Anda di halaman 1dari 2

Nama : Sinta Fitriani

Nim : 221212151
Kelas : 2D
Matkul : SIK
Dospem: Pak Feri

Sejak tenofovir disoproksil fumarat (tenofovir) disetujui sebagai tata laksana pasien HIV pada
tahun 2001,beberapa studi telah melaporkan efek nefrotoksik dari tenofovir. Beberapa kasus
mengenai efek nefrotoksik akibat tenofovir juga dilaporkan pada beberapa pasien hepatitis B
kronik, mencakup sindrom Fanconi, nekrosis tubular akut, dan glomerulonefritis membrane
oproliferatif.[1]

Virus Hepatitis B adalah virus DNA yang menyerang organ hati, dan salah satu penyebab infeksi
virus kronik tersering di dunia. Virus ini berpotensi menyebabkan penyakit hati kronis seperti
sirosis, dan juga keganasan. Hepatitis B dapat tertular melalui pajanan pada darah atau cairan
tubuh yang terinfeksi, sehingga petugas medis termasuk mahasiswa kedokteran memiliki risiko
yang lebih untuk tertular penyakit ini.[2]

Indonesia termasuk negara dengan endemisitas sedang sampai tinggi untuk infeksi virus
Hepatitis B (VHB). Prevalensi Hepatitis di Indonesia berdasarkan jenisnya Hepatitis B
menduduki posisi pertama dengan presentase 21,8%. Penyakit Hepatitis ditandai dengan
terjadinya peningkatan kadar SGOT dan SGPT di dalam darah karena hati merupakan salah satu
organ tubuh yang banyak mengandung enzim transaminase yaitu SGOT dan SGPT.[3]

Berdasarkan studi literatur diketahui bahwa laki – laki lebih beresiko terinfeksi Hepatitis B
dibanding perempuan (100%). Usia 30 - 65 tahun lebih beresiko mengalami Hepatitis, hal ini
karena penularan dapat melalui hubungan seksual dan usia lansia mulai terjadi penurunan daya
tubuh sehingga mudah terinfeksi virus. Berdasarkan 4 jurnal yang ditelaah didapatkan hasil
jumlah trombosit mengalami penurunan hal ini disebabkan karena adanya gangguan produksi
trombopoietin di organ hati merupakan unsur pembentukan trombosit, juga menjadi penyebab
trombositopenia.[4]

Indonesia merupakan salah satu negara dengan prevalensi hepatitis B yang tinggi di Asia
Tenggara (kedua setelah Vietnam). Berdasarkan Riskesdas yang dilakukan oleh Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, pada studi yang dilakukan pada sample darah PMI, 10 dari 100
orang Indonesia terinfeksi hepatitis B atau C. Maka dari itu, dibutuhkan penanganan yang ekstra
untuk penanggulangan masalah infeksi hepatitis B.[5]

DAFTAR PUSTAKA
[1] A. Saraswati, T. Larasati, and Suharmanto, “Faktor Risiko Terjadinya Penyakit Hepatitis
C,” J. Penelit. Perawat Prof., vol. 4, no. 1, pp. 649–654, 2022, [Online]. Available:
http://jurnal.globalhealthsciencegroup.com/index.php/JPPP
[2] R. A. Gani, “Perbandingan Profil Keamanan Tenofovir dan Telbivudin terhadap Fungsi
Ginjal pada Pasien Hepatitis B di Indonesia,” J. Penyakit Dalam Indones., vol. 5, no. 3,
2018, doi: 10.7454/jpdi.v5i3.213.
[3] Annisa, “Virus Hepatitis B di Indonesia dan risiko penularan terhadap mahasiswa
kedokteran,” Anat. Med. J. Fak. Kedokt., vol. 2, no. 2, 2019.
[4] L. Geni and E. M. Yahya, “Gambaran Jumlah Trombosit dengan Kadar SGOT dan SGPT
Pada Penderita Hepatitis B,” Anakes J. Ilm. Anal. Kesehat., vol. 8, no. 1, 2022, doi:
10.37012/anakes.v8i1.707.
[5] J. Kurniawan, “Perkembangan Terapi Hepatitis B Kronis di Indonesia,” J. Penyakit
Dalam Indones., vol. 8, no. 3, 2021, doi: 10.7454/jpdi.v8i3.632.

Anda mungkin juga menyukai