Anda di halaman 1dari 11

IDENTIFIKASI PENYEBAB BENCANA TANAH LONGSOR DI KECAMATAN

BANYUBIRU, KABUPATEN SEMARANG SERTA KESIGAPAN WARGA DALAM


PENANGGULANGANNYA

(Proposal Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Bencana)

Oleh:

Nama : Andika Pangestu (3211422131)

Christoper Justin A (3211422…)

Dosen Pengampu : 1. Prof, Dr. Erni Suharrini M.Si.

2. Aprillia Findayani S,pd., M.GES.

PRODI ILMU GEOGRAFI

JURUSAN GEOGRAFI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2024
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kabupaten Semarang merupakan salah satu Kabupaten dari 29 kabupaten dan 6 kota yang ada
di Provinsi Jawa Tengah. Terletak pada posisi 1100 14′ 54,74″ – 1100 39′ 3″ Bujur Timur dan 70
3′ 57” 70 30’0′ Lintang Selatan. Luas keseluruhan wilayah Kabupaten Semarang adalah
95.020,674Ha atau sekitar 2,92% dari luas Provinsi Jawa Tengah.
Secara administratif Kabupaten Semarang terbagi menjadi 19 Kecamatan, 27 Kelurahan dan
208 desa. Batas-batas Kabupaten Semarang adalah sebelah utara berbatasan dengan Kota
Semarang dan Kabupaten Demak. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Grobogan dan
Kabupaten Boyolali. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Boyolali dan Kabupaten
Magelang. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Magelang dan Kabupaten
Kendal.Ketinggian wilayah Kabupaten Semarang berkisar pada 500 – 2000m diatas permukaan
laut (dpl), dengan ketinggian terendah terletak di desa Candirejo Kecamatan Pringapus dan
tertinggi di desa Batur Kecamatan Getasan. Rata-rata curah hujan 1.979 mm dengan banyaknya
hari hujan adalah 104.
Keadaan Topografi wilayah Kabupaten Semarang dapat diklasifikasikan ke dalam 4 (empat)
kelompok, yaitu; wilayah datar dengan tingkat kemiringan kisaran 0 – 2% seluas 6.169 Ha,
wilayah bergelombang dengan tingkat kemiringan kisaran 2 – 15% seluas 57.659 Ha, wilayah
curam dengan tingkat kemiringan kisaran 15 – 40% seluas 21.725 Ha, wilayah sangat curam
dengan tingkat kemiringan >40% seluas 9.467,674 Ha.
Kecamatan Banyubiru adalah salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Semarang.
Luas wilayah Kecamatan Banyubiru yaitu 54,51 km² yang terdiri dari 10 desa, 89 dusun, 314 RT,
dan 105 RW. Apabila ditinjau melalui sisi topografi, desa yang ada di Kecamatan Banyubiru
mayoritas merupakan wilayah puncak atau lereng dan dataran dengan ketinggian rata-rata yaitu
611 meter. Dikarenakan beberapa wilayah berada di lereng/puncak sehingga seringkali curah
hujan di desa yang ada di Kecamatan Banyubiru cukup tinggi. Sepanjang tahun 2021, rata-rata
curah hujan di Kecamatan Banyubiru yakni 2.503 mm dan hari hujan rata-rata yaitu sebanyak
157 hari.
Tanah longsor adalah suatu peristiwa geologi yang terjadi karena pergerakan masa batuan atau
tanah dengan berbagai tipe dan jenis seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah.
Berdasarkan data BPBD Kabupaten semarang Pada tahun 2022 telah terjadi 91 kejadian tanah
longsor di Kabupaten Semarang 23 diantaranya berada di Kecamatan Banyubiru. Adanya
bencana tanah longsor akan berdampak pada harga tanah di kawasan tersebut. Pada penelitian ini
juga dilakukan analisis pengaruh bahaya longsor terhadap harga tanah di Kecamatan Banyubiru.
Untuk mengetahui pengaruh dampak bahaya longsor terhadap harga tanah dilakukan perhitungan
regresi linier sederhana. Tahun 2019-2021 rata-rata perubahan ZNT pada daerah longsor pada
adalah 13%. Rata-rata perubahan ZNT pada daerah bukan rawan longsor pada tahun 2019-2021
adalah 69%. Kenaikan rata – rata ZNT Tahun 2021-2022 pada daerah longsor adalah 9%.
Kenaikan rata – rata ZNT Tahun 2021-2022 pada daerah bukan longsor adalah 21%. Hubugan
korelasi antara jarak dari daerah rawan longsor ke daerah titik centroid zona nilai tanah memiliki
nilai 0.003. yang artinya jarak dari daerah longsor tidak besar mempengaruhi harga tanah. Hal
ini disebabkan oleh daerah di sekitar daerah rawan longsor merupakan daerah permukiman,
daerah parawisata dan jalan Kolektor primer.
Daerah dengan morfologi lereng adalah wilayah yang ditandai oleh kemiringan yang
signifikan dari dataran rendah hingga dataran tinggi. Lereng ini memiliki karakteristik
kemiringan yang bervariasi, mulai dari landai hingga curam, yang memengaruhi stabilitas dan
potensi terjadinya erosi atau tanah longsor. Vegetasi di lereng memainkan peran penting sebagai
penahan erosi dan tanah longsor, sementara sistem drainase alami mengatur aliran air hujan untuk
mencegah erosi dan banjir. Namun, daerah dengan morfologi lereng rentan terhadap bencana
alam seperti tanah longsor, banjir bandang, dan erosi akibat faktor eksternal seperti curah hujan
tinggi atau aktivitas manusia yang tidak tepat. Pemanfaatan lahan yang bijaksana dan
pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan sangat penting untuk menjaga potensi sumber daya
alam yang dimiliki oleh daerah dengan morfologi lereng, serta untuk mengurangi risiko bencana
alam dan kerusakan lingkungan.

1.2.Rumusan Masalah
1. Bagaima kondisi masyarakat di Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang Ketika terjadi
bencana alam tanah longsor.
2. Bagaimana masyarakat Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang menghadapi dampak
yang ditimbulkan oleh bencana alam tanah longsor.
3. Bagaimana upaya adaptasi yang dilakukan masyarakat Kecamatan Banyubiru, Kabupaten
Semarang untuk menghadapi bencana alam tanah longsor.

1.3. Batasan Masalah


1. Luas lingkup hanya mengenai bencana alam tanah longsor di Kecamatan Banyubiru,
Kabupaten Semarang.
2. Manajemen dilakukan pada daerah Kecamatan Banyubiru dengan zona yang dipakai adalah
Kawasan terdampak longsor di Kecamatan Banyubiru.

1.4.Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kondisi masyarakat di Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang
Ketika terjadi bencana alam tanah longsor.
2. Untuk mengetahui bagaimana cara masyarakat Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang
menghadapi dampak yang ditimbulkan oleh bencana alam tanah longsor.
3. Untuk mengetahui apa upaya adaptasi yang dilakukan masyarakat Kecamatan Banyubiru,
Kabupaten Semarang untuk menghadapi bencana alam tanah longsor.
1.5. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat tercipta pemahaman yang lebih mendalam mengenai
faktor-faktor penyebab bencana longsor, identifikasi daerah rawan, serta strategi mitigasi yang
efektif. Manfaatnya meliputi peningkatan kesadaran masyarakat akan risiko bencana longsor dan
cara menguranginya, penguatan kapasitas pemerintah dalam manajemen bencana, serta
perbaikan kinerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dalam menghadapi ancaman
bencana. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat memberikan kontribusi dalam merancang
kebijakan publik yang lebih proaktif dalam mengurangi dampak negatif bencana alam tanah
longsor, sehingga keselamatan dan kesejahteraan masyarakat di Kecamatan Banyubiru dapat
lebih terjamin.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hasil Penelitian Terdahulu


Bahaya longsor di Kecamatan Banyubiru berpusat pada daerah barat dan selatan. Hal tersebut
dikarenakan daerah barat dan selatan mempunyai morfologi perbukitan bergelombang yang
memanjang dari Gunung Telomoyo sebelah selatan hingga pegunungan Kendil sebelah barat.
Desa yang masuk dalam kriteria bahaya yaitu Desa Banyubiru, Desa Wirogomo, Desa
kebondowo, Desa Tegaron, Desa Sepakung, Desa Kebumen, Dan Desa Gedong. Sementara itu,
untuk Desa Ngrapah dan Desa Rowoboni memiliki kelas bahaya yang rendah dan hanya sedikit
dari bagian wilayahnya yang masuk dalam kelas bahaya tersebut.
Nilai kerawanan yang tinggi dan nilai probabilitas terjadinya longsor yang tinggi membuat
daerah barat dan selatan memiliki tingkat bahaya longsor yang mempunyai kelas rendah-tinggi.
Sedangkan daerah sisi timur dan utara kecamatan merupakan wilayah dengan topografi yang
dominan datar dan memiiki nilai kerawanan rendah-tinggi tetapi nilai probabilitas yang sangat
rendah sehingga indeks bahaya sangat rendah dan 7 cakupan wilayah sangat sedikit.
Bahaya longsor di Kecamatan banyubiru didominasi oleh kelas sedang dan rendah, tingkat
kerentanan bencana didominasi oleh kelas sedang, dan risiko longsor didominasi juga dengan
kelas sedang dan rendah. Kelas risiko tinggi trdapat pada wilayah selatan kecamatan yang
memiliki morfologi perbukitan.
Kapasitas masyarakat Banyubiru berdasarkan pada hasil penelitian instrumen kapasitas
kepada responden masyarakat Kecamatan Banyubiru secara umum memiliki Tingkat kapasitas
Sedang. Nilai indeks hasil perhitungan setiap desa tertinggi dengan poin 69,222 memiliki indeks
0,555 (moderate capacity) pada Desa Wirogomo. Terendah pada poin 56,969 memiliki indeks
0,447 (moderate capacity) pada Desa Tegaron. Kapasitas masyarakat pada indikator sosial,
masyarakat memiliki pengetahuan dasar untuk menghadapi bencana tanah longsor. Pengetahuan
tersebut mereka dapatkan dari pengalaman terdampak bencana tanah longsor. Akan tetapi
masyarakat belum mendapat pembimbingan, pelatihan serta pengkoordinasian terkait mitigasi
bencana tanah longsor yang akan mereka hadapi. Hanya beberapa masyarakat yang telah
mendapatkan pembimbingan terkait bencana tanah longsor di Kecamatan Banyubiru.

2.2. Dasar Teori


2.2.1. Gambaran Umum Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang
Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang, memiliki pola pengaliran Radial yang berasal
dari dua titik pusat di sisi utara dan selatan. Wilayah ini terbagi menjadi delapan bentuk lahan,
termasuk Satuan Kerucut Utama, Lereng Sisa Vulkanik, Lembah Vulkanik, Lereng Vulkanik,
Bukit Sisa, Gawir Sesar, Dataran Aluvial, dan Danau. Desa Kebondowo di Kecamatan Banyubiru
terletak dekat Danau Rawa Pening

Tabel 1
Topografi dan Koordinat Desa/Kelurahan di Kecamatan Banyubiru, 2022
Desa/Kelurahan Topografi Desa Koordinat
Garis Lintang Garis Bujur
Wirogomo Lereng/Puncak 7,3328 110,3855
Kemambang Lereng/Puncak 7,3167 110,4016
Sepakung Lereng/Puncak 7,3389 110,4080
Kebumen Dataran 7,3292 110,4392
Gedong Lereng/Puncak 7,3391 110,4380
Rowoboni Dataran 7,3293 110,4406
Tegaron Dataran 7,3252 110,4295
Kebondowo Dataran 7,2983 110,4037
Banyubiru Dataran 7,2917 110,3955
Ngrapah Dataran 7,2872 110,3955
Sumber: Kecamatan Banyubiru Dalam Angka 2022

Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang, merupakan wilayah yang memiliki


karakteristik geografis yang menarik. Terletak di Provinsi Jawa Tengah, kecamatan ini dikenal
dengan keindahan alamnya yang meliputi lereng-lereng hijau dan danau-danau yang
mempesona. Daerah ini juga terkenal dengan keberagaman budaya dan tradisi masyarakatnya
yang kaya akan warisan lokal. Kecamatan Banyubiru memiliki potensi sumber daya alam yang
beragam, seperti pertanian, perkebunan, dan tambang batuan beku andesit.
Dalam konteks sosial budaya, masyarakat Kecamatan Banyubiru dikenal ramah dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan. Tradisi lokal seperti upacara adat, kesenian
tradisional, dan keramahtamahan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari
penduduk setempat. Dengan potensi alam dan budaya yang dimiliki, Kecamatan Banyubiru
memiliki peluang untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata yang menarik serta sebagai
contoh dalam penerapan manajemen bencana untuk menjaga kelestarian lingkungan dan
keselamatan masyarakatnya.

2.2.2. Definisi Bencana Alam Tanah Longsor dan Risiko Bencana Alam Tanah Longsor
Bencana alam longsor merupakan peristiwa di mana tanah, batuan, atau material lainnya
bergerak turun dari lereng secara tiba-tiba, akibat dari faktor-faktor seperti curah hujan tinggi,
aktivitas manusia yang tidak tepat, atau struktur geologi yang rentan.
Di Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang, terdapat zona rawan bencana longsor yang
meliputi beberapa kecamatan seperti Ungaran Barat, Ungaran Timur, Bawen, Tuntang, Getasan,
Suruh, Banyubiru, Jambu, Sumowono, dan Bringin. Wilayah ini sering dilanda bencana longsor
dan banjir saat musim hujan. Pada periode tertentu, tercatat sejumlah kejadian bencana alam di
Kabupaten Semarang termasuk tanah longsor.
Risiko bencana alam longsor di daerah ini meliputi potensi kerugian materiil dan korban jiwa
akibat tanah longsor yang dapat merusak pemukiman, jalan raya, dan infrastruktur lainnya.
Dampak dari bencana longsor meliputi kerusakan pada pemukiman, jalan raya, infrastruktur
publik, serta potensi terjadinya korban jiwa akibat tertimbunnya orang atau bangunan. Risiko ini
semakin meningkat saat musim hujan atau dalam kondisi tanah yang jenuh akibat curah hujan
yang berkepanjangan.

2.2.3. Identifikasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Tanah longsor merupakan bencana alam yang sering terjadi dan dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Faktor-faktor utama yang memicu terjadinya tanah longsor meliputi curah hujan lebat
yang menyebabkan air meresap ke dalam tanah dan terakumulasi di lereng, lereng yang terjal
akibat erosi alami, jenis tanah yang rentan seperti lempung atau tanah liat, intensitas curah hujan
yang tinggi, penggunaan lahan yang tidak tepat, batuan yang lemah, gempa bumi, aktivitas
gunung berapi, beban berlebihan pada lereng, serta aktivitas manusia seperti pertanian intensif,
konstruksi, penebangan pohon, dan kebocoran air.
Selain itu, morfologi Kecamatan Banyubiru didominasi oleh lereng-lereng vulkanik yang
memberikan panorama alam yang menakjubkan. Lereng-lereng ini memberikan tantangan
tersendiri terkait risiko bencana alam seperti tanah longsor akibat curah hujan tinggi atau aktivitas
manusia yang tidak tepat. Namun, keberagaman topografi dan vegetasi di daerah ini juga
memberikan potensi untuk pengembangan pariwisata alam dan ekowisata yang berkelanjutan.

2.2.4. Profil Morfologi, Geografis, dan Demografis


2.2.4.1. Morfologi
Profil morfologi Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang mempengaruhi terjadinya
bencana alam tanah longsor melalui berbagai faktor geomorfologis dan struktural. Beberapa
faktor yang mempengaruhi longsor di daerah tersebut adalah Struktur geologi yang berupa
kekar dengan arah tegasan Utara Timurlaut-Selatan Baratdaya mempengaruhi stabilitas lereng
dan meningkatkan risiko terjadinya tanah longsor, Lebar dan ketinggian lereng dapat
mempengaruhi intensitas gerakan massa, dimana lereng yang lebar dan tinggi memiliki
potensi lebih besar untuk terjadi tanah longsor, Kawasan yang terdiri dari lereng vulkanik,
kawah, dan debris avalanche memiliki potensi lebih tinggi untuk terjadi tanah longsor karena
karakteristik material yang cenderung lemah dan mudah erosi, Jenis tanah yang lembek dan
mudah erosi dapat mempengaruhi terjadinya tanah longsor.
2.2.4.2.Geologi
Berdasarkan struktur geologi di daerah tersebut, terdapat potensi negatif berupa gerakan
massa. Faktor-faktor seperti struktur geologi berupa kekar dengan arah tegasan tertentu dan
adanya sesar turun seperti Sesar Turun Kali Pancur dapat mempengaruhi stabilitas lereng dan
menyebabkan bencana alam tanah longsor. Selain itu, pola morfologi yang meliputi lereng
vulkanik dan gawir sesar juga dapat menjadi faktor pemicu terjadinya tanah longsor di daerah
tersebut.
2.2.4.3.Demografis
Jumlah penduduk Kecamatan Banyubiru berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun
2020 yaitu 44.294 jiwa, yang terbagi dalam sepuluh desa atau kelurahan diantaranya
Wirogomo, Kemambang, Sepakung, Kebumen, Gedong, Rowoboni, Tegaron, Kebondowo,
Banyubiru, dan Ngrapah(Banyubiru & Angka, 2020). 74 a. Jumlah Penduduk Kecamatan
Banyubiru Menurut Desa / Kelurahan 2020 Penduduk Kecamatan Banyubiru tersebar dalam
sepuluh kelurahan/desa, diantaranya yaitu Wirogomo, Kemambang, Sepakung, Kebumen,
Gedong, Rowoboni, Tegaron, Kebondowo, Banyubiru, dan Ngaprah. Jumlah penduduk
Kecamatan Banyubiru sebesar 44.294 jiwa dengan Desa Banyubiru menjadi desa dengan
jumlah penduduk terbanyak, yaitu sebesar 7.652 jiwa atau 17,28% total penduduk Kecamatan
Banyubiru
BAB III
METODOLOGI
3.1. Metode Penelitian Kualitatif
Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan metode kualitatif karena dari data verbal dan wawancara yang diperoleh
peneliti dapat mengetahui dan mendiskripsikan bagaimana cara warga Kecamatan
Banyubiru, Kabupaten Semarang dalam menanggulangi tanah longsor, sehingga dipilih
metode kualitatif karena dalam pendekatannya penelitian ini tidak bisa diungkapkan dengan
angka atau kuantitatif. Pada metode kualitatif analisa lebih ditekankan pada penyimpulan
deduktif dan induktif serta analisis kepada dinamika dan hubungan antar fenomena yang
diteliti kemudian dilogika secara ilmiah.
Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang penekannya lebih kepada pengujian
hipotesis, penelitian kualitatif lebih fokus kepada usaha menjawab pertanyaan penelitian
melalui cara berfikir yang argumentatif. Penelitian kualitatif sendiri memiliki beberapa jenis,
jenis-jenis tersebut adalah Etnografi, Study kasus, study dokumen, observasi atau
pengamatan alami, wawancara terpusat, fenomenologi, grounded theory, dan study sejarah.
Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif wawancara terpusat, dengan
melakukan wawancara kepada subyek yang akan diteliti untuk memperoleh informasi sesuai
yang diharapkan oleh peneliti, dengan cara mendesain pertanyaan untuk ditanyakan kepada
subyek untuk mengetahui respon subyek dalam penelitian ini.
Dalam konteks penelitian kualitatif, wawancara merupakan interaksi yang bertujuan
untuk memahami apa yang terkandung dalam pikiran dan hati seseorang, serta pandangannya
tentang dunia, hal-hal yang tidak dapat diketahui melalui observasi. Wawancara semi-
terstruktur memungkinkan peneliti untuk mendapatkan informasi yang mendalam dari subjek
penelitian sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
.Pengumpulan data dalam penelitian kualitatif juga dapat melibatkan observasi dan
dokumentasi sebagai metode tambahan untuk mendukung pemahaman fenomena yang
diteliti. Observasi nonpartisipan merupakan metode pengumpulan data di mana peneliti tidak
terlibat secara langsung dalam kegiatan subjek yang diteliti.

3.2. Bahan dan Peralatan yang Digunakan


A. Bahan
1. Panduan Wawancara yang berisi persiapan pertanyaan terstruktur dan terkait dengan
kesigapan warga dalam penanggulangan bencana longsor.
2. Kuesioner untuk mencatat tanggapan dan jawaban dari responden.
3. Dokumen Penelitian Terdahulu untuk mendapatkan konteks dan informasi
sebelumnya terkait penanganan bencana longsor di wilayah tersebut.
B. Alat
1. Rekam Suara atau Video untuk merekam wawancara agar dapat direview kembali.
2. Pena dan Kertas untuk mencatat informasi penting selama wawancara.
3. Peralatan Elektronik seperti ponsel atau laptop untuk merekam data atau
memfasilitasi wawancara daring jika diperlukan.

3.3. Urutan Pelaksanaan Penelitian


1. Perencanaan Penelitian
Perencanaan penelitian merupakan dasar dari penelitian yang akan dilaksanakan. Di
dalam perencanaan penelitian, peneliti mengatur tujuan, metode, dan alat yang akan
digunakan dalam penelitian. Salah satu aspek penting dalam perencanaan penelitian
adalah pembuatan panduan wawancara yang berisi pertanyaan terstruktur terkait
kesigapan warga dalam penanggulangan bencana longsor. Perencanaan dalam penelitian
terdiri dari:
a. Menyusun panduan wawancara yang berisi pertanyaan terstruktur terkait kesigapan
warga dalam penanggulangan bencana longsor.
b. Menentukan responden yang akan diwawancarai, seperti petugas BPBD, tokoh
masyarakat, atau warga yang terlibat dalam penanggulangan bencana.
2. Pelaksanaan Wawancara
Tahapan selanjutnya yaitu, peneliti melakukan wawancara dengan responden yang
telah disusun. Wawancara merupakan alat utama dalam pengumpulan data yang
mendalam dan mendetail mengenai kesigapan warga dalam menghadapi bencana
longsor. Wawancara semi-terstruktur digunakan untuk menanyakan tentang tingkat
kebencanaan, antisipasi BPBD dalam penanggulangan bencana alam, serta respon
masyarakat terhadap bencana longsor. Tahapan pelaksanaan wawancara terdiri dari:
a. Menentukan jadwal wawancara dengan responden terkait kesigapan warga dalam
penanggulangan bencana longsor.
b. Melakukan wawancara dengan responden sesuai pedoman yang telah disusun.
3. Analisis Data
Setelah wawancara selesai, data yang dihasilkan harus dianalisis untuk
mengidentifikasi pola, temuan, dan kesimpulan terkait kesigapan warga dalam
menghadapi bencana longsor. Proses analisis data melibatkan transkrip siap-siap
jawaban dari wawancara, mengorganisir data, dan menganalisis data untuk
mendapatkan informasi yang relevan. Dalam melakukan analisis data, ada beberapa hal
yang harus dilakukan yaitu:
a. Transkripsi hasil wawancara.
b. Menganalisis data wawancara untuk mengidentifikasi pola dan temuan terkait
kesigapan warga dalam penanggulangan bencana longsor.
4. Interpretasi dan Kesimpulan
Tahapan terakhir yaitu, peneliti menginterpretasikan hasil analisis untuk
mengevaluasi tingkat kesigapan warga dalam menghadapi bencana longsor. Peneliti
mengumpulkan kesimpulan berdasarkan temuan dari wawancara dan analisis data.
Kesimpulan ini akan menjadi dasar untuk penyelesaian masalah yang timbul dalam
penanggulangan bencana longsor. Tahapan dalam melakukan interpretasi dan
kesimpulan diantaranya adalah:
a. Menginterpretasikan hasil analisis data untuk mengevaluasi tingkat kesigapan
warga.
b. Menyusun kesimpulan berdasarkan temuan dari wawancara dan analisis data

Anda mungkin juga menyukai