Anda di halaman 1dari 17

TEORI BELAJAR REVOLUSI SOSIO KULTURAL

Dosen Pengampu :
Hj. Fithriyah Nurul Hidayati, M.Pd.

Disusun oleh :
1. Rena Nazwatil Ummah (183221244)
2. Tanggap Samudaya (183221246)
3. Aprilia Saraswati (183221252)
4. Fella Vidia Fravisdha (183221277)
5. Nabila Farihatu Nisa (183221282)

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS


FAKULTAS ADAB DAN BAHASA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullohi Wabarakatuh.


Alhamdulillah, segala puji Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah berjudul ’’TEORI BELAJAR REVOLUSI
SOSIOKULTURAL’’ dengan lancar.
Makalah ini tentunya tidak akan selesai tanpa bantuan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada beberapa pihak
yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik, yaitu kepada :
1. Ibu Hj. Fithriyah Nurul Hidayati, M.Pd selaku dosen mata kuliah Belajar dan Pembelajaran
IAIN Surakarta.
2. Teman-teman kelompok yang terdiri dari :
a. Rena Nazwatil Ummah (183221244)
b. Tanggap Samudaya (183221246)
c. Aprilia Saraswati (183221252)
d. Fella Vidia Fravisdha (183221277)
e. Farihatu Nabila Nisa (183221282)
3. Dan pihak – pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak yang perlu disempurnakan. Untuk
itu saran, kritik dan masukan sangat diharapkan demi perbaikan karya selanjutnya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan semua pihak.
Wassalamu’alaikum Warahmatullohi Wabarakatuh.

Sukoharjo, 30 Maret 2018

ii
DAFTAR ISI

Halaman Depan..........................................................................................................................i
Kata Pengantar...........................................................................................................................ii
Daftar Isi...................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar belakang.......................................................................................................................1
I.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................2
I.3 Tujuan Penulisan ..................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
II.1 Definisi Para Ahli Mengenai Teori Belajar Kultural...........................................................3
II.2 Kelebihan dan Kelemahan Teori Belajar Kultural...............................................................8
II.3 Aplikasi Teori Belajar Kultural............................................................................................9
BAB III PENUTUP
III.1 Kesimpulan.......................................................................................................................13
III.2 Saran.................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Budaya belajar sebagai faktor pengaruh dan faktor yang dipengaruhi, terbentuk dari
budaya (kultur) yang berkembang di tengah-tengah lingkungan masyarakat. Baik kultur
makro maupun kultur mikro. Teori belajar kultural sangat berkaitan erat dengan
penyelenggaraan pendidikan, baik pendidikan formal, informal, maupun non formal.
Teori belajar kultural memandang bahwa aspek-aspek sosial memasyarakatan, aspek
kebudayaan, dan aspek lingkungan, merupakan bagian penting dalam proses
pembelajaran dan keberhasilan dalam mencapai tujuan pembelajaran. Patut diakui,
bahwa kebudayaan yang berkembang dalam kelompok masyarakat tertentu akan
menentukan bentuk maupun corak pembelajaran yang dilakukan di lembaga-lembaga
pendidikan.
Namun demikian, di negara-negara berkembang adopsi sistem pendidikan dari luar
sering kali mengalami kesulitan untuk berkembang. Asumsi-asumsi yang melandasi
program-program pendidikan sering kali tidak sejalan dengan hakekat belajar, hakekat
orang yang belajar, dan hakekat orang yang mengajar. Pendidikan dan pembelajaran
selama ini hanya mengagungkan pada pembentukan perilaku keseragaman, dengan
harapan akan menghasilkan keteraturan, ketertiban, ketaatan, dan kepastian.
Indonesia merupakan negara yang majemuk, dengan heterogenitas kebudayaan yang
dimiliki masyarakat menjadikan corak pendidikan di Indonesia pun menjadi beragam.
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, dari kepulauan Sumatera hingga Papua, tidak
boleh meminggirkan peranan kebudayaan yang hidup dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat. Secara umum, pendidikan memang dimaksudkan agar setiap kelompok
masyarakat dapat menerima perbedaan, sehingga tercipta masyarakat yang plural dengan
tingkat toleransi yang tinggi.
Teori belajar kultural merupakan suatu konsepsi yang menempatkan budaya (kultur)
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pembelajaran. Pendidikan akan
lebih diterima oleh masyarakat bilamana kebudayaan mengambil bagian dan diberikan
tempat dalam proses penyelenggaraan pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan pun
dimaksudkan untuk mengukuhkan kebudayaan yang telah ada sebagai kekayaan dan
warisan leluhur suatu bangsa. Penyelenggaraan pendidikan juga dimaksudkan untuk
membangun budaya baru yang positif, dinamis, dan sesuai dengan kebutuhan dan
tuntutan jaman. Pendidikan berkebudayaan dipandang mampu menjadi filter bagi
dampak sosial yang ditimbulkan oleh globalisasi. Teori belajar kultural selain dapat
diaplikasikan dalam berbagai metode pembelajaran, juga menjadi solusi bagi sebagian
permasalahan pendidikan di Indonesia.

1
I.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi para ahli mengenai teori belajar sosio kultural ?
2. Apa kelebihan dan kelemahan teori belajar sosio kultural ?
3. Bagaimana aplikasi teori belajar sosio kultural ?

I.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi para ahli mengenai teori belajar sosio kultural.
2. Mengetahui kelebihan dan kelemahan teori belajar sosio kultural.
3. Mengetahui aplikasi teori belajar sosio kultural.

2
BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Definisi Para Ahli Mengenai Teori Belajar Kultural


Teori belajar sosiokultur berangkat dari penyadaran tentang betapa pentingnya
sebuah pendidikan yang melihat proses kebudayaan dan pendidikan yang tidak bisa
dipisahkan. Pendidikan dan kebudayaan memiliki keterkaitan yang sangat erat, di mana
pendidikan dan kebudayaan berbicara pada tataran yang sama, yaitu nilai-nilai. Tylor
dalam H.A.R Tilaar (2002:7) telah menjalin tiga pengertian manusia, masyarakat dan
budaya sebagai tiga dimensi dari hal yang bersamaan.
Oleh sebab itu pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan dan hanya dapat
terlaksana dalam suatu komunitas masyarakat. Ainul Yaqin (2005: 6) berpendapat bahwa
“budaya adalah sesuatu yang general dan spesifik sekaligus”. General dalam hal ini
berarti setiap manusia di dunia ini mempunyai budaya, sedangkan spesifik berarti setiap
budaya pada kelompok masyarakat adalah bervariasi antara satu dan lainnya.
Sedangkan Tylor dalam H.A.R Tilaar (2002: 39) berpendapat bahwa “Budaya atau
peradaban adalah suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni,
moral, hukum, adat istiadat, serta kemampuaan kemampuan dan kebiasaan lainnya yang
diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”. H.A.R Tilaar (2002: 41) sendiri
berpendapat bahwa kebudayaan merupakan suatu proses pemanusiaan yang artinya di
dalam kehidupan berbudaya terjadi perubahan, perkembangan dan motivasi. Pentingnya
kebudayaan dalam kehidupan manusia inilah yang kemudian mendasari bahwa
kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari pendidikan. Melihat kondisi bangsa Indonesia
yang terdiri dari berbagai budaya, Syamsul Ma‟arif (2005: 90) berpendapat bahwa
masyarakat yang harus mengekspresikan pendidikan kebudayaan adalah masyarakat
yang secara obyektif memiliki anggota yang heterogenitas dan pluralitas.
Teori belajar sosiokultur atau yang juga dikenal sebagai teori belajar ko-
kontruktivistik merupakan teori belajar yang titik tekan utamanya adalah pada bagaimana
seseorang belajar dengan bantuan orang lain dalam suatu zona keterbatasan dirinya yaitu
Zona Proksimal Development (ZPD) atau Zona Perkembangan Proksimal dan mediasi.
Di mana anak dalam perkembangannya membutuhkan orang lain untuk memahami
sesuatu dan memecahkan masalah yang dihadapinya Teori yang juga disebut sebagai
teori konstruksi sosial ini menekankan bahwa intelegensi manusia berasal dari
masyarakat, lingkungan dan budayanya. Teori ini juga menegaskan bahwa perolehan
kognitif individu terjadi pertama kali melalui interpersonal (interaksi dengan lingkungan
sosial) intrapersonal (internalisasi yang terjadi dalam diri sendiri).

3
Vygotsky berpendapat bahwa menggunakan alat berfikir akan menyebabkan
terjadinya perkembangan kognitif dalam diri seseorang. Yuliani (2005: 44) secara
spesifik menyimpulkan bahwa kegunaan alat berfikir menurut Vygotsky adalah :
1. Membantu memecahkan masalah
Kerangka berfikir yang terbentuklah yang mampu menentukan keputusan yang
diambil oleh seseorang untuk menyelesaikan permasalahan hidupnya.
2. Memudahkan dalam melakukan tindakan
Vygotsky berpendapat bahwa alat berfikirlah yang mampu membuat seseorang
mampu memilih tindakan atau perbuatan yang seefektif dan seefisien mungkin untuk
mencapai tujuan.
3. Memperluas kemampuan
Melalui alat berfikir setiap individu mampu memperluas wawasan berfikir dengan
berbagai aktivitas untuk mencari dan menemukan pengetahuan yang ada di
sekitarnya.
4. Melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitas alaminya.
Semakin banyak stimulus yang diperoleh maka seseorang akan semakin intens
menggunakan alat berfikirnya dan dia akan mampu melakukan sesuatu sesuai dengan
kapasitasnya.
Inti dari teori belajar sosiokultur ini adalah penggunaan alat berfikir seseorang yang
tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan sosial budayanya. Lingkungan sosial
budaya akan menyebabkan semakin kompleksnya kemampuan yang dimiliki oleh setiap
individu. Guruvalah berpendapat bahwa teori-teori yang menyatakan bahwa “siswa itu
sendiri yang harus secara pribadi menemukan dan menerapkan informasi kompleks,
mengecek informasi baru dibandingkan dengan aturan lama dan memperbaiki aturan itu
apabila tidak sesuai lagi”. Teori belajar Sosiokultur ini menekankan bahwa perubahan
kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami diolah melalui suatu
proses ketidakseimbangan dalam upaya memakai informasi-informasi baru.
Teori belajar sosiokultur meliputi tiga konsep utama, yaitu :
a. Hukum Genetik tentang Perkembangan Perkembangan
Menurut Vygotsky tidak bisa hanya dilihat dari fakta-fakta atau keterampilan-
keterampilan, namun lebih dari itu, perkembangan seseorang melewati dua tataran.
Tataran soaial tempat orang-orang membentuk lingkungan sosialnya (dapat
dikategorikan sebagai interpsikologis atau intermental), dan tataran sosial di dalam
diri orang yang bersangkutan (dapat dikategorikan sebagai intrapsikologis atau
intramental) Teori sosiokultur menempatkan intermental atau lingkungan sosial
sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan serta
perkembangan kognitif seseorang. Fungsi-fungsi mental yang tinggi dari seseorang
diyakini muncul dari kehidupan sosialnya. Sementara itu, intramental dalam hal ini

4
dipandang sebagai derivasi atau turunan yang terbentuk melalui penguasaan dan
internalisasi terhadap proses-proses sosial tersebut, hal ini terjadi karena anak baru
akan memahami makna dari kegiatan sosial apabila telah terjadi proses internalisasi.
Oleh sebab itu belajar dan berkembang satu kesatuan yang menentukan dalam
perkembangan kognitif seseorang. Seperti yang dikutip oleh Yuliani (2005: 44)
Vygotsky meyakini bahwa kematangan merupakan prasyarat untuk kesempurnaan
berfikir. Secara spesifik, namun demikian ia tidak yakin bahwa kematangan yang
terjadi secara keseluruhan akan menentukan kematangan selanjutnya.

b. Zona Perkembangan Proksimal Zona Perkembangan Proksimal/Zona Proximal


Development (ZPD)
Merupakan konsep utama yang paling mendasar dari teori belajar sosiokultur
Vygotsky. Dalam Luis C. Moll (1993: 156-157), Vygotsky berpendapat bahwa setiap
anak dalam suatu domain mempunyai “level perkembangan actual” yang dapat dinilai
dengan menguji secara individual dan potensi terdekat bagi perkembangan domain
dalam tersebut. Vygotsky mengistilahkan perbedaan ini berada di antara dua level
Zona Perkembangan Proksimal, Vygotsky mendefinisikan Zona Perkembangan
Proksimal sebagai jarak antara level perkembangan aktual seperti yang ditentukan
untuk memecahkan masalah secara individu dan level perkembangan potensial seperti
yang ditentukan lewat pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau
dalam kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih mampu. Secara jelas Vygotsky
memberikan pandangan yang matang tentang konsep tersebut seperti yang dikutip
oleh Luis C. Moll (1993: 157) :

“Zona Perkembangan Proksimal mendefinisikan fungsi-fungsi tersebut


yang belum pernah matang, tetapi dalam proses pematangan. Fungsi-
fungsi tersebut akan matang dalam situasi embrionil pada waktu itu.
Fungsi-fungsi tersebut dapat diistilahkan sebagai “kuncup” atau “bunga”
perkembangan yang dibandingkan dengan “buah” perkembangan.”

Yuliani (2005: 45) mengartikan “Zona Perkembangan Proksimal sebagai fungsi-


fungsi atau kemampuan yang belum matang yang masih berada pada proses
pematangan”. Karena fungsi-fungsi yang belum matang ini maka anak membutuhkan
orang lain untuk membantu proses pematangannya. Sedangkan I Gusti Putu Suharta
dalam makalahnya berpendapat bahwa:

“Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat


perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan

5
pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial
bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat
yang lebih mampu.”

Zona Perkembangan Proksimal terdekat adalah ide bahwa siswa belajar konsep
paling baik apabila konsep itu berada pada zona perkembangan terdekat mereka
(Guruvalah). Sedangkan Marysia (2003) dalam makalahnya menyatakan bahwa “ZPD
merupakan suatu wilayah aktifitas-aktifitas di mana individu dapat mengemudikan
dengan kawan-kawan sebaya, orang-orang dewasa, ataupun orang yang lebih ahli
yang memiliki kemampuan lebih”. Pandangan Vygotsky tentang interaksi antara
kawan sebaya dan pencontohan adalah cara-cara penting untuk memfasilitasi
perkembangan kognitif individu dan kemahiran pengetahuan. Dalam makalah lain,
Julia berpendapat bahwa “ZPD merupakan level perkembangan yang dicapai ketika
anak-anak ikut serta dalam tingkah laku sosial”.
Hal ini dapat diartikan bahwa perkembangan penuh ZPD tergantung pada
interaksi sosial yang penuh, di mana keahlian dapat diperoleh dengan bimbingan
orang dewasa atau kolaborasi antar kawan sebaya ataupun orang yang lebih faham
melampaui apa yang difahaminya. Dalam Yuliani (2005: 45) Vygotsky
mengemukakan ada empat tahapan ZPD yang terjadi dalam perkembangan dan
pembelajaran yang menyangkut ZPD, yaitu :
Tahap 1 : Tindakan anak masih dipengaruhi atau dibantu orang lain.
Seorang anak yang masih dibantu memakai baju, sepatu dan kaos kakinya ketika
akan berangkat ke sekolah ketergantungan anak pada orang tua dan pengasuhnya
begitu besar, tetapi ia suka memperhatikan cara kerja yang ditunjukkan orang dewasa.
Tahap 2 : Tindakan anak yang didasarkan atas inisiatif sendiri.
Anak mulai berkeinginan untuk mencoba memakai baju, sepatu dan kaos kakinya
sendiri tetapi masih sering keliru memakai sepatu antara kiri dan kanan. Memakai
bajupun masih membutuhkan waktu yang lama karena keliru memasangkan kancing.
Tahap 3 : Tindakan anak berkembang spontan dan terinternalisasi.
Anak mulai melakukan sesuatu tanpa adanya perintah dari orang dewasa. Setiap
pagi sebelum berangkat ia sudah mulai faham tentang apa saja yang harus
dilakukannya, misalnya memakai baju kemudian kaos kaki dan sepatu.
Tahap 4 : Tindakan anak spontan akan terus diulang-ulang hingga anak siap untuk
berfikir abstrak.
Terwujudnya perilaku yang otomatisasi, anak akan segera dapat melakukan
sesuatu tanpa contoh tetapi didasarkan pada pengetahuannya dalam mengingat urutan
suatu kegiatan. Bahkan ia dapat menceritakan kembali apa yang dilakukannya saat ia
hendak berangkat ke sekolah.

6
Pada empat tahapan ini dapat disimpulkan bahwa. Seseorang akan dapat
melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak bisa dia lakukan dengan bantuan yang
diberikan oleh orang dewasa maupun teman sebayanya yang lebih berkompeten
terhadap hal tersebut.

c. Mediasi
Mediasi merupakan tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan
seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya. Ada dua jenis mediasi
yang dapat mempengaruhi pembelajaran yaitu:
1. Semiotic
Tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan seseorang untuk
memahami sesuatu di luar pemahamannya ini didapat dari hal yang belum ada di
sekitar kita, kemudian dibuat oleh orang yang lebih faham untuk membantu
mengkontruksi pemikiran kita dan akhirnya kita menjadi faham terhadap hal yang
dimaksudkan;
2. Scaffalding
Tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan seseorang untuk
memahami sesuatu di luar pemahamannya ini didapat dari hal yang memang sudah
ada di suatu lingkungan, kemudian orang yang lebih faham tentang tanda-tanda
atau lambang-lambang tersebut akan membantu menjelaskan kepada orang yang
belum faham sehingga menjadi faham terhadap hal yang dimaksudkan.
Kunci utama untuk memahami proses sosial psikologis adalah tanda-tanda atau
lambang-lambang yang berfungsi sebagai mediator. Tanda-tanda atau lambang-
lambang tersebut sebenarnya merupakan produk dari lingkungan sosiokultural di
mana seseorang berada. Untuk memahami alat-alat mediasi ini anak-anak dibantu
oleh guru, orang dewasa maupun teman sebaya yang lebih faham. Wertsch dalam
Yuliana (2005: 45-46) berpendapat bahwa :

“Mekanisme hubungan antara pendekatan sosiokultural dan fungsi-fungsi


mental didasari oleh tema mediasi semiotik. Artinya tanda atau lambang
beserta makna yang terkandung di dalamnya berfungsi sebagai
penghubung antara rasionalitas-sosiokultural (intermental) dengan
individu sebagai tempat berlangsungnyaa proses mental.”

Berdasarkan teori Vygotsky Yuliani (2005: 46) menyimpulkan beberapa hal yang
perlu untuk diperhatikan dalam proses pembelajaran, yaitu :

7
1. Dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan yang luas
untuk mengembangkan zona perkembangan proksimalnya atau potensinya melalui
belajar dan berkembang.
2. Pembelajaran perlu dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya dari pada
perkembangan aktualnya.
3. Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk mengembangkan
kemampuan intermentalnya daripada kemampuan intramentalnya.
4. Anak diberikan kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan
deklaratif yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural untuk
melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah.
5. Proses Belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih
merupakan ko-konstruksi.
Dalam teori belajar sosiokultur ini, pengetahuan yang dimiliki seseorang berasal dari
sumber-sumber sosial yang terdapat di luar dirinya. Untuk mengkonstruksi
pengetahuan, diperlukan peranan aktif dari orang tersebut. Karena pengetahuan dan
kemampuan tidak datang dengan sendirinya, namun harus diusahakan dan
dipengaruhi oleh orang lain.
Prinsip-prinsip utama teori belajar sosiokultur yang banyak digunakan dalam
pendidikan menurut Guru ialah :
1. Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif
2. Tekanan proses belajar mengajar terletak pada Siswa
3. Mengajar adalah membantu siswa belajar
4. Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses dan bukan pada hasil belajar
5. Kurikulum menekankan pada partisipasi siswa
6. Guru adalah fasilitator

II.2 Kelebihan dan Kelemahan Teori Belajar Kultural


Mendeskripsikan kelebihan dan kelemahan teori belajar kultural tidak bisa dilakukan
dengan mengeralisasikannya begitu saja. Di bagian awal telah disebutkan bahwa teori
belajar kultural hanya mampu didefinisikan dan dijelaskan dengan mengunakan berbagai
pendekatan teori belajar yang lain, terutama konstruktivisme dan sosio-kultural.
Mengidentifikasi kelebihan dan kelemahan teori belajar kultural dipandang dari
perspektif pendekatan tertentu. Berdasarkan teori Vygotsky akan diperoleh beberapa
keuntungan, antara lain:
1. Anak memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan
proximalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang.
2. Pembelajaran perlu lebih dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya
daripada tingkat perkembangan aktualnya.

8
3. Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk mengembangkan
kemampuan intermentalnya daripada kemampuan intramental.
4. Anak diberi kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan deklaratif
yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural yang dapat dilakukan untuk
tugas-tugas atau pemecahan masalah.
5. Proses belajar dan pembelajaran tidak bersifat transferal tetapi lebih merupakan
kokonstruksi, yaitu proses mengkonstruksi pengetahuan atau makna baru secara
bersama-sama antara semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Keuntungan sebagaimana telah dideskripsikan di atas akan memberikan implikasi
positif bagi peserta didik, antara lain:
1. Mendorong peserta didik untuk berfikir dalam proses membina pengetahuan baru.
Siswa berfikir untuk menyelesaikan masalah, menemukan ide dan membuat
keputusan.
2. Peserta didik akan memiliki pemahaman, kerana terlibat secara langsung dalam
membina pengetahuan baru. Peserta didik akan lebih faham dan dapat
mengapliksikannya dalam semua situasi.
3. Memiliki ingatan yang kuat terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukan dan
pengalaman, kerana murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat
lebih lama tentang semua konsep. Siswa melalui pendekatan ini membina sendiri
pemahamannya.
4. Memiliki efikasi diri yang tinggi, yakni memiliki keyakinan bahwa dirinya dan orang
lain yang terlibat dalam interaksi belajar akan mampu mengatasi permasalahan dalam
pembelajaran.
5. Memiliki kemahiran sosial yang diperoleh melalui interaksi dengan rekan dan guru
dalam membina pengetahuan baru.
6. Pembelajaran berlangsung menyenangkan, kerana peserta didik terlibat secara aktif
dan berkelanjutan.
Kelemahan dari teori sosio-kultural yaitu terbatas pada perilaku yang tampak, proses-
proses belajar yang kurang tampak seperti pembentukan konsep, belajar dari berbagai
sumber belajar, pemecahan masalah dan kemampuan berpikir sukar diamati secara
langsung.
II.3 Aplikasi Teori Belajar Kultural
Aplikasi teori sosio-kultural dalam pendidikan dapat terjadi pada tiga jenis pendidikan
yaitu:
1. Pendidikan informal (keluarga)
Pendidikan anak dimulai dari lingkungan keluarga, dimana anak pertama kali
melihat, memahami, mendapatkan pengetahuan, sikap dari lingkungan keluarganya.
Oleh karena itu perkembangan perilaku masing-masing anak akan berbeda manakala

9
berasal dari keluarga yang berbeda, karena faktor yang mempengaruhi perkembangan
anak dalam keluarga beragam, misalnya: tingkat pendidikan orang tua, faktor
ekonomi keluarga, keharmonisan dalam keluarga dan sebagainya.
2. Pendidikan nonformal
Pendidikan nonformal yang berbasis budaya banyak bermunculan untuk
memberikan pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku pada anak, misalnya kursus
membatik. Pendidikan ini diberikan untuk membekali anak hal-hal tradisi yang
berkembang di lingkungan sosial masyarakatnya.
3. Pendidikan formal
Aplikasi teori sosio-kultural pada pendidikan formal dapat dilihat dari beberapa
segi antara lain:
a. Kurikulum
Khususnya untuk pendidikan di Indonesia pemberlakuan kurikulum
pendidikan sesuai Peraturan Menteri nomor 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan
KTSP, Peraturan Menteri nomor 23 tahun 2006 tentang standar kompetensi, dan
Peraturan Menteri nomor 22 tahun 2006 tentang standar kompetensi dan
kompetensi dasar, jelas bahwa pendidikan di Indonesia memberikan pengetahuan,
ketrampilan, nilai dan sikap kepada anak untuk mempelajari sosio-kultural
masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional melalui beberapa mata
pelajaran yang telah ditetapkan, di antaranya: pendidikan kewarganegaraan,
pengetahuan sosial, muatan lokal, kesenian, dan olah raga.
b. Peserta didik
Dalam pembelajaran KTSP anak mengalami pembelajaran secara langsung
ataupun melalui rekaman. Oleh sebab itu pengetahuan, ketrampilan, nilai, dan
sikap bukan sesuatu yang verbal tetapi anak mengalami pembelajaran secara
langsung. Selain itu pembelajaran memberikan kebebasan anak untuk
berkembang sesuai bakat, minat, dan lingkungannya. Pencapaiannya sesuai
standar kompetensi yang telah ditetapkan.
c. Guru
Guru bukanlah narasumber segala-galanya, tetapi dalam pembelajaran lebih
berperanan sebagai fasilitator, mediator, motivator, evaluator, desainer
pembelajaran dan tutor. Masih banyak peran yang lain, oleh karenanya dalam
pembelajaran ini peran aktif siswa sangat diharapkan, sedangkan guru membantu
perilaku siswa yang belum muncul secara mandiri.
Aplikasi belajar kultural berdasarkan jenis model pembelajaran yang dipakai, harus
memenuhi prinsip-prinsip metodis konstruktivisme, yang melibatkan perananan aspek
lingkungan sosial maupun aspek lingkungan alam. Menurut Knuth & Cunningham,

10
dikatakan bahwa pembelajaran yang memenuhi metode konstruktivis hendaknya
memenuhi beberapa prinsip, yaitu:
a. Menyediakan pengalaman belajar yang menjadikan peserta didik dapat melakukan
konstruksi pengetahuan.
b. Pembelajaran dilaksanakan dengan mengkaitkan kepada kehidupan nyata.
c. Pembelajaran dilakukan dengan mengkaitkan kepada kenyataan yang sesuai.
d. Memotivasi peserta didik untuk aktif dalam pembelajaran.
e. Pembelajaran dilaksanakan dengan menyesuaikan kepada kehidupan sosial peserta
didik.
f. Pembelajaran menggunakan barbagai sarana.
g. Melibatkan peringkat emosional peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan
peserta didik.
Lebih jauh lagi, dalam proses pembelajaran yang relevan dengan aplikasi teori belajar
kultural, harus diciptakan suasana belajar yang memungkinkan terjadinya interaksi
sosial. Teori belajar konstruktivisme, teori belajar ko-konstruktivisme, teori belajar
sosial, dan teori belajar sosio kutural atau teori belajar revolusi-sosio kultural, merupakan
jiwa dari pengembangan pembelajaran aktif, kreatif dan menyenangkan. Ini berarti
secara umum aplikasi teori belajar sejalan dengan model belajar PAKEM. Dalam model
PAKEM, guru dituntut untuk dapat melakukan kegiatan pembelajaran yang dapat
melibatkan siswa melalui pembelajaran partisipatif, aktif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan. Tujuannya agar siswa dapat menciptakan, membuat karya, gagasan,
pendapat, ide atas hasil penemuannya dan usahanya sendiri, bukan dari gurunya
(Rusman, 2012: 323).
Pengembangan pembelajaran dalam hal ini adalah aplikasi pembelajaran di sekolah
yang menggunakan berbagai pendekatan atau model pembelajaran yang memenuhi
prinsip teori-teori tersebut. Berikut ini adalah beberapa model pembelajaran yang bisa
dikembangkan oleh guru dalam pembelajaran yang diampunya:
1. Model belajar inquiri dan discovering.
Dalam kedua model pembelajaran tersebut, siswa mencari, menemukan,
mengelolah, dan mengkonstruksi serta menstransformasikan informasi yang
diperolehnya guna menjadi sebuah pengetahuan yang bermakna. Model ini mampu
mengefektifkan peran siswa sendiri dalam mengkonstruksi dan mentrasformasikan
informasi guna membentuk pengetahuan yang baru. Siswa juga diberi kesempatan
untuk merefleksikan pengetahuan yang dikonstruksi dan ditransformasikannya dan
membacanya secara baru sebagai suatu pengetahuan yang berarti.
2. Guidence to independent learning (Bimbingan menuju pada kemandirian belajar).
Scaffolding adalah memberikan kepada seseorang anak sejumlah besar bantuan
selama tahap - tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut

11
dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab
yang semakin besar segera setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang
diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan menguraikan masalah ke
dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.
3. Cooperative learning.
Ide dasarnya adalah pembelajaran dilakukan dengan kerjasama antara peserta
didik. Kerjasama sebagai wujud interaksi sosial untuk memperoleh pengetahuan,
memecahkan masalah, berdiskusi, mereflerksi secara bersama-sama. Gagasan tentang
kelompok kerja kreatif diperluas menjadi pengajaran pribadi oleh teman sebaya (peer
tutoring), yaitu seorang anak mengajari anak lainnya yang agak tertinggal dalam
pelajaran. Satu anak bisa lebih efektif membimbing anak lainnya melewati ZPD
karena mereka sendiri baru saja melewati tahap itu sehingga bisa dengan mudah
melihat kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak lain dan menyediakan scaffolding
yang sesuai.

Selain model pembelajaran di atas, masih banyak model pembelajaran lain yang bisa
dikembangkan guru, antara lain model simulasi, role play, eksperiment learning, Web-
Based Education atau juga disebut e-learning, dan sebagainya, dengan syarat memenuhi
prinsip-prinsip dalam teori belajar kultural.

12
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Pada penerapan pembelajaran dengan teori belajar sosiokultur, guru berfungsi sebagai
motivator yang memberikan rangsangan agar siswa aktif dan memiliki gairah untuk
berfikir, fasilitator, yang membantu menunjukkan jalan keluar bila siswa menemukan
hambatan dalam proses berfikir, menejer yang mengelola sumber belajar, serta sebagai
rewarder yang memberikan penghargaan pada prestasi yang dicapai siswa, sehingga
mampu meningkatkan motivasi yang lebih tinggi dari dalam diri siswa. Pada intinya,
siswalah yang dapat menyelesaikan permasalahannya sendiri untuk membangun ilmu
pengetahuan. Dapat disimpulkan bahwa dalam teori belajar sosiokultur, proses belajar
tidak dapat dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas
berjalan seiring secara dialogis. Belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai
hasil dari pemikiran individu melalui interaksi dalam suatu konteks sosial. Dalam hal ini,
tidak ada perwujudan dari suatu kenyataan yang dapat dianggap lebih baik atau benar.
Vygotsky percaya bahwa beragam perwujudan dari kenyataan digunakan untuk beragam
tujuan dalam konteks yang berbeda-beda. Pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari
aktivitas di mana pengetahuan itu dikonstruksikan, dan di mana makna diciptakan, serta
dari komunitas budaya di mana pengetahuan didiseminasikan dan diterapkan. Melalui
aktivitas, interaksi sosial, tersebut penciptaan makna terjadi.
III.2 Saran
Pelaku dan pemerhati pendidikan agar memberikan formulasi yang lengkap dan jelas
mengenai teori belajar kultural dengan berbagai aplikasinya. Terutama bagi pelaku dan
pemerhati pendidikan di Indonesia agar menciptakan suatu pendekatan pembelajaran
melalui teori belajar kultural, yang mengacu pada aspek pengembangan karakteristik
kebangsaan, sehingga sesuai untuk diterapkan dalam paradigma pendidikan di Indonesia
yang latar belakang masyarakatnya sangat plural.

13
DAFTAR PUSTAKA

Asri Budiningsih. (2003). Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta : Fakultas Ilmu


Pendidikan. Universitas Negeri Yogyakarta.
H.A.R. Tilaar. (2002). Pendidikan Kebudayaan dan masyarakat Madani Indonesia.
Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Yuliani Nurani Sujiono, dkk. III. (2005). Metode Pengembangan Kognitif. Jakarta :
Pusat Penerbitan Universitas Terbuka

Sumber Internet:
Afilla F. Seiei. Teori Belajar Revolusi Sosiokultural, diunduh dari
http://blifa.blogspot.com/2012/05/teori-belajarrevolusisosiokultural.html, diakses
pada Sabtu, 30 Maret 2019.
Alfonsus Sam. Resume Materi Learning Theory, diunduh dari
http://aphonkssam.blogspot.com/2012/06/resume-materi-learning-2.html, diakses
pada Sabtu, 30 Maret 2019.
Akto Gunawan. E-book, Modul Seri 4 (Pembelajaran dan Budaya), diunduh dari
http://www.scribd.com/doc/87693943/pembelajaran-berbasis-budaya, diakses pada Sabtu, 30
Maret 2019.
Astuti Hermawati. Aplikasi Teori Belajar Kultural Dalam Pendidikan, diunduh dari
http://slbpamardiputra.wordpress.com/2010/11/20/aplikasi-teori-belajar-kultural-
dalam-pendidikan/, diakses pada Sabtu, 30 Maret 2019.

14

Anda mungkin juga menyukai