Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH ANTROPOLOGI PENDIDIKAN

Dosen Pengajar:

Drs. Didik Sugeng Pambudi, M.S

Oleh Kelompok VI

KETUA : Anzori (180210101042)

ANGGOTA :

Excelsa Suli Wildhatul Jannah (180210101035)

Rizki Aulia Akbar (180210101048)

Evi Tri Wulandari (180210101057)

Ary Febiyansyah (180210101070)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JEMBER

TAHUN 2018
MAKALAH ANTROPOLOGI PENDIDIKAN

Dosen Pengajar:

Drs. Didik Sugeng Pambudi, M.S

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Pendidikan

Oleh Kelompok VI

KETUA : Anzori (180210101042)

ANGGOTA :

Excelsa Suli Wildhatul Jannah (180210101035)

Rizki Aulia Akbar (180210101048)

Evi Tri Wulandari (180210101057)

Ary Febiyansyah (180210101070)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JEMBER
TAHUN 2018

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya. Karena hidayah-Nya sehingga penyusun
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ANTROPOLOGI
PENDIDIKAN” dengan tepat waktu. Meskipun banyak rintangan dan hambatan yang
penyusun alami dalam proses pengerjaannya, namun penyusun berhasil
menyelesaikannya dengan baik. Dalam penyusunan makalah ini, penyusun tidak lupa
mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
proses penyusunan makalah. Penyusun mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada :

1. Bapak Drs. M. Hasan, M.Sc., Ph.D selaku Rektor Universitas Jember yang
telah memberikan fasilitas kepada penyusun.
2. Bapak Drs. Didik Sugeng Pambudi, M.S yang telah memberi bimbingan, jasa,
dan pemikirannya kepada penyusun sehingga penyusun dapat menyelesaikan
tugas dengan baik.

Harapan penyusun semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan


dan pengalaman bagi para pembaca. Kepada para pembaca, penyusun mengharapkan
kritik dan saran atas makalah kami yang sederhana ini.

Jember, 20 September 2018 Penyusun


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................ii

DAFTAR ISI..................................................................................................iii

DAFTAR GAMBAR.....................................................................................iv

I. PENDAHULUAN.....................................................................................1
I.1 Latar Belakang....................................................................................1
I.2 Rumusan Masalah...............................................................................2
I.3 Tujuan.................................................................................................2
I.4 Manfaat...............................................................................................2
II. PEMBAHASAN.......................................................................................4
2.1 Konsep Kebudayaan............................................................................4
2.2 Hubungan antara Kebudayaan dengan Kepribadian...........................7
2.3 Hubungan antara Kebudayaan dengan Pendidikan.............................9
2.4 Profil Karakteristik Fisik Manusia Indonesia.....................................13
2.5 Profil Karakteristik Lingkungan Fisik Manusia Indonesia.................16
2.6 Profil Kemajemukan Sosial Budaya Indonesia...................................18
2.7 Implikasi Profil Karakteristik Sosial Budaya Indonesia terhadap
Penyelenggaraan Pendidikan.............................................................27

III. PENUTUP................................................................................................35
3.1 Kesimpulan.........................................................................................35

3.2 Saran....................................................................................................36

IV. DAFTAR PUSTAKA..............................................................................38

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1.1 Prof. Dr. Koentjaraningrat.....................................................4

Gambar 2.2.1 Fase Perkembangan Kepribadian..........................................7

Gambar 2.3.1 Pewarisan Kebudayaan..........................................................11

Gambar 2.4.1 Ras Negroid – Suku Papua....................................................14

Gambar 2.4.2 Ras Veddoid – Suku Enggano...............................................14

Gambar 2.4.3 Proto Melayu – Suku Batak...................................................15

Gambar 2.4.4 Deutro Melayu – Suku Madura.............................................15

Gambar 2.5.1 Wilayah Negara Indonesia....................................................16

Gambar 2.6.1 Pola Perkampungan Suku Nias.............................................21

Gambar 2.6.2 Keragaman Agama di Indonesia...........................................26

Gambar 2.7.1 Logo Gerakan Nasional Orang Tua Asuh.............................32


BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Antropologi berasal dari bahasa Yunani, “Antrophos” yang berarti manusia


dan “Logos” yang berarti ilmu. Antropologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari
budaya masyarakat. Sedangkan pendidikan berasal dari bahasa Latin, yaitu, awalan
“E” yang berarti keluar dan ”Ducare” yang berarti mengarahkan, jadi pendidikan
berarti kegiatan mengarahkan keluar. Dan secara umum, pendidikan dapat
didefinisikan sebagai pembelajaran, pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan yang
disampaikan melalui pengajaran, pelatihan atau penelitian. Pendidikan merupakan
upaya kebudayaan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Pendidikan menjadi sarana untuk mencapai tujuan pembangunan yang merata dan
menyeluruh. Sehubungan dengan itu, kita perlu mempelajari antropologi pendidikan.

Antropologi pendidikan merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari


tentang indikasi pendidikan yang terikat dengan kebudayaan masyarakat dalam
kehidupan manusia. Antropologi pendidikan berusaha menyusun generalisasi yang
bermanfaat bagi manusia khususnya dalam dunia pendidikan. Ruang lingkup
antropologi pendidikan terkait dengan pola pandang masyarakat beserta perannya.
Selain itu, menyangkut praktik pendidikan pada suatu masyarakat dengan
karakteristik yang khas, seperti pemikiran antara bekerja dan melanjutkan
pendidikan. Masyarakat industri menganggap bahwa pendidikan sangatlah penting
dan menjadi prioritas utama. Sedangkan, masyarakat pedesaan menganggap
pendidikan tidak begitu penting, karena mereka berfikir, dengan bekerja pun akan
menghasilkan uang.

Antropologi pendidikan dianggap memiliki landasan teori yang kuat daripada


cabang ilmu antropologi yang lain. Karena, dalam antropologi pendidikan ini
menyajikan aplikasi data, teori, dan metode yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah untuk mengkaji tentang presepsi pendidikan.
1.2 Rumusan Masalah

Penyusun mendapatkan rumusan masalah dari penjabaran latar belakang di


atas, yaitu :

1. Bagaimana konsep kebudayaan?


2. Bagaimana hubungan antara kebudayaan dengan kepribadian?
3. Bagaimana hubungan kebudayaan dengan pendidikan?
4. Bagaimana profil karakteristik fisik manusia Indonesia?
5. Bagaimana profil karakteristik lingkungan fisik manusia Indonesia?
6. Bagaimana profil kemajemukan sosial budaya Indonesia?
7. Bagaimana implikasi profil karakteristik sosial budaya Indonesia terhadap
penyelenggaraan pendidikan?

1.3 Tujuan

Penyusun mendapatkan tujuan dari penjabaran rumusan masalah di atas,


yaitu :
1. Untuk menjelaskan konsep kebudayaan.
2. Untuk menjelaskan hubungan antara kebudayaan dengan kepribadian.
3. Untuk menjelaskan hubungan kebudayaan dengan pendidikan.
4. Untuk menjelaskan profil karakteristik fisik manusia Indonesia.
5. Untuk menjelaskan profil karakteristik lingkungan fisik manusia
Indonesia.
6. Untuk menjelaskan profil kemajemukan sosial budaya Indonesia.
7. Untuk menjelaskan implikasi profil karakteristik sosial budaya Indonesia
terhadap penyelenggaraan pendidikan.

1.4 Manfaat

Penyusun dan pembaca mendapatkan manfaat dengan dibuatnya makalah


ini, yaitu :
1. Kita dapat lebih mengenali kemampuan dan potensi diri kita melalui
karya tulis. Kita mengetahui sampai dimana tingkat pengetahuan kita
tentang topik tertentu. Untuk mengembangkan topik itu, kita harus
berpikir, menggali pengetahuan dan pengalaman yang kita miliki.
2. Melalui kegiatan menulis kita mengembangkan berbagai gagasan. Kita
harus berpikir ilmiah, dan mengaitkannya dengan fakta yang ada.
3. Melalui makalah ini, pembaca dapat mengetahui tentang “Antropologi
Pendidikan”.
BAB II. PEMBAHASAN

2.1 Konsep Kebudayaan

Dalam arti sempit kebudayaan adalah kesenian, yaitu pikiran, karya, dan hasil
karya manusia yang memenuhi hasratnya dalam keindahan. Adapun dalam arti luas
kebudayaan adalah seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang
tidak berakar kepada nalurinya karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia
sesudah suatu proses belajar (Koentjaraningrat, 1984). Dengan kata lain kebudayaan
itu adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar
(Koentjaraningrat, 1984).

Gambar 2.1.1 Prof .Dr. Koentjaraningrat

Kebudayaan mengandung pengertian yang amat luas meliputi hampir seluruh


aktivitas kehidupan manusia karenanya demi keperluan analisis konsep tentang
kebudayaan maka kebudayaan tersebut perlu dipecah lagi ke dalam unsur-unsurnya.
Menurut Koentjaraningrat (1984) terdapat tujuh unsur universal kebudayaan, yaitu
sebagai berikut:

a. Sistem religi dan upacara keagamaan.


b. Sistem organisasi kemasyarakatan.
c. Sistem pengetahuan.
d. Bahasa.
e. Kesenian.
f. Sistem mata pencaharian hidup.
g. Sistem teknologi dan peralatan.

Tata urutan unsur-unsur universal kebudayaan di atas menggambarkan


kontinum dari unsur-unsur yang paling sukar berubah ke unsur-unsur yang paling
mudah berubah. Sebagaimana telah Anda pahami melalui Modul 2 bahwa
kebudayaan paling tidak memiliki 3 wujud, yaitu sebagai berikut.

a. Wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide- ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan.
b. Wujud sistem sosial, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks
aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
c. Wujud fisik, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya
manusia.

Ketiga wujud kebudayaan tersebut dalam kenyataan kehidupan masyarakat


tentunya tidak terpisahkan antar wujud yang satu dengan wujud yang lainnya.
Kebudayaan ideal memberi arah kepada kebudayaan dan karya manusia. Baik
pikiran-pikiran dan ide-ide maupun perbuatan dan karya manusia menghasilkan
benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik itu membentuk
suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari
lingkungan alamiahnya sehingga memengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan
juga memengaruhi cara berpikirnya.

Dalam konteks kehidupan suatu masyarakat yang majemuk keadaan sosial


budaya, Supardi Suparlan (A. W. Widjaja, 1986) membedakan kebudayaan menjadi 3
golongan, yaitu (a) Kebudayaan Suku Bangsa (yang lebih dikenal dengan nama
Kebudayaan Daerah), (b) Kebudayaan Umum Lokal, dan (c) Kebudayaan Nasional.
Kebudayaan memiliki karakteristik sebagai berikut.
a. Organik dan super organik. Kebudayaan bersifat organik sebab kebudayaan
berakar pada organ manusia, tanpa manusia berbuat, berpikir, merasa, dan
membuat benda-benda maka tidak akan ada kebudayaan. Kebudayaan super
organik karena kebudayaan hidup terus melampaui generasi tertentu dan
karena isinya lebih merupakan hasil karya manusia daripada hasil unsur
biologis.
b. Overt (terlihat) dan covert (tersembunyi). Kebudayaan terlihat (overt) dalam
bentuk tindakan-tindakan dan benda-benda, seperti rumah, pakaian, bentuk
pembicaraan yang dapat diamati secara langsung; sedangkan tersembunyi
(covert), yakni dalam aspek sikap dasar terhadap alam fisik dan alam gaib
yang mesti diinterpretasikan pengertiannya dari apa yang dikatakan dan
dilakukan anggota-anggotanya.
c. Ideal dan aktual (manifes). Kebudayaan ideal terdiri atas cara berbuat yang
mereka yakini harus dilakukan atau bagaimana seharusnya mereka
berbuat/berkelakuan; sesuai dengan kepercayaannya (normatif). Sedangkan
bersifat aktual (manifes) maksudnya kebudayaan itu merupakan tindakan-
tindakan yang nyata. Di dalam suatu masyarakat mungkin terjadi perbedaan
(ketidaksesuaian) antara yang aktual dengan yang ideal. Mungkin kejujuran
dan keadilan lebih merupakan budaya ideal daripada manifes. Kejujuran dan
keadilan hanya menjadi hiasan bibir belaka.
d. Stabil dan berubah. Terdapat hal-hal yang dipertahankan oleh masyarakat agar
tetap tidak berubah (stabil). Tetapi terjadi pada perubahan-perubahan
kebudayaan di dalam masyarakat. Para antropologi umumnya menerima
ketidaktetapan kebudayaan. (Imran Manan, 1989)

Seperti telah diuraikan terdahulu kebudayaan meliputi ide-ide, nilai-nilai,


kepercayaan-kepercayaan, norma-norma (wujud ideal). Benda-benda atau alat-alat
hasil karya manusia (wujud fisik). Dan peraturan mengenai hidup berkelompok
(wujud sistem sosial). Semua ini membentuk suatu dasar atau landasan juga
“peralatan” besar yang menempatkan manusia pada posisi yang lebih baik untuk
dapat menanggulangi realita kehidupan, untuk dapat menangani masalah-masalah
dalam menghadapi lingkungannya dalam upaya memenuhi berbagai kebutuhan
hidupnya. Ringkasnya dapat dikatakan bahwa kebudayaan merupakan dasar dan alat
untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, yaitu kelangsungan hidup organis
penyesuaian terhadap lingkungan, dan kelestarian dalam arti biologis. Berkaitan
dengan hal di atas Kerber dan Smith (Imran manan, 1989) mengemukakan fungsi
utama kebudayaan dalam kehidupan manusia, yaitu sebagai berikut.

a. Pelanjut keturunan dan pengasuhan anak.


b. Pengembang kehidupan ekonomi.
c. Transmisi budaya.
d. Religi (keagamaan).
e. Pengendalian sosial.
f. Rekreasi.

2.2 Hubungan antara Kebudayaan dengan Kepribadian

Kepribadian adalah susunan unsur-unsur akal dan jiwa yang menentukan


perbedaan tingkah laku atau tindakan dari tiap-tiap individu manusia
(Koentjaraningrat, 1983). Adapun menurut John J. Honnigman kepribadian itu
menunjukkan adanya tingkah laku, cara berpikir, dan perasaan-perasaan yang
merupakan karakteristik dari seseorang (Agraha Suhandi, 1985). Kepribadian tersebut
ada 2 jenis, yaitu kepribadian yang menunjuk kepada seseorang individu, dan
kepribadian bangsa, contohnya: kepribadian bangsa Indonesia.
Gambar 2.2.1 Fase Perkembangan Kepribadian

Kepribadian individu terbentuk di dalam lingkungan hidupnya sepanjang


hidup individu yang bersangkutan. Oleh karena itu, upaya memahami kepribadian
tanpa menghubungkan dengan konteks lingkungan hidupnya akan merupakan
gambaran mati yang kurang berarti. Memang sesunguhnya kepribadian itu tampak di
dalam tingkah lakunya yang teragakan di dalam lingkungan hidupnya.

Kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Namun,


sebaliknya kebudayaan itu menyusupi kehidupan sadar manusia, bahkan kebudayaan
memasuki diri manusia waktu tidur, yaitu dalam bentuk pola tidur dan dalam isi
mimpi sewaktu tidur. Kebudayaan membentuk manusia secara intelektual, emosional,
secara fisik dan atau tingkah laku manusia. Mengingat hal tersebut dan dengan
mengacu kepada pengertian kepribadian sebagaimana telah dikemukakan di atas,
maka dapat dipahami hubungan antara kebudayaan dengan kepribadian, yaitu bahwa
kebudayaan berpengaruh atau membangun kepribadian seseorang. Bayi yang baru
lahir seluruhnya masih tergantung kepada orang lain, ia belum mengetahui apa-apa,
tidak bisa mengendalikan emosinya, belum sanggup berbagi mengenai apa yang
dimilikinya, belum mampu membayangkan masa depannya, dan sebagainya. Namun
demikian, dengan kebudayaan masyarakatnya pada akhirnya secara bertahap ia
menjadi dewasa dengan keinginan-keinginan dan kebencian yang terkendalikan,
berpengetahuan, dan dapat berperan serta dalam kehidupan masyarakat yang
kompleks. Dilihat dari kepribadiannya, setiap masyarakat akan menunjukkan hal-hal
sebagai berikut.

a. Di dalam masyarakat yang berbeda-beda (majemuk) norma-norma


kepribadian itu berlainan.
b. Anggota masyarakat manapun selalu akan menunjukkan perbedaan-
perbedaan individual mengenai kepribadiannya.
c. Dalam semua masyarakat itu terdapat hampir semua tipe kepribadian yang
sama.
d. Dalam semua masyarakat itu terdapat macam perbedaan-perbedaan yang
sama.

Adanya perbedaan kebudayaan pada dua atau lebih kelompok masyarakat


akan menyebabkan perbedaan-perbedaan kepribadian. Hal ini disebabkan,
diperolehnya pengalaman yang berbeda-beda oleh setiap anggota kelompok
masyarakat yang berbeda kebudayaannya itu melalui hubungannya dengan
kebudayaan mereka masing-masing.

Sebaliknya dari hal di atas, dalam setiap kelompok masyarakat atau suku
bangsa dan kelompok bangsa dapat dipastikan bahwa anggota-angota suatu
masyarakat, suku bangsa atau bangsa akan bersama-sama memiliki sejumlah besar
unsur-unsur kepribadian yang sama dan umum. Unsur-unsur kepribadian yang sama
dan umum ini bersama-sama membentuk pola yang cukup terintegrasi yang disebut
tipe kepribadian dasar bagi masyarakat atau bangsa itu secara keseluruhan. Tipe
kepribadian dasar itu disebut juga communal personality, basic personality structure
atau national character. Tipe kepribadian inilah yang sering disebut sebagai
kepribadian sesuatu bangsa. Bagi bangsa Indonesia tipe kepribadian ini antara lain
adalah kehidupan gotong royong, ramah-tamah atau sering juga dikatakan bahwa
Pancasila adalah kepribadian bangsa Indonesia (Agraha Suhandi, 1985).

Kebudayaan memengaruhi manusia melalui apa yang disebut dengan


enkulturasi atau internalisasi budaya, yaitu suatu proses dimana seorang individu
menyerap cara berpikir, bertindak, dan merasa yang mencerminkan kebudayaannya.

Pendidikan/Enkulturasi berlangsung di dalam berbagai lingkungan, seperti


keluarga, sekolah, dan pergaulan di dalam masyarakat. Proses enkulturasi juga dapat
berlangsung melalui berbagai media seperti televisi, radio, film, upacara-upacara.
Dalam arti luas, bahwa pendidikan atau enkulturasi ini berlangsung dalam kehidupan
dan sepanjang hayat. Melalui uraian tadi kiranya Anda dapat memahami bahwa cara
berpikir, perasaan-perasaan dan tindakan-tindakan seseorang dipengaruhi atau
dibangun melalui pendidikan (enkulturasi). Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa kebudayaan memengaruhi (membangun) kepribadian seseorang melalui
proses enkulturasi atau pendidikan.

2.3 Hubungan antara Kebudayaan dengan Pendidikan

Pendidikan tidak pernah berlangsung di dalam suatu ruang hampa, melainkan


selalu berlangsung di dalam suatu masyarakat tertentu, dan untuk suatu tujuan
kehidupan suatu masyarakat tertentu pula. Perlu Anda catat bahwa antara masyarakat
dan kebudayaannya merupakan dwi tunggal, secara nyata tidak dapat dipisahkan.
Sebab itu, akan terdapat hubungan antara kebudayaan dengan pendidikan.

Sebelum membahas hubungan antara kebudayaan dengan pendidikan, terlebih


dahulu perlu dipahami bahwa pendidikan merupakan salah satu pranata kebudayaan.
Pranata adalah suatu kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaannya (wujud
kedua dari kebudayaan), yang mengacu kepada sistem ide, nilai-nilai, gagasan,
norma-norma, peraturan, dan sebagainya (wujud pertama dari kebudayaan), yang
dilakukan dengan menggunakan peralatan (wujud ketiga dari kebudayaan) dengan
tujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Koentjaraningrat (1984)
mengidentifikasi adanya delapan jenis pranata kebudayaan, salah satu di antaranya
pranata pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu pranata dalam kebudayaan
manusia karena itu Anda dapat pula mengatakan bahwa pendidikan merupakan
bagian dari kebudayaan. Contoh pranata pendidikan ini, antara lain pengasuhan
kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pemberantasan buta huruf,
pendidikan keagamaan, pers, perpustakaan umum.

Antara kebudayaan dengan pendidikan terdapat hubungan komplementer.


Pertama, kebudayaan berperan sebagai masukan (input) bagi pendidikan. Contohnya,
tujuan pendidikan ditentukan oleh sistem nilai yang dianut oleh masyarakat (wujud
pertama kebudayaan); kurikulum dan metode pendidikan, antara lain akan ditentukan
oleh nilai-nilai, norma-norma, dan gagasan-gagasan masyarakat (wujud pertama
kebudayaan), serta ditentukan oleh wujud kebudayaan sebagai suatu perlakuan
berpola dari suatu masyarakat (wujud kedua kebudayaan); adapun wujud ketiga dari
kebudayaan (wujud fisik berupa bangunan, OHP) akan menjadi alat bantu dalam
rangka praktik pendidikan. Kedua, pendidikan berfungsi untuk melestarikan
kebudayaan masyarakat (fungsi konservasi) dan juga berfungsi dalam rangka
melakukan pengembangan dan atau perubahan kebudayaan masyarakat ke arah yang
lebih baik (fungsi kreasi atau inovasi).

Gambar 2.3.1 Pewarisan Kebudayaan

Fungsi konservasi atau pelestarian kebudayaan merupakan fungsi pendidikan


dalam rangka pewarisan kebudayaan. Hal yang harus diwariskan kepada generasi
muda tentunya adalah kebudayaan ideal (misalnya nilai kejujuran, keadilan, pola
perilaku yang baik, dan sebagainya) sehingga kebudayaan ideal milik masyarakat
menjadi lestari. Namun demikian, pendidikan tidak cukup melaksanakan fungsi
konservasi saja, sebaliknya pendidikan juga harus melaksanakan fungsi inovasi atau
kreasi. Apabila pendidikan hanya merupakan transmisi kebudayaan saja maka
perkembangan kebudayaan akan terhambat, masyarakat hanya akan bersifat
tradisional. Di samping itu, peserta didik mungkin akan bersifat pasif karena hanya
menerima saja apa yang diwariskan para orang tua atau pendidiknya sehingga
generasi muda hanya merupakan “celupan” kebudayaan masyarakatnya. Kreativitas
generasi muda akan terhambat. Fungsi kreasi atau inovasi dari pendidikan merupakan
fungsi untuk diciptakannya kebudayaan baru yang lebih baik, sesuai dengan tuntutan
kehidupan dan perkembangan zaman.

Pendidikan atau enkulturasi yang diterima anak selama masa kanak-kanak dan
masa mudanya bersifat menstabilkan kebudayaan, sebab enkulturasi mengembangkan
kebiasaan-kebiasaan sosial yang diterima menjadi kepribadian yang makin meningkat
atau matang. Sedangkan dikala dewasa enkulturasi sering mendorong terjadinya
perubahan baik bagi dirinya maupun kebudayaan. Berkenaan dengan ini Herkovits
(Imran Manan, 1985) menunjukkan :

Perbedaan antara sifat pengalaman enkulturasi pada awal-awal kehidupan


dengan yang belakangan adalah bahwa rentangan penerimaan atau penolakan yang
sadar oleh individu terus menerus bertambah tua. Ketika ia mencapai kematangan,
seorang laki-laki atau wanita sudah menjadi terkondisi hingga ia bisa bergerak
dengan mudah dalam batas-batas perilaku yang diuji oleh kelompoknya. Sesudah itu,
bentuk perilaku baru yang dihadapinya terutama yang menyangkut perubahan
kebudayaan, penemuan baru, atau penemuan tiba-tiba, ide-ide baru yang disebarkan
dari luar masyarakatnya, yang mana seorang individu harus “memutuskan sendiri”
dan dengan demikian memainkan peranan dalam memberi arah baru kepada
kebudayaannya. Enkulturasi seorang individu selama tahun-tahun awal dari
kebudayaannya adalah mekanisme pokok yang membuat sebuah kebudayaan stabil,
sementara proses yang berjalan pada anggota masyarakat yang lebih tua sangat
penting dalam mendorong perubahan.

Telah dikemukakan dalam uraian terdahulu, bahwa kebudayaan mempunyai sifat


stabil atau konstan dan juga berubah. Stabil dalam arti beberapa elemennya seperti
bahasa, hukum berlanjut terus tanpa perubahan besar selama waktu yang panjang.
Berubah karena elemen-elemen kebudayaan baik secara perlahan dan mungkin secara
tiba-tiba mengalami penggantian, penambahan atau pengurangan. Para antropolog
mengemukakan 3 proses utama dalam perubahan kebudayaan. Ketiga jenis proses
perubahan kebudayaan yang dimaksud adalah originasi, difusi, dan reinterpretasi.
Originasi adalah penemuan elemen-elemen baru dalam suatu kebudayaan. Difusi
adalah peminjaman elemen-elemen kebudayaan baru dari kebudayaan lain. Adapun
reinterpretasi adalah modifikasi elemen-elemen budaya yang ada untuk memenuhi
tuntutan zaman.

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam kebudayaan masyarakat terkadang


menimbulkan apa yang disebut cultural lag atau kesenjangan budaya. Di dalam
masyarakat, misalnya kita dapat melihat cepatnya perubahan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sementara nilai-nilai takhayul tertentu sebagaimana sering ditayangkan di
telivisi, atau kepercayaan terhadap perdukunan masih dianut oleh sebagian
masyarakat. Perkembangan teknologi komunikasi informasi begitu canggih, promosi
produk industri menjadi efektif melalui teknologi tersebut. Sementara nilai-nilai
tertentu (seperti individu mempunyai tujuan dan kebutuhan pada dirinya sendiri,
hidup hemat, kejujuran) terabaikan. Akhirnya, muncul masalah dimana produksi
bukan lagi diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sebaliknya kebutuhan
manusia diciptakan oleh produksi dan promosi, pola hidup konsumerisme, mungkin
pula terjadi promosi produk industri yang mengabaikan nilai-nilai kejujuran.

2.4 Profil Karakteristik Fisik Manusia Indonesia

Para sarjana Antropologi menggolongkan manusia ke dalam 3 ras pokok,


yaitu ras Kaukasoid (Putih), ras Mongolid (Kuning), dan ras Negroid (Hitam).
Penggolongan ke dalam kelompok ras tersebut didasarkan atas perbedaan
karakteristik wujud fisik yang tampak nyata, seperti bentuk kepala, bentuk muka,
bentuk hidung, bentuk mata, bibir dan telinga, warna mata, rambut dan kulit, bentuk
rambut, serta bentuk dan tinggi badan. Akan tetapi, menghadapi kesulitan dalam
menentukan kelompok masyarakat tertentu berdasarkan penggolongan ras di atas
maka biasanya digunakanlah 11 konsep ras yaitu (1) ras Kaukasoid, (2) ras Mongolid,
(3) ras Negroid, (4) ras Melanesia, (5) ras Mikronesiapolynesia, (6) ras Pygmee
(Kongo), (7) ras Austroloid, (8) ras Bushman hotentot, (9) ras Ainu, (10) ras Vedoid
(Wedda), (11) ras Pygmee (Timur Jauh).
Sebagai mana dikemukakan Agraha Suhandi (1985) berdasarkan hasil
penelitian bahwa berbagai suku bangsa di Indonesia dapat digolongkan ke dalam 3
ras, yaitu ras Negroid, ras Mongolid, dan ras Vedoid (Wedda). Karakteristik dari
masing-masing ras tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ras Negroid (Negrito): berkulit hitam, rambut keriting, tinggi badan kurang
lebih 1,50 meter, kepala pendek (brachicephali). Unsur ras ini masih tampak
antara lain pada suku bangsa di Irian Jaya (Papua).

Gambar 2.4.1 Ras Negroid – Suku Papua


2. Ras Vedoid (Wedda): kulit sawo matang, rambut ikal, atau bergelombang,
tinggi badan kurang lebih 1,50 meter, bentuk kepala panjang (dolichocephali).
Unsur ras ini masih tampak pada suku bangsa Enggano, Kubu, Dayak Barito,
Toala di Sulawesi, Mentawai, Nias, dan tampak sedikit pada sebagian kecil
suku bangsa Batak.
Gambar 2.4.2 Ras Veddoid - Suku Enggano
3. Ras Mongolid: ras Mongolid di Indonesia kadang-kadang disebut juga ras
Melayu dengan karakteristik: kulit agak kuning, rambut lurus, tinggi badan
kurang lebih 1,50 meter, bentuk kepala pendek (brachicephali). Suku bangsa
yang memperlihatkan karakteristik ras ini merupakan sebagian besar yang
sampai sekarang terdapat di Indonesia.

Menurut Kleiweg De Zuaan (Agraha Suhandi, 1985) ras tersebut berasal dari
Hindia Belakang yang kemudian di pindah ke Indonesia karena berbagai sebab. Ras
Melayu (Mongolid) ini terbagi menjadi 2 bagian, yaitu sebagai berikut.

a. Proto Melayu : Karakteristik fisiknya sama seperti yang dikemukakan di atas.


Ras ini masih tampak pada suku bangsa di Kalimantan Tengah, Toraja, Nusa
Tenggara, suku bangsa Batak, dan juga di Irian Barat.

Gambar 2.4.3 Proto Melayu – Suku Batak


b. Deutero Melayu : Karakteristik fisik umumnya seperti yang telah
dikemukakan di atas, tetapi bentuk kepalanya agak pendek (dolichocephali).
Unsur-unsur ras ini, antara lain tampak pada suku-suku bangsa di daerah
pantai Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Madura, dan Bali.
Gambar 2.4.4 Deutro Melayu – Suku Madura

Ada suatu teori yang mengemukakan bahwa penduduk Indonesia adalah


Bangsa Negrito. Kemudian, perpindahan bangsa-bangsa ke Kepulauan Indonesia ras
Wedda dan Melayu dari Hindia Belakang, kemudian mereka bercampur dalam waktu
berabad-abad, sehingga menjadi satu dan melahirkan Bangsa Indonesia yang
sekarang. Memang sulit mementukan ras apakah yang dominan yang terdapat pada
bangsa Indonesia saat ini. Namun demikian, kiranya anda dapat memahami tentang
latar belakang ragamnya karakteristik di seluruh Bangsa Indonesia. Selain itu, dapat
pula dipahami bahwa pengertian ras berbeda dengan pengertian bangsa.

2.5 Profil Karakteristik Lingkungan Fisik Manusia Indonesia

Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia luasnya kurang lebih 1.926.170


km persegi. Wilayahnya berupa Kepulauan Nusantara yang terdiri atas kurang lebih
13.000 pulau yang meliputi laut, pedalaman di antara pulau-pulaunya. Dibandingkan
dengan luas wilayah negara-negara lain, betapa luasnya wilayah negara kita, Bangsa
Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa yang tinggal tersebar di berbagai
pulau tersebut, bahkan masih banyak pulau-pulau yang masih kosong yang belum
berpenghuni.
Gambar 2.5.1 Wilayah Negara Indonesia

Secara geografis wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak di


antara benua Asia dan Benua Australia, dan di antara Samudra Hindia dan Samudra
Pasifik. Posisi wilayah negara kita terletak pada posisi silang yang tentu saja
mempunyai implikasi fisikal, sosial, ekonomi, maupun politik.

Secara astronomis wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak


antara 95 derajat bujur timur dengan 141 derajat bujur timur, dan di antara 6 derajat
Lintang Utara dengan 11 derajat Lintang Selatan. Akibat letak astronomis tersebut
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia beriklim tropika. Di negeri ini
berlangsung dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Adapun
mengenai waktu terdapat tiga daerah waktu yaitu Waktu Indonesia Timur (WIT),
Waktu Indonesia Tengah (WITA), dan Waktu Indonesia Barat (WIB).

Lingkungan fisik masyarakat (bangsa) Indonesia terdiri atas pegunungan,


hutan, perbukitan, sungai, pesisir pantai, lautan, dataran, rawa-rawa. Ditinjau dari
segi topografi lingkungan fisik ini ada yang berupa lereng yang curam, landai, datar,
lembah. Sedangkan ditinjau dari segi hidrologi lingkungan fisik ini ada yang gersang,
kering, lembab, dan basah.

Diperkirakan kurang lebih 20% masyarakat kita bermukim di berbagai kota.


Dalam konteks ini yang dimaksud kota adalah ibukota negara, provinsi, kabupaten
atau kota, dan kecamatan. Sedangkan kurang lebih 80% lain yang bermukim di
pedesaan atau perkampungan. Lingkungan fisik pemukiman mereka secara khusus
juga cukup beragam. Keragaman tersebut antara lain ada yang bermukim di
sepanjang jalan, di tepian sungai, seperti pada pola kampung pada suku Bugis
Makassar, di puncak-puncak bukit atau gunung, seperti pola Kampung suku bangsa
Nias, di atas rawa-rawa, lembah-lembah, tepian pantai, dan sebagainya. Di antaranya
lingkungan fisik masyarakat kita masih merupakan daerah pedalaman atau terpencil
sebagaimana halnya pemukiman masyarakat suku bangsa Kubu yang bermukim di
daerah perbatasan antara Jambi dan Palembang, pemukiman masyarakat suku bangsa
Mentawai di Sumatera Barat, suku-suku bangsa yang hidup di pedalaman
Kalimantan, Papua (Irian Jaya), Halmahera, dan di daerah pedalaman di pulau-pulau
lainnya.

Tuhan menganugerahi masyarakat (bangsa) Indonesia lingkungan fisik yang


luas, bervariasi, dan mengandung kekayaan luar biasa sebagai sumber daya alam bagi
pembangunan yang mendukung bagi pencapaian kemakmuran. Lingkungan fisik
yang beriklim tropis sangat kondusif untuk pertanian, dan pada umumnya tanahnya
pun subur (tetapi ada daerah-daerah yang tidak subur, seperti di pulau Flores);
mempunyai berbagai sumber mineral, sumber minyak, hutan kayu, kekayaan laut,
gunung berapi, keragaman tumbuhan, keragaman satwa. Selain itu, lingkungan fisik
masyarakat (bangsa) kita juga mempunyai keindahan tersendiri. Masyarakat (bangsa)
Indonesia sepatutnya bersyukur kepada Tuhan YME, memanfaatkan kekayaan
lingkungan fisik tersebut dengan mengolahnya secara bijaksana agar kelestariannya
dan keutuhannya tetap terjaga demi kesejahteraan seluruh masyarakat (bangsa)
Indonesia.

2.6 Profil Kemajemukan Sosial Budaya Indonesia

Antropolog Indonesia, Koentjaraningrat mengemukakan bahwa “Bangsa


Indonesia yang mendiami kepulauan Nusantara ini merupakan sebuah masyarakat
majemuk, baik dalam hal suku bangsa, agama yang dianutnya, adat istiadat atau lebih
umum lagi dalam hal kebudayaannya”. Apabila lingkaran hukum adat digunakan
sebagai pengukur maka ditemui paling tidak ada 19 daerah lingkaran hukum adat.
Jika hukum adat digunakan sebagai pencerminan sebuah kebudayaan maka akan
ditemukan 19 ragam kebudayaan. Ke-19 daerah hukum adat tersebut kalau dilihat
dari suku bangsa dan bangsa pendukungnya maka keragaman tersebut makin
menonjol (makin majemuk lagi) karena terdapat lebih dari 200 jumlahnya.
Keragaman tersebut bertambah ruwet lagi dengan adanya keragaman yang dianut:
Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan kepercayaan-kepercayaan lainnya (Imran Manan,
1989).

Menurut Parsudi Suparlan (A. W. Widjaja, 1986) dalam masyarakat Indonesia


yang majemuk terdapat tiga golongan kebudayaan yang masing-masing mempunyai
corak sendiri-sendiri. Ketiga golongan kebudayaan ini satu sama lain memang
berbeda, tetapi saling berkaitan merupakan suatu kesatuan sebagai kebudayaan
Indonesia. Ketiga golongan kebudayaan tersebut adalah (1) Kebudayaan Suku
Bangsa atau Kebudayaan Daerah, (2) Kebudayaan Umum Lokal, (3) Kebudayaan
Nasional. Masing-masing kebudayaan tersebut bukan hanya menjadi landasan bagi
corak pranta-pranata sosialnya, tapi juga mewarnai corak dari berbagai situasi-situasi
sosial yang secara keseluruhan merupakan suasana-suasana (spheres) kehidupan
sosial yang dapat digolongkan ke dalam (1) suasana suku bangsa, (2) suasana umum
lokal, (3) suasana nasional.

Suasana suku bangsa merupakan perwujudan dari kegiatan-kegiatan


kehidupan para warga masyarakat suku bangsa yang berlandaskan pada pranata-
pranata sosial yang bersumber dari kebudayaan suku bangsa. Suasana ini terwujud
dalam kehidupan keluarga, kehidupan masyarakat di desa, hubungan-hubungan
kekerabatan, dan dalam berbagai upacara dan ritual sosial keagamaan. Suasana umum
lokal merupakan perwujudan dari kegiatan-kegiatan kehidupan para warga sesuai
bagian dari masyarakat majemuk yang masyarakatnya terdiri atas lebih dari satu suku
bangsa sehingga kegiatan-kegiatan kehidupan tersebut berlandaskan atas pranata-
pranata sosial yang bersumberkan atas kebudayaan-kebudayaan suku bangsa yang
berlaku setempat; dan dalam beberapa hal juga dipengaruhi oleh Kebudayaan
Nasional. Suasana umum lokal terwujud di tempat-tempat umum, pasar, dan di
tempat-tempat pergaulan terjadi. Suasana umum lokal merupakan wadah bagi
terjadinya interaksi di antara warga dari berbagai suku bangsa yang menjadi
komponen dari masyarakat tersebut. Suasana umum lokal biasanya lebih tampak
perwujudannya dalam kehidupan di kota daripada di pedesaan karena di kotalah
biasanya warga dari berbagai suku bangsa itu lebih banyak dan lebih sering bertemu.

Adapun suasana nasional biasanya terwujud dalam berbagai kegiatan di


kantor-kantor pemerintah, sekolah dan perguruan tinggi, dan berbagai upacara-
upacara yang bersifat nasional. Dalam suasana nasional identitas yang digunakan
oleh para pelakunya dalam interaksi adalah bersumber pada sistem penggolongan dan
peranan yang ada dalam kebudayaan nasional.

Untuk lebih mendapatkan gambaran kemajemukan masyarakat dan


kebudayaan Indonesia, berikut ini akan dideskripsikan enam unsur kebudayaan
universal beberapa suku bangsa yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia, di
antaranya pola perkampungan/desa, sistem kemasyarakatan, sistem kekerabatan, mata
pencaharian hidup, bahasa dan kesenian, dan agama/religi.

1. Pola Perkampungan/Desa

Suatu kesatuan tempat tinggal yang disebut kampung demikian pada


perluasaannya, seperti desa bagi suku-suku bangsa di Indonesia memiliki pola yang
berbeda-beda. Agraha Suhandi (1985) secara umum menggolongkan pola kampung
atau desa ini ke dalam 3 pola, yaitu (a) pola kampung atau desa tinier, (b) pola
kampung atau desa radial, dan (c) pola kampung atau desa di tengah-tengah ada
lapangan/alun-alun. Namun demikian, pola-pola kampung di suatu daerah kadang
kala menunjukkan adanya beberapa pola tergantung dan keadaan lingkungan dimana
kampung atau desa itu berada. Dengan demikian tidak mungkin untuk mengatakan
pola kampung tertentu merupakan pola yang khas untuk suatu suku bangsa, sebab
kenyataannya setiap suku bangsa memiliki pola kampung/desa campuran. Contoh
beberapa keragaman pola perkampungan atau desa yang dimaksud sebagaimana
dideskripsikan dalam uraian di bawah ini.

Pola kampung suku bangsa Sunda ada yang berderet, berkelompok, dan ada
pula yang memiliki tanah lapang dilengkapi dengan lumbung padi, saung lisung
(tempat menumbuk padi), kandang ternak, balong (kolam), dan pancuran (tempat
mandi dan cuci).

Pola kampung suku bangsa Jawa ditandai dengan adanya rumah-rumah


beserta pekarangan yang satu dengan yang lain dipisahkan dengan pagar bambu atau
pagar hidup. Ada di antara rumah tersebut dilengkapi dengan lumbung padi, kandang
ternak, dan perigi. Kampung yang satu dengan yang lainnya dihubungkan dengan
jalan kampung. Rumah-rumah berjajar menghadap ke jalan. Pola kampung di
Minangkabau hampir sama dengan pola kampung suku bangsa Jawa, rumah-rumah
terletak di kanan dan kiri jalan. Pola desa yang disebut nagari biasanya dilengkapi
dengan adanya masjid, sebuah balai desa dan pasar.

Pola kampung suku bangsa Bugis-Makassar dibentuk oleh rumah-rumah


berderet sepanjang jalan atau sungai. Apabila kampung itu terletak di sepanjang
tepian sungai maka rumah-rumah itu dibangun membelakangi sungai. Bagi suku
bangsa Minahasa pola kampung dibentuk oleh sekelompok rumah yang didirikan
memanjang mengikuti jalan raya atau jalan kampung. Pada suku bangsa Nias desa
disebut banua yang terletak di puncak-puncak bukit atau gunung dan terdiri atas
beberapa puluh rumah dengan bentuk denah menyerupai huruf U dan di ujung banua
terletak rumah kepala negeri atau kepala desa sebagai pusat yang menghadap suatu
lapangan. Di kedua sisi lapangan terdapat dua deret rumah penduduk. Di Nias bagian
utara, timur dan barat bentuk denah desa tidak berbentuk huruf U melainkan
membentuk dua garis paralel.
Gambar 2.6.1 Pola Perkampungan Suku Nias

Di Ambon desa-desa dibentuk oleh sekelompok rumah yang didirikan


sepanjang jalan utama. Rumah-rumah di desa biasanya didirikan amat berdekatan,
tetapi ada pula yang berjauhan satu sama lain dipisahkan oleh pekarangan-
pekarangan. Demikian pula di pantai utara Irian Jaya, pola kampung itu membentuk
beberapa deret rumah yang di antaranya terbentang jalan.

Kampung-kampung di Aceh biasanya dibentuk oleh rumah-rumah yang


memiliki halaman luas sehingga halaman tersebut terutama di kiri dan di kanan serta
belakang merupakan kebun. Selain itu ada rumah-rumah yang didirikan berderet dan
kadang-kadang bersatu dibatasi oleh dinding penghalang, yaitu rumah-rumah yang
dihuni oleh keluarga-keluarga sekerabat. Lain halnya pola kampung di Kalimantan
Tengah, kampung biasanya hanya terdiri dari satu buah rumah panjang yang dihuni
oleh beberapa keluarga. Rumah demikian didirikan di atas pekarangan yang luas di
tepi jalan atau di tepi sungai.

2. Sistem Kemasyarakatan

Sistem kemasyarakatan di Indonesia dalam arti kepemimpinan formal dalam


pemerintahan dari tingkat provinsi sampai dengan kecamatan adalah sama. Namun,
kepemimpinan pada tingkat desa atau kampung dalam konteks kebudayaan suku
bangsa atau daerah cukup beragam. Keragaman tersebut antara lain seperti
dideskripsikan dalam uraian berikut.
Dalam masyarakat suku bangsa Batak huta (desa) merupakan masyarakat
hukum yang dipimpin oleh seorang kepala huta yang disebut penghulu. Penghulu
dipilih dari marga namora-mora diambil dan keturunan orang yang pertama-tama
mendirikan huta. Dalam melaksanakan tugasnya penghulu dibantu oleh dua orang
pembantu, yaitu senina yang diambil dan marga namora-mora dan anak beru yang
diambil dari marga bayo-bayo atau kerabat pendatang. Di samping itu, masih ada
semacam dewan yang terdiri dari orang tua-tua yang disebut pertua atau natoras-
toras.

Dalam suku bangsa Makasar masyarakat hukum teritorial adalah wanua di


bawah seorang pimpinan seorang karaeng dan dibantu oleh seorang semacam patih
yang disebut sulewatang. Adapun dalam suku bangsa Aceh masyarakat hukum
terkecil disebut gampong. Pemerintahan berada di tangan seorang keuchi
kedudukannya dapat diwariskan kepada keturunannya. Dalam menjalankan
pemerintahannya keuchi dibantu atau kerjasama dengan teungku yang merupakan
pimpinan agama dan orang tua-tua sebagai wakil dari penduduk. Keuchi dianggap
sebagai bapak dari gampong, sedangkan teungku disebut ibu dari gampong. Teungku
juga disebut teungku meunasah. Orang tua-tua biasanya diambil dan keturunan
kerabat yang tertua, sudah berusia dan dipandang mempunyai pengetahuan luas
tentang adat istiadat. Semua persoalan dibicarakan oleh keuchi, teungku dan orang
tua-tua. Di kepulauan Sawu, Sumba, dan Alor suku bangsa merupakan masyarakat
hukum yang tertinggi. Pimpinan ada di tangan dua orang kepala suku yang disebut
duae maramba. Di samping itu, ada yang disebut duae kepu, deorai, atau mangun
tanah yang mempunyai kekuasaan terhadap tanah. Tentu masih ada sistem sosial
lainnya, seperti pada suku Minagkabau, pada suku Jawa.

Pelapisan sosial. Struktur masyarakat pada masa lalu (zaman kerajaan) adalah
pertama, golongan orang dalam puncak kekuasaan kerajaan, dibentuk oleh sistem
kekerabatan yang mewakili suatu kekuasaan yang bersifat supernatural (dianggap
suci, mempunyai kekuasaan dan kedaulatan yang diterima tanpa bantahan oleh
masyarakat). Kedua, kelompok manusia di sekeliling atau di bawah golongan
pertama yang mengabdi untuk kejayaan kelompok pertama dengan penuh kesetiaan.
Ini dibentuk melalui kekerabatan atau jasa yang luar biasa terhadap kelompok
petama. Ketiga, kelompok lapisan masyarakat biasa.

Kerajaan-kerajaan itu memang sekarang sudah tidak ada lagi, tetapi pola dasar
pelapisan sosial seperti itu pada beberapa suku di Indonesia masih tampak berlaku.
Pada suku bangsa Bugis masih dikenal adanya golongan Andi, Tau Deceng, Tau
Sama; pada suku bangsa Makasar dikenal golongan Karaeng, Daeng, dan golongan
Rakyat Biasa; pada suku bangsa Toraja dikenal golongan Puang, Tomaka, Saluan
Anak; pada suku bangsa Lampung dikenal istilah Ratu, Pangeran, Rakyat Biasa; di
Bali dan sebagainya. Pada dasarnya urutan sebutan-sebutan untuk setiap golongan
masyarakat tersebut menunjukkan hierarki pelapisan status sosial dari mulai yang
tertinggi sampai yang terbawah. Struktur sosial yang demikian ini juga menunjukkan
perbedaan keadaan ekonomi dari mulai golongan kaya sampai dengan yang miskin.
Dewasa ini, pelapisan sosial kriterianya juga ditentukan oleh tingkat pendidikan,
penghasilan.

3. Sistem Kekerabatan

Kekerabatan adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan identitas para


kerabat berkenaan dengan penggolongan kedudukan mereka dalam hubungan
kekerabatan masing-masing dengan ego. Seseorang dianggap sebagai kerabat oleh
seseorang yang lainnya karena seseorang tersebut diakui sebagai seketurunan atau
mempunyai hubungan darah dengan ego. Pengakuan tersebut tidak dibatasi oleh
ruang (misalnya karena tempat tinggal seseorang itu berjauhan dengan tempat tinggal
ego) atau karena seseorang itu belum pernah berjumpa dengan ego, orang tersebut
tetap diakui sebagai kerabat oleh ego.

Terdapat keragaman cara menarik garis keturunan dalam masyarakat


Indonesia, antara lain (a) Matrilineal, (b) Patrilineal, (c) Dobel Unilateral atau matri-
patrilineal dan (d) Parental atau Bilateral. Menarik garis keturunan dengan cara
matrilineal antara lain dianut oleh suku bangsa Minangkabau dan Enggano. Menarik
garis keturunan dengan cara patrilineal dianut oleh suku bangsa di daerah
pegunungan Aceh, Buru, Seram, Ambon, Kepulauan Kei, Aru, dan suku bangsa
Batak. Menarik garis keturunan dengan cara dobel unilateral atau matri-patrilineal
dianut oleh suku bangsa Rejang dan sebagian suku bangsa Sumba. Sedangkan
menarik garis keturunan dengan cara parental atau bilateral dianut oleh suku bangsa
Aceh, Sumatera Selatan, Kalimantan, Jawa, Sunda, Madura, Sulawesi, Riau, Bangka-
Belitung.

4. Sistem Mata Pencaharian Hidup


Masyarakat (bangsa) Indonesia mempunyai keragaman juga dalam sistem
mata pencaharian hidupnya. Memang negara kita terkenal sebagai negara agraris,
tetapi dalam bercocok tanam terdapat berbagai cara yang dilakukan kelompok-
kelompok masyarakat sesuai dengan kondisi lingkungan fisik dan budayanya, seperti
berladang, bertegalan, dan bersawah. Berladang antara lain banyak dilakukan di
daerah luar pulau Jawa. Anda mungkin masih ingat dengan istilah perladangan
bakaran. Biasanya mata pencaharian seperti ini dilakukan oleh masyarakat suatu
daerah yang penduduknya relatif sedikit, tetapi daerah hutannya cukup luas. Mereka
membakar hutan dan menanaminya. Setelah panen tanah itu ditinggalkan, selanjutnya
mereka berpindah tempat dan membuka hutan baru, dan seterusnya. Di pulau Jawa
berladang dilakukakan oleh suku bangsa Baduy (di provinsi Banten), ladang mereka
disebut huma. Huma pantang (tabu) diberi pupuk dan ditanami tanaman-tanaman
keras, selain itu mereka pantang mengolah huma dengan menggunakan cangkul.
Mata pencaharian bertegalan selain dilakukan di daerah-daerah di luar pulau Jawa
juga dilakukan di pulau Jawa. Bedanya berladang dengan bertegalan yaitu, kalau
beretegalan tanah diolah sebaik-baiknya secara terus-menerus, diberi pupuk, dan
sebagainya. Bersawah antara lain dilakukan oleh masyarakat Bali, pengairannya
diadakan secara bersama-sama oleh pendudukan dengan membentuk badang yang
disebut subak. Selain di Bali bersawah juga dilakukan oleh masyarakat pulau Jawa.
Petani dalam hal ini diklasifikasi menjadi petani pemilik tanah, petani penggarap, dan
buruh tani.
Selain dari hidup bertani, di antara masyarakat Indonesia juga ada yang
bermata pencaharian melalui beternak, sebagai nelayan, perikanan darat, perikanan
tambak, dan berdagang. Ada pula yang mengusahakan kerajinan dan pertenunan.
Kerajinan kulit, misalnya dilakukan oleh masyarakat di Yogyakarta, Garut. Kerajinan
ukiran seperti di Bali, Jepara; anyaman tikar dan bambu di Tasikmalaya, kerajinan
keramik di Plered (Jawa Barat), kerajinan pandai besi yang dilakukan berbagai suku
bangsa di berbagai di daerah baik di Jawa maupun di luar Jawa, demikian juga
pertenunan. Di samping itu, mata pencaharian sebagian kecil masyarakat Indonesia
juga sebagai pegawai atau buruh pabrik.

5. Bahasa dan kesenian

Sebagaimana termaktub di dalam Sumpah Pemuda (1928), Bangsa Indonesia


memang mempunyai satu bahasa persatuan-kesatuan, yaitu Bahasa Indonesia. Namun
demikian, hampir setiap suku bangsa di Indonesia memiliki bahasa ibu atau bahasa
daerahnya masing-masing. Contohnya kita mengenal bahasa Sunda (Basa Sunda),
bahasa Batak, bahasa Melayu, bahasa Padang, dan bahasa Bugis.

Kesenian pun demikian beragamnya di Indonesia. Hal ini baik berkenaan


dengan musik, nyanyian, tarian, kerajinan tangan, yang menjadi ciri khas setiap suku
bangsa atau daerah masing-masing. Contohnya, Anda mengenal seni pahat atau seni
ukir Jepara, Bali, Irian Jaya. Wayang kulit dari Jawa, Wayang golek dari Sunda atau
Jawa Barat; batik Pekalongan (Jawa Tengah), Batik Garutan, Tasikmalaya (Jawa
Barat), batik Besurek (Bengkulu) dan sebagainya. Tari Betawi, tari Sunda, tari Bali,
dan sebagainya, tenun sarung Samarinda, Bugis, Lombok, Majalaya, tenunan Ulos
dari Batak, dan sebagainya. Selain itu anda juga mengenal Mandau senjata khas suku
bangsa Dayak, badik (Bugis Makasar), keris (suku bangsa Jawa, Bali, Minangkabau),
kujang (suku bangsa Sunda), sumpit, panah, tombak (Papua). Demikianlah bangsa
Indonesia memiliki keragaman bahasa maupun keseniannya.

6. Sistem Agama/Kepercayaan
Kemajemukan dalam masyarakat Indonesia juga berkenaan dengan agama
atau kepercayaan yang dianut. Di antara warga masyarakat Indonesia ada yang
menganut agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu Bali, Budha, Kong
Hu Cu. Namun demikian, dalam praktik kehidupan sehari-hari tampak unsur-unsur
kepercayaan yang berada di luar agama-agama tersebut di atas. Berkenaan dengan ini
Agraha Suhandi (1985) mengemukakan bahwa hampir pada setiap suku bangsa
dikenali adanya mite atau mitologi, yaitu kepercayaan tentang kejadian dari sesuatu,
misalnya tentang alam semesta, manusia, tentang mengapa matahari selalu terbit dari
timur, tentang kejadian padi, dan kejadian tentang tempat-tempat tertentu. Dari mite
tersebut dapat diketahui kepercayaan dari suku-suku bangsa tersebut bahwa segala
sesuatu itu tidak terjadi dengan sendirinya, akan tetapi ada yang menyebabkannya
atau menciptakannya.

Gambar 2.6.2 Keragaman Agama di Indonesia

Pada suku bangsa Nias dikenal mitologi tentang terjadinya alam semesta yang
diciptakan oleh Lowalangi. Pada suku bangsa Batak, bahwa alam semesta ini di
ciptakan oleh Debata Mulajadi na Bolon yang berdiam di langit. Kepercayaan suku
bangsa Batak juga tercermin dalam kain tenun ulos. Di dalam setiap ulos selalu
dibentuk oleh tiga macam warna yang menunjukkan bahwa dunia ini terbagi menjadi
tiga, yaitu dunia bawah, dunia atas, dan dunia tengah. Sedangkan mitologi yang
terdapat pada suku bangsa Flores mengemukakan bahwa alam semesta ini diciptakan
oleh Mori Karaeng atau Deva, sebagai dewa tertinggi. Tentu masih terdapat mitologi
mengenai terjadinya alam semesta ini yang dipercaya oleh suku-suku bangsa lainnya
di Indonesia.

Demikian juga terdapat keragaman mitologi dan legenda mengenai terjadinya


tempat-tempat tertentu yang diyakini oleh suku-suku bangsa tertentu. Misalnya,
terjadinya gunung Tangkuban Perahu (Sunda), Gunung Batok (Tengger), Danau
Toba (Batak), dan sebagainya.

Setiap suku bangsa juga mempercayai akan adanya makhluk-makhluk halus


yang menempati alam di sekeliling tempat tinggal manusia. Makhluk halus tersebut
diyakini ada yang baik suka menolong manusia, dan ada pula yang jahat suka
mengganggu manusia. Untuk menjaga gangguan-gangguan tersebut, diadakanlah
upacara-upacara, seperti memberi sesajen, mantra dan upacara lainnya.

Demikian pula terdapat kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan gaib yang


terdapat pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia tertentu, alam
semesta, dan pada kata-kata yang diucapkan, seperti mantra. Kekuatan-kekuatan gaib
atau magis ini (mana dalam bahasa Melanesia atau kire dalam bahasa Mentawai)
dapat memancarkan pengaruh baik maupun jelek bagi manusia. Berkaitan dengan ini,
untuk keselamatan manusia, mereka juga melakukan upacara-upacara tertentu, ada
pantangan-pantangan (tabu) tertentu, ada mantra, dan sebagainya, demikian beberapa
keragaman berkenaan dengan sistem agama atau kepercayaan di dalam masyarakat
Indonesia. Anda tentunya masih dapat mempelajari atau mendeskripsikan lainnya.

2.7 Implikasi Profil Karakteristik Sosial Budaya Indonesia terhadap


Penyelenggaraan Pendidikan

Implikasi profil karakteristik sosial budaya manusia (masyarakat) Indonesia


terhadap penyelenggaran pendidikan ini meliputi implikasinya terhadap dasar dan
akar pendidikan, pengelolaan pendidikan, kurikulum pendidikan, wajib belajar,
gerakan orang tua asuh, dan implikasi karakteristik kebudayaan terhadap praktik
pendidikan.

A. Implikasi terhadap dasar dan akar pendidikan


Pancasila dan UUD 1945 tergolong ke dalam wujud ideal kebudayaan bangsa
atau kebudayaan nasional. Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia,
kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia dan sebagai dasar
Negara Indonesia. Implikasinya maka Pancasila dan UUD 1945 berkedudukan
sebagai dasar pendidikan nasional.

Profil karakteristik masyarakat (bangsa) Indonesia antara lain adalah


beragama, yaitu berke-Tuhan-an Y.M.E. dan memiliki kebudayaan nasional. Karena
itu, pendidikan harus dikembangkan dengan berakar kepada nilai-nilai agama dan
kebudayaan bangsa tersebut. Jika tidak demikian maka pendidikan tidak akan dapat
meningkatkan kualitas hidup bangsa secara utuh. Demikian pula jika pendidikan
dilaksanakan dengan berakar pada kebudayaan bangsa lain, tentu akan menimbulkan
kesenjangan sosial-budaya. Bahkan mungkin identitas Negara tersebut akan terkikis
habis dan muncul masyarakat baru yang terputus dari dimensi kesejarahan
kebudayaan bangsanya. Implikasinya maka pendidikan nasional hendaknya berakar
pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional.

B. Implikasi terhadap pengelolan pendidikan

Pengelolaan Pendidikan bersifat Dekonsentrasi. Mengingat betapa luasnya


wilayah Negara Republik Indonesia serta aneka ragamnya keadaan lingkungan fisik
dengan segala kekayaan yang dikandungnya, dan majemuknya keadaan sosial-budaya
di Indonesia maka perlu diambil suatu kebijakan dalam pengelolaan pendidikan agar
efisien dan efektif. Implikasinya maka kebijakan pengelolaan pendidikan dalam
sistem pendidikan nasional kita bersifat dekonsentrasi seperti tercermin dalam pasal
50 UU RI No. 20 Tahun 2003.

Dalam hal ini pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung


jawab Menteri (Menteri Pendidikan Nasional). Pemerintah pusat menentukan
kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu
pendidikan nasional. Pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi atas
penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan
fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah Kabupaten/Kota untuk tingkat
pendidikan dasar dan menengah. Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan
dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
Sedangkan Perguruan Tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam
mengelola pendidikan di lembaganya. Yang dimaksud dengan otonomi perguruan
tinggi adalah kemandirian perguruan tinggi untuk mengelola sendiri lembaganya.

Pengelolaan Satuan Pendidikan. Pengelolaan pendidikan anak usia dini,


pendidikan dasar dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar
pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. Adapun
yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi
manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala
sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola
kegiatan pendidikan.

Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip


otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu dan evaluasi yang transparan. Pengelolaan
satuan pendidikan nonformal dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat.

Penyelenggaran dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh


pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan yang berfungsi
memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik, berprinsip nirlaba dan dapat
mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.

C. Kurikulum pendidikan

Kurikulum Berbasis Kompetensi. Seperti telah anda pahami melalui Kegiatan


Belajar 1 bahwa kebudayaan yang berwujud ideal, wujud sistem sosial atau kompleks
aktivitas kelakuan berpola, dan wujud fisik berfungsi sebagai dasar dan alat bagi
manusia untuk dapat menanggulangi realita kehidupan, untuk dapat menangani
masalah-masalah dalam menghadapi lingkungannya dalam upaya memenuhi berbagai
kebutuhan dan kelangsungan hidupnya. Keragaman dan kekayaan lingkungan fisik
yang dimiliki masyarakat (bangsa) Indonesia akan kurang dapat dimanfaatkan bagi
kemakmuran apabila masyarakat tersebut kurang berdaya untuk dapat mengelola dan
memanfaatkannya. Kesalahan dalam mengelola dan memanfaatkan keragaman dan
kekayaan lingkungan fisik yang ada justru menimbulkan malapetaka. Oleh sebab itu,
pendidikan hendaknya merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dengan demikian, hendaknya
pendidikan diselenggarakan sebagai pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik.
Implikasinya maka kurikulum pendidikan hendaknya merupakan kurikulum yang
berbasis kompetensi. Maksudnya, kurikulum itu hendaknya mengembangkan seluruh
kemampuan atau kecakapan hidup berbudaya dalam pengetian luas yang meliputi
berbagai elemen dari ketiga wujud kebudayaan secara terintegrasi.

Kurikulum Nasional dan Kurikulum Muatan Lokal. Ragamnya lingkungan


fisik yang dihuni masyarakat Indonesia serta ragamnya keadaan sosial-budaya
menghadapkan suatu tantangan bagi masyarakat (bangsa) Indonesia. Tantangan yang
dimaksud antara lain berkenaan dengan (1) pelestarian integrasi bangsa yang bersifat
majemuk agar tetap Bhinneka Tunggal Ika, (2) terbinanya kepribadian bangsa, yaitu
kepribadian bangsa Indonesia, (3) standar nasional mutu pendidikan, dan (4)
relevansi pendidikan secara nasional, serta (5) relevansi pendidikan secara lokal
sesuai dengan keadaan lingkungan dan sosial budaya dan daerah atau suku bangsa
yang bersangkutan. Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa integrasi adalah keserasian
satuan-satuan yang terdapat dalam suatu sistem (bukan penyeragaman, tetapi
hubungan satuan-satuan sedemikian rupa dan tidak merugikan masing-masing
satuan). Bahwa kepribadian bangsa Indonesia bukan kepribadian keseluruhan, tetapi
juga mencerminkan ciri-ciri suku bangsa, keagamaan, dan lain-lain (A.W.Widjaja,
1986).

D. Wajib belajar
Pada tanggal 2 Mei 1984 pemerintah telah mencanangkan Gerakan Wajib
Belajar sekolah dasar 6 tahun. Tanggal 8 Mei 1990 pemerintah menetapkan
Perintisan Wajib Belajar SUP, dan pada tanggal 2 Mei 1994 Presiden RI telah
mencanangkan Gerakan Wajib Belajar pendidikan dasar adalah suatu gerakan
pendidikan nasional yang diselenggarakan di seluruh Indonesia bagi warga Negara
Indonesia yang berusia 7 sampai 15 tahun untuk mengikuti pendidikan dasar atau
pendidikan yang setara sampai tamat. Jadi wajib belajar ini lamanya sembilan tahun,
diselenggarakan selama enam tahun di SD atau satuan pendidikan yang sederajat dan
tiap tahun di SLTP atau satuan pendidikan yang sederajat.

Ditinjau dari sudut antropologi, yaitu berkenaan dengan karakteristik sosial


budaya Indonesia terdapat beberapa hal yang turut berimplikasi terhadap kebijakan
dan penyelenggaraan wajib belajar pendidikan dasar ini, di antaranya pertama, salah
satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kedua, nilai dan norma yang mengakui kesamaan hak setiap warga Negara untuk
mendapatkan pendidikan sebagaimana termaktub pada pasal 31 UUD 1945. Ketiga,
keragaman lingkungan fisik masyarakat Indonesia yang sebagian besar berada di
pedesaan terpencil dan terisolasi. Keempat, pelapisan sosial-ekonomi (yaitu tinggi,
menengah, dan rendah atau miskin), dimana dalam masyarakat Indonesia masih
cukup banyak jumlah masyarakat miskin. Kelima, asumsi mengenai fungsi
pendidikan demi pembudayaan dan pemberdayaan masyarakat. Keenam, asumsi
mengenai fungsi kebudayaan sebagian dasar dan alat bagi manusia untuk dapat
menangani permasalahan dan memenuhi kebutuhan hidupnya.

Keadaan tersebut di atas memberikan implikasi terhadap kebijakan dan


penyelenggaraan wajib belajar, antara lain berkenaan dengan berikut ini.

1. Adanya kebijakan mengenai peningkatan akses dan perluasaan kesempatan


belajar bagi semua anak usia pendidikan dasar dengan target utama daerah
dan masyarakat miskin dan terisolasi.
2. Adanya kebijakan tentang keragaman satuan pendidikan penyelenggara wajib
belajar pendidikan dasar berupa : SD Biasa, SD Kecil, SD Pamong, SD Luar
Biasa, Sekolah Luar Biasa, SD Terpadu, Program Kejar Paket A, Ujian
Persamaan SD Madrasah Ibtidaiyah, dan Pondok Pesantren; SLTP Biasa,
SLTP Kecil, SLTP Terbuka, SLTPLB, SLB, SLTP Terpadu, Program Kejar
Paket B, Ujian Persamaan SUP, MTs, MTs Terbuka, dan Pondok Pesantren.

E. Gerakan nasional orang tua asuh

Gambar 2.7.1 Logo Gerakan Nasional Orang Tua Asuh

Pelaksanaan pendidikan memerlukan dana atau biaya yang memadai. Anda


telah memahami bahwa dalam sistem sosial masyarakat Indonesia terdapat pelapisan
sosial-ekonomi tersebut terdiri atas (1) lapisan masyarakat kaya, (2) lapisan
masyarakat menengah, dan (3) lapisan masyarakat miskin. Khususnya bagi
masyarakat miskin untuk dapat membiayai anak-anaknya agar dapat menyelesaikan
pendidikan pada tingkat sekolah dasar saja sudah sulit atau bahkan tidak mampu.
Apalagi untuk menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun dan selanjutnya. Di pihak
lain, pemerintah pun memiliki keterbatasan dalam hal anggaran pendidikan.
Sementara mereka mendapatkan jaminan hak yang sama untuk mendapatkan
pendidikan dan mendapatkan kewajiban belajar pendidikan dasar sembilan tahun.

Implikasi dari kenyataan di atas, perlu ada kebijakan untuk melaksanakan


peranan sebagai orang tua asuh oleh lapisan masyarakat yang berstatus sosial-
ekonomi tinggi (kaya) dan mungkin juga lapisan menengah sangatlah mulia sehingga
dengan demikian diharapkan kesulitan untuk menanggung beban biaya pendidikan
bagi masyarakat miskin dapat teratasi, dan anak-anak mereka diharapkan dapat
menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, atau juga sampai ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sejalan dengan hal di atas pemerintah melalui
Keputusan Menteri Sosial RI No. 52/HUK/1996 telah mengambil keputusan tentang
“Pembentukan Lembaga Gerakan Nasional Orang Tua Asuh”. Gerakan Nasional
Orang Tua Asuh (GN-OTA); dan dikeluarkan pula Instruksi Menteri Dalam Negeri
Nomor 8 Tahun 1997 tentang “Pembentukan Lembaga Gerakan Nasional Orang Tua
Asuh”.

F. Implikasi karakteristik kebudayaan terhadap praktik pendidikan

Anda telah memahami bahwa kebudayaan antara lain memiliki karakteristik


ideal dan aktual, serta stabil dan berubah. Karakteristik kebudayaan ini tentunya
berlaku juga dalam kebudayaan masyarakat (bangsa) Indonesia. Karakteristik
kebudayaan ini mengandung potensi untuk memunculkan masalah dalam praktik
pendidikan. Tentu saja dengan syarat apabila tidak kesejalanan antara kebudayaan
aktual dengan kebudayaan idealnya. Demikian pula mungkin terjadi konflik antara
kebudayaan baru dengan kebudayaan yang dianggap sudah stabil atau mapan.
Kebudayaan Ideal versus Kebudayaan Aktual. Kita memiliki nilai budaya
yang ideal, contoh: korupsi adalah perbuatan jahat. Tetapi secara aktual korupsi
terjadi di banyak tempat. Keadaan seperti ini tentunya menimbulkan konflik pada
individu-individu tertentu. Munculah nilai baru yang tersirat dalam kalimat : “kalau
tidak ikut nggak kebagian” atau “daripada dimakan oleh atasan mendingan dibagi-
bagi untuk kita”. Dalam praktik pendidikan kadang terjadi pula ketidaksejalanan
antara nilai ideal dengan nilai aktual, misal para guru yakin bahwa adil itu baik. Akan
tetapi, dalam praktik pendidikannya terkadang ada guru yang berbuat tidak adil, kalau
siswa datang ke kelas terlambat, siswa yang bersangkutan diberi hukuman.
Sebaliknya, giliran guru datang terlambat siswa harus sabar menunggu. Keadaan ini
tentu menimbulkan konflik pada diri siswa. Sebab itu, sesungguhnya guru harus
menjadi teladan. Artinya, mesti terdapat kesejalanan antara kebudayaan ideal dengan
kebudayaan aktual.

Stabil versus Perubahan. Melalui pendidikan, masyarakat berupaya


melestarikan kebudayaan yang dipandangnya sudah mapan. Akan tetapi, apabila
pendidikan hanya berfungsi melestarikan nilai-nilai lama saja maka peserta tidak
menjadi kreatif untuk mengadakan perubahan atau pembaharuan. Kebudayaan akan
statis dan tidak dapat mengikuti perkembangan zaman. Sebab itu, pendidikan juga
harus bersifat inovatif atau kreatif. Dengan demikian, peserta didik akan kreatif,
memiliki motivasi untuk melakukan perubahan dalam kebudayaan. Berkenaan
dengan nilai-nilai kebudayaan yang ada di dalam masyarakat - baik yang lama
maupun yang baru - peserta didik mempunyai kesempatan untuk melakukan evaluasi.
Permasalahannya apabila diberi kebebasan seperti itu, biasanya peserta didik
melakukan perubahan jauh lebih dalam dan lebih luas lagi. Mungkin mereka
melakukan originasi, difusi atau reinterpretasi. Keadaan seperti ini mungkin akan
menimbulkan konflik di antara mereka yang mempertahankan nilai-nilai lama yang
dianggapnya sudah mapan dengan mereka yang ingin melakukan perubahan. Apakah
pendidikan harus selalu mengikuti perkembangan zaman dengan nilai-nilai yang terus
berubah atau tetap melestarikan nilai-nilai yang lama?
Dalam konteks uraian di atas pendidikan berada di simpang jalan, tentu saja
pendidik harus menentukan pilihan arah dan melanjutkan perjalanan. Dua arah jalan
di atas saling berlawanan ibarat buah simalakama. Sehubungan dengan itu agar
pendidik tepat memilih arah, ia harus kembali kepada nilai-nilai yang menjadi dasar
pendidikannya. Pencasila dan UUD 1945 adalah dasar pendidikan kita, Implikasinya
kita memang perlu melestarikan kebudayaan yang dianggap mapan, sebaliknya juga
tidak menolak perubahan. Akan tetapi, dalam melakukan perubahan atau dalam
mengikuti perkembangan zaman tersebut pendidik harus melakukan evaluasi apakah
perubahan yang akan dilakukan dalam rangka mengikuti perkembangan zaman itu
tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar tersebut? Oleh karena Pancasila dan UUD
1945 berstatus sebagai dasar pendidikan nasional maka Pancasila dan UUD 1945
hendaknya dijadikan acuan dan arah dalam rangka melakukan fungsi perubahan
(kreasi atau inovasi) dalam pendidikan. Prinsip perubahan dalam pendidikan
bukanlah mengikuti perkembangan zaman atau kebudayaan yang sedang berubah,
melainkan melakukan perubahan dengan mengacu kepada nilai-nilai dasar tertentu
dan mengendalikannya ke arah tujuan tertentu pula.
BAB III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kebudayaan adalah kesenian, yaitu pikiran, karya, dan hasil karya manusia
yang memenuhi hasratnya dalam keindahan. Dalam arti luas kebudayaan adalah
seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada
nalurinya karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar.
Dengan kata lain kebudayaan itu adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar.

Kepribadian adalah susunan unsur-unsur akal dan jiwa yang menentukan


perbedaan tingkah laku atau tindakan dari tiap-tiap individu manusia. Adapun
menurut John J. Honnigman kepribadian itu menunjukkan adanya tingkah laku, cara
berpikir, dan perasaan-perasaan yang merupakan karakteristik dari seseorang.
Kepribadian itu misalnya kepribadian bangsa, contohnya: kepribadian bangsa
Indonesia.

Pendidikan tidak pernah berlangsung di dalam suatu ruang hampa, melainkan


selalu berlangsung di dalam suatu masyarakat tertentu, dan untuk suatu tujuan
kehidupan suatu masyarakat tertentu pula. Perlu Anda catat bahwa antara masyarakat
dan kebudayaannya merupakan dwi tunggal, secara nyata tidak dapat dipisahkan.
Sebab itu, akan terdapat hubungan antara kebudayaan dengan Pendidikan.

Para sarjana Antropologi menggolongkan manusia ke dalam 3 ras pokok,


yaitu ras Kaukasoid (Putih), ras Mongolid (Kuning), dan ras Negroid (Hitam).
Penggolongan ke dalam kelompok ras tersebut didasarkan atas perbedaan
karakteristik wujud fisik yang tampak nyata, seperti bentuk kepala, bentuk muka,
bentuk hidung, bentuk mata, bibir dan telinga, warna mata, rambut dan kulit, bentuk
rambut, serta bentuk dan tinggi badan.
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia luasnya kurang lebih 1.926.170
km persegi. Wilayahnya berupa Kepulauan Nusantara yang terdiri atas kurang lebih
13.000 pulau yang meliputi laut, pedalaman di antara pulau-pulaunya. Dibandingkan
dengan luas wilayah negara-negara lain, betapa luasnya wilayah negara kita, Bangsa
Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa yang tinggal tersebar di berbagai
pulau tersebut, bahkan masih banyak pulau-pulau yang masih kosong yang belum
berpenghuni.

Antropolog Indonesia, Koentjaraningrat mengemukakan bahwa “Bangsa


Indonesia yang mendiami kepulauan Nusantara ini merupakan sebuah masyarakat
majemuk, baik dalam hal suku bangsa, agama yang dianutnya, adat istiadat atau lebih
umum lagi dalam hal kebudayaannya”. Apabila lingkaran hukum adat digunakan
sebagai pengukur maka ditemui paling tidak ada 19 daerah lingkaran hukum adat.
Jika hukum adat digunakan sebagai pencerminan sebuah kebudayaan maka akan
ditemukan 19 ragam kebudayaan. Ke-19 daerah hukum adat tersebut kalau dilihat
dari suku bangsa dan bangsa pendukungnya maka keragaman tersebut makin
menonjol (makin majemuk lagi) karena terdapat lebih dari 200 jumlahnya.
Keragaman tersebut bertambah ruwet lagi dengan adanya keragaman yang dianut:
Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan kepercayaan-kepercayaan lainnya.

Implikasi profil karakteristik sosial budaya manusia (masyarakat) Indonesia


terhadap penyelenggaran pendidikan ini meliputi implikasinya terhadap dasar dan
akar pendidikan, pengelolaan pendidikan, kurikulum pendidikan, wajib belajar,
gerakan orang tua asuh, dan implikasi karakteristik kebudayaan terhadap praktik
pendidikan.

3.2 Saran

Dengan adanya keberagaman yang dimiliki Indonesia, mulai dari suku, ras,
agama, maupun adat istiadat, kita harus menghormatinya terlebih kita sebagai
manusia yang terpelajar. Dengan banyaknya keanekaragaman yang Indonesia miliki,
membawa banyak pengaruh bagi Bangsa Indonesia. Pengaruh yang ada harus kita
evaluasi dengan baik. Jangan sampai kita kembali terjajah dengan kedatangan bangsa
asing. Indonesia memiliki banyak sumber daya yang harus kita kelola sepandai-
pandainya agar tidak mudah dikuasai oleh bangsa asing yang akan menjadikan kita
budak di negara sendiri. Sebagai generasi penerus bangsa, kita harus mengisi
kemerdekaan ini dengan melakukan hal yang berguna bagi negara dan menjaga
keutuhan serta kesatuan wilayah Indonesia supaya dengan keanekaragaman ini kita
dapat membangun bangsa Indonesia yang lebih maju.
DAFTAR PUSTAKA

Duraisy, Bahrur Rosyidi. 10 September 2013. ”Antropologi Pendidikan”.


https//bahrurrosyididuraisy.wordpress.com/research/antropologi-
pendidikan/, diakses 20 September 2018

Indah, Suci Sari. 25 April 2016. “Antropologi Pendidikan”.https://


sucisariindah.blogspot.com/2016/04/antropologi-pendidikan.html?m=1,
diakses 20 September 2018

Wahyudin, Dinn dkk. 2008. “Pengantar Pendidikan”. Jakarta: Universitas Terbuka.

Anda mungkin juga menyukai