Anda di halaman 1dari 43

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu masalah kesehatan masyarakat di dunia saat ini yaitu

penyakit radang hati (Hepatitis). Dilihat dari kenyataannya Hepatitis merupakan

masalah kesehatan yang serius bagi masyarakat di dunia termasuk di Indonesia

(Kementerian Kesehatan RI, 2014).

Virus Hepatitis B (HBV) termasuk salah satu virus yang paling umum

di dunia modern dan peringkat oleh WHO sebagai salah satu dari sepuluh

pembunuh (Othman, Saleh and Shabila, 2013), Hepatitis B termasuk problem

kesehatan masyarakat di seluruh dunia (Othman et al., 2013).

Menurut hasil Riskesdas tahun 2013 bahwa jumlah orang yang

didiagnosis Hepatitis di fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan gejala-gejala

yang ada, menunjukan penigkatan 2 kali lipat apabila dibandingkan dari data

tahun 2007, hal ini dapat memberikan petunjuk awal kepada kita tentang upaya

pengendalian di masa lalu, peningkatan akses, potensial masalah di masa yang

akan datang apabila tidak segera dilakukan upaya-upaya yang serius

(Kementerian RI, 2014).

Sementara rata-rata provinsi Bengkulu tahun 2013 sebesar 0,9 %.

wilayah dengan prevalensi Hepatitis tertinggi adalah Bengkulu Selatan (3,1 %).

Jenis Hepatitis yang banyak menginfeksi penduduk Indonesia adalah Hepatitis

B 19,2 % (Kementerian RI, 2014).


2

Resiko yang tinggi terhadap infeksi Hepatitis B pada tenaga

kesehatan, pernah dibahas dalam penelitian di salah satu jurnal berbasis

internasional yang mengatakan “tingkat pengetahuan dan sikap terhadap

Hepatitis B yang rendah di antara responden namun mayoritas dari

mereka ditunjukan praktek yang aman (Othman et al., 2013).

Tingkat studi, fakultas, usia, kebangsaan, status perkawinan dan

jenis kelamin dari responden secara signifikan terkait dengan tingkat

pengetahuan, sikap dan praktek terhadap penyakit. Temuan ini

menyiratkan bahwa ada kebutuhan untuk promosi kesehatan Hepatitis di

kalangan mahasiswa internasional dari UPM dan siswa internasional

mungkin lain di seluruh dunia, hal ini akan berfungsi untuk

meningkatkan tingkat pengetahuan, sikap dan praktek dalam jangka

pendek dan membuat mereka dilindungi terhadap penyakit dalam jangka

panjang (Othman et al., 2013).

Virus Hepatitis B (HBV) salah satu penyebab utama penyakit hati

yang menyebabkan masalah kesehatan masyarakat yang serius di seluruh

dunia, satu sepertiga dari populasi dunia memiliki bukti serologis infeksi

HBV. Jenis kelamin secara bermakna dikaitkan dengan praktik yang

lebih aman terhadap Hepatitis B (Othman et al., 2013).

Pusat Pengendalian dan Pencegahan (CDC) merekomendasikan

pengujian Hepatitis B dengan antigen HBsAg untuk orang yang beresiko

tinggi, termasuk orang-orang yang lahir di daerah yang rentan terkena


3

Hepatitis B (Harris et al., 2016). Antibodi spesifik untuk HBsAg adalah

anti HBs, Anti-HBs dapat muncul sebagai respon terhadap vaksinasi

Hepatitis B. Titer antibodi (Anti-HBs) akan menurun seiring dengan usia

imunisasi, yaitu pada usia lebih tua dan pada gangguan daya tahan tubuh

(Rossi et al., 2012).

Praktek kedokteran modern telah banyak memberikan kontribusi

untuk meningkatkan kasus dan penyebaran penyakit di masyarakat.

Infeksi HBV adalah umum karena selang dalam teknik sterilisasi

instrumen atau karena pengelolaan limbah rumah sakit yang tidak tepat

sebagai limbah layanan kesehatan 10 sampai 20% dianggap berbahaya

dan dapat menciptakan berbagai risiko kesehatan. Di antara tenaga

kesehatan, HBV ditularkan oleh tusuk kulit dengan jarum yang

terinfeksi, terkontaminasi dan jarum suntik atau melalui inokulasi

disengaja jumlah menit darah selama prosedur bedah dan gigi (Othman

et al., 2013).

Mahasiswa laboratorium kesehatan menjadi bagian dari sistem

pelayanan kesehatan yang terkena risiko yang sama dengan petugas

kesehatan lain ketika mereka datang dalam kontak dengan pasien dan

instrumen yang terkontaminasi, mereka tingkat pertama dari kontak

antara pasien dan spesimen, diharapkan mereka untuk melakukan

kegiatan yang berkaitan dengan pemeriksaan spesimen pasien dengan

awal tahun klinis mereka. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk
4

menilai pengetahuan mahasiswa kesehatan mengenai infeksi Hepatitis B

dan penularan dan pencegahannya selain mengetahui ada tidaknya anti

HBs dalam tubuh.

Penelitian perbedaan jenis kelamin terhadap terbentuknya anti

HBs pada mahasiswa yang akan melaksanakan praktik kerja lapangan

klinik jurusan Analis Kesehatan serta mahasiswa jurusan analis kesehatan

yang memiliki frekuensi tinggi dalam pelaksanakan praktik di laboratorium

untuk kesiapan diri dalam dunia kerja maupun untuk menghadapi praktik

kerja lapangan yang akan datang.

Usia diutamakan dalam keterkaitan dengan infeksi virus

Hepatitis B. Ada bukti yang berkembang bahwa titer anti-HBs menurun

seiring dengan bertambahnya usia manusia, terutama setelah usia 15

tahun (Souza et al., 2012). Peneliti Kanada melaporkan pada

Interscience Conference on Antimicrobial Agents and Chemotherapy

(ICAAC) ke-52 di San Francisco pada usia 15 tahun antibodi sekitar

20% turun dibawah ambang batas. Menurut (Aswati et al., 2013) bahwa

orang yang berusia lebih dari 15 tahun mempunyai kadar anti-HBs

protektif lebih rendah, seiring dengan peningkatan umur maka akan

terjadi penurunan kadar anti-HBs.

Vaksinasi yang selama ini dilakukan mampu menurunkan angka

kesakitan. Namun, keberhasilan vaksinasi terancam oleh adanya

escape mutant atau virus mutasi yang lolos, hal ini antara lain akibat

vaksin yang dibuat bukan berdasarkan alur virus lokal sehingga


5

antibody yang terbentuk tidak mampu membunuh virus Hepatitis B

yang ada, oleh karena itu perlu desain vaksin Hepatitis B yang tepat

dan optimum untuk Indonesia. Namun, upaya ini menghadapi

tantangan, yaitu adanya non responder atau orang yang divaksinasi,

tetapi tidak terbentuk antibodinya. Selain itu, muncul varian dan mutan

dari virus Hepatitis B.

Mutasi virus terjadi dalam waktu yang lebih pendek, hal itu

terjadi karena tekanan dari host akibat daya tahan tubuh, misalnya

karena diberi antibodi monoklonal atau divaksinasi (Haryati et al.,

2015).

Pada penelitian yang telah dilakukan dan menyebutkan pada

hasil dan pembahasan penelitiannya dalam judul Hubungan antara faktor

gender dan usia terhadap efektivitas vaksinasi hep a titis B p ada

mahasiswa jurusan Keperawatan di Poltekkes Surakarta yaitu, hasil

penelitian menunjukkan bahwa gender atau jenis kelamin tidak

mempengaruhi terhadap titer anti HBs, hal ini disebabkan probandus

yang digunakan adalah mahasiswa keperawatan. Jenis kelamin terkait

dengan jenis hormon yang dihasilkan, sedangkan penelitian yang

dilakukan di Iran dan Cina, perempuan menunjukkan respon antibody

yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Pada beberapa penelitian

didapatkan penurunan jumlah limfosit T pada laki-laki dibandingkan

perempuan. Serta laki-laki mempunyai kadar serum IgM dan IgG

yang lebih rendah. Respon imun yang berbeda antara laki-laki dan
6

perempuan dipengaruhi pula oleh hormon steroid sex seperti estrogen,

progesteron, dan testosteron yang berbeda pada masing- masing jenis

kelamin (Haryati et al., 2015).

Hasil survei pendataan mahasiswa jurusan analis kesehatan

Poltekkes Kemenkes yang di kategorikan menurut jenis kelamin yaitu

berjumlah 251 orang dengan rincian sampel yang digunakan 21

orang laki-laki dan 21 orang perempuan, pada pengambilan sampel ini

menggunakan metode random sampling.

Praktik belajar di laboratorium selalu dilakukan oleh mahasiswa

terkadang tidak sedikit pada praktikum menggunakan sampel serum,

darah, urine, feses dll yang bersifat berbahaya yang tidak menutup

kemungkinan positif penyakit menular seperti Hepatitis B, selain itu

juga ada praktik kerja lapangan klinik ini dilaksanakan selama 2,5 bulan

pada rumah sakit luar provinsi dan selama 1 bulan di rumah sakit

kabupaten yang ada di kota Bengkulu, praktik kerja lapangan klinik ini

menuntut mahasiswa kontak langsung pada pemeriksaan laboratorium

yang sebenarnya dengan kemungkinan besar dengan sampel dan pasien

yang positif terinfeksi penyakit tertentu dan tidak menutup kemungkinan

terinfeksi virus Hepatitis B, dengan alasan seperti yang dijelaskan di

atas, maka perlu diketahui adanya proteksi diri dari vaksinasi Hepatitis

B yang pernah dilakukan maupun pernah terinfeksi Hepatitis B dan

bagaimana perbedaan faktor jenis kelamin terhadap pembentukan

antibodi Hepatitis B.
7

Selanjutnya pada penelitian ini, dapat memberikan info bahkan

anjuran (saran) untuk mahasiswa Analis kesehatan tentang perlindungan

diri dengan anti HBs terhadap Hepatitis B yang tidak menutup

kemungkinan dapat menjadi salah satu penyakit yang dapat menular

apabila dalam pemeriksaan Hepatitis B secara langsung dengan sampel

yang positif dalam pelaksanaanya (pra-analitik, analitik dan pasca-

analitik) terdapat kesalahan atau ketidaksengajaan yang dapat

memungkinkan memberi efek buruk seperti terinfeksi virus Hepatitis B,

hal tersebut menjadi alasan atau dasar untuk mahasiswa jurusan Analis

Kesehatan untuk lebih mengefektifkan perlindungan diri baik eksternal

maupun internal seperti jika terdapat tidak baiknya pembentukan

antibodi Hepatitis B dan tidak adanya antibodi Hepatitis B dalam tubuh

seperti sebelumnya yang telah di jelaskan, maka lebih memungkinkan

untuk vaksin Hepatitis B dan Karna motto “lebih baik mencegah

daripada mengobati’.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan dalam

penelitian ini adalah Apakah ada hubungan jenis kelamin, usia dan

riwayat vaksinasi Hepatitis B terhadap pembentukan anti HBs pada

mahasiswa jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Bengkulu.


8

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan jenis kelamin, usia dan riwayat

vaksinasi Hepatitis B terhadap pembentukan anti HBs pada

mahasiswa jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes

Bengkulu.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi jenis kelamin, usia dan

riwayat vaksinasi Hepatitis B pada mahasiswa jurusan Analis

Kesehatan Poltekkes Kemenkes Bengkulu.

b. Untuk mengetahui distribusi frekuensi pembentukan anti HBs

pada mahasiswa jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes

Bengkulu.

c. Untuk mengetahui adanya hubungan jenis kelamin, usia dan

riwayat vaksinasi Hepatitis B terhadap pembentukan anti HBs

pada mahasiswa jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes

Bengkulu.

D. Manfaat Penelitian.

1. Bagi akademik

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi dokumen akademik dan

sebagai salah satu bahan referensi bagi peneliti lain yang


9

bermanfaat untuk melakukan penelitian tentang anti HBs di masa

yang akan datang.

2. Bagi tenaga laboratorium

Penelitian ini dapat memberikan informasi atau masukan

dan pertimbangan dalam melakukan pemeriksaan hubungan jenis

kelamin, usia dan riwayat vaksinasi Hepatitis B terhadap

pembentukan anti HBs .

3. Bagi masyarakat

Memberikan wawasan kepada masyarakat tentang hubungan

jenis kelamin, usia dan riwayat vaksinasi Hepatitis B terhadap

pembentukan anti HBs.

4. Bagi peneliti lain

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi kepada

peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian yang lebih lanjut

tentang pemeriksaan hubungan jenis kelamin, usia dan riwayat vaksinasi

Hepatitis B terhadap pembentukan anti HBs.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian sejenis pernah dilakukan oleh :

Dwi susi, Dwi Sulistyowati dengan judul hubungan antara faktor

gender dan usia terhadap efektivitas vaksinasi Hepatitis B pada

mahasiswa jurusan keperawatan di Poltekkes Surakarta.

Pada penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian saya

yaitu metode yang akan digunakan oleh peneliti di dalam penelitian ini
10

adalah korelasi. Korelasi adalah penelitian yang mengkaji hubungan

antara variabel. Peneliti dapat mencari, menjelaskan suatu hubungan,

memperkirakan, menguji berdasarkan teori yang ada. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa gender atau jenis kelamin tidak mempengaruhi

terhadap titer anti HBs, hal ini disebabkan probandus yang digunakan

adalah mahasiswa D-III keperawatan.

Jenis kelamin terkait dengan jenis hormon yang dihasilkan,

sedangkan penelitian yang dilakukan di Iran dan Cina, perempuan

menunjukkan respon antibody yang lebih tinggi diban dingkan laki-

laki. Respon imun yang berbeda antara laki-laki dan perempuan

dipengaruhi pula oleh hormon steroid sex seperti estrogen,

progesteron, dan testosterone yang berbeda pada masing-masing jenis

kelamin

Selanjutnya yang membedakan dalam penelitian tersebut dan

penelitian saya yaitu sasaran (probandus untuk sampel), tempat dan

waktu pemeriksaan, selain itu untuk lebih menunjang penelitian ini,

maka dengan adanya kesamaan dalam penelitian tersebut yaitu gender

atau jenis kelamin, perlu di jelaskan dalam tinjauan pustaka tentang

pemeriksaan Hepatitis B dan hormon agar dapat menjadi dasar hasil

dan pembahasan penelitian saya.


11

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Hepatitis

Istilah “Hepatitis” dipakai untuk semua jenis peradangan pada sel-sel

hati, yang biasa disebabkan oleh infeksi (virus,bakteri,parasit), obat-obatan

(termasuk obat tradisional), konsumsi alkohol, lemak yang berlebih dan

penyakit autoimune, ada 5 jenis Hepatitis virus yaitu Hepatitis A, B, C, D, dan

E, antara Hepatitis yang satu dengan yang lain tidak berhubungan (Kementerian

RI, 2014).

Hepatitis merupakan suatu peradangan pada hati yang dapat disebabkan

oleh beberapa sebab. Pada umumnya penyakit ini dibagi menjadi 2 jenis yaitu

Hepatitis akut dan Hepatitis kronis. Pada Hepatitis akut prosesnya berlangsung

kurang 6 bulan. Sedangkan pada Hepatitis kronis prosesnya lebih dari 6 bulan.

Penyakit Hepatitis dapat terjadi karena adanya virus utama dari kelima virus

penyebab Hepatitis, yaitu virus Hepatitis A, Hepatitis B, Hepatitis C, Hepatitis

D, dan Hepatitis E (H.R and Prima Dewi, 2014).

Peradangan pada hati (liver) yang disebabkan oleh virus disebut

dengan Hepaitis. Virus Hepatitis termasuk virus hepatotropik yang dapat

mengakibatkan Hepaitis A (HAV), Hepaitis B (HBV), Hepaitis C

(HCV), delta Hepaitis D (HCD), Hepaitis E (HEV), Hepaitis F dan

Hepaitis G (Huda Nurarif dan Kusuma, 2015). Selain Hepaitis tersebut

yang menjadi penyebab terjadinya penyakit Hepaitis, penyakit ini juga

dapat disebabkan oleh karena infeksi dan virus lain, contohnya seperti
12

infeksi sitomegalo virus, mononukleous infeksiosa, dan demam kuning.

Terdapat juga hepaitis non virus yang penyebab utamanya adalah

alkohol dan juga obat-obatan (Hasdianah dan Dewi, 2014).

Silent killer merupakan julukan dari Hepaitis, karena virus

Hepaitis menyebabkan kerusakan hati yang serius dan sekitar 80%

Hepaitis B dan C mengakibatkan kanker hati dan dapat membunuh 1,4

juta orang setiap tahunnya (WHO, 2015). Hepatitis dibagi menjadi 2

tahapan yaitu Hepatitis akut dan Hepatitis kronis. Hepatitis akut

merupakan penyakit infeksi akut yang mempunyai gejala utama

berhubungan erat dengan adanya nekrosis pada hati, yang disebabkan

oleh virus Hepatitis A, Hepatitis B, Hepatitis C dan virus-virus lainnya.

Peradangan muncul secara tiba-tiba dan berlangsung hanya bebrapa

minggu (Ratu dan Adwan, 2013).

2.1 Kondisi hati Penderita Penyakit Hepatitis

B. Hepatitis B
13

Klasifikasi

Kelas : kelas VII (dsdna-rt)

Famili : Hepadnaviridae

Genus : Orthohepadnavirus

Spesies: Virus Hepatitis B

Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus

Hepatitis B (VHB), suatu anggota famili Hepadnavirus yang dapat

menyebabkan peradangan hati akut atau menahun yang pada sebagian kecil

kasus dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Infeksi Hepatitis B

merupakan problem kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Pada penderita

Hepatitis kronis, bisa timbul komplikasi seperti sirosis (pengerasan hati) dan

kanker hati (Astuti and Kusumawati, 2014)

1. Patologi Hepatitis B

Pada manusia hati merupakan taerget organ bagi virus Hepatitis B.

Virus Hepatitis B (VHB) mula-mula melekat pada reseptor spesifik di

membaran sel hepar kemudian mengalami penetrasi ke dalam

sitoplasma sel hepar. Dalam sitoplasma VHB melepaskan mantelnya,

sehingga melepaskan nukleokapsid. Selanjutnya nukleokapsid akan

menembus dinding sel hati. Di dalam inti asam nukleat VHB akan

keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada DNA hospes dan

berintegrasi pada DNA, selanjutnya DNA VHB memerintahkan gel hati

untuk membentuk protein bagi virus baru dan kemudian terjadi

pemebntukan virus baru, virus ini dilepaskan ke peredaran darah,


14

mekanisme terjadinya kerusakan hati yang kronik disebabkan karena

respon imunologik penderita terhadap infeksi (H.R and Prima Dewi,

2014).

Apabila reaksi imunolgik tidak ada atau minimal maka terjadi

keadaan karier sehat. Gambaran patologis Hepatitis akut tipe A, B, dan

Non A, Non B adalah sama yaitu adanya peradangan akut diseluruh

bagian hati dengan nekrosis sel hati disertai infiltrasi sel-sel hati dengan

histiosit. Bila nekrosis meluas (masif) terjadi Hepatitis akut fulminan.

Bila penyakit menjadi kronik dengan peradangan dan fobrosis meluas

didaerah portal dan batas anatra lobulus masih utuh, maka akan terjadi

Hepatitis kronik persiten. Sedangkan bila daerah portal melebar, tidak

teratur dengan nekrosis diantara daerah portal yang berdekatan dan

pembentukan septa fibrosis yang meluas maka terjadi Hepatitis kronik

aktif (H.R and Prima Dewi, 2014).

2. Gejala klinis Hepatitis B

Kebanyakan orang tidak mengalami gejala apapun selama fase

infeksi akut. Namun, beberapa orang memiliki penyakit akut dengan

gejala yang berlangsung beberapa minggu, termasuk menguningkan

kulit dan mata (jaundice), urin gelap, kelelahan ekstrim, mual, muntah,

dan sakit perut. Sebuah subset kecil orang dengan Hepatitis akut dapat

mengembangkan gagal hati akut yang dapat menyebabkan kematian.

Pada beberapa orang, virus Hepatitis B juga dapat menyebabkan


15

infeksi hati kronis yang nantinya bisa berkembang menjadi sirosis

kanker hati atau liver (WHO, 2016)

Infeksi akut HBV ditandai dengan adanya HbsAg dan

immunoglobulin M (IgM) antibodi terhadap antigen inti, HbcAg.

Selama fase awal infeksi, pasien juga seropositif untuk Hepatitis B e

antigen (HBeAg), HBeAg biasanya penanda tingkat tinggi replikasi

virus. Kehadiran HBeAg menunjukan bahwa darah dan cairan tubuh

dari orang yang terinfeksi yang sangat menular (WHO, 2016).

Gejala klinis Hepatitis B terdiri atas 3 fase yaitu : (H.R and Prima

Dewi, 2014).

a. Fase Praikterik (prodromal)

Gejala non spesifik, permulaan penyakit tidak jelas, demam

tinggi, anoreksia, mual, nyeri didaerah hati disertai

perubahan warna air kemih menjadi gelap. Pemeriksaan

laboratorium mulai tampak kelainan hati (kadar bilirubin

serum, SGOT dan SGPT, Fosfatose alkali meningkat).

b. Fase Ikterik

Gejala demam dan gastrointestinal tambah hebat disertai

hepatomegali dan splenomegali, timbulnya ikterus makin

hebat dengan puncak pada minggu kedua. Setelah timbul

ikterus, gejala menurun dan pemeriksaan laboratorium tes

fungi hati abnormal.


16

c. Fase penyembuhan

Fase ini ditandai dengan menurunnya kadar enzim amino

transferase. Pembesaran hati masih ada tetapi tidak terasa

nyeri, pemeriksaan laboratorium menjadi normal.

3. Epidemiologi Hepatitis B

Hepatitis B disebabkan oleh virus Hepatitis B (VHB). Virus

ini pertama kali ditemukan oleh Blumberg pacta tahun 1965 dan

dikenalkan dengan nama antigen Australia. Virus ini termasuk DNA

virus. Virus Hepatitis B berupa partikel dua lapis berukuran 42 nm

yang disebut “Partikel Dane”. Lapisan luar terdiri atas antigen HbsAg

yang membungkus partikel inti (core). Pada inti terdapat DNA VHB

Polimerase. Pada partikel ini terdapat Hepatitis B core antigen

(HbcAg) dan Hepatitis B e antigen (HBeAg) (H.R and Prima Dewi,

2014)

Antigen permukaan (HbsAg) terdiri atas lipoprotein dan

menurut sifat imunologik proteinnya virus Hepatitis B dibagi menjadi

4 subtipe yaitu adw, adr, ayw dan ayr. Subtipe ini secara epidemiologis

penting, karena menyebabkan perbedaan geogmfik dan rasial dalam

penyebaran nya, virus Hepatitis B mempunyai masa inkubasi 45-80

hari, rata-rata 80-90 hari (H.R and Prima Dewi, 2014)

Dalam epidemiologi Hepatitis B dikenal kelompok resiko tinggi

yang lebih sering terkena infeksi virus Hepatitis B dibandingkan yang


17

lain, yang termasuk kelompok ini adalah : (H.R and Prima Dewi,

2014).

1. Individu yang karena pekerjaannya atau lingkungannya

relatif lebih sering ketularan, misalnya petugas kesehatan

(dokter, dokter gigi, perawat, bidan), petugas laboratorium,

pengguna jarum suntik, wanita tuna susila, pria homoseksual,

supir, dukun bayi, bayi yang dilahirkan dari ibu yang

terinfeksi Hepatitis B.

2. Individu dengan kelainan sistem kekebalan seluler, misalnya,

penderita hemofilia, hemodialisa, leukemia limfositik, dan

penderita yang mendapat terapi imunosuprosif.

4. Distribusi geografis

Prevalensi merupakan salah satu ukuran utama frekuensi

penyakit selain insidensi. Angka prevalensi mengukur jumlah orang

yang sakit di dalam suatu populasi pada suatu titik waktu yang

ditentukan. Angka prevalensi sendiri merupakan perbandingan dari

kasus total jumlah (kasus baru dan kasus lama) suatu penyakit pada

suatu waktu yang ditentukan dengan total populasi yang berisiko pada

waktu tersebut. Secara singkat prevalensi berarti semua kasus (baru atau

lama) yang dapat mengukur keberadaan penyakit (Pambudi et al., 2016).

Prevalensi Hepatitis Indonesia tahun 2013 adalah 1,2 %, dua kali

lebih tinggi dibanding tahun 2007, sementara rata-rata provinsi


18

Bengkulu tahun 2013 sebesar 0,9 %. wilayah dengan prevalensi

Hepatitis tertinggi adalah Bengkulu Selatan (3,1 %). Berdasarkan

kuintil indeks kepemilikan, kelompok terbawah menempati prevalensi

Hepatitis tertinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Jenis

Hepatitis yang banyak menginfeksi penduduk Indonesia adalah

Hepatitis B 19,2 % (Kementerian Ri, 2014)

Prevalensi Hepatitis 2013 adalah 1,2 persen, dua kali lebih

tinggi dibandingkan 2007 (Gambar 3.4.5). Lima provinsi dengan

prevalensi Hepatitis tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (4,3%),

Papua (2,9%), Sulawesi Selatan (2,5%), Sulawesi Tengah (2,3%)

dan Maluku (2,3%)(gambar 2.2), bila dibandingkan dengan Riskesdas

2007, Nusa Tenggara Timur masih merupakan provinsi dengan


19

prevalensi Hepatitis tertinggi (Penelitian and Pengembangan, 2013).

2.2 Prevalensi Hepatitis

5. Transmisi

Virus Hepatitis B dapat bertahan hidup di luar tubuh setidaknya

selama 7 hari. Selama ini, virus masih dapat menyebabkan infeksi jika

memasuki tubuh orang yang tidak dilindungi oleh vaksin, masa inkubasi

dari virus Hepatitis B adalah 75 hari rata-rata, tetapi dideteksi dalam

waktu 30 sampai 60 hari setelah infeksi dan dapat bertahan dan

berkembang menjadi Hepatitis B kronik (Haryati et al., 2015).


20

Di daerah endemis tinggi, Hepatitis B yang paling umum

menyebar dari ibu ke anak saat lahir (transmisi perinatal), atau melalui

transmisi horizontal (paparan darah yang terinfeksi), terutama dari anak

yang terinfeksi untuk anak yang tidak terinfeksi selama 5 tahun pertama

kehidupan, perkembangan infeksi kronis adalah sangat umum pada bayi

yang terinfeksi dari ibu mereka atau sebelum usia 5 tahun (WHO, 2016).

Virus Hepatitis B ditularkan melalui darah atau cairan tubuh

lainnya dari individu yang terinfeksi virus Hepatitis B. Infeksi terjadi

melalui pajanan perkutan (parenteral) atau permukosal, Contoh pajanan

perkutan adalah penggunaan jarum suntik, penggunaan jarum suntik,

penggunaan bergantian alat-alat medis atau bedah, transfusi,

hemodialisis, tato dan tindik. Pajanan permukosal terjadi pada

penularan perinatal atau aktifitas seksual. Pajanan perkutan dan

permukosal dapat terjadi di laboratorium maupun sarana pelayanan

kesehatan lainnya (Haryati et al., 2015).

6. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Hepatitis B

Penularan infeksi virus Hepatitis B melalui berbagai cara yaitu :

(H.R and Prima Dewi, 2014).

a. Parenteral : dimana terjadi penembusan kulit atau mukosa

misalnya melalui tusuk jarum atau benda yang sudah tercemar

virus Hepatitis B dan pembuatan tatto.


21

b. Non parenteral : karena persentuhan yang erat dengan benda

yang tercemar virus Hepatitis B.

Secara epidemiologik penularan infeksi virus Hepatitis B dibagi 2

cara penting yaitu :

a. Penularan vertikal, yaitu penularan infeksi virus Hepatitis B dari

ibu yang HbsAg positif kepada anak yang dilahirkan yang

terjadi selama masa perinatal. Resiko terinfeksi pada bayi

mencapai 50-60% dan bervariasi antar negara satu dan lain

berkaitan dengan kelompok etnik. Data mengenai prevalensi

HbsAg pada wanita hamil beberapa daerah di Indonesia.

b. Penularan horizontal, yaitu peneluran infeksi virus Hepatitis B

dari seorang pengidap virus Hepatitis B kepada orang lain

disekitarnya, misalnya melalui hubungan seksual.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Hepatitis B : (H.R and

Prima Dewi, 2014).

1. Faktor Host (pejamu)

Adalah semua faktor yang terdapat pada diri manusia yang

dapat mempengaruhi timbul serta perjalanan penyakit

Hepatitis B. Faktor pejamu meliputi :

a. Umur
22

Hepatitis B dapat myerang semua golongan umur, paling

sering pada bayi dan anak-anak (25-45,9%) resiko untuk

menjadi kronis, menurun dengan bertambahnya umur

dimana pada anak bayi 90% akan menjadi kronis, pada

anak usia sekolah 23-46% dan pada orang dewasa 3-

10%. Hal ini berkaitan dengan terbentuk antibodi dalam

jumlah cukup untuk menjamin terhindar dari Hepatitis

kronis.

b. Jenis kelamin

Berdasarkan sex ratio, wanita 3x lebih sering terinfeksi

Hepatitis B dibanding pria

c. Mekanisme pertahanan tubuh

Bayi baru lahir atau 2 bulan pertama setelah lahir lebih

sering terinfeksi Hepatitis B, terutama pada bayi yang

sering terinfeksi Hepatitis B, terutama pada bayi yang

belum mendapat imunisasai Hepatitis B. Hal ini karena

sistem imun belum berkembang sempurna.

d. Kebiasaan hidup

Sebagian besar penularan pada masa remaja disebabkan

karena aktivitas seksual dan gaya hidup seperti

homoseksual, pecandu obat narkotika suntikan,

pemakaian tatto, pemakaian akupuntur.

e. Pekerjaan
23

Kelompok resiko tinggi untuk mendapat infeksi Hepatitis

B adalah dokter, dokter bedah, dokter gigi, perawat,

bidan, petugas kamar operasi, petugas laboratorium

dimana mereka dalam pekerjaan sehari-hari kontak

dengan [enderita dan material manusia (darah, tinjah, air

kemih).

2. Faktor lingkungan

Merupakan keseluruhan kondisi dan pengaruh luar yang

mempengaruhi perkembangan Hepatitis B. Yang termasuk

faktor lingkungan adalah :

a. Lingkungan dengan sanitasi kurang baik

b. Daerah unit pembedahan : Ginekologi, gigi, mata

c. Daerah unit laboratorium

d. Daerah unit bank darah

e. Daerah unit perawatan penyakit dalam

7. Manisfestasi klinis Hepatitis B

Berdasarkan gejala klinis dan petunjuk serologis, manifestasi klinis

Hepatitis B dibagi 2 yaitu : (H.R and Prima Dewi, 2014).

1. Hepatitis akut yaitu manifestasi infeksi virus Hepatitis B terhadap

inpdividu yang sistem imunologinya matur sehingga berakhir

dengan hilangnya virus Hepatitis B dari tubuh hospes. Hepatitis B

akut terdiri atas 3 yaitu :

a. Hepatitis B akut yang khas


24

b. Hepatitis Fulminan

c. Hepatitis Subklinik

2. Hepatitis B kronik yaitu manifestasi infeksi virus Hepatitis B

terhadap individu dengan sistem imunologi kurang sempurna

sehingga mekanisme, untuk menghilangkan VHB tidak efektif dan

terjadi koeksistensi dengan VHB.

3. Hepatitis akut yang khas bentuk Hepatitis ini meliputi 95%

penderita dengan gambaran ikterus yang jelas.

8. Pemeriksaan Hepatitis B

Pemeriksaan yang digunakan untuk mendiagnosa Hepatitis B

diantaranya adalah:

a. Pemeriksaan HBsAg, untuk mengetahui ada tidaknya HBV dalam

darah. Hasil yang positif berarti seseorang telah terinfeksi virus

Hepatitis B baik akut ataupun kronis dan dapat menularkan virus

kepada orang lain. Sedangkan jika pemeriksaan negatif berarti

seseorang tidak memiliki virus Hepatitis B dalam darahnya. Jika

HBsAg menetap selama > 6 bulan maka infeksi dinyatakan kronis

(Wibowo, 2012).

b. Pemeriksaan anti-HBs, untuk mendeteksi antibodi yang dihasilkan

oleh tubuh sebagai respon terhadap antigen pada virus Hepatitis B.

Jika pemeriksaan positif berarti seseorang telah dilindungi atau kebal

dari virus Hepatitis B karena telah divaksinasi atau ia telah sembuh

dari infeksi akut.


25

c. Pemeriksaan anti-HBc, tujuannya untuk mendeteksi antibodi yang

dihasilkan oleh tubuh sebagai respons terhadap bagian dari virus

Hepatitis B yang disebut antigen inti. Hasil dari pemeriksaan ini

seringkali tergantung pada hasil dari dua pemeriksaan lainnya,

pemeriksaan anti-HBs dan HBsAg. Pemeriksaan positif berarti

seseorang saat ini terinfeksi dengan virus Hepatitis B atau pernah

terinfeksi sebelumnya.
d. Pemeriksaan IgM anti-HBc, tujuan pemeriksaan yaitu untuk

mendeteksi infeksi akut. Pemeriksaan positif berarti seseorang telah

terinfeksi virus Hepatitis B dalam 6 bulan terakhir.


e. Pemeriksaan HBeAg, tujuannya untuk mendeteksi protein (HBeAg)

yang ditemukan dalam darah selama infeksi virus Hepatitis B aktif.

Pemeriksaan positif berarti: seseorang memiliki virus tingkat (level)

tinggi dalam darahnya dan dapat dengan mudah menyebarkan virus

ke orang lain. Pemeriksaan ini juga digunakan untuk memantau

efektivitas pengobatan untuk Hepatitis B kronis (Pphi, 2013).


f. Pemeriksaan HBeAb atau anti-HBe, Tujuan untuk mendeteksi

antibodi (HBeAb atau anti-HBe) yang dihasilkan oleh tubuh sebagai

respons terhadap Hepatitis B antigen e. Pemeriksaan positif berarti

seseorang terinfeksi virus Hepatitis B kronis tetapi berada pada

risiko rendah untuk terkena masalah penyakit hati karena rendahnya

tingkat virus Hepatitis B dalam darah.


g. Pemeriksaan HBV-DNA, bertujuan untuk mendeteksi seberapa

besar HBV DNA dalam darah dan hasil replikasinya pada urin

seseorang. Pemeriksaan positif berarti virus ini berkembang biak di


26

dalam tubuh seseorang dan dapat menularkan virus kepada orang

lain. Jika seseorang memiliki Hepatitis B infeksi virus kronis,

kehadiran DNA virus berarti bahwa seseorang mengalami

peningkatan risiko untuk kerusakan hati. Pemeriksaan ini juga

digunakan untuk memantau efektivitas terapi obat untuk infeksi virus

Hepatitis B kronis serta dapat menjadi dasar perhitungan dimulainya

pengobatan (Pphi, 2013).

C. Anti HBs

Anti HBs atau antibodi terhadap Hepatitis B surface antigen, anti HBs

adalah antibodi golongan IgG terhadap HbsAg yang timbul setelah terpapar

virus Hepatitis B atau setelah di vaksinasi Hepatitis B yang bersifat protektif,

pada pasien yang mendapatkan vaksinasi Hepatitis B perlu melakukan

pemeriksaan anti HBs untuk mengetahui keberhasilan vaksinasi (kekebalan),

anti HBs untuk mengetahui adanya antibodi zat kekebalan terhadap virus

Hepatitis B.

Pada penderita Hepatitis B ,anti HBs positif merupakan petanda

kesembuhan, pada pasien yang belum atau sudah mendapatkan vaksinasi

Hepatitis B, jika anti HBs positif pasien sudah mempunyai kekebalan terhadap

infeksi virus Hepatitis B, disarankan untuk rutin memeriksakan kadar anti HBs,

jika kadar anti HBs menurun, perlu diberikan vaksinasi ulang. Jika HbsAg dan

kadar anti HBs negative maka pasien belum pernah terinfeksi dan belum
27

mempunyai kekebalan terhadap infeksi Hepatitis B maka disarankan untuk

vaksinasi (Pusat Diagnostik, Budi Sehat, 2016).

1. Imunitas

Lingkungan di sekitar manusia mengandung berbagai jenis unsur

patogen. Misalnya, bakteri, virus, fungi, protozoa dan parasit yang dapat

menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksi yang terjadi pada orang

normal umumnya jarang meninggalkan kerusakan permanen, hal ini

disebabkan tubuh manusia memiliki suatu sistem yang disebut sistem

imun yang melindungi tubuh terhadap unsur-unsur patogen (Syaifuddin,

2012).

Rangsangan terhadap sel terjadi apabila di dalam tubuh masuk

suatu zat lain yang oleh sel atau jaringan dianggap asing (non-self) dari

zat yang berasal dari tubuh sendiri (self). Pada beberapa keadaan

patologi sistem imun ini tidak dapat membedakan zat asing dari tubuh

sendiri sehingga sel-sel dalam sistem imun membentuk zat anti terhadap

jaringan tubuhnya sendiri yang disebut auto-antibodi (Syaifuddin,

2012).

Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk melawan hampir

semua organismeatau toksin yang cenderung masuk ke jaringan dan

organ. Kemampuan ini dinamakan imunitas yang khusus untuk

membentuk antibodi serta limfosit menyerang dan menghancurkan

mikroorganisme spesifik atau toksin (Syaifuddin, 2012).


28

Ketika benda asing masuk ke dalam tubuh, segera dihasilkan zat

yang akan bereaksi dan membuat substansi tersebut tidak berbahaya.

Protein asing disebut antigen dan substansi yang dihasilkan untuk

berespons terhadap antigen disebut antibodi. Bila sistem imun

terpapar pada zat yang dianggap asing maka ada dua jenis respons

imun yang mungkin terjadi yaitu respons imun non spesifik dan spesifik

(Syaifuddin, 2012).

Imunitas mengacu pada kemampuan tubuh menahan atau

mengeliminasi benda asing atau sel abnormal yang potensial berbahaya.

Aktivitas yang berkaitan dengan sistem pertahanan imun, yang berperan

penting dalam mengenali dan menghancurkan atau menetralisasi benda-

benda di dalam tubuh yang dianggap asing oleh tubuh normal

(Syaifuddin, 2012).

Faktor yang memengaruhi sistem imun :

a. Usia frekuensi dan intensitas infeksi meningkat pada usia lanjut,

juga terjadi penurunan kemampuan untuk bereaksi secara

memadai terhadap mikroorganisme yang menginvasi.

Terganggunya fungsi limfosit T dan B menurunkan fungsi

sistem organ yang berkaiatan seperti lambung, sel kemih,

jaringan paru, penipisan kulit, neuropati perifer, dan penurunan

sensibilitas sirkulasi.

b. Gender (jenis kelamin) :


29

1. Estrogen memodulasi aktivitas limfosit T (sel supresor).

2. Androgen berfungsi untuk mempertahankan produksi

interkulin 2 dan aktivitas sel sukresor

3. Estrogen cenderung menggalakkan imunitas sedangkan

androgen bersifat imunosupresif.

c. Nutrisi :

1. Gangguan fungsi imun yang disebabkan oleh insufisiensi

protein kalori terjadi akibat kekurangan vitamin yang

diperlukan untuk sintesis DNA dan protein.

2. Vitamin akan membantu dalam pengaturan proliferasi sel

dan maturasi sel imun.

3. Kelebihan atau kekurangan unsur-unsur renik (tembaga,

besi, mangan, selenium, zink) akan memengaruhi fungsi

imun.

d. Factor psikoneuroiumologi :

1. Limfosit dan makrofag memiliki reseptor yang dapat

bereaksi terhadap neurotransmitter dan hormon-hormon

endokrin.

2. Proses imun dapat memengaruhi fungsi neural dan endokrin

termasuk perilaku.
30

e. Kelaianan organ lain. Keadaan seperti luka bakar atau bentuk

cedera lain (infeksi dan kanker) turut mengubah fungsi system

imun, disertai stress karena pembedahan atau cedera akan

menstimulasi (mendorong) pelepasan kortisol dari korteks

adrenal turut menyebabkan supresi respon imun yang normal.

Respon imun non-spesifik, merupakan imunitas bawaan (innate

immunity) yaitu respons terhadap zat asing, dapat terjadi walaupun

tubuh sebelumnya tidak pernah terpapar pada zat tersebut. Imunitas ini

diturunkan secara alami, tidak selektif dalam menahan setiap benda

asing atau sel abnormal pada pertama kali terpapar.

Respons imun spesifik merupakan respons didapat (dari luar

organisme). Sel-sel leukosit memegang peran penting dalam respons

imun terutama limfosit, yang merupakan inti dalam proses imun

spesifik. Sel ini dapat mengenal setiap jenis antigen baik intraseluler

maupun ekstraseluler, misalnya dalam cairan tubuh atau dalam darah.

2. Vaksinasi Hepatitis B

Hepatitis B merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah

dengan vaksinasi. Advisory Commitee on Immunization Practices

(ACIP), WHO dan Internasional Group of Hepatitis Experts

menggunakan kadar anti-HBs > 10 mlU/ml sebagai kadar protektif

pasca vaksinasi B (Pasca et al., 2015).


31

Vaksinasi Hepatitis B diberikan sebagai salah satu upaya

proteksi terhadap infeksi Hepatitis B, yang dapat diberikan pada segala

tingkat usia dari bayi hingga dewasa. Keberhasilan suatu vaksinasi

dapat diketa- hui berdasarkan pengukuran titer antibody yang

terbentuk melalui pemeriksaan laboratorium, hasil kajian tersebut

diharapkan dapat diketahui apakah pemberian vaksinasi hepatitis B

yang telah dilakukan memberikan manfaat sebagai salah satu upaya

mendukung terciptanya Indonesia Sehat sesuai dengan program

pemerintah dalam rangka menciptakan manusia sehat dan sejahtera

(Astuti and Kusumawati, 2014)

Mutasi virus terjadi dalam waktu yang lebih pendek, hal itu

terjadi karena tekanan dari host akibat daya tahan tubuh, misalnya

karena mutasi, pencegahan dilakukan pemerintah indonesia melalui

program-program pengembangan imunisasi dalam rangka pencegahan

penularan terhadap beberapa penyakit yang dapat dicegah dengan

imunisasi (PD3I) yang salah satunya adalah Hepatitis B. Sebagaimana

rekomendasi WHO pada 1992 untuk mencantumkan vaksinasi

Hepatitis B untuk semua program imunisasi yang diselenggarakan

(Pambudi et al., 2016).

Vaksinasi merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja

memberikan paparan suatu antigen yang berasal dari suatu

mikroorganisme. Tujuan utama dari program imunisasi Hepatitis B


32

adalah untuk mengurangi prevelensi antigen Hepatitis B permukaan

(HbsAg) pada kelompok yang dilahirkan sejak pelaksanaan program.

Sebuah cara praktis untuk menentukan perlindungan jangka panjang

yang diberikan oleh vaksin HB adalah dengan memperkirakan insidensi

infeksi break-though (positif anti-HBC) serta karier kronis (HbsAg

positif) di antara individu yang sudah divaksinasi sebelumnya. Vaksinasi

merupakan slah satu cara paling efektif sebagai pencegahan terhadap

penyakit infeksi (Pambudi et al., 2016).

HbsAg adalah antigen yang digunakan untuk vaksinasi Hepatitis

B. Vaksin antigen dapat dimurnikan dari plasma orang dengan infeksi

virus Hepatitis B kronis atau diproduksi oleh teknologi DNA

rekombinan (Pambudi et al., 2016).

Serangkaian lengkap imunisasi memberikan perlindungan

selama setidaknya 25 tahun. Boosters tidak dianjurkan untuk program

imunisasi rutin, Karena masa inkubasi Hepatitis B lama, perlindungan

akan diberikan kepada sebagian besar wisatawan mengikuti dosis kedua

diberikan sebelum perjalanan. Namun, dosis akhir harus selalu

diberikan. Vaksin Hepatitis B harus dipertimbangkan untuk semua

individu non-imun bepergian ke negara-negara atau daerah dengan

risiko sedang hingga infeksi tinggi. Hal ini dapat diberikan kepada bayi

sejak lahir (WHO, 2016).

D. Faktor Jenis Kelamin Pada Pembentukan Anti HBs


33

Anti HBs atau antibodi terhadap Hepatitis B surface antigen,

anti HBs adalah antibodi golongan IgG terhadap HbsAg yang timbul

setelah terpapar virus Hepatitis B atau setelah di vaksinasi Hepatitis B

yang bersifat protektif, pada pasien yang mendapatkan vaksinasi

Hepatitis B perlu melakukan pemeriksaan anti HBs untuk mengetahui

keberhasilan vaksinasi (kekebalan), anti HBs untuk mengetahui adanya

antibodi zat kekebalan terhadap virus Hepatitis B (Pusat Diagnostik,

Budi Sehat, 2016).

Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya Hepatitis B yaitu

Jenis kelamin, berdasarkan sex ratio, wanita 3x lebih sering terinfeksi

Hepatitis B dibanding pria (H.R and Prima Dewi, 2014). Jenis kelamin

juga mempengaruhi imunitas yaitu hormon Estrogen memodulasi

aktivitas limfosit T, Androgen berfungsi untuk mempertahankan

produksi interkulin 2 dan aktivitas sel sukresor (Syaifuddin, 2012).

Jenis kelamin terkait dengan jenis hormon yang dihasilkan,

Sedangkan penelitian yang dilakukan di Iran dan Cina, perempuan

menunjukkan respon antibodi lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Pada

beberapa penelitian didapatkan penurunan jumlah limfosit T pada laki-

laki dibandingkan perempuan, serta laki-laki mempunyai kadar serum

IgM dan IgG yang lebih rendah. Respon imun yang berbeda antara laki-

laki dan perempuan dipengaruhi pula oleh hormon steroid sex seperti

estrogen, progesteron, dan testosteron yang berbeda pada masing-

masing jenis kelamin (Haryati et al., 2015).


34

Jenis kelamin secara bermakna dikaitkan dengan praktik yang

lebih aman terhadap Hepatitis B dan C, wanita secara signifikan

memiliki proporsi yang lebih tinggi dari mereka dengan praktek yang

lebih aman terhadap penyakit dibandingkan untuk laki-laki. Ini dapat

dijelaskan oleh fakta bahwa perempuan umumnya bisa lebih berhati-hati

dalam sehari-hari kehidupan rutinitas mereka dibandingkan dengan laki-

laki (Othman et al., 2013).

E. Kerangka Teori

Umur

Jenis Kelamin Faktor Internal Pemeriksaan


Anti HBs
(kualitatif)
Mekanisme Pertahanan
Tubuh
Positif (+) Negatif (-)
ada tidak ada
Kebiasaan Hidup
antibodi antibodi

Pekerjaan
Lingkungan
Daerah Dengan
Prevalensi VHB
HBcAg
HBeAg
HBsAg
sanitasi Jelek Faktor
FaktorLingkungan
Eksternal
Tinggi
35

Faktor Internal

Diteliti

Tidak di teliti

Bagan 2.2 Kerangka Teori

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
1. Jenis Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian dengan metode Cross

Sectional. Survei Cross Sectional ialah suatu penelitian untuk

mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek,


36

dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus

pada suatu saat (point time approach) (Notoatmodjo, 2005).


Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran atau fakta

mengenai adanya perbedaan jenis kelamin terhadap pembentukan

antibodi Hepatitis B pada mahasiswa jurusan Analis Kesehatan

Poltekkes Kemenkes Bengkulu.


2. Kerangka Konsep Penelitian

Mahasiswa/i jurusan Jenis Laki-laki Kualitatif


Analis Kesehatan kelamin Perempuan
(identifikasi
Poltekkes Kemenkes anti HBs)
Bengkulu Memilki antibodi Tidak memiliki
Hepatitis B, Positive antobidi Hepatitis B,
Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
(+) Negative (-)

B. Variabel Penelitian, Definisi Operasional dan Hipotesis

1. Variabel Penelitian

Variabel Independent Variabel Dependent

Jenis kelamin Anti HBs

Bagan 3.2 Variabel Penelitian

2. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional

1 Jenis kelamin Jenis kelamin kuesioner 1.laki-laki Nominal


37

adalah sex yang 2.perempuan


mempunyai
perbedaan pada
fungsi.

2 Anti HBs Anti HBs atau Strip anti Positif (+), jika Nominal
antibodi HBs. muncul dua
terhadap garis
Hepatitis B
Negatif (-), jika
surface antigen.
muncul satu
garis

3. Hipotesis

Ada perbedaan jenis kelamin terhadap pembentukan anti HBs pada

Mahasiswa jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Bengkulu.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang

diteliti (Notoatmojo, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah

Mahasiswa Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Bengkulu

setelah dengan jumlah 251 orang dengan rincian 50 orang laki-laki dan

201 orang perempuan.

2. Sampel
38

Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek penelitian yang diteliti

dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmojo, 2012), dan untuk

menentukan besar sampel dihitung berdasarkan rumus (Notoatmojo, 2012).

α
N x Z 2 1− x P(1−P)
2
n=
α
( N −1 ) d 2 + Z 2 1− x P(1−P)
2

Keterangan:
N = Besar populsi
n = Besar sampel
d = Tingkat kepercayaan/ ketepatan yang diinginkan

Dimana perhitungan sampel:

Jumlah populasi: 251 (Jumlah mahasiswa/i jurusan Analis


kesehatan)

Nilai presisi : 0,5

251 x 1.96 x 0.5(1−0.5)


n=
( 251−1 ) 0.12 +1.96 x 0.5 (1−0.5)
n = jadi sampel dalam penelitian ini adalah 42 orang.

Jadi sampel dalam


α
N x Z 2 1− x P(1−P) penelitian ini adalah
2
n= 42 orang, terdiri dari
α
( N −1 ) d 2 + Z 2 1− x P(1−P) 21 laki-laki dan 21
2
perempuan yang
tersebar di tingkat 1,
251 x 1.96 x 0.5(1−0.5)
n= 2
tingkat 2, dan tingkat
( 251−1 ) 0.1sampel
Pengambilan +1.96 xyaitu
0.5 (1−0.5)
dengan teknik Purposive Sampling.
3 Teknik

ini didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti
39

sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui

sebelumnya (Notoatmodjo, 2012).


Sampel yang digunakan sebanyak 42 sampel. Sampel ini telah

memenuhi beberapa kriteria, diantaranya kriteria inklusi adalah kriteria atau

ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil

sebagai sampel. Kriteria inklusi sampel yang akan diteliti, yaitu :

1. Bersedia menjadi Responden.


2. Merupakan mahasiswa/i jurusan Analis Kesehatan Poltekkes

Kemenkes Bengkulu.
3. Tidak sedang mengkonsumsi obat rutin 6 bulan terakhir.
D. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Poltekkes Kemenkes Bengkulu, tempat

pemeriksaan di laboratorium terpadu Poltekkes Kemenkes Bengkulu

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian di bulan September 2016 s/d bulan Juli 2017 dari

penelitian hingga pengolahan data dan penyajian hasil.

E. Pelaksanaan Penelitian

1. Pra Analitik

a. Pengumpulan data

1. Pengumpulan data jumlah mahasiswa jurusan analis kesehatan.


2. Pengelolaan data jumlah mahasiswa jurusan analis kesehatan,

yaitu mengelompokan sesuai jenis kelamin dan Melaksanakan


40

kuisioner kepada responden serta menyesuaikan Sampel yang

akan diambil diuji menggunakan kriteria Inklusi.


b. Persiapan Alat dan Bahan
a) Peralatan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan

untuk pengambilan darah dan pemeriksaan sampel, yaitu spuit

5 cc, tabung heparin, kapas alkohol, plaster, Centrifuge,

mikropipet 10 µl, dan rapide test anti HBs.


b) Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah darah vena

(serum).
2. Analitik
a. Persiapan Sampel
pengambilan sampel pasien diberitahu tentang tujuan, manfaat, cara

penelitian dan pengisian koesioner persetujuan keikutsertaan dalam

penelitiian, dan tidak meminum obat rutin selama 6 bulan terakhir.


b. Pengambilan Sampel Darah Vena

Cara pengambilan sampel darah vena adalah sebagai berikut: Usap

lengan pasien dengan alkohol 70% dan dibiarkan sampai kering,

kemudian tangan dibendung dengan torniquet, kemudian

ditegangkan dengan jari telunjuk dan ibu jari kiri diatas pembuluh

darah kemudian ditusuk jarum dengan sisi miring dengan tangan

kiri, pengisap semprit diisap perlahan-lahan sehingga darah masuk

ke dalam semprit, kemudian kepalan tangan dibuka dan ikatan

pembendung di renggangkan atau dilepas sampai didapat sejumlah

darah yang dibutuhkan, diletakkan kapas kering pada tempat

tusukan, jarum ditarik kembali.


41

c. Pembuatan Serum
Mendiamkan tabung yang berisi darah pada suhu ruang (27-28ºC)

sampai darah membeku, kemudian dilakukan centrifuge selama 10

menit dengan kecepatan 3000 rpm untuk memisahkan serum dengan

sel-sel darah.
d. Cara Pemeriksaan kadar anti HBs
a) Disiapkan alat dan bahan yang digunakan
b) Dikeluarkan strip HBs dari kemasan.
c) Diteteskan 10 mikron serum menggunakan mikropipet

kedalam kaset.
d) Dbiarkan selama 15 menit.
e) Diamati hasil test yang tertera pada alat.
3. Pasca Analitik
Interprestasi Hasil
a) Positif : muncul dua garis
b) Negatif : satu garis merah muncul di daerah kontrol (c)
c) Invalid : garis kontrol tidak muncul
F. Teknik Pengumpulan
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dengan

menguji langsung kualitatif anti HBs yang ada dalam darah dengan metode

rapide test pada mahasiswa jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes

Bengkulu.
G. Pengolahan Data

a. Editing, yaitu memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau

yang dikumpulkan.

b. Coding, yaitu memberi tanda atau simbol berupa angka pada

alternative jawaban untuk pengkategorian variabel dalam program

komputer.
42

c. Entri, yaitu memasukkan data-data yang meliputi, hasil pemeriksaan

anti HBs ke dalam komputer untuk dianalisis.

d. Cleaning, yaitu pengecekan dan perbaikan terhadap data yang sudah

masuk sebelum analisa data dilakukan.

H. Analisis Data

Dalam pengolahan data di analisis secara univariat dan bivariat, yaitu:

a. Analisa Univariat
Untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi dari variabel.

b. Analisa Bivariat

Untuk melihat perbedaan jenis kelamin terhadap pembentukan anti HBs

pada Mahasiswa jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes

Bengkulu, dengan menggunakan analisis statistik, data yang terkumpul

diolah dan disajikan dalam bentuk tabel, kemudian dianalis secara

statistik dengan uji independent.

1. Bila P value < 0,05, ada perbedaan jenis kelamin terhadap

pembentukan anti HBs pada mahasiswa Analis Kesehatan Poltekkes

Kemenkes Bengkulu.

2. Bila P value > 0,05, tidak ada perbedaan jenis kelamin terhadap

pembentukan anti HBs pada mahasiswa Analis Kesehatan Poltekkes

Kemenkes Bengkulu.

Anda mungkin juga menyukai