
(Cronbach’s Alpha = 0,662), family (Cronbach’s Alpha = 0,805), social/cultural
(Cronbach’s Alpha = 0,772), dan spiritual/community (Cronbach’s Alpha =
0,746). Govender, Cowden, Asante, George, dan Reardon (2017) melakukan
uji validasi CYRM-28 kepada 1.854 remaja di Afrika Selatan. Berdasarkan
uji validasi terhadap CYMR-28 ditemukan bahwa terdapat 24 item dari
28 item yang terdiri atas tiga faktor pembentuk resiliensi pada remaja,
yaitu individual/social (Cronbach’s Alpha = 0,82), familial (Cronbach’s
Alpha = 0,71), dan community/spiritual (Cronbach’s Alpha = 0,794).

3.5 Resilience Scale for Adults (RSA)

Uji pendahuluan RSA dilakukan oleh Hjemdal, Friborg, Martinussen, dan


Rosenvinge (2001) kepada orang Norwegia. Pertimbangan dalam pengem-
bangan RSA adalah kehadiran faktor protektif dalam meningkatkan resil-
iensi orang dewasa. Oleh karena itu, dalam pengembangan RAS terdapat
lima aspek faktor protektif sebagai sub skala, yaitu personal competence,
social competence, family coherence, social support, dan personal structure.
Pada uji pendahuluan ini ditemukan bahwa nilai Cronbach’s Alpha kelima
sub skala bergerak dari 0,74 sampai dengan 0,92. Dua tahun berikutnya
Friborg, Hjemdal, Rosenvinge, dan Martinussen (2003) mengevaluasi RAS
kepada 59 pasien dan 276 pasien rawat jalan selama dua kali dengan jarak
4 bulan. Uji reliabilitas terhadap kelima subskala memiliki nilai Cronbach’s
Alpha bergerak dari 0,67 sampai 0,90 dengan nilai korelasi item-total dari
0,37 sampai dengan 0,75.

Beragam uji psikometri kemudian dilakukan dengan karakteristik


yang berbeda. Uji psikometri RSA dilakukan kepada 363 siswa di Belgia
oleh Hjemdal dkk (2011) menunjukkan hasil Cronbach’s Alpha sebesar
0,84 untuk keseluruhan skala dan untuk setiap sub skalanya memiliki
rentang nilai 0,63 sampai dengan 0,78. Selain itu, Cowden, Meyer-Weitz,
dan Asante (2016) melakukan evaluasi psikometri kepada 365 atlit tenis

Pengukuran Resiliensi 33
dengan rentang Cronbach’s Alpha sub skalanya dari 0,50 sampai dengan
0,82. Morote, Hjemdal, Uribe, dan Corveleyn (2017) melakukan evaluasi
psikometri RSA kepada 805 orang Amerika Latin. Hasil dari evaluasi psiko-
metri menunjukkan RSA memiliki nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,90 dan
disetiap sub skalanya bergerak dari 0,70 sampai dengan 0,80.

3.6 Daftar Pustaka

Abiola, T., & Udofia, O. (2011). Psychometric assessment of the Wagnild and
Young’s resilience scale in Kano, Nigeria. BMC research notes, 4, 509.
https://doi.org/10.1186/1756-0500-4-509

Alarcon, R., Cerezo, M. V., Hevilla, S. & Blanca, M. J. (2020). Psychometric


properties of the Connor-Davidson Resilience Scale in women with
breast cancer. International Journal of Clinical and Health Psychology.
https://doi.org/10.1016/j.ijchp.2019.11.001

Canteo-Garcia, M. & Alonso-Tapia, J. (2018). Brief resilience scale in front


children’s behavior problems. Annals of Psychology, 34 (3), 531-531

Connor, K. M., & Davidson, J. R. T. (2003). Development of a new resilience


scale: The Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC). Depression
and Anxiety, 18 (2), 76-82. doi:10.1002/da.10113 

Cowden, R. G., Meyer-Weitz, A., & Asante, K. O. (2016). Measuring resilience


in competitive tennis players: psychometric properties of the Resil-
ience Scale for Adults. South African Journal of Psychology, 46(4), 553–5
65. doi:10.1177/0081246316644151 

Friborg, O., Hjemdal, O., Rosenvinge, J. H., & Martinussen, M. (2003). A


new rating scale for adult resilience: what are the central protective
resources behind healthy adjustment? International Journal of Methods
in Psychiatric Research, 12(2), 65–76. doi:10.1002/mpr.143 

Fung, S. (2020). Validity of the Brief Resilience Scale and Brief Resilient
Coping Scale in a Chinese Sample. International Journal of Enviromental
Researh and Public Health. 17 (1265). doi:10.3390/ijerph17041265

Govender, K., Cowden, R. G., Asante, K. O., George, G. & Reardon, C. (2017).
Validation of the Child and Youth Resilience Measure among South
African adolescents. PloS ONE, 12 (10), 1-13.

34 Psikologi Resiliensi
Hjemdal O, Friborg O, Martinussen M. & Rosenvinge J. H. (2001) Prelim-
inary results from the development and validation of a Norwegian
scale for measuring adult resilience. Journal of Norwegian Psychology
Association, 38 (4), 310–17.

Hjemdal, O., Friborg, O., Braun, S., Kempenaers, C., Linkowski, P. & Fossion,
P. (2011): The Resilience Scale for Adults: Construct Validity and
Measurement in a Belgian Sample. International Journal of Testing, 11
(1), 53-70. http://dx.doi.org/10.1080/15305058.2010.508570

Liebenberg, L., Ungar, M. & Vijver, F. F. (2012). Validation of the Child and
Youth Resilience Measure-28 (CYRM-28). Among Canadian youths.
Research on Social Work Practice, 22 (2), 219-226.

Losoi, H., Turunen, S., Waljas, M., Helmien, M., Ohman, J., Julkunen, J. &
Rosti-Otajarvi, E. (2013). Psychometric Properties of the Finnish
Version of the Resilience Scale and its Short Version. Psychology,
Community & Health, 2 (1), 1-10.

Manzo-Garcia, G. & Calvo, C. A. (2013). Psychometric propertief of


Connor-Davidson Resilience Scale in a Spanish sample of entrepre-
neurs. Psichotema, 25 (2), 245-251.

Morote, R., Hjemdal, O., Martinez Uribe, P., & Corveleyn, J. (2017). Psycho-
metric properties of the Resilience Scale for Adults (RSA) and its
relationship with life-stress, anxiety and depression in a Hispanic
Latin-American community sample. PloS one, 12 (11), 1-20. https://doi.
org/10.1371/journal.pone.0187954

Parraga-Ruiz, G. T., Lopez-Martinez, A. & Gomez-Perez, L. (2012). Factor


structure and psychometric properties of the Resilience Scale in a
Spanish chronic musculoskeletal pain sample. The Journal of Pain, 13
(11), 1090-1098.

Sanders, J., Munford, R., Anwar, T. T., & Liebenberg, L. (2015). Validation


of the Child and Youth Resilience Measure (CYRM-28) on a Sample of
At-Risk New Zealand Youth. Research on Social Work Practice, 27(7),
827–840. doi:10.1177/1049731515614102 

Soer, R., Dijkstra, M.W.M.C.S, Bieleman, H., Steawart, R.E., Reneman, M.F.,
Oosterveld, F.G.J., & Schreurs, K.M.G (2019) . Measurement Properties

Pengukuran Resiliensi 35
and Implications of the Brief Resilience Scale in Healthy Workers.
Journal of Occupational Health, 61 (3), 242-250.

Singh, K., & Yu, X. (2010). Psychometric Evaluation of the Connor-Davidson


Resilience Scale (CD-RISC) in a Sample of Indian Students. Journal of
Psychology, 1(1), 23–30. doi:10.1080/09764224.2010.11885442 

Smith, B. W., Dalen, J., Wiggins, K., Tooley, E., Christopher, P. & Bernard,
J. (2008). The Brief Resilience Scale: Assessing the ability to bounce
back. International Journal of Behavioral Medicine, 15, 194-200. doi:
10.1080/10705500802222972

Snyder, C. R. & Lopez, S. J. (2002). Handbook of Positive Psychology. Oxford


University Press: New York.

Soer, R., Dijkstra, M. W. M. C. S., Bieleman, H. J., Stewart, R. E., Reneman,


M. F., Oosterveld, F. G. J. & Schreurs, K. M. G. (2019). Measurements
properties and implications of the Brief Resilience Scale in healthy
workers. Journal of Occupational Health, 61, 242-250. https://doi.
org/10.1002/1348-9585.12041

Ungar, M. & Liebenber, L. (2011). Assessing resilience across cultures


using mixed methods: Construction of the Child and Youth Resilience
Measure. Journal of Mixed Methods Research, 5 (2), 126-149.

Wagnild, G. M. & Young, H. M. (1993). Development and Psychometric


Evaluation of the Resilience Scale. Journal of Nursing Measurement, 1
(2), 165-178

Yu, X., & Zhang, J. (2007). Factor analysis and psychometric evaluation
of the Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC) with Chinese
people.  Social Behavior and Personality: An international journal,  35
(1), 19-30. https://doi.org/10.2224/sbp.2007.35.1.19
4

Resiliensi dalam Konteks Khusus

Para ahli mengembangkan konsep resiliensi dalam konteks yang lebih


luas. Pada awalnya, resiliensi digambarkan sebagai kapasitas yang bersifat
individual. Dalam perkembangannya, muncul konsep tentang resiliensi
dalam konteks yang khusus, yaitu resiliensi keluarga, resiliensi komunitas,
resiliensi akademik, dan resiliensi daring. Resiliensi keluarga yang
menggambarkan kapasitas keluarga untuk terus berkembang sekalipun
menghadapi berbagai kesulitan dan pengalaman buruk. Resiliensi
komunitas menggambarkan kemampuan suatu kelompok masyarakat
untuk tetap bersama dan menjalani beragam kesulitan dan pengalaman
tidak menyenangkan dan bergerak kepada kehidupan yang lebih baik.
Resiliensi akademik menggambarkan kemampuan subjek didik menggu-
nakan kekuatan internal maupun eksternalnya untuk mengatasi berbagai
pengalaman negatif, menekan, dan menghambat proses belajar sehingga
mampu beradaptasi dan menyelesaikan tanggung jawab akademik dengan
baik. Resiliensi daring menggambarkan kemampuan individu untuk bisa
mengatasi dan bertahan dari pengalaman negatif yang berbahaya, berisiko,
dan sulit dari aktivitas daring.

4.1 Resiliensi Keluarga

Keluarga adalah sistem pertama dan utama pada setiap individu dalam
hidup. Keluarga menjadi sumber kekuatan bagi individu dalam meng-
hadapi dan bangkit dari permasalahan. Hal ini didasari dari sebuah
permasalahan serius dan kesulitan jangka panjang dapat mempengaruhi
seluruh anggota keluarga. Kondisi ini kemudian juga akan mempengaruhi
sistem keluarga dan mempengaruhi anggota keluarga lainnya. Resiliensi
tidak hanya dilihat sebagai proses individual, namun juga dilihat pada
konteks ekologi dan perkembangan sehingga menciptakan konsep resi-
liensi keluarga di mana adanya proses interaksi antara individu dengan

Resiliensi dalam Konteks Khusus 37


ketangguhan keluarganya (Walsh, 1996). Walsh (2016) menjelaskan bahwa
resiliensi keluarga adalah kemampuan keluarga dalam menggunakan
potensinya untuk pulih, memperbaiki, dan bertumbuh dalam meng-
hadapi permasalahan yang serius. Baiknya resiliensi keluarga ditandai
dengan banyaknya potensi dan penguatan sehingga dapat membesarkan
anak-anaknya dengan baik dengan kasih sayang. Dalam pengembangan
konsep resiliensi keluarga, Walsh (2003) menyatakan bahwa terdapat
proses kunci (key process) dalam resiliensi keluarga yang terbagi menjadi
tiga dimensi, yaitu sistem keyakinan (belief systems), proses mengorga-
nisasi (organizational processes), proses komunikasi dan penyelesaian
masalah (communication and problem solving process).

Pertama, dimensi sistem keyakinan. Pada dimensi belief systems, keluarga


yang resilien mampu membuat pemaknaan di tengah kesulitan (making
meaning of adversity), pandangan positif (positive outlook), serta transen-
densi dan spiritualitas (transcendence and spirituality). Keluarga yang
mampu membuat pemaknaan di tengah kesulitan dapat melihat sebuah
krisis secara komprehensif, bermakna, dan bisa diatasi. Kemudian,
pandangan positif terhadap kesulitan diwujudkan dengan keluarga yang
memiliki perasaan optimis, semangat, percaya diri, memiliki harapan
mampu menyelesaikan masalah, fokus pada potensi, serta mampu
menerima atau mennoleransi ketidakpastian dan hal yang tidak bisa
diubah. Spiritualitas keluarga dilihat dari adanya keyakinan, perasaan
terhubung dengan alam, dan bertransformasi di tengah kesulitan.

Kedua, dimensi mengorganisasi. Dimensi organizational processes


dilihat dari fleksibilitas (flexibility), keterhubungan (connectedness),
serta menggerakkan sumber daya sosial dan ekonomi (mobilize social
and economic resources). Fleksibilitas keluarga ditandai dengan kemam-
puannya dalam adaptasi, menstabilkan kembali situasi, kepemimpinan
yang kuat, kerjasama pola asuh, dan saling menghargai. Kemudian, keter-
hubungan dalam keluarga dilihat dari adanya kerjasama, komitmen,
dukungan, menghargai kebutuhan satu sama lain, dan menyelesaikan
keluhan dengan mencari kesamaan. Sumber daya sosial dan ekonomi
dilakukan dengan cara mencari mentor, membangun keamanan finansial,
dan menjalin hubungan dengan institusi lain yang terkait.

38 Psikologi Resiliensi
Ketiga: dimensi proses komunikasi dan pemecahan masalah. Dimensi
communication and problem-solving processes ditandai dengan adanya
kejelasan (clarity), berbagi emosi secara terbuka (open emotional sharing),
dan berkolaborasi dalam penyelesaian masalah (collaborative problem-
solving). Kejalasan dalam komunikasi terlihat dari jelas dan konsistennya
informasi yang disampaikan serta adanya upaya mencari kejelasan
di tengah situasi yang ambigu. Keluarga yang mampu berbagi emosi
secara terbuka ditandai dengan adanya interkasi positif (kasih sayang,
menghargai, bersyukur, humor, dan menyenangkan) dan terbuka tentang
emosi negatif (kesedihan, penderitaan, marah, takut, dan kecewa). Berko-
laborasi dalam penyelesaian masalah dilakukan dengan bertukar pikiran
secara kreatif dengan negosiasi yang adil, fokus pada tujuan dan langkah
kongkrit sehingga menciptakan sikap proaktif, seperti persiapan, peren-
canaan, dan pencegahan.

Sixbey (2005) dalam disertasinya juga mengembangkan konstruk resil-


iensi keluarga dengan merujuk pada konstruk resiliensi keluarga oleh
Walsh. Hasil dari penelitiannya menyimpulkan bahwa resiliensi terbentuk
dari enam faktor, yaitu family communication and problem solving (FCPS),
utilizing social and economic resources (USER), maintaining a positive
outlook (MPO), family connectedness (FC), family spirituality (FS), dan ability
to make meaning of adversity (AMMA). Penjelasannya adalah sebagai
berikut. Pertama, family communication and problem solving (FCPS) adalah
kemampuan keluarga dalam menyampaikan informasi perasaan, dan fakta
dengan jelas dan terbuka selama mengidentifikasi masalah dan mencari
solusinya. Keterbukaan diri di antara anggota keluarga dapat memper-
mudah pencarian solusi jika dihadapkan dengan masalah. Keterbukaan
ini akan tercipta dengan sehatnya komunikasi dalam keluarga. Kesalahpa-
haman atau konflik-konflik yang tercipta dari miskomunikasi dapat dinim-
ilaisasi dengan terbukanya komunikasi dan fokus pada penyelesaian
masalah.

Kedua, utilizing social and economic resources (USER) adalah norma internal
dan eksternal yang membuat keluarga menyelesaikan aktivitas sehari-hari
dengan mengidentifikasi dan memanfaatkan potensi yang ada, seperti
anggota keluarga yang bermanfaat, sistem di masyarakat, atau tetangga.
Kesadaran tentang pentingnya kehadiran nilai atau dukungan eksternal

Resiliensi dalam Konteks Khusus 39


dapat menguatkan kekuatan sebuah keluarga menjadi resilien. Kesadaran
ini dapat meliputi tentang keterbatasan yang dimiliki sehingga meman-
faatkan potensi yang ada diluar keluarga untuk membantunya berproses
dan bangkit dari kesulitan.

Ketiga, maintaining a positive outlook (MPO) yaitu kemampuan keluarga


dalam mengendalikan masalah ditengah situasi yang menekan dengan
keyakinan bahwa terdapat harapan untuk masa depan dan tekun untuk
memaksimalkan solusi yang ada. Optimisme dengan berpegang bahwa
masih ada harapan membuat keluarga terus berusaha dan mencari
berbagai solusi untuk bangkit dari keterpurukan. Hal ini mendorong
anggota keluarga untuk menggunakan segala potensi atau kemampuan
yang dimiliki guna menyelesaikan masalah yang ada.

Keempat, family connectedness (FC) adalah kemampuan keluarga dalam


mengendalikan situasi dan bersama untuk saling mendukung dengan
tetap menyadari adanya perbedaan disetiap anggota keluarga. Keter-
bukaan, kesadaran, dan optimisme membuat hubungan antar anggota
keluarga menjadi semakin lekat. Kelekatan ini dapat menjadi motivasi bagi
keluarga untuk tetap utuh saat diterpa kesulitan atau perubahan. Keluarga
yang resilien akan semakin lekat ketika dihadapkan dengan masalah.

Kelima, family spirituality (FS) dilihat dari keluarga menggunakan sistem


keyakinan yang lebih besar untuk memberikan panduan dan membantu
untuk mendefinisikan hidup sebagai sesuatu yang bermakna dan berarti.
Keluarga yang resilien sadar akan keterbatasannya sebagai manusia
sehingga membutuhkan nilai atau prinsip yang dipegang untuk bertahan
ditengah ketidakpastian atau kesulitan yang datang. Hal ini dapat diperoleh
dari nilai-nilai yang diajarkan agama atau budaya dalam memaknai dan
menjalani hidup. Memegang nilai-nilai tersebut menjadi kekuatan dan
panduan bagi keluarga dalam menyikapi masalah.

Keenam, ability to make meaning of adversity (AMMA) adalah kemampuan


keluarga dalam memasukkan peristiwa buruk ke dalam hidup diikuti
dengan pemahaman yang dapat diterima yang berkaitan dengan peristiwa
tersebut. Optimisme dan pemahaman tentang nilai-nilai kehidupan
membuat keluarga menjadi lebih mudah untuk memaknai segala kesulitan
atau masalah yang muncul.

40 Psikologi Resiliensi
Walsh (2003) mengembangkan alat ukur “Walsh Family Resilience
Questionare” yang merujuk pada key process dalam resiliensi keluarga
yang terdiri atas 31 item. Sejumlah penelitian juga dilakukan untuk
validasi alat ukur resiliensi keluarga pada sejumlah karakteristik subjek.
Rochi dkk (2017) melakukan validasi alat ukur ini kepada 421 masyarakat
Italia dan hasilnya menunjukkan bahwa alat ukur Walsh Family Resilience
Questionare Italian Version memiliki nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,946.
Karaminia, Haji, Salimi, dan Tahour (2018) juga melakukan validasi alat
ukur kepada 350 keluarga yang berada di pusat militer di Iran dan hasil
reliabilitas berulang menunjukkan nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,87.

Sixbey (2005) mengembangkan alat ukur bernama Family Resilience


Assessment Scale (FRAS) dalam disertasinya dengan nilai Cronbach’s
Alpha sebesar 0,96. FRAS memiliki enam subskala yang mewakili keenam
faktor dalam konstruk resiliensi keluarga, yaitu family communication
and problem solving (FCPS) memiliki 27 item, utilizing social and economic
resources (USER) memiliki 8 item, maintaining a positive outlook (MPO)
memiliki 6 item, family connectedness (FC) memiliki 6 item, family spiri-
tuality (FS) memiliki 4 item, dan ability to make meaning of adversity
(AMMA) memiliki 3 item. Adaptasi FRAS pernah dilakukan pada populasi
masyarakat Polandia oleh Nadrowska, Btazek, dan Walter (2017. Hasil
dari penelitian ini menemukan bahwa subskala ability to make meaning
of adversity (AMMA) tidak memiliki nilai reliabilitas yang kuat, sehingga
hanya lima subskala yang memiliki nilai reliabilias yang memuaskan.
Secara keseluruhan, FRAS dengan lima skala memiliki nilai Cronbach’s
Alpha sebesar 0,95.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang resilien menjadi


faktor protektif dalam menghadapi dan bangkit dari kesulitan. Yumpi dan
Satriyo (2017) melakukan upaya untuk meningkatkan resiliensi keluarga
orangtua yang memiliki anak dengan gangguan disintegratif melalui
konseling kelompok. Hasil dari penelitian ini mengungkap bahwa resi-
liensi keluarga meningkat seiring dengan upaya yang dilakukan orangtua,
seperti menggunakan koping religius melalui ritual ibadah, meyakini
keterlibatan Tuhan dalam menyelesaikan masalah, menemukan sumber
kekuatan dengan mencari dukungan dari orang terdekat, dan memberikan
pengasuhan yang lebih positif. Penelitian yang dilakukan Nurmela,
Suryani dan Raliyah (2018) menemukan bahwa keluarga yang resilien

Resiliensi dalam Konteks Khusus 41


dapat menurunkan tingkat kekambuhan anggota keluarga yang menderita
gangguan skizofrenia sehingga rumah sakit tidak hanya fokus pada pengo-
batan pasien namun juga memperhatikan kebutuhan keluarga selama
memberikan perawatan.

Resiliensi keluarga dibutuhkan dalam merawat anggota keluarga yang


memiliki permasalahan psikologis. Deist dan Greff (2015) melakukan
penelitian untuk menemukan faktor yang berpengaruh terhadap resil-
iensi keluarga dalam merawat orangtua dengan penyakit demensia. Hasil
dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa prediktor terbaik resiliensi
keluarga, yaitu penerimaan, adanya optimisme, pola komunikasi yang
positif, keterhubungan antar anggota keluarga, spiritualitas, dukungan
sosial dan ekonomi serta mampu mengatasi gejala demensia yang muncul
secara efektif. Power, dkk (2015) melakukan penelitian untuk mendapatkan
gambaran resiliensi keluarga yang memiliki orangtua dengan penyakit
mental (bipolar, skizofrenia paranoid, skizoafektif, depresi berat, dan
kecemasan berat). Hasil dari penelitian ini menunjukkan keluarga
menjadi resilien saat tetap melakukan ritual atau kebiasaan yang ada
pada keluarga disertai dengan humor. Selain itu, komunikasi yang terbuka
tentang penyakit mental membuat keluarga mampu menyikapi orangtua
ketika menunjukkan gejala gangguannya dan membangun keterhubungan
keluarga menjadi lebih baik.

4.2 Resiliensi Komunitas & Negara

Resiliensi menjadi pembahasan yang tidak hanya terbatas pada konteks


individu namun juga komunitas dalam menghadapi krisis, seperti
bencana alam, perubahan iklim, dan disrupsi. Resiliensi komunitas
hadir dalam menjelaskan kemampuan komunitas untuk bangkit kembali
secara kolektif dalam menghadapi krisis atau gangguan yang terjadi
dalam ruang lingkup makro (Leykin, Lahad, Cohen, Goldberg & Daniel,
2013). Komunitas memiliki potensi untuk berfungsi secara efektif dan
beradaptasi dengan baik setelah mengalami bencana atau kriris. Resiliensi
komunitas dibutuhkan untuk menghubungkan antara potensi sumber
daya pada kemampuan adaptasi setelah terjadinya krisis (Norris, Stevens,
Pfefferbaum, Wyche & Pfefferbaum, 2007). Ganor dan Lavy (2003) menam-
bahkan bahwa resiliensi komunitas adalah kemampuan sebuah komunitas

42 Psikologi Resiliensi
untuk tetap bersama dan membantu komunitasnya sendiri sebagai sebuah
kelompok serta keluarga dan individu yang ada didalamnya. Resiliensi
komunitas membutuhkan kehadiran, pengembangan, dan kelekatan dari
sumber daya suatu komunitas untuk melewati kondisi lingkungan yang
berubah, tidak pasti, tidak bisa diprediksi, dan dadakan. Komunitas yang
resilien memiliki dorongan untuk mengembangkan kapasitas pribadi atau
kelompok yang diikuti untuk merespon dan mempengaruhi, menjaga dan
memperbaharui komunitas, dan mengembangkan jalan baru bagi masa
depan komunitas.

Ganor dan Lavy (2003) mengungkapkan terdapat enam komponen (the


Six Cs) penting dalam resiliensi komunitas. Pertama, communication
meliputi arus informasi yang terbaru tentang situasi komunitas, ancaman
yang dihadapi, layanan yang disediakan, dan sumber daya yang bisa
digunakan. Kedua, cooperation dilihat dari meningkatnya tingkat tang-
gungjawab pada level lokal dan diri sendiri dibandingkan harus menunggu
bantuan dari luar. Ketiga, cohesion ditandai dengan tingginya sensitivitas
dan saling membantu khususnya kepada anggota komunitas yang lebih
lemah, seperti orangtua, imigran, penyandang disabilitas, dan sebagainya.
Keempat, coping merujuk pada kemampuan komunitas dalam mengambil
tindakan. Tindakan ini dilakukan oleh beragam mekanisme organisasi
secara efisien dan efektif dalam menghadari trauma atau membantu di
masa kritis. Kelima, credibility merujuk pada tipe kepempinan yang ada
dalam komunitas dengan mempertimbangkan nilai dan aspirasi dari
komunitas. Keenam, credo adalah visi yang dimiliki komunitas untuk
memberikan harapan yang lebih baik dimasa yang akan datang.

Kajian literatur dilakukan oleh Chandra dkk (2010) untuk memahami


bagaimana resiliensi komunitas dalam konteks Strategi Keamanan
Kesehatan Nasional (National Health Security Strategy/NHSS). Pembahasan
tentang resiliensi komunitas dapat digolongkan menjadi dua, yaitu capa-
city-building (meningkatkan sumber daya atau wawasan) dan capability
enhancement (kemampuan menggunakan informasi dan sumber daya
dalam merespon dan pemulihan). Dalam meningkatkan kapasitas resiliensi
komunitas terdapat sejumlah aspek yang perlu diperhatikan, yaitu level
wawasan komunitas terhadap beragam ancaman, level keterikatan atau
memberdayakan dalam mengatasi beragam risiko, adanya jaringan-ja-
ringan sosial, dan adanya kepercayaan kepada pemerintah. Kemudian,

Resiliensi dalam Konteks Khusus 43


dalam meningkatkan kemampuan resiliensi komunitas terdapat sejumlah
aspek yang menjadi perhatian utama, yaitu kemampuan komunitas dalam
menyerap atau menolak dampak dari bencana, kemampuan masyarakat
dalam menjaga kebutuhan dasar selama bencana, kemampuan dalam
merespon, kemampuan dalam memulihkan komunitas secara positif dari
bencana, dan kemampuan mitigasi terhadap ancaman kesehatan.

Chandra, dkk (2010) menyimpulkan bahwa terdapat lima komponen penting


resiliensi komunitas dalam konteks Keamaan Kesehatan Nasional, yaitu
physical and psychological health, social and economic equity/well-being,
effective risk communication, integration of organizations (government
and non-government), dan social connectedness. Pertama, dalam menjaga
kesehatan fisiologis komunitas perlu untuk memetakan populasi, preva-
lensi, dan distribusi dampak dari sebuah bencana berupa penyakit untuk
menguatkan resiliensi komunitas agar mendapatkan layanan kesehatan
yang tepat. Hasil dari informasi ini digunakan untuk perencanaan dan
standarisasi pelayanan terhadap komunitas serta mengembangkan
kapasitas fasilitas kesehatan atau rumah sakit untuk pemulihan terhadap
permasalahan kesehatan yang ditemui. Kemudian, kesehatan psikologis
ditunjang dengan adanya layanan psikologis untuk mengurangi potensi
permasalahan psikologis selama atau setelah bencana terjadi. Layanan
psikologis yang diberikan berfokus pada intervensi psikologis untuk
meningkatkan self-efficacy dan kemampuan mengatasi stres dampak dari
bencana yang terjadi.

Kedua, dalam menjaga kesejahteraan sosial dan ekonomi perlu memper-


hatikan komunitas dengan status sosial ekonomi yang rendah karena
memiliki kapasitas yang kurang dalam menghadapi kondisi darurat.
Menjaga agar tidak terjadi ketimpangan sosial dan ekonomi karena akan
berdampak pada kelompok yang rentan sehingga akan membutuhkan
pemulihan yang lebih lama. Ketiga, komunikasi risiko yang efektif adalah
proses interaktif yang berisi informasi tentang isu yang sensitif. Dalam
hal ini perlu memperhatikan dan menyadari keyakinan dan norma dalam
masyarakat untuk membenuk ekpektasi terhadap dari apa yang sudah
dilakukan sampai dengan setelah suatu peristiwa terjadi. Oleh karena
itu, resiliensi komunitas membutuhkan komunikasi yang kuat dalam hal
literasi, khususnya kesehatan untuk mendukung proses pemulihan dari
suatu peristiwa yang terjadi.

44 Psikologi Resiliensi
Keempat, integrasi anatara pemerintah dan organisasi non-pemerintah
dapat meningkatkan kapasitas dalam pemulihan. Keberagaman dan
kerjasama antara sumber daya yang dimiliki dapat menguatkan resi-
liensi dengan semakin banyaknya keterlibatan dari organisasi. Semakin
banyaknya organisasi yang terlibat dapat meningkatkan kepercayaan dan
wawasan masyarakat sehingga meningkatkan kemampuan komunitas
dalam menjalankan rencana dan mempercepat pemulihan. Selain itu,
keterlibatan banyak pihak organisasi dengan berbagai latar belakang
dapat menunjang kesejahteraan suatu komunias. Kelima, keterhubungan
sosial adalah hubungan antara individu dengan masyarakat dalam sebuah
komunitas. Hubungan antara individu dengan organisasi berkontribusi
terhadap resiliensi komunitas. Keberagaman individu menjadi faktor
protektif dalam meningkatkan resiliensi dan pemulihan. Menghargai
keberagaman yang ada menunjukkan kesadaran atas kompetensi dan
kekurangan yang ada dalam masyarakat. Kesadaran ini menjadi kunci
penting dalam menjalin hubungan yang konstruktif di antara masyarakat.

Leykin, Lahad, Cohen, Goldberg, dan Daniel (2013) mengembangkan alat


ukur untuk mengukur resiliensi komunitas ketika dihadapkan dengan
bencana, yaitu Conjoint Community Resiliency Assessment Measure (CCRAM)
dalam versi 21 item (Cronbach’s Alpha = 0,92) dan versi singkat 10 item
(Cronbach’s Alpha = 0,85). CCRAM memiliki terdiri atas lima aspek, yaitu
leadership, collective efficacy, preparedness, place attachment, dan social
trust. Leadership dalam hal ini meliputi adanya kepercayaan terhadap
pembuat kebijakan, kepercayaan terhadap pemimpin lokal/daerah,
memiliki persepsi tentang keadilan otoritas lokal dalam memberikan
layanan, dan menjalankan komunitas atau masyarakat. Collective efficacy
dilihat dari adanya keyakinan dan dukungan bersama yang diikuti dengan
keterlibatan individu dalam komunitas dan hubungan yang mutualisme.
Preparedness dilihat dari kesiapan keluarga dan komunitas dalam mengh-
adapi situasi darurat serta pandangan tentang kesiapan kota dalam mengh-
adapi situasi darurat. Place attachment meliputi kedekatan emosional
individu terhadap komunitasnya, sense of belonging, kebanggan terhadap
komunitas dan ideologi yang ada didalamnya. Social trust ditandai dengan
adanya kepercayaan dan baiknya kualitas hubungan individu dengan
komunitasnya.

Resiliensi dalam Konteks Khusus 45


Kimhi, Eshel, Lahad, dan Leykin (2019) membuat alat ukur untuk mengukur
resiliensi sebuah negara. Alat ukur ini kemudian dinamai National Resil-
ience Assessment Scale (NRAS). Pengembangan alat ukur ini dilakukan
pada 1022 orang dewasa di Israel. Evaluasi psikometri menunjukkan
bahwa NRAS memiliki nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,92 yang terdiri
dari 24 item. Kemudian, alat ukur ini memiliki empat aspek yang memben-
tuknya, yaitu identifying with the state, solidarity and social justice, trust in
national institutions, dan trust in public justice.

Pertama, identifying with the state meliputi kepercayaan terhadap perdana


mentri/presiden dan pemerintahan yang dipimpinnya. Percaya akan
kemampuan pimpinan dan pemerintahannya mampu mengatasi krisis
di masyarakat dengan kebijakan yang tepat. Selain itu, pemimpin juga
mampu menunjukkan kepemimpinan yang berkualitas dan signifikan
sehingga masyarakat merasa yakin ketika dihadapkan dengan krisis.
Kecintaan kepada negara kemudian menumbuhkan rasa patriotisme
sehingga masyarakat memilih untuk tidak akan meninggalkan negara
ketika krisis. Rasa optimis akan adanya masa depan negara yang lebih baik
menjadikan masyarakat yakin mampu melewati masa krisis.

Kedua, solidarity and social justice ditandai dengan rasa aman yang muncul
pada masyarakat karena baiknya kualitas hubungan horizontal antar
kelompok yang ada. Tidak ada ketegangan antar kelompok masyarakat
membuat hubungan masyarakat dalam negara menumbuhkan rasa
peduli dan saling membutuhkan. Ketika ada pelanggaran hukum terjadi,
masyarakat meyakini akan ada proses pengadilan yang baik di negaranya.

Ketiga, trust in national institutions adalah kepercayaan masyarakat


terhadap bagaimana sistem dan kebijakan yang ada di negara. Hal ini
meliputi kepercayaan terhadap sistem pendidikan, kesehatan, keamanan
sosial, parlemen, dan kesejahteraan. Rasa percaya terhadap istem-sistem
yang dibuat dan dikelola menjadi faktor yang signifikan dalam kemampuan
resiliensi sebuah negara.

Keempat, trust in public justice menjelaskan tentang bagaimana keper-


cayaan masyarakat terhadap media dalam suatu negara. Pemberitaan
di media dalam menyorot krisis dan cara kerja pemerintah menentukan
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap negaranya. Ketika konflik

46 Psikologi Resiliensi
atau krisis terjadi bagaimana sistem pengadilan menyikapinya dapat
membentuk resiliensi sebuah negara jika menghadapi kondisi yang sama
dimasa depan.

Analisa lebih lanjut dilakukan untuk melihat faktor lain yang memiliki
pengaruh terhadap resiliensi nasional. Temuan dalam penelitian ini
menunjukkan religiusitas dan rata-rata pendapatan masyarakat yang
baik memiliki korelasi positif yang signifikan dalam membentuk resiliensi
nasional. Selain itu, bagaimana sikap politik masyarakat juga menentukan
kemampuan sebuah negara untuk resilien.

4.3 Resiliensi Akademik

Resiliensi tidak hanya dibutuhkan individu untuk bangkit dari mengalami


kesulitan yang berat, namun juga pada permasalahan hidup sehari-hari
seperti dalam ruang lingkup akademik. Pendidikan merupakan hal yang
mayoritas individu jalani dalam hidupnya dan tidak jarang menemui
banyak tekanan dan diharuskan untuk bangkit. Semakin tinggi jenjang
pendidikan yang dijalani maka akan semakin berat tekanan dan tanggung
jawab yang harus diselesaikan oleh siswa. Ketika siswa dihadapkan dengan
situasi yang membutuhkan ketahanan fisik dan psikologis dalam jangka
waktu yang panjang dapat berujung pada academic burnout jika tidak
mampu menghadapinya. Academic burnout adalah perasaan ketika siswa
merasa kelelahan karena menyelesaikan tanggung jawab dan kompetisi
dalam lingkup akademik sehingga muncul perasaan pesimis, tidak tertarik
dalam menyelesaikan tugasnya, dan frustrasi menghadapi kegagalan
(Schaufeli, Pinto, Salanova, & Baker, 2002).

Resiliensi akademik adalah kemampuan resiliensi siswa dalam proses


belajar. Menurut Martin dan Mash (2006), resiliensi akademik adalah
kemampuan siswa dalam menghadapi kejatuhan (setback), tantangan
(challenge), kesulitan (adversity), dan tekanan (pressure) secara efektif
dalam konteks akademik. Resiliensi akademik merupakan proses dinamis
yang menunjukkan ketangguhan siswa untuk bangkit dari pengalaman
negatif, saat menghadapi situasi sulit yang menekan atau hambatan
signifikan dalam aktivitas belajar. Resiliensi akademik ditandai dengan
siswa yang mampu menggunakan kekuatan internal maupun ekster-

Resiliensi dalam Konteks Khusus 47


nalnya untuk mengatasi berbagai pengalaman negatif, menekan, dan
menghambat proses belajar sehingga mampu beradaptasi dan menyele-
saikan tanggung jawab akademik dengan baik (Boatman, 2014).

Martin dan Marsh (2003) menyatakan bahwa resiliensi akademik terdiri


atas empat aspek, yaitu confidence, control, composure, dan commitment.
Pertama, confidence. Confidence (self-belief) adalah keyakinan dan keper-
cayaan siswa terhadap kemampuan yang dimiliki. Keyakinan ini akan
mendorong siswa untuk memahami dan untuk menyelesaikan tanggung
jawab akademik, tantangan yang ditemui selama proses belajar, dan
melakukan sesuatu secara maksimal. Jika siswa memiliki kelemahan maka
ia akan menyadarinya dan akan lebih mudah berfokus pada pengem-
bangan diri selama menjalani pendidikan. Rasa percaya diri ini yang
membuat siswa mampu bangkit kembali dari kesulitan seningga menjad-
ikannya resilien.

Kedua, kontrol. Control (a sense of control) adalah kemampuan siswa dalam


mengendalikan kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan tang-
gungjawab akademik atau situasi yang menekan. Keyakinan mampu dalam
mengendalikan diri membantu siswa untuk berpikir positif terhadap situasi
yang dihadapi, memahami bagaimana sesuatu bekerja, memprediksi apa
yang akan terjadi, dan mendorong siswa untuk mencari penyelesaian
masalah. Kontrol diri juga penting bagi siswa untuk pandai menempatkan
diri dan mengetahui bagaimana cara merespon situasi secara adaptif.
Kontrol diri membantu siswa bisa lebih baik dalam beradaptasi terhadap
tuntutan akademik yang akan semakin meningkat dan perubahan sosial
yang terjadi. Kemampuan beradaptasi adalah salah satu ciri dari pribadi
yang resilien.

Ketiga, composure. Composure (low-anxiety) adalah kecemasan yang


berkaitan dalam proses akademik. Kecemasan muncul ketika siswa
memikirkan tugas atau tanggung jawab akademik, pekerjaan rumah, dan
ujian. Kemudian, rasa cemas juga biasanya muncul ketika siswa merasa
tidak mampu menyelesaikan tugas atau tanggung jawab akademik dengan
baik atau maksimal. Siswa yang memiliki ketenangan dalam proses
belajar akan mampu mengendalikan emosi negatif, menyelesaikan tugas
dengan nyaman, dan tidak mudah dikuasai oleh keadaan yang menekan.
Ketenangan ini berkaitan dengan kemampuan siswa dalam mereg-

48 Psikologi Resiliensi
ulasi emosi. Regulasi emosi menjadi penting karena stresor yang dapat
muncul bagi siswa tidak hanya dari tanggungjawab akademik, namun dari
hubungan interpersonal yang ada di sekolah. Kemudian, regulasi emosi
juga dapat menguatkan siswa dalam mentoleransi tekanan atau stres yang
diperolehnya selama menjalani pendidikan.

Keempat, komitmen. Commitment (persistence) adalah kemampuan siswa


untuk terus berusaha menyelesaikan tugas atau tanggung jawab akademik
dan memahami sebuah masalah meskipun menemui kesulitan dan
penuh tekanan. Siswa dengan komitmen yang tinggi tidak akan mudah
menyerah ketika dihadapkan dengan tantangan dan kegagalan, namun
tetap berusaha melakukan yang terbaik serta mengevaluasi proses yang
ditemui baik kegagalan maupun keberhasilan yang diraih. Siswa yang
resilien memiliki tujuan atas pendidikan yang dijalaninya. Tujuan ini akan
mendorong siswa untuk berusaha bertahan dalam rencana yang sudah
dibuat. Hal ini dikarenakan tujuan yang jelas akan semakin menguatkan
komitmen bagi siswa dalam belajar.

Martin dan Mash (2006) kemudian menemukan “5 C model of academic


resilience”, yaitu confidence (self-efficacy), coordination (planning), control,
composure (low-anxiety), dan commitment (persistence). Ketika siswa
memiliki resiliensi akademik yang baik dapat menciptakan kesenangan
terhadap sekolah, meningkatnya partisipasi di kelas, dan meningkatkan
self-esteem. Kesenangan terhadap sekolah muncul dari baiknya hubungan
antara sekolah dengan kondisi afektif dan kognitif siswa yang mendorong
siswa untuk hadir di sekolah. Meningkatnya self-esteem secara keseluruhan
menjadi prediktor pertumbuhan sosioemosional siswa dan meningkatkan
hasil tugas sekolah menjadi baik. Selain itu, penelitian yang dilakukan
oleh Mwangi dan Ireri (2017) menemukan bahwa gender juga memiliki
peranan dalam perbedaan resiliensi akademik siswa. Hasil dari penelitian
menunjukkan bahwa siswa perempuan memiliki kemampuan resiliensi
akademik yang lebih baik dibandingkan siswa laki-laki.

Studi meta analisis yang dilakukan oleh Beri dan Kumar (2018) menemukan
sejumlah prediktor terhadap resiliensi akademik. Faktor internal yang
menjadi prediktor terhadap resiliensi akademik adalah kemampuan siswa
dalam memotivasi diri, rasa percaya diri, memahami serta mengelola stres
selama menghadapi situasi yang sulit. Proses pembelajaran yang bersifat

Resiliensi dalam Konteks Khusus 49


jangka panjang membutuhkan sumber kekuatan yang berasal dalam diri
untuk tetap bertahan terhadap proses, yaitu motivasi. Motivasi berisi
intensi siswa menjalani proses pembelajaran sehingga akan menentukan
kemana arah atau tujuan mereka. Kuatnya intensi dan tujuan yang dimiliki
mendorong siswa untuk tekun dalam menyelesaikan tanggung jawab
akademik. Motivasi dari dalam diri akan menjadi sumber kepercayaan diri
dalam menghadapi tantangan yang ada. Kepercayaan diri menjadi modal
dalam kemampuan siswa mengendalikan dan mengelola stres akademik
yang dirasakan.

Faktor eksternal yang memegang peranan penting dalam kuatnya resiliensi


akademik siswa adalah dukungan sosial. Dukungan sosial yang dibutuhkan
oleh siswa untuk meraih prestasi akademik berasal dari keluarga, teman
sebaya, masyarakat, dan sekolah. Oleh karena itu, kerjasama sejumlah
pihak dari pemangku kepentingan, administrator, guru, dan orangtua
akan menentukan resiliesi akademik siswa (Beri & Kemar, 2018). Keluarga
menjadi faktor protektif dalam resiliensi akademik siswa. Sikap keluarga
yang dapat menjadi prediktor baiknya resiliensi akademik siswa adalah
arahan dari keluarga, dukungan keluarga, dan kesempatan keterlibatan
orangtua bagi siswa yang berisiko. (Rojas, 2015). Kualitas hubungan guru
dengan siswanya juga akan menentukan kemampuan resiliensi akademik
para siswanya (Poerwanto & Prihastiwi, 2017).

Pengembangan alat ukur resiliensi akademik dilakukan oleh Cassidy (2016)


yang kemudian diberi nama “The Academic Resilience Scale (ARS-30)” yang
terdiri atas 30 item. Penyusunan item pada ARS-30 merujuk pada konsep
resiliensi psikologis, resiliensi akademik, self-regulated learning, dan self-ef-
ficacy. Hasil pengujian ARS-30 kepada 532 responden mahasiswa menun-
jukkan nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,90 dengan nilai korelasi item
total bergerak dari 0,37 sampai dengan 0,65. Ramenzanpour, Kourishina,
Mehryar, dan Javidi (2019) melakukan evaluasi psikometri ARS-30 kepada
409 siswa sekolah menengah atas di Iran. Hasil dari evaluasi psikometri
menunjukkan ARS-30 memiliki nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,93.

Pengembangan alat ukur ini menemukan bahwa terdapat tiga faktor yang
membentuk resiliensi akademik, yaitu ketekunan (perseverance), refleksi
dan mencari bantuan secara adaptif (reflecting and adaptive-help-seeking),
serta afek negatif dan respon emosi (negative affect and emotional response).

50 Psikologi Resiliensi
Ketekunan meliputi kerja keras dan terus mencoba, tidak menyerah, fokus
pada rencana dan tujuan, menerima dan memanfaatkan setiap umpan balik,
imaginative problem solving, melihat hambatan sebagai sebuah peluang
untuk bertemu tantangan dan meningkatkan kemampuan. Refleksi dan
mencari bantuan secara adaptif meliputi refleksi diri terhadap kelebihan
dan kekurangan yang dimiliki, mencari dukungan dan penguatan, serta
memperhatikan usaha, pencapaian, hukuman, dan imbalan yang diterima.
Afek negatif dan respon emosi meliputi ada tidaknya perasaan cemas,
hambatan dan tidak berdaya, menghindari respon atas emosi negatif, dan
memiliki perasaan optimis (Cassidy, 2016).

4.4 Resiliensi Daring

Dunia digital dan teknologi mengalami perkembangan yang signifikan


setiap waktunya. Hal ini membuat semakin banyak variasi teknologi yang
bisa diakses manusia secara online. Akan tetapi, penggunaan media dan
teknologi secara daring juga memiliki risiko secara psikologis bagi penggu-
nanya, seperti cyberbullying. Jika tidak memiliki ketahanan psikologis yang
baik, paparan informasi atau perlakuan yang diterima melalui aktivitas
daring dapat meningkatkan risiko permasalahan psikologis. Selain itu,
meningkatnya penggunaan teknologi selama pandemi menjadi tekanan
baru bagi beberapa orang untuk beradaptasi dengan aktivitas daring.
Proses kegiatan belajar, berdagang, dan bekerja sudah mulai dilakukan
dengan menggunakan teknologi daring. Menjalani proses ini tentu membu-
tuhkan kemampuan adaptasi dan kontrol diri yang baik agar bisa menjadi
pribadi yang resilien.

d’Haenens, Vandoninck, dan Donoso (2013) melakukan penelitian tentang


bagaimana cara mengatasi/strategi koping dan membangung resiliensi
daring pada anak berusia 9 sampai dengan 16 tahun. Penelitian dan survei
dilakukan di 25 negara Eropa dengan melibatkan lebih dari 25.000 anak
sebagai responden. Masalah yang dapat muncul dalam aktivitas daring
dibagi menjadi empat jenis, yaitu gambar seksual, cyberbullying, sexting,
dan menemui kontak baru secara online. Dalam penelitiannya, strategi
koping dalam menyikapi masalah atau situasi yang mengganggu dari
aktivitas daring dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu fatalistic or
passive coping, communicative coping, dan proactive/problem solving.

Resiliensi dalam Konteks Khusus 51


Pertama, fatalistic or passive coping ditandai dengan adanya harapan
bahwa masalah akan pergi dengan sendirinya. Sikap pasif dan pembiaran
tanpa disertai aksi kongkrit berisiko membuat individu menjadi lebih
rentan ketika dihadapkan dengan masalah lain yang ditemui dalam
aktivitas daring. Hal ini dikarenakan tidak ada proses pembelajaran
dalam penyelesaian masalah secara daring sehingga tidak ada pengem-
bangan diri dan proses adaptasi atas segala kemungkinan yang ada. Selain
itu, cara pasif dalam menyikapi masalah dalam aktivitas daring adalah
dengan berhenti menggunakan internet sementara. Hal ini bisa menjadi
baik untuk dilakukan jika tujuannya mengambil jarak dengan masalah
sebentar, namun kemudian menghadapi masalah tersebut. Akan tetapi,
individu yang belum memiliki resiliensi daring yang lari dari masalah dan
tidak berusaha menyelesaikannya.

Kedua, communicative coping dilakukan dengan berbicara kepada seseorang


tentang masalah yang dialami. Komunikasi terbuka dengan orang lain
dapat membuat individu menjadi resilien dalam aktivitas daring. Hal ini
dikarenakan melalui komunikasi individu bisa mendapatkan dukungan,
baik berupa dukungan psikologis dan atau materi. Adanya keterbukaan
ini juga dapat membantu individu dalam menemukan berbagai sudut
pandang dan alternatif solusi dalam menyikapi tekanan yang muncul dari
teknologi atau aktivitas daring.

Ketiga, proactive coping atau problem-solving adalah menyelesaikan


masalah atau tekanan yang didapat dari aktivitas daring. Dalam kasus
cyberbullying misalnya dilakukan dengan cara menghapus pesan atau
memblokir akun/pengirim pesan. Kemudian, fokus pada penyelesaian
masalah membantu individu menjadi lebih resilien karena dinilai bisa
menguasai diri ketika melakukan aktivitas daring. Tekanan atau kesulitan
yang didapat disikapi dengan positif dan fokus pada solusi.

Strategi koping yang paling banyak dilakukan oleh responden adalah


communicative coping dengan membicarakan masalahnya kepada
seseorang. Kemudian, menghapus pesan dan memblokir pengirim pesan
yang berisiko adalah strategi koping yang sangat membantu mereka dalam
menghadapi cyberbullying, sexting, dan konten seksual. Temuan lain dalam
penelitian ini juga menunjukan bahwa responden biasanya menggunakan
dua atau tiga strategi koping di waktu yang bersamaan. Ketika seorang

52 Psikologi Resiliensi
anak mampu merespon masalah yang ditemui secara proaktif dan berniat
menyelesaikan masalahnya, maka dapat menjadi tanda bahwa anak
mampu mengatasi perasaan sedih dan stres.

Resiliensi daring adalah kemampuan individu untuk bisa mengatasi dan


bertahan dari pengalaman negatif yang berbahaya, berisiko, dan sulit
dari aktivitas daring. Anak yang memiliki resiliensi daring yang baik tidak
akan merasa terganggu ketika mendapatkan masalah dari aktivitas daring;
anak yang memiliki resiliensi daring yang rendah akan merasa terganggu
setelah mendapatkan madia dari aktivitas daring. Pada usia 9 sampai
dengan 10 tahun, resiliensi daring yang rendah banyak ditemui pada anak
laki-laki, anak yang hidup dalam keluarga miskin, dan anak yang memiliki
banyak permasalahan psikologis. Pada usia 11 sampai dengan 16 tahun,
resiliensi daring yang rendah banyak ditemui pada anak perempuan, anak
bungsu, anak yang memiliki banyak permasalahan psikologis, dan anak
yang memiliki orangtua dengan penggunaan internet yang rendah.

Temuan menarik lainnya adalah anak laki-laki menunjukkan resiliensi


daring yang rendah pada usia yang lebih muda, sedangkan perempuan
ketika beranjak remaja. Kemudian, dukungan dari lingkungan sosial
memegang peranan penting dalam membentuk resiliensi daring pada
anak, seperti orangtua, guru, dan teman sebaya. Oleh karena itu, terdapat
sejumlah upaya dalam meningkatkan resiliensi daring pada anak seperti
menguatkan komunikasi yang terbuka dan edukasi tentang sikap positif
dalam menggunakan aktivitas daring, baik di rumah, teman sebaya, dan
sekolah. Komunikasi yang terbuka dengan membicarakan masalah yang
diterima dapat mengurangi tegangan emosi dan menjadi langkah awal
dalam mencari solusi yang sesuai saat anak merasa terganggu dengan risiko
dalam aktivitas daring. Mengajarkan anak untuk menggunakan proactive
coping dengan mengapus pesan, memblokir kontak, atau melaporkan
penyedia layanan yang mengganggu anak. Selain itu, memberikan bantuan
kepada anak dalam mengatasi masalah dalam hidupnya dan membangun
kepercayaan diri dapat menguatkan resiliensi daring. Anak yang memiliki
kerentanan atau masalah dalam dunia nyata cenderung lebih berisiko
mengalamai masalah dalam aktivitas daring.

Przybylski, Mishkin, Shotbolt, dan Linington (2014) juga melakukan


penelitian untuk mengetahui bagaimana cara membangun resiliensi
daring pada anak. Penelitian ini dilakukan kepada 926 laki-laki dan 1076

Resiliensi dalam Konteks Khusus 53


perempuan berusia 14 sampai dengan 17 tahun dari Inggris, Skotlandia,
dan Wales. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan terdapat empat
faktor yang dapat membangun resiliensi daring pada anak, yaitu resilient
self-regulation online, caregiving climate, digital skills and attitudes, dan
caregiver mediation strategies.

Self-regulation merujuk pada kemampuan individu untuk mengatur


keinginan jangka pendek dan jangka panjang agar sejalan dengan nilai/
prinsip yang ia pegang. Terdapat empat level self-regulation yang akan
menentukan kemampuan self-regulation yang dimiliki oleh individu.
Pertama, external regulation menjelaskan bahwa pengendalian diri individu
ditentukan oleh ada tidaknya reward dan punishment yang akan diterima
dari eksternal. Kedua, introjection ditandai dengan individu menerima
sebuah informasi atau ide tanpa mencernanya. Hal ini dilakukan karena
adanya pikiran akan perasaan malu atau rasa bersalah jika mematuhi
atau tidak mematuhi sesuatu. Ketiga, identification menjelaskan bahwa
individu mengidentifikasi dan menerima sebuah nilai dari sebuah perilaku
atau pikiran dengan adanya instrumental reasons. Keempat, integration
ditandai dengan menyadari adanya nilai di balik sebuah perilaku yang
kemudian diintegrasikan dengan nilai pribadi yang sudah dipegang dan
identitas individu tersebut. Ketika individu berada pada level keempat,
maka motivasi intrinsik dalam pengendalian diri semakin kuat.

Pengendalian diri yang baik akan membuat individu lebih mudah


menjadi resilien. Hal ini dikarenakan kemampuan individu mengelola
emosi, pikiran, dan perilakunya ketika dihadapkan dengan hal yang tidak
menyenangkan dari aktivitas daring. Individu yang memiliki resilient
self-regulation online ditandai dengan individu yang cenderung mencari
peluang untuk mendapatkan pengetahuan, belajar kemampuan atau
keterampilan baru secara online, memanfaatkan teknologi digital untuk
mengekspresikan dan mengembangkan pribadi individu, membangun dan
menjaga relasi, serta mengikuti dan atau berpartisipasi dalam pemberitaan
dan percakapan yang berhubungan dengan kelompok mereka dan kejadian
terkini. Resilient self-regulation online diukur menggunakan kuisioner yang
dibuat peneliti dengan mencakup aspek intrinsic motivation, identified
motivation, introjected motivation, external motivation, dan amotivation.

54 Psikologi Resiliensi
Caregiver climate menjelaskan tentang kualitas pengasuhan orangtua dari
sudut pandang psikologis kepada anak. Hal ini dikarenakan pola asuh
memiliki peranan penting dalam menentukan bagaimana anak akan
mendekati dunia digital. Terdapat tiga aspek penting dalam caregiver
climate yang memiliki hubungan kuat dengan resiliensi daring anak,
yaitu caregiver involvement, autonomy support, dan unconditional regard.
Caregiver involvement ditandai dengan kehadiran orangtua/pengasuh bagi
anak, berpengetahuan luas, dan menaruh perhatian terhadap pengala-
man-pengalaman anak. Autonomy support ditandai dengan orangtua/
pengasuh menghargai sudut pandang dan nilai yang dimiliki oleh
anaknya. Unconditional regard dilihat dari tidak adanya standar perilaku
yang harus dipenuhi oleh anak agar mendapatkan kasih sayang dari
orangtua/pengasuh. Caregiver climate diukur dengan menggunakan Parent
Involvement and Autonomy Support Scale yang mencakup tiga aspek di atas.

Digital skills and attitude menjelaskan tentang bagaimana sikap anak dalam
menggunakan teknologi digital, internet, dan media sosial yang kemudian
akan menentukan apa yang akan diperoleh dari aktivitas daring. Anak
yang meyakini bahwa teknologi dan internet memberikan keuntungan
bagi masyarakat dan dapat melatih kemampuan akan cenderung memiliki
pengendalian diri dan resiliensi daring yang baik. Baiknya sikap anak dalam
memandang dan menggunakan teknologi dan internet berkorelasi secara
positif dengan resiliensi daring. Baiknya sikap anak juga ditandai dengan
ketertarikan dalam pembelajaran online, pengembangan sosial, ekspresi
diri, dan ekspresi kreativitas secara online. Digital skill and attitudes diukur
dengan menggunakan kuisioner untuk mengetahui tentang kepercayaan
diri anak dan orangtua dalam menggunakan internet dan teknologi serta
kemampuan teknis yang dimiliki dalam menggunakannya.

Caregiver mediation strategies adalah bagaimana orangtua/pengasuh


dalam memberikan aturan kepada anak terkait penggunaan internet dan
aktivitas daring. Orangtua/pengasuh yang melarang anaknya mengakses
internet dan aktivitas daring cenderung memiliki resiliensi daring yang
rendah apabila dihadapkan dengan risiko yang ada dalam aktivitas daring.
Dalam praktiknya orangtua dapat melakukan active mediation di mana
adanya komunikasi antara orangtua dan anak selama menggunakan
aktivitas daring. Topik pembicaraan bisa meliputi tentang risiko yang

Resiliensi dalam Konteks Khusus 55


dapat ditemui dalam aktivitas daring, aktivitas atau konten favorit yang
biasanya diakses, dan menghabiskan waktu bersama dalam mengakses
aktivitas daring.

Hendriani (2017) dalam tulisannya menjelaskan tentang bagaimana


menumbuhkan resiliensi daring pada anak di era teknologi digital melalui
pola asuh apresiatif. Menurutnya, terdapat empat prinsip dalam pola
asuh apresiatif, yaitu konstruksionis, positif, anisipatorik, dan keberlan-
jutan. Prinsip konstruksionis yang menekankan pada pentingnya membia-
sakan menggunakan diksi yang positif dan apresiasi guna memberikan
stimulasi dan penguatan terhadap munculnya perilaku positif pada anak.
Prinsip positif dilakukan dengan pembicaraan positif, dialog yang terarah
dan konstruktif pada tujuan yang jelas dapat memotivasi munculnya
perubahan positif dalam diri anak. Prinsip antisipatorik menjelaskan
tentang kekuatan imajinasi individu dapat memunculkan inspirasi yang
semakin mendorong anak berperilaku tertentu. Prinsip keberlanjutan
ditandai dengan adanya konsistensi dan komitmen orangtua dalam
menerapak pola asuh apresiatif pada anak.

Resiliensi daring tidak akan terbentuk dengan sendirinya pada anak tanpa
peran dari orangtua. Tingkat resiliensi daring akan sejalan dengan berbagai
risiko yang mungkin akan anak temukan dalam aktivitas di aktivitas
daring. Menumbuhkan resiliensi daring tidak bisa dilakukan dengan
menjauhkan sepenuhnya anak dari penggunaan teknologi digital, namun
harus dengan pendampingan dari orangtua. Apabila anak dijauhkan atau
dilarang menggunakan tekonologi digitial akan membuat anak semakin
memiliki rasa ingin tahu atas apa yang tidak diperbolehkan. Hal ini justru
akan membuat anak menjadi sulit dikendalikan ketika mendapatkan apa
yang disenangi dan dapat memuaskan rasa ingin tahunya. Kemudian, hal
ini dikuatkan dengan orangtua yang mengajarkan koping komunikatif dan
proaktif ketika anak mendapatkan sesuatu yang baru atau berisiko dalam
aktivitas daring.

Dengan konsisten menerapkan empat prinsip pola asuh apresiatif,


Hendriani (2017) menjabarkan langkah-langkah dalam menumbuhkan
resiliensi daring pada anak. Pertama, orangtua dan anak membangun
kebiasaan berdialog positif dalam keluarga. Hal ini akan membangun rasa
percaya (trust) dan rasa aman (secure) dengan keterlibatan orangtua dalam

56 Psikologi Resiliensi
hidup anak. Ketika terbiasa membangun hubungan dan komunikasi positif,
langkah selanjutnya adalah membangun kesadaran dan wawasan anak
tentang berbagai konsekuensi dan risiko dari aktivitas daring. Wawasan
yang berimbang tentang manfaat dan risiko dari aktivitas daring dapat
membuat anak memiliki gambaran tentang hal apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan. Kemudian, orangtua mengembangkan dialog bersama
anak dengan membahas pentingnya membekali diri tentang keterbukaan
dalam mengelola risiko dari aktivitas daring serta menggunakan koping
komunikatif dan proaktif. Terakhir, orangtua mengoptimalkan dukungan
dan kontrol dalam pengasuhan agar perilaku anak berada dalam penga-
wasan dan situasi yang aman.

Firdaus dan Kelly (2019) melakukan uji korelasi untuk mengetahui


bagaimana pengaruh gaya pola asuh terhadap resiliensi daring yang
dilakukan kepada 100 mahasiswa. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa gaya pola asuh authoritative atau demokratis memiliki pengaruh
yang besar terhadap resiliensi daring mahasiswa. Kemudian diikuti
dengan gaya pola asuh authoritarian dan permissive yang berkorelasi
dengan rendahnya tingkat resiliensi daring. Pola asuh demokratis memiliki
pengaruh yang besar dalam pembentukan resiliensi daring dikare-
nakan dalam pengasuhan ini anak akan dibebaskan untuk berpendapat,
memiliki hak untuk beropini, mendukung pilihan anak, dan memberikan
ruang bagi anak unstuk melakukan eksplorasi. Pola asuh demokratis juga
membuat orangtua memiliki komunikasi yang aktif dengan anak sehingga
ketika anak mendapatkan risiko dari aktivitas daring orangtua dapat
memberikan perannya dalam memberikan dukungan dan menyelesaikan
masalah yang dihadapi.

Gaya pola asuh otoriter memiliki korelasi negatif dengan resiliensi daring
karena orangtua mengambil kontrol penuh atas hak anak dalm melakukan
aktivitas daring. Ketika anak berada dalam kontrol orangtua yang ketat
maka akan membuat anak tidak memiliki kesempatan untuk mengemu-
kakan pendapat atau mandiri ketika dihadapkan dengan risiko dari aktivitas
daring kedepannya. Anak tidak terbiasa melakukan komunukasi dua
arah dan melakukan koping yang adaptif dalam menyelesaikan masalah
yang ada. Kemudian, gaya pola asuh yang permisif juga memiliki korelasi
negatif dengan resiliensi daring anak. Pola asuh ini akan membuat anak

Resiliensi dalam Konteks Khusus 57


tidak memiliki pengendalian diri yang baik sehingga ketika dihadapkan
dengan konflik akan membuatnya sulit untuk menyelesaikannya secara
adaptif. Di sisi lain tanpa adanya pengawasan dan arahan dari orangtua
akan membuat anak tidak mengetahui bagaimana batasan dalam aktivitas
daring.

4.5 Daftar Pustaka

Beri, N. & Kumar, D. (2018). Predictors of academic resilience among


students: A meta analysis. I-managers Journal on Educational
Psychology, 1 (4), 37-43.

Cassidy, S. (2016). The Academic Resilience Scale (ARS-30): A new multidi-


mensional construct measure. Frontiers in Psychology, 7 (1787), 1-11.

Cohen, O., Leykin, D., Lahad, M., Goldberg, A., & Aharonson-Daniel,
L. (2013). The conjoint community resiliency assessment measure
as a baseline for profiling and predicting community resilience for
emergencies. Technological Forecasting and Social Change, 80(9),
1732–1741. doi:10.1016/j.techfore.2012.12.009 

Deist, M., & Greeff, A. P. (2016). Living with a parent with dementia: A family resil-
ience study. Dementia, 16(1), 126–141. doi:10.1177/1471301215621853 

d’Haenens, L., Vandoninck, S. & Donoso, V. (2013). EU Kids Online: How to


cope and build online resilience. The London School of Economics &
Political Sciences: London, UK.

Firdaus, I. K. & Kelly, E. (2019). Pengaruh pola asuh terhadap online resil-
ience. Jurnal Psikologi, 6 (1), 20-38.

Ganor, M. & Lavy, Y. B. (2003). Community resilience: Lessons derived from


Gilo under fire. Journal of Jewish Communcal Service, 104-108.

Hendriani, W. (2017). Menumbuhkan online resilience pada anak di era


teknologi digital. Prosiding Temu Ilmiah X Ikatan Psikologi Perkem-
bangan Indonesia. Semarang, 22-24 Agustus Halaman 52-58.

Karaminia, R., Haji, M. D., Salimi, S. H. & Tahour, M. A. (2018). Translation

58 Psikologi Resiliensi
and validation of the “Walsh Family Resilience Questionnaire” for
Iranian Families. International Journal of Behavior Science, 12 (2),
48-52.

Kimhi, S., Eshel, Y., Lahad, M. & Leykin, D. (2019). National resilience: A
new self-report assessment scale. Community Mental Health Journal,
55, 721-731.

Leykin, D., Lahad, M., Cohen, O., Goldberg, A., & Aharonson-Daniel, L.
(2013).  Conjoint Community Resiliency Assessment Measure-28/10
Items (CCRAM28 and CCRAM10): A Self-report Tool for Assessing
Community Resilience. American Journal of Community Psychology,
52(3-4), 313–323. doi:10.1007/s10464-013-9596-0 

Mwangi, C. N. & Ireri, A, M. (2017). Gender differences in academic resil-


ience and academic achievement among secondary school students in
Kiambu Country, Kenya.

Martin, A.J., & Marsh, H. W. (2006). Academic resilience and its psycho-
logical and educational correlates: A construct validity approach.
Psychology in the Schools, 43, 267-282. DOI: 10.1002/pits.20149.

Nadrowska, N., Btazek, M. & Walter, A. L. (2017). Family resilience: Definition


of construct and preliminary results of the Polish adaptation of the
Family Resilience Assessment Scale (FRAS). Current Issues in Person-
ality Psychology, 5 (3).

Norris, F. H., Stevens, S. P., Pfefferbaum, B., Wyche, K. F., & Pfefferbaum, R. L.
(2007). Community Resilience as a Metaphor, Theory, Set of Capacities,
and Strategy for Disaster Readiness. American Journal of Community
Psychology, 41(1-2), 127–150. doi:10.1007/s10464-007-9156-6 

Nurmela, Suryani & Rafiyah, I. (2018). The relationship of family resilience


with relapse in the schizoprenia patients at psychiatric unit. Padja-
jaran Nursing Journal, 6 (1), 18-24.

Poerwanto, A. & Prihastiwi, W. J. (2017). Analisis Prediktor Resiliensi


Akademik Siswa Sekolah Menengah Pertama di Kota Surabaya. Psiko-
sains, 12 (1), 45-57.

Power, J., Goodyear, M., Maybery, D., Reupert, A., O’Hanlon, B., Cuff, R., &

Resiliensi dalam Konteks Khusus 59


Perlesz, A. (2015). Family resilience in families where a parent has a
mental illness. Journal of Social Work, 16(1), 66–82. doi:10.1177/14680
17314568081 

Przybylski, A.K., Mishkin, A, Shotbolt, V., & Linington, G. (2014). A Shared


Responsibility: Building Children›s Online Resilience.

Ramenzapour, A., Kouroshnia, M., Mehryar, A. & Javidi, H. (2019). Psycho-


metric evaluation of the Academic Resilience Scale (ARS-30) in Iran.
Iranian Evolutionary and Educational Psychology Journal, 144-150.

Rocchi, S., Ghidelli, C., Burro, R., Vitacca, M., Scalvini, S., Vedova, A. M. D.,
Roselli, G., Ramponi, J. P., Bertolotti, G. (2017). The Walsh Family Resil-
ience Questionnare,: The Italian version. Neuropsychiatric Disease
and Treatment, 13, 2987-2999.

Rojas, L. F. (2015). Factors affecting academic resilience in middle school


students: A case study. Gist Education and Learning Research Journal,
11, 63-78.

Sixbey, M. T. (2005). Development of The Family Resilience Assessment


Scale to identify family resilience construct. Disertation (published).
University of Florida.

Schaufeli, W. B., Pinto, A. M., Salanova, M., & Bakker, A. B. (2002). Burnout
and engagement in university students. A Cross-National Study, 33(5),
464–48.

Walsh, F. (1996). The concept of family resilience: Crisis and challenge.


Family Process, 35, 261-281.

Walsh, F. (2003). Family resilience: A framework for clinical practice. Family


Process, 42 (1), 1-18.

Walsh, F. (2016). Family resilience: A developmental systems framework.


European Journal of Developmental Psychology, 1-13.

Yumpi, F. & Satriyo, D. (2017). Resiliensi keluarga dengan anak gangguan


disintergatif melalui konseling kelompok. Jurnal Insight, 13 (1), 13-26.
5

Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Resiliensi

Segala sesuatu terjadi karena terlibatnya berbagai faktor. Resiliensi yang


dimiliki individu dibentuk oleh berbagai faktor yang mengantarkan
individu memiliki kapasitas bertahan dalam kondisi sulit, beradaptasi
dengan kondisi tersebut, sekaligus menggerakkan ke kemajuan di masa
depan. Usia dan gender, status sosial ekonomi, karakteristik kepribadian,
religiositas, kebersyukuran, koping stres, efikasi diri, kecerdasan emosi,
optimisme, gaya pola asuh, dan dukungan sosial adalah sejumlah faktor
yang mengantarkan individu, keluarga, dan komunitas memiliki kapasitas
yang kita sebut resiliensi.

5.1 Usia dan Gender

Dari sudut pandang psikologi perkembangan, individu akan melalui


sejumlah tugas perkembangan psikologis berdasarkan usia kronologisnya.
Dalam perjalanan hidupnya individu akan menemui berbagai tantangan
dan menuntutnya untuk mengatasi situasi tersebut. Kemampuan
individu untuk mengatasi dan bangkit dari masalah akan ditentukan
oleh kemampuan kognitif, pengalaman, kepribadian, dan dukungan yang
diperoleh dalam hidupnya. Kemudian, gender laki-laki atau perempuan
tentu memiliki karakteristik yang berbeda baik secara psikologis maupun
fisik dan tentunya mempengaruhi bagaimana cara individu tersebut
menyikapi suatu kesulitan dalam hidup. Setiap gender memiliki tantangan
atau tuntutan yang dibentuk dari struktur sosial dan norma yang ada di
mana individu tersebut tinggal. Kondisi ini akan menentukan sejauh mana
risiko dan kesulitan yang dapat muncul selama perjalanan hidup individu
tersebut.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi 61


Sejumlah penelitian pun dilakukan untuk melihat perbedaan resi-
liensi berdasarkan usia dan gender. Goroshit dan Eshel (2013) meneliti
tentang faktor demografik yang mempengaruhi resiliensi komunitas dan
negara. Hasilnya menunjukkan bahwa semakin tua usia seseorang dapat
menjadi prediktor terhadap resiliensi komunitas dan negaranya. Sambu
dan Mhongo (2019) melakukan penelitian untuk melihat pengaruh usia
dan gender terhadap resiliensi warga Kenya yang mengalami trauma
sebagai pengungsi di negaranya sendiri. Hasil dari penelitian tersebut
menunjukkan bahwa responden yang berusia 56-77 tahun memiliki
tingkat resiliensi yang tinggi, usia 35-55 tahun memiliki tingkat resiliensi
sedang, dan usia di bawah 35 tahun memiliki tingkat resiliensi yang lebih
tinggi. Kemudian, laki-laki memiliki skor resiliensi dibandingkan dengan
perempuan. Hal ini dikarenakan faktor protektif perempuan cenderung
menggunakan keluarga dan komunitas, sedangkan laki-laki menggunakan
faktor protektif yang ada dalam dirinya sendiri.

Harris (2016) dalam penelitiannya menguji efek gender terhadap 94 resi-


liensi orang dewasa dalam menghadapi daily non-traumatic stressors.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa gender memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap resiliensi dalam menghadapi kesulitan hidup
sehari-hari. Responden perempuan menunjukkan lebih resilien diband-
ingkan laki-laki dalam menghadapi daily non-traumatic stressors. Mwangi
dan Ireri (2017) melakukan penelitian terhadap perbendaan gender
terhadap resiliensi akademik pada 390 siswa Sekolah Menengah Pertama
di Kenya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa perempuan
memiliki resiliensi akademik lebih tinggi dibandingkan siswa laki-laki.
Ludin (2018) meneliti tentang community disaster resilience kepada 386
orang korban bencana alam banjir di Malaysia. Penelitian tersebut menun-
jukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat resiliensi yang signifikan
berdasarkan gender di mana perempuan memiliki skor resiliensi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.

5.2 Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi (SSE) memiliki penjelasan dalam bagaimana isu


kesehatan mental dapat terjadi pada individu. SSE adalah konsep luas yang
merujuk pada posisi seseorang, keluarga, rumah tangga, atau kelompok

62 Psikologi Resiliensi
dalam mendapatkan penghormatan untuk bisa merasakan sesuatu yang
berharga dalam hidup bermasyarakat. Stepleman, Wright, dan Bottonari
(2008) dalam tulisannya yang berjudul “Socioeconomic Status: Risks and
Resilience” menjelaskan terdapat dua model untuk melihat hubungan
antara kesehatan mental dan SSE. Pertama, model social causation
menjelaskan tentang meningkatnya tingkat stres pada individu dipe-
ngaruhi oleh rendahnya lingkungan SSE yang dimiliki sehingga berisiko
terhadap tingginya tingkat gangguan psikologis. Rendahnya SSE dapat
memperburuk kesehatan fisik dan emosi karena paparan stres yang tinggi
namun tidak diimbangi dengan kesempatan untuk mengakses layanan
psikologis. Kedua, model social selection menekankan pada faktor genetik
dan lingkungan menjadi predisposisi terhadap gangguan psikologis yang
diderita oleh individu. Hal ini kemudian membuat individu tidak bisa
memenuhi ekspektasi dalam norma sosial, tidak mendapatkan pekerjaan,
atau tidak memiliki hubungan sosial yang efektif. Kedua model tersebut
saling mempengaruhi dalam membentuk pribadi individu sehingga tidak
ada faktor tunggal dalam membentuk resiliensi.

Kesehatan mental individu juga dipengaruhi oleh faktor risiko yang


dimilikinya. Faktor-faktor risiko ini yang membuat individu membutuhkan
usaha dan waktu yang lebih lama untuk bangkit kembali dari keterpu-
rukan atau kesulitan yang dihadapinya. Faktor-faktor risiko tersebut dapat
dilihat dari tiga level, yaitu komunitas/sistem, keluarga dan sosial, serta
idnvidiu. Pada level komunitas/sistem, akses terhadap layanan kesehatan
dapat menentukan kesehatan mental individu. Individu yang berasal dari
SSE yang rendah cenderung kurang menggunakan layanan kesehatan
dikarenakan oleh beberapa hal, seperti tidak memiliki cukup uang atau
asuransi dan stigma terhadap orang yang menjalani layanan psikologis.
Kemudian, masalah lingkungan tempat di mana individu tinggal juga
mempengaruhi kesehatan mentalnya. Kelompok minoritas memiliki risiko
tinggal dalam tempat yang padat, berpolusi, angka kejahatan tinggi, dan
rendahnya fasilitas pendidikan dan lapangan pekerjaan untuk mereka.
Kondisi-kondisi tersebut berbeda dengan kelompok mayoritas yang
cenderung lebih mudah mendapatkan lingkungan yang lebih baik. Selain
itu, pengalaman mendapatkan diskriminasi atau rasisme juga menentukan
kemampuan individu untuk menjadi resilien. Diskriminasi dan rasisme
membuat individu menjadi semakin rentah mengalami dampak negatif
baik secata fisik maupun psikologis dan akses terhadap layanan kesehatan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi 63


Pada level keluarga atau sosial terdapat sejumlah kondisi yang dapat
mempengaruhi anak atau anggota keluarga lain mengalami perma-
salahan dalam kesehatan mental. Kondisi-kondisi ini yang kemudian
menjadi faktor risiko yang dapat mempengaruhi resiliensi individu ketika
dihadapkan dengan kesulitan dalam hidup. SSE rendah, orangtua yang
kurang mendapatkan edukasi/pendidikan, dan orangtua tunggal membuat
anggota anak atau anggota keluarga lainnya berisiko mengalami permas-
alahan fisik dan psikologis. Selain itu, keluarga yang berada dibawah garis
kemiskinan dan sering berpindah-pindah tempat tinggal juga memiliki
risiko yang sama terhadap kondisi individu. Kondisi-kondisi keluarga
tersebut memiliki korelasi terhadap risiko kecemasan, depresi, rentan
mengalami stres, dan pesimis dalam memandang masa depan. Kemudian,
keluarga yang saling memberikan dukungan sosial dan pola asuh yang
suportif antara orangtua dan anak memiliki korelasi positif terhadap
kondisi psikologis individu dimasa yang akan datang.

Pada level pribadi atau individu terdapat sejumlah aspek yang mempe-
ngaruhi kesejahteraan psikologis dan resiliensi individu, seperti status
pernikahan/hubungan, tingkat pendidikan, dan status pekerjaan. Individu
yang memiliki kepuasan dalam pernikahan menunjukkan kondisi psikologis
yang lebih baik, faktor protektif dalam resiliensi, dan menurunkan risiko
mengalami stres. Tingkat pendidikan dan status pekerjaan memiliki
korelasi yang kompleks terhadap resiliensi dan stres yang dialami oleh
individu. Hal ini ditentukan dengan faktor-faktor lain yang menyertainya.
Tingkat pendidikan dan status pekerjaan dapat menjadi faktor protektif
dan faktor risiko dalam waktu yang bersamaan terkait hubungannya
dengan isu kesehatan mental.

Goroshit dan Eshel (2013) dalam penelitiannya kepada 435 masyarakat


Israel tentang bagaimana gambaran resiliensi komunitas dan negara yang
dimiliki. Temuan dari penelitian ini adalah semakin komunal sebuah
komunitas memiliki korelasi positif terhadap resiliensi komunitas namun
tidak pada resiliensi negara. Bulut, dkk (2018) melakukan penelitian kepada
1025 siswa kelas 10 dan 11 dari lima sekolah berbeda yang berada di salah
satu kota tertinggal di Turki. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menge-
tahui bagaimana kondisi resiliensi remaja dilihat dari berbagai faktor
demografi. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa remaja yang
berasal dari ekonomi rendah, memiliki catatan kriminal, dan performa

64 Psikologi Resiliensi
akademik buruk memiliki korelasi negatif yang signifikan terhadap resi-
liensi. Kemudian, kondisi keluarga juga mempengaruhi resiliensi remaja
di kota tersebut. Temuan ini dilihat dari adanya korelasi negatif yang
signifikan antara resiliensi dengan status perekonomian keluarga, riwayat
penggunaan obat-obatan atau alkohol di keluarga, dan tingginya frekuensi
pertengkaran orangtua di rumah.

5.3 Karakteristik Kepribadian

Kepribadian individu menentukan bagaimana cara ia menyelesaikan


kesulitan dan menggunakan kemampuannya dalam menghadapi
kesulitan. Oleh karena itu, karakteristik kepribadian memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap resiliensi individu. Menurut McCrae dan Costa
(2003), terdapat lima ciri (trait) dalam kepribadian yang kemudian dikenal
dengan istilah Big Five Personality, yaitu neuroticism, extraversion, openness
to experience, agreeableness, dan conscientiousness. Disetiap ciri yang ada
kemudian juga memiliki facet atau ciri yang lebih spesifik dan merupakan
aspek dari setiap ciri kepribadian yang ada.

Ciri kepribadian neurotcism menggambarkan individu yang memiliki


permasalahan dengan emosi negatif, seperti rasa tidak aman dan rasa
khawatir. Individu yang memiliki tingkat neurotcism yang rendah
cenderung akan lebih bahagia dan puas terhadap hidup dibandingkan
dengan individu yang memiliki tingkat neurotcism yang tinggi. Selain itu,
ciri kepribadian neurotcism memiliki kesulitan dalam menjalin hubungan,
berkomitmen, self-esteem yang rendah, dan memiliki koping yang
maladaptif. Ciri kepribadian neurotcism memiliki enam facet, yaitu anxiety
(kecemasan), self-consciousness (menunjukkan emosi malu, insecure,
terlalu sensitif, dan mudah merasa rendah diri), depression (kerentanan
mengalami depresi), anger hostility (amarah untuk bermusuhan), impul-
siveness (tidak mampu mengendalikan dorongan atau keinginan), dan
vulnerability (kecenderungan tidak mampu menghadapi stres, mudah
menyerah, dam bergantung dengan orang lain).

Ciri kepribadian extraversion menggambarkan individu yang memiliki


kuantitas dalam interaksi sosial, level aktivitas, dan kebutuhan akan
dukungan orang lain. Individu yang memiliki tingkat extraversion yang
tinggi cenderung terbuka, ramah, dan menikmati hubungan interper-

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi 65


sonal. Kemudian, individu yang memiliki tingkat extraversion rendah atau
introvert cenderung tertutup dan lebih menikmati waktu sendiri. Selain
itu, ciri kepribadian extraversion memiliki emosi yang positif, energik,
ambisius, dan tertarik pada banyak hal. Ciri kepribadian extraversion
memiliki enam facet¸yaitu warmth (kehangatan dalam bergaul), gregari-
ousness (cenderung memiliki banyak teman dan berinteraksi dengan orang
banyak), activity (mengikuti berbagai kegiatan karena memiliki semangat
dan energi yang tinggi), assertiveness (cenderung tegas melalui perilaku
asertif), excitement-seeking (cenderung menyukai sensasi dan mengambil
risiko), dan positive emotion (memiliki emosi positif seperti bahagia atau
cinta).

Ciri kepribadian openness to experience merujuk pada kesediaan melakukan


penyesuaian terhadap situasi atau ide yang baru. Hal ini ditandai dengan
individu yang mudah bertoleransi, cenderung lebih mudah menyele-
saikan masalah karena terbuka terhadap pengalaman baru, kreatif,
fokus, mampu menyerap informasi, serta mampu untuk waspada pada
berbagai perasaan, pemikiran, dan impulsivitas. Individu yang memiliki
ciri kepribadian openness to experience digambarkan sebagai individu
yang memiliki nilai imajinasi, broadmindedness, dan a world of beauty.
Sebaliknya, individu yang tingkatnya rendah memiliki nilai kepatuhan,
konservatif, keamanan bersama, dan tidak menyukai perubahan. Ciri
kepribadian openness to experience memiliki enam facet, yaitu fantasy
(imajinasi yang aktif dan tinggi), aesthetic (apresiasi tinggi pada seni dan
keindahan), feelings (menyadari dan kemudian menyelami perasaannya
sendiri), action (keinginan melakukan hal baru), ideas (berpikiran terbuka
dan tidak konvensional), dan values (kesiapan dalam menguji ulang nilai-
nilai sosial, politik, dan agama).

Ciri kepribadian agreeableness juga dapat disebut dengan social adapt-


ability atau social likability ditandai dengan individu yang ramah, mudah
mengalah, menghindari konflik, dan memiliki kecenderungan untuk
mengikuti orang lain. Individu yang memiliki tingkat kepribadian agree-
ableness yang tinggi digambarkan sebagai individu yang penyayang,
gemar membantu, dan mudah memaafkan sedangkan rendahnya tingkat
agreeableness membuat individu cenderung agresif dan sulit untuk diajak
kooperatif. Ciri kepribadian agreeableness memiliki enam facet, yaitu trust
(percaya kepada orang lain), straight-forwardness (berterus terang dan

66 Psikologi Resiliensi
sungguh-sungguh dalam menyatakan sesuatu), altruism (murah hati dan
membantu orang lain), tender-mindedness (simpati dan peduli terhadap
orang lain), compliance (kerelaan), dan modesty (sederhana dan rendah
hati).

Ciri kepribadian conscientiousness bisa disebut juga dengan istilah depend-


ability, impulse control, dan will to achieve. Ciri kepribadian ini ditandai
dengan kontrol terhadap lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak,
menunda kepuasan, patuh terhadap aturan, terencana, terorganisir,
memprioritaskan tugas. Tingginya tingkat ciri kepribadian conscien-
tiousness biasanya dikenal sebagai individu yang perfeksionis, worka-
holic, dan membosankan. Akan tetapi, rendahnya tingkat ciri kepribadian
ini akan cenderung menunjukkan sikap ceroboh, tidak terencana, tidak
terarah, dan perhatianya mudah teralihkan. Ciri kepribadian conscien-
tiousness memiliki enam facet, yaitu order (kemampuan dalam mengor-
ganisir), dutifulness (memegang erat prinsip hidup), competence (efektif
dan bijaksana dalam melakukan sesuatu), self-discipline (mampu mengatur
diri sendiri), achievement-striving (dorongan untuk berprestasi), dan delib-
eration (berpikir sebelum bertindak).

Oshio, Taku, Hirano, dan Saeed (2018) melakukan meta analisis dengan
menggunakan 30 penelitian untuk mengetahui korelasi antara resiliensi
dan big five personality traits. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan
ciri kepribadian neuroticism memiliki korelasi negatif dengan resiliensi.
Kemudian, ciri kepribadian extraversion, openness to experience, agree-
ableness, dan conscientiousness memiliki korelasi positif dengan resiliensi
yang signifikan. Ercan (2017) melakukan penelitian kepada mahasiswa
untuk mengetahui hubungan antara big five personality dengan resi-
liensi. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan ciri kepribadian extra-
version, openness to experience, agreeableness, dan conscientiousness
memiliki korelasi positif yang signifikan dengan resiliensi sedangkan
ciri kepribadian neuroticism memiliki korelasi negatif yang signifikan
dengan resiliensi. Penelitian yang dilakukan oleh Nuriyah dan Ambarini
(2019) menemukan bahwa kepribadian dalam big five personality memiliki
korelasi dengan resiliensi pada family caregiver orang dengan skizofrenia.
Ciri kepribadian neuroticism memiliki korelasi negatif yang signifikan
dengan resiliensi. Kemudian, ciri kepribadian extraversion, openness to
experience, agreeableness, dan conscientiousness memiliki korelasi positif
dengan resiliensi.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi 67


5.4 Religiusitas

Religiusitas menjadi faktor protektif pada kondisi psikologis seseorang.


Menurut Nashori dan Diana (2002), religiusitas adalah seberapa banyak
pengetahuan, seberapa kokok keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah
dan akidah, serta seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianut.
Dalam konsep Islam, Ancok dan Nashori (2008) menjelaskan bahwa religi-
usitas memiliki lima dimensi. Pertama akidah, yaitu tingkat keyakinan
seorang Muslim terhadap ajaran-ajaran yang ada dalam agama Islam.
Kedua syariah, yaitu tingkat kepatuhan Muslim dalam mengerjakan
kegiatan ritual seperti yang dianjurkan dalam agama Islam. Ketiga akhlak,
yaitu tingkat perilaku seorang Muslim berdasarkan ajaran-ajaran agama
Islam dalam hal bagaimana berinteraksi atau berealisasi dengan dunia
beserta isinya. Keempat pengetahuan agama, yaitu tingkat pemahaman
Muslim terhadap ajaran-ajaran agama Islam sebagaimana yang termuat
dalam al-Qur’an. Kelima penghayatan, yaitu mengalami perasaan-perasaan
dalam menjalankan aktivitas beragama dalam agama Islam.

Rahmawati (2014) menemukan bahwa mahasiswa yang memiliki


keyakinan atas agamanya, dan beribadah sembari mengevaluasi kondisi
keimanan dapat meningkatkan resiliensi. Makshin, dkk (2019) melakukan
penelitian tentang efektivitas journal of self-hisbah reflection dalam mening-
katkan religiusitas dan resiliensi pada usia remaja. Journal of self-hisbah
reflection merujuk pada refleksi diri dan implementasi nilai agama kepada
lingkungan sosial, yaitu dengan prinsip amar ma’ruf dan nahi munkar.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan melalui perilaku amar ma’ruf dan
nahi munkar mampu meningkatkan tingkat religiusitas dan resiliensi pada
remaja.

Sejumlah penelitian lain mengungkapkan bahwa religiusitas juga memiliki


korelasi yang signifikan terhadap kemampuan seseorang bangkit kembali
terhadap masalah dan kondisi kejiwaan tertentu. Feder, dkk. (Mosqueiro,
Rocha & Fleck, 2015) menyatakan bahwa religiusitas dapat menjadi
sumber resiliensi pada diri individu dalam menghadapi kesulitan dan
pengalaman traumatis. Kasen, Wickramaratne, Gameroff dan Weissman
(2012) menemukan bahwa religiustias dapat mengembangkan resiliensi
pada orang-orang yang memiliki risiko depresi berat. Dehghani-Firooz-
abadi, dkk (2017) menemukan bahwa sikap religius yang memiliki korelasi

68 Psikologi Resiliensi
positif terhadap resiliensi perempuan yang mengalami kekerasan dalam
rumah tangga. Jangi dan Sardari (2019) juga menyimpulkan bahwa religi-
usitas efektif dalam meningkatkan resliensi pada pasien kanker.

5.5 Koping Stres

Koping stres adalah proses di mana individu berusaha untuk mengatasi


atau mengurangi stres (Sarafino, 2006). Lazarus dan Folkman (1984)
mengklasifikasikan koping stres menjadi dua, yaitu problem-focused coping
dan emotional-focused coping. Problem-focused coping adalah perilaku
pemecahan masalah yang berfokus pada masalah menggunakan strategi
analisis, logika, mencari informasi, dan berusaha menyelesaikan masalah
secara positif. Emotional-focused coping adalah pemecahan masalah yang
berfokus pada emosi di mana melakukan regulasi terhadap emosi yang
muncul akibat stres atau masalah. Carver (1997) kemudian membagi
koping stres menjadi tiga, yaitu emotion-focused (emotional support use,
positive reframing, humor, acceptance, religion), problem-focused (active
coping, instrumental support use, planning), dan dysfunctional coping
(self-distraction, denial, substance use, behavioral disengagement, venting,
self-blame).

Penelitian yang dilakukan oleh Rice dan Liu (2016) kepada tentara menun-
jukkan koping stres memiliki korelasi dengan resiliensi. Pada kelompok
emotion-focused menunjukkan bahwa acceptance, humor, positive
reframing, dan religion memiliki korelasi positif dengan resiliensi. Pada
kelompok problem-focused menunjukkan active coping dan planning
memiliki korelasi positif dengan resiliensi. Kemudian, pada kelompok
dysfunctional coping menunjukkan bahwa denial, substance use, behavioral
disengagement, self-blame, dan venting memiliki korelasi negatif dengan
resiliensi.

Menurut Pargament, Smith, Koenig, dan Perez (1998), koping religius


sebagai beragam hal yang berkaitan dengan spiritualitas dan religiusitas
dalam bentuk respon kognitif, perilaku, dan interpersonal dalam meng-
hadapi sumber stres. Pargament dan Raiya (2007) mendefinisikan koping
religius sebagai cara untuk memahami dan menghadapi situasi hidup
yang negatif di mana berhubungan dengan sesuatu yang berkaitan dengan
agama. Aspek-aspek koping religius, yaitu penilaian kembali terhadap

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi 69


kebaikan agama (benevolent religious reappraisal), koping agama yang
kolaboratif (collaborative religious coping), mencari dukungan spiritual
(seeking spiritual support), pembersihan religius (religious purification),
hubungan spiritual (spiritual connection), mencari dukungan dari ulama
(seeking support from clergy or members), agama sebagai penolong
(religious helping), dan agama sebagai tempat memaafkan (religious
forgiving) (Pargament, Smith, Koenig & Perez, 1998).

Koping stres dengan pendekatan agama adalah menggabungkan religi-


usitas yang dimiliki dengan kemampuan terhadap penyelesaian masalah.
Mosqueiro, Rocha, dan Fleck (2015) mengungkapkan bahwa religiusitas
dan spiritualitas merupakan prediktor dan sumber resiliensi pada individu
yang sedang menghadapi kesulitan atau berada pada kondisi stres.
Lamoshi (2015) menambahkan bahwa agama Islam merupakan sumber
dari resiliensi bagi individu dalam menghadapi kesulitan hidup. Temuan
dalam penelitian juga sejalan dengan temuan oleh Rahmati, Khaledi,
Salari, Bazrafshan, dan Ananhita (2017) yang menemukan bahwa inter-
vensi dengan pendekatan religius dan spiritual dapat meningkatkan resil-
iensi pada keluarga muslim yang memiliki anggota keluarga yang sedang
menjalani perawatan atau pengobatan.

5.6 Efikasi diri (self-efficacy)

Dalam proses pembelajaran, Bandura (1997) menekankan akan pentingnya


faktor kognitif yang salah satunya adalah efikasi diri. Efikasi diri adalah
suatu keyakinan individu akan kemampuannya dalam mengatur dan
melaksanakan serangkaian perilaku atau tindakan yang diperlukan guna
menyelesaikan suatu tugas tertentu. Efikasi diri dipengaruhi oleh tiga
dimensi, yaitu level, generality, dan strength. Dimensi level merujuk pada
tingkat kesulitan yang diyakini individu akan mampu mengatasinya. Jika
individu memiliki efikasi diri yang tinggi maka akan memiliki keyakinan
berhasil dalam melakukan suatu tugas dan sebaliknya. Dimensi generality
adalah variasi situasi di mana individu merasa yakin atas kemampuan
dirinya. Jika individu memiliki efikasi diri yang tinggi maka dirinya akan
merasa bisa menyelesaikan beragam tugas yang ada dan sebaliknya.
Dimensi strength menjelaskan tentang seberapa kuat individu meyakini

70 Psikologi Resiliensi
dirinya mampu menyelesaikan suatu tugas. Semakin kuat keyakinan
individu akan dirinya maka akan semakin tinggi efikasi diri yang dimiliki
untuk menyelesaikan tugas.

Efikasi diri memiliki peran dalam menentukan keyakinan individu untuk


bangkit dari masalah atau situasi yang tidak nyaman. Studi meta analisis
yang dilakukan oleh Utami dan Helmi (2017) menemukan bahwa efikasi
diri memiliki korelasi positif yang signifikan terhadap resiliensi. Casidy
(2016) menemukan bahwa mahasiswa yang memiliki efikasi diri dalam
hal akademik yang baik menunjukkan resiliensi yang lebih baik dalam
menjalani studi. Jaeh dan Madihie (2019) menemukan bahwa efikasi diri
memiliki korelasi positif yang kuat terhadap resiliensi pada usia remaja
akhir. Dalam hal ini adalah mampu meningkatkan kebermaknaan diri
(meaningfulness), ketekunan (perseverance), kemandirian (self-reliance),
dan keseimbangan batin (equanimity). Ngui dan Lay (2020) menemukan
bahwa efikasi diri yang baik dapat meningkatkan resiliensi mahasiswa
dalam menjalankan tugas praktik dan menurunkan tingkat stres. Efikasi
diri yang baik kemudian juga meningkatkan resiliensi dan kemampuan
menyelesaikan sesuatu ketika dibawah tekanan (Crane, Brabazon,
Gucciardi, Loveday & Wiggins, 2017).

5.7 Kecerdasan emosi

Resiliensi identik dengan kemampuan menghadapi situasi yang sulit dan


tidak menyenangkan serta mengelola emosi-emosi negatif yang muncul
dari situasi tersebut. Kondisi emosi menjadi faktor yang signifikan dalam
menentukan apakah individu bisa resilien atau tidak. Dalam konsep
psikologi dikenal istilah kecerdasan emosi yang menitikberatkan pada
kemampuan individu dalam mengelola emosinya. Salovey dan Mayer
(1990) menjelaskan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan individu
dalam mengamati perasaan pribadi dan orang lain, mengidentifikasi
perasaan-perasaan tersebut, dan menggunakannya dalam memandu
proses berpikir dan bertindak terhadap sesuatu.

Salovey (Goleman, 2015) menjelaskan bahwa terdapat lima komponen


dalam kecerdasan emosional, yaitu self-awareness, self-regulation,
motivation, empathy, dan social skills. Self-awareness adalah dasar dari
kecerdasan emosional yang dimiliki oleh individu. Kesadaran ini meliputi

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi 71


tentang mengetahui kelebihan, kekurangan, pikiran, perilaku, motif, keper-
cayaan, dan perasaan yang dimiliki oleh individu itu sendiri. Kesadaran diri
penting dimiliki untuk mengenali diri sehingga tidak mudah dikuasai oleh
keadaan. Self-regulation merupakan kemampuan individu untuk mengelola
perasaan sehingga tidak dikuasai oleh dorongan impulsif sehingga dapat
menempatkan diri. Individu yang semakin banyak mengelola emosinya
akan membuatnya lebih produktif dan terarah. Self-regulation yang baik
ditandai dengan pribadi yang dapat dipercaya (integritas dan menguta-
makan kejujuran), kesadaran yang baik (mengambil tanggung jawab
sesuai kapastias diri), kemampuan adaptasi (adaptif terhadap perubahan),
motivasi berprestasi (berusaha memberikan usaha terbaik untuk
memenuhi atau meningkatkan standar terbaik), dan inisiatif (kesiapan
bertindak berdasarkan peluang dengan inovasi) (Sunindjono, Hadikusumo
& Ogunlana, 2007).

Motivation adalah kemampuan individu untuk menahan diri terhadap


kepuasan dan mengendalikan keinginan atau dorongan untuk meraih
suatu tujuan. Motivasi akan mendorong individu menjadi lebih produktif
dan efektif dalam melakukan sesuatu karena adanya komitmen yang kuat
dalam dirinya. Motivasi penting dalam kecerdasan emosi mengingat butuh
komitmen yang kuat dalam bertindak ketika situasi sangat emosional.
Empathy merupakan kemampuan individu merasakan apa yang dirasakan
oleh orang lain atau mengenali emosi orang lain. Dengan kata lain
individu yang mampu berempati mampu menempatkan diri, merasakan,
memahami, dan memperhitungkan perspektif yang dimiliki oleh orang
lain. Empati juga akan menentukan bagaimana cara individu berpikir dan
berperilaku kepada diri sendiri dan orang lain. Social skills adalah kete-
rampilan untuk mengatasi dan mempengaruhi emosi orang lain secara
efektif guna terciptanya interaksi yang baik. Kemampuan membina
hubungan sosial yang baik ditandai dengan mengetahui emosi orang lain
sehingga dapat menunjang kualitas hubungan interpersonal.

Ravikumar dan Dhamodharan (2014) meneliti tentang korelasi kecerdasan


emosi, kecerdasan spiritual, dan resiliensi pada 321 karyawan perusahaan
di India. Hasilnya menunjukkan bahwa kecerdasan emosi dan spiritual
memiliki korelasi positif yang signifikan. Dalam penelitiannya juga
menjelaskan bahwa kecerdasan emosi memiliki nilai sumbangan efektif
sebesar 68,3% terhadap resiliensi karyawan di perusahaan. Magnano,

72 Psikologi Resiliensi
Craparo, dan Paolillo (2016) melakukan penelitian untuk melihat hubungan
antara kecerdasan emosi, resiliensi, dan motivasi berprestasi pada 488
pekerja di Italia berusia 18 sampai dengan 55 tahun. Hasil dari penelitian
tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan emosi memiliki korelasi positif
yang signifikan terhadap resiliensi dan motivasi berprestasi pada pekerja.
Promsri (2019) juga melakukan penelitian tentang hubungan kecerdasan
emosi dengan resiliensi pada mahasiswa internasional. Ia ingin menge-
tahui bagaimana hubungan antara keempat aspek kecerdasan emosi
(self-awareness, self-management, social awareness, dan relationship
management) terhadap resiliensi mahasiswa. Hasil dari penelitian tersebut
menunjukkan bahwa kecerdasan emosi memiliki korelasi positif yang
signifikan terhadap resiliensi. Kemudian, lebih lanjut hasil dari uji korelasi
menemukan bahwa hanya self-awareness dan relationship management
yang memiliki korelasi positif dengan resiliensi secara signifikan.

5.8 Optimisme

Snyder dan Lopez (2002) menjelaskan bahwa optimisme adalah suatu


harapan yang ada pada diri individu bahwa segala sesuatu akan berjalan
menuju arah kebaikan. Saphiro (2003) menambahkan optimisme
sebagai kecenderungan untuk memandang sesuatu dari sisi baiknya dan
mengharapkan hasil yang paling memuaskan. Menurut Seligman (2008),
ada tiga aspek optimisme, yaitu permanence (temporer atau permanen),
pervasiveness (spesifik atau global), dan personalization (faktor internal
atau eksternal). Permanence adalah individu yang optimis jika menjelaskan
penyebab peristiwa buruk meyakini bersifat temporer, sedangkan individu
yang pesimis akan melihatnya permanen. Pervasiveness adalah individu
yang optimis jika menghadapi peristiwa buruk maka akan menjelaskannya
dengan spesifik, sedangkan individu yang pesimis akan menjelaskan
secara global. Personalization adalah individu yang optimis cenderung
tidak mempermasalahkan diri sendiri sebagai penyebab suatu peristiwa
buruk, sedangkan individu yang pesimis mutlak menyalahkan diri sendiri.

Individu yang resilien dapat dilihat dari sebearapa banyak harapan yang
dimiliki ketika dihadapkan dengan situasi atau kondisi yang menekan. Bagi
mahasiswa, optimisme memiliki korelasi positif yang signifikan terhadap
resiliensi (Panchal, Mukherjee & Kumar, 2016; Gomez-Molinero, Zayas,

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi 73


Ruiz-Gonzales & Guil, 2018). Sejalan dengan temuan sebelumnya, Agarwal
dan Malhotra (2019) juga menemukan bahwa optimism memiliki korelasi
positif yang signifikan terhadap resiliensi dan kesejahteraan psikologis.

5.9 Kebersyukuran

Kata gratitude diambil dari akar Latin gratia, yang artinya kelembutan,
kebaikan hati, atau berterima kasih. Kata-kata yang terbentuk dari
akar kata gratia berhubungan dengan suatu kebaikan, kedermawaan,
pemberian, keindahan dari memberi dan menerima, atau mendapatkan
sesuatu tanpa tujuan apapun (Emmons & McCullough, 2003). Emmons
dan McCullough (2003) mendefinisikan syukur sebagai sebuah perasaan
atau emosi, yang kemudian diimplementasikan dalam sikap, sifat moral
yang baik, sifat kepribadian, dan akan mempengaruhi bagaimana individu
menanggapi suatu situasi. Menurut Snyder dan Lopez (2002), secara
psikologis, gratitude merupakan suatu perasaan yang menakjubkan, rasa
terima kasih, dan penghargaan terhadap kehidupan. Beberapa laporan
yang mendalam tentang pengalaman kebersyukuran terdapat dasar secara
agama atau diasosiasikan dengan penghormatan yang luar biasa untuk
menghargai alam semesta (acknowledgment of the universe).

Dari perspektif Islam, Al-Jauziyyah (2010) mendefinisikan bersyukur


sebagai pengakuan terhadap nikmat Allah SWT dengan sikap ketun-
dukkan dan memuji atas yang telah diberikan-Nya dengan menyebut
atau mengingat atas nikmat-nikmat yang telah didapat serta menge-
rahkan kemampuan yang dimiliki individu dalam ketaatan. Pengaruh rasa
syukur terhadap resiliensi ditemukan pada sejumlah penelitian dengan
berbagai latar belakang. Rasa syukur memiliki korelasi positif terhadap
resiliensi pada remaja (Mary & Patra, 2015; Listyandini, 2018). Praktik
syukur meningkatkan fokus dan resilien dalam proses pembelajaran pada
mahasiswa (Kumar & Dixit, 2014; Wilson, 2016). Saputro dan Sulistyarini
(2016) menemukan bahwa praktik rasa syukur juga mampu meningkatkan
resiliensi pada penderita kanker payudara.

5.10 Gaya pola asuh

Resiliensi terbentuk dari interaksi antara faktor internal dan eksternal


individu, salah satunya adalah pola asuh yang diterima dalam keluarga.

74 Psikologi Resiliensi
Baumrind (Santrock, 2007) menjelaskan bahwa pola asuh orangtua adalah
sikap atau perilaku orangtua terhadap anak dengan mengembangkan
aturan-aturan dan mencurahkan kasih sayang kepada anak. Pola asuh
ditandai dengan adanya pemenuhan kebutuhan anak oleh orangtua, baik
kebutuhan fisik (makan, minum, dan sebagainya), kebutuhan psikologis
(rasa aman, kasih sayang, perhatian, dan sebagainya), dan mengajarkan
norma-norma atau nilai-nilai yang ada di masyarakat agar anak dapat
hidup selaras dengan lingkungan di mana ia tinggal.

Pola asuh orangtua dapat dilihat dari bagaimana dua dimensi yang
menyusunnya, yaitu dimensi kontrol dan dimensi responsivitas. Dimensi
kontrol menjelaskan tentang tuntutan yang diberikan oleh orangtiua
kepada anak agar anak menjadi individu yang bertanggung jawab dan
dewasa. Selain itu, tujuan adanya kontrol adalah agar anak memberlakukan
aturan-aturan, norma, atau batasan yang sudah ditetapkan. Kemudian,
dimensi responsivitas meliputi kehadiran dukungan, kehangatan, dan
kasih sayang yang diberikan oleh orangtua kepada anak. Berdasarkan dua
dimensi ini, Baumrind mengelompokkan terdapat empat jenis pola asuh,
yaitu authoritative, authoritarian, permissive, dan uninvolved.

Pola asuh authoritative ditandai dengan tingginya tingkat kontrol dan


tuntutan kedewasaan oleh orangtua dalam pengasuhan. Dimensi kontrol
ini dapat dilihat dari adanya pendisiplinan dengan melibatkan penggunaan
logika, dan kekuasan, namun tidak sampai melewati batas hak pribadi
anak. Pola asuh ini memiliki keseimbangan antara dimensi kontrol dan
responsivitas di mana orangtua melakukan komunikasi terbuka dengan
musyawarah dalam mengambil keputusan bersama anak. Selain itu,
orangtua juga memberikan afeksi positif kepada anak selama memberikan
kontrol dalam pengasuhan. Oleh karena itu, pola asuh authoritative
seringkali disebut dengan pengasuhan yang demokratis kepada anak.
Pola asuh ini diasosiasikan dengan kompetensi sosial anak-anak yang
baik, seperti percaya diri, bertanggung jawab secara sosial, dan memiliki
kemampuan interpersonal yang baik.

Pola asuh authoritarian atau otoriter ditunjukan dengan tingginya tingkat


kontrol dan rendahnya tingkat responsivitas orangtua kepada anak. Hal
ini membuat anak dibiasakan untuk mengikuti arahan, permintaan, atau
tuntutan yang diberikan oleh orangtua dan memberlakukan hukuman jika

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi 75


tidak dipenuhi. Orangtua membuat batasan yang tegas dan tidak memberi
kesempatan yang cukup bagi anak untuk mengutarakan pendapatnya
sehingga dapat menciptakan jarak antara orangtua dan anak. Anak yang
dibesarkan dalam pola asuh yang otoriter berisiko memiliki kecemasan
yang tinggi, kemampuan komunikasi yang buruk, dan sulit mengek-
spresikan pikiran atau perasaannya kepada orang lain.

Pola asuh permissive ditandai dengan tingginya tingkat responsivitas dan


rendahnya tingkat kontrol. Pola asuh ini membuat orangtua sangat terlibat
dalam kehidupan anak tanpa disertai tuntutan atau kendali atas mereka
sehingga cenderung membiarkan anak melakukan apapun yang diing-
inkannya. Tidak jarang pola asuh ini membentuk anak menjadi pribadi
yang kurang mampu mengendalikan perilaku karena merasa bebas
melakukan apapun yang diinginkan sehingga cenderung egosentris. Pola
asuh permisif kemudian dibagi menjadi dua, yaitu permissive-indifferent
parenting (orangtua sangat tidak ikut campur dalam kehidupan anak) dan
permissive-indulgent parenting (orangtua yang sangat memanjakan anak
dengan rendahnya kontrol).

Pola asuh uninvolved adalah pola asuh yang ditunjukkan dengan sangat
rendahnya tingkat responsivitas dan tingkat kontrol kepada anak. Hal ini
membuat orangtua sangat kurang dalam memberikan afeksi dan kontrol
kepada anak sehingga orangtua hanya berfokus pada kebutuhannya
sendiri. Dalam pola asuh ini orangtua cenderung mengabaikan kebutuhan
fisik dan psikologis anak di rumah sehingga tidak memberikan tuntutan
kepada anak.

Sejumlah penelitian kemudian dilakukan untuk mengetahui korelasi gaya


pola asuh terhadap resiliensi individu. Atighi, Atighi, dan Atighi (2015)
melakukan penelitian terhadap resiliensi siswa perempuan yang ditinjau
dari gaya pola asuh. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa pola asuh
authoritative dan authoritharian memiliki korelasi positif terhadap resil-
iensi sedangkan pola asuh permissive memiliki korelasi negatif terhadap
resiliensi. Permata dan Listiyandini (2015) menemukan bahwa mahasiswa
rantau tahun pertama yang resilien menunjukkan korelasi dengan pola
asuh yang diberikan oleh orangtua dengan dibedakan antara ayah dan ibu.
Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa resiliensi mahasiswa
memiliki korelasi positif dengan pola asuh ayah dan ibu yang authori-

76 Psikologi Resiliensi
tative sedangkan pola asuh ayah yang authoritarian memiliki korelasi
negatif dengan resiliensi. Mohammadi, Sanagoo, Kavosi, dan Kavosi (2018)
meneliti pengaruh pola asuh terhadap resiliensi siswa SMA yang berisi
anak berkebutuhan khusus dan berbakat. Hasil dari penelitian tersebut
menunjukkan pola asuh authoritative memiliki korelasi positif dengan
resiliensi, sedangkan pola asuh authoritarian dan permissive berkorelasi
negative dengan resiliensi.

5.11 Dukungan Sosial

Menurut Sarafino (2006), dukungan sosial adalah keberadaan, kesediaan,


kepedulian dari orang lain yang dapat diandalkan, menghargai dan
menyayangi individu. Lebih lanjut Zimet, Dahlem, Zimet, dan Farley (1988)
mengungkapkan bahwa dukungan sosial sebagai diterimanya dukungan
yang diberikan oleh orang-orang terdekat meliputi dukungan keluarga,
dukungan pertemanan, dan dukungan dari orang-orang yang berarti di
sekitar individu. Dukungan sosial memili empat aspek, yaitu dukungan
emosional (empati, perhatian, dan afeksi), dukungan penghargaan
(pernyataan setuju dan penilaian positif terhadap ide, perasaan, atau
performa orang lain), dukungan instrumental (finansial atau materi), dan
dukungan informasi (saran, pengarahan, dan umpan balik) (Sarafino,
2006).

Dukungan sosial dapat menjadi faktor eksternal yang dapat membantu


seseorang menjadi lebih resilien dalam situasi dan keadaan sulit yang
membutuhkan adaptasi. Sabouripour dan Roslan (2015) dalam peneliti-
annya menemukan bahwa dukungan sosial merupakan prediktor yang
signifikan terhadap resiliensi mahasiswa internasional. Sambu (2015)
menyimpulkan bahwa dukungan sosial dapat meningkatkan resiliensi
pada orang-orang yang mengalami trauma. McCanlies, Gu, Andrew dan
Violanti (2018) menemukan bahwa dukungan sosial dapat mempengaruhi
resiliensi dan menurunkan gejala depresi pada petugas kepolisian selama
badai siklon tropis Katrina. Salim, Borhani, Pour, dan Khabazkhoob (2019)
menemukan bahwa dengan menguatkan dukungan sosial akan mening-
katkan resiliensi caregiver pasien dengan penyakit kanker.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi 77


5.12 Daftar Pustaka

Agarwal, N. & Malhotra, M. (2019). Relationship between optimism, resil-


ience, and psychological well-being in young adults. International
Journal of Social Science and Economic Research. 4 (9), 6141-6148.

Al-Jauziyyah, I. A. (2010). Sabar & Syukur: Mengungkap Rahasia di Balik


Keutamaan Sabar dan Syukur. Semarang: Pustaka Nuun.

Ancok, D. & Nashori, F. (2008). Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Atighi, E., Atighi, A. & Atighi, I. (2015). Predicting psychological resilience


based on parenting styles in girl adolescence. International Research
Journal of Applied and Basic Sciences. 9 (8), 1340-1344.

Bandura, A. (1997). Self efficacy: The exercise of control. New York: W.H.
Foreman & Company.

Bulut, N. S., Bulut, G. C., Kupeli, N. Y., Genc, H. A., Aktas, I., Yasar, V., Aktas,
M. C. & Topcuoglo, V. (2019). Living in difficult conditions: A analysis of
the factors associated with resilience in youth of a disadvantage city.
Psychiatry and Clinical Psychopharmacology, 29 (4), 587-596.

Crane, M., Brabazon, G., Gucciardi, D., Loveday, T., & Wiggins, M. (2017).
General Self-Efficacy and Psychological Resilience Promote Skill
Acquisition Rate Under Psychological Pressure.  Australasian Journal
of Organisational Psychology, 10, E3. doi:10.1017/orp.2017.3

Carver, C. S. (1997). You want to measure coping but your protocol’s too
long: Consider the BRIEF Cope. International Journal of Behavioral
Medicine, 4 (1), 92-100

Casidy, S. (2016). Resilience building in students: The role of academic


self-efficacy. 6 (1781), 1-14.

Dehghani-Firoozabadi, E. S., Mohtashami, J., Atashzadeh-Shoorideh, F.,


Nasiri, M., Dolatian, M. & Sedghi, S. (2017). Correlation between
religious attitude and resiliency of women under domestic violence.
Global Journal of Health Science, 9 (3), 199-208.

Emmons, R. A. & McCullough, M. E., (2003). Counting Blessing Versus


Burdens: An Experimental Investigation of Gratitude and Subjective

78 Psikologi Resiliensi
Well-Being in Daily Life. Journal of Personality and Social Psychology.
84 (2) : 377-389.

Ercan, H. (2017). The relationship between resilience and the Big Five
Personality traits in emerging adulthood. Eurasian Journal of Education
Research, 70, 83-103.

Gooding, P. A., Hurst, A., Johnson, J., & Tarrier, N. (2012). Psychological
resilience in young and older adults. International journal of geriatric
psychiatry, 27(3), 262–270. https://doi.org/10.1002/gps.2712

Goleman D. (2015). Kecerdasan emosional: mengapa EI lebih penting


daripada IQ. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Gomez-Molinero, R., Zayas, A., Ruiz-Gomzalez, P. & Guil, R. (2018). Optimism


and resilience among university students. International Journal of
Developmental and Educational Psychology, 1, 147-154.

Goroshit, S. K. M. & Eshel, Y. (2013). Demographic variables as antecedents


of Israeli community and national resilience. Journal of Community
Psychology, 41 (5), 631-643.

Harris, L. (2016). Effects of gender and spirituality on adults’ resilience to


daily non-traumatic stressors. Disertasi (diterbitkan). College of Social
and Behavioral Sciences, Walden University.

Jaeh, N. S. & Madihie, A. (2019). Self-efficacy and resilience among late


adolescent. Journal of Counseling and Educational Technology, 2 (1),
27-32

Jangi, A. K. & Sardari, B. (2019). The effect of religious attitude (religiosity)


on resilience of cancer patients. Iranian Journal of Cancer Care, 1 (2),
1-6.

Kumar, A. & Dixit, V. (2014). Forgiveness, gratitude and resilience among


Indian youth. Indian Journal of Health and Wellbeing, 5 (12), 1414-1419.

Lamoshi, A. Y. (2015). Religion as a resilience tool to manage stress in adoles-


cents: Islamic approach. Global Journal of Human-Social Science Inter-
disciplinary. 15 (3), 5-8.

Listyandini, R. A. (2018). The influence of gratitude on psychological resil-


ience of adolescence living in Youth Social Care Institutions. Journal of
Education, Health, and Community Psychology, 7 (3), 197-208

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi 79


Ludin, S. M. (2018). Association between demographic characteristic and
resilience factors: A self-report survey. International Journal of Care
Schoolars, 1 (1), 22-28.

Magnano, P., Craparo, G. & Paolillo, A. (2016). Resilience and emotional intel-
ligence: Which role in achievement motivation. International Journal
of Psychology Research, 9 (1), 9-20.

Makshin, M., Noor, N. F. M., Ismail, N. H., Bohari, A. M., Amirul & Sukeri, F.
M. (2019). Journal of Self-Hisbah Reflection: Islamic innovation and
creativity in increasing adolescent religiosity and resilience. Interna-
tional Journal of Innovative Technology and Exploring Engineering, 8
(752), 61-66.

Mary, E. M. & Patra, S. (2015). Relationship between forgiveness, gratitude


and resilience among the adolescents. Indian Journal of Positive
Psychology, 6 (1).

McCanlies, E. C., Gu, J. K., Andrew, M. E. & Violanti, J. M. (2018). The effect
of social support, gratitude, resilience and satisfaction of life on
depressive symptoms among police officers following Hurricane
Katrina. International Journal of Social Psychology, 64 (1), 63-72.

McCrae, R. R., & Costa, P. T., Jr. (2003).  Personality in adulthood: A


five-factor theory perspective (2nd ed.). Guilford Press. https://doi.
org/10.4324/9780203428412

Mohammadi, M., Sanagoo, A., Kavosi, A. & Kavosi, A. (2018). Association of


parenting style with self-efficacy and resilience of gifted and ordinary
male high school students in Sari, Iran. Journal Clinical and Basic
Research, 2 (3), 25-32.

Mwangi, C. N. & Ireri, A. M. (2017). Gender differences in academic resil-


ience and academic achievement among secondary school students in
Kiambu County, Kenya. Psychology and Behavioral Science, 5 (5). 1-7.

Nashori, F. & Mucharam, R.D. (2002). Mengembangkan Kreativitas dalam


Perspektif Psikologi Islam. Yogyakarta: Menara Kudus

Nuriyah, S. & Ambarini, T. K. (2019). Hubungan kepribadian big five person-


ality dengan resiliensi pada family caregiver orang dengan skizofrenia
(ODS). Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 8, 11-26.

80 Psikologi Resiliensi
Ngui, G.K., & Lay, Y.F. (2020). The Effect of Emotional Intelligence,
Self-Efficacy, Subjective Well-Being and Resilience on Student
Teachers’ Perceived Practicum Stress: A Malaysian Case
Study. European Journal of Educational Research, 9 (1), 277-291.
doi:10.12973/eu-jer.9.1.277

Oshio, A., Taku, K., Hirano, M. & Saeed, G. (2018). Resilience and Big Five
personality traits: A meta-analysis. Personality and Individual Differ-
ences, 127, 54-60.

Pargament, K. I. & Raiya, H. A. (2007). A decade of research on the psychology


of religion and coping: Things we assumed and lessons we learned.
Psyke & Logos. 28, 742-766.

Pargament, K. I., Smith, B. W., Koenig, H. G. & Perez, L. (1998). Patterns


of positive and negative religious coping with major life stressors.
Journal for the scientific study of religion. 37 (4), 710-724.

Panchal, S., Mukerjee, S. & Kumar, U. (2016). Optimism in relation to


well-being, resiliencem and perceived stress. International Journal of
Education and Psychological Research, 5 (2), 1-6

Permata, D. C. & Listyandini, R. A. (2015). Peranan pola asuh orangtua dalam


memprediksi resiliensi mahasiswa tahun pertama yang merantau
di Jakarta. Prosiding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur &
Teknik Sipil), 6, 6-13.

Promsri, C. (2019). The linkage between emotional intelligence and self-resil-


ience among international students in business program at a selected
public university in Thailand. Academy of Social Science Journal, 4 (2),
1255-1259.

Rahmati, M., Khaledi, B., Salari, N., Bazrafashan, M. R. & Haydarian, A.


(2017). The effect of religious and spiritual interventions on the resil-
ience of family members of patients in the ICU. Shiraz E-Medical
Journal, 18 (11), 1-7.

Rice, V. & Liu, B. (2016). Personal Resilience and Coping Part II: Identifying
Resilience and Coping Among U.S. Military Service Members and
Veterans with Implications for Work. Work. 54 (2), 335-350.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi 81


Sabouripour, F. & Roslan, Samsilah. (2015). Resilience, Optimism and Social
Support among International Students. Asian Social Science, 11 (5),
159-170.

Salim, N. F., Borhani, F., Pour, M. B. & Khabazkhoob, M. (2019). Correlation


between perceived social support and resilience in the family of
patients with cancer. Journal of Research in Medical and Dental Science,
7 (1), 158-162.
Sambu, L. J. (2015). Sucial support in promoting resilience among the inter-
nally displaced persons after trauma: A case of Kiambaa village in
Uasin Gishu County, Kenya. British Journal of Psychology Research. 3
(3), 23-34.

Sambu, L. J. & Mhongo, S. (2019). Age and gender in relation to resilience


after experience of trauma among Internally Displaced Persons
(IDPS) in Kiambaa Village, Eldoret East Sub-Country, Kenya. Journal of
Psychology and Behavioral Science, 7 (1), 31-40.

Santrock, J. W. (2007). Child development. New York: McGraw-hill.

Saphiro, L. (2003). Mengajarkan emotional intelligence pada anak. Jakarta:


PT. Gramedia Pustaka Utama.

Sarafino, E. (2006). Health Psychology, Biopsychosocial Interaction, Fifth


Edition. USA: John Wiley & Son, INC.

Saputro, I. & Sulistyarini, R. I. (2016). Pengaruh pelatihan kebersyukuran


terhadap resiliensi pada penderita kanker payudara. UNISIA Jurnal
Ilmu-ilmu Sosial, 38 (84), 15-27.

Seligman, M. (2008). Menginstal optimism (edisi terjemahan). Bandung: PT


Karya Kita.

Snyder, C. R. & Lopez, S. J. (2002). Handbook of positive psychology. USA:


Oxford University Press.

Stepleman, L. M., Wright, D. E. & Bottonari, K. A. (2008). Socieconomic


Status: Risk and Resilience. dalam Loue, S. & Sajatovic, M. (eds.). Deter-
minants of Minority Mental Health and Wellness. (halaman 273-302).
New York: Springer.

82 Psikologi Resiliensi
Sunindijo R.Y., Hadikusumo, B.H.W. & Ogunlana, S. (2007). Emotional intel-
ligence and leadership styles in construction project management.
Journal of Management in Engineering. 23(4), 166–70.

Utami, C. T. & Helmi, A. F. (2017). Self-efficacy dan resiliensi. Sebuah tinjauan


meta-analisis. Buletin Psikologi, 25 (1), 54-65.

Wilson, J. T. (2016). Brightening the mind: The impact of practicing gratitude


on focus and resilience in learning. Journal of the Scholarship of
Teaching and Learning, 16 (4), 1-13.

Zimet, G. D., Dahlem, N. W., Zimet, S. G. & Farley, G. K. (1988). The multi-
dimentional scale of perceived social support. Journal of Personality
Assessment. 52. 30-41.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi 83


6

Resiliensi dalam Perspektif Islam

Agama Islam sebagai agama yang sempurna memiliki sejumlah konsep


yang berkaitan dengan resiliensi. Salah satunya adalah al-samhah (lapang
dada). Apa definisi, komponen, dan faktor yang membentuknya, akan
dikupas dalam bab ini. Perlu ditegaskan bahwa resiliensi dan kelapang-
dadaan (al-samhah, al-basith) adalah dua pandangan yang pararel. Diung-
kapkan oleh Bastaman (2012) bahwa pararelisasi adalah memandang
paralel konsep yang bersumber dari Islam dan konsep yang bersumber dari
sains modern (dalam hal ini psikologi) dikarenakan kemiripan konotasi,
namun tidak mengidentikkan satu sama lain. Sekalipun tidak identik, ada
tumpah tindih (overlapping) yang sangat besar di antara keduanya.

Jika diperbandingkan, ada perbedaan dan persamaan di antara keduanya.


Kesamaan yang terpenting adalah keduanya digunakan untuk menggam-
barkan respons individu ketika menghadapi musibah atau keadaan tidak
menyenangkan lainnya. Selanjutnya, perbedaan terpenting di antara
keduanya adalah konsepkelapangdadaan sangat kental dengan nuansa
psiko-spiritual, namun konsep resiliensi murni psikologis.

6.1 Pengantar Perspektif Islam

Dalam Islam, kemampuan untuk bertahan dalam situasi yang mengancam


biasa disebut sebagai al-samhah (kelapangdadaan). Untuk memudahkan,
digunakan istilah kelapangdadaan. Kelapangdadaan adalah suatu kondisi
psiko-spiritual yang ditandai oleh kemampuan menerima berbagai
kenyataan yang tidak menyenangkan dengan tenang dan terkendali
(Nashori, 2008). Orang yang lapang dada memiliki kekuatan dalam jiwanya
untuk bertahan dan tidak berputus asa manakala menghadapi berbagai
situasi yang secara objektif tidak menyenangkan, baik secara psikis dan
menyakitkan secara fisik. Semakin tinggi kelapangdadaan seseorang

Resiliensi dalam Perspektif Islam 85


semakin mampu ia menerima realitas yang beragam, termasuk yang tidak
menyenangkan (Nashori, 2002).

Situasi yang tidak menyenangkan dapat saja terjadi karena faktor


alam, faktor ekonomi, dan bisa pula karena faktor sosial politik. Contoh
faktor alam adalah bencana banjir, longsor, tsunami dan gempa bumi.
Menjadi korban bencana tsunami dan gempa sebagaimana yang dialami
warga Nanggroe Aceh Darussalam secara objektif pastilah berat. Dalam
kenyataannya, sebagian besar korban bencana tsunami dan gempa
Aceh merasakan penderitaan fisik dan psikologis. Namun, sebagian dari
mereka tetap menunjukkan sikap tenang dan terkendali. Karena ketenan-
gannya, mereka menghayati peristiwa yang terjadi secara holistik, yaitu
suatu kejadian dipersepsi memiliki keterkaitan dengan kejadian lain,
misalkan bahwa bencana terjadi pastilah memiliki hikmah. Mereka juga
menunjukkan sikap dan perilaku terkendali, di mana sikap dan perilaku
yang mereka tunjukkan dapat mereka kontrol secara baik sehingga tidak
menimbulkan kerugian bagi diri sendiri maupun orang lain dan lingkun-
gannya.

Situasi yang sulit bisa terjadi karena faktor ekonomi. Seseorang yang
hidup di tengah kesulitan ekonomi yang menyebabkan kelaparan atau
penuh kekurangan. Nenek moyang kita yang hidup di alam penjajahan
Belanda makan dengan makanan seadanya yang beruntungnya adalah
alam di Indonesia menyediakan berbagai tanaman liar yang dapat dikon-
sumsi. Orang-orang Etiopia selama bertahun-tahun mengalami kelaparan
yang menjadikan mereka lebih rentan terkena penyakit. Namun, kesulitan
ekonomi ini tetap dapat ditanggapi secara positif oleh orang-orang yang
memiliki kelapangdadaan.

Situasi politik kadang juga menjadi pembentuk kelapangdadaan. Nabi


Musa hidup di bawah pemerintahan Fir’aun yang otoriter. Orang-orang
Uighur di Tukistan Timur kini berada dalam kendali pemerintah komunis
Tiongkok. Orang-orang Rohingya kini berada dalam kekangan pemerintah
Myanmar yang membiarkan etnis lain membantai mereka. Kondisi yang
penuh tekanan ini melatih sebagian orang untuk menjadi pribadi yang
penuh kelapangdadaan.

Situasi yang tidak menyenangkan juga dapat terjadi karena faktor sosial,
yaitu situasi yang terjadi saat dan akibat berhubungan dengan orang lain,

86 Psikologi Resiliensi
baik secara personal maupun secara kelompok. Sebagai contoh, menjadi
korban pelecehan seksual atau korban perundungan (bullying) adalah
situasi yang secara objektif tidak menyenangkan bagi siapapun. Contoh
kongkrit lain yang mencerminkan adanya kelapangdadaan ini adalah apa
yang terjadi dalam diri seorang santri saat menghadapi kesulitan. Seorang
santri menghadapi kenyataan bahwa ia di-drop out dari pondok pesantren
tempat ia menimba ilmu agama selama lima tahun. Ia terkena DO karena
“dinyatakan melakukan palanggaran dan karenanya tidak diperkenankan
tinggal di pondok pesantren lagi”. Jalan ceritanya adalah demikian: ia
pernah mengalami gangguan psikologis yang luar biasa yang menye-
babkan ia harus istirahat dari perguruan tinggi dan pondok pesantrennya.
Ia akhirnya istirahat dan menenangkan dirinya di tempat tinggalnya
yang agak jauh dari Kota Yogyakarta. Ia berangsur-angsur sembuh, dapat
menyelesaikan pendidikan reguler di kampusnya, namun ia merasa malu
untuk tinggal bersama-sama temannya di pondok. Ia sudah diberi perin-
gatan (kalau tiga semester berturut-turut tidak tinggal di pondok pesantren
akan terkena ancaman drop out), tetapi peringatan itu tidak membuatnya
untuk pindah dari tempat tinggalnya ke pondok pesantren. Karena sudah
diperingatkan sebanyak tiga kali dan tidak ada tanggapan yang berarti,
maka ia dinyatakan drop out. Awalnya, ia berat menerima keputusan itu,
walau tak lama kemudian ia bisa menerimanya.

Santri yang tinggal di pondok pesantren dilatih oleh sistem pendidikan


pondok pesantren untuk menjadi pribadi yang lapang dada. Sebagaimana
dikatakan oleh Ali (1987), kepribadian lapang dada ini lahir dari keberanian
santri menderita untuk mencapai suatu tujuan. Keberanian menderita ini
adalah salah satu nilai pendidikan yang diperoleh santri dalam pondok
pesantren. Secara kongkrit, di pondok pesantren santri dibiasakan hidup
sederhana. Seringkali mereka terlambat menerima kiriman uang dari
orangtua atau malah tidak dikirimi oleh orangtua dikarenakan orangtua
di kampung gagal panen atau karena sebab lain. Situasi seperti ini tentu
saja sangat menekan. Namun, situasi yang menimbulkan stres ini justru
merupakan even yang dapat melatih santri untuk mengembangkan
kekuatan bertahan hidup dalam situasi yang sulit.

Dikarenakan berkembangnya keberanian untuk menderita ini, maka


dalam jiwa santri –termasuk santri-mahasiswa-- tumbuh kembang
kesiapan psikologis untuk berhadapan dengan berbagai situasi yang tidak

Resiliensi dalam Perspektif Islam 87


mengenakkan yang lain.

Hal di atas relatif berbeda dengan mahasiswa-reguler. Pada umumnya


mahasiswa-reguler memperoleh penguatan kompetensi keilmuan.
Lembaga pendidikan yang mereka tempuh memungkinkan mereka
tumbuh secara optimum kecerdasannya dan keahliannya dalam bidang
ilmu tertentu. Penekanan yang kuat terhadap aspek kognitif menjadikan
masiswa-reguler menyebabkan tidak berkembangnya nilai-nilai budaya
dan agama yang sejauh ini dipandang sangat penting dalam pengem-
bangan generasi muda. Berdasarkan uraian di atas, muncul pertanyaan
benarkah mahasiswa-santri memiliki kelapangdadaan yang lebih tinggi
dibanding dengan mahasiswa-reguler?

6.2 Definisi dan Ciri-ciri Kelapangdadaan

Kelapangdadaan (al-basith, al-samhah) adalah suatu kondisi psiko-spi-


ritual yang ditandai oleh kemampuan menerima berbagai kenyataan yang
tidak menyenangkan dengan tenang dan terkendali (Nashori, 2004a). Yang
dimaksud kondisi psiko-spiritual adalah keadaan yang berada dalam diri
seseorang yang berkaitan dengan perasaan dan pemikirannya sebagai
makhluk Allah ‘Azza wa jalla. Kenyataan yang tidak menyenangkan adalah
semua kondisi yang berada di dalam dan di luar diri yang secara objektif
tidak disukai seseorang.

Sekurang-kurangnya terdapat tujuh ciri pribadi yang lapang dada (Nashori,


2004a). Pertama, kesadaran spiritual (spiritual awareness), yaitu kesadaran
bahwa keadaan yang tidak menyenangkan merupakan ujian dari Allah
‘Azza wa jalla. Orang yang lapang dada adalah seseorang yang kokoh
menghadapi berbagai kenyataan hidup dan memandang kenyataan hidup
sebagai ujian. Kekokohan itu dapat dicapai bila seseorang dilatih atau
diuji secara terus menerus oleh Allah ‘Azza wa jalla. Hal ini sesuai dengan
firman Allah: Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan: “Kami telah beriman,” sedang mereka tidak diuji lagi? (QS
al-Ankabut, 29:2).

Kedua, kesiapan psikologis (psychological preparatory), yaitu kesiapan


untuk menerima stimulasi yang tidak menyenangkan. Setelah sadar bahwa
orang yang kokoh atau yang hebat harus melewati banyak ujian, maka

88 Psikologi Resiliensi
tumbuhlah dalam diri orang tersebut kesiapan untuk berhadapan dengan
hal-hal yang tidak menyenangkan. Kesiapan ini merupakan respons atas
kepastian datangnya ujian dari Allah ‘Azza wa jalla. Allah berfirman:
Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan
(juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang
diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan
Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar
dan bertakwa,maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang
patut diutamakan (QS Ali Imran, 3:186).

Ketiga, keyakinan akan kesanggupan diri menanggung beban, yaitu


keyakinan bahwa kesulitan yang ditanggung tak akan melebihi kesang-
gupan dirinya untuk menerima beban itu. Apapun ujian yang bakal atau
dijalani seseorang, pasti telah tersedia kemampuan psiko-spiritual dan
atau kemampuan fisik dalam diri seseorang untuk mampu menerima
beban itu. Allah berfirman: Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya (QS al-Baqarah, 2:286).

Keempat, pertaubatan, yaitu melakukan pertaubatan atas dosanya kepada


Tuhan. Orang yang lapang dada ini sadar salah satu yang menjadikan
kesulitan adalah dosa-dosa yang dilakukan manusia. Kadang kesulitan, yang
sesungguhnya merupakan ujian itu, akibat dari kesalahan manusia. Bila
seseorang sadar hal itu merupakan kesalahannya, maka ia akan meminta
ampunan dari Allah. Aktivitas bertaubat akibat kesalahan ini dicontohkan
oleh Nabi Dawud. Allah berfirman: Dan Daud mengetahui Kami mengu-
jinya, maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan
bertaubat (QS Shaad, 38:24). Di ayat yang lain Allah berfirman: Dan sesung-
guhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan ia tergeletak di atas
kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian ia bertaubat.
Ia berkata: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku
kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesunguhnya
Engkaulah yang Maha Pemberi.” (QS Shaad, 38: 34-35).

Kelima, pencarian hikmah (seeking meaning), yaitu keyakinan akan adanya


hikmah atau pelajaran di balik peristiwa. Orang yang sehat secara ruhani
akan dapat mengambil pelajaran bahwa di balik kesulitan ada pelajaran
atau hikmah yang dapat diambil. Orang-orang yang menjadi survivor
bencana sering memperoleh hikmah dari penderitaan yang mereka alami,

Resiliensi dalam Perspektif Islam 89


misal mereka merasa memiliki kesempatan untuk berbuat yang lebih
kepada orang lain dibanding masa-masa sebelumnya. Siswa yang lapang
dada juga mudah mendapatkan hikmah atas apa yang mereka alami. Hal
yang sebaliknya dialami oleh orang-orang yang yang tidak sehat (munafik)
tidak dapat mengambil pelajaran. Allah berfirman: Dan tidakkah mereka
(orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua
kali setiap tahun, kemudian mereka tidak juga bertaubat dan tidak pula
mengambil pelajaran (QS at-Taubat, 9:126).

Keenam, berpikir positif tentang masa depan (positive thinking), yaitu


keyakinan akan adanya perbaikan keadaan setelah berlangsungnya
keadaan yang tidak menyenangkan. Keadaan yang tidak menyenangkan
pasti akan berlalu dan akan datang keadaan yang menyenangkan, tentu
saja melalui usaha. Orang-orang yang pernah mengalami bencana tetap
berpikir bahwa mereka harus tetap mengejar cita-cita mereka sekalipun
saat bencana itu seakan-akan semua harta benda yang mereka miliki
musnah atau rusak. Mereka percaya bila ada usaha kemudahan akan
menggantikan kesulitan hidup yang mereka alami. Allah berfirman:
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan (QS al-Insyirah, 94:5-6).

6.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelapangdadaan

Adapun beberapa hal yang mempengaruhi tinggi rendahnya kelapang-


dadaan seseorang, yaitu keimanan, ibadah zikir, usia, persepsi tentang
sumber penderitaan, lingkungan, dan sebagainya. Pertama: Keimanan.
Seseorang yang memiliki iman yang kokoh di dalam hatinya percaya akan
adanya takdir (ketentuan), ketentuan baik dan ketentuan buruk, yang telah
ditetapkan Allah ‘Azza wa jalla. Kalau seseorang selalu menyadari bahwa
Allah menetapkan takdir baik dan buruk, maka mereka cenderung bisa
menerima ketentuan Allah ‘Azza wa jalla. Seseorang yang selalu beribadah
adalah seseorang yang cenderung mengukuhkan iman terhadap takdir
Allah ‘Azza wa jalla.

Kedua: Dzikir. Dzikir sendiri, menurut Subandi (1997), menghasilkan


adanya perasaan lapang atau perasaan los (terbebas dari beban yang
menghimpit). Penelitian empiris yang dilakukan Nashori (2005) menun-
jukkan bahwa ada hubungan antara kualitas dzikir dengan kelapang-

90 Psikologi Resiliensi
dadaan. Semakin tinggi kualitas dzikir semakin tinggi kelapangdadaan.

Ketiga: Tingkat penderitaan yang dialami. Berat ringannya penderitaan


yang dialami ikut serta mempengaruhi kelapangdadaan. Penderitaan
yang luar biasa berat cenderung diterima dengan lapang dada dibanding
yang agak kurang berat. Contoh, para survivor bencana gempa dan
tsunami Aceh (Hidayat, 2005). Mereka yang berada di daerah Ring I (yang
terkena gempuran tsunami, paling berat menerima dampak dari tsunami),
ternyata cenderung berpandangan bahwa derita yang mereka alami
berasal dari Tuhan, dan mereka dapat menerimanya sekalipun mereka
harus meninggal karenanya. Sementara itu, para survivor yang berada di
Ring II (yang terkena terjangan tsunami) cenderung kurang bisa menerima
kenyataan. Mereka menyesali mengapa mereka tidak bisa menolong istri,
anak, atau orangtuanya.

Keempat: Sumber penderitaan. Kalau sumber penderitaan itu karena


ulah manusia, maka orang cenderung lebih sulit untuk berlapang dada.
Sementara kalau seseorang itu memahami bahwa penderitaan yang mereka
alami itu berasal dari Tuhan, maka mereka cenderung berlapang dada.
Contohnya adalah orang-orang Aceh cenderung yang melihat bencana
berasal dari Tuhan cenderung tidak banyak yang mengalami gangguan
psikologis berat (seperti post traumatic stress disorder) akibat bencana.
Penyebab gangguan psikologis berat pada orang Aceh terutama adalah
peperangan antara Pemerintah Indonesia/Tentara Nasional Indonesia dan
GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Perang dianggap sebagai ulah manusia hal
yang menyebabkan adanya penderitaan pada masyarakat Aceh.

Kelima: Usia. Orang yang berusia memasuki lansia cenderung lebih bisa
menerima penderitaan daripada orang yang lebih muda. Hal ini dikare-
nakan pengalaman mereka lebih banyak dibanding dengan orang-orang
yang berusia lebih muda.

Keenam: Lingkungan. Seseorang yang berada dalam lingkungan yang


terlatih untuk berhadapan dengan suasana yang tidak menyenangkan
lebih besar kelapangdadaannya dibanding mereka yang berada dalam
lingkungan yang tidak melatih mereka untuk menerima beragam situasi.
Pondok pesantren adalah lingkungan yang membiasakan diri seseorang
untuk hidup prihatin.

Resiliensi dalam Perspektif Islam 91


Ketujuh: Pengalaman penderitaan sebelumnya. Berbagai pengalaman
penderitaan, semisal kehilangan orang-orang penting dalam kehidupannya
akan menjadikan seseorang lebih kokoh ketika menghadapi keadaan
yang tidak menyenangkan. Anak-anak yang merasakan kesedihan karena
hilangnya teman main mereka atau nenek dan kakek mereka akan menjadi
lebih kokoh menghadapi situasi yang tidak menyenangkan dibandingkan
anak yang tidak pernah merasakan sitauasi yang sama.

6.4 Ramadhan Sebagai Sarana Latihan Melapangkan Dada

Bila dalam hari-hari yang kita jalani banyak pengalaman yang tak
menyenangkan, haruskah kita diam saja (karena diam adalah emas)?
Bila pelecehan seksual menimpa diri kita, haruskah cerita ini kita simpan
sampai akhir hayat kita? Bila perundungan (bullying) menimpa diri kita,
haruskah cerita ini kita simpan sampai akhir hayat kita?Bila kita adalah
korban peledakan bom Bali, haruskah kita memendam cerita duka itu?
Bila kita adalah pengungsi-pengungsi yang merasakan sulitnya hidup di
tempat pengungsian, haruskah kita diam dan tak berhak mengeluhkan
penderitaan lahir dan batin kita?

Peradaban kita mengajarkan untuk menerima segala macam pende-


ritaan (dan selanjutnya kita dididik untuk berusaha untuk mengubahnya
atau kadang dididik untuk menjadi tidak berdaya). Berkeluh kesah atas
berbagai peristiwa yang tidak menyenangkan dianggap segala ekspresi
yang menunjukkan ketidakdewasaan. Berkeluh kesah juga dipandang
sebagai pelanggaran ajaran agama, khususnya perihal menggunjing (yang
sering diartikan suka memakan bangkai saudara sendiri). Pertanyaan yang
dapat diajukan, benarkah kita harus diam ketika pengalaman yang buruk
itu menimpa kita?

James W. Pennebaker dalam buku Ketika Diam Bukan Emas menjawabnya:


‘alirkan kata-katamu; ia akan meringankan hati yang berduka’.
Penulis sendiri berpendapat bahwa di samping mengungkapkan apa
yang dirasakan-dipikirkan, hal lain yang patut dikembangkan adalah
memperluas diri atau melapangkan dada. Puasa ramadhan adalah
wahana bagi kita untuk melatih diri kita menjadi seseorang yang sabar,
yang berdada lapang.

92 Psikologi Resiliensi
Pengungkapan Diri

Ragam dan kedalaman pengalaman buruk antara manusia satu dan


yang lain berbeda-beda. Pada sebagian orang, terdapat pengalaman yang
sedemikian buruk sehingga sangat memalukan untuk diungkapkan.
Pengalaman dilecehkan secara seksual waktu kecil, orangtua bercerai,
siksaan fisik dari orang yang lebih dewasa, dan beragam pengalaman
memalukan di waktu dewasa, adalah beberapa contoh pengalaman yang
orang merasa tidak nyaman untuk mengungkapkannya. Sebanyak 22
persen perempuan dan 10 persen laki-laki dari responden yang pernah
diteliti Psychology Today (berjumlah 24.000 orang), pernah mengalami
trauma seksual sebelum mereka berusia 17 tahun.

Kalau dalam diri seseorang terdapat pengekangan diri –atau penyumbatan


atas hal yang seharusnya diungkapkan--, maka ia akan menghadapi resiko
berupa terganggunya kesehatan jangka panjang dan rendahnya perfor-
mansi diri dalam berbagai aspek kehidupan. Diungkapkan oleh James W.
Pennebaker bahwa orang-orang yang masalah kesehatannya paling parah
telah mengalami paling sedikit satu trauma masa kecil yang tidak pernah
mereka kisahkan kepada siapapun. Dari dua ratus responden yang pernah
diwawancarai oleh Pennebaker, 65 orang memiliki trauma masa kecil
yang mereka rahasiakan. Mereka mendapatkan diagnosis hampir semua
masalah kesehatan besar dan kecil: kanker, tekanan darah, tukak lambung,
flu, sakit kepala bahkan sakit telinga. Satu-satunya faktor yang menonjol
adalah bahwa trauma itu tidak pernah dibicarakan dengan orang lain.

Dari penjelasan di atas dapat diungkapkan bahwa apabila ada sesuatu yang
tidak menyenangkan masuk ke dalam sistem diri kita, maka langkah yang
semestinya kita tempuh adalah melakukan pengakuan diri atau pengung-
kapan diri. Bila hal ini tidak dilakukan (atau kita melakukan pengekangan
diri), maka resiko yang bakal kita hadapi adalah masalah kesehatan
jangka panjang dan rendahnya performansi diri kita. Dengan demikian,
manusia memerlukan sarana untuk selalu bisa melakukan pengungkapan
diri. Secara sosial, pengungkapan diri kadang tidak mudah. Pengalaman-
pengalaman yang memalukan sangat tidak nyaman untuk diceritakan.
Pennebaker menggambarkan bahwa orang-orang yang kehilangan keluar-
ganya tidak menderita stres terlalu lama karena menceritakan kesedihan
akibat kehilangan orang yang dicintai biasanya dianggap sebagai hal

Resiliensi dalam Perspektif Islam 93


yang tidak memalukan. Orang merasa bebas saja ketika ingin mengung-
kapkannya kepada orang lain. Tetapi menceritakan bahwa “saya pernah
diperkosa untuk teman bapak” atau “saya pernah disodomi oleh tetangga
saya” kepada orang lain adalah hal yang sangat memalukan. Oleh karena
itu, diperlukan upaya lain yang memungkinkan seseorang mengung-
kapkan berbagai macam pengalamannya dalam bentuk ungkapan lisan
maupun ungkapan tertulis.

Bila seseorang merasa orang lain sangat mendominasinya, maka ia sering


tidak berani mengungkapkannya. Bila kita tidak suka dengan teman kita,
maka kita tidak bisa begitu saja mengungkapkannya. Ada beberapa resiko
yang kita hadapi. Pertama, kita dipandang tidak memiliki kesabaran.
Kedua, orang akan membenci kita karena kita dianggap telah dengan
sengaja menyerang salah satu bagian dari dirinya atau bahkan menyerang
diri orang tersebut secara keseluruhan. Dalam situasi semacam ini, orang
lebih senang untuk melakukan pengekangan. Budaya Jawa misalkan
mengajarkan untuk melakukan pengekangan. Istilah ngono yo ngono neng
ajo ngono (secara harfiah: begitu ya begitu namun jangan begitu) menun-
jukkan agar kita tidak mengungkapkan pikiran-perasaan kita apa adanya
kepada orang lain. Kalaupun dilakukan pengungkapan diri, biasanya
dilakukan melalui aktivitas rerasan. Namun, aktivitas rerasan ini pun
secara moral-agama dianggap sebagai “tega memakan bangkai saudara
sendiri”. Oleh karena itu, kalau mau menjadi seorang yang menerapkan
norma agama, maka orang akan memilih untuk tidak melakukan perilaku
membicarakan hal-hal pribadi (biasanya yang negatif) kepada diri orang
lain.

Memperluas Diri

Bila kita melakukan telaah kritis atas pemikiran Pennebaker, maka


kita mengetahui bahwa ia mengandaikan dalam diri manusia terdapat
wadah yang sempit. Bila seseorang membiarkan `penyakit` masuk dan
tetap berada dalam wadah dirinya, maka wadah itu lama kelamaan
akan keropos juga. Kalau pendapat ini yang diterima, maka pengung-
kapan diri merupakan keharusan. Penulis mengakui bahwa sebagian
besar orang membutuhkan suatu kesempatan di mana ia bisa mengung-
kapkan perasaan-perasaannya. Kenyataannya, wadah psikologis yang ada
dalam diri seseorang umumnya sangat terbatas. Maka, pengungkapan

94 Psikologi Resiliensi
diri atau pengungkapan berbagai perasaan dan pengalaman yang tidak
menyenangkan sangat diperlukan.

Sekalipun demikian, ada suatu pilihan lain yang dapat kita lakukan. Untuk
menjadi pribadi yang sehat di tengah beragam pengalaman buruk, yang
dapat kita lakukan tidak hanya melakukan pengungkapan atau pengakuan
diri. Ada pilihan lain yang memungkinkan kita melakukan pengem-
bangan diri. Kita bisa mengubah diri kita dari pribadi yang berwadah
sempit menuju pribadi yang lapang dada. Hal yang yang hendak penulis
ungkapkan bahwa manusia dimungkinkan untuk memperluas dirinya.
Manusia dapat memperluas wadah psikospiritual dalam dirinya sehingga
hal-hal yang tidak menyenangkan dalam kehidupannya dapat diteri-
manya dengan lapang dada, tidak mengganggu kehidupannya, tapi malah
menambah kebijaksanaannya. Sedemikian luas diri orang ini, sedemikian
lapang dada orang ini, ia tidak mudah muntap atau marah. Ia tidak harus
mengeluarkan segala stimulasi yang tidak menyenangkan. Ia begitu luas
seluas danau atau bahkan laut, sehingga bila ada rasa pahit yang masuk ke
lautnya rasa pahit itu segera diurai oleh air bening.

Contoh nyata dari pribadi yang lapang dada adalah Nabi Muhammad. Saat
beliau ditimpuki dengan kotoran di punggung dan kepala beliau tenang-
tenang saja. Saat orang-orang Thaif menolak mentah-mentah dakwah
beliau dan melemparkan batu kepada beliau, beliau tetap tenang saja.
Malaikat yang menawarkan untuk meruntuhkan gunung untuk menga-
khiri kecongkakan orang Thaif pun ditolak beliau. Beliau juga tenang-
tenang saja manakala seoang laki-laki Yahudi setiap bertemu Rasulullah
selalu meludahinya saat beliau berjalan di suatu jalan. Menghadapi
kenyataan pahit itu, Rasulullah bisa dengan lapang dada menerimanya.
Mungkinkah manusia memiliki kelapangdadaan seperti Muhammad ini?

Tidak ada anjuran kecuali secara potensial manusia mampu melaku-


kannya. Tidak ada anjuran untuk bersabar atau berlapang dada tanpa
ada potensi untuk memiliki kelapangdadaan atau kesabaran. Dalam Islam
dikenal konsep kesabaran (al-shabar) dan kelapangdadaan (al-samhah,
al-basith). Kesabaran dapat diartikan sebagai kemampuan untuk
menghayati realitas yang terjadi, menyadari bahwa realitas itu diciptakan
oleh Allah, dan kesediaan untuk menerima kenyataan yang boleh jadi
tidak menyenangkan secara fisik dan psikologis.

Resiliensi dalam Perspektif Islam 95


Aktivitas Ramadhan Sebagai Wahana Perluasan Diri

Bila seseorang telah memperluas dirinya, memiliki kelapangdadaan atau


kesabaran, maka ia memiliki kemampuan untuk menerima realitas yang
pahit, mampu menerima berbagai pengalaman buruk, dan sejenisnya.
Adanya kelapangdadaan atau kesabaran, tidak sebagaimana pengung-
kapan diri yang bersifat instan, membutuhkan upaya yang bersifat funda-
mental. Perlu dilakukan pengembangan diri berupa perbuatan baik
kepada Allah dan perbuatan baik terhadap manusia. Terhadap Allah ada
upaya yang penuh kesungguhan untuk mendekatkan diri kepada Allah
dan sejauh mungkin sampai pada pengalaman puncak. Kepada manusia
terdapat komitmen untuk berbuat yang terbaik dan ada upaya yang riil
untuk perbuatan baik yang terus-menerus yang penuh ketulusan dan
keihklasan.

Aktivitas-aktivitas Ramadhan memberi peluang bagi kita untuk


memperluas diri atau kelapangkan dada. Sebuah hadis mengung-
kapkan bahwa Ramadhan adalah bulan kesabaran. Di bulan inilah kita
memperoleh kesempatan yang luas untuk meningkatkan kesadaran
spiritual kita. Kita dapat memperbanyak shalat malam, melakukan puasa,
banyak membaca al-Qur’an, berdzikir, dan berdoa agar kualitas kita di
mata Allah meningkat. Aktivitas-aktivitas di atas perlahan-lahan tapi pasti
dapat menghadirkan kelapangan dalam diri kita. Salah satu upaya khusus
yang dapat dilakukan adalah membiasakan diri untuk mensyukuri apapun
yang kita terima. Kemampuan menerima realitas adalah ciri utama orang
yang lapang dada. Maka, kita perlu melatih diri kita untuk mensyukuri
apapun yang kita terima.

Secara horisontal, pada bulan ini orang juga banyak beramal terhadap
fakir miskin dan manusia pada umumnya. Pada bulan ini pula orang
banyak mengeluarkan zakat fitrah dan juga zakat maal.

Perbuatan-perbuatan di atas adalah perbuatan yang dapat mentransforma-


sikan diri kita, menyadarkan diri kita bahwa Allah adalah penentu segala
sesuatu. Bila kesadaran spiritual ini menguat dalam diri kita, maka kita
akan berubah menjadi manusia yang baru. Sosok manusia yang memiliki
keluasan atau kelapangdadaan. Setiap ada penderitaan, tak penting lagi

96 Psikologi Resiliensi
untuk berkeluh kesah kepada orang lain. Dalam dada kita menancap
kesadaran bahwa segala hal, termasuk buruk adalah ciptaan Allah. Kalau
Allah tidak berkenan, keburukan tidak terjadi pada kita. Kalau ia akhirnya
hadir dalam kehidupan kita, maka itu adalah cara Allah untuk menge-
tahui sejauh mana kita akan mengalami peningkatan kualitas pribadi kita.
Semoga melalui puasa ini ada kesempatan bagi kita untuk memiliki .

Kalau akhirnya berbagai peristiwa itu datang, maka kita akan menam-
pungnya dan mengolahnya dalam wadah psiko-spiritual kita yang luas.
Bila Kalau akhirnya berkeluh kesah.

Bagaimana menurut Anda?

6.5 Kelapangdadaan Mahasiswa-Santri dan Mahasiswa-reguler.

Mahasiswa-santri adalah subjek didik yang menempuh pendidikan agama


di Pondok Pesantren sekaligus menempuh pendidikan di perguruan
tinggi. Di pondok pesantren mereka mempelajari ilmu-ilmu agama yang
ditujukan secara langsung untuk dipraktikkan, terutama pelajaran yang
berkaitan dengan ibadah dan akhlak. Di perguruan tinggi, mereka mempe-
lajari disiplin ilmu umum tertentu seperti psikologi, teknik, kedokteran, dan
sebagainya. Berbeda dengan mahasiwa-santri, mahasiswa-reguler hanya
menempuh pendidikan di perguruan tinggi tanpa menjalani kehidupan di
dalam pondok pesantren.

Sekalipun sebagian santri tinggal di rumah masing-masing (yang biasa


disebut santri kalong), namun sebagian besar santri tinggal di dalam asrama
Pondok Pesantren. Di asrama inilah mereka mengikuti pola kehidupan
yang menjadi ciri khas pesantren. Ciri khas pesantren sebagaimana diung-
kapkan oleh Ali (1987) adalah (1) Adanya hubungan yang akrab antara kyai
dan santri, (2) Ketaatan santri kepada kyai, (3) Hidup hemat dan sederhana
benar-benar dilakukan dalam pondok pesantren, (4) Semangat menolong
diri sendiri (mandiri) amat terasa di kalangan santri di pondok pesantren,
(5) Jiwa tolong-menolong dan suasana persaudaraan sangat mewarnai
pergaulan di pondok pesantren, (6) Pendidikan disiplin sangat ditekankan
dalam kehidupan pondok pesantren, (7) Berani menderita untuk mencapai
suatu tujuan adalah salah satu pedidikan yang diperoleh santri dalam
pondok pesantren, dan (8) Kehidupan agama yang baik dapat diperoleh di

Resiliensi dalam Perspektif Islam 97


pondok pesantren.

Gaya hidup hemat dan sederhana serta keberanian menderita untuk


mencapai tujuan adalah ciri khas pesantren yang menghidupkan keprib-
adian lapang dada. Sementara itu, pada diri mahasiswa reguler, gaya
hidup hemat dan sederhana tidak diberi penekanan khusus untuk ditum-
buhkembangkan dalam diri mereka.

6.6 Daftar Pustaka

AlButhy, M.S.R. (1995). Sirah Nabawiyah dan Sejarah Singkat Khilafah


Rasyiduh, Jakarta: Robbani Press.

Al-Mundziri, Z.A.A.A. (peny.). (2002). Ringkasan Shahih Muslim. Terjemahan:


S. Djamaluddin & Mochtar Zoerni. Bandung: Penerbit Mizan.

Ancok, D. & Suroso. (2005). Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-
problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ash-Shiddiqie, H. (1992). Pedoman Dzikir dan Doa. Jakarta: Penerbit Bulan


Bintang.

Az-Zabidi, I.Z.A. bin Abdul-Lathif (ed.). (2002). Ringkasan Shahih Al-Bukhari.


Terjemahan: Cecep Syamsul Hari & Tholib Anis. Bandung: Penerbit
Mizan.

Bastaman, H.D. (2005). Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi


Islami. Yogyakarta: Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar.

Frager, Robert. (2003). Hati, Diri, & Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi.
Terjemahan Hasmiyah Rauf. Jakarta: Penerbit Serambi.

Frank, M.G., Ekman, P., & Friesen, M.V. (1993). Behavioral Markers and
Recognizability of the Smile of Enjoyment. Journal of Personality and
Social Psychology, 64, 1, 83-93.

Hamid, A.F.R. (1996). Pengenalan Diri dan Dambaan Spiritual. Jakarta:


Pustaka Firdaus.

Hidayat, R. (2005). Peta Problem Psikologis Para Survivor Bencana Gempa dan
Tsunami Aceh. Makalah. Dipresentasikan dalam Diskusi Memahami
Lebih Mendalam Bencana Aceh. Hasil Kerjasama PP Asosiasi Psikologi

98 Psikologi Resiliensi
Islami dan Panitia Psikologi UII Peduli Aceh, Yogyakarta, 18 Januari
2004.

Izard, C.E. (1980). Cross-cultural Perspectives on Emotion and Emotion


Communicatio. In HS Triandis & W Lonner (eds.), Handbook of
Cross-cultural Psychology. Vol. 3. Boston: Allyn and Bacon.

Nashori. F. (1991). Pengaruh Film Televisi terhadap Perilaku Anak dan Alter-
natif Pemecahannya, Laporan Penelitian.Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.

Nashori, H.F. (2003). Potensi-potensi Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nashori, H. F. (2003). Kitab Suci Sebagai Sumber Pengembangan Psikologi


Islami. Makalah ini disampaikan dalam Kegiatan Ilmiah, Kongres
Asosiasi Psikologi Islami (API) I, Surakarta, 10-12 Oktober 2003.

Nashori, H.F. (2003). Kitab Suci Sebagai Sumber Pengembangan Psikologi


Islami. Makalah ini disampaikan dalam Kegiatan Ilmiah, Kongres
Asosiasi Psikologi Islami (API) I, Surakarta, 10-12 Oktober 2003.

Nashori, H.F. (2004). Menjadi Pribadi yang Lapang Dada. Buletin Al-Is-
lamiyyah, Nomor 18, Th. XII, Februari 2004.

Nashori, H.F. (2005). Kelapangdadaan Mahasiswa Ditinjau dari Kualitas dan


Intensitas Dzikir. Yogyakarta: Program Magister Studi Islam.

Nashori, H. F. (2005). Kiat-kiat Penulis Muslim Kreatif. Yogyakarta: Quranic


Media Pustaka.

Nashori, H.F. (2005). Hubungan antara Kualitas dan Intensitas Dzikir


dengan Kelapangdadaan. Millah, 5 (1), 121-135

Nashori, H.F. (2006). Kelapangdadaan Mahasiswa Reguler dan Mahasiswa


Santri. Jurnal Psikologi Islami. Yogyakarta: PP Asosiasi Psikologi Islami.

Nashori, H.F. (2008). Agenda Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Nashori, H.F. (2008). PsikologiSosial Islami. Bandung: Refika Adhitama.

Pennebaker, J.W. (2002). Ketika Diam Bukan Emas. Bandung: Mizan.

Poerwadarminto, W.J.S. (1989). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta; Depar-


temen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Resiliensi dalam Perspektif Islam 99


Subandi. (1997). Tema-tema Pengalaman Spiritual Pengamal Dzikir. Jurnal
Psikologika, II, (3), 7-18.

Tasmara, T. (1995). Etos Kerja Pribadi Muslim. Yogya: PT Dana Bhakti Wakaf.

Shihab, M. Quraish. (2000). Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas


Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan Media Utama.

Subandi. (1997). Tema-tema Pengalaman Spiritual Pengamal Dzikir. Jurnal


Psikologika, II, (3), 7-18.

Tim Terjemah Al-Qur’an. (2000). Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta:


Departemen Agama.

100 Psikologi Resiliensi


7

Kisah-kisah Resiliensi Klasik dan Masa


Kini

Setiap zaman, sekalipun di peradaban pasca sejarah, selalu ada kesulitan


yang mungkin menimpa manusia. Di setiap kesulitan itu muncul priba-
di-pribadi yang meresponsnya dengan luar biasa. Kapasitas untuk
melakukan penyesuaian diri dengan kesulitan dan upaya yang penuh
kesungguhan telah mereka tunjukkan. Pada bagian ini akan disampaikan
sejumlah kisah yang menunjukkan kuatnya resiliensi sejumlah pribadi
yang inspiratif.

7.1 Nabi Yusuf dan Iri Dengki Saudara-saudaranya

Nabi Yusuf adalah seseorang yang menjalani kehidupannya secara unik.


Berbagai peristiwa besar dialaminya, namun ia tetap tumbuh kembang
menjadi pribadi yang sabar, santun dan penuh kasih sayang. Ia dibuang ke
sumur oleh saudara-saudaranya yang iri dengki, diperjualbelikan sebagai
budak, digoda secara seksual oleh ibu tirinya, dipaksa berlenggok-lenggok
di hadapan banyak wanita, mendekam dalam penjara. Namun, berkat
kesabarannya dan akhlak mulianya, ia memetik hasil di paruh akhir
hidupnya: dipercaya sebagai pejabat penting di Mesir saat bangsa Mesir
menghadapi musim paceklik yang berat. Tangan dinginnya mengantarkan
bangsa Mesir melewati kesulitan dan meraih kembali hidup yang sejahtera.
Yusuf adalah resilien sejati yang sukses menjadi rahmatan lil ‘alamien.

Yusuf kecil adalah seorang piatu. Ia lahir dari keluarga Nabi Ya’qub yang
dikaruniai banyak anak. Nabi Ya’qub sendiri memiliki tiga istri. Dari tiga
istri lahirlah 12 orang anak. Yusuf adalah anak kesebelas dari Ya’qub dan
anak pertama dari istri ketiga Nabi Yusuf. Takdir menentukan bahwa
ibunda kandung Yusuf meninggal dunia di saat usia yang masih muda, saat
Yusuf masih kanak-kanak. Satu-satunya saudara seibu Yusuf dan sekaligus
adiknya adalah Benyamin.

Kisah-kisah Resiliensi Klasik dan Masa Kini 101


Akhirnya ayahanda Yusuf dan Benyamin, yaitu Nabi Ya’qub, melakukan
peran sebagai ayah dan sekaligus sebagai ibu. Agar dua kanak-kanak
itu tumbuh secara baik, maka Nabi Ya’qub berupaya mencurahkan
kasih sayangnya kepada mereka. Tentu ini dimaksudkan agar Yusuf dan
Benyamin tumbuh secara wajar bahkan optimal. Dalam kenyataannya,
Yusuf memang tumbuh dengan sangat baik di bawah asuhan ayahanda
yang selalu terbimbing oleh Tuhannya. Suatu saat Nabi Yusuf menceri-
takan sebuah mimpi yang luar biasa kepada ayahnya yang membuat sang
ayah mengagumi sekaligus mengkhawatirkannya. Mimpi yang diceri-
takan kepada sang ayah adalah Yusuf menyaksikan matahari, bulan, dan
sebelas bintang bersujud padanya. Nabi Ya’qub tahu ini mimpi yang luar
biasa. Maka, dibisikkanya kepada Nabi Yusuf: “Hai anakku, janganlah
kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu. Maka, mereka
membuat makar (untuk membinasakan)mu. Sesungguhnya setan itu adalah
musuh yang nyata bagi manusia” (QS Yusuf, 12:5).

Sayangnya adalah iri dan dengki benar-benar telah menjangkiti kakak-


kakak Yusuf. Mereka ingin mendapatkan curahan kasih sayang dari ayah
mereka. Pemecahan atas problem menurut mereka ini adalah dengan
membinasakan Yusuf. Oleh karenanya, diajaklah Yusuf untuk bepergian.
Mereka pun melakukan aksinya dengan cara yang sangat jahat, yaitu
memasukkan Yusuf ke dalam sumur yang jauh dari rumah mereka.
Mereka pulang dan menyampaikan kepada ayah mereka bahwa Nabi
Yusuf diterkam binatang buas. Mereka menunjukkan baju Yusuf yang
terkoyak dan berlumuran darah binatang. Iri dan dengki menjadikan
mereka sebagai orang-orang yang jahat.

Apa yang dirasakan oleh seorang anak yang terdampar di dalam sumur
yang gelap? Tidak diceritakan bagaimana perasaan Yusuf setelah dalam
kegelapan sumur itu. Kalau kita berempati, kita akan merasakan ketakutan
yang merasuk dalam diri Yusuf. Sendirian dalam gelap, kedinginan
merasuk ke dalam tubuh. Semua ini dijalani Yusuf sekitar tiga atau empat
hari. Sekalipun demikian, Allah swt tidak membiarkan Yusuf dalam keter-
purukannya. Allah telah berfirman pada Yusuf dan itu menjadikan Yusuf
menjadi tegar menjalaninya.

Yusuf menjalani takdir berikutnya. Sekelompok musafir dari Negeri


Madyan sedang menempuh perjalanan ke negeri Mesir. Mereka berhenti
untuk menghentikan kehausan yang terjadi pada mereka. Ketika mereka

102 Psikologi Resiliensi


menimba air, yang mereka dapatkan adalah seorang anak yang air
mukanya luar biasa rupawan. Dia adalah Yusuf. Yusuf dibawa oleh mereka
secara sembunyi-sembunyi. Mereka segera ingin menjual Yusuf dengan
harga murah, dikarenakan Yusuf adalah “barang temuan”. Di sini Yusuf
menjalani babak baru kehidupannya, yaitu sebagai budak yang diperjual-
belikan. Pembelinya sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an adalah
seseorang yang memiliki posisi penting dalam pemerintahan Fir’aun.

Menjalani tahun-tahun sebagai budak pastinya bukan masa yang indah.


Budak adalah status terendah dalam kehidupan manusia. Tidak ada
kebebasan, tidak ada kemerdekaan. Itulah fase yang dijalani Yusuf ketika
usianya masa anak-anak hingga remaja.

Beruntungnya adalah tuan dan nyonya yang mengasuh Yusuf adalah


keluarga terpandang, seorang yang memiliki posisi penting dalam pemer-
intahan Fir’aun. Sang suami, yang bernama Qithfir, berkata kepada istrinya
yang bernama Zulaikha: “Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang
baik. Boleh jadi ia bermanfaat bagi kita. Atau kita pungut ia sebagai anak.”
Dan, demikian pulalah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada
Yusuf di muka bumi (Mesir) (QS Yusuf, 12:21).

Dalam menapaki jalan kehidupannya, Yusuf menjalaninya dengan penuh


kesabaran. Akhlaknya terpancar dari perilakunya yang penuh keadaban.
Dengan akhlaknya yang mulia dan fisiknya yang rupawan, Yusuf berha-
dapan dengan peristiwa berikutnya yang menjadikannya dalam posisi
yang sulit. Nyonya rumah yang adalah ibu tirinya, yaitu Zulaikha, ternyata
tertawan oleh kerupawanan wajah Yusuf dan akhlaknya yang mulia.
Ringkas cerita Zulaikhan jatuh cinta kepada Yusuf.

Zulaikha bukan tipe wanita yang hanya menyimpan dalam hati ketika jatuh
cinta kepada orang lain. Cinta yang teramat besar menjadikan Zulaikha
ingin menundukkan Yusuf . “Dan perempuan yang dia (Yusuf) tinggal di
rumahnya menggoda dirinya. Dan dia menutup pintu-pintu, lalu berkata:
‘Marilah mendekat kepadaku.’ Yusuf berkata: ‘ Aku berlindung kepada Allah,
sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.’ Sesungguhnya
orang yang zalim itu tidak beruntung.” (QS Yusuf, 12:23).

Malangnya adalah upaya menundukkan Yusuf itu tertangkap basah.


Sang suami, Qithfir, berada di depan pintu kamar ketika Yusuf berhasil
meloloskan diri dari kejaran Zulaikha yang dipenuhi bara asmara. Terkon-

Kisah-kisah Resiliensi Klasik dan Masa Kini 103


firmasi secara pasti bahwa yang melakukan tindakan tercela adalah
Zulaikha, bukan Yusuf. “Seorang saksi dari keluarga perempuan itu
memberikan kesaksian. ‘Jika baju gamisnya koyak di bagian depan, maka
perempuan itu benar, dan dia (Yusuf) termasuk orang yang dusta. Dan jika
baju gamisnya koyak di bagian belakang, maka perempuan itu yang dusta,
dan dia (Yusuf) termasuk orang yang benar.” (Qs Yusuf, 12: 26-27). Dan
suaminya melihat dengan mata kepala sendiri bahwa gamis yang koyak
berada di bagian belakang. Artinya, positif yang merayu dan melakukan
dusta adalah Zulaikha.

Kejadian itu mengantarkan Yusuf kepada dua peristiwa yang sama-sama


tidak mengenakkan. Pertama adalah tersebarnya berita bahwa seorang
nyonya istri pimpinan negara yang terhormat telah terpikat oleh
budaknya. Para wanita yang ada di lingkungan istana menggunjingkan
apa yang terjadi antara Zulaikha dan Yusuf. Mereka menyebut apa yang
terjadi sebagai “kesesatan yang nyata.” (QS Yusuf, 12:30). Mendengar
pergunjingan itu, Zulaikha ingin menunjukkan bahwa apa yang dilaku-
kannya adalah sesuatu yang masuk akal. Oleh karena itu, untuk membuk-
tikannya Zulaikha mengundang para sosialita zaman Fir’aun itu. Mereka
memenuhi undangan Zulaikha dan siap menyaksikan siapa lelaki yang
membuat Zulaikha jatuh cinta. Maka, di tempat mereka duduk itu Zulaikha
menyediakan buah-buahan dan pisaunya. Begitu layar dibuka terlihatlah
seorang lelaki muda yang sangat rupawan. Semua undangan dalam posisi
melongo. Sambil melongo tangan mereka tetap bekerja mengiris buah
yang ada di tangan mereka. Karena sedemikian fokusnya kepada wanita
tersebut, secara tak sengaja pisau-pisau mereka mengiris tangan mereka
tanpa mereka sadari. “Ketika perempuan-perempuan itu melihatnya,mereka
terpesona kepada (keelokan rupa)nya, dan mereka (tanpa sadar) melukai
tangannya sendiri” (QS Yusuf 12: 31).

Apa yang dirasakan Yusuf ketika diperlakukan seperti ini? Yusuf bukanlah
model yang sedemikian senang dan bangga menunjukkan diri di hadapan
sosialita. Ia sangat malu dengan apa yang terjadi. Namun, karena
menyadari posisi dirinya sebagai seorang budak, maka dijalaninya keti-
daknyamanan itu.

Kedua adalah sekalipun fakta bahwa yang bersalah adalah Zulaikha


sebagaimana diakuinya sendiri (QS Yusuf 12: 32), namun karena pengaruh

104 Psikologi Resiliensi


dari suaminya, sehingga yang tetap dinyatakan bersalah adalah Yusuf,
bukan Zulaikha. Akhirnya Yusuf harus meringkuk di penjara.

Yang menarik adalah apa yang tampak buruk tidak selalu buruk. Dijeb-
loskan ke dalam penjara tapi tidak melakukan kesalahan adalah sesuatu
yang mengenaskan. Itu yang tampak. Yang tidak tampak adalah Nabi
Yusuf pada dasarnya sedang menjalani takdirnya. Selama di penjara bakat
menakwilkan mimpi berkembang sangat baik. Mata hatinya sedemikian
jernih sehingga hal-hal yang tidak tampak menjadi kelihatan transparan
di mata Yusuf.

Dua orang yang ada dalam penjara menyampaikan mimpi-mimpi mereka


kepada Yusuf dan Yusuf menakwilkannya. Terhadap mimpi-mimpi itu
Yusuf berkata, “Wahai kedua penghuni penjara. Salah seorang di antara
kamu akan menyediakan minuman khamar bagi tuannya. Adapun yang
seorang lagi dia akan disalib, lalu burung memakan sebagian kepalanya.”
((QS Yusuf 12: 41).

Yusuf berpesan kepada temannya yang selamat agar bersedia menjelaskan


keadaan Yusuf kepada tuannya. Namun, sayangnya teman sepenjara yang
sudah keluar itu lupa. Akibatnya, Yusuf harus dipenjara lebih lama.

Keadaan berpihak kepada Yusuf ketika Raja Fir’an menghadapi mimpi yang
pelik. Raja bermimpi tentang tujuh sapi betina yang gemuk yang dimakan
oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus. Raja juga bermimpi tujuh tangkai
gandum yang hijau dan tujuh lainnya yang kering. Raja mencari penakwil
mimpi. Akhirnya teman Yusuf yang sudah bebas menjadi teringat kepada
Yusuf yang ahli dalam menakwilkan mimpi. Akhirnya di antarlah Yusuf ke
hadapan raja. Setelah raja menyampaikan mimpi dan permintaan tafsir
atas mimpinya.

“Agar kamu bercocok tanam tujuh tahun berturut-turut sebagaimana biasa.


Kemudian apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di tangkainya
kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian setelah itu akan datang tujuh
(tahun) yang sangat sulit yang sangat sulit, yang menghabiskan apa yang
kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari apa
(bibit gandum) yang kamu simpan.Setelah itu akan datang tahun di mana
manusia diberi hujan (dengan cukup) dan pada masa itu mereka memeras
anggur” (QS Yusuf 12: 47-49).

Kisah-kisah Resiliensi Klasik dan Masa Kini 105


Ternyata raja mempercayai tafisr Yusuf sekaligus meminta Yusuf untuk
terlibat langsung dalam pengelolaam perekonomian nasional bangsa
Mesir. Raja memintanya menjadi sejenis menteri perekonomian yang
langsung mengendalikan pemanfaatan panen sehingga dapat melewati 7
tahun musim panen yang sukses dan 7 tahun musim panen yang gagal.
“Sesungguhnya kamu mulai hari ini menjadi seorang yang berkedudukan
tinggi di lingkungan kami dan dipercaya.”

Akhir drama perjulanan Yusuf adalah ketika Yusuf menjadi pejabat negara
yang bertangung jawab terhadap pengendalian ekonomi nasional. Orang-
orang dari negeri di luar Mesir berdatangan ke Mesir untuk mendapatkan
bantuan. Yusuf mengetahui ketika ayah, ibu, dan 11 saudaranya termasuk
bagian dari rombongan yang hadir ke Mesir untuk memperoleh bantuan.
Dengan cara berliku, akhirnya rombongan orangtua sampai di istana
Yusuf. “Dan dia menaikkan kedua orangtuanya ke singgasananya. Dan
mereka semua tunduk bersujud kepadanya. Dan dia (Yusuf) berkata: ‘Inilah
takwil mimpiku yang dulu itu. Dan sesungguhnya Tuhanku telah menja-
dikannya kenyataan” (QS Yusuf 12: 100). Mimpi Yusuf yang menjadi
kenyataan adalah matahari (yang adalah ayahnya), bulan (yang adalah
ibunya), dan 11 bintang (sebelas saudaranya) datang kepadanya dalam
posisi menghadap kepada pemegang amanat nasional.

Dari rangkaian cerita yang luar biasa ini, dapat ditangkap ciri-ciri resi-
liensi yang dimiliki Yusuf.

7.2 Keluarga Suroso dan Kesabarannya atas Kematian Aaak-anaknya

Suroso dan Muntini adalah pasangan istri yang resilien. Mereka tinggal
sebagai pasangan suami istri di sebuah desa di Mojokerto. Takdir demi
takdir harus mereka jalani. Anak-anak yang diamahkan kepada mereka
sebagian berpulang keharibaan Allah dengan cara yang berat, yaitu melalui
kecelakaan. Pasangan hidup mereka sebelumnya juga meninggal dalam
usia muda. Sekalipun berkali-kali dirundung malang, namun mereka terus
bertekad untuk mendukung anak-anak yang masih dipercayakan kepada
mereka dengan penuh kesungguhan agar sukses hidup dunia dan akhirat.

Sebelum menikah dengan Muntini, Suroso adalah suami dari Siti Rodiah.
Ketika bersama Siti, Suroso bekerja sebagai pedagang roti di pasar.

106 Psikologi Resiliensi


Penghasilan cukup untuk menghidupi istri dan anak-anaknya. Mereka
hidup normal sebagaimana umumnya orang kecil. Keluarga kecil yang
bahagia.

Suatu hari malang tak dapat ditolak. Dua anak mereka yang sedang bermain
di rumah tetangga mengalami kecelakaan. Entah apa sebabnya truk tidak
terkendali dan menyasar ke rumah tetangga rumah mereka yang kebetulan
berada di jalan besar, jalan negara yang menghubungkan Surabaya,
Mojokerto, hingga Yogya. Dua anak balita berada di depan rumah tersebut.
Anak pertamanya (laki-laki) terluka parah, namun bertahan hidup. Ada
bekas goresan besar di jidatnya yang dibawanya hingga meninggal dunia
pada usia lebih kurang 40 tahun. Anak keduanya (perempuan) meninggal
di lokasi dalam kondisi yang mengenaskan. Peristiwa itu belum berakhir.
Beberapa saat berikutnya, istri Suroso dikabarkan sakit yang berat. Istri
yang dicintainya kembali keharibaan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Peristiwa berat ini dihayati Suroso sebagai ujian dari Tuhannya. Manusia
boleh merencanakan, Tuhan yang menentukan. Kesedihan yang penuh
kepedihan harus dijalani. Hanya kepada Tuhan diri dipasrahkan.

Tak lama kemudian, sang kakak kandung Suroso, Muhadi namanya, sakit-
sakitan dan akhirnya meninggal dunia. Sang kakak sebenarnya telah
tampak kemoncerannya. Dalam usia 19 tahun sudah terpilih sebagai
sekretaris desa. Jabatan yang diemban hingga akhir hayatya dalam usia
sekitar 35 tahun.

Sang kakak meninggalkan seorang istri yang bernama Muntini. Sang kakak
ipar perempuan kini harus menanggung empat anak yang semuanya masih
anak di bawah umur 10 tahun. Para sesepuh memberi nasihat kepada
Suroso agar mau menjalani apa yang disebut turun ranjang. Mereka
menasihati agar Suroso bertanggung jawab atas keponakan-keponakannya
dengan cara menikahi ibu mereka. Dan, terjadilah pernikahan itu.

Sebelumnya Suroso tinggal di kota kecil. Kini ia memilih untuk kembali ke


kampung halamannya untuk mengasuh anak kandung dan anak-anaknya
yang juga keponakannya. Mereka tinggal di desa dan menjalani hidup
sebagai petani.

Suami istri Suroso dan Muntini bekerja sama dalam mengabdi kepada
Allah swt, mengasuh anak, mengelola tanah pertanian di sawah dan
kebun, serta hidup bermasyarakat. Suroso lebih banyak mengolah sawah

Kisah-kisah Resiliensi Klasik dan Masa Kini 107


yang ditanami padi, jagung, dan kedelai. Muntini lebih banyak menangani
kebun-kebun yang ditanami pisang, kelapa, dan tanaman-tanaman lain
yang cepat panen. Hidup mereka berkembang baik. Sebagai petani desa,
hidup mereka tergolong cukup. Walau tentu penuh kesederhanaan.

Dari perkawinan mereka, lahir lima orang anak. Ketika pasangan ini baru
memiliki 3 anak, ada sebuah kepedihan yang terjadi. Suatu saat, ketika
semuanya berjalan baik-baik saja, Suroso menggali tanah untuk dijadikan
tempat sampah. Kebiasaan orang-orang desa pada masa itu adalah sampah
dimasukkan ke dalam lubang dan sesudah penuh lubang itu ditutup
dengan tanah hasil galian lubang berikutnya. Suroso tidak berpikir bahwa
tempat sampah bisa sangat berbahaya untuk anak-anaknya.

Di pagi itu, Suroso tidak bekerja ke sawah. Ia bekerja di rumah. Ia


bermaksud memperbaharui pagar rumahnya dengan menyiapkan pagar
baru yang terbuat dari bambu hasil kreasinya sendiri. Sambil bekerja,
seorang anak balitanya, ikut menemaninya. Si kecil yang bernama Titin itu
bermain-main di dekatnya. Tanpa berpikir ada bahaya, Suroso mengambil
sesuatu dalam rumahnya. Sesudah mendapatkan apa yang dicarinya, ia
kembali ke tempat ia membuat pagar di samping rumahnya. Saat itu, dia
memanggil-manggil dan mencari ke sana kemari balitanya. Tidak ada
yang menyahut. Ia bertanya kepada tetangganya apakah melihat si balita
Titin dan tidak ada yang melihatnya. Hingga ia tidak dapat menahan
tangisnya ketika ia dapati anaknya telah terjatuh dan tersungkur di lubang
sampah yang belum digunakan itu. Anaknya terjatuh dan sudah tak
dapat diselamatkan. Betapa sedih hatinya. Betapa besar rasa bersalahnya.
Peristiwa ini adalah peristiwa yang sangat besar dan mungkin paling berat
ditanggungnya. Ia menyalahkan diri sendiri dan orang-orang lain juga
menyalahkannya.

Setelah itu, lahirlah anak keempat dan kelima dari pernikahan tersebut.
Semua anak tumbuh sehat. Sekolah di sekolah agama saat sekolah dasar
dan sekolah menengah pertama dan mengambil sekolah negeri ketika di
SMA dan mahasiswa. Prestasi anak-anak mereka umumnya baik, bahkan
ada yang sangat baik. Anak-anak juga tumbuh keberagamaannya dan
akhlaknya. Tiap hari anak-anak berlatih dan memelihara ngajinya, baik
ngaji al-Qur’an, hadis nabi, maupun kitab kuning, di masjid atau di tempat
guru ngaji.

108 Psikologi Resiliensi


Hingga suatu saat terkabarkan berita duka yang menghentak di jumat siang
itu. Putrinya yang kelas 3 SMA, anak keempat dari pernikahan Suroso dan
Muntini, dikabarkan mengalami kecelakaan. Dan, ketika dijenguknya di
rumah sakit, terkabarkan bahwa putri nya yang dikenal berakhlak mulia
telah kembali keharibaan Allah. Duka kembali menaungi keluarga itu.

Kehidupan terus berjalan. Anak-anak mereka terus bertumbuh. Anak


keempat hasil pernikahan Muntini dan Muhadi, Akhmad Rukhan namanya,
dikabarkan mengalami kecelakaan tertabrak oleh bis. Sebagaimana
biasanya, Rukhan pulang dari Semarang untuk mendatangi istrinya yang
bertugas sebagai hakim di Pemalang. Ketika turun dari bis, tiba-tiba bis di
belakangnya menyambarnya. Kecelakaan dan kematian terjadi.

Akhmad Rukhan adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan


Agung di Semarang. Sesudah menyelesaikan pendidikan notarisnya, ia
bermaksud pindah kerja dari dosen menjadi notaris. Ia berkomitmen
menghajikan ibunya. Namun, sebelum yang dicita-citakannya tercapai,
yaitu bekerja sebagai notaris dan menghajikan ibunya, ia telah dipanggil
kembali oleh Allah SWT.

Sang ibu, Muntini, dan sang ayah tiri sekaligus pamannya, lagi-lagi
merasakan duka. Putranya yang telah mekar dan siap berkarya terbaik
ternyata dipanggil Allah dalam usia yang masih muda, belum berusia 35
tahun.

Peristiwa kehilangan anak berikutnya adalah ketika Muntini menjalankan


ibadah haji. Tidak ada berita apapun ketika berada di tanah suci. Ketika
suaminya, Suroso, menjemputnya di Yogyakarta pun tidak ada kabar
bahwa ada kejadian penting di rumah. Hanya ketika para peziarah haji
datang, salah seorang di antara mereka bertanya: “Apa yang dirasakan
Mbakyu Muntini di Makkah saat Lilik Nuraini mengalami kecelakaan dan
meninggal dunia?” Tidak ada yang dikatakan oleh muntini. Ia langsung
masuk ke dalam kamarnya dan menangis. Dalam tangisnya, ia berkata: “Ya,
Allah, kuatlah hatiku untuk menerima semua ini.” Puteri ketiga Muntini
dipanggil Allah swt dengan meninggalkan lima orang anak. Anak tertuanya
saat itu mahasiswa tahun pertama. Anak terakhirnya masih balita.

Duka Muntini belum juga berakhir. Anak pertamanya, Suyanto (45 tahun),
yang mengalami kecelakaan tersetrum listrik sebelum ia berangkat haji

Kisah-kisah Resiliensi Klasik dan Masa Kini 109


semakin menurun kondisinya. Semakin pulang haji itu Suyanto semakin
melemah jantungnya. Hingga beberapa pekan berikutnya dipanggil Allah
SWT.

“Menyaksikan anak-anak satu per satu meninggal dunia pastilah hal


yang sangat berat, bahkan mungkin paling berat dalam kehidupan ini,”
demikian ungkapan empatik yang pernah saya dengar dari seseorang.
Menjadi lebih berat lagi kalau yang disaksikannya meninggal itu tidak
hanya satu… Yang luar biasa adalah Suroso dan Muntini menerima takdir
itu dengan lapang hati. Mereka tetap berharap, berdoa dan berusaha agar
anak-anak yang berusia lebih panjang sukses dan bahagia hidupnya. Dan,
mereka merasakan syukur yang tiada terhingga ketika anak-anaknya
sukses menjadi dosen, menjadi guru, menjadi pedagang besar.

7.3 Nick Vujicic dan tetra-amelia syndrome

Nicholas James Vujicic atau yang lebih dikenal Nick Vujicic adalah seorang
motivator dunia yang lahir di Melbourne pada tanggal 4 Desember
1982. Nick, sapaannya, lahir tanpa memiliki dua lengan dan dua kaki.
Kondisi langka ini dalam dunia medis dikenal dengan istilah tetra-amelia
syndrome. Melansir dari laman Genetics Home Reference U.S. National
Library of Medicine, tetra-amelia syndrome ditandai dengan tidak adanya
tungkai pada keempat anggota tubuh sehingga menyebabkan malformasi
pada bagian tubuh, seperti wajah, kepala, sistem saraf, jantung, tulang
belakang, dan genitalia. Pada banyak kasus paru-paru penderitanya sulit
berkembang sehingga menyebabkan kesulitan dan ketidakmampuan
dalam bernafas. Karena penderita tetra-amelia syndrome memiliki masalah
kesehatan serius membuat beberapa penderitanya meninggal tidak lama
setelah lahir dan beberapa masih bisa melanjutkan hidup, salah satunya
Nick Vujicic.

Menjalani masa kecil dengan tetra-amelia syndrome tentu tidak mudah.


Nick ketika kecil awalnya tidak diperbolehkan untuk masuk sekolah normal
walaupun tidak ada masalah dengan IQ-nya. Ketika berada di sekolah Nick
menjadi korban perundungan yang membuatnya mengalami kesepian dan
depresi berat. Nick selalu mempertanyakan kenapa ia berbeda dengan
anak-anak lainnya dan apa tujuan ia diciptakan di dunia. Pada usia 8 tahun
Nick terpikir untuk mengakhiri hidupnya karena merasa tidak memiliki

110 Psikologi Resiliensi


harapan dan pada usia 10 tahuan ia pernah mencoba bunuh diri dengan
menenggelamkan dirinya di bak kamar mandi. Alasan Nick bertahan
dan bangkit adalah karena kasih sayang dari keluarganya yang mampu
membuatnya melewati segala kesulitan dalam hidup.

Secara bertahap Nick mengetahui bagaimana cara menjalani hidup


dengan keterbatasan yang dimiliki dan beradaptasi melakukan aktivitas
sehari-hari. Nick bisa menulis dengan dua jari kecil yang ada di kaki kirinya,
menggunakan komputer dan mampu mengetik 45 kata dalam satu menit
dengan metode heel and toe. Nick bahkan belajar untuk melempar bola
tenis, bermain pedal drum, mengambil secangkir gelas, menyisir rambut,
menggosok gigi, dan menerima panggilan telepon. Selama bersekolah di
Runcurn State High School Queensland untuk sekolah tingkat menengah
pertama, Nick terpilih menjadi kapten McGregor State di Queensland dan
bekerja bersama dewan siswa dalam penggalangan dana untuk kegiatan
amal dan kampanye tentang orang-orang yang memiliki disabilitas. Pada
usia 17 tahun Nick pertama kali mulai memberikan ceramah keagamaan
dalam kelompoknya. Nick juga mendapatkan gelar sarjana dalam bidang
perdagangan dengan spesialisasi perencanaan finansial dan akuntansi di
Griffith University di Queensland

Pada tahun 2005 Nick mendapatkan penghargaan Young Australian of The


Year dan mendirikan organisasi non profit bernama “Life Without Limbs”
yang berkantor di California, Amerika Serikat. Pada tahun yang sama Nick
juga merilis film dokumenter tentang dirinya yang berjudul “Life’s Greater
Purpose”. Pada tahun 2009 Nick juga membintangi film pendek berjudul
“The Butterfly Circus” yang disutradarai oleh Joshua Weigel dan sederet
aktor dari Meksiko dan Amerika. Film ini mendapatkan penghargaan
sebagai “Best Short Film” dalam Method Fest Independent Film Festival dan
The Feel Good Film Festival. Nick menulis sejumlah buku diantaranya “Life
Without Limits:Inspiration for a Ridiculously Good Life” pada tahun 2010,
“Unstoppable: The Incredible Power of Faith in Action” pada tahun 2013, “The
Power of Unstoppable Faith” pada tahun 2014, dan “Love Without Limits”
pada tahun 2016. Kemudian, pada tahun 2012 Nick menikah dengan Kanae
Miyahara, perempuan dari Texas yang sudah dikenalnya sejak tahun 2008
dan dikaruniai empat orang anak.

Kisah-kisah Resiliensi Klasik dan Masa Kini 111


Ketika menjadi pembicara dalam TEDxNoviSad dengan tema “Overcoming
Hopelesness” pada tahun 2012, Nick menyampaikan bahwa kita lahir
dan hidup untuk melewati kesulitan. Nick juga menyampaikan bahwa
orangtuanya selama ini mengajarkan bahwa dalam hidup selalu ada
pilihan, yaitu marah atas apa yang tidak dimiliki atau bersyukur atas apa
yang dimiliki. Kekuatan dalam memilih ini yang membuat Nick bangkit
ketika mengalami masa-masa sulit di awal sekolahnya dan ia menyadari
bahwa dalam hidup sangat penting untuk memiliki harapan (hope), kasih
sayang (love), dan keyakinan (faith). Hal ini yang membuat Nick bangkit
kembali dan menjadi sumber kekuatan dalam memberikan motivasi di
setiap kesempatan ketika ia menjadi pembicara.

Dalam sebuah tulisan yang dirilis pada tanggal 29 Juli 2016 dalam situs
Fatherly.com berjudul “My son was born with no arms or legs and it’s
nothing like you’re thinking”, Boris Vujicic menceritakan pengalamannya
dalam membesarkan Nick Vujicic. Boris berusaha memahami bagaimana
kondisi Nick dengan segala keterbatasannya. Boris menyadari bahwa
anaknya berjuang bahkan untuk mengangkat tubuhnya. Boris melihat
tubuh Nick berbaring di lantai, kemudian menguatkan dirinya dengan
meletakkan dahinya di atas karpet dan melengkungkan punggungnya
sampai Nick bisa menggeser tubuh bagian bawahnya ke depan sehingga
perlahan bisa mengangkat tegak tubuhnya sendiri. Melihat hal itu Boris
dan istrinya menyadari bahwa untuk tidak berfokus pada kelemahan
dan keterbatasan, namun fokus pada perjuangan dan memberi harapan
kepada Nick.

Boris dan istrinya meragukan bahwa Nick bisa berguling, duduk, atau
berdiri dengan kondisinya ketika bayi. Namun keraguan tersebut salah
dan Nick bisa melakukan semua itu seperti anak normal pada umumnya.
Boris mengungkapkan bahwa sejak kecil dia sangat tersentuh ketika Nick
menceritakan mimpi-mimpi dan harapannya. Salah satu keinginannya
adalah bisa bermain sepak bola bersama anak-anak lain ketika kecil. Ketika
dewasa Nick bahkan menceritakan keinginannya untuk berselancar,
skydiving, dan snowboarding. Perjuangan Boris dalam membesarkan Nick
dituliskan dalam bukunya yang berjudul “Raising The Perfectly Imperfect
Child: Facing Challenges With Strength, Courage, and Hope”.

112 Psikologi Resiliensi


7.4 Mawar, Pasien Positif Covid-19

Penulis melakukan wawancara kepada Siti Saniah, S.Psi., M.Psi., Psikolog


yang bertugas sebagai relawan psikolog Covid-19 di salah satu balai
karantina pasien Covid-19 di Kalimantan Selatan. Ia melakukan pendam-
pingan psikologis kepada para pasien Covid-19 selama berada di balai
karantina. Salah satu pasien positif Covid-19, sebut saja ibu Mawar (bukan
nama asli), menceritakan perjuangannya untuk bangkit kembali dari
keterpurukan dan penyakit yang menimpanya diwaktu yang bersamaan
selama pandemi. Ibu Mawar mengungkapkan bahwa dirinya dan suami
selalu melakukan aktivitas berdua sehingga kepergian suami membuat ibu
Mawar merasa sangat kehilangan.

Ibu Mawar memiliki seorang suami dan anak laki-laki semata wayang.
Kejadian bermula ketika suami ibu Mawar mengalami kecelakaan di mana
suaminya ditabrak oleh sepeda motor di jalan. Setelah kejadian tersebut
suami ibu Mawar hanya dirawat di rumah. Akan tetapi, tiga hari kemudian
suami ibu Mawar dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya semakin
memburuk. Suami ibu Mawar meninggal dunia tidak lama setelah dirawat
di rumah sakit. Ibu Mawar merasa terpukul mengingat kepergian suaminya
yang begitu cepat dan mengingat luka yang dialami suaminya dirasa tidak
begitu parah. Kematian mendadak suami ibu Mawar membuat pihak
rumah sakit memutuskan untuk melakukan proses pemakaman sesuai
dengan protokol Covid-19. Hal ini membuat ibu Mawar merasa semakin
terpukul melihat suaminya dimakamkan seusai protokol Covid-19.

Pihak rumah sakit kemudian melakukan rapid test kepada ibu Mawar dan
anaknya walaupun tidak menunjukkan gejala-gejala Covid-19. Hasil dari
rapid test adalah positif dan membuat ibu Mawar semakin terpukul dengan
kenyataan yang harus diterimanya. Ibu Mawar dan anaknya kemudian
diminta pihak rumah sakit untuk melakukan karantina mandiri di rumah.
Kondisi ini membuat ibu Mawar merasa diasingkan di saat kondisinya
masih berduka. Beberapa hari kemudian pihak Puskesmas setempat
melakukan tes SWAB dan hasilnya menunjukkan bahwa ibu Mawar dan
anaknya positif Covid-19 dengan status orang tanpa gejala (OTG). Kondisi
ini membuat ibu Mawar tidak bisa berinteraksi secara langsung dengan
kerabat atau tetangga di sekitar rumahnya di tengah duka yang masih

Kisah-kisah Resiliensi Klasik dan Masa Kini 113


menyelimuti dirinya. Kurang lebih selama satu bulan setelah suaminya
meninggal, ibu Mawar dan anaknya dihubungi pihak Puskesmas untuk
melanjutkan isolasi di balai karantina provinsi Kalimantan Selatan.

Ibu Mawar dan anaknya tanpa berpikir panjang mengiyakan saran dari
pihak Puskesmas untuk menjalani isolasi di balai karantina. Aktivitas-ak-
tivitas di balai karantina dilakukan secara bersama dengan pasien lain
yang menjalani isolasi, seperti olahraga bersama, berjemur di bawah sinar
matahari setiap pagi, ruang terbuka agar sesama pasien bisa berinteraksi
satu sama lain, dan tinggal di ruangan bersama tanpa dipisah. Ibu Mawar
mengungkapkan kondisi di balai karantina membuatnya semakin membaik
dibandingkan menjalani isolasi mandiri di rumah karena kesehatan dan
kondisi psikologisnya menjadi lebih diperhatikan sehingga memban-
tunya dalam proses penyembuhan. Hal ini dikarenakan ibu Mawar tidak
merasakan kesepian dan bisa berinteraksi secara langsung dengan pasien
lain sehingga merasa tidak sendiri dalam menjalani isolasi.

Selama menjalani isolasi di balai karantina, ibu Mawar merasa mendapatkan


dukungan emosional dan saling menguatkan dengan pasien lain ketika
berbagi cerita pengalaman hidupnya masing-masing. Ibu Mawar juga
bersyukur ketika mendengar ada pasien lain yang memiliki kondisi yang
tidak seberuntung dirinya saat ini mengingat ibu Mawar berstatus OTG.
Obrolan bersama pasien lain membuat ibu Mawar bisa memahami dan
berempati ketika mendengar cerita dari orang lain. Selain itu, aktivitas-ak-
tivitas yang dilakukan bersama di balai karantina membantu ibu Mawar
untuk mengalihkan pikirannya terhadap kepergian suami karena ketika
isolasi di rumah ibu Mawar merasa sedih karena selalu teringat kenan-
gan-kenangan bersama mendiang suaminya.

Isolasi beberapa minggu di balai karantina semakin menguatkan ibu Mawar


untuk bangkit dari keterpurukan. Salah satunya adalah menemukan
makna positif dari penyakit Covid-19 yang dideritanya setelah kepergian
suaminya. Ibu Mawar mengungkapkan bahwa positif Covid-19 dengan
status OTG mungkin cara Allah SWT untuk mengantarkannya ke balai
karantina dan mempertemukannya dengan banyak orang. Mendengar
cerita dari pasien lain membuat ibu Mawar lebih bersyukur dengan
kondisinya sekarang setelah kepergian suaminya. Aktivitas-aktivitas di

114 Psikologi Resiliensi


balai karantina yang dilakukan secara bersama-sama membuat ibu Mawar
merasa lebih bahagia dan beruntung jika dibandingkan dengan menjalani
isolasi mandiri di rumah yang membuatnya merasa kesepian.

Ibu Mawar mengungkapkan proses penerimaannya terhadap kepergian


suami dan penyakit Covid-19 menjadi dimudahkan ketika mendapatkan
dukungan baik secara fisik maupun psikologis selama di balai karantina.
Kemudian, tidak adanya sekat untuk berinteraksi dan mengobrol dengan
pasien lain membuat ibu Mawar bisa mensyukuri kondisinya dan berempati
sehingga juga bisa memberikan dukungan kepada pasien lain. Pemaknaan
positif dengan menyadari adanya keterlibatan Allah SWT dalam hidup
ibu Mawar membuatnya menjadi lebih tenang dan menerima penyakit
Covid-19 sebagai bentuk kasih sayang-Nya untuk bangkit dari duka yang
dirasakan setelah kepergian suami yang selalu ada dalam hidupnya.

Kisah-kisah Resiliensi Klasik dan Masa Kini 115


116 Psikologi Resiliensi
Glosari

Academic resilience atau resiliensi akademik adalah kemampuan resi-


liensi individu dalam proses belajar; kemampuan siswa dalam meng-
hadapi kejatuhan (setback), tantangan (challenge), kesulitan (adversity),
dan tekanan (pressure) secara efektif dalam konteks akademik. Resil-
iensi akademik merupakan proses dinamis yang menunjukkan ketang-
guhan siswa untuk bangkit dari pengalaman negatif, saat menghadapi
situasi sulit yang menekan atau hambatan signifikan dalam aktivitas
belajar. Resiliensi akademik ditandai dengan siswa yang mampu menggu-
nakan kekuatan internal maupun eksternalnya untuk mengatasi berbagai
pengalaman negatif, menekan, dan menghambat proses belajar sehingga
mampu beradaptasi dan menyelesaikan tanggung jawab akademik dengan
baik.

Achievement-striving adalah ciri kepribadian yang ditandai oleh


dorongan untuk berprestasi

Activity adalah ciri kepribadian untuk senang mengikuti berbagai kegiatan


karena memiliki semangat dan energi yang tinggi

Agreeableness atau kebaikan hati (juga dapat disebut dengan social adapt-
ability atau social likability) adalah ciri kepribadian yang ditandai dengan
individu yang ramah, mudah mengalah, menghindari konflik, dan memiliki
kecenderungan untuk mengikuti orang lain. Individu yang memiliki tingkat
kepribadian agreeableness yang tinggi digambarkan sebagai individu yang
penyayang, gemar membantu, dan mudah memaafkan.

Akhlak yaitu itu tingkat perilaku seorang Muslim berdasarkan ajaran-


ajaran agama Islam dalam hal bagaimana berinteraksi atau berealisasi
dengan dunia beserta isinya.

Akidah, yaitu tingkat keyakinan seorang Muslim terhadap ajaran-ajaran


yang ada dalam agama Islam.

Altruism adalah ciri kepribadian yang ditandai oleh sikap dan perilaku
murah hati dan membantu orang lain

Glosari 117
Anxiety atau kecemasan adalah kekhawatiran yang kurang jelas atau
kurang berdaasar.

Assertiveness adalah ciri kepribadian yang cenderung tegas melalui


perilaku asertif

Causal analysis, yaitu kemampuan individu untuk mengidentifikasi


secara akurat penyebab dari permasalahan yang dihadapi.

Commitment (persistence) adalah kemampuan individu untuk terus


berusaha menyelesaikan tugas atau tanggung jawab akademi dan
memahami sebuah masalah meskipun menemui kesulitan dan penuh
tekanan. Siswa dengan komitmen yang tinggi tidak akan mudah menyerah
ketika dihadapkan dengan tantangan dan kegagalan, namun tetap
berusaha melakukan yang terbaik serta mengevaluasi proses yang ditemui
baik kegagalan maupun keberhasilan yang diraih.

Commucative coping atau koping komunkatif adalah strategi koping


yang paling banyak dilakukan oleh responden dengan cara membicarakan
masalahnya kepada seseorang.

Community resilience atau resiliensi komunitas adalah kemampuan


sebuah komunitas untuk tetap bersama dan membantu komunitasnya
sendiri sebagai sebuah kelompok serta keluarga dan individu yang ada
didalamnya. Resiliensi komunitas membutuhkan kehadiran, pengem-
bangan, dan kelekatan dari sumber daya suatu komunitas untuk melewati
kondisi lingkungan yang berubah, tidak pasti, tidak bisa diprediksi, dan
dadakan. Komunitas yang resilien memiliki dorongan untuk mengem-
bangkan kapasitas pribadi atau kelompok yang diikuti untuk merespon dan
mempengaruhi, menjaga dan memperbaharui komunitas, dan mengem-
bangkan jalan baru bagi masa depan komunitas.

Competence adalah ciri kepribadian yang memiliki ciri efektif dan


bijaksana dalam melakukan sesuatu.

Compliance adalah ciri kepribadian yang ditandai kerelaan mengikuti


aturan.

Composure (low-anxiety) adalah kecemasan yang berkaitan dalam


proses akademik. Kecemasan muncul ketika individu memikirkan tugas
atau tanggung jawab akademik, pekerjaan rumah, dan ujian. Kemudian,

118 Psikologi Resiliensi


rasa cemas juga biasanya muncul ketika individu merasa tidak mampu
menyelesaikan tugas atau tanggung jawab akademik dengan baik atau
maksimal. Individu yang memiliki ketenangan dalam proses belajar
akan mampu mengendalikan emosi negatif, menyelesaikan tugas dengan
nyaman, dan tidak mudah dikuasai oleh keadaan yang menekan.

Confidence (self-belief) adalah keyakinan dan kepercayaan individu


terhadap kemampuan yang dimiliki. Keyakinan ini akan mendorong
individu untuk memahami dan untuk menyelesaikan tanggung jawab
akademik, tantangan yang ditemui selama proses belajar, dan melakukan
sesuatu secara maksimal.

Control (a sense of control) adalah kemampuan individu dalam mengen-


dalikan kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan tanggung jawab
akademik atau situasi yang menekan. Keyakinan mampu dalam mengen-
dalikan diri membantu siswa untuk berpikir positif terhadap situasi yang
dihadapi, memahami bagaimana sesuatu bekerja, memprediksi apa yang
akan terjadi, dan mendorong siswa untuk mencari penyelesaian masalah.

Conscientiousness bisa disebut juga dengan istilah dependability, impulse


control, dan will to achieve adalah ciri kepribadian yang ditandai oleh
kontrol terhadap lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda
kepuasan, patuh terhadap aturan, terencana, terorganisir, mempriori-
taskan tugas. Tingginya tingkat ciri kepribadian conscientiousness biasanya
dikenal sebagai individu yang perfeksionis, workaholic, dan membosankan.

Deliberation adalah ciri kepribadian yang memiliki ciri berpikir sebelum


bertindak.

Depression atau depresi adalah keadaan patah hati atau putus asa yang
disertai oleh melemahnya kepekaan terhadap stimuli tertentu, pengu-
rangan aktivitas fisik atau mental dan kesukaran dalam berpikir.

Dutifulness adalah ciri kepribadian yang ditandai oleh memegang erat


prinsip hidup

Emphaty, yaitu kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi


emosional dan psikologis orang lain.

Emotional intelligence atau kecerdasan emosi adalah kemampuan


individu dalam mengamati perasaan pribadi dan orang lain, mengidenti-

Glosari 119
fikasi perasaan-perasaan tersebut, dan menggunakannya dalam memandu
proses berpikir dan bertindak terhadap sesuatu.

Emotional regulation, yaitu kemampuan untuk tetap tenang dibawah


kondisi yang menekan.

Equanimity atau ketenangan hati, yaitu keseimbangan perspektif dari


kehidupan individu dan pengalaman-pengalaman yang dirasakan.

Excitement-seeking adalah ciri kepribadian yang cenderung menyukai


sensasi dan mengambil risiko

Existential aloneness atau eksistensial, adalah kesadaran bahwa jalan


hidup setiap individu adalah unik.

Extraversion atau extraversi adalah ciri kepribadian yang menggam-


barkan individu yang memiliki kuantitas dalam interaksi sosial, level
aktivitas, dan kebutuhan akan dukungan orang lain. Individu yang
memiliki tingkat extraversion yang tinggi cenderung terbuka, ramah, dan
menikmati hubungan interpersonal.

Familiy resilience atau resiliensi keluarga adalah kemampuan keluarga


dalam menggunakan potensinya untuk pulih, memperbaiki, dan
bertumbuh dalam menghadapi permasalahan yang serius. Baiknya resil-
iensi keluarga ditandai dengan banyaknya potensi dan penguatan sehingga
dapat membesarkan anak-anaknya dengan baik dengan kasih sayang.

Fatalistic or passive coping atau koping fatalistik adalah strategi koping


yang dilakukan dengan berharap masalah akan pergi dengan sendirinya,
berhenti menggunakan internet sementara.

Gratitude atau syukur sebagai sebuah perasaan atau emosi, yang


kemudian diimplementasikan dalam sikap, sifat moral yang baik, sifat
kepribadian dan akan mempengaruhi bagaimana individu menanggapi
suatu situasi; suatu perasaan yang menakjubkan, rasa terima kasih, dan
penghargaan terhadap kehidupan.

Gregariousness adalah ciri kepribadian yang cenderung memiliki banyak


teman dan berinteraksi dengan orang banyak

Hardiness atau tahan banting adalah kemampuan menyesuaikan diri


dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, dalam hal ini adalah
keadaan yang menunjukkan adanya kesulitan.

120 Psikologi Resiliensi


Ibadah, yaitu tingkat kepatuhan Muslim dalam mengerjakan kegiatan
ritual seperti yang dianjurkan dalam agama Islam.

Ihsan atau penghayatan agama, yaitu mengalami perasaan-perasaan


dalam menjalankan aktivitas beragama dalam agama Islam.

Ilmu atau pengetahuan agama, yaitu tingkat pemahaman Muslim terhadap


ajaran-ajaran agama Islam sebagaimana yang termuat dalam al-Qur’an.
Kelima,

Impulse control, yaitu kemampuan individu untuk mengendalikan


keinginan, dorongan, kesukaan serta tekanan yang muncul dari dalam diri.

Individual differences atau perbedaan-perbedaan individual adalah


suatu perlakuan yang membedakan seorang anggota rumpun tertentu
dengan anggota rumpun lainnya, terutama apabila dihubungkan dengan
kemampuan menjalani tes-tes; deviasi individu dari rata-rata (average)
atau dari satu sama lain.

Innate Resilience, yaitu identifikasi multidisiplin lebih terkait sumber


motivasional dalam individu dan kelompok dan upaya untuk membantu
mengaktivasi dan pemanfaatan sumber-sumber tersebut.

Meaningfulness atau kebermaknaan, adalah kesadaran individu bahwa


kehidupan memiliki suatu tujuan.

Modesty adalah ciri kepribadian yang ditandai oleh sikap dan perilaku
sederhana dan rendah hati

Neurotcism atau neurotisisme adalah ciri kepribadian yang menggam-


barkan individu yang memiliki permasalahan dengan emosi negatif,
seperti rasa tidak aman dan rasa khawatir.

Online resilience atau resiliensi daring adalah kemampuan individu untuk


bisa mengatasi dan bertahan dari pengalaman negatif yang berbahaya,
berisiko, dan sulit dari aktivitas daring. Anak yang memiliki resiliensi
daring yang baik tidak akan merasa terganggu ketika mendapatkan
masalah dari aktivitas daring; anak yang memiliki resiliensi daring yang
rendah akan merasa terganggu setelah mendapatkan madia dari aktivitas
daring.

Glosari 121
Openness to experience atau terbuka terbuka terhadap pengalaman
adalah ciri kepribadian yang merujuk pada kesediaan melakukan penye-
suaian terhadap situasi atau ide yang baru. Hal ini ditandai dengan
individu yang mudah bertoleransi, cenderung lebih mudah menyele-
saikan masalah karena terbuka terhadap pengalaman baru, kreatif, fokus,
mampu menyerap informasi, serta mampu untuk waspada pada berbagai
perasaan, pemikiran, dan impulsivitas.

Optimism adalah kecenderungan individu untuk melihat sisi positif dari


suatu hal dan mempercayai diri sendiri serta percaya pada orang lain;
suatu harapan yang ada pada diri individu bahwa segala sesuatu akan
berjalan menuju arah kebaikan. Saphiro (2003) menambahkan optimisme
sebagai kecenderungan untuk memandang sesuatu dari sisi baiknya dan
mengharapkan hasil yang paling memuaskan.

Parenting style atau pola asuh orangtua adalah sikap atau perilaku
orangtua terhadap anak dengan mengembangkan aturan-aturan dan
mencurahkan kasih sayang kepada anak. Pola asuh ditandai dengan
adanya pemenuhan kebutuhan anak oleh orangtua, baik kebutuhan fisik
(makan, minum, dan sebagainya), kebutuhan psikologis (rasa aman, kasih
sayang, perhatian, dan sebagainya), dan mengajarkan norma-norma atau
nilai-nilai yang ada di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan
lingkungan di mana ia tinggal.

Persistence atau kegigihan yaitu sikap tidak menyerah dengan keadaan


terpuruk yang dialaminya, tetap memiliki kepercayaan diri untuk sukses
memperbaiki keadaannya, tetap melakukan usaha yang terbaik yang
mungkin dilakukan untuk menuju keadaan yang lebih baik.

Person-focused models mengidentifikasi resiliensi individu dan berusaha


memahami bagaiamana perbedaannya atau dibandingkan dengan orang
lain ketika menghadapi situasi sulit sampai dengan mengalami perkem-
bangan.

Perseverance atau ketekunan, yaitu tindakan yang persisten walaupun


berada pada kondisi yang tidak nyaman dan keputusasaan.

Positive emotion adalah ciri kepribadian yang memiliki emosi positif


seperti bahagia atau cinta

122 Psikologi Resiliensi


Proactive coping atau koping proaktif adalah strategi koping yang
dilakukan dengan berusaha menyelesaikan masalah, mengapus pesan
online yang tidak menyenangkan, memblokir pengirim pesan online.

Psikologi adalah kajian ilmiah tentang jiwa dan perilaku manusia yang
dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia

Reaching out, yaitu kemampuan individu meraih aspek positif dari


kehidupan setelah mengalami suatu permasalahan.

Religiosity atau religiusitas adalah seberapa banyak pengetahuan,


seberapa kokok keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan akidah,
serta seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianut.

Resilient qualities, yaitu deskripsi fenomenologi terkait kualitas resilien


individu dan support systems yang dapat memprediksi kesuksesan diri dan
sosial.

Resiliency process, yaitu proses koping dengan stresor, kondisi yang tidak
menyenangkan, perubahan, atau kesempatan dalam berperilaku yang
menghasilkan identifikasi, pertahanan, dan mendukung faktor protektif.

Resiliensi adalah proses adaptasi dalam menghadapi kesulitan, trauma,


tragedi, ancaman atau bahkan sumber-sumber signifikan yang dapat
menyebabkan individu stres

Schizophrenia atau skizofrenia adalah setiap bentuk kelainan jiwa yang


mempunyai ciri-ciri kekakacauan dalam pemikiran dan kepribadian,
yaitu pemilikikan fantasi, regresi, halusinasi, delusi, serta penarikan dari
lingkungannya; keterbelahan dari jiwa atau dari kepribadian; suatu bentuk
psikosa yang ditandai oleh penarikan diri dari realitas (masyarakat nyata)
secara ekstrim Sering pula disertai kemerosotan mental (dementia) dan
muncul relatif cepat pada usia muda atau usia adolesens atau menjelang
masa dewasa.

Self actualization atau aktualisasi diri adalah proses penggunaan poten-


si-potensi yang dimiliki oleh seseorang atau keadaan yang dihasikannya.

Self-discipline adalah ciri kepribadian yang memiliki ciri mampu


mengatur diri sendiri

Self-efficacy, yaitu kemampuan merepresentasikan sebuah keyakinan

Glosari 123
bahwa individu mampu memecahkan masalah yang dialami dan mencapai
kesuksesan.

Self-esteem atau harga diri yaitu rasa harga diri; kesan seseorang mengenai
dirinya yang dianggap baik.

Self-reliance atau kemandirian, adalah keyakinan individu pada diri


sendiri dan kemampuan yang dimiliki.

Straight-forwardness adalah ciri kepribadian yang ditandai oleh sikap


dan perilaku berterus terang dan sungguh-sungguh dalam menyatakan
sesuatu

Stress atau ketegangan, tekanan, tekanan batin, tegangan adalah suatu


stimulus yang menegangkan kapsitas-kapasitas (daya) psikologis dan
fisiologis dari sutu organisme; sejenis frustrasi di mana aktivitas yang
terarah pada pencapaian telah diganggu atau dipersukar tetapi tidak
terhalangi; suatu ketergangan fisik atau psikologis yang disebabkan oleh
adanya persepsi ketakutan atau kecemasan

Stress coping atau koping stres adalah proses di mana individu berusaha
untuk mengatasi atau mengurangi stres

Strength adalah kemampuan individu untuk pulih dan menjadi lebih kuat
setelah mengalami kemunduran dan pengalaman masa lalu.

Tenacity adalah ketenangan mental, keadaan siap, kegigihan dan kontrol


diri ketika menghadapi situasi yang sulit ataupun menghadapi tantangan.

Tender-mindedness adalah ciri kepribadian yang ditandai oleh sikap dan


perilaku simpati dan peduli terhadap orang lain.

Trust adalah ciri kepribadian yang ditandai oleh rasa percaya kepada
orang lain

Variable-focused models menyebutkan bahwa resiliensi terbentuk dari


interaksi antara karakteristik individu, lingkungan, dan pengalaman-pen-
galaman yang membuat individu memiliki kekuatan sebagai indikator
baiknya kemampuan adaptasi ketika dihadapkan dengan risiko atau
kesulitan yang berat.

Warmth adalah ciri kepribadian yang dipenuhi kehangatan dalam bergaul.

124 Psikologi Resiliensi


Indeks

A
Academic resilience xx
Agreeableness xx
Akhlak
Akidah
American Psychological Association (APA)
Anger hostility
Anxiety
Autonomy support

B
Big five personality traits
Brief Resilience Scale (BRS)

C
Capability enhancement
Capacity building
Caregiver climate
Caregiver involvement
Caregiver mediation strategies
Causal analysis xx
Child and Youth Resilience Measure (CYRM-28)
Commitment
Commucative coping
Community resilience
Composure
Confidence
Conjoint Community Resiliency Assessment Measure (CCRAM)
Connor and Davidson
Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC)
Control
Conscientiousness
Covid 19

Indeks 125
D
d’Haenens, Vandoninck, dan Donoso
Daily non-traumatic stressors
Depression
Digital skills and attitude

E
Empathy
Emotional intelligence
Emotional regulation
Equanimity
Existential aloneness
Extraversion

F
Familiy resilience
Family Resilience Assessment Scale (FRAS)
Fatalistic or passive coping

G
Ganor dan Lavy
Gratitude

H
Hardiness

I
Ibadah
Ihsan
Ilmu
Impulse control
Impulsiveness
Individual differences
Innate Resilience
Insecure

M
Martin dan Mash
Meaningfulness

126 Psikologi Resiliensi


N
National Health Security Strategy (NHSS)
Neuroticism

O
Online resilience
Openness to experience
Optimism

P
Parent Involvement and Autonomy Support Scale
Parenting style
Passive coping
Persistence
Person-focused models
Perseverance
Proactive coping
Przybylski, Mishkin, Shotbolt, dan Linington
Psikologi

R
Reaching out
Reivich dan Shatte
Religiosity
Resilience Scale (RS)
Resilience Scale for Adults (RSA)
Resiliensi
Resilient qualities
Resiliency process

S
Schizophrenia
Self actualization
Self consciousness
Self efficacy
Self esteem
Self reliance
Sixbey
Snyder and Lopez

Indeks 127
Social causation
Social selection
Stress
Stress coping
Strength

T
Tenacity
The Academic Resilience Scale (ARS-30)

U
Unconditional regard
Ungar and Liebenberg

V
Variable-focused models
Vulerability

W
Wagnild dan Young
Walsh
Warmth
World Health Organization (WHO)

Y
Yu dan Zhang
BIODATA PENULIS

Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., M.Ag., Psikolog

Fuad Nashori adalah sebuah nama yang begitu lekat dengan psikologi
Islam. Ayah lima anak ini menyelesaikan pendidikan S1 Psikologi (UGM),
S2 Akidah dan Filsafat Islam (UIN Yogya), S2 Psikologi Sosial (UGM),
dan S3 Psikologi Sosial (Unpad). Pada tahun 2003-2011, pendiri Asosiasi
Psikologi Islam ini diamanati menjadi Ketua Umum Pengurus Pusat
Asosiasi Psikologi Islam periode pertama dan periode kedua (2003-2011).
Pada tahun 2011-2015, 2015-2020, 2020-2024 diamanati sebagai Wakil
Ketua Dewan Pakar Asosiasi Psikologi Islam Himpsi. Selain itu, pada tahun
2006-2010, 2014, 2018-2022, aktivis Islam ini diamanati sebagai dekan
Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia.
Pada tahun 1995 hingga sekarang, menjadi Direktur Yayasan Al-Arkham
Mojokerto. Pada tahun 2015-2022, diamanati sebagai Presiden Inter-Is-
lamic University Conference on Psychology Forum (IIUCP-Forum).

Berbagai tema psikologi Islam dijelajahinya. Ia telah menulis ratusan


artikel, ratusan makalah, puluhan hasil penelitian, dan belasan buku
tentang pemaafan, prasangka sosial, agresivitas, kreativitas, tidur dan
mimpi, pernikahan, pendidikan anak, dan sebagainya. Buku-buku yang
pernah ditulisnya: Psikologi Islami, Solusi Islam atas Problem Psikologi
(1994), Membangun Paradigma Psikologi Islami (1994), Menggapai Keung-
gulan Islam (1997), Agenda Psikologi Islami (2002), Mengembangkan Kreati-
vitas (2002), Memasuki Surga Pernikahan (2002), Potensi-potensi Manusia
(2003), Profil Orangtua Anak-anak Berprestasi (2005), Kiat-kiat Menjadi
Penulis Muslim Kreatif (2005), Psikologi Sosial Islami (2008), Psikologi Mimpi
(2011), Psikologi Islami: Dari Konsep Hingga Pengukuran (2015), Psikologi
Pemaafan (2015), Psikologi Prasangka dan Agresi (2017), Psikologi Tidur
(2017), Psikologi Positif Terapan (2018), dan Ilmu Sosial dan Humaniora
dalam Perspektif Islam (2020).

Banyak menulis di jurnal ilmiah nasional maupun internasional, seperti


Mental Health Religion and Culture, Psychology and Education an Inter-
disciplinary Journal, Journal Talent Development and Excellence, Interna-

Biodata Penulis 129


tional Journal of Psychosocial Rehabilitation, Jurnal Psikologi Sosial (UI
& IPS), Jurnal Tazkiya (UIN Jakarta), Jurnal Psympathic, Jurnal Psikologi
Islam dan Budaya (UIN Sunan Gunung Djati), Jurnal Psikologi (Unpad),
Jurnal Psikologi, Buletin Psikologi (UGM), Jurnal Psikologi Islam (PP API
Himpsi), Jurnal Millah, Jurnal Intervensi Psikologi, Jurnal Psikologika,
Jurnal Unisia (UII), Jurnal Humanitas (UAD), Jurnal Psikologi Integratif
(UIN Sunan Kalijaga), Jurnal Psikologi Mandiri (Stipsi Yogyakarta), Jurnal
Psikohumaniora (UIN Walisongo), Jurnal Psikologi Proyeksi (Unissula),
Jurnal Psikologi (Undip), Jurnal Indigenous (UMS), Jurnal Psikologi Ilmiah
Terapan (UMM), Jurnal Psikoislamika (UIN Malang), Jurnal Anima (Ubaya),
Jurnal Insan (Unair), Jurnal Psikis (UIN Raden Fatah), Jurnal Psikologi (UIN
Pekanbaru), Jurnal al-Qalb (UIN Padang), Jurnal Psikoislamedia (UIN Banda
Aceh), Jurnal Talenta (UNM), dan sebagainya.

Gagasannya tentang psikologi Islam telah dipresentasikan dalam berbagai


konferensi internasional dan nasional maupun kuliah umum di berbagai
perguruan tinggi utama seperti Universitas Islam Antar Bangsa, Universiti
Malaya (Malaysia), Universitas Zhejiang (China), Universitas Indonesia,
Universitas Paramadina, Universitas Tarumanegara, Universitas Islam
Negeri Jakarta, Universitas Negeri Jakarta (DKI Jakarta), Universitas Padjad-
jaran, Universitas Islam Bandung, Universitas Pendidikan Indonesia,
Universitas Nasional PASIM (Jawa Barat), UM Purwokerto, Universitas
Diponegoro, UIN Walisongo, Unissula, UM Surakarta, Universitas Negeri
Sebelas Maret (Jawa Tengah), Universitas Gadjah Mada, Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Ahmad Dahlan, UIN Yogyakarta,
Universitas Negeri Yogyakarta (DI Yogyakarta), Universitas Airlangga,
UIN Surabaya, Universitas Muhammadiyah Malang, UIN Malang, Univer-
sitas Brawijaya, Universitas Wisnuwardhana, Universitas Darul Ulum,
Universitas Islam Majapahit (Jawa Timur), Universitas Udayana (Bali),
UIN Padang (Sumatra Barat), Universitas Bina Darma, UIN Raden Fatah
(Sumatra Selatan), UIN Sultan Syarif Kasim, Universitas Islam Riau, Univer-
sitas Abdurrab, Universitas Muhammadiyah Riau (Riau), Universitas Jambi,
Universitas Islam Negeri Jambi (Jambi), Universitas Lambung Mangkurat,
IAIN Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Universitas Negeri Makassar,
Universitas Indonesia Timur, Universitas Bosowa (Sulawesi Selatan).

Sehari-hari Cak Fuad bekerja sebagai dosen tetap program Studi Psikologi
Profesi (S2) Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII, di samping
kegemarannya menulis, meneliti, dan menonton bola. Di sela-sela

130 Psikologi Resiliensi


waktunya, ia juga mengajar matakuliah Psikologi dan menguji pada
Program Doktor Studi Islam UIN Semarang, Program Doktor Psikologi
Unpad, Program Doktor Psikologi UGM, Program Magister Studi Islam UII,
Program Magister Studi Islam UMY, Program Magister Teknik Sipil UII,
Pendidikan Dokter UII, Pondok Pesantren UII, PPSDMS Nurul Fikri.

Atas kerja kerasnya ia pernah dianugerahi penghargaan sebagai peraih


Islamic Psychology Award 2019 dari Pengurus Pusat Asosiasi Psikologi
Islam Himpsi (2019), Dosen Teladan Kopertis V Daerah Istimewa Yogya-
karta (2004), Dosen Teladan UII (2001, 2004, 2007, 2017), Dosen Terproduktif
dalam Penulisan Ilmiah UII (1997,1998, 2002, 2003, 2005, 2008), Mahasiswa
Berprestasi Utama UGM (1994), Dosen Berprestasi Fakultas Psikologi dan
Ilmu Sosial Budaya UII (2009,2010, 2013), Penerima Hibah Penelitian Funda-
mental dari Dikti Depdiknas (2007, 2014, 2015, 2016), Penerima Hibah
Disertasi Doktor Dikti (2013), Penerima Hibah Penelitian Dosen Muda dari
Dikti (2004, 2006, 2007), Penerima Hibah Penulisan Buku Teks Dikti (2010),
Penerima Hibah Penulisan Buku Teks Islam Disiplin Ilmu UII (2015, 2016a,
2016b, 2017, 2018), Penerima Beasiswa BPPS Dikti untuk Program Magister
di UGM (1998-2000), Penerima Beasiswa BPPS Dikti untuk Program Doktor
di UNPAD (2010-2012), Penerima Beasiswa Supersemar UGM (1990-1992),
Penerima Beasiswa TIFIKO S1 UGM (1992-1995), Penerima Penghargaan
Mahasiswa Berprestasi Istimewa Bidang Komunikasi/Publikasi UGM
(1994), Penerima Penghargaan Mahasiswa Berprestasi Terbaik Bidang
Komunikasi/Publikasi UGM (1991, 1992, 1993).

Dalam sepak terjang hidupnya, Fuad menunjukkan kepeloporannya


dengan mendirikan berbagai organisasi. Beberapa di antaranya adalah
(1) Asosiasi Psikologi Islam - Himpsi (Jakarta, 2002), (2) Inter-Islamic
University Conference on Psychology Forum/IIUCP-Forum (Yogya, 2015),
(3) Prodi Magister Psikolgi Profesi UII (Yogyakarta, 2005), (4) Jurnal Inter-
vensi Psikologi UII (Yogyakarta, 2009), (5) Jurnal Psikologi Islam (Yogya-
karta, 2005), (6) Jurnal Psikologika UII (Yogyakarta, 1996), (7) Yayasan
Al-Arkham (Mojokerto, 1995), (8) Jamaah Fathan Mubina UII (Yogya-
karta, 2004), (9) Yayasan Insan Kamil (Yogyakarta, 1995), (10) Yayasan
Raudhatul Fata (Wonosobo, 1995), (11) Forum Silaturrahmi Mahasiswa
Psikologi Muslim Indonesia (Bandung, 1992) yang berubah menjadi Ikatan
Mahasiswa Muslim Psikologi Indonesia (Bandung, 2001), (12) Keluarga
Muslim Psikologi UGM (Yogyakarta, 1989), dan sebagainya.

Biodata Penulis 131


Cak Fuad, begitu ia dipanggil orang-orang dekatnya, ingin memperke-
nalkan perspektif Islam dalam mengkaji topik-topik bahasannya. Buku
yang berjudul Psikologi Resiliensi ini dimaksudkan sebagai buku daras/teks
untuk perkuliahan Psikologi Positif.

Buku ini sengaja ditulis pria kelahiran Mojokerto (JawaTimur) pada 23


Desember 1970 dengan harapan berguna bagi para pemuda, pelajar,
mahasiswa dan siapapun yang mengharapkan kehidupan yang berkualitas.
Ia berharap penulisan buku ini menjadi amal baiknya dan mendapat
catatan baik dari Allah ‘Azza wa jalla.

Iswan Saputro, S.Psi., M.Psi., Psikolog

Iswan Saputro, S.Psi., M.Psi., Psikolog lahir di Tanjung, 20 Desember


1995 dan saat ini berprofesi sebagai praktisi psikolog di Yogyakarta.
Selain itu, ia juga menjadi personality development trainer yang berfokus
pada pengembangan diri dengan melatih soft-skill guna meningkatkan
kesejahteraan psikologis. Ia menyelesaikan pendidikan Program Sarjana
Psikologi (2012-2016) dan Program Magister Psikologi Profesi Bidang Klinis
(2016-2019) di Universitas Islam Indonesia dengan konsentrasi kajian
pada psikologi positif dan psikologi kesehatan. Selama kuliah juga aktif
mengikuti kegiatan konferensi, seperi “Inter-Islamic University Conference
on Psychology (IIUCP)” dan “International Conference of Islamic Psychology
(ICIPSY)”. Kemudian, beberapa tulisannya juga dimuat di jurnal nasional
di antaranya berjudul “Pengaruh pelatihan kebersyukuran terhadap resil-
iensi pada penderita kanker payudara”, “Resiliensi mahasiswa ditinjau dari
pemaafan dan sifat kepribadian agreeableness”, dan “Qana’ah ditinjau dari
stres dan kepuasan hidup mahasiswa”. Tulisan bersama rekan-rekannya
berjudul “Forgiveness among Javanese Ethnicity Mancanegari Subculture: A
case study in Indonesia” juga dimuat dalam International Journal of Psycho-
social Rehabilitation.

132 Psikologi Resiliensi


View publication stats

Anda mungkin juga menyukai