Anda di halaman 1dari 31

PEMBUATAN EDIBLE FILM BERBASIS EKSTRAK KULIT

BUAH NAGA MERAH SEBAGAI PENDETEKSI


KESEGARAN IKAN GURAME

Laporan Tugas Akhir

Oleh :
Amalia Amanda
NPM 20736002

POLITEKNIK NEGERI LAMPUNG


BANDAR LAMPUNG
2024
PEMBUATAN EDIBLE FILM BERBASIS EKSTRAK KULIT
BUAH NAGA MERAH MERAH SEBAGAI PENDETEKSI
KESEGARAN IKAN GURAME

Oleh :
Amalia Amanda
NPM 20736002

Laporan Tugas Akhir

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Sebutan


Sarjana Terapan Teknik (S.Tr.T.)
Pada
Program Studi Pengembangan Produk Agroindustri
Jurusan Teknologi Pertanian

POLITEKNIK NEGERI LAMPUNG


BANDAR LAMPUNG
2024
HALAMAN PENGESAHAN

1. Judul Laporan : Pembuatan Edible film Berbasis Ekstrak


Kulit Buah Naga Merah Sebagai
Pendeteksi Kesegaran Ikan Gurame
2. Nama Mahasiswa : Amalia Amanda

3. Nomor Pokok Mahasiswa : 20736002

4. Program Studi /1 : Pengembangan Produk Agroindustri

5. Jurusan : Teknologi Pertanian

Menyutujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Pridata Gina P, S.T.P., M.,Si Deary Amethy Z J, S.T.P., M.Si


NIP. 199305192020122004 NIP. 199012032022032012

Ketua Jurusan
Teknologi Pertanian

Didik Kuswadi, S.T.P., M.Si


NIP. 196901161994021001

Tanggal Ujian :
PEMBUATAN EDIBLE FILM BERBASIS EKSTRAK KULIT
BUAH NAGA MERAH SEBAGAI PENDETEKSI
KESEGARAN IKAN GURAME

Oleh :

Amalia Amanda

ABSTRAK
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN................................................................................iii

DAFTAR ISI............................................................................................................v

DAFTAR TEBEL....................................................................................................vi

DAFTAR GAMBAR............................................................................................viii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................1


1.2 Tujuan Penelitian..........................................................................................3
1.2 Kerangka Pemikiran.....................................................................................3
1.3 Hipotesis.......................................................................................................5
1.4 Kontribusi....................................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................6

2.1 Smart packaging..........................................................................................6


2.2 Indikator Kesegaran Produk.........................................................................7
2.3 Antosianin....................................................................................................8
2.4 Ikan Gurame ( Osphronemus gouramy )......................................................9
2.5 Penelitian Terdahulu...................................................................................11

BAB III METODE PENELITIAN.........................................................................13

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian.....................................................................13


3.2 Alat dan Bahan...........................................................................................13
3.2.1 Alat...........................................................................................................13
3.2.2 Bahan........................................................................................................13
3.3 Metode Penelitian......................................................................................13
3.3.1 Ekstrak Antosianin (Wahyuditia Meganingtyas, 2020).............................13
3.3.2 Pembuatan Edible film..............................................................................14
3.3.3 Pengaplikasian Kemasan..........................................................................15
3.4 Prosedur Analisa........................................................................................16
3.4.1 Uji Stabilitas Ekstrak Antosianin (Putri et al., 2019)..................................16
3.4.2 Uji Ketebalan............................................................................................16
3.4.3 Uji Kuat Tarik............................................................................................17
3.4.4 Uji Elongasi...............................................................................................17
3.4.5 Uji Derajat Warna.....................................................................................17
3.4.6 Total Volatile Base ( TVB ).........................................................................18

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Penelitian terdahulu................................................................................. 11
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Kerangka pemikiran.............................................................................. 4
Gambar 2. Alur proses ekstraksi antosianin kulit buah naga merah..................... 14
Gambar 3. Alur proses pembuatan indikator film................................................. 15
Gambar 4. Alur pengaplikasian kemasan indikator film...................................... 16
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Produksi budidaya ikan gurame di indonesia pada tahun 2022 mengalami
pertumbuhan 12,62% dari tahun 2021 dengan menghasilkan 48.316 ton panenan
ikan gurame (KKP, 2022). Pertumbuhan produksi ikan gurame di pengaruhi
dengan adanya daya beli ikan gurame yang tinggi di pasaran serta harganya yang
relatif stabil (Ayja, 2023). Ikan gurame biasanya banyak di jual di pasaran dalam
kondisi segar, baik dalam kondisi hidup ataupun sudah mati. Ikan segar yang
dijual di pasaran tidak terditeksi tingkat kesegarannya (Bachtiar, 2010). Kesegaran
ikan merupakan hal yang penting dalam menentukan mutu dari produk perikanan
dikarenakan ikan dengan kondisi segar akan memiliki mutu yang baik sehingga
aman untuk di konsumsi (Folabessyy, 2022). Penentuan mutu ikan segar salah
satunya dapat di lihat dari perubahan pH yang terjadi pada ikan. Ikan dikatakan
sangat baik di konsumsi apabila pH 6 - 7, baik jika pH < 6 dan tidak baik jika nilai
pH ˃ 7 (Metusalach et al, 2014). Penurunan mutu pada ikan akan berdampak pada
daya beli konsumen (Sidratus Sakina & Purwangka, 2021) . Pemantauan mutu
ikan selama penyimpanan dan distribusi transpotasi produk dapat dilihat dengan
pemanfaatan teknologi smart packaging.
Perkembangan teknologi kemasan saat ini yaitu adanya smart packaging.
Smart packaging dibagi menjadi dua kategori besar yaitu active packaging dan
intelegent packaging (Yan et al., 2022) . Smart packaging merupakan suatu
inovasi dalam bidang kemasan yang dapat memantau dan memberikan informasi
kepada produsen dan konsumen perihal kualitas produk yang dikemas (Robetson,
2006). Intelegent packaging dapat memonitor kesegaran produk secara real time ,
serta dapat menurunkan kerugian akibat kesalahan memberikan informasi terkait
kerusakan produk sehingga dapat meningkatkan keamanan pangan bagi kosumen
(Yessica, 2023). Intelegent packaging dapat mendeteksi terjadinya penurunan
mutu dalam produk yang di kemasnya berdasarkan dari perubahan suhu, yang
mempengaruhi perubahan pH dengan di tunjukkan oleh perubahan warna yang
terjadi pada kemasan tersebut (Bagchi, 2012). Kemasan ini akan bereaksi ketika
mengalami perubahan baik secara kimiawi ataupun biologi dalam kemasan yang
menandakan kerusakan produk (Pacquit et al. 2008). Senyawa aktif yang
berpotensi untuk dikembangkan sebagai indikator kesegararan adalah ekstraksi
antosisanin dari kulit buah naga merah.
Antosianin merupakan pigmen warna yang sensitif terhadap perubahan
pH. Warna antosianin pada pH < 6 adalah merah, pH 6-7 antosianin akan
berwarna merah muda, pH 8 antosianin berwarna biru-keunguan, sedangkan pH
9-11 antosianin berwarna hijau dan pada pH 12 antosianin berwarna kuning (Chen
et al. 2021). Antosianin dari ekstrak buah naga akan berbubah warna asam-basa
dari merah muda ke hijau yang dapat memudahkan konsumen dalam
membedakan kesegaran ikan (Wahyuditia Meganingtyas, 2020). Warna antosianin
yang di gunakan akan mengalami perubahan warna dengan seiringnya perubahan
pH produk (Yessica, 2023). Kulit buah naga merah digunakan sebagai ekstrak
antosianin alami ini di harapkan dapat menjaga keamanan pangan dan dapat
mengurangi penggunaan indikator pH berbahan dasar kimia. Pengaplikasian
indikator kesegaran dapat di kombinasikan menjadi edible film untuk mengemas
produk.
Edible film di pilih karena sifat edible film yang ramah lingkungan serta
aman sebagai kemasan yang kontak langsung dengan produk. Edible film
berfungsi sebagai penahan (barrier) pada perpindahan massa (kelembaban, lipid,
cahaya, zat terlarut, gas O2 dan CO2), sebagai pembawa bahan makanan atau
bahan tambahan dan dapat mencegah hilangnya senyawa-senyawa volatil pada
produk pangan (Skurtys et al., 2009). Pati sebagai salah satu bahan utama dalam
pembuatan edible film yaitu sebagai pembentuk gelatinisasi dalam membentuk
tekstur serta pengikat antar bahan lainnya. Hasil uji karakteristik fisik penggunaan
jenis pati yang berbeda pada pembuatan eduble film dapat berpengaruh signifikan
pada karkteristik fisik edible film yang di hasilkan (Intan Martha Cahyani, 2017).
Fenomena yang terjadi tersebut melatarbelakangi peneliti untuk
mengembangkan edible film dengan penambahan ekstrak antosianin kulit buah
naga merah sebagai indikator kesegaran ikan gurame yang aman ketika kontak
langsung dengan produk dan ramah lingkungan.
1.2 Tujuan Penelitian
1. Mendapatkan formulasi edible film berbahan dasar pati dengan
penambahan ekstrak antosianin kulit buah naga merah sebagai sensor
kesegaran.
2. Mengetahui karakteristik edible film berbahan dasar pati dengan
penambahan ekstrak anatosianin sebagai sensor kesegaran.

1.2 Kerangka Pemikiran


Ikan gurame biasanya dipasarkan dalam keadaan segar baik dalam kondisi
masih hidup ataupun yang sudah mati (Zakaria, 2008). Proses penanganan ikan di
perlukan guna untuk menjaga kesegaran ikan. Penurunan mutu ikan gurame di
tandai dengan naiknya pH pada ikan gurame. Ikan dikatakan sangat baik apabila
ikan pH 6 – 7, baik jika pH < 6, dan tidak baik jika nilainya pH > 7 (Mutusalach
et al. 2014). Penurunan mutu pada ikan akan berdampak pada daya beli konsumen
(Nymas Sidratus Sakina, 2021). Pemantauan mutu ikan dapat di lakukan dengan
penggunaan smart packaging sebagai kemasan indikator kesegaran. Intelegent
packaging adalah salah satu contoh bentuk inovasi kemasan dari smart packaging.
Penggunaan intelegent packaging sebagai Indikator kesegaran dalam
berbentuk edible film merupakan bentuk inovasi untuk mengatasi masalah
penjaminan mutu produk pangan segar melalui perubahan pH yang terjadi pada
penurunan mutu produk secara real time. Penggunaan zat sebagai indikator
kesegaran secara umum masih menggunakan bahan yang bersifat toxic seperti
senyawa aluminium atau besi (II) oksida sebagai zat indikator dan senyawa kimia
berbayaha lainnya (Muhammad Yusuf Hidayat, 2018). Pengunaan zat kimia ini
secara tidak langsung dapat mengkontaminasi produk, oleh karena itu di butuhkan
zat alami sebagai indikator kesegaran seperti antosianin.
Pigmen alami yang dapat di jadikan sebagai bahan pembuatan indikator
pH pada edible film yaitu antosianin yang di hasilkan dari ekstrak kulit buah naga
merah. Antosianin dari ekstrak kulit buah naga merah akan mengalami perubahan
warna ketika mengalami perubahan pH akibat penurunan mutu produk. Warna
antosianin pada berbagai pH yaitu pada pH < 6 antosianin berwarna merah, pH 6 -
7 antosianin berwarna merah muda, pH 8 antosianin berwarna biru-keunguan, pH
9 - 11 antosianin berwarna hijau dan pada pH 12 antosianin berwarna kuning
(Chen et al. 2021). Edible film dengan ekstrak antosianin kulit buah naga akan
berubah warna seiring dengan perubahan pH yang terjadi pada ikan gurame.
Bahan utama dalam pembentuk edible film salah satunya yaitu pati.
Pati sering di gunakan dalam industri pangan sebagai biodegradable film
untuk menggantikan polimer plastik karena harganya yanag lebih ekonomis serta
dapat memberikan karakteristik yang baik (Kusumawati dan Putri, 2013). Edible
film berbahan dasar pati dan penambahan ekstrak antosianin dapat di gunakan
sebagai kemasan yang berinteraksi langsung dengan produk sehingga kinerja
edible film dalam memantau penurunan mutu produk akan lebih baik. Pemantauan
penurunan mutu ikan gurame di lakukan selama 9 hari dengan suhu penyimpanan
chilling 4°C.

Kesegaran ikan gurame

Penurunan mutu produk secara real time

Pengembangan smart packaging sebagai indikator


kesegaran berbasis ekstrak antosianin kulit buah naga

Pembuatan edible film dengan jenis pati berbeda dan


penambahan antosianinuntuk mendapatkan formulasi
terbaik

Edible film diaplikasikan pada simplisia ikan gurame


dan disimpan pada suhu chiller 4°C selama 9 hari

 Uji Stabilitas
/1 Antosianin
 Uji Ketebalan
 Uji Kuat tarik
 Uji Elongasi
 Uji Derajat warna
 Kadar TVB

Gambar 1. Kerangka pemikiran


1.3 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah adanya pengaruh dari pengunaan jenis
pati yang berbeda pada pembuatan edible film kulit buah naga merah sebagai
indikator kesegaran terhadap karakteristik edible film yang dihasilkan.
1.4 Kontribusi
1. Bermanfaat bagi penulis, penelitian ini memeperluas wawasan dalam
pengembangan smart packaging yang bersifat intelegent untuk
mengetahui kualitas ikan gurame melalui perubahan warna indikator pH
pada kemasan edible film.
2. Bermanfaat pagi pembaca, penelitian ini di harapkan dapat di terapkan
oleh pelaku usaha terutama distributor ikan ataupun pedagang dalam
menjamin kesegaran ikan yang di jualnya dan dapat mempurmudah
konsumen dalam mengetahui kondisi ikan dengan jaminan mutu yang baik
sehingga aman untuk di konsumsi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Smart packaging


Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seiring berjalannya waktu
mengalami peningkatan. Saat ini banyak inovasi-inovasi baru dalam kemasan
seperti smart packaging atau di sebut juga kemasan cerdas. Smart packaging
adalah salah satu inovasi bentuk kemasan yang dapat mengatasi keterbatasan
kemasan konvensional/tradisional. Smart packaging atau kemasan cerdas adalah
kemasan yang dapat memberikan perlakuan aktif dalam merespon perubahan
kondisi eksternal dan internal atau juga dapat menjadi sarana konsumen untuk
mengetahui status produk dalam kemasan (Dirpan et al. , 2018). Intelligent
packaging termasuk kedalam jenis kemasan cerdas yang mengacu pada kemasan
yang dapat memantau dan memberikan informasi tentang kondisi suatu produk
atau kondisi lingkungan penyimpanannya (Rijk, 2008). Intgelegent packaging
merupakan kemasan yang dapat mendeteksi kondisi produk yang dikemas,
komposisi atmosfer di dalam kemasan dan kondisi lingkungan selama transportasi
(Sohail et al. , 2018). Mekanisme kerja intellegent packaging berfokus pada
peningkatan kemampuan komunikasi. Intellegent packaging termasuk kedalam
golongan kemasan cerdas karena penggunaan intellegent packaging dapat
memberikan informasi kepada produsen, pengecer, dan konsumen ketika kualitas
produk yang dikemasnya menglami penurun atau ketika produk tidak disimpan
dalam kondisi yang sesuai (Lee et al. , 2008).
Edible film adalah salah satu bentuk dari intelegent packaging. Edible film
merupakan pengemas biodegradable dan dapat menjaga kualitas bahan pangan
saat mengalami penyimpanan. Terdapat dua jenis edible film yaitu edible coating
dan edible film. Edible coating merupakan pengemas yang digunakan sebagai
pelapis (coating) makanan semi basah maupun buah-buahan. Sedangkan edible
film adalah lapisan tipis dan kontinyu berupa interaksi rantai polimer yang
menghasilkan agregat polimer yang lebih besar dan stabil (Nurhayati, 2011).
Edible film biasanya terbuat biopolimer seperti polisakarida, lipid dan protein.
Golongan polisakarida yang banyak digunakan sebagai bahan pembuatan edible
film adalah pati dan turunannya, selulosa dan turunannya (metil selulosa,
karboksil metil selulosa, hidroksi propil metil selulosa), pektin, ekstrak ganggang
laut (alginat, karagenan, agar), gum (gum arab, gum karaya), xanthan, dan kitosan
(Winarti, 2012). Edible film berbahan dasar pati telah banyak digunakan, karena
pati memiliki karakteristik fisik dan kimia yang baik. Pati mempunyai peranan
penting dalam pembuatan edible film sebagai pengental dan pengikat, dimana
amilosa memberikan sifat gel dan amilopektin memberikan sifat lengket (Ricki
Mustapa, 2017). Edible film adalah kemasan alternatif yang tidak menimbulkan
masalah lingkungan. Kelebihan utama edible film terletak pada sifat
biodegradablenya, sehingga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan seperti
halnya bahan pengemas sintetik (Anggraeni Dwi Pangesti, 2014).
2.2 Indikator Kesegaran Produk
Indikator kesegaran dimaksudkan sebagai perangkat pintar yang
memungkinkan pemantauan kualitas produk makanan selama proses transportasi
dan penyimpanan. Kerusakan kesegaran mungkin terjadi karena produk terpapar
kondisi yang merugikan. Indikator kesegaran memberikan informasi langsung
tentang kualitas produk mengenai pertumbuhan mikroba atau perubahan kimia
dalam produk makanan (Siro, 2012). Konsep yang dijelaskan dalam literatur
umumnya didasarkan pada deteksi beberapa metabolit volatil yang dihasilkan
selama penyimpanan produk makanan, seperti karbon dioksida, etanol, amina,
amonia dan hidrogen sulfida (H2S). Salah satu indikator kesegaran biasa
digunakan untuk mendeteksi kualitas kesegaran produk makanan adalah indikator
pH berbasis warna (Vaikousi et. al., 2008).
Indikator pH digunakan untuk memantau dan mengidentifikasi kesegaran
makanan karena pada umumnya proses pembusukan disertai dengan perubahan
pH. Warna indikator pH secara fundamental akan berubah karena terjadi
perubahan pH lingkungan. Proses pemantauan mutu ikan selama penyimpanan
dapat dibantu dengan pemanfaatan teknologi yang bernama Intelligent packaging
atau kemasan pintar. Intelligent packaging adalah suatu sistem pengemasan yang
mampu menjalankan fungsi cerdas seperti mendeteksi, merekam, menelusuri, dan
berkomunikasi untuk menyediakan informasi dan memperingatkan kemungkinan
terjadinya masalah dalam produk, berdasarkan dari perubahan suhu, pH dengan
ditunjukkan oleh perubahan warna yang terjadi dari kemasan tersebut (Mulia W.
Apriliyanti, 2020). Terdapat beberapa bentuk indikator kesegaran yang telah di
kembangkan seperti contohnya Edible film dan label indikator dengan fungsinya
sebagai pamantau kesegaaran produk. Berdasarkan pengujian penggunaan label
indikator kesegaran yang telah dilakukan, label indikator berbasis ekstrak kubis
merah yang dapat digunakan untuk mendeteksi kesegaran filet ikan tuna.
Kebusukan filet ikan tuna dapat diketahui dengan mengamati perubahan warna
pada label. Label yang semula berwarna merah muda akan berwarna ungu pada
saat filet ikan tuna mengalami kebusukan (Deli Silvia, 2021). Selain
menggunakan label indikator sebagai sensor kesegaran, ada juga pengembangan
indikator kesegaran dengan film. Penelitian yang menggunakan pati sebagai
polimer film untuk mendeteksi kesegaran produk pangan. Film indikator yang
terbuat dari pati kentang digunakan untuk memonitor kesegaran susu, perubahan
nilai pH susu dari 6,6 menjadi 5,7 disusul dengan perubahan warna film dari biru
menjadi ungu mengindikasikan penurunan kesegaran produk susu (Goodarzi et
al., 2020). Prinsip kerja dari indikator kesegaran tersebut dengan memantau
perubahan pH yang terjadi pada produk, label ataupun film kesegaran akan
berubah warna seiring dengan berubahnya pH produk.
2.3 Antosianin
Antosianin merupakan pewarna yang paling penting dan tersebar luas
dalam tumbuhan. Pigmen yang berwarna kuat dan larut dalam air ini merupakan
penyebab hampir semua warna merah jambu, merah marak, merah, ungu, dan biru
dalam daun bunga, daun dan buah pada tumbuhan tinggi. Secara kimia semua
antosianin merupakan turunan suatu struktur aromatik tunggal, yaitu sianidin, dan
semuanya terbentuk dari pigmen sianidin ini dengan penambahan atau
pengurangan gugus hidroksil atau dengan metilisasi atau glikosilasi (Harborne,
1987). Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas antosianin yaitu pH, enzim,
cahaya, oksigen, suhu, oksidator, penyimpanan. Warna antosianin pada berbagai
pH yaitu pada pH <6 antosianin berwarna merah, pH 6-7 antosianin berwarna
merah muda, pH 8 antosianin berwarna biru-keunguan, pH 9-11 antosianin
berwarna hijau dan pada pH 12 antosianin berwarna kuning (Chen et al. 2021).
Perubahan warna antosianin karena adanya perubahan pH tersebut dapat
berpotensi sebagai indikator kesegaran dengan mendeteksi adanya perubahan pH
yang terjadi pada produk. Seperti contohnya indikator kesegaran pada ikan
gurame. Indikator kesegaran yang menggunakan antosianin dapat mendeteksi
kesegaran ikan karna antosianin adalah zat yang sensitif terhadap perubahan pH
sedangkan penurunan mutu ikan salah satunya di tandai dengan adanya perubahan
pH pada ikan. Sehingga pada saat ikan mengalami penurunan mutu warna pada
indikator tersebut akan berubah (Mulia W. Apriliyanti, 2020). Kualitas ikan
dikatakan sangat baik jika pH 6 – 7, baik jika pH < 6, dan tidak baik jika nilainya
pH > 7 (Metusalach et al. 2014). Antosianin dapat di hasilkan dari tumbuhan yang
memiliki warna mencolok seperti kulit buah naga merah.
Kulit buah naga merah umumnya hanya di anggap sebagai limbah,
padahal kandungan di dalam kulit buah naga merah masih dapat di manfaatkan
contohnya kandungan antosianin. Kulit buah naga merah dapat digunakan sebagai
indikator asam-basa berdasarkan pigmen warna yang dimiliki yaitu pigmen merah
muda yang diperoleh melalui proses maserasi. Pigmen tersebut dapat mengalami
perubahan warna sesuai kondisi lingkungan (Rahmawati dan Handayani, 2012).
Antosianin kulit buah naga merah merah dapat dihasilkan dari proses ekstraksi.
Ekstrak dari kulit buah naga merah mengandung pigmen antosianin yang
merupakan salah satu sumber pewarna alami (Sudarmi et al.., 2015). Antosianin
ini dapat berubah warna seriring berubahnya nilai pH sehingga antosianin dari
ekstrak kulit buah naga merah ini dapat di gunakan sebagai indikator kesegaran
dengan perubahan pH asam-basa pada ikan gurame. Setiap indikator memiliki
batas waktu pemakian, terlebih lagi pada indikator alami. Antosianin dari ekstrak
kulit buah naga merah yang di jadikan sebagai indikator alami dapat bertahan
dalam waktu 30 hari dalam kondisi penyimpanan botol tertutup dan dalam lemari
pendingin (Wahyuditia Meganingtyas, 2020).
2.4 Ikan Gurame ( Osphronemus gouramy )
Ikan gurame termasuk komoditas yang banyak dikembangkan oleh para
petani karena permintaan pasar yang cukup tinggi serta harga yang relatif stabil.
Ikan gurame memiliki kelemahan yaitu mudah mengamali kerusakan atau
penurunan mutu (highly pershable food). Proses penurunan mutu pada ikan
gurame di pengaruhi dari faktor internal ikan itu sendiri ataupun eksternal yang
berkaitan dengan lingkungan atau proses pendistribusian. Adapun faktor yang
paling berpengaruh terhadap penurunan mutu ikan gurame yaitu penanganan
pasca panen (Nurjanah, 2011).
Penanganan pada ikan gurame yang baik pasca pemanenan yaitu dengan
menerapkan suhu rendah (chilling) serta mengutamakan sanitasi dan higine untuk
mempertahankan kesegaran ikan dari proses pertumbuhan mikroba yang
menyebabkan pembusukan pada ikan. Keuntungan lain dengan menerapkan suhu
rendah pada ikan gurame dapat memperpanjang umur simpan mencapai satu
sampai empat minggu serta mempertahakan tingkat kesegaran dan nilai gizi pada
ikan gurame tersebut (Nurjanah, 2011). Selain itu, dengan kondisi suhu rendah
pertumbuhan bakteri pembusuk pada ikan dan proses biokimia yang berlangsung
dalam tubuh ikan yang dapat mempengaruhi penurunan mutu menjadi lebih
lambat dibandingkan dengan suhu lingkungan (FAO, 1995).
Fese penurunan mutu ikan gurame dapat di liat dari penuruanan suhu atau
nilai pH pada ikan gurame. Fase penurunan mutu ikan gurame yang pertama yaitu
prerigor, prerigor merupakan perubahan ikan pada saat ikan baru saja mati proses
ini berlangsung selama 2-4 jam. Lalu setelah melalui fase prerigor ikan akan
masuk kedalam fase rigormotoris, fase ini dimana ikan akan mengalami kekauan
yang di pengaruhi dari suhu ikan yang berubah akibat penyimpanan yang
berlangsung selama 12 jam setelah kematian. Kemudian setalah melewati fase
rigormotis ikan akan mengalami fase postrigor, fase rigor ini akan kembali
merubah kondisi ikan yang semula kaku akan melunak. Proses melunaknya ikan
ini adalah awal mula dari roses pembusukan daging ikan. Proses pembusukan
daging ikan ini berlangsung selama 12-24 jam setelah kematian pada ikan. Lalu
fase terahir yang terjadi pada ikan setelah kematian yaitu deteriorasi. Deteriorasi
atau pembusukan terjadi ketika ikan telah mengalami perubahan bau. Perubahan
bau pada ikan ini di sebabkan oleh adanya zat trimetiamin yang terbentuk selama
proses pembusukan ikan. Setelah ikan mengalami kematian menyebabkan jumlah
asam laktat akan terus meningkat. Asam laktat dihasilkan dari reaksi metabolisme
anaerob yang menyebabkan suasana menjadi asam sehingga mengalami
penurunan pH ikan. Suasana asam pada daging ikan tersebut akan mengaktifkan
enzim katepsin yang mampu menguraikan protein menjadi senyawa yang lebih
sederhana, seperti peptida, asam amino, dan ammonia. Senyawa-senyawa tersebut
bersifat basa sehingga pH ikan akan mengalami kenaikan kembali hingga pH basa
(Duran, 2009). Setiap perubahan fase keseragaran ikan akan mempengarui mutu
ikan. Umumnya ikan gurame segar memiliki pH netral atau rentan pH 6 - 7 dan
ketika ikan mengalami perubahan fase, ikan akan mengalami penurunan mutu
juga. Penurunan mutu ikan segar di tandai dengan berubahnya pH ikan dari asam
menjadi basa. Ikan gurame di katakan sangat baik apabila ikan pH 6 - 7, baik jika
pH < 6 dan tidak baik jika nilainya ˃ 7, hal ini menjadikan pH pada ikan sangat
penting untuk diketahui agar memastikan mutu ikan dalam kondisi ikan layak
untuk di konsumsi (Mutusalach et al. 2014).
2.5 Penelitian Terdahulu
Literatur yang di gunakan penulis sebagai acuan dalam pembuatan smart
packaging dalam mendetiksi penurunan mutu produk mengacu pada penelitian-
penelitian terdahulu yang telah di sesuaikan dengan refrensi yang di dapat.
Penelitian yang menggunakan antosianin sebagai bahan aktif dalam pembuatan
edible film yang dapat memantau kondisi produk secara real time di tandai dengan
perubahan warna kemasan yang disebabkan oleh perubahan pH seiring dengan
penurunan mutu pada produk. Penelitian terdahulu terkait dengan smart
packaging yang dapat memonitoring penurunan mutu produk dapat di lihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Penelitian terdahulu

No. Peneliti Tahun Judul Penelitian Hasil Penelitian


1 Apriliyanti 2020 Evaluasi kerja dari Hasil penelitian
et al., indikator bunga menunjukkan bahwa pada
belimbing wuluh film berindikator ekstrak
dan indikator bunga belimbing wuluh
bromocresol green terjadi perubahan warna,
pada kemasan yaitu dari warna merah tua
pintar untuk ikan menjadi warna merah ke-
gurame unguan, kemudian berwarna
ungu hingga berwarna ungu
kecoklatan.
2 Cahyani 2017 Pengaruh Hasil penelitian menujukkan
penggunaan jenis bahwa ada pengaruh fisik
pati pada edible film.
Tabel 1. Penelitian terdahulu (lanjutan)
karakteritik fisik Pati kentang dapat
sediaan edible film memberikan karakteristik
peppermint oil. fisik yang baik dengan waktu
Vol.04, No.02 hancur 4,15 menit, kuat tarik
1,87 N/m2, persen
perpanjangan 30,63%,
Young’s modulus 23,15Mpa
dan Loss on Drying 11,% di
mana karakteristik tersebut
telah memenuhi persyaratan.
3 Meganingtias 202 Ekstraksi Hasil penelitian
0 Antosianin dari menunjukkan variasi pelarut
Kulit Buah Naga terbaik dengan hasil
Merah (Hylocereus ekstrak kulit buah naga
costaricensis) dan yang memiliki stabilitas
Pemanfaatannya tertinggi yaitu serbuk kult
sebagai Indikator buah naga dengan pelarut 1:5
Alami Titrasi (b/v) pelarut etanol : asam
Asam-Basa sitrat 10% dengan
perbandingan 5:1 (v/v).
BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Mei 2024 bertempatan
di Laboratorium Agroindustri Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi pH meter, cawan petri,
hotplate, termometer, mikrometer scrup, magnetic stirer, plat kaca 20 x 20,
autoclave, beaker glass, batang pengaduk, pipet tetes, tabung reaksi, timbangan
analitik, gelas ukur, plat tetes, inkubator, refrigerator, Laminar Air Flow, gunting,
Rotary vacuum evaporator,Tensile strain tester, oven dan Blander.
3.2.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain PVA,
khitosan, gliserin, ekstrak kulit buah naga merah, pati singkong, pati jagung, pati
sagu, pati kentang, pati gandum, aquades , etanol, asam sitrat 10%.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Variasi yang
di gunakan terdiri dari 5 perlakuan percobaan dengan penggunaan bahan baku
berbeda yaitu pati singkong, pati kentang, pati jagung, pati gandum dan pati sagu
dengan penambahan pati masing-masing 3%. Perlakuan dilakukan 4 kali ulangan
sehingga diperoleh 20 satuan percobaan.
3.3.1 Ekstrak Antosianin (Wahyuditia Meganingtyas, 2020)
Pengambilan ekstrak antosianin kulit buah naga merah melalui beberapa
tahapan terlebih dahulu, yaitu melakukan sortasi untuk memisahkan kulit buah
naga merah yang berwarna merah sempurna dan kurang merah yang lalu
kemudian di cuci dan kulit di tiriskan. Kulit buah naga merah di potong dengan
ukuran ± 2mm selanjutnya dikeringkan dengan oven pada suhu 40°C selama 30
menit . Kulit buah naga merah kering dihaluskan hingga menjadi serbuk. Serbuk
dimaserasi selama 24 jam menggunakan pelarut 1:5 (b/v). Pelarut yang di
gunakan yaitu etanol 96% dan asam asetat 10% (v/v). Ekstrak hasil maserasi
kemudian diuapkan menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu 40 °C.
Hasil akhir berupa ekstrak pekat disimpan di botol tertutup dalam lemari
pendingin atau siap digunakan. Proses pengambilan ekstrak antosianin kulit buah
naga merah dapat di lihat pada Gambar 2.

Kulit buah naga merah

Potong kulit buah naga dengan ukuran ±2mm lalu keringkan


dengan suhu 40°C selama 30 menit

Haluskan dengan blander lalu ayak dengan ukuran mesh 60

Maserasi sebuk kulit buah naga merah dengan pelarut 1:5 (b/v)
palarut etanol 96% dan asam sitrat 10% 5:1 (v/v)

Uapkan dengan rotary vacuum evaporator dengan suhu 40°C

Ekstrak pekat

Gambar 2. Alur proses ekstraksi antosianin kulit buah naga merah

3.3.2 Pembuatan Edible film


Proses pembuatan edible film menggunakan metode solvent casting.
Proses pembuatan edible film yaitu dengan mencampurkan larutan khitosan 3%
(b/v) ke dalam 50 ml asam asetat 1% di campurkan dengan 50 ml larutan pati 3%
(b/v) dan di tambahkan gliserin 1% (v/v) dari jumlah volume larutan (Nofrida,
2013). Larutan dihomogenkan dengan suhu 75°C selama 15-20 menit, selanjutnya
dilakukan pendinginan hingga suhu 50°C (Wahyu, 2009). Ekstrak antosianin
ditambahkan sembanyak 4% dari volume larutan (Fadhilah, 2023). Larutan yang
sudah dihomogen kemudian dilakukan pencetakan dengan ukuran 20x20cm dan
di keringkan suhu 40°C selama 24 jam. Proses pembuatan edible film ekstrak
antosianin kulit buah naga merah dapat di lihat pada Gambar 3.

Pencampuran kitosan 3% (b/v), larutan pati 3% (b/v), gliserin 1% (v/v)

Pemanasan dan pengadukan pada suhu 75°C selama 15-20 menit

Pendinginan pada suhu 25°C

Larutan edible film

Penambahan antosianin 4% dari volume


larutan kemudian di homogenkan

Pencetakan edible film ukuran 20x20cm


kemudian lakukan pengeringan pada suhu
40°C selama 24 jam

Edible film

Gambar 3. Alur proses pembuatan indikator film

3.3.3 Pengaplikasian Kemasan


Proses pengaplikasian edible film pada ikan gurame yaitu dengan cara
simplisia ikan gurame ukuran 5x5 cm lalu dikemas menggunakan edible film.
Evaluasi kinerja edible film dilakukan dengan mengamati perubahan warna yang
terjadi dengan penurunan mutu produk selama proses penyimpanan ikan pada
suhu chilling 4°C selama waktu penyimpanan 0 hingga 9 hari.
Ikan gurame di potong
ukuran 5x5 cm

Dikemas dengan edible film

Penyimpanan pada suhu chiller 4°C


dan di amati setiap hari selama 9 hari

Gambar 4. Alur pengaplikasian kemasan indikator film

3.4 Prosedur Analisa


3.4.1 Uji Stabilitas Ekstrak Antosianin (Putri et al., 2019)
Salah satu syarat dari senyawa organik sehingga dapat diaplikasikan
sebagai indikator pada titrasi asam dan basa yaitu dapat mengalami perubahan
warna pada berbagai pH. Oleh sebab itu, uji warna dilakukan pada ekstrak kulit
buah naga guna mengetahui perubahan warna ekstrak pada nilai pH yang berbeda.
Pengaruh pH terhadap stabilitas ekstrak antosianin dilakukan dengan mengukur
nilai serapan pada pH 1 dan 7. Ekstrak antosianin diencerkan dengan konsentrasi
10% dan larutan ekstrak disesuaikan dengan menggunakan larutan NaOH atau
HCl hingga diperoleh ekstrak dengan pH antara 1 sampai 7, jika terbentuk
endapan maka sedimen harus disaring. Larutan ekstrak yang telah diukur pHnya
diukur pada nilai serapan maksimum pada panjang gelombang yang telah
ditentukan.

3.4.2 Uji Ketebalan


Ketebalan merupakan parameter penting yang berpengaruh terhadap
pembentukan film. Ketebalan juga berpengaruh terhadap sifat mekanik film
komposit. Ketebalan film diukur menggunakan mikrometer sekrup dengan rentang
0 – 25 mm. Pengujian dilakukan pada lima titik secara acak pada permukaan film
kemudian diambil nilai rata-ratanya (Fadhilah, 2023).
3.4.3 Uji Kuat Tarik
Pegujian kuat tarik merupakan sifat fisik kekuatan edible film untuk
menahan kerusakan fisik pada saat pengemasan bahan pangan. Nilai kuat tarik
akan menunjukkan seberapa besar daya regang atau kekuatan tarik dari sebuah
film. Kualitas film yang baik memiliki nilai kuat tarik yang tinggi, semaikin tinggi
nilai kuat tarik maka kualitas film semakin baik (Firadilla, et al. 2023). Uji kuat
tarik dilakukan dengan memotong edible film dengan lebar 3 cm dan panjang
sesuai dengan ukuran edible film. Uji kuat tarik diukur dengan menggunakan alat
uji kuat tarik (Tensile Strain Tester) dengan meletakkan potongan edible film pada
penampang kemudian alat akan menarik edible film hingga putus.

Tensile strength
( mmN )= SatuanGaya
2
luas ( mm )
2

3.4.4 Uji Elongasi


Persentase perpanjangan merupakan persentase pertambahan panjang
maksimum film dibandingkan dengan panjang awal ketika film tersebut diberi
gaya tarik hingga putus. Tingkat pemanjangan dikatakan baik jika nilainya lebih
dari 50% dan buruk jika kurang dari 10% (Fardhyanti dan Julianur, 2015).
Pengukuran persentasi pemanjagan (elongasi) dilakukukan berasman dengan
pengukuran nilai kuat tarik. Cara menghitung perpanjangan edible film yaitu
membaginya dengan panjang awal film sebelum penarikan. Persentase
pemanjangan menentukan keelastisan suatu film. Semakin tinggi nilai persentase
pemanjangan film maka semakin elastis film tersebut (Katili et al. 2013).

Perpanjangan edible film


Elongasi ( % )= X 100 %
Panjang awal edible film

3.4.5 Uji Derajat Warna


Analisa warna ekstrak kulit buah naga merah merah dilakukan secara
objektif menggunakan colour box (Leon et al., 2006). Kotak CIE-lab berbentuk
segi empat dengan panjang sisi 50 cm yang terbuat dari papan dengan tinggi 50
cm dan terdiri dari 4 lampu neon 8 watt dengan panjang 30 cm yang diletakkan
disetiap sisi kotak dengan kemiringan 45°. Prosedur pengukuran dilakukan
dengan meletakkan sampel pada wadah berukuran seragam dan difoto dengan
posisi kotak papan tertutup dengan jarak kamera dan sampel ±40 cm. Kamera
yang digunakan yaitu kamera merk cannon 16 Megapixel tanpa blitz. Foto yang
dihasilkan dicrop, dipindahkan dan ditampilkan pada program Adobe Photoshop
CS5, analisis warna menggunakan histogram window untuk menentukan
distribusi warna atau untuk menampilkan nilai L*a*b*. Nilai L* menyatakan
kecerahan yang mempunyai nilai 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai a*
menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna kromatik campuran hijau-
merah dengan nilai merah (+127) dan nilai hijau (-128). Nilai b* menyatakan
warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai kuning (+127) dan nilai biru
(-128) (Addion Nizori, 2020).

3.4.6 Total Volatile Base ( TVB )


Nilai TVB pada ikan akan semakin meningkat seiring dengan penurunan
mutu yang terjadi pada ikan (Dwiari, 2003). Ikan benar-benar telah busuk ketika
kadar TVB-nya melebihi 30 mg- N/100gram (Oehlenschlager, 1992). Timbang
100g sampel ikan yang sudah digiling, dimasukkan kedalam waring blender.
Ditambahkan 30ml larutan TCA (trichloroacetic acid) 5% kemudian menjalankan
waring blender sampai sampel homogen. Ekstrak TCA dipisahkan dengan cara
sentrifugasi. Setelah itu mengambil 5 ml ekstrak TCA untuk dimasukkan ke dalam
alat destilsi Kjedahl semimikro. Menambahkannya dengan 5 ml NaOH 2 M.
Kemudian melakukan destilasi dimana destilat ditangkap dengan 15 ml HCl 0,01
standar. Ditambahkan beberapa tetes merah fenol kedalam destilat, lalu titrasi
dengan NaOH 0,01 M standar tercapai titik akhir. Ditambahkan 1 ml formaldehid
16% untuk setiap 10 ml campuran sebuah titrasi yang pertama, dikocok,
kemudian menitrasi lagi degan NaOH 0,01M standar. Jumlah yang diperoleh
dimasukkan kedalam rumus:
14 ( 300+W ) x V 2 x 0 , 01 100
TVB (mg/100 g)= X
5 M
Dimana:

14 = Bobot atom nitrogen


V2 = Volume NaOH 0,01 M yang butuhkan untuk titrasi II
W = Jumlah air yang ada dalam bahan (g)
M = Berat sampel (g)

DAFTAR PUSTAKA

Addion Nizori, N. S. (2020). Karakteristik Ekstrak Kulit Buah Naga Merah


(Hylocereus Polyrhizus) Dengan Penambahan Berbagai Kosentrasi Asam
Sitrat Sebagai Pewarna Alami Makanan.
https://doi.org/10.24961/j.tek.ind.pert.2020.30.2.228
A.Chamidah, “Aktivitas Antimikrobia Ekstrak Padina Gymnospora Terhadap
Fillet Ikan Tenggiri (Scomberomorus Commerson) yang Disimpan pada
Suhu Chilling,” Journal of Fisheries and Marine Research, vol. 6, no. 2,
pp. 142–151, 2022.
Anggraeni Dwi Pangesti, A. R. (2014). 604 Karakteristik Fisik, Mekanik Dan
Sensoris Edible filmdari Pati Talas Pada Berbagai Konsentrasi Asam
Palmitat.
Bagchi, A. 2012. “Intelligent Sensing and Packaging of Foods for Enhancement of
Shelf Life:Concepts and Applications”. International Journal of Scientific
and Engineering Research, Vol. 3, No. 10.

Chen, M., Yan, T., Huang, J., Zhou, Y., & Hu, Y. (2021). Fabrication of
halochromic smart films by immobilizing red cabbage anthocyanins into
chitosan/oxidized-chitin nanocrystals composites for real-time hairtail and
shrimp freshness monitoring. International Journal of Biological
Macromolecules, 179, 90–100. https://doi.org/10.1016/j.ijbiomac.202
1.02.170

Deli Silvia, A. N. (2021). Label Cerdas Berbasis Ekstrak Kubis Merah (Brassica
oleracea) sebagai Indikator Kesegaran Filet Ikan Tuna (Thunnus sp) pada
Suhu 4°C. Vol.10, No.2: 86-94
Dewi Selvia Firdhyanti, dan Syara SJ. 2015. Karakteristik Edible film Berbahan
Dasar Ekstrak Karagenan Dari Rumput Laut (Eucheuma Cottonii). Jurnal
Bahan Alam Terbarukan (JBAT) 4(2):68-73. DOI:
10.15294/jbat.v4i2.4127
Dirpan, A., Latief, R., Syarifuddin, A., Rahman, A. N. F., Putra, R. P., & Hidayat,
S. H. (2018, October). The use of colour indicator as a smart packaging
system for evaluating mangoes Arummanis (Mangifera indica L. var.
Arummanisa) Freshness. In IOP Conference Series: Earth and
Environmental Science (Vol. 157, No. 1, p. 012031). IOP Publishing.
Dwiari, A.S. 2003. Aplikasi Pemanfaatan Khitosan Dalam Peningkatan Cumi
(Logilo sp) Asin Kering Dimuara Angke. Jakarta Utara. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Duran, A., Talas, ZS. 2009. “Biochemical Change and Sensory Asessment on
Tissues of Crap (Ciprinus Caprio Linnaeus 1768) during Sale Condition”.
Fish physicology and Biochemistry 35.709-714.
Fadhilah, R. A. (2023). Karakterisasi Film Indikator Berbasis Tepung Biji Jali
(Coix Lacryma-Jobi L.) Dan Ekstrak Bunga Pacar Air (Impatiens
Balsamina) Sebagai Smart packaging Untuk Pemantauan Kesegaran Ikan
Kembung.
Fauziah Firadilla, Pridata Gina Putri, Utari Yolla Sundari (2023). Karakteristik
Fisik dan Aktivitas Antioksidan Edible film Ekstrak Daun Senduduk
(Melastoma malabathricum L).
DOI:http://dx.doi.org/10.25181/Jupiter.v2i1.2878
Fera, M., & Nurkholik. (2018). Kualitas Fisik Edible film Yang Diproduksi Dari
Kombinasi Gelatin Kulit Domba Dan Agar (Gracilaria sp). Journal of
Food and Life Sciences, 2(1), 45–56.
https://jfls.ub.ac.id/index.php/jfls/article/view/47
Goodarzi, M. M., Moradi, M., Tajik, H., Forough, M., Ezati, P., & Kuswandi, B.
(2020). Development of an easy-to-use colorimetric pH label with starch
and carrot anthocyanins for milk shelf life assessment. International
Journal of Biological Macromolecules, 153.
https://doi.org/10.1016/j.ijbiomac.202 0.03.014.
Intan Martha Cahyani, I. A. (2017). Pengaruh Penggunaan Jenis Pati Pada
Karakteristik Fisik Sediaan Edible film Peppermint Oil. Vol.04, No.02, hal:
202-209
Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP). 2022. Rilis Data Kelautan dan
Perikanan Triwulan I Tahun 2022.

Khopkar, S.M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta:


UniversitasIndonesia.
Kuswandi, Bambang. 2010. Sensor Kimia Teori, Praktek dan Aplikasi. Jember:
Jember University Press.
Lee, D. S., Yam, K. L., & Piergiovanni, L. (2008). Food Packaging Science and
Technology. CRC Press.

Leon, K., Mery, D., Pedreschi, F., & Leon, J. (2006). Color Measurement in
L*a*b* units from RGB Digital Images. Food Research International, 39,
1084- 1091.

Metusalach, Kasmiati, Fahrul, Jaya, I,. (2014) Pengaruh Cara Penangkapan,


Fasilitas Penangan Dan Cara Penanganan Ikan Terhadap Kualitas Ikan
Yang Dihasilkan. Jurnal IPTEEKS PSP UNHAS, Vol.1 (1) April 2014: 45-
52.

Muhammad Yusuf Hidayat, N. F. (2018). Karakteristik Antosianin Kubis Merah


Sebagai Indikator Pada Kemasan Cerdas.
Mulia W. Apriliyanti, M. Ardiansyah, Nurul Wahidah. (2020). Evaluasi Kinerja
dari Indikator Bunga Belimbing Wuluh dan Indikator Bromocresol Green
pada Kemasan Pintar untuk Ikan Gurami.
Munandar, A., Nurjanah, dan Nurilmala, M. 2009. Kemunduran mutu ikan nila
(Oreochromis niloticus) pada penyimpanan suhu rendah dengan perlakuan
cara kematian dan penyiangan. Jurnal Teknologi Pengolahan Hasil
Perikanan. 12 (2) : 1-14.
Nymas Sidratus Sakina, F. P. (2021). Prioritas Risiko Penanganan Dan
Transportasi Ikan Tuna Di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP)
Pondokdadap.
Nofrida R. 2013. Film indikator warna daun erpa (Aerva sanguinolenta) sebagai
kemasan cerdas untuk produk rentan suhu dan cahaya [Tesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Nur Aminah Hasanah Faizin, D. M. (2023). Pembuatan Edible film Berbasis
Glukomanan.
Nurhayati, A. (2011). Edible film Kitosan Dari Limbah Udang Sebagai Pengemas
Pangan Ramah Lingkungan.
Nurjanah, T. N. (2011). Kemunduran Mutu Ikan Gurame (Osphronemus
Gouramy) Pasca Kematian Pada Penyimpanan Suhu Chilling.
Nurul Lia Febrianti, S. D. (2018). Optimasi Sifat Fisik Edible film Berbasis
Karagenan Murni Dengan Metode Permukaan Respon (Response Surface
Methodology).
Oehlenschlager, J. 1992. Evaluation of some well established and some
underrated indices for the determination of freshness and/or spoilage of ice
stored wet fi sh. In: Quality assurance in the fish industry. Huss, H.H.
(editor). Elsevier Science Publishers B. V., Netherlands. Pp. 339-351
Pacquit, A., Crowley, K., & Diamond, D. (2008). Smart packaging technologies
for fish and seafood products. In Willey John (ed.). Smart packaging
Technologies for Fast Moving Consumer Goods. John Wiley & Sons Ltd,
England. 75–96 p.
Pacquit, A., Lau, K.T., McLaughlin, H., Frisby, J., Quilty, B. & Diamond, D.
2005. Development of a volatile amine indikator for the monitoring of fish
spoilage, Talanta. 69: 515–520.
PG Putri, E. W. (2019). Stabilitas Ekstrak Pewarna Nila Untuk Indikator Warna.
Ricki Mustapa, F. R. (2017). Pemanfaatan Kitosan Sebagai Bahan Dasar
Pembuatan Edible film Dari Pati Ubi Jalar Kuning.
Rijk, Rinus. (2008). Legislative issues relating to smart packaging. In Smart
packaging Technologies for Fast Moving Consumer Goods (pp. 305-323).
Robertson. 2006. Food Packaging-Principles and Practice : Second Edition.
Florida (US): CRC Press.
Santoso, B., A. Marsega, G. Priyanto dan R. Pambayun. 2016. Perbaikan Sifat
Fisik, Kimia, dan Antibakteri Edible film Berbasis Pati Ganyong. Agritech
36(4) : 379-386.
Sara, N. E. M. 2015. Karakteristik edible film berbahan dasar whey dangke dan
agar dengan penambahan konsentrasi sorbitol. Skripsi. Universitas
Hasanuddin, Makassar. Indonesia.
Siro, I. 2012. Active and intelligent packaging of food. Progress In Food
Preservation. 1: 23-38.

Skurtys, O., Acevedo, C., Pedreschi, F., Enrione, J., Osorio, F., & Aguilera, J. M.
2009. Food Hydrocolloid Edible films and Coatings. Chile (CL):
Departement of Food Science and Technology, Universidad de Santiago de
Chile.
Vaikousi, H., C. G. Biliaderis, K. P. Koutsoumanis. 2008. Development of a
microbial time/temperature indicator prototype for monitoring the
microbiological quality of chilled foods. Applied And Environmental
Microbiology. 74(10): 3242–3250.

Wahyuditia Meganingtyas, M. A. (2020). Ekstraksi Antosianin dari Kulit Buah


Naga Merah (Hylocereus costaricensis) dan Pemanfaatannya sebagai
Indikator Alami Titrasi Asam-Basa.
Wahyu, M. K. (2009). Pemanfaatan Pati Singkong Sebagai Bahan Baku Edible
film.
Woodward, G. (2009). Anthocyanin stability and recovery: implications for the
analysis of clinical and experimental samples. J.Agric. Food Chem57 (12),
5271 –8.
Yam K L, Takhistov P T and Miltz J 2005 Intelligent packaging: concepts and
applications J. Food Sci 70 1–10
Yan, M. R., Hsieh, S., & Ricacho, N. (2022). Innovative Food Packaging,
Food Quality and Safety, and Consumer Perspectives. Processes, 10(4),
747.
Yessica. 2023. Pemanfaatan Antosianin Sebagai Indikator Pada Smart Film
Packaging Untuk Mendeteksi Kesegaran Produk Pangan

Zakaria, R. 2008. Kemunduran mutu ikan gurame (Osphronemus gouramy) pasca


panen pada penyimpanan suhu chilling. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan Insitut Pertanian Bogor. Bogor .

Anda mungkin juga menyukai