Anda di halaman 1dari 75

PENGARUH MARHAENISME DALAM PEREKONOMIAN

INDONESIA (1959–1966)

Skripsi
Diajukan untuk Melengkapi
Persyaratan Mencapai
Gelar Sarjana

NAMA : AGHNIANNISA WULANDARI


NPM : 201715500181

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
2021
LEMBAR PERSETUJUAN

Nama : Aghniannisa Wulandari


NPM : 201715500181
Program Studi : Pendidikan Sejarah
Fakultas : Ilmu Pendidikan dan Pengetahuan Sosial
Judul : Pengaruh Marhaenisme dalam Perekonomian Indonesia
(1959–1966)

Telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan


Pada tanggal . . . . . . . . . . . . . 2021

Pembimbing Materi Pembimbing Teknik

M. Fendi Aditya, M.Pd. Rani Noviyanti, M.Pd.

i
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Aghniannisa Wulandari


NPM : 201715500181
Program Studi : Pendidikan Sejarah
Fakultas : Ilmu Pendidikan dan Pengetahuan Sosial
Judul : Pengaruh Marhaenisme dalam Perekonomian Indonesia
(1959–1966)

Tim Penguji

Ketua : Prof. Dr. H. Sumaryoto ........................................

Sekretaris : Dr. H. Taufik, S.Pd., M.Hum. ........................................

No. Nama Tanda Tangan


1. M. Fendi Aditya, M.Pd

2. Rani Noviyanti, M.Pd

3. Arief Hidayat, M. Pd

Anggota :

ii
LEMBAR PERYATAAN

Yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Aghniannisa Wulandari


NPM : 201715500181
Program Studi : Pendidikan Sejarah

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pengaruh Marhaenisme dalam


Perekonomian Indonesia (1959–1966)” beserta seluruh isinya adalah benar-benar
karya saya sendiri. Saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan
cara yang tidak sesuai dengan etika ilmu yang berlaku dalam masyarakat
keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko/ sanksi apabila di
kemudian hari ditemukan adanya pelanggaran etika keilmuan atau ada klaim dari
pihak lain terhadap keaslian karya saya ini sesuai dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Bab VI Pasal 25 Ayat 2 dan Bab XX Pasal 70. Demikian, pernyataan ini saya buat
untuk dimanfaatkan sesuai dengan keperluan.

Jakarta, Juni 2021


Yang menyatakan,

Aghniannisa Wulandari

iii
ABSTRAK

A. Aghniannisa Wulandari, NPM: 201715500181.


B. Pengaruh Marhaenisme dalam Perekonomian Indonesia (1959–1966). Skripsi.
Jakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan dan Pengetahuan Sosial: Program Studi
Pendidikan Sejarah: Universitas Indraprasta PGRI Jakarta, Juni 2021.
C. X + 5 Bab + 62 Halaman.
D. Kata Kunci: Marhaenisme dan Ekonomi Terpimpin.
E. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui implementasi pengaruh
Marhaenisme terhadap perekonomian Indonesia pada tahun 1959–1966.
Metode yang digunakan penulis adalah metode historis atau metode sejarah,
data diambil dari buku-buku, jurnal, dokumen, majalah, dan surat kabar. Data
tersebut dianalisis menggunakan pendekatan ekonomi dimana sejak awal abad
ini sejarah ekonomi dalam pelbagai aspeknya semakin menonjol, lebih-lebih
setelah proses modernisasi di mana-mana semakin memfokuskan perhatian
kepada pembangunan ekonomi. Kajian pustaka dimanfaatkan sebagai
pemandu agar fokus penelitian sesuai dnegan fakta yang relevan dan berkaitan
erat dengan pokok masalah.
Adapun simpulan dari penelitian ini adalah: 1) Marhaenisme lahir sebagai
suatu ajaran tentang asas dan cara perjuangan rakyat Indonesia dari
masyarakat kolonial. Marhaenisme merupakan asas yang menghendaki sistem
masyarakat yang mengutamakan kesejahteraan serta keselamatan kaum
Marhaen. Ide sentral dari Marhaenisme yang mencakup demokrasi politik dan
ekonomi, sama halnya dengan ide sentral yang terkandung dalam tema
demokrasi, yaitu partisipasi rakyat. Demokrasi masyarakat tumbuh karena
sosio-nasionalis yang merangkul seluruh kepentingan masyarakat Indonesia.
Sosio-demokrasi diharapkan kelak menjadi susunan peri kehidupan
kebangsaan dan perekonomian harus dibangun agar dapat mengangkat
martabat kaum Marhaen menuju kemakmuran; 2) Ekonomi Berdikari adalah
istilah pemahaman Perekonomian Soekarno yang digagas pada masa
demokrasi terpimpin. Hal ini jelas membuktikan bahwa konsep ekonomi
berdikari tidak dapat terlepas dari konsep dan sistem Ekonomi Terpimpin.
Semua aktivitas ekonomi disentralisasikan di pusat pemerintahan, sementara
daerah merupakan kepanjangan dari pusat. Ekonomi terpimpin mengharuskan
pemerintah untuk menguasai dan bahkan menyelenggarakan sebagian besar
seluk-beluk kegiatan ekonomi rakyat dan negara, hingga dengan tepat dapat
mengarahkan perkembangan bangsa dan negara; 3) Selama berjalannya
Ekonomi Terpimpin, Indonesia banyak menerima bantuan asing baik yang
datang dari Uni Soviet maupun yang datang dari Blok Barat.
F. Daftar Pustaka : 29 buku (1963 – 2018)
4 jurnal (2013 – 2016)
1 majalah (2001)
G. Pembimbing Materi : Bapak M. Fendi Aditya, M. Pd
Pembimbing Teknik : Ibu Rani Noviyanti, M. Pd

iv
MOTO

“geen regen, geen bloem”


(Tidak ada keberhasilan yang diraih tanpa air mata)

v
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas segala berkat rahmat dan karunia dari Tuhan Yang

Maha Kuasa peneliti ucapkan, dimana atas limpahan-Nya sehingga skripsi ini

dapat diselesaikan.

Skripsi dengan judul “Pengaruh Marhaenisme dalam Peekonomian

Indonesia (1959–1966)” ditulis untuk memenuhi salah satu persyaratan

memperoleh gelar sarjana pendidikan pada Universitas Indraprasta PGRI,

Program Studi Pendidikan Sejarah.

Selanjutnya, peneliti menyampaikan hormat dan terima kasih yang tulus

kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan kepada

peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada:

1. Bapak M. Fendi Aditya, M. Pd, selaku Dosen Pembimbing Materi dalam

penulisan skripsi ini.

2. Ibu Rani Noviyanti, M. Pd, selaku Dosen Pembimbing Teknik dalam

penulisan skripsi ini.

3. Bapak Prof. Dr. H. Sumaryoto, selaku Rektor Universitas Indraprasta PGRI.

4. Bapak Dr. H. Taufik, S. Pd, M. Hum, selaku Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan

dan Pengetahuan Sosial Universitas Indraprasta PGRI.

5. Bapak Arief Hidayat, M. Pd, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah

Universitas Indraprasta PGRI.

6. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas

Indraprasta PGRI yang telah mencurahkan segenap ilmu dan perhatiannya

kepada penulis.

vi
7. Kedua orang tua yang sangat penulis hormati dan sayangi yang telah

menyokong penyelesaian skripsi ini dalam segala bentuk perhatiannya yang

tak tertandingi.

8. Teman-teman seperjuangan di kelas RC angkatan 2017 yang telah berproses

bersama selama perkuliahan di Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas

Indraprasta PGRI.

9. Seluruh jajaran Keluarga Unit Aktivitas Mahasiswa Pendidikan Sejarah,

khususnya untuk Periode 2018–2019, yang telah memberi pengalaman, ilmu,

serta rasa kekeluargaan yang utuh dalam sebuah organisasi.

Hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis berserah diri dan memohon.

Kiranya, nama-nama tersebut di atas dibalas dengan pahala yang berlipat ganda.

Aamiin.

Harus diakui bahwasanya skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh

karena itu, peneliti mengharap adanya kritik dan saran dari para pembaca untuk

penyusunan yang lebih baik ke depannya.

Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi semua pihak yang

membacanya, khususnya masyarakat akademik yang ingin mengetahui lebih jauh

mengenai penulisan ini.

Jakarta, Juni 2021

Aghniannisa Wulandari

vii
DAFTAR ISI
Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN i
LEMBAR PENGESAHAN ii
LEMBAR PERNYATAAN iii
ABSTRAK iv
MOTO v
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI viii

BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 4
C. Ruang Lingkup Masalah 4
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 5
E. Metode Sejarah 7
F. Kajian Pustaka dan Pendekatan Penelitian 13
G. Historiografi yang Relevan 15
H. Sistematika Penulisan 18
BAB II GAMBARAN UMUM MARHAENISME 21
BAB III KONSEP EKONOMI TERPIMPIN 31
BAB IV KONTEKS EKONOMI TERPIMPIN DALAM
PERCATURAN LUAR NEGERI 42
BAB V PENUTUP 55
DAFTAR PUSTAKA 58

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Soal jajahan adalah soal rugi atau untung; soal mencari hidup; soal

bisnis. Semua teori tentang soal jajahan tidak dapat bertahan terhadap

kebenaran bahwa soal jajahan adalah soal rezeki, soal yang berdasar ekonomi,

soal mencari kehidupan.

Ditahun 1871, ditahun 1905, dan ditahun 1917 dimana kapitalisme

sudah berkembang, timbulah pula suatu pergerakan kaum buruh yang sosialis

dan komunis. Di Indonesia pun tidak akan bisa menghindari hal tersebut.

Masuk ke dalam zaman kapitalis dan juga tidak luput mengenali pengikut

kapitalisme itu; suatu pergerakan yang berasaskan sosialisme atau komunisme.

Walaupun pergerakan buruh dan tani dirintangi atau ditindas sekeras-

kerasnya, selama kapitalisme masih ada di Indonesia, pasti reaksi itu akan

datang.

Negeri Belanda tidak pernah mengalami revolusi industri sebab

masyarakat Belanda bukanlah suatu masyarakat yang mempunyai syarat-

syarat untuk hidupnya modern-industrialisme. Pada abad ke-20, di dalam

zaman “kesopanan”, pada hakikatnya belum dilepaskan politik monopoli dari

imperialisme Belanda (Soekarno, 1963: 144-145).

Imperialisme di Indonesia yang sangat terlihat berada di sektor

ekspornya. Imperialismenya menunjukkan jumlah kekayaan yang diangkut

1
Belanda besarnya dua kali lipat dari yang ia masukkan ke Indonesia. Barang-

barang yang diekspor antara lain gula, karet, tembakau, teh, petroleum, bensin,

2
3

dan lain sebagainya. Menurut Prof. Van Gelderen (1963: 150), “Imperialisme

di Indonesia adalah imperialisme yang ortodox dan monopolis. Tinggi

rendahnya upah dan harga sewa tanah ditentukan dari tinggi rendahnya

produktifitas masyarakat”.

Selama masa imperialisme, Indonesia adalah tempat utama penanaman

modal asing; yang barang hasilnya nanti akan dibawa keluar. Indonesia

dihinggapi imperialisme terutama soal mengekspor barang. Namun Indonesia

sangat menderita dan celaka. Dalam tahun 1924, angka perbandingan antara

ekspor dan impor di Indonesia sangatlah tinggi, yakni mencapai angka

200,4/100. Bagi kaum Marhaen yang membanting tulang, berkeluh kesah, dan

bercucuran keringat bekerja untuk keuntungan kaum imperialis, ini sangat

tidak adil karena mereka hanya mendapat upah yang sangat sedikit tiap

harinya.

Masyarakat yang tercengkeram oleh kapitalisme dan imperialisme pada

saat itu dinilai mampu mencapai Indonesia merdeka adalah pada saat

munculnya organisasi yang di dalamnya ada suatu politik massa aksi yang

’radikal-nasionalis’ dan ‘marhaenistis’. Dimana kesengsaraan penganut

Marhaen makin luas, musuh makin mengamuk dan merajalela, yang paling

perlu untuk keselamatan penganut Marhaen adalah persatuannya barisan

Marhaen, agar tidak hancur tergilas oleh roda zaman yang begitu kejam.

Dalam perjalanannya, Sukarno dengan ideologi Marhaenisme memiliki

banyak peran penting. Peranan ini ditunjukkan dengan adanya ideologi ini
4

dalam sebuah organisasi pergerakan yang ikut serta dalam usaha

memperjuangkan kemerdekaan Bangsa Indonesia dari penjajah.

Marhaenisme merupakan istilah yang pertama kali disebut oleh

Soekarno dalam pidatonya sebagai ketua PNI pada Juli 1927. Kaum Marhaen

mengacu kepada pergaulan hidup dengan latar belakang petani kecil, buruh

kecil, pelayar kecil, dan semua yang merupakan rakyat kecil yang

menanggung beban berat akibat imperialisme masa itu.

Pada tahun 1927, Soekarno dan kawan-kawan mendirikan Perserikatan

Nasional Indonesia—kelak berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia

(PNI). Partai baru ini menggunakan marhaenisme sebagai asas politiknya.

Dengan asas itu, PNI berhasil menggerakkan kaum marhaen, yang meliputi

hampir 90 persen rakyat Indonesia kala itu, untuk menggoyang kekuasaan

kolonial.

Sejak saat itu, Marhaenisme menjadi salah satu ideologi perjuangan

rakyat Indonesia. Disamping itu ada sosialisme, komunisme, dan islamisme.

Melalui dua corong utamanya, Fikiran Ra’jat dan Suluh Indonesia Muda, PNI

berhasil menyebarkan faham Marhaenisme-nya ke seluruh penjuru negeri.

Bahkan hingga ke Malaya. Marhaenisme juga merupakan cara perjuangan dan

asas yang menghendaki hilangnya kapitalisme dan imperialisme. Sebab, kedua

sistim itu telah menghisap dan menindas rakyat jelata. Ditegaskan juga, untuk

mencapai susunan masyarakat itu, kaum Marhaen harus menempuh cara-cara

revolusioner.
5

Marhaenisme sebetulnya disusun oleh tiga pemikiran Soekarno yang

lain, yaitu analisa kelas Marhaen, Sosio-Nasionalisme, dan Sosio-Demokrasi.

Tiga komponen inilah yang membentuk ajaran Marhaenisme. Merdeka adalah

syarat utama untuk bisa terlepas dari kapitalisme dan imperialisme, syarat

penting untuk mendirikan masyarakat yang sempurna. Oleh karena itu, kaum

Marhaen harus mengikhtiarkan Indonesia Merdeka, mengikhtiarkan

kemerdekaan-nasional, dan harus menjaga kemerdekaan-nasional dengan

Kaum Marhaen lah yang memegang kekuasaan.

Dalam kehidupan ekonomi makna transformasi ekonomi berhakikat

“merubah sistem ekonomi kolonial yang subordinatif menjadi sistem ekonomi

nasional yang demokratis”. Para pendiri Republik dengan sangat bijaksana

dan hati-hati menghidari kemungkinan terjadinya chaos dalam pelaksanaan

transformasi ekonomi itu. Proses transformasi ini tidak akan bisa dilakukan

apabila beberapa butir perintang tidak terlebih dulu kita atasi, antara lain: (1)

asas perorangan dengan paradigma individualisme dan liberalisme yang

mengutamakan kepentingan individu (self-interest economics yang

berpedoman free-competition dan market fundamental¬ism); (2) asas

kebersamaan dan kekeluargaan berdasar paham kerakyatan (demokrasi

ekonomi), di mana kepentingan masyarakat lebih utama dari kepentingan

orang-perorang (tanpa mengabaikan hak orang-perorang); (3) negara

melepaskan diri dari tugasnya sebagai agent of development dan agent of

reformation dalam mengatasi ketimpangan-ketimpangan struktural (percaya

pada the invisible hand yang dalam kenyataan telah kembali menjadi the
6

incapable hand atau the dirty hand); (4) mewaspadai globalisasi dengan ide

pasar-bebas dan boderless world-nya;

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “Pengaruh Marhaenisme dalam Perekonomian

Indonesia (1959–1966)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan seluruh penjelasan di atas, maka diperoleh rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Marhaenisme sebagai ideologi memandang Perekonomian

Indonesia?

2. Faktor apa sajakah yang menjadi fokus Marhaenisme mengenai

Perekonomian Indonesia?

3. Bagaimana implementasi Marhaenisme terhadap Perekonomian Indonesia

pada tahun 1959–1966?

4. Bagaimana konteks ekonomi Marhaenisme dalam percaturan hubungan

luar negeri?

C. Ruang Lingkup Penelitian

Penyajian tulisan ini saya mengambil ruang lingkup temporal atau

waktu pada tahun 1959 sampai dengan 1966. Kurun waktu tersebut diambil

karena ketertarikan saya dalam membahas permasalahan yang ada pada

periode demokrasi terpimpin pada era Soekarno. Kurun waktu tersebut

dipandang sangat fenomenal bagi perjalanan kepemimpinan Soekarno. Jika

dikaitkan dengan judul tulisan, dapat dikatakan bahwa Ideologi Marhaenisme


7

yang dicetuskan oleh Soekarno pasti membawa pengaruh penting selama ia

masih menjabat sebagai seorang pemimpin negara.

Ruang lingkup spasial atau tempat adalah hal-hal yang berkaitan dengan

pembatasan daerah atau kawasan tertentu dimana peristiwa tersebut terjadi.

Ruang lingkup spasial atau tempat yang saya ambil dalam penulisan ini adalah

hal-hal yang terjadi di Indonesia. Dasar pengambilan ruang lingkup spasial

atau tempat di Indonesia karena saya ingin meneliti hal-hal yang terjadi secara

global di suatu negara, yaitu Indonesia.

Ruang lingkup tematik adalah hal-hal yang berkaitan dengan tema atau

aspek yang akan diangkat dalam suatu tulisan. Ruang lingkup tematik yang

saya ambil dalam penulisan ini adalah tema atau aspek perekonomian. Saya

mengambil aspek perekonomian ini karena selama ini kebanyakan penulisan

sejarah lebih sering mengambil aspek sosial atau politik. Jadi saya berupaya

untuk menambahkan daftar penulisan sejarah yang berkaitan dengan tema atau

aspek perekonomian.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan oleh penulis,

tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain:

1. Untuk mengetahui pandangan Marhaenisme mengenai perekonomian

Indonesia.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi fokus Marhaenisme

mengenai perekonomian Indonesia.


8

3. Untuk mengetahui implementasi pengaruh Marhaenisme terhadap

perekonomian Indonesia pada tahun 1959–1966.

4. Untuk mengetahui bagaimana konteks Ekonomi Terpimpin dalam

percaturan hubungan internasional.

Penelitian ini diharapkan memberi banyak manfaat untuk berbagai pihak.

Adapun manfaat atau kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penulis

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan wawasan baru terkait

permasalahan yang diangkat serta sebagai prasyarat untuk mendapatkan

gelar kesarjanaan (S1).

2. Mahasiswa Pendidikan Sejarah

Diharapkan penelitian ini dapat memberi wawasan mengenai

perekonomian Indonesia pada tahun 1959–1966 serta pengaruh

Marhaenisme yang mengikutinya bagi mahasiswa pendidikan sejarah yang

membaca dan dapat menjadi sumber literatur atau referensi bagi

mahasiswa pendidikan sejarah yang akan mengangkat permasalahan

serupa.

3. Masyarakat Umum

Diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan bagi

masyarakat luas mengenai perekonomian Indonesia pada tahun 1959–1966

serta pengaruh Marhaenisme yang mengikutinya. Selain itu, diharapkan

hasil penelitian ini dapat menjadi sumber referensi bacaan bagi masyarakat

luas.
9

E. Metode Sejarah

Metode yang digunakan oleh penulis adalah metode historis atau

metode sejarah. Menurut Gottschalk, metode sejarah adalah proses menguji

dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.

Menurut Nugroho Notosusanto, metode historis adalah sekumpulan prinsip-

prinsip aturan yang sistematis yang dimaksudkan untuk memberikan bantuan

scara efektif dalam usaha mengumpulkan bahan-bahan bagi sejarah, menilai

secara kritis, dan kemudian menyajikan suatu sintesa dari pada hasil-hasilnya

(biasanya dalam bentuk tertulis) (Notosusanto, 1984: 11). Sedangkan menurut

Abdurrahman Suryomiharjo (1979: 133), metode historis adalah suatu proses

yang telah dilaksanakan oleh sejarawan dalam usaha mencari, mengumpulkan,

menguji, memilih, memisah, dan menyajikan fakta sejarah serta tafsirannya

dalam susunannya yang teratur.

Langkah-langkah dalam metode sejarah dibagi ke dalam 4 (empat)

tahapan, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi (Notosusanto,

1984: 36). Adapun penjelasan langkah-langkah metode sejarah diuraikan

sebagai berikut:

1. Heuristik

Heuristik berasal dari bahasa Yunani, yaitu heuriskein yang artinya

memperoleh. Heuristik adalah kegiatan meghimpun jejak masa lalu.

Kegiatan yang dilakukan pada tahapan ini adalah mengumpulkan sumber-

sumber sejarah yang relevan dengan obyek penelitian. Menurut Andryana


10

(2016), pada tahap ini seringkali merupakan suatu keterampilan dalam

menemukan, menangani, mengklasifikasi, serta merawat catatan-catatan.

Penulis mengumpulkan sumber-sumber dibantu dengan teknik

pengumpulan data yaitu teknik perpustakaan dan dokumentasi. Penulis

akan melakukan penelusuran di Perpustakaan Universitas Indraprasta

PGRI, Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Arsip Nasional Republik

Indonesia (ANRI), dan beberapa perpustakaan lainnya di sekitar

Jabodetabek. Selain itu, penulis mengumpulkan sumber-sumber melalui

media elektronik, berupa jurnal online dan artikel.

Sumber sejarah adalah semua yang menjadi bahan pokok sejarah di

masa lalu, berupa sumber lisan, sumber tertulis, dan sumber kebendaan,

yang dapat dijadikan bukti sejarah dari zaman purba hingga sekarang baik

yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang bermanfaat untuk

kepentingan dalam penelitian sejarah.

a. Sumber Primer

Sumber primer disini merujuk langsung pada buku besar Soekarno

yang merupakan kumpulan tulisannya sejak tahun 1926–1942 dengan

judul Dibawah Bendera Revolusi jilid pertama (1963).

Sumber kedua masih lanjutan dari buku besar Soekarno yang

berjudul Dibawah Bendera Revolusi jilid kedua (1965) (Jakarta: Yayasan

Soekarno). Buku ini menjelaskan mengenai keseluruhan pemikiran

Soekarno.
11

Selain itu, buku terbitan Departemen Penerangan RI dengan judul

20 Tahun Indonesia Merdeka jilid IV menjadi sumber primer yang

digunakan. buku tersebut merupakan catatan yang dikumpulkan oleh

Departemen Penerangan RI mengenai kementerian keuangan, khususnya

berbagai catatan perekonomian Indonesia setelah 20 tahun merdeka.

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder berupa buku yang digunakan antara lain:

1) Al-Rahab, Amiruddin (2014) : Ekonomi Berdikari Soekarno. Buku ini

membahas politik ekonomi berdikari Soekarno sebagai salah satu dari

Trisakti: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan

berkepribadian dalam kebudayaan. Ekonoi berdikari Soekarno

memberikan orientasi yang jelas kemana arah ekonomi kita, Soekarno

memberikan perhatian pada orientasi mengubah struktur ekonomi

dunia, yaitu melepaskan diri dari cengkraman penjajah.

2) Ranuwihardja, et. al. (2001) : Bung Karno dan Ekonomi Berdikari.

Buku ini membahas bagaimana soekarno memberi gambaran

mengenai situasi pembangunan ekonomi pada tingkatan revolusi

tahun 1959 – 1965. Soekarno mengajak rakyat Indonesia untuk

“banting stir” demi sukses dan jayanya pembangunan Indonesia. Buku

ini juga menggambarkan pemikiran Soekarno mengenai konsep

berdiri di atas kaki sendiri (berdikari). Prinsip berdikari dalam buku

ini memiliki arti “percaya pada kekuatan sendiri”. Karena kekuatan-

kekuatan ekonomi yang riil-nyata harus dijadikan sndaran utama


12

untuk realisasi prinsip berdikari, maka kekuatan-kekuatan ekonomi itu

harus diinventarisasi dengan cermat, tertib, dicegah kemerosotannya,

dan selalu dinaikkan kapasitas kerjanya sejauh mungkin.

3) Wibowo, Yulianto Sigit (2005) : Marhaenisme: Ideologi Perjuangan

Soekarno. Buku ini membahas secara kritis marhaenisme sebagai

konsep perjuangan dari Soekarno atas terjadinya tatanan sosial yang

tidak adil. Seluruh pemikiran Soekarno berangkat dari satu titik pusat

yang sama, yaitu kebenciannya kepada kapitalisme, imperialisme, dan

kolonialisme. Buku ini pun membahas bagaimana Soekarno yang

terinspirasi dari pemikiran Marxisme lalu menggabungkannya dengan

pemikirannya sendiri dalam perjuangannya melawan kolonialisme dan

imperialisme.

4) Soekarno (1963) : Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan

Republik Indonesia. Buku ini berisi kumpulan bahan pengajaran

Soekarno dalam kursus wanita. Bung Karno mengkritisi kebanyakan

laki-laki yang masih memandang perempuan sebelah mata. Bung

Karno menekankan pentingnya bagi para wanita untuk mengambil

bagian dalam pembangunan negara Indonesia.

5) Ricklefs, M. C. (2014) : Sejarah Indonesia Modern 1200–2004. Buku

ini menekankan penulisannya pada sejarah rakyat Indonesia, baik

sejarah tentang politik, sosial, budaya, dan ekonomi termasuk tentang

interaksi sosial antar komunitas-komunitas yang berbeda tetapi

mempunyai hubungan yang erat dalam linguistik dan etnik di


13

Nusantara ini, menjadi bangsa yang bersatu. Catatan-catatan pra

kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan dikupas secara menarik

dibuku ini.

6) Poesponegoro, Marwati Djoened (2008) : Sejarah Nasional Indonesia

jilid V. Buku ini memuat sejarah dalam satu periode sejak zaman

kebangkitan Nasional hingga masa akhir Hindia Belanda sekitar tahun

1900-1942.

7) Kasenda, Peter (2017) : Sukarno, Marxisme, dan Leninisme: Akar

Pemikiran Kiri dan Revolusi Indonesia. Buku ini menyusuri

kedatangan marxisme-leninisme di Indonesia dan pengaruhnya pada

Soekarno, serta mengurai penyebarannya ke tokoh-tokoh kiri

Indonesia yang lainnya yang ada pada awal sampai pertengahan abad

ke-20.

8) Liu, Hong (2015) : Sukarno, Tiongkok, dan Pembentukan Indonesia

(1945 – 1965). Buku ini membahas mengenai citra Tiongkok yang

kompleks dan berubah-ubah selama era Soekarno, serta bagaimana

“Metafora Tiongkok” memainkan peran signifikan dalam

pembentukan lintasan budaya juga politik Indonesia dari pertengahan

1950-an sampai 1965.

2. Kritik Sumber

Kritik sumber merupakan tahap berikutnya dalam metode sejarah

setelah heuristik. Pada tahap ini dilakukan pengujian atau penyeleksian

data dan sumber-sumber sejarah yang telah dikumpulkan. Kritik sumber


14

bertujuan untuk memperoleh keabsahan sumber (Abdurahman, 2007: 68).

Kuntowijoyo (1995: 101) menjelaskan bahwa tahap ini terdiri dari kritik

ekstern dan kritik intern, dimana kritik ekstern adalah proses verifikasi

terntang otentisitas dan keaslian sumber dan kritik intern adalah verifikasi

terhadap kredibilitas isi sumber.

Kritik ekstern yang dilakukan pada sumber yang ditemukan terdiri

dari berbagai kondisi, seperti kertas yang menguning, ejaan yang

digunakan pada sumber masih menggunakan ejaan lama yang belum

disempurnakan, dan cukup banyak menggunakan bahasa Belanda.

Sedangkan kritik intern yang dilakukan pada sumber adalah menelaah isi

kandungan dan membandingkannya dengan sumber rujukan lainnya

sehingga penulis dapat menarik kesimpulan atas sumber-sumber yang

digunakan.

3. Interpretasi

Setelah melakukan heuristik dan kritik sumber, maka tahap

selanjutnya adalah penafsiran terhadap fakta-fakta sejarah yang diperoleh

dari kritik sumber. Kuntowijoyo menyatakan bahwa interpretasi memiliki

dua metode yang digunakan, yaitu melalui analisis (menguraikan) dan

sintesis (menyatukan) informasi yang relevan dengan pembahasan, sesuai

dengan pendekatan yang digunakan (Abdurahman, 2007: 73). Pada

dasarnya suatu interpretasi lebih merujuk kepada argumentasi-argumentasi

yang menjawab pertanyaan kausal (sebab akibat).

4. Historiografi
15

Historiografi merupakan tahapan terakhir dalam metode sejarah.

Dalam langkah akhir ini, penulis mencoba untuk mengerahkan seluruh

daya pikirnya untuk membuat dan menyusunnya menjadi suatu karya

ilmiah berdasarkan sumber-sumber yang ada. Fakta-fakta baru yang terlah

didapatkan dari beberapa tahap sebelumnya kemudian direkonstrusi

dengan memperhatikan aspek-aspek historis tentunya. Penulisan dilakukan

secara sistematis dan tuntut sesuai kronologis (Pranoto, 2010: 155).

F. Kajian Pustaka dan Pendekatan Penelitian

1. Kajian Pustaka

Dalam menjelaskan Marhaenisme, Soekarno tidak pernah keluar

jalur dari yang telah digariskan sejak tahun 1927, diantaranya:

a. Marhaen adalah kaum melarat Indonesia yang terdiri dari buruh, petani,

pengusaha kecil, tukang, kusir, dan kaum kecil lainnya. Soekarno

sering menyebut Marhaen adalah rakyat Indonesia yang dimiskinkan

oleh imperialisme.

b. Marhaen Indonesia ada yang berdomisili di pantai, di gunung, di

dataran rendah, di kota, di desa, dan di mana saja. Marhaen itu ada yang

beragama Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan ada juga yang menganut

animisme.

c. Kaum Marhaen, sesuai dengan kodratnya, berupaya melepaskan

belenggu kemiskinan dan mengharapkan terjadinya perbaikan nasib.

d. Marhaenisme adalah ideologi yang bertujuan menghilangkan

penindasan, pengisapan, pemerasan, penganiayaan, dan berupaya


16

mencapai serta mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur,

melalui kemerdekaan nasional, melalui demokrasi politik, dan

demokrasi ekonomi.

Terhapusnya kemiskinan dan terwujudnya masyarakat adil dan

makmur, hanya bisa dicapai dengan kemerdekaan nasional, dimana

kemerdekaan itu hanyalah jembatan emas. Di seberang jembatan

emas itu terbuka dua jalan. Satu jalan menuju masyarakat yang adil

dan makmur, dan satu jalan lagi menuju masyarakat celaka dan

binasa (Kusnowo, 2016: 125).

Pencarian terhadap sosok ekonomi nasional yang cocok untuk

Indonesia pada masa demokrasi terpimpin bertolak dari asumsi untuk

mentransformasikan ekonomi kolonial ke ekonomi nasional. Ekonomi

Terpimpin merupakan konsep alternatif berimplikasi pandangan jauh ke

depan dalam memandang pembangunan ekonomi Indonesia yang merdeka

(Al-Rahab, 2014).

Konsep Ekonomi Berdikari ini sebenarnya sudah dicetuskan oleh

Soekarno sejak terlaksanakannya Konferensi Bandung, dimana beliau

mengatakan bahwa “keharusan kepada setiap negara Asia-Afrika, untuk

berdiri di atas kaki sendiri dalam perekonomian, bebas dalam politik, dan

berkepribadian dalam kebudayaan” (Ranuwihardja dkk., 2001: 287).

2. Pendekatan Penelitian

Gambaran mengenai suatu peristiwa sejarah akan bisa ditentukan

oleh disiplin atau pendekatan tertentu, yakni dari segi mana sejarawan
17

memandangnya, dimensi apa yang diperhatikan, untusur-unsur manakah

yang diungkapkan, dan sebagainya (Abdurrahman, 2011: 10).

Dalam penulisan ini, penulis menggunakan pendekatan ekonomi

dimana sejak awal abad ini sejarah ekonomi dalam pelbagai aspeknya

semakin menonjol, lebih-lebih setelah proses modernisasi di mana-mana

semakin memfokuskan perhatian kepada pembangunan ekonomi.

Kompleksitas sistem ekonomi dengan sendirinya menuntut pula

pendekatan ilmu-ilmu sosial lainnya seperti sosiologi, antropologi, ilmu

politik, dan lain sebagainya (Kartodirdjo, 1992: 138).

G. Historiografi yang Relevan

1. Sebuah skripsi karya Agus Supriyadi dengan judul “Pemikiran Soekarno

Tentang Marhaenisme”. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa

pemikiran Soekarno didasari dari satu central point, yaitu kebenciannya

terhadap kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme. Dari pengalaman

terjajah oleh kolonial Belanda memacu semangat perlawanan Soekarno

untuk membebaskan bangsa dan negaranya dari penjajahan sekaligus

mengobarkan semangat nasionalisme yang revolusioner, dan dari teori-

teori Marx, Soekarno mendapat langkah-langkah taktis dan strategis yang

dapat dijadikan sebagai pedoman perjuangan. Dengan menggunakan

dialektika Marxisme, Soekarno membuat konsep untuk dijadikan dasar

dan cara perjuangan untuk mencapai Indonesia merdeka dan masyarakat

yang adil dan makmur, yaitu Marhaenisme. Marhaenisme seperti apa yang

diungkapkan oleh Soekarno dalam Deklarasi Marhaenisme pada rapat PNI


18

di Makassar tahun 1933, menjelaskan tentang siapa Marhaen, Marhaenis,

dan apa Marhaenisme. Dalam perjuangannya, Marhaenisme menggunakan

asas atau cara perjuangan seperti non-kooperatif, massa aksi, dan

machtvorving. Gagasan konsep Marhaenisme yaitu sosio-nasionalisme dan

sosio-demokrasi.

2. Sebuah skripsi karya Muhammad Amin dengan judul “Perkembangan

Ajaran Marhaenisme dalam Tubuh Partai Demokrasi Indonesia

Perjuangan”. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Marhaenisme

adalah Marxisme yang disesuaikan dengan kondisi sosial politik di

Indonesia. Kaum Marhaen adalah istilah yang digunakan Soekarno untuk

menggantikan istilah proletar yang digunakan Marx dalam pemikirannya

mengenai pertentangan kelas. Dalam Marhaenisme, partai politik

berfungsi sebagai penggugah kesadaran kader partai ataupun masyarakat

agar mampu melakukan perubahan-perubahan di masyarakat yang lebih

luas. Pemimpin partai dalam ajaran Marhaenisme haruslah seorang yang

kuat dan memiliki kecenderungan diktatorial meski Soekarno menolak

bentuk kepemimpinan yang teramat sentralitik. Dalam ajaran

Marhaenisme partai juga harus memiliki disiplin yang ketat. PDI

Perjuangan adalah partai politik yang menggunakan Marhaenisme sebagai

haluan politiknya. PDI Perjuangan merupakan partai politik yang secara

generalogis memiliki hubungan dengan PNI, yang merupakan partai

politik pertama yang menggunakan Marhaenisme sebagai haluan

pergerakannya.
19

3. Sebuah skripsi karya Nani Julita dengan judul “Sejarah Perekonomian

Indonesia pada Masa Demokrasi Liberal Tahun 1956 – 1960”. Hasil

penelitian ini menyimpulkan bahwa factor yang mendorong dilaksanakan

perekonomian Indonesia pada masa Demokrasi Liberal 1956 – 1960 tidak

lepas pembangunan politik di Indonesia telah dapat menjadi aturan

permainan,, baik struktur maupun kulturnya yaitu Pancasila. Oleh karena

itu dapat dipahami bahwa kehidupan berpolitik tidaklah semata-mata

menyangkut sejumlah kecil elite politik yang bertikai mempertahankan

nama ideologinya masing-masing dengan mengatasnamakan kepentingan

nasional.

4. Sebuah skripsi karya Angga Mugi Saputra dengan judul “Sosio-

Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi Marhaenisme Soekarno ditinjau dari

Filsafat Humanisme”. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Soekarno

mewujudkan sebuah paham Marhaenisme yang didalamnya terkandung

asas-asas nasionalisme dan demokrasi yang memperjuangkan manusia dari

segala bentuk ketertindasan, keterkungkungan, dan kemiskinan.

Implementasi Marhaenisme sebagai upaya Soekarno untuk mengangkat

martabat rakyat dari penindasan adalah dengan melakukan pemberdayaan

pada masyarakat sipil dengan memandirikan masyarakat atau

mengoptimalkan kemampuan masyarakat untuk berkarya serta

mempersatukan seluruh kalangan masyarakat dari segala bentuk pengotak-

kotakan yang telah terpecah oleh sistem kapitalisme dan imperialisme.


20

5. Sebuah skripsi karya Isnaini Wildana dengan judul “Pemikiran Soekarno

tentang Ekonomi Indonesia Tahin 1932 – 1965”. Hasil penelitian ini

menyimpulkan bahwa kemiskinan dan kemlaratan yang dialami oleh

masyarakat Indonesia karena penjajahan membuat Soekarno ingin

mengupayakan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia. Soekarno dalam

melaksanakan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi mengharuskan

sumber daya alam dan sumber daya manusia dimanfaatkan sebaik

mungkin dengan memberikan kepercayaan kepada kemampuan rakyat

untuk ikut serta dalam pembangunan nasional. Strategi pembangunan

nasional yang diterapkan Soekarno merupakan strategi ekonomi yang

dapat mendorong partisipasi dan swadaya masyarakat.

H. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan masalah yang di teliti dan untuk

mempermudah para pembaca dan memahami hasil penelitian ini, maka

penulis menyusun dalam 3 bab sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, ruang lingkup

penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, kajian

pustaka dan pendekatan penelitian, historiografi yang relevan, dan

sistematika penulisan.

BAB II GAMBARAN UMUM MARHAENISME

Berisi teori serta penjelasan mengenai ideologi Marhaenisme.

BAB III KONSEP EKONOMI TERPIMPIN


21

Berisi teori serta penjelasan mengenai konsep ekonomi terpimpin

yang berlaku di Indonesia.

BAB IV KONTEKS EKONOMI MARHAENISME DALAM

PERCATURAN LUAR NEGERI

Berisi tentang pembahasan dan implementasi ekonomi

Marhaenisme dalam percaturan perekonomian antara Indonesia

dan luar negeri.

BAB V PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan dari pembahasan hasil penelitian dan

saran bagi para pembaca.


BAB II
GAMBARAN UMUM MARHAENISME

Melalui caranya sendiri, Soekarno mengumpulkan ide-ide atau aliran-

aliran yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, kemudian diolahnya

sendiri menjadi ide baru yang dianggapnya bisa diterima oleh semua pihak.

Dalam usahanya mempertemukan ide-ide yang berlainan ke dalam sebuah

landasan yang sama, Soekarno di satu pihak mengemukakan segi-segi dari suatu

ide atau aliran politik yang memungkinkan untuk diterima oleh ide-ide lain,

sedangkan di pihak lain, Soekarno membuka segi-segi tertentu dari ide-ide itu

sendiri yang penempatannya ide-ide lain ke dalamnya bisa diterima pula.

Diharapkan ide-ide tersebut saling mengisi, memberi, dan menerima.

Istilah Marhaenisme berawal saat Soekarno tengah mencari kata

pemersatu rakyat. Munculnya berawal pada saat sedang berjalan-jalan di daerah

Kiduleuen, Cigelereng, Bandung Selatan, Soekarno bertemu dengan seorang

petani bernama Marhaen di daerah Bandung yang memiliki sebidang tanah,

menggarap sendiri dengan alat-alat yang dimilikinya, dan hasilnya cukup untuk

memenuhi kebutuhan keluarganya. Meskipun sederhana, namun jelas terlihat

bahwa petani tersebut bukan proletar karena ia tidak menjual tenaganya, sekalipun

hidupnya berada dalam kemiskinan (Kusnowo, 2016: 124). Peristiwa ini memberi

gambaran bahwa Soekarno sangat jeli dengan keadaan sosial di sekitarnya

sehingga dapat mencetuskan rumusan Marhaenisme sebagai gambaran rakyat

Indonesia yang amat

21
22

menderita karena penjajah. Perkataan ‘Marhaenisme’ adalah lambang dari

penemuan kembali kepribadian nasional (Adams, 2018: 75).

Sebagai paham kemasyarakatan dan paham kenegaraan, Marhaenisme

adalah ideologi. Di samping itu, Marhaenisme yang lahir dan ditempa dalam

perjuangan rakyat Indonesia adalah juga paham (teori) perjuangan Rakyat

Marhaen untuk mewujudkan cita-citanya. Sebagai paham perjuangan,

Marhaenisme menyimpulkan prinsip-prinsip atau pokok-pokok pendirian untuk

dipakai dan dipenuhi (dikerjakan) di dalam perjuangan. Tujuannya adalah untuk

menjamin suksesnya perjuangan itu. Marhaenisme sebagai ideologi partai juga

mendedikasikan diri sebagai sebuah ideologi yang juga sarat dengan pemahaman

Marhaenisme sebagai paham kemasyarakatan sekaligus paham kenegaraan.

Dalam konteks inilah, sejatinya Marhaenisme adalah sebuah ideologi yang klop

dengan bangsa Indonesia. Setidaknya begitulah klaim partai berjiwa nasionalis.

Marhaenisme sebagai ideologi dan Partai Nasional Indonesia (PNI)

sebagai wadah pergerakan, merupakan kesatuan jiwa dan badan, batin dan lahir,

semangat dan kekuatan yang sepenuhnya diramu Bung Karno dari Indonesia.

Marhaen adalah subjek (rakyat) Indonesia yang berjuang dengan azas

Marhaenisme melalui metode perjuangan Marhaenisme itu juga. Marhaen adalah

nama rekayasa Bung Karno untuk lebih membumikan ajaran sosialisme.

Sosialisme ala Indonesia. Jadi, Marhaenisme tidak lain adalah sosialisme ala

Indonesia (Daras, 2014). Marhaenisme sebagai Ideologi adalah senyawa dengan

tuntutan hati nurani rakyat dan oleh karena itu, ideologi ini pun cocok bagi

pergerakan rakyat Indonesia (Bagin, 2004: 95-100).


23

Soekarno menegaskan bahwa Marhaenisme sebagai teori politik sekaligus

teori perjuangan sangatlah relevan digunakan sepanjang kapitalisme sekalipun

dalam berbagai wujud masih bercokol di bumi. Dalam konteks ini, Marxisme

telah memberikan kepada Soekarno alat yang paling sistematis dalam analisis

sosial dalam dalam pengkajiannya tentang sifat kekuasaan kolonialisme,

imperialisme, dan kapitalisme. Soekarno tetap mempunyai prinsip yang sama, di

satu pihak, melawan imperialisme sampai keakar-akarnya, dan di lain pihak,

membangun suatu tatanan baru dengan menyatukan berbagai ideologi yang

berbeda ke dalam suatu kesatuan yang harmonis.

Teori perjuangan Marx, yang kemudian dikenal sebagai Marxisme juga

sangat berpengaruh dalam benak Soekarno, dan banyak inspirasi dari pemikiran

dan tingkah laku politik Soekarno sejak tahun 1920-an akhir dipengaruhi Marx,

demikian pula tulisan-tulisannya. Hal ini begitu banyak terlihat dari

kutipankutipan dan sanjungan serta persetujuan terhadap pikiran-pikiran Karl

Marx dan buah karya Marx, yaitu Marxisme. Bahkan secara jujur Soekarno

kemudian mengakui bahwa Marhaenisme yang ia ciptakan adalah Marxisme yang

diterapkan di Indonesia, artinya, Marxisme yang disesuaikan dengan kondisi dan

masyarakat Indonesia.

Soekarno menggunakan rumusan Marhaenisme dengan makna yang lebih

luas dan disamakan seperti “massaisme” atau kekuatan massa, dimana meskipun

ternilai kecil dalam status dan kepemilikan, namun kuantitas yang besar apabila

disatukan bisa menjadi satu kekuatan yang besar yang mampu melawan

imperialisme-kolonialisme. Marhaenisme lahir sebagai suatu ajaran tentang asas


24

dan cara perjuangan rakyat Indonesia dari masyarakat kolonial. Marhaenisme

merupakan asas yang menghendaki sistem masyarakat yang mengutamakan

kesejahteraan serta keselamatan kaum Marhaen (Syamsuddin, 1993: 146). Elite

politik yang selalu berteriak-teriak tentang wong-cilik, tentang nasib buruh,

tentang penderitaan petani, tentang susahnya pedagang pasar tradisional, tetapi

dalam praktek politik tidak menggunakan asas Marhaenisme, maka mereka adalah

pembohong (Daras, 2014).

Dalam menjelaskan Marhaenisme, Soekarno tidak pernah keluar jalur dari

yang telah digariskan sejak tahun 1927, diantaranya:

1. Marhaen adalah kaum melarat Indonesia yang terdiri dari buruh, petani,

pengusaha kecil, tukang, kusir, dan kaum kecil lainnya. Soekarno sering

menyebut Marhaen adalah rakyat Indonesia yang dimiskinkan oleh

imperialisme.

2. Marhaen Indonesia ada yang berdomisili di pantai, di gunung, di dataran

rendah, di kota, di desa, dan di mana saja. Marhaen itu ada yang beragama

Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan ada juga yang menganut animisme.

3. Kaum Marhaen, sesuai dengan kodratnya, berupaya melepaskan belenggu

kemiskinan dan mengharapkan terjadinya perbaikan nasib.

4. Marhaenisme adalah ideologi yang bertujuan menghilangkan penindasan,

pengisapan, pemerasan, penganiayaan, dan berupaya mencapai serta

mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, melalui kemerdekaan

nasional, melalui demokrasi politik, dan demokrasi ekonomi.


25

5. Terhapusnya kemiskinan dan terwujudnya masyarakat adil dan makmur, hanya

bisa dicapai dengan kemerdekaan nasional, dimana kemerdekaan itu hanyalah

jembatan emas. Di seberang jembatan emas itu terbuka dua jalan. Satu jalan

menuju masyarakat yang adil dan makmur, dan satu jalan lagi menuju

masyarakat celaka dan binasa (Kusnowo, 2016: 125).

Marhaenisme pertama kali disebutkan oleh Soekarno dan resmi

memperoleh definisi dalam pidato pembelaan Soekarno, yakni Indonesia

Menggugat, di depan Pengadilan Kolonial Belanda pada 1930 (Kasenda, 2014:

38). Pada tahun 1933, Soekarno mengemukakan sembilan tesisnya mengenai

Marhaenisme dalam konferensi Partindo di kota Mataram. Beberapa poin-poinnya

antara lain sebagai berikut:

1. Marhaenisme, yaitu sosio-nasionalisme dan sosio demokrasi.

2. Marhaen yaitu kaum protelar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan

kaum melarat Indonesia yang lain-lain.

3. Partindo memakai perkataan Marhaen, dan tidak proletar,karena perkataan

proletar sudah termaktub dalam perkataan Marhaen, dan karena kata proletar

bisa juga diartikan bahwa kaum tani dan lain-lain kaum yang melarat tidak

termaktub didalamnya.

4. Karena Partindo berkeyakinan, bahwa didalam perjuangan, kaum melarat

Indonesia lain-lain itu yang harus menjadi elemen-elemennya, maka Partindo

memakai perkataan Marhaen itu.

5. Didalam perjuangan Marhaen itu maka Partindo berkeyakinan, bahwa kaum

proletar mengambil bagian yang besar sekali.


26

6. Marhaenisme adalah azaz yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan

negeri yang didalam segala halnya menyelamatkan Marhaen.

7. Marhaenisme adalah pula cara – perjuangan untuk mencapai susunan

masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenanya, harus

suatu cara – perjuangan yang revolusioner.

8. Jadi, Marhaenisme adalah: cara-perjuangan dan azaz yang menghendaki

hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme.

9. Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia, yang menjalankan

Marhaenisme (Soekarno, 1963: 253).

Rakyat Indonesia yang diperkosa hak hidupnya oleh imperialisme,

kapitalisme, dan feodalisme, baik yang tradisional maupun modern, disebut rakyat

Marhaen. Rakyat Marhaen adalah rakyat Indonesia yang menjadi melarat,

menderita, dan terbelakang karena sistem penjajahan dan sistem kapitalisme yang

telah memperalat feodalisme. Rakyat Marhaen adalah mereka yang

berkepentingan untuk enyahnya setiap jenis imperialisme, untuk berkhirnya

semua sistem kapitalisme dan tiap jenis feodalisme; dan untuk adanya tata-hidup

bermasyarakat dan bernegara yang bersih dari musuh-musuh kemanusiaan, bersih

dari musuh-musuh keadilan, bersih dari segala jenis dan bentuk kejahatan.

Banyak kaum Marhaen yang bukan Marhaenis, karena tidak menjalankan

Marhaenisme. Begitupun sebaliknya, ada pula dari kelas borjuis yang

meninggalkan kelasnya dan masuk ke kelas Marhaenis. Mereka yang menjadi

Marhaenis dilihat dari faktor karakter dan moral, sebab tanpa karakter dan moral

orang dapat dengan mudah menyimpang dari jalan dan cita-cita yang dijunjung
27

tinggi (Hadi, 1958: 30). Marhaenisme menggunakan asaz sosio-Nasionalisme dan

sosio-Demokrasi sebagai landasan pemikiran yang mencoba akan diterapkan pada

masyarakat Indonesia.

Sosio-Nasionalisme adalah nasionalisme yang berperikemanusiaan,

nasionalisme yang lapang dada, nasionalisme yang internasionalisme,

nasionalisme yang bergetar hatinya untuk membela apabila masih ada bangsa

yang terjajah (Kusnowo, 2016: 126). Sosio-Nasionalisme adalah nasionalisme

yang berpihak kepada rakyat. Sosio-Nasionalisme menolak kapitalisme dan

feodalisme. Sosio-Nasionalisme mencita-citakan sebuah masyarakat yang

didalamnya tidak ada lagi penindasan dan eksploitasi oleh suatu kelas terhadap

kelas tertentu. Singkatnya, Sosio-Nasionalisme adalah nasionalisme yang

menghendaki masyarakat tanpa kelas atau masyarakat yang adil dan makmur.

Untuk mencapai itu semua, sosio-nasionalisme menawarkan beberapa hal.

Pertama, sosio-nasionalisme mempromosikan nasionalisme politik (politik

nasional yang berdaulat) dan nasionalisme ekonomi (ekonomi nasional yang

berdikari). Sosio-Nasionalisme merupakan nasionalisme politik dan ekonomi

yang berusaha untuk mencari kemapanan politik dan kemapaman ekonomi.

Kedua, sosio-nasionalisme menempatkan kemerdekaan nasional hanya sebagai

‘jembatan emas’ untuk mencapai cita-cita perjuangan yang lebih tinggi, yakni

masyarakat yang adil dan makmur. Ketiga, sosio-nasionalisme menggabungkan

antara semangat kebangsaan dan kemanusiaan.


28

kerakyatan dalam sistem ekonomi mengetengahkan pentingnya

pengutamaan kepentingan rakyat dan hajat hidup orang banyak, yang bersumber

pada kedaulatan rakyat atau demokrasi. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi

nasional kita berlaku demokrasi ekonomi, yang tidak menghendaki “otokrasi

ekonomi”, sebagaimana pula demokrasi politik menolak “otokrasi politik”.

Nasionalisme ekonomi memiliki pokok-pokok pendirian tata ekonomi

Marhaenis, antara lain sebagai berikut:

1. Negara mempunyai rencana ekonmi yang menyeluruh untuk jangka panjang

dan jangka pendek yang menggambarkan strategi pembangunan ekonomi

yang jelas.

2. Peranan dan campur tangan negara di bidang ekonomi besar dan penting.

3. Unit-unit produksi yang vital berada di tangan negara.

4. Kekayaan alam dikuasai oleh negara.

5. Unit-unit produksi tidak vital dibenarkan berada di tangan swasta, dan

didorong oleh negara untuk berkembang meningkatkan daya produksi.

6. Negara mendorong berkembangnya bentuk usaha kolektif yang

mencerminkan kerja sama gotong royong dan sifat kekeluargaan di dalam

proses produksi seperti misalnya koperasi.

7. Tenaga manusia dan kekayaan alam adalah pokok utama bagi usaha

kemakmuran.

8. Modal nasional mempunyai kedudukan sebagai pokok di dalam

pembangunan, sedangkan modak dari luar negeri hanya sebagai pelengkap.


29

Sosio-Demokrasi dibuat sebagai antitesa untuk membedakan dengan

demokrasi borjuis atau demokrasi liberal yang hanya berlaku didalam politik,

tetapi tidak berlaku di ekonomi, yakni saat kaum Marhaen tidak hanya mengatur

ekonomi, produksi, dan distribusi. “Sosio-Demokrasi –, adalah timbul karena

sosio-nasionalisme. . . . tidak ingin mengabdi kepentingan suatu gundukan ketjil

sahadja, tetapi kepentingan masjarakat jang mentjari keberesan politik DAN

ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki” (Soekarno, 1964: 175).

Sosio-demokrasi meliputi demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.

Sosio-demokrasi merupakan alternatif dari demokrasi parlementer yang dapat

memberikan kemakmuran kepada rakyat. Sosio-demokrasi adalah paham bahwa

ekonomi dan masyarakat harus dijalankan secara demokratis, untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat, dan bukan bukan untuk menciptakan keuntungan bagi

sekelompok orang. Untuk mencapai masyarakat yang adil, struktur pemerintah

dan ekonomi harus ditransformasikan menuju sosio-demokrasi dan ekonomi yang

lebih besar agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam keputusan publik.

Ide sentral dari Marhaenisme yang mencakup demokrasi politik dan

ekonomi, sama halnya dengan ide sentral yang terkandung dalam tema demokrasi,

yaitu partisipasi rakyat. Demokrasi masyarakat tumbuh karena sosio-nasionalis

yang merangkul seluruh kepentingan masyarakat Indonesia. Sosio-demokrasi

diharapkan kelak menjadi susunan peri kehidupan kebangsaan dan perekonomian

harus dibangun agar dapat mengangkat martabat kaum Marhaen menuju

kemakmuran.

Perjuangan Rakyat Marhaen memuat keharusan-keharusan seperti berikut:


30

1. Hendaknya rakyat marhaen sadar dan bangkit menegakkan hak hidupnya.

2. Hendaknya rakyat marhaen percaya pada kekuatan diri sendiri.

3. Hendaknya rakyat marhaen membangun dan menyusun kekuatan serta

merapikan barisannya.

4. Hendaknya rakyat marhaen mengobarkan terus semangat perjuangan

menuntut kebenaran dan keadilan.

5. Hendaknya rakyat marhaen merombak masyarakat lama dan menggantikannya

dengan masyarakat baru sama sekali, yaiu masyarakat adil dan makmur.

6. Hendaknya rakyat marhaen pandai menghimpun dan mengarahkan gerakmya

kekuatan-kekuatan penggerak kemajuan.

7. Bersatu dan bergeraklah, rakyat marhaen menyongsong hari depan yang

bahagia.
BAB III
KONSEP EKONOMI TERPIMPIN

Ekonomi merupakan bidang terpenting bagi suatu negara. Ekonomi adalah

suatu kegiatan manusia yang berkaitan langsung dengan konsumsi, distribusi, dan

produksi pada barang atau jasa (Nurcahyanti, 2014: 147).

Following conventional Indonesian historiography, the year 1959 is


considered to have been the starting-point of the Guided Democracy and
the Guided Economy. In that year, President Soekarno announced the
return to the 1945 Constitution and the dismissal of the Constituent
Assembly. The new era of Guided Democracy (Demokrasi Terpimpin) and
Guided Economy (Ekonomi Terpimpin) followed the decline of
constitutional democracy in Indonesian political history (Purwanto, 2013:
88).

Demokrasi Terpimpin yang terjadi dalam kurun waktu antara 1959-1965

merupakan bagian dari masa Orde Lama dimana Indonesia dipimpin oleh sang

Proklamator, Soekarno. Masa Demokrasi Terpimpin adalah masa Indonesia belum

terlalu lama merdeka, sehingga berbagai permasalahan pun masih sangat banyak

menghampiri, terutama masalah politik meliputi perjuangan pembebasan Irian

Barat, Konfrontasi Malaysia, dan G 30/S. Masalah politik tersebut sangat

berdampak pada stabilitas ekonomi negara karena pemerintah yang kesulitan

mengahadapi berbagai masalah yang timbul. Ketidakstabilan ekonomi yang

terjadi meliputi kenaikan volume uang yang tidak sebanding dengan jumlah

barang yang beredar karena produktifitas yang lemah, produktifitas yang lemah

tersebut akhirnya menyebabkan tidak dapat tercukupinya kebutuhan pangan

penduduk karena tingkat kenaikan penduduk yang lebih tinggi dari pada jumlah

kebutuhan yang tersedia. Rentetan masalah tadi menyebabkan ketidakstabilan

31
harga bahan pangan maupun sandang yang beredar di masyarakat. Harga dapat

naik secara

32
33

drastis dalam waktu singkat di berbagai daerah, baik itu wilayah Jawa, Sumatra,

maupun Kalimantan. Masalah ekonomi yang sulit terselesaikan dan berbarengan

tersebut mengakibatkan indonesia mengalami hiperinflasi pada masa Demokrasi

Terpimpin.

Pada masa Demokrasi Terpimpin, pemerintah menasionalisasikan kurang

lebih 600 perusahaan dimana setengahnya adalah perusahaan perkebunan, lebih

dari seratus perusahaan dalam bidang pertambangan, dan sisanya adalah

perushaan pada sektor perdagangan, perbankan, asuransi, komunikasi, dan

konstruksi. Dalam pengelolaan perusahaan negara ini, presiden Soekarno

melibatkan kalangan militer sehingga muncul istilah entrepreneurial military

officer. Oleh sebagian pengamat, langkah ini dipandang sebagai salah satu strategi

untuk menjaga stabilitas dan loyalitas militer (Muhaimin, 1989).

Pada masa demokrasi terpimpin, sistem ekonomi Indonesia mengalami

perubahan dari yang awalnya ekonomi liberal berubah menjadi sistem ekonomi

etatisme, dimana seluruh sistem ekonomi ini diatur dan dikuasai oleh pihak

negara, baik itu dalam aspek sosial, ekonomi, ataupun politik. Sistem ekonomi ini

dicetuskan oleh Presiden Ir. Soekarno di tahun 1959. Sistem ekonomi ini

dilakukan karena sistem ekonomi liberal membuat setiap pengusaha dalam negeri

tidak mampu bersaing dengan pengusaha asing. Sehingga, dibentuklah Dewan

Perancang Nasional atau Depernas di tahun yang sama yang dipimpin oleh Moh.

Yamin untuk mempersiapkan rancangan undang-undang pembangunan nasional.

Periode Demokrasi Terpimpin lebih merangsang lagi kegiatan ideologi

bukan hanya di bidang politik, tetapi juga di bidang ekonomi, sosial, dan
34

pendidikan (Widjaya, 1982: 34). Kebijaksanaan dan program-program yang

khusus dikembangkan untuk mencapai cita-cita revolusi terdapat pada

MANIPOL-USDEK (Manifesto Politik dengan intinya USDEK: UUD 1945,

Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan

Kepribadian Indonesia). Kebijaksanaan dan program-program ekonomi bertujuan

mencapai hasil-hasil yang sifatnya ekonomi. Tetapi tidak dapat disangkal juga

bahwa kebijaksanaan dan program-program ekonomi tersebut secara langsung

atau tidak akan mempunyai pengaruh dan hasil yang bersifat sosial. Pembangunan

politik dengan pembangunan ekonomi merupakan bagian-bagian yang terpadu

dari seluruh pembangunan masyarakat. Rakyat di negara berkembang, yang

sebagian besar hidup di pedesaan, mungkin saja secara khusus mencari kepastian

hukum, tetapi tidak semata-mata memusatkan diri pada usaha jaminan material di

masa depan.

Dalam Ekonomi Terpimpin, kegiatan perekonomian ditekankan pada

konsepsi gotong royong dan kekeluargaan sebagaimana dirumuskan dalam pasal

33 UUD 1945. Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan ekonomi pada masa

terpimpin juga dilandaskan atas strategi dasar ekonomi Indonesia yang

diamanatkan dalam Deklarasi Ekonomi (DEKON) oleh Soekarno pada tanggal 28

Maret 1963. Dalam pidato yang berjudul “Banting Stir untuk Berdikari” di depan

sidang umum MPRS padatanggal 11 April 1965, Soekarno menyerukan kepada

seluruh kekuatan pokok revolusi: buruh, petani, mahasiswa progresif, perempuan,

termasuk etnis Tionghoa untuk memperbesar kekuatan ekonomi Indonesia agar

lepas dari kepentingan asing.


35

The flamboyant President Soekarno coined various political slogans to

convey his political ambition in the name of the on-going Revolution. Next to his

long-standing synthesis of nationalism, religion and communism – Nasionalisme,

Agama, Komunisme(NASAKOM) – Soekarno introduced sosialisme ala

Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin and Kepribadian Indonesia

(USDEK). They were all part of his Konsepsi Presiden of 27 February 1957 and

his Manifesto Politik (MANIPOL) presented on 17 August 1959. Despite widely

varying interpretations of the state idiology Pancasila, the President and the

political elite always depicted Indonesia as perfect and democratic, serving the

people and sharply contrasting with the exploitative and intolerant colonial state

(Soekarno, 1964).

Buruknya perekonomian Indonesia pada waktu itu juga diakibatkan oleh

kondisi politik di dalam negeri yang sangat tidak menentu dan sifat bermusuhan

pemerintah Indonesia dengan luar negeri, khususnya negara-negara industri maju

(Barat). Keadaan ekonomi Indonesia bertambah buruk lagi terutama setelah

dilakukan nasionalisasi terhadap semua perusahaan milik Belanda yang menjadi

awal dari periode “Ekonomi Terpimpin”. Keadaan sistem ekonomi tersebut

dicanangkan semakin dekat dengan haluan atau pemikiran Sosialis/Komunis.

Soekarno menjabarkan perihal Ekonomi Terpimpin sebagai suatu cita-cita

Indonesia sekian puluh tahun ke depan, yaitu Indonesia dengan Ekonomi

Berdikari, yang sanggup mengolah segala bahan mentah – baik hasil tambang

maupun pertanian dan perkebunan – yang ada di bumi Indonesia (Akmaliah,

2015: 67). sistem ekonomi terpimpin mendalilkan bahwa negara harus berperan
36

untuk “memimpin” ekonomi nasional melalui dibentuknya jalur-jalur pengaturan

dan komando yang tegas terhadap sektor-sektor utama. Dan, semuanya itu

didasarkan pada satu rencana nasional yang komprehensif.

Ekonomi Berdikari adalah istilah pemahaman Perekonomian Soekarno

yang digagas pada masa demokrasi terpimpin. Hal ini jelas membuktikan bahwa

konsep ekonomi berdikari tidak dapat terlepas dari konsep dan sistem Ekonomi

Terpimpin. Semua aktivitas ekonomi disentralisasikan di pusat pemerintahan,

sementara daerah merupakan kepanjangan dari pusat. Ekonomi terpimpin

mengharuskan pemerintah untuk menguasai dan bahkan menyelenggarakan

sebagian besar seluk-beluk kegiatan ekonomi rakyat dan negara, hingga dengan

tepat dapat mengarahkan perkembangan bangsa dan negara.

Pencarian terhadap sosok ekonomi nasional yang cocok untuk Indonesia

pada masa demokrasi terpimpin bertolak dari asumsi untuk mentransformasikan

ekonomi kolonial ke ekonomi nasional. Ekonomi Terpimpin merupakan konsep

alternatif berimplikasi pandangan jauh ke depan dalam memandang pembangnan

ekonomi Indonesia yang merdeka (Al-Rahab, 2014). Soekarno menyatakan bahwa

Ekonomi Terpimpin sebagai cita-cita ke arah adil dan makmur akan menjadi

kenyataan jika stabilitas politik tercipta satu economic unit.

Konsep Ekonomi Berdikari ini sebenarnya sudah dicetuskan oleh

Soekarno sejak terlaksanakannya Konferensi Bandung, dimana beliau mengatakan

bahwa “keharusan kepada setiap negara Asia-Afrika, untuk berdiri di atas kaki

sendiri dalam perekonomian, bebas dalam politik, dan berkepribadian dalam

kebudayaan” (Ranuwihardja dkk., 2001: 287). Berdikari tidak berarti mengurangi,


37

melainkan memperluas kerja sama Internasional, terutama diantara semua negara

yang baru merdeka. Berdikari menolak ketergantungan kepada imperialisme,

bukan kerja sama yang sama derajat dan saling menguntungkan. Berdikari dalam

ekonomi merupakan bagian tak terpisahkan dari berdaulat dalam politik dan

berkepribadian dalam kebudayaan sebagai kebijakan politik berdikari yang sering

juga disebut Trisakti Tavip (Tahun Vivere Pericoloso).

The changing world political order in the wake of the Cold War

affected Indonesia deeply, and for worse. This all seems to account for a history

of missed opportunities. Nevertheless, the Guided Economy (Ekonomi Terpimpin)

‘did not seems quite as disastrous and gloomy at the time despite the

nationalization of Dutch assets and the disruption that inevitably followed, which

was not as catastrophic as many had predicted’ (Mackie, 1996).

Ekonomi Berdikari mengubah perekonomian Indonesia menjadi

perekonomian yang menguntungkan bagi Indonesia. Cara-cara yang ditempuh

melalui berbagai kebijakan perekonomian baru seperti Rencana Pembangunan

Semesta Delapan Tahun pada tahun 1961 dan Deklarasi Ekonomi pada tahun

1963. Soekarno mengingatkan betapa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya

akan sumber daya, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Oleh

sebab itu sangatlah penting bagi bangsa Indonesia berdiri di atas kaki sendiri

dalam mengatur perekonomian demi kesejahteraan rakyat.

Ekonomi Terpimpin dijalankan dengan membentuk perusahaan-

perusahaan negara yang terbagi dalam 4 (empat) jenis. Pertama, perusahaan yang

mengolah kekayaan bumi dan air. Kedua, perusahaan yang meliputi produksi
38

penting bagi negara dan meliputi hajat hidup orang banyak. Ketiga, perusahaan

yang vital menurut kebijaksanaan pemerintah. Keempat, perusahaan swasta

dengan prinsip modal 50% pemerintah–hak untuk mengontrol manajemennya di

tangan pemerintah. Semua betuk perusahaan tersebut akan dipimpin secara

bersama antara pimpinan perusahaan dan pimpinan buruh (Castels, 1965: 20-22).

Sebagai suatu gambaran sekilas mengenai perekonomian Indonesia pada

era 1959 – 1966, keadaan ekonomi di Indonesia sangatlah buruk. Menyusul

kemerdekaan, ekonomi nasional boleh dikatakan sebagai staglasi, yaitu stagnasi

produksi atau kegiatan produksi yang terhenti sepenuhnya dibarengi dengan

tingkat inflasi yang tinggi, yang pada umumnya di atas 2 atau 3 digit atau lebih.

Stagnasi ini disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang penting di

antaranya adalah akibat pendudukan Jepang, Perang Dunia II dan perang-perang

revolusi, dan akibat manajemen ekonomi makro yang sangat jelek pada saat itu.

Kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah pada masa Ekonomi

Terpimpin antara lain:

1. Adanya kebijakan devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 yaitu

menurunkan nilai uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas

pecahan Rp 1.000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang

melebihi Rp 25.000 dibekukan.

2. Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi

sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru

mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-

1962 harga barang-barang melonjak naik 400%.


39

3. Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp

1.000 menjadi Rp 1, sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali

lipat uang rupiah lama. Tetapi di masyarakat, uang baru hanya dihargai 10 kali

lipat lebih tinggi.

Catatan perekonomian Indonesia selama tahun 1960 sampai 1965

menunjukkan bahwa pengeluaran negara meningkat dari Rp 60,5 miliar menjadi

Rp 2.514 miliar atau meningkat 40 kali. Sementara itu, penerimaan atau kas

masuk hanya naik 17 kali dari Rp 53 miliar menjadi Rp 923,4 miliar. Defisit ini

sebagian besar ditutup dengan mencetak uang baru yang mendorong melonjaknya

laju inflasi. Antara bulan Januari sampai Agustus 1965 defisit mencapai Rp 7,5

miliar. Sedangkan inflasi pada tahun 1966 mencapai 600% (Notosusanto, 1976:

233-238).

Beban pemerintah yang terlalu besar untuk menjalankan perusahaan

negara, krisis pangan pada tahun 1961 sebagai akibat gagal panen dan tidak

tercapainya kuota impor beras, dan pencetakan uang secara besar-besaran

mendorong munculnya hiperinflasi. Pada tahun 1961, inflasi mencapai angka

95%. Berbagai kebijakan yang ada pada saat itu jelas sangat merugikan

masyarakat secara luas.

Pemerintahan Sukarno menerbitkan Rencana Delapan Tahun pada 1960

sebagai usaha untuk membuat negara ini memiliki swasembada makanan

(terutama beras), pakaian dan kebutuhan-kebutuhan dasar dalam periode 3 tahun.

Lima tahun setelah itu direncanakan menjadi periode pertumbuhan mandiri.

Namun, masterplan ini ditinggalkan pada tahun 1964 karena ekonomi yang
40

menurun dan target-target yang tidak bisa tercapai. Faktanya, perekonomian jatuh

bebas karena hiperinflasi, pengurangan sumber pajak, dan juga larinya dari aset

keuangan menjadi aset real. Politik Konfrontasi yang mahal terhadap Malaysia

juga menyerap porsi signifikan dari pengeluaran pemerintah.

Tahun 1965 adalah tahun yang penuh keguncangan. Dalam politik kita

mengalami keguncangan yang ditimbulkan oleh prolog, fakta, dan epilognya

kontrarevolusioner Gestapu. Dan dalam bidang ekonomi, kita sudah melihat

perkembangan-perkembangan yang sangat mengguncangkan kehidupan

perekonomian dan malahan sekarang dapat menjadi suatu prolog untuk

keguncangan kehidupan perekonomian Indonesia.

Hal tersebut disebabkan oleh: (1) dalam tahun 1965, arus uang pada

awal Desember 1965 tahun yang lalu sekotar 260% dari volume uang pada

permulaan tahun 1965; (2) kecepatan arus uang tersebut, akselerasinya hampir dua

kali dari kecepatan pertambahan uang pada tahun 1964; (3) dengan kenaikan

indeks masing-masing untuk satu tahun, tahun 1965 sepuluh kali tahun 1964

untuk beras, tiga kali dari 1964 untuk bahan bakar, dan dua kali kenaikan indeks

dari daging untuk tahun 1964; (4) output yang diambil hasil bidang ekspor maka

terdapat kemunduran-kemunduran kontrak transaksi dengan kira-kira 35%,

kemunduran realisasi dengan 37%, dan kemunduran dalam pengapalan kira-kira

21%; (5) income di mana terdapat pergeseran-pergeseran yang lebih meruncing;

(6) employment (Seda, 1966: 52-53).

Di pengujung 1950-an, Republik Indonesia kembali diguncang krisis

keuangan. Pada awal dekade itu, krisis serupa juga pernah menyerang. Tapi kali
41

ini, keguncangan finansial tampaknya lebih fatal. Presiden Sukarno beserta

perangkat pemerintahannya pun memberlakukan kebijakan darurat agar

perekonomian negara tidak sekarat. Sanering (pemotongan nilai mata uang)

hingga redenominasi (penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengurangi nilai

tukar) diterapkan. Namun, kian rumit dan panasnya situasi politik membuat upaya

perbaikan moneter menjadi kurang maksimal, ditambah lagi dengan terjadinya

peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang akhirnya menumbangkan

rezim Orde Lama. Sukarno gagal mengulangi keberhasilan menjinakkan krisis

ekonomi sebelumnya. Kala itu, strategi gunting uang yang diterapkan pemerintah

membuahkan hasil gemilang. Tapi, kali ini tidak.

Beberapa kebijakan moneter penting pemerintah yang amat krusial itu

ternyata sama sekali tidak melibatkan pihak Bank Indonesia (BI). Merasa

dilangkahi, Gubernur BI saat itu, Loekman Hakim, mengajukan pengunduran diri

kepada Presiden Sukarno. Begitulah sistem ekonomi terpimpin. Pemerintah

memegang penuh kendali perekonomian negara. Bahkan, terkesan ada tekanan

cukup kuat untuk membatasi kewenangan BI sebagai bank sirkulasi dan penjaga

stabilitas moneter.

Harga barang-barang menjadi simpang-siur karena kurangnya

sosialisasi dari pemerintah ihwal redenominasi. Adaptasi harga barang di daerah-

daerah sangat lambat. Beredarnya dua jenis uang pada saat yang bersamaan, uang

lama dan uang baru, memicu munculnya masalah baru. Situasi bertambah pelik

karena saat itu Indonesia sedang dilanda keguncangan setelah peristiwa G30S
42

tahun 1965. Kecemasan masyarakat atas gejolak politik dan situasi ekonomi yang

kian memburuk menambah krisis kepercayaan terhadap pemerintah.

In the second half of 1965, shortly before the G30S attempted coup,

Soekarno introduced a new economic conception berdikari (berdiri di atas kaki

sendiri, standing on one’s own feet) as a part of Ekonomi Terpimpin and

subsequent stages of the Indonesian revolution. This concept is in fact not

substantially different from the previous ones, but linguistically it includes more

political indoctrination. Soekarno focuses his berdikari economic conception to a

direct confrontation between the new emerging forces (NEFO), breaking the

‘lifeline of imperialism’, and the old established forces (OLDEFO), seeking to

protect the ‘lifeline of imperialism’ (Rahardjo, 2001).


BAB IV

KONTEKS EKONOMI TERPIMPIN DALAM PERCATURAN

LUAR NEGERI

Pada pidato 17 Agustus 1964, Bung Karno mengemukakan konsep

Trisakti, yakni: berdaulat dalam bidang politik, berdikari (berdiri di atas kaki

sendiri) dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Menurutnya, sebuah negara tidak akan mampu berdikari dalam ekonomi dan

berkepribadian dalam kebudayaan jika tidak berkedaulatan dalam politik (Rahab,

2014). Satu tahun setelahnya, Bung Karno membuka pidato dengan memaparkan

situasi politik saat itu, mulai dari pemberontakan yang terjadi di berbagai daerah,

hingga ulasan mengenai situasi politik internasional yang memengaruhi keadaan

di Indonesia.

Belenggu ekonomi asing di dalam negeri sendiri disadari oleh para

pendiri bangsa. Mereka merasa diawasi oleh pelaku ekonomi asing di wilayah

negerinya sendiri. Kekhawatiran mereka bukan tidak beralasan karena di tahun

tahun awal kemerdekaan Indonesia telah menghadapi blokade ekonomi.

Berjalinnya perkembangan politik domestik dengan kebijakan luar

negeri masa itu mengarah ke situasi dimana politik menjadi panglima dan

melahirkan politik “berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan

berkepribadian dalam budaya”. Sebagai konsekuensi dijalankannya demokrasi

terpimpin adalah pelaksanaan sistem ekonomi terpimpin. Semangat politik

ekonomi berdikari nampak pada Tap MPRS No. VI/MPR/1965 yang diwujudkan
dalam kebijakan promosi dan proteksi produksi dalam negeri. Selebihnya tidak

ada kebijakan yang


44

secara tersurat menolak bantuan luar negeri walaupun dalam suasana konfrontasi

pada pidato 17 Agustus 1964 Presiden Sukarno sempat menyatakan “go to hell

with your aid.”

Kendati politik ditempatkan sebagai panglima, kebijakan bantuan luar

negeri tetap ditempatkan sebagai bagian dari kebijakan pembiayaan meski dengan

rambu-rambu tidak bertentangan dengan Manifesto Politik. Rumusan kebijakan

seperti tertuang dalam ketetapan tahun 1960 dan tahun 1963 menunjukkan

pandangan bahwa bantuan luar negeri hanyalah merupakan pelengkap. Tampak

pula adanya kesadaran bahwa beban rakyat sudah cukup berat. Tercermin pula

pandangan bahwa bantuan luar negeri bukan semata-mata merupakan urusan

pemerintah (eksekutif) melainkan juga urusan rakyat secara keseluruhan

karenanya bantuan luar negeri perlu diatur dengan undang-undang.

Ketetapan MPRS tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara dijabarkan

oleh pemerintah dalam bentuk Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional

Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961 – 1969. Dalam dokumen ini kembali

ditegaskan bahwa jumlah kredit luar negeri untuk pembangunan harus dibatasi

dan tiap-tiap kredit harus melalui peraturan perundangan yaitu cara dan

proyeknya. Bukan itu saja dalam dokumen ini pemerintah telah “berani”

mengambil kebijakan kuantitatif dalam pinjaman luar negeri yaitu tidak melebihi

20% dari volume pembiayaan Pola Pembangunan.

Secara implisit hal ini menunjukkan bahwa kondisi politik nasional dan

internasional saat itu memberikan tekanan yang sangat kuat terhadap ekonomi

Indonesia yang masih berusia sangat muda. Tentu saja hal ini akan mengancam
45

keberlangsungan eksistensi negara Indonesia, khususnya dalam bidang

ekonominya. Sejak 1957 – 1965, oleh sebagian sarjana disebut sebagai era

“malapetaka bagi ekonomi” Indonesia. Soekarno telah menjerumuskan

perekonomian Indonesia ke jurang kehancuran, begitulah premis mayor penilaian

pada saat itu. Bidang ekonomi adalah sendi dari kehidupan dan kesejahteraan

nasional. Oleh karena itu, perbaikan bidang ekonomi adalah dasar dari

pembangunan secara keseluruhan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan swasta.

Kerja sama ini akan berjalan lancar ketika negara bisa menjamin keamanan dan

kestabilan mata uang serta memaksimalkan penggunaan anggaran belanja negara.

Di depan sidang pleno Depernas (Dewan Perancangan Nasional) dinyatakan

bahwa ekonomi nasional dijalankan dengan melikuidasi masyarakat kolonial

sebagai masyarakat mutlak untuk merintis jalan menuju pembentukan ekonomi

nasional. Hal ini memaknai bahwa adanya satu tahap peralihan yang terjadi dari

ekonomi kolonial ke ekonomi nasional.

As the political conditions deteriorated in the late 1950s, the


Indonesian government adopted an increasingly anti-Western posture.
Not surprisingly, the Indonesian government during this period did not
welcome new foreign direct investment, although a number of new
industrial projects were set up with foreign credits, mainly
government-to-government credit but also some private suppliers’
credit. When political relations with the U.S. and Britain also
deteriorated in the early 1960s, the Indonesian government also took
over British and American enterprises with the pretext to protect these
enterprises against hostile labour organizations (Sadli, 1972:202).

Keadaan Ekonomi Terpimpin yang dikatakan berhaluan

sosialis/komunis membuat Indonesia semakin sulit mendapatkan dana dari

negara-negara Barat baik dalam bentuk pinjaman maupun penanaman modal asing

(PMA). Dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal


46

dikatakan bahwa penanaman modal asing (PMA) adalah kegiatan menanamkan

modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang

dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing

sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.

Sedangkan untuk membiayai rekonstruksi ekonomi dan pembangunan

selanjutnya, Indonesia sangat membutuhkan dana yang sangat besar; dan ini

hanya bisa didapat dari negara-negara Barat.

Bantuan luar negeri adalah berbagai pinjaman dan hibah luar negeri

dalam berbagai bentuk, skema dan persyaratannya yang diupayakan dan diterima

Pemerintah Indonesia dari pemerintah negara lain dan/atau organisasi/lembaga

antar pemerintah dan swasta internasional/multilateral, dan yang diupayakan dan

diterima oleh organisasi non pemerintah Indonesia dari pemerintah negara lain

dan atau organisasi/lembaga antar pemerintah internasional/multilateral

(government to government, private to government, dan government to private).

Selama masa peralihan, pinjaman luar negeri dipermudah dengan

modus untuk memperlancar pembangunan yang sesuai dengan rencana

pemerintah. Persoalan modal asing akan bisa diterima pemerintah asal tidak

membebani rakyat. Modal asing tersebut akan diterima dalam bentuk pinjaman

luar negeri, bukan berupa penanaman modal. Untuk menjamin lancarnya

perdagangan yang juga mendatangkan modal devisa, maka penting sekali bagi

negara untuk menguasai kegiatan ekspor dan impor dari bahan-bahan baku yang

penting. Demikian halnya dengan distribusi barang di dalam negeri juga dikuasai

oleh negara, sedangkan nasionalisasi perusahaan asing Belanda dimaksudkan


47

untuk menciptakan dasar modal nasional. Di bidang ekspor impor serta devisa dan

kredit, dijalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk melepaskan

ketergantungan perdagangan Indonesia dari satu pasar.

Proses nasionalisasi tersebut menjadi tanggung jawab Pemerintah

Indonesia dan ditujukan untuk memperoleh keuntungan negara dalam rangka

pembangunan ekonomi nasional dan pada akhirnya akan dapat memberikan

manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Dengan

demikian tujuan utama pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi terhadap

perusahaan-perusahaan milik Belanda itu adalah lebih memperkokoh potensi

ekonomi nasional Indonesia, juga untuk melikuidasi kekuasaan ekonomi kolonial,

dalam hal ini ekonomi kolonial Belanda.

Ketika kondisi politik negara ditandai oleh ketidakjelasan dan

ketidakstabilan yang besar, ini menjadi masalah berat yang menghambat

pertumbuhan ekonomi karena sektor swasta ragu untuk berinvestasi. Sekalipun

pada tahun-tahun awalnya setelah kemerdekaan Indonesia mengalami sedikit

perkembangan ekonomi, perkembangan ini segera hilang karena ketidakstabilan

situasi politik (terutama setelah pemberontakan-pemberontakan wilayah dan

nasionalisasi aset-aset Belanda pada 1957-1958). Pada tahun 1960an, ekonomi

Indonesia dengan cepat hancur karena hutang dan inflasi, sementara ekspor

menurun. Pendapatan devisa dari sektor perkebunan jatuh dari 442 juta dollar

Amerika Serikat (AS) pada tahun 1958 ke 330 juta dollar AS di tahun 1966.

Puncak inflasi berada di atas 100% (year-on-year) pada tahun 1962-1965 karena

pemerintah dengan mudahnya mencetak uang untuk membayar hutang dan


48

mendanai proyek-proyek megah (seperti pembangunan Monas). Pendapatan per

kapita Indonesia menurun secara signifikan (terutama di tahun 1962-1963).

Sementara itu, bantuan asing yang sangat dibutuhkan berhenti mengalir setelah

Sukarno menolak bantuan dari AS dan mengeluarkan Indonesia dari keanggotaan

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena masuknya Malaysia sebagai negara

anggota PBB (Indonesia menentang pendirian Malaysia pada tahun 1963).

Sebaliknya, Sukarno menjalin hubungan lebih erat dengan Republik Rakyat

Tionghoa dan Korea Utara.

Masa Demokrasi Terpimpin merupakan masa yang sulit bagi Indonesia

dimana terjadi ketidak stabilan baik di bidang politik maupun ekonomi. Masa–

masa Demokrasi Terpimpin terjadi banyak goncangan, yaitu adanya masalah

usaha pembebebasan Irian Barat, masalah dengan Malaysia, serta keadaan

ekonomi yang sangat kritis, bahkan disebut masa Demokrasi Terpimpin

merupakan masa dimana ekonomi mengalami hyper inflasi. Angka pendapatan

nasional antara tahun 1953- 1959 naik hanya 20%, dimana jumlah penduduk pada

tahun 1950 adalah 77, 2 juta jiwa, pada 1955 berjumlah 85, 4 juta jiwa, dan

menurut sensus pada tahun 1961 adalah 97 juta jiwa.4 Dalam tahun 1960-1968,

sebelum Repelita dimulai produksi beras sebagai bahan makanan utama hanya

naik 1,3 per tahun padahal penduduk naik lebih dari 2% per tahun.5 Memang

pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia semakin meningkat, dari sebelumnya

yaitu pada masa-masa terakhir jaman penjajahan penduduk bertambah 1, 5%

setiap tahun dan setelah kemerdekaan pertumbuhan penduduk menjadi lebih

cepat. Melihat fakta tersebut Indonesia melakukan upaya untuk mencari bantuan
49

dari negara lain karena jumlah penduduk yang meningkat tajam tidak dapat

dicukupi dengan hasil pangan dari negara sendiri walaupun Indonesia dikenal

sebagai negara agraris.

Perkembangan politik internasional membawa Indonesia untuk

melakukan kerja sama dengan beberapa negara Eropa Timur. Perjanjian dagang

dengan negara Eropa Timur ini di tanda tangani pada tahun 1958 dan 1959, dan

terus berlanjut sampai tahun 60-an (Majahani, 1970: 12 – 13). Lebih jauh dalam

lapangan ekonomi menurut Laporan Bank Indonesia tahun 1960 – 1965,

Indonesia selalu menghadapi persoalan menurunnya produksi ekspor dan

membesarnya defisit anggaran negara, naiknya jumlah penduduk, menurunnya

pendapatan riil nasional, naiknya tingkat inflasi. Menurunnya produksi ekspor

sebagai penghasilan utama negara sangat berpengaruh pada neraca pembayaran

luar negeri Indonesia. Menurut laporan Bank Indonesia, penyebab menurunnya

nilai ekspor adalah meningkatnya harga dalam negeri sehingga biaya produksi

meningkat, sehingga mengakibatkan devisa yang didapat tidak memadai untuk

melanjutkan produksi.

Selama berjalannya Ekonomi Terpimpin, Indonesia banyak menerima

bantuan asing baik yang datang dari Uni Soviet maupun yang datang dari Blok

Barat. Sebagai contoh adalah kerja sama Indonesia dengan perusahaan minyak

Caltex dan Shell untuk mendirikan Permina/Permindo. Dalam konsensi perjanjian

ladang minyak ini, Amerika Serikat dan Inggris memberikan pinjaman terhadap

Indonesia untuk mengelola perusahaan minyak bumi di Sumatera Utara. Dari Uni

Soviet, Indonesia menerima bantuan dalam bidang kemiliteran dan proyek sosial
50

lainnya. Selain itu, Indonesia juga bekerja sama dengan Jepang dalam

perdagangan dan pembuatan jalan raya di Kalimantan.

Perkembangan politik dalam negeri Indonesia yang semakin memanas

akibat konfrontasi terhadap Malaysia dan sikap Amerika dan Inggris terhadap

Indonesia dalam politik internasional, pada 17 Agustus 1965, membuat Indonesia

menarik diri dari keanggotaan IMF dan IBRD. Sementara itu, sebagai anggota

International Finance Corporation, Indonesia telah mengundurkan diri sejak

1961. Akibat memanasnya politik karena konfrontasi Malaysia, Amerika

melakukan boikot ekonomi terhadap Indonesia yang juga dilakukan oleh beberapa

negara Eropa Barat lainnya. Tindakan boikot oleh sebagian negara barat ini

membuat Indonesia berpaling pada beberapa negara diEropa Timur, khususnya

Uni Soviet.

Pemerintah mempunyai tugas berat dalam menjaga kestabilan moneter

pada masa Demokrasi Terpimpin disebabkan oleh inflasi besar-besaran yang

terjadi di Indonesia pada masa tersebut. Kestabilan moneter ini tergantung pada 4

sektor, yaitu anggaran belanja, neraca perdagangan luar negeri (termasuk ekspor

dan impor), penanaman modal, dan penabungan. Jadi perdagangan luar negeri

termasuk salah satu sektor yang harus dijaga, selain untuk eksistensi Indonesia di

mata dunia juga untuk menjaga kestabilan moneter melalui kegiatan perdagangan

yang dilakukan dengan berbagai negara. Bagi Indonesia titik tolak formalideal

rumusan mengenai dasar dan tujuan politik luar negeri Indonesia adalah yang

terdapat di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dasarnya yaitu

Pancasila, sedangkan prinsip dasar Politik Luar Negeri Indonesia adalah Politik
51

Bebas Aktif yang pertama kali dicetuskan oleh Soetan Sjahrir pada Asia

Conference di New Delhi pada tahun 1946.

Dalam pelaksanaan politik luar negerinya, Indonesia memiliki sifat

politik luar negeri yang ditentukan oleh kesejahteraan, dan keadilan di dunia ini.

Melihat adanya dua blok besar, yaitu blok kapitalis dan blok komunis, kita bebas

menentukan sikap yang pada prinsipnya tidak memihak, karena berdasarkan

ideologi Pancasila kita tidak memihak antara kapitalisme maupun komunisme itu,

sepanjang mengenai pertentangan internasional terutama di bidang ideologi. Jadi

arti kata “bebas” adalah tidak memihak dalam pertentangan antara blok Barat

maupun blok Timur. Apabila kita mengambil tindakan yang kebetulan sejalan

dengan salah satu blok, maka hal tersebut karena sikap yang kita ambil berkaitan

dengan kepentingan nasional dalam kurun waktu dan keadaan tertentu yang

kebetulan sejalan dengan salah satu blok.

Contoh kasusnya adalah Indonesia merupakan negara yang anti

komunis, tetapi pada masa Demokrasi Terpimpin dilakukan pembentukan poros

Jakarta Peking dengan alasan Indonesia membutuhkan bantuan militer dan

logistik berkaitan dengan konfontasi Malaysia, dan membutuhkan bantuan modal

asing. Sedangkan makna ―aktif ―dari politik luar negeri Indonesia adalah sesuai

dengan tujuan nasional kita yang berpacu pada Undang-Undang Dasar 1945

dimana kita tidak boleh diam saja, tapi secara aktif memperjuangkan

kemerdekaan, agar bebas dari penjajahan dan berperan aktif dalam menjaga

keamanan dunia.
52

Jadi dapat dikatakan bahwa politik bebas aktif yang diterapkan

Indonesia merupakan politik yang tetap menjungjung tinggi wibawa dan harta

martabat bangsa dalam mengambil sikap dan berhubungan dengan negara-negara

lain. Penerapan politik bebas aktif dianggap merupakan kebijakan yang tepat

dimana dunia sedang berada dalam dua kekuasaan besar. Dengan politik bebas

aktifnya, Indonesia tetap dapat berhubungan dengan kekuatan manapun sesuai

dengan kepentingan negara. Politik bebas aktif membuat Indonesia diterima baik

oleh Amerika Serikat maupun Uni Soviet. Kepiawaian Soekarno dalam

berdiplomasi juga menjadi salah satu modal utama Indonesia dalam menjalin

komunikasi dengan negara yang mempunyai kepentingan dengannya. Politik luar

negeri pada masa Demokrasi Terpimpin di bidang perdagangan dan perkreditan.

Di sinilah letak sumber pengertian dan latar belakang tindakan-tindakan

pemerintahan Soekarno selama Demokrasi Terpimpin itu mengenai perkreditan

luar negeri dilandasi dengan konsep meng-arrangement dan readjustment dengan

negara-negara kreditor yang berlaku secara internasional. Masih lemahnya

ekonomi Indonesia yang disebabkan karena merupakan negara yang belum lama

merdeka, membuat Menteri Keuangan, Mr. Sutikno, berusaha menggerakkan

Indonesia untuk aktif dalam perdagangan internasional baik ekspor maupun

impor. Indonesia sebagai negara yang dalam masa pembangunan menyukai

kerjasama saling membantu secara gotong-royong, salah satunya dengan ikut

terdaftar sebagai negara yang ikut dalam perjanjian SAC (Surplus Agricultur

Commoditie) yang dibuat oleh Amerika Serikat. Mengenai pinjaman SAC

(Surplus Agricultur Commoditie), Sekjen Kementrian Luar Negeri, Soewito


53

menyambut dengan baik, sebab hal tersebut akan menimbulkan kerjasama yang

saling menguntungkan antara kedua negara, bukan saja di bidang ekonomi dan

perdagangan, tetapi dalam hubungan spirituil akan menjalinkan hubungan yang

erat. Hubungan yang terjalin antara Indonesia dan Amerika Serikat ini juga

merupakan cerminan dari tindakan penerapan politik bebas aktif yang dilakukan

oleh Indonesia, dimana Indonesia memandang Amerika Serikat sebagai negara

adidaya yang kebetulan menawarkan programnya dan Indonesia sedang dalam

kondisi membutuhkan bantuan.

Agricultural Commodities Agreement yang sebenarnya sudah ada sejak

masa Demokrasi Liberal yaitu sejak tahun 1956 antara kedua belah pihak

disepakai tentang Surplus Agricultur Commoditie (SAC) dimana Amerika Serikat

memberikan bantuan berupa pengiriman kelebihan hasil pertanian ke Indonesia

dengan pembayaran menggunakan uang rupiah. Pada masa Demokrasi Terpimpin

ini perjanjian komoditas pertanian pertama kalinya dilakukan pada 5 November

1960, dengan judul “Agricultural Commodities Agreement between the

Government of the Republic of Indonesia and the Government of the United

States of America Under Title-I of the Agricultural Trade Development and

Assistance Act of 1954 as Amended”. Berdasarkan dokumen Kementrian Luar

Negeri isinya adalah kesepakatan-kesepakatan antara kedua belah pihak dalam

menjalankan pengembangan perdagangan. Selain itu juga terdapat surat atau

tulisan dari sekretaris Jendral Kementrian Luar Negeri, Suwito Kusumowidagdo

yang berisi tentang deposito Indonesia berkaitan dengan perjanjian yang telah
54

dilakukan. Pada pinjaman SAC tanggal 5 November 1960 Amerika Serikat

mengirim bantuan senilai dengan 16 juta dollar.

Ada pandangan yang mengatakan bahwa bantuan dari luar negeri, baik

yang berupa grant maupun utang dapat meniadakan keharusan pengorbanan

dalam negeri untuk pembangunan. Bantuan luar negeri hanya dapat bersifat

tambahan saja. Meskipun bantuan luar negeri baik barang ataupun tenaga ahli,

seringkali merupakan unsur yang tak dapat dielakkan dan bahkan kadang-kadang

bersifat strategis.

Peristiwa yang tidak bisa dipisahkan dari gengsi perekonomian Indonesia

dalam percaturan luar negeri adalah demi mengharumkan ideologi nasionalisme

Indonesia, Soekarno menggelar pesta olahraga negara-negara baru merdeka

(Ganefo) pada tahun 1962 dan Asian Games pertama kali di Jakarta tahun 1964.

Kompleks olahraga mewah Gelora Bung Karno menjadi saksi bisu dua peristiwa

olahraga berskala dunia itu. Selama 32 tahun Orde Baru dan 12 tahun Era

Reformasi tidak mampu mendirikan kompleks olahraga megah dengan stadion

utama yang berkapasitas 100.000 orang.

Kebijakan strategis lain di bidang ekonomi adalah landreform sebagai

reaksi atas struktur kepemilikan tanah yang terpusat pada pemilik modal seperti

orang Belanda, Cina, Arab, dan pengusaha pribumi yang dekat dengan pengusaha-

penguasa Belanda maupun yang berkolaborasi dengan penguasa-penguasa Cina,

Arab, India, dan lain-lain. Sebagai landasan hukum, diterbitkan Undang-Undang

Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960. Melalui kebijakan tersebut, pemerintahan

Soekarno hendak mengembalikan hak kepemilikan tanah kepada rakyat Indonesia,


55

khususnya para petani yang tidak memiliki tanah dan menjadi petani penggarap.

Dari sepakterjangnya itulah, pembangunan era kepemimpinan bung Karno disebut

sebagai national character building.

Pada 1960, komponen ini memiliki peranan 80% dari PDB dan meningkat

hingga 90% pada 1966. Sementara investasi hanya tercatat sebesar 5% dari PDB.

Pada periode tersebut, investasi tidak banyak dilakukan karena rendahnya tingkat

tabungan domestik. Penduduk masih banyak yang mengakumulasikan simpanan

mereka pada aset yang tidak produktif, seperti perhiasan, emas, dan batik. Dari

sisi fiskal, pengeluaran pemerintah yang selalu melebihi penerimaan telah

mengakibatkan persoalan defisit anggaran yang besar.

Pada akhir dekade 50-an, kontribusi sumber-sumber penerimaan itu mulai

menurun karena memburuknya situasi pasar dunia yang berdampak pada

komoditas utama Indonesia seperti karet. Selain itu, akibat ditetapkannya kurs

devisa yang terlalu rendah, terjadi peningkatan kegiatan penyelundupan ke

Singapura dan beberapa negara lain. Selama era Orde Lama, sistem perpajakan

dalam negeri masih mengikuti hukum pajak pada masa kolonial, mulai dari Pajak

Perseroan 1925, Pajak Pendapatan 1944, Pajak Upah 1935, dan sebagainya.

Adapun upaya untuk memperluas basis pemajakan dilakukan dengan

adanya penerbitan UU Nomor 35 Tahun 1953 mengenai Penetapan UU Darurat

Nomor 19 Tahun 1951 tentang Pemungutan Pajak Penjualan. Tarifnya 5%.

Sebelum disetujui, UU Darurat tersebut memberikan dampak politik yang besar di

parlemen hingga sempat menciptakan mosi tidak percaya atas Kabinet Natsir.

Selain itu, terdapat pula Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pajak


56

Dividen 1959 yang mengatur penghasilan bruto atas dividen akan dikenakan tarif

sebesar 20%. Periode ini juga meletakkan tonggak desentralisasi pemungutan

PBB melalui Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda) yang dimulai 1965.


55

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Marhaenisme lahir sebagai suatu ajaran tentang asas dan cara

perjuangan rakyat Indonesia dari masyarakat kolonial. Marhaenisme

merupakan asas yang menghendaki sistem masyarakat yang mengutamakan

kesejahteraan serta keselamatan kaum Marhaen. Ide sentral dari Marhaenisme

yang mencakup demokrasi politik dan ekonomi, sama halnya dengan ide

sentral yang terkandung dalam tema demokrasi, yaitu partisipasi rakyat.

Demokrasi masyarakat tumbuh karena sosio-nasionalis yang merangkul

seluruh kepentingan masyarakat Indonesia. Sosio-demokrasi diharapkan

kelak menjadi susunan peri kehidupan kebangsaan dan perekonomian harus

dibangun agar dapat mengangkat martabat kaum Marhaen menuju

kemakmuran.

Ekonomi Berdikari adalah istilah pemahaman Perekonomian Soekarno

yang digagas pada masa demokrasi terpimpin. Hal ini jelas membuktikan

bahwa konsep ekonomi berdikari tidak dapat terlepas dari konsep dan sistem

Ekonomi Terpimpin. Semua aktivitas ekonomi disentralisasikan di pusat

pemerintahan, sementara daerah merupakan kepanjangan dari pusat. Ekonomi

terpimpin mengharuskan pemerintah untuk menguasai dan bahkan

menyelenggarakan sebagian besar seluk-beluk kegiatan ekonomi rakyat dan

negara, hingga dengan tepat dapat mengarahkan perkembangan bangsa dan

negara.

55
56

Selama berjalannya Ekonomi Terpimpin, Indonesia banyak menerima

bantuan asing baik yang datang dari Uni Soviet maupun yang datang dari

Blok Barat. Sebagai contoh adalah kerja sama Indonesia dengan perusahaan

minyak Caltex dan Shell untuk mendirikan Permina/Permindo. Dalam

konsensi perjanjian ladang minyak ini, Amerika Serikat dan Inggris

memberikan pinjaman terhadap Indonesia untuk mengelola perusahaan

minyak bumi di Sumatera Utara. Dari Uni Soviet, Indonesia menerima

bantuan dalam bidang kemiliteran dan proyek sosial lainnya. Selain itu,

Indonesia juga bekerja sama dengan Jepang dalam perdagangan dan

pembuatan jalan raya di Kalimantan.

Perkembangan politik dalam negeri Indonesia yang semakin memanas

akibat konfrontasi terhadap Malaysia dan sikap Amerika dan Inggris terhadap

Indonesia dalam politik internasional, pada 17 Agustus 1965, membuat

Indonesia menarik diri dari keanggotaan IMF dan IBRD. Sementara itu,

sebagai anggota International Finance Corporation, Indonesia telah

mengundurkan diri sejak 1961. Akibat memanasnya politik karena konfrontasi

Malaysia, Amerika melakukan boikot ekonomi terhadap Indonesia yang juga

dilakukan oleh beberapa negara Eropa Barat lainnya. Tindakan boikot oleh

sebagian negara barat ini membuat Indonesia berpaling pada beberapa negara

di Eropa Timur, khususnya Uni Soviet. penjajahan dan berperan aktif dalam

menjaga keamanan dunia. Jadi dapat dikatakan bahwa politik bebas aktif yang

diterapkan Indonesia merupakan politik yang tetap menjungjung tinggi

wibawa dan harta martabat bangsa dalam mengambil sikap dan berhubungan

56
57

dengan negara-negara lain. Penerapan politik bebas aktif dianggap merupakan

kebijakan yang tepat dimana dunia sedang berada dalam dua kekuasaan besar.

B. Saran

Berdasarkan pembahasan yang telah disajikan yang masih jauh dari kata

sempurna, penulis mengajukan beberapa saran yang diharapkan dapat

memberi masukan, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi yang

memperhatikan dan ingin melanjutkan penelitian ini:

1. Mencoba mengkaji kembali pengaruh Marhaenisme dalam perekonomian

Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin (1959 – 1966). Diharapkan

kajian-kajian tersebut mampu menjadi pengetahuan baru bagi

perkembangan materi ini.

2. Dalam penelitian ini, penulis banyak mengalami kendala dalam pencarian

data yang hanya ditemukan di Perpustakaan Nasional. Diharapkan adanya

rekomendasi pencarian sumber-sumber terkait pengaruh Marhaenisme

dalam perekonomian Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin (1959 –

1966).

57
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung. (2011). Metodologi Penelitian Sejarah Islam.

Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Adams, Cindy. (2018). Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (edisi revisi).

Jakarta: Yayasan Bung Karno.

Akmaliah, Wahyudi. (2015). Indonesia yang Dibayangkan: Peristiwa 1965–1966

dan Kemunculan Eksil Indonesia. Jakarta: Jurnal Masyarakat dan Budaya

Volume 17 No. 1.

Al-Rahab, Amiruddin. (2014). Ekonomi Berdikari Soekarno. Depok: Komunitas

Bambu.

Ariandi, Kurniawan. (2001). Tinjauan Singkat Kebijakan Dasar Bantuan Luar

Negeri Pemerintah Indonesia 1960 – 1999. Jakarta: Majalah Perencanaan

Pembangunan Bappenas Edisi 24.

Bagin. (2004). Pemahaman Saya tentang Ajaran Bung Karno I. Jakarta: KKJ

BerdikaRI.

Dahm, Bernhard. (1987). Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta:

Penerbit LP3ES.

Daras, Roso. (2013). Total Bung Karno. Depok: Penerbit Imania.

Departemen Penerangan. (1965). 20 Tahun Indonesia Merdeka jilid IV. Jakarta:

Departemen Penerangan RI.

Djaja, Tamar. (1981). Soekarno-Hatta: Persamaan dan Perbedaannya. Jakarta:

PT Sastra Hudaya.

58
Ismalina, Poppy. (2013). Pemikiran Ekonomi Soekarno: Anti-Kapitalisme,

Penguatan Peran Negara, dan Penegakan Kedaulatan Ekonomi. Jakarta:

PT Kompas Media Nusantara.

Kasenda, Peter. (2014). Bung Karno: Panglima Revolusi. Yogyakarta: Percetakan

Galangpress.

Kartodirdjo, Sartono. (1992). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Laksono, Anton Dwi. (2018). Apa Itu Sejarah: Pengertian, Ruang Lingkup,

Metode, dan Penelitian. Pontianak: Derwati Press.

Madjid, M. Dien dan Johan Wayudhi. (2014). Ilmu Sejarah: Sebuah Pengantar.

Jakarta: Prenada Media Group.

Moleong, Lexy J. (2018). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Mulyana, Deddy. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu

Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Notosusanto, Nugroho, Sartono Kartodirdjo, Marwati D. Pusponegoro. (1976).

Sejarah Nasional Indonesia jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka.

Notosusanto, Nugroho, Marwati D. Pusponegoro. (2008). Sejarah Nasional

Indonesia jilid V. Jakarta: Balai Pustaka.

Nurcahyanti, Denik. (2014). Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Kota

Surabaya Tahun 1950 – 1966. Surabaya: Jurnal Avatara Volume 2, No.

3.

59
Pranoto, Suhartono W. (2010). Teori dan Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Graha

Ilmu.

Purwanto, Bambang. (2013). ‘Guided Economics’: The Construktion of Post-

colonial Indonesian Political Images, 1950s-1960s. Yogyakarta: Jurnal

Lembaran Sejarah Vol. 10, No. 1.

Rahardjo, Iman Toto dan Herdianto WK. (2001). Bung Karno dan Tata Dunia

Baru. Jakarta: PT. Grasindo.

Ranuwihardja, et. al. (2001). Bung Karno dan Ekonomi Berdikari: Kenangan 100

Tahun Bung Karno. Jakarta: PT. Grasindo.

Saksono, Gatut. (2007). Marhaenisme Bung Karno: Marxisme Ala Indonesia.

Yogyakarta: Ardana Media.

Seda, Frans. (1984). Ceramah Menteri Perkebunan dalam buku Jalur Baru

Sesudah Runtuhnya Ekonomi Terpimpin. Jakarta: Penerbit Sinar

Harapan.

Soekarno. (1963). Dibawah Bendera Revolusi jilid I. Jakarta: Panitia Penerbit

Dibawah Bendera Revolusi.

----------. (1965). Dibawah Bendera Revolusi jilid II. Jakarta: Panitia Penerbit

Dibawah Bendera Revolusi.

Soesastro, et. al. (2005). Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia

dalam Setengah Abad Terakhir: Buku 2 (1959-1966) Ekonomi

Terpimpin. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Suroso, Suar. (2008). Bung Karno: Korban Perang Dingin. Jakarta: Hasta Mitra.

60
Susilo, Taufik Adi. (2017). Soekarno: Biografi Singkat (1901-1970). Yogyakarta:

Garasi.

Tjokroamidjojo, Bintoro. (1995). Perencanaan Pembangunan. Jakarta: PT Toko

Gunung Agung.

Wasino. (2016). Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Asing Menuju Ekonomi

Berdikari. Semarang: Jurnal Paramita Vol. 26 No. 1.

Wilson. (2013). Soekarno, “Staatspartij”, dan Demokrasi Terpimpin. Jakarta: PT

Kompas Media Nusantara.

61
RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama : Aghniannisa Wulandari


Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 16 April 1999
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Menikah
Alamat : Perumahan Pabuaran Asri Blok A7 No. 36
RT 007/008 Kel. Pabuaran Mekar, Kec. Cibinong,
Kab. Bogor 16916
Alamat Email : aghniannisawulandari@gmail.com
Pendidikan Formal :
1. Sekolah Dasar Negeri Cilangkap 2 di Depok, tahun 2011
2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 di Depok, tahun 2014
3. Sekolah Menengah Atas Negeri 1 di Cibinong, tahun 2017
Pengalaman Organisasi :
1. Unit Aktivitas Mahasiswa Pendidikan Sejarah sebagai Sekretaris tahun 2018 –
2019.
2. Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan dan Pengetahuan
Sosial (BEM FIPPS) sebagai Sekretaris II tahun 2019 – sekarang.

Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan dapat
dipertanggungjawabkan serta dipergunakan sebagaimana mestinya.

62

Anda mungkin juga menyukai