Anda di halaman 1dari 42

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Klinik Gora didirikan sejak tahun 2011, tepatnya 21 November 2011 yang
sebelumnya berdiri Laboraturium klinik 21 Desember 2000. Pendirian awalnya
dimotivasi untuk melandasi oleh keinganan dan motivasi untuk memberikan
pelayanan kesehatan yang baik khususnya pemeriksaan kesehatan Laboraturium
dengan mengutamakan pelayanan yang ramah dan simpatik dengan di tunjang
serta didukung pula dengan akurasi hasil yang baik.
Pada awalnya, Klinik Gora berdiri dengan melihat segmen pasar saat itu
yang kecendrungannya lebih bertolak pada pemeriksaan kesehatan Calon Tenaga
Kerja Indonesia (CTKI). Banyak di antara tenaga kerja Indonesia asal NTB yang
melakukan pemeriksaan kesehatan di propinsi dengan membutuhkan waktu dan
biaya yang cukup besar. Hal ini disebabkan karena fasilitas pemeriksaan
kesehatan tenaga kerja di Nusa Tenggara Barat khususnya Kota Mataram sangat
minim sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pemeriksaan kesehatan
tenaga kerja yang ada.
Dengan semakin berkembangnya laju perekonomian di NTB pada
umumnya dan di Kota Mataram khususnya, berdampak pula pada perubahan pola
pikir masyarakat. Kecendrungan masyarakat untuk mengetahui secara berkala
status kesehatan mereka mulai berkembang.
Bertolak dari kenyataan itulah kemudian pada tahun 2005, Laboratorium
Klinik Gora kembali membenahi diri dengan tidak hanya memiliki satu segmen
1
2

saja dalam hal pemeriksaan kesehatan Calon Tenaga Kerja Indonesia akan tetapi
juga mulai menggarap segmen lainnya, yaitu pemeriksaan kesehatan masyarakat
khususnya pemeriksaan Laboratorium kesehatan secara umum.
Pada awal tahun 2006, tepatnya Januari 2006 Laboraturium Klinik Gora
mendapat kepercayaan dari BIDDOKES Polda NTB untuk melaksanakan
pemeriksaan terhadap calon Bintara Polda NTB, khususnya pemeriksaan
Laboraturium. Di samping itu juga BIDDOKES Polda NTB juga menunjuk
Laboratorium Klinik Gora sebagai pelaksana pemeriksaan Laboratorium untuk
Calon Taruna Akpol, PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian), Secaba (Sekolah
Calon Perwira).
Pemeriksaan kesehatan bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia yang akan
dikirim bekerja ke luar negeri merupakan bagian tidak terpisahkan dari program
penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Calon Tenaga Kerja Indonesia harus
melakukan pemeriksaan kesehatan (Medical Check Up) terlebih dahulu. Dewasa
ini banyak penyakit menular yang telah mampu diatasi bahkan ada yang telah
dapat dibasmi, akan tetapi masalah penyakit menular masih tetap dirasakan oleh
sebagian besar penduduk negara sedang berkembang. Berbagai macam penyakit
menular yang perlu dilakukan pemeriksaan kesehatan antara lain : Hepatitis, HIV
dan Sifilis. (Achmad, 2002, Nur, 2006)
Hepatitis dapat didefinisikan sebagai suatu proses nekroinflamatorik yang
mengenai sel-sel hati. Proses itu sendiri dapat disebabkan oleh berbagai hal,
misalnya virus, bahan kimia, obat-obatan, alkohol dan dapat pula disebabkan
karena ischemia, misalnya shock atau proses autoimun (Soemoharjo, 1999).
3

Hepatitis virus B disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B (VHB) yang dapat
menimbulkan hepatitis kronik, yang dapat berkembang menjadi sirosis hati dan
atau hepatoma (Hadi, 1999).
Hepatitis B menyebabkan empat juta infeksi akut di seluruh dunia setiap
tahun. Kira-kira 350 juta individu di seluruh dunia merupakan karier kronik
hepatitis B dengan 100 juta individu karier berada di Cina dan satu juta karier
berada di Amerika Serikat. Prevalensi hepatitis B sangat tinggi di semua wilayah
Afrika beberapa bagian Amerika Selatan, Alaska, Kanada Utara, Eropa Timur,
Jepang, New Zealand, Asia Tenggara dan Cina. Di Amerika Utara infeksi terjadi
pada remaja (Mahoney dkk, 1999). Menurut kriteria WHO Indonesia termasuk
daerah endemitas tinggi yang berkisar antara 10-15% (Soemohardjo, 1999).
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2007 prevalensi penduduk yang terinfeksi virus hepatitis B sebesar 9.4% (rentang
0.2- 1.9%). Salah satu daerah dengan prevalensi tinggi hepatitis B di Indonesia
adalah provinsi Nusa Tenggara Barat. Berbagai penelitian yang dilakukan di NTB
membuktikan bahwa angka pengidap HBsAg (Hepatitis B surface Antigen) cukup
tinggi. Penelitian yang dilakukan di Desa Segenter Kecamatan Bayan Kabupaten
Lombok Utara didapatkan prevalensi HBsAg sebesar 20.3%, kemudian pada
pendonor darah di Mataram didapatkan prevalensi HBsAg sebesar 7.3%. Pada
penduduk Gili Gede didapatkan prevalensi HBsAg sebesar 13.45, serta penelitian
yang dilakukan di Sumbawa Besar dan Bima didapatkan prevalensi HBsAg
sebesar 11,7% dan 11,3% (Soemohardjo, 2008).
4

Perjalanan penyakit Hepatitis B kronik seringkali tanpa gejala selama
bertahun-tahun sehingga seseorang tidak sadar mengidap virus tersebut dan
berpotensi menularkan kepada orang lain. Terkadang keluhannya hanya lemas,
cepat lelah, gangguan pencernaan, kembung, mual dan kehilangan nafsu makan.
Hepatitis B mempunyai dua cara penularan yaitu vertikal dan horizontal.
Penularan horizontal dapat terjadi melalui kulit atau selaput lendir contohnya
yaitu tato, tranfusi darah, perlukaan kulit, cukuran kumis, sikat gigi, penggunaan
jarum suntik bersama, hubungan seksual yang berganti-ganti pasangan. Penularan
secara vertikal terjadi bila seorang wanita dengan HBsAg positif menularkan
kepada bayi yang dilahirkannya (Oswari, 2003).
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
Berapa besar prevalensi Hepatitis B berdasarkan umur dan jenis kelamin pada
Calon Tenaga Kerja Indonesia (CTKI) di Klinik Gora Mataram periode Januari
s/d Maret 2013?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui prevalensi Hepatitis B berdasarkan umur dan jenis
kelamin Calon Tenaga Kerja Indonesia (CTKI) di Klinik Gora Mataram
Periode Januari s/d Maret 2013.
2. Tujuan Khusus
a. Menghitung jumlah Penderita HBsAg Positif berdasarkan umur
b. Menghitung jumlah Penderita HBsAg Positif berdasarkan jenis kelamin
5

c. Menganalisis prevalensi Hepatitis B (HBsAg) berdasarkan umur dan
jenis kelamin pada CTKI di Klinik Gora Mataram.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Masyarakat
Untuk memberikan informasi tentang prevalensi Hepatitis B berdasarkan
umur dan jenis kelamin, serta memberikan pengetahuan betapa pentingnya
menjaga kesehatan.
2. Bagi Pendidikan
Sebagai tambahan ilmu pengetahuan dan bahan bacaan mahasiswa di
Perpustakaan Jurusan Analis Kesehatan Mataram.
3. Bagi Dinas Kesehatan
Memberikan masukan tentang prevalensi Hepatitis B dalam menentukan
program - program kesehatan terutama di daerah kerja Dinas Kesehatan
Kota Mataram.









6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoritis
1. Definisi Hepatitis
Hepatitis dapat didefinisikan sebagai suatu proses nekroinflamatorik yang
mengenai sel-sel hati. Proses itu sendiri dapat disebabkan oleh berbagai hal
misalnya virus, bahan kimia, obat-obatan, alkohol dan dapat pula disebabkan
oleh karena ischemia, misalnya karena shock atau suatu proses autoimun
(Soemohardjo, 1999).
Hepatitis terdiri dari beberapa jenis, yaitu :
a) Hepatitis A
Hepatitis A adalah penyakit peradangan hati yang termasuk kategori
ringan dan apabila ditangani sejak dini dengan baik tidak menyebabkan
kematian. Hepatitis A (disebabkan virus hepatitis A, VHA) adalah jenis
hepatitis yang paling ringan, namun sangat menular. Virusnya
ditemukan dalam tinja penderita hepatitis A sekitar 2 minggu sebelum
dan 7 hari setelah terinfeksi. Penularan jenis hepatitis A ini melalui: (1)
Kontak langsung, contohnya setelah membersikan seorang anak
penderita hepatitis yang baru saja BAB, Anda tidak mencuci tangan
dengan sabun. Anda bisa tertular. (2) Makanan dan minuman yang telah
terkontaminasi dengan virus hepatitis A. karena itu, jangan minum
sembarangan atau mengonsumsi makanan mentah yang belum dicuci.
6
7

sangat mudah dan cepat menyebar merupakan salah satu pengertian
hepatitis A, terutama ditularkan oleh tukang masak yang tidak mencuci
tangan secara bersih setelah BAB. (Anonim, 2013)
b) Hepatits B
Hepatitis B ialah penyakit hepatitis jenis B yang dikategorikan sebagai
penyakit menular dan termasuk penyakit menular berbahaya. jenis
Hepatitis B ini masuk dalam kategori hepatitis akut atau menahun. Jenis
hepatitis B dapat menimbulkan peradangan dan kerusakan sel-sel hati,
virus mampu bertahan dan menetap di dalam tubuh, sehingga bersifat
kronis dan selanjutnya berpotensi merusak jaringan hati secara
perlahan. Akhirnya organ hati rusak, mengecil dan mengeras (sirosis)
atau timbul kanker hati. (Anonim, 2013)
c) Hepatitis C
Hepatitis C adalah penyakit jenis hepatitis yang disebabkan oleh virus C
(Hepatitis C Virus HCV) dan ditularkan melalui jarum suntik, jarum
tindik, dan tato yang terinfeksi dan transfusi darah atau produk darah
yang terinfeksi, cuci darah, cangkok organ. Selain itu juga alat
perawatan tubuh bersama seperti silet cukur, sikat gigi dan gunting
kuku. Bedanya dengan jenis hepatitis B, penularan jenis hepatitis C
tidak melalui kontak pribadi (misalnya hubungan seks atau kelahiran
bayi dari ibu yang terinfeksi). Namun sumber penularan terbesar adalah
jarum suntik yang digunakan bersama-sama di antara para pengguna
narkoba. Jenis hepatitis C lebih ganas dibanding Jenis hepatitis B. Jenis
8

Hepatitis C ini seringkali tanpa gejala, sehingga penderita bisa
bertahun-tahun terinfeksi tanpa menyadari bahwa dirinya mengidap
VHC dan berpotensi menularkannya. Virus hepatitis C berada dalam
darah dan cairan tubuh, dapat dideteksi dengan pemeriksaan darah
khusus, dimana di dalam darah ditemukan adanya HCV-RNA setelah 1-
2 minggu terinfeksi virus jenis hepatitis C (VHC). (Anonim, 2013)
d) Hepatitis D
Hepatitis D adalah penyakit hepatitis jenis D yang disebabkan oleh
virus yang dikenal dengan sebutan Delta yaitu virus cacat yang
perkembangannya dibantu oleh hepatitis B. Dan virus hepatitis D inilah
yang paling berbahaya walaupun jarang memasuki jaringan tubuh
manusia. (Anonim, 2013)
e) Hepatitis E
Hepatitis E adalah penyakit hati yang disebabkan virus jenis hepatitis E
( VHE ). Jenis Hepatitis E ditemukan pada tahun 1980-an, Hepatitis E
didiagnosis setelah ditemukan virus VHE dalam darah yang disertai
dengan zat anti-IgM dan anti-VHE. (Anonim, 2013)
Partikel virion lengkap VHB disebut partikel Dane. Komponen lapisan
luar adalah HBsAg. Pada bagian dalam terdiri dari HBcAg. Didalam
nukleokapsid didapatkan DNA untai ganda dan DNA polymerase. Terdapat
pula HBeAg yang merupakan partikel lepas tidak membentuk virus hepatitis B.


9

Gambar 2.1 : Inti struktur virus secara umum

Inti virus tersusun atas satu jenis asam nukleat. Beberapa jenis virus
menggunakan asam deoksiri-bonukleat (DNA) sebagai bahan genetiknya, tetapi
sebagian besar jenis virus menggunakan asam ribo-nukleat (RNA). Tidak ada
jenis virus yang menggunakan dua macam asam nukleat sekaligus. Virus
yang berinti DNA disebut virus DNA, sedangkan virus yang berinti RNA
disebut virus RNA. Polimer asam nukleat tersebut mengandung sekitar 4-7 gen
untuk virus kecil dan sekitar 150-200 gen untuk virus besar. Asam nukleat
tersebut bersifat khas dan merupakan salah satu dasar pengelompokan
(klasifikasi) virus.
2. Patogenesis
Virus hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parental. Dari peredaran
darah partikel dane masuk kedalam hati terjadi proses replikasi virus.
Selanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel dane utuh,
partikel HBsAg bentuk bulat dan tubuler dan HBeAg yang tidak ikut
membentuk partikel virus. VHB merangsang respon imun, yang pertama kali
dirangsang adalah respon imun non spesifik (innate immune respon) karena
10

dapat terangsang dalam waktu singkat, dalam beberapa menit sampai beberapa
jam. Untuk proses eradikasi VHB lebih lanjut diperlukan respon imun spesefik,
yaitu mengaktivasi sel limfosit T dan sel limfosit B. Aktivasi sel limfosit B
dengan bantuan CD4+ akan menyebabkan produksi antibodi antara lain anti
HBs, anti-HBc dan anti-HBe. Anti HBs akan mencegah penyebaran virus dari
sel ke sel. Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien, maka infeksi VHB
dapat diakhiri, sedangkan bila proses tersebut kurang efisien, maka terjadi
infeksi VHB yang menetap. Proses eliminasi VHB oleh respon imun yang tidak
efisien disebabkan oleh faktor viral ataupun faktor penjamu (Soemohardjo,
2008).
Ada 2 golongan cara penularan infeksi VHB yaitu penularan horizontal
dan penularan vertikal. Penularan horizontal dapat terjadi melalui kulit atau
selaput lendir, sedangkan penularan vertikal terjadi dari seseorang penderita
yang hamil kepada bayi yang dilahirkannya. Ada 2 macam penularan melalui
kulit yaitu penularan melalui kulit yang disebabkan tusukan yang jelas
(penularan parental), misalnya melalui suntikan, tranfusi darah atau pemberian
produk yang berasal dari darah, tato dan lain-lain. Kelompok kedua adalah
penularan melalui kulit tanpa tusukan yang jelas, misalnya masuknya bahan
infektif melalui proses goresan atau abrasi kulit, radang kulit dan lain-lain.
Selaput lendir yang dapat menjadi tempat masuk infeksi VHB adalah selaput
lendir mulut, mata, hidung, saluran makanan bagian bawah dan selaput lendir
genitalia (Soemohardjo, 2008).
11

Transmisi utama VHB terjadi melalui parental. Di Asia dengan tingkat
endemitas VHB tinggi, pola transmisi yang banyak berperan adalah transmisi
perinatal dan transmisi karena kontak erat antar anggota keluarga. Transmisi
dari ibu (vertikal) ke bayi dapat terjadi pada saat intra uterin (prenatal), saat
lahir (intranatal) dan setelah lahir (pasca-natal). Transmisi horizontal dapat
terjadi melalui kontak erat antar anggota keluarga. Umumnya transmisi
prenatal (vertikal) diyakini terjadi melalui kontak dengan cairan tubuh ibu yang
terkontaminasi VHB pada saat kelahiran. Infeksi intaruterin lebih jarang terjadi
(sekitar 2,45 dari seluruh kejadian transmisi perinatal). Infeksi ini diduga
karena adanya defek plasenta, sehingga barier plasenta yang seharusnya dapat
mencegah HBsAg masuk ke janin tidak dapat berfungsi dengan baik. Infeksi
VHB yang terjadi intrauterine ini umumnya tidak dapat dicegah (Oswari,
2003).
Paradigma dari empat fase infeksi kronik, terdiri dari immune tolerance,
immune clearance, inactive carrier dan HBeAg-negative chronic hepatitis B,
akan tetapi tidak semua pasien akan mengalami 4 fase tersebut. Fase-fase
tersebut yaitu: Fase pertama, hepatitis B kronik immune tolerance. Terutama
terlihat pada infeksi yang didapat pada masa perinatal, ditandai dengan
tingginya kadar replikasi virus (HBeAg positif, anti HbeAg negative,
tingginya kadar DNA virus hepatitis B didalam darah tepi) dan kadar Alanine
Aminotransaminase (ALT) yang normal hingga peningkatan minimal yang
mengindikasikan adanya hepatitis ringan (Valsamakis, 2007). Pada fase ini
12

sangat jarang terjadi serokonversi HBeAg tersebut biasanya tidak efektif
(Soemohardjo, 2008).
Pada sekitar 30% individu dengan presistensi VHB akibat terjadinya
replikasi VHB yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang
tampak dari kenaikan kadar ALT. Pada keadaan ini, penderita mulai
kehilangan toleransi imun terhadap virus hepatitis B. Fase ini disebut fase
imunoaktif atau immune clearance, serokonversi HBeAg baik secara spontan
maupun karena terapi lebih sering terjadi (Soemohardjo, 2008). Sisanya 70%
dari individu tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar partikel
VHB tanpa kerusakan sel hati yang berarti. Pada keadaan ini, titer HBsAg
rendah dengan HBeAg yang menjadi negative dan anti Hbe yang menjadi
positif secara spontan, dan kadar ALT normal, yang menandai terjadinya fase
nonreflikatif dan fase residual. Pada sebagian penderita dalam fase inactive
carriers dan residual, pada waktu terjadi serokonversi HBeAg positif menjadi
anti-HBe, sudah terjadi sirosis. Hal ini dikarenakan terjadinya fibrosis setelah
terjadi serokonversi tersebut (Soemohardjo, 2008).
Fase keempat adalah reaktivasi, ditandai dengan HBeAg negative, anti
HBe positif, adanya peningkatan enzim hati dan tingginya jumlah DNA VHB.
HBeAg dapat berubah menjadi positif pada beberapa individu. Pada biopsi hati
terdapat aktivitas hepar dengan indeks skore 4 atau lebih. Pada keadaan sistem
imun yang cukup maka akan terlihat mirip dengan hepatitis B akut dan
perubahan IgM anti-HBc menjadi positif. Bila terjadi pada keadaan sistem
imun yang tinggi maka akan menjadi hepatitis fulminant (Soemohardjo, 2008).
13

3. Gambaran Klinis
a) Gambaran Klinis Hepatitis B Akut
Setelah masa inkubasi berakhir, akan terjadi gejala prodomal yang
dapat berupa anoreksia, mual, muntah, mialgia, atau coryza berkisar
selama 1-2 minggu. Fase ini disusul dengan fase ikterik yang ditandai
dengan timbulnya ikterus dan berkurangnya keluhan-keluhan prodomal.
Pada saat itu, hepar teraba dan nyeri tekan. Dapat timbul limpadenopati
dan splenomegali. Kadang-kadang terdapat tanda-tanda kolestasis yang
disertai ikterus berkepanjangan serta gatal-gatal (Soemohardjo, 2008).
b) Gambaran Klinis Hepatitis B Kronik
Gambaran klinis hepatitis B kronik sangat bervariasi. Pada banyak
kasus, tidak didapatkan keluhan maupun gejala dan hasil pemeriksaan tes
faal hati normal. Pada sebagian lagi, didapatkan hepatomegali, atau
bahkan splenomegali, atau tanda-tanda penyakit hati kronik lainnya,
misalnya Eriterma Palmaris, spider nevi dan pada pemeriksaan
laboratorium, sering didapatkan kenaikan kadar ALT walaupun tidak
selalu (Soemohardjo, 2008).
c) Gambaran Klinis Sirosis Hati
Pasien dengan sirosis dapat datang dengan sedikit keluhan, dapat
tanpa keluhan sama sekali, atau dengan keluhan. Beberapa keluhan atau
gejala yang sering timbul pada sirosis, antara lain : kulit berwarna kuning,
rasa lelah, lemah, nafsu makan menurun, gatal, mual, penurunan berat
badan, nyeri perut dan mudah berdarah (akibat penurunan produksi faktor-
14

faktor pembekuan darah). Pasien sirosis dapat tetap berjalan kompensata
selama bertahun-tahun, sebelum berubah menjadi dekompensata. Sirosis
dekompensata dapat dikenal dari timbulnya bermacam komplikasi seperti
ikterus, perdarahan varises, asites, atau ensefalopati (Kusumobroto, 2007).
d) Gambaran Klinis Hepatoma
Gambaran klinik kanker hati sering sangat bervariasi. Kanker hati
harus selalu dicurigai pada penderita sirosis yang keadaannya cepat
menjadi jelek apalagi disertai nyeri perut kanan atas dan bila teraba tumor.
Penderita kanker hati sering mengalami penurunan berat badan. Rasa nyeri
relatif jarang didapatkan. Nyeri perut hebat dapat terjadi akibat adanya
perihepatitis atau bila tumor mengenai diafragma. Sering ditemukan
keluhan saluran makan, misalnya nafsu makan berkurang, kembung, atau
konstipasi. Namun terdapat juga penderita yang mengalami diare kronik
yang sulit diatasi karena kanker tersebut memproduksi zat aktif, misalnya
prostalglandin sering ditemukan hepatomegali. Asites didapatkan pada
sekitar 50% penderita kanker hati (Soemohardjo, 2008).
4. Epidemiologi
Virus Hepatitis B (VHB) telah menginfeksi lebih dari 350 juta orang
didunia atau kurang lebih 5% populasi dunia. Virus Hepatitis B merupakan
penyebab utama hepatitis kronis dan karsinoma hepatoseluler (KHS), serta
menyebabkan 1 juta kematian tiap tahunnya ( Oswari, 2003).
Di Eropa dan Amerika 15-25% penderita hepatitis B kronik akan
meninggal karena proses hati atau kanker hati primer. Penelitian yang
15

dilakukan di Taiwan pada 3.654 pria China yang HBsAg positif bahkan
mendapat angka yang lebih besar yaitu antara 40-50% (Soemohardjo, 2007).
Penelitian tentang HBsAg pada orang dewasa di Taiwan telah mendapat
infeksi pada masa perinatal, kejadian sirosis pertahun 0.5%, kemungkinan
terjadinya sirosis setelah 17 Tahun kira-kira 13%. Umumnya sekitar 85%
pasien mengalami serokonversi HBeAg diantara usia 20 sampai 29 tahun
(Valsamakis, 2007).
Penilaian paparan hepatitis B terhadap tenaga kesehatan di Uganda yang
merupakan negara dengan daerah endemis yang tinggi. Tenaga kesehatan
dipilih melalui random sampling dari urutan tenaga kesehatan di tingkat
daerah, setiap daerah masing-masing populasi proporsinya sama. Pada kasus
ini, terdapat 60.1% tenaga kesehatan yang terinfeksi hepatitis B, dengan 8.7%
menjadi karier kronik dan 0.3% terinfeksi akut, 36.3% rentan dan harus
vaksinasi. Hanya 5.1% yang dilaporkan pernah melakukan vaksinasi hepatitis
B 1 kali dari 3.5% kebal vaksinasi. Trauma jarum suntik dilaporkan sebanyak
77% dari tenaga kesehatan yang merupakan model paparan terhadap darah dan
cairan tubuh (Braka dkk, 2006).
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2007 prevalensi penduduk yang terinfeksi virus hepatitis B sebesar 9.4%
(rentang 0.2- 1.9%). Salah satu daerah dengan prevalensi tinggi hepatitis B di
Indonesia adalah provinsi Nusa Tenggara Barat. Berbagai penelitian yang
dilakukan di NTB membuktikan bahwa angka pengidap HBsAg (hepatitis B
surface Antigen) cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan di desa Segenter
16

didapatkan prevalensi HBsAg sebesar 20.3%, kemudian pada pendonor darah
di Mataram didapatkan prevalensi HBsAg sebesar 7.3% pada penduduk Gili
Gede didapatkan prevalensi HBsAg sebesar 13.45, serta penelitian yang
dilakukan di Sumbawa Besar dan Bima didapatkan prevalensi HBsAg sebesar
11,7% dan 11,3% (Soemohardjo, 2008).
5. Diagnosis
Diagnosis hepatitis B secara umum dibuat berdasarkan pemeriksaan
serologi. Pada umumnya individu yang terinfeksi hepatitis B akan
menimbulkan HBsAg positif (Worman, 2002).
Deteksi HBsAg dapat dilakukan dengan beberapa metode tapi yang sering
digunakan adalah metode ELISA. Metode ini dapat mendeteksi HBsAg sampai
kadar 0,2 ng/cc. Metode lain yang lebih sederhana yang masih banyak
digunakan adalah metode RPHA (Reserve Passive Haemagglutination) dengan
batas deteksi HBsAg sampai 1 ng/cc. Keuntungan metode ini adalah sifatnya
semikuantitatif serat dapat digunakan untuk jumlah sampel yang sedikit, cepat
dan reagen yang tahan lama, sedangkan kerugiannya adalah dalam pembacanya
subjektif dan kurang sensitif. Selain menggunakan metode RPHA, terdapat
juga tes cepat (rapid tes) yaitu dipstick atau imunokhromatografi dengan
kepekaan yang sebanding dengan RPHA. Untuk mendeteksi anti-HBS,
HBeAg, anti-HBe, serta anti-HBc menggunakan metode ELISA dan
Imunokromatografi (Soemodhardjo, 1999).
Pemeriksaan DNA virus hepatitis B sangat berguna dalam menetapkan
replikasi virus yang sedang berlangsung. Pemeriksaan DNA virus hepatitis B
17

digunakan untuk evaluasi terapi dan ada atau tidaknya resistensi terhadap obat
yang diberikan. Terdapat berbagai metode pemeriksaan DNA VHB seperti
PCR (Polymerase Chain Reaction) dan hibridisasi. Pemeriksaan slot atau dot
blot hibridasi dapat mendeteksi jumlah DNA VHB 5 pg/ml (1,5 x10
6
genom
per ml), sedangkan PCR yang merupakan pemeriksaan yang lebih sensitif
dapat mendeteksi jumlah DNA VHB hingga 10
-3
pg/ml( 100-1000 genom).
Deteksi DNA VHB dengan menggunakan PCR mengindikasikan infeksi VHB
yang sedang berlangsung, sedangkan bila menggunakan hibridisasi
mengindikasikan replikasi virus serta penyakit hati aktif (Mahoney, 1999).
Umumnya dilakukan tes faal hati, USG (ultrasonography), CT scan
(Computed tomoghraphy scan), MRI (Magnetic Resonance Imaging) dan
biopsi hati untuk mengidentifikasi adanya sirosis atau massa di hati seperti
hepatoma (Ocama, 2005). Meningkatnya aminotransferase terutama ALT
(alanine aminotranferase) pada saat hepatitis B akut bervariasi dari ringan
hingga sedang. Konsentrasi ALT biasanya lebih tinggi dari pada konsentrasi
AST (Aspartate aminotransferase). Prothrombin time merupakan indicator
yang paling baik untuk prognosis. Kadar alpha-fetoprotein yang tinggi 8000
ng/ml juga sering terlihat (Gitlin, 1997).
B. Tenaga Kerja
1. Pengertian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 3, tenaga kerja berarti orang yang
bekerja atau mengerjakan sesuatu; pekerja, pegawai atau orang yang mampu
melakukan pekerjaan, baik didalam maupun di luar hubungan kerja. Menurut UU
18

13 Tahun 2003, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa, baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Menurut Payaman Simanjuntak,
tenaga kerja (man power) adalah penduduk yang sudah atau sedang bekerja,
sedang mencari pekerjaan dan yang melaksanakan kegiatan lain, seperti
bersekolah dan mengurus rumah tangga. Pengertian tenaga kerja dan bukan
tenaga kerja menurutnya ditentukan oleh umur/usia. Menurut Kesuma, SDM
menyangkut manusia yang mampu bekerja untuk memberikan jasa atau usaha kerja
tersebut. Mampu bekerja berarti mampu melakukan kagiatan yang mempunyai
nilai ekonomis, yaitu bahwa kegiatan tersebut menghasilkan barang atau jasa
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Secara fisik, kemampuan bekerja
diukur dengan usia. Dengan kata lain, orang dalam usia kerja dianggap mampu
bekerja. Kelompok penduduk dalam usia kerja tersebut dinamakan tenaga kerja atau
manpower. Secara singkat, tenaga kerja didefinisikan sebagai penduduk dalam
usia kerja. Pengertian tenaga kerja mencakup penduduk yang sudah bekerja atau
sedang bersekolah dan mengurus rumah tangga. Tiga golongan yang disebut
terakhir, walaupun sedang tidak bekerja, mereka dianggap secara fisik mampu
dan sewaktu-waktu dapat ikut bekerja. Penggunaan SDM untuk kegiatan
produksi dipengaruhi oleh jumlah dan kualitas SDM serta kondisi
perekonomian yang mempengaruhi SDM. di Indonesia, semula dipilih batas umur
minimum 10 tahun tanpa batas umur maksimum. Dengan demikian tenaga
kerja di Indonesia dimaksudkan sebagai penduduk yang berumur 10 tahun atau
lebih. Pemilihan 10 tahun sebagai batas umur minimum adalah berdasarkan
19

kenyataan bahwa dalam umur tersebut sudah banyak penduduk berumur muda
terutama di desa-desa sudah bekerja atau mencari pekerjaan. Dengan
bertambahnya kegiatan pendidikan maka jumlah penduduk dalam usia sekolah
yang melakukan kegiatan ekonomi akan berkurang. Bila wajib sekolah 9 tahun
diterapkan, maka anak-anak sampai dengan umur 14 tahun akan berada di
sekolah. Dengan kata lain jumlah penduduk yang bekerja dalam batas umur
tersebut akan menjadi sangat kecil, sehingga batas umur minimum lebih tepat
dinaikkan menjadi 15 tahun. Atas pertimbangan tersebut, Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1997 telah menetapkan batas usia kerja menjadi 15 tahun.
Dengan kata lain, sesuai dengan mulai berlakunya Undang-undang ini, mulai tanggal 1
Oktober 1998, tenaga kerja didefinisikan sebagai penduduk umur 15 tahun atau
lebih. Ketentuan ini juga mengacu pada ketentuan internasional dalam hal ini World
Bank yang menyatakan batas usia kerja adalah 15-64 tahun. Jadi, tenaga kerja
(manpower) adalah seluruh penduduk dalam usia kerja (berusia 15 tahun atau
lebih) yang potensial dapat memproduksi barang dan jasa (Anonim, 2012).
2. Klasifikasi Tenaga Kerja
Menurut pendekatan angkatan kerja yang diperkenalkan oleh
International Labour Organization (ILO), penduduk suatu negara dibedakan
menjadi dua golongan yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Tenaga kerja
adalah seluruh jumlah penduduk yang dianggap dapat bekerja dan sanggup
bekerja jika tidak ada permintaan kerja. Menurut Undang-Undang Tenaga
Kerja, mereka yang dikelompokkan sebagai tenaga kerja yaitu mereka yang
berusia antara 15 tahun sampai dengan 64 tahun. Bukan tenaga kerja adalah
20

mereka yang dianggap tidak mampu dan tidak mau bekerja, meskipun ada
permintaan bekerja. Menurut Undang-Undang Tenaga Kerja No. 13 Tahun
2003, mereka adalah penduduk di luar usia, yaitu mereka yang berusia di
bawah 15 tahun dan berusia di atas 64 tahun. Contoh kelompok ini adalah para
pensiunan, para lansia (lanjut usia) dan anak-anak (Anonim 2012).
Berdasarkan kualitasnya tenaga kerja dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:
a) Tenaga kerja terdidik
Tenaga kerja terdidik adalah tenaga kerja yang memiliki suatu keahlian
atau kemahiran dalam bidang tertentu dengan cara sekolah atau
pendidikan formal dan nonformal. Contohnya: pengacara,dokter, guru,
dan lain-lain.
b) Tenaga kerja terampil
Tenaga kerja terampil adalah tenaga kerjayang memiliki keahlian dalam
bidang tertentudengan melalui pengalaman kerja. Tenaga kerja terampil
ini dibutuhkan latihan secara berulang-ulang sehingga mampu
menguasai pekerjaan tersebut. Contohnya: apoteker, ahli bedah,
mekanik dan lain-lain.
c) Tenaga kerja tidak terdidik
Tenaga kerja tidak terdidik adalah tenaga kerja kasar yang hanya
mengandalkan tenaga saja. Contoh: kuli, buruh angkut, pembantu
rumah tangga (Anomin 2012).


21

C. Tenaga Kerja Indonesia
Tenaga Kerja Indonesia (disingkat TKI) adalah sebutan bagi warga negara
Indonesia yang bekerja di luar negeri (seperti Malaysia, Timur Tengah, Taiwan,
Australia dan Amerika Serikat) dalam hubungan kerja untuk jangka waktu
tertentu dengan menerima upah. Namun demikian, istilah TKI seringkali
dikonotasikan dengan pekerja kasar. TKI perempuan seringkali disebut Tenaga
Kerja Wanita (TKW). TKI sering disebut sebagai pahlawan devisa karena dalam
setahun bisa menghasilkan devisa 60 trilyun rupiah (2006), tetapi dalam
kenyataannya, TKI menjadi ajang pungli bagi para pejabat dan agen terkait.
Bahkan di Bandara Soekarno-Hatta, mereka disediakan terminal tersendiri
(terminal III) yang terpisah dari terminal penumpang umum. Pemisahan ini
beralasan untuk melindungi TKI tetapi juga menyuburkan pungli, termasuk
pungutan liar yang resmi seperti pungutan Rp. 25.000,- berdasarkan Surat
Menakertrans No. 437.HK.33.2003, bagi TKI yang pulang melalui Terminal III
wajib membayar uang jasa pelayanan Rp. 25.000. Pada 9 Maret 2007 kegiatan
operasional di bidang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri dialihkan
menjadi tanggung jawab BNP2TKI. Sebelumnya seluruh kegiatan operasional di
bidang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri
dilaksanakan oleh Ditjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri
(PPTKLN) Depnakertrans (Anonim, 2012).



22

D. Standar Nasional Pelayanan Pemeriksaan Kesehatan Calon Tenaga Kerja
Indonesia

Standar pemeriksaan kesehatan calon tenaga kerja Indonesia (TKI) saat ini
bersifat nasional. Kebijakan ini dituangkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan
No. 1158/Menkes/SK/XII/2008. Adapun standar pemeriksaan berupa :
1. Standar pemeriksaan Fisik
a. Anamnesis
Dokter pemeriksa kesehatan menegaskan agar pertanyaanpertanyaan yang
diajukan dijawab oleh calon TKI dengan jelas dan benar, diantaranya
seperti :
1) Riwayat penyakit sekarang
2) Riwayat penyakit dahulu
3) Riwayat perawatan di rumah sakit : pernah dirawat,alasan dirawat,
lama dan jenis penyakit yang diderita.
4) Riwayat kecelakaan : pernah mendapat kecelakaan, dirawat atau tidak,
berapa lama perawatan dan menderita cacat sementara atau tetap.
5) Riwayat operasi : pernah operasi atau tidak, jenis operasi, kapan di
operasi, dimana dan berapa lama perawatan pasca operasi.
6) Riwayat pekerjaan sebelumnya : pernah bekerja atau belum, dimana
dan berapa lama serta mengapa berhenti dari pekerjaan tersebut.
7) Riwayat haid, bagi tenaga kerja wanita perlu ditanyakan kapan mulai
haid, teratur atau tidak, sakit atau tidak, masalah kehamilan,
melahirkan, keluarga berencana, keguguran dan jumlah anak.
23

8) Riwayat penyakit keluarga : Diabetes Melitus, Hipertiroid, kanker, dan
lain-lain.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaaan fisik lengkap dilakukan menurut perincian dalam kartu
pemeriksaan, pemeriksaaan fisik diselenggarakan di tempat yang
penerangannya cukup dan dalam suasana tenang serta tidak tergesa-gesa.
Adapun rincian pemeriksaan meliputi :
1) Berat badan
2) Tinggi badan
3) Denyut nadi
4) Frekuensi pernafasan
5) Tekanan darah
6) Pemeriksaan mata
7) Pemeriksaan THT
8) Pemeriksaan gigi dan mulut
9) Pemeriksaan leher
10) Pemeriksaan dada
11) Pemeriksaan jantung
12) Pemeriksaan paru
13) Pemeriksaan abdomen
14) Pemeriksaan urogenital
15) Pemeriksaan kulit dan kelamin
16) Pemeriksaan ekstrimitas
24

17) Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan fisik dilakukan secara teliti agar hasil pemeriksaan sesuai
dengan negara tujuan yang bersangkutan. Selain itu bila diperlukan dapat
menggunakan Spirometri, Audiometri dan lain-lain sesuai permintaan
negara tujuan.
c. Kesimpulan Hasil Pemeriksaan Fisik
Ada / tidak ada kelainan (bila ada kelainan agar dijelaskan).
2. Standar Pemeriksaan Jiwa / Psikiatrik
Pada pemeriksaan psikiatrik yang bertujuan mendapatkan data tentang
fungsi kejiwaan dapat dilakukan melalui :
a. Kontak verbal antara dokter dengan CTKI (anamnesis)
b. Observasi tampakan umum dan perilaku CTKI
c. Pengamatan interaksi antara dokter dengan CTKI
d. Pengamatan interaksi antara CTKI dengan lingkungan
e. Pemahaman humanistik dokter mengenai CTKI.
Tahapan pemeriksaan psikiatrik meliputi :
a. Anamnesis
Dokter pemeriksa kesehatan menegaskan agar pertanyaan dijawab
oleh CTKI dengan jelas dan benar. Adapun pertanyaan yang diajukan
adalah sebagai berikut :
1) Hal hal yang pernah dikeluhkan (dalam setahun terakhir) atau
alasan CTKI pernah berobat.
2) Hal hal yang pernah dialami berkaitan dengan jiwa.
25

b. Pemeriksaan Psikiatrik
Dokter pemeriksa melakukan pengamatan yang meliputi :
1) Penampakan umum (kesadaran),
2) Sikap dan perilaku motoric,
3) Pikiran dan
4) Perasaan (afek /emosi)
c. Pemeriksaan Penunjang Psikiatrik
Dokter pemeriksa melakukan pemeriksaan penunjang psikiatrik melalui :
1) MINI (Mini Neuropsychiatric Interview),
2) MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory).
Pemeriksaan penunjang psikiatrik dilakukan untuk konfirmasi.

d. Kesimpulan Hasil Pemeriksaan Psikiatrik
Ada / tidak ada gangguan neurotik berat atau psikotik.
3. Standar Pemeriksaan Laboratorium
Kemampuan pemeriksaan laboratorium kesehatan terdiri dari jenis
pemeriksaan yang dilaksanakan sesuai tabel dibawah ini. Pemeriksaan
hematologi, menggunakan hematology analyzer, pemeriksaan immunologi :
HBsAg, Anti HCV dan Anti HIV minimal menggunakan peralatan Elisa
Lengkap (mikroplate, washer, reader dan incubator) dan dilengkapi dengan
pembacaan absorbance /cut off serta ada print out, pemeriksaan kimia basah
(wet chemistry). Pemeriksaan kimia klinik tidak boleh memakai reagen dry
chemistry. Pemeriksaan mikrobiologi dengan menggunakan mikroskop
26

binokuler, sedang pemeriksaan Narkotika Psikotropika dan tes kehamilan
dengan cara rapid.
Tabel 2.1: Jenis Pemeriksaan Laboratorium
No Jenis Pemeriksaan No Jenis Pemeriksaan


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Jenis pemeriksaan
Golongan darah, ABO, Rh
Hitung trombosit
Hitung lekosit
Hitung eritrosit
Hitung jenis lekosit
Kadar Hb
Laju endap darah
Nilai hematocrit


26.
27.
28.
29
30
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.

Kimia Klinik (Wet chemistry)
Albumin / Globulin
Asam urat
Billirubin
Alkali fosfatase
Glukosa
Kreatitnin
Protein total
SGOT
SGPT
Ureum
Kolesterol total
Trigeliserida

9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.

Urinalisis
Warna, bau, kejernihan
Billirubin
Benda keton
Berat jenis
Darah samar
Glukosa
pH
Protein
Urobilinogen
Sedimen
Narkotika psikotropika
Tes kehamilan


38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
Imunologi
Anti HCV
Anti HIV
HBsAg
HBeAg
Anti HBe
TPHA
VDRL
Widal

21.
22.
23.
24.
25.
Tinja
Warna, konsistensi
Amoeba
Darah samar
Salmonella, Shigella
Telur cacing

46.
47.
48.
49.
50.
51
Mikrobiologi
Filaria
Jamur
Malaria
M. tuberculosis
M. Leprae
N. gonorhoeae
Pemeriksaan konfirmasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan.
27

4. Standar Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan dengan memperhatikan hal hal meliputi
persiapan, posisi, pengambilan foto, skema interpretasi, pembacaan dan
pelaporan hasil pemeriksaan serta kesimpulan. Jenis foto yang dibuat adalah
foto thoraks.
a. Persiapan
1) Perhatikan kontra indikasi pemeriksaan sinar-X pada CTKI hamil,
2) Semua pakaian bagian atas dilepas dan mengenakan pakaian khusus,
3) Perhiasan dan asesori lain di lepas,
4) Rambut diikat di atas kepala,
5) Pemberian label identitas da penanda kanan atau kiri (R atau L).
b. Posisi
1) CTKI berdiri dengan dada menghadap ke vertical cassete stand dan
sedikit condong ke depan,
2) Dinding dada dan kedua bahu kontak dengan kaset film (posisi ke dua
bahu turun),
3) Pososi tangan bertolak pinggang dengan siku ke depan,
4) Kepala ke depan dengan dagu di atas tepi kaset film,
5) Alat reproduksi dilindungi apron.
c. Pengambilan Foto
1) Proyeksi PA dan tegak lurus dengan film,
2) Central ray tertuju ke kolummna spinalis pada level bagian bawah
skapula,
28

3) Centering, Collimation pada permukaan kulit arkus kosta inferior,
identifikasi tepinya,
4) Menahan nafas pada inspirasi yang dalam
d. Skema Interpretasi Tipe dan Kualitas Radiografi
1) Identitas terbaca dengan jelas,
2) Penanda kanan dan kiri pada posisi yang benar,
3) Skapula tidak superposisi dengan rongga toraks,
4) Simetris (Prosesus spinosus terletak di tengah antara clavikula),
5) Inspirasi cukup, iga posterior 9 atau 10 tidak superposisi dengan
diagfragma,
6) Kondisi foto baik terlihat sampai vertebra torakal 3 dan 4,
7) Foto toraks mampu mendeteksi kelainan pada : Dinding dada
(jaringan lunakdan tulang), diagfragma dan pleura, mediastinum dan
jantung, parenkim paru dan benda asing
e. Pembacaan dan Pelaporan Hasil Pemeriksaan
1) Hasil pemeriksaan radiodiagnostik menjadi tanggung jawab dokter
spesialis radiologi.
2) Semua foto di baca oleh spesialis radiologi.
f. Kesimpulan
Normal atau ada kelainan (dijelaskan).



29

E. Kerangka Konsep





















Keterangan :

= Varibel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti



Faktor Eksternal :
- Sosial Ekonomi
- Pendidikan
- Lingkungan
- Makanan
-
Faktor Internal :
- Obat-obatan
- Umur
- Jenis kelamin

Calon TKI :

Hepatitis B (HbsAg)

Calon TKI :

- Umur
- Jenis Kelamin

30

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Klinik Gora Mataram
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, dari bulan Januari s/d Maret
2013.
B. Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriftif, yaitu penelitian
yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran atau deskripsi
tentang suatu keadaan secara obyektif (Notoatmojo, 2010).
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien yang melakukan
pemeriksaan di Klinik Gora Mataram.
2. Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah sebagian pasien CTKI yang melakukan
pemeriksaan Hepatitis B berdasarkan umur dan jenis kelamin di Klinik Gora
Mataram periode Januari s/d Maret 2013.


30
31

D. Variabel Penelitian
Variabel independen dalam penelitian ini adalah Calon Tenaga Kerja
Indonesia yang melakukan pemeriksaaan Hepatitis B di Klinik Gora Mataram.

E. Definisi Operasional
1. Prevalensi
Prevalensi adalah jumlah kasus penyakit HBsAg yang terjadi dalam
populasi pada waktu tertentu, pada suatu titik waktu tertentu atau selama
periode waktu.
2. HBsAg ( Hepatitis B surface Antigen)
Hepatitis B merupakan peradangan pada sel-sel hati yang disebabkan oleh
HBV (Hepatitis B Virus) dan ditularkan melalui kontak darah maupun cairan
tubuh.











32

F. Metode dan Alur Kerja Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pra ELISA
(Enzime Linked Immuno Sorbance Assay) dan dengan menggunakan alur kerja
sebagai berikut :














G. Pengumpulan Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu informasi yang
tertulis dalam buku register pasien di Klinik Gora Mataram. Pengumpulan data
dilakukan dengan mencatat informasi-informasi penting yang ada dalam buku
register pasien.

Persiapan Alat
dan Bahan
Pengumpulan
Sampel
Pemeriksaan
Sampel
Pembacaan Hasil
Pengumpulan dan
Analisis Data
Kesimpulan
33

Data yang dicatat meliputi :
1. Jumlah CTKI yang melakukan pemeriksaan Klinik Gora Mataram periode
Januari s/d Maret 2013
2. Umur
3. Jenis Kelamin
4. Jumlah kasus HBsAg positif setiap bulannya.
H. Cara Pengumpulan Data
1. Alat dan Bahan
a. Alat :
1) Imunologi Fothometer Human
2) Washer Human
3) Inkubator Human
4) Mikropipet
5) Yellowtip
b. Bahan :
1) Kit reagen HBsAg :
- Control negative
- Control positif
- Conjugate
- Buffer
- Substrate
- Larutan stop solution
2) Aquadest
34

2. Prosedur Kerja
a. Masukkan 50 l sampel, 50 l control positif dan 50 l control negatif ke
dalam masing-masing well,
b. Tambahkan 50 l conjugate ke dalam well,
c. Inkubasi 60 menit pada suhu 37 C,
d. Cuci dan buang sebanyak 6 kali dengan jeda waktu 30 menit, gunakan
mikroplate washer,
e. Tambahkan 100 l substrate ke dalam well,
f. Inkubasi pada suhu ruangan selama 15-25 menit,
g. Tambahkan 50 l larutan stop solution ke dalam well,
h. Baca absorbance dengan panjang gelombang 450 nm.
I. Cara Pengolahan Data dan Analisis Data
1. Cara Pengolahan Data
Data yang diperoleh untuk mengetahui hasil penelitian dapat dimasukkan
dalam tabel dibawah ini :

Tabel 3.1. Data Penderita Hepatitis B Pada Calon Tenaga Kerja Indonesia di Klinik
Gora Mataram Periode Januari s/d Maret 2013.

No Bulan
Jumlah Pasien
Usia
(tahun)
HBsAg
%
Laki-laki Perempuan ( + ) ( - ) ( + ) ( - )
1 Januari
2 Februari
3 Maret
Jumlah
Prevalensi

35

2. Analisis Data
Data yang dikumpulkan kemudian diolah dengan uji deskriptif
sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan prevalensi
Hepatitis B pada CTKI di Klinik Gora Mataram.














36

BAB IV
HASIL PENELITIAN

Data hasil pemeriksaan HBsAg CTKI periode Januari s/d Maret 2013 di
Klinik Gora Mataram disajikan pada :
Tabel 4.1. Distribusi Hasil HBsAg pada Calon Tenaga Kerja Indonesia di Klinik
Gora Mataram periode Januari s/d Maret 2013
No. Bulan
Jumlah Kasus HBsAg
( + ) ( % ) ( - ) ( % )
1 Januari 40 1.9 629 30.25
2 Februari 37 1.78 800 38.48
3 Maret 51 2.45 522 25.11
Jumlah 128 6.16 1951 93.83

Prevalensi HBsAg positif (+) paling tinggi pada bulan Maret sebanyak 51
kasus dengan persentase 2.45% dan HBsAg positif (+) terendah pada bulan
Februari sebanyak 37 kasus dengan persentase 1.78%.





36
37

Tabel 4.2. Distribusi Jumlah HBsAg Positif (+) dan Negatif (-) berdasarkan
Kelompok Umur pada Calon Tenaga Kerja Indonesia di Klinik Gora
Mataram
Rentang Umur
(tahun)
Jumlah HBsAg
( + ) ( % ) ( - ) ( % )
15 24 40 31.25 572 29.32
25 34 53 41.41 918 47.05
35 44 31 24.22 437 22.40
45 54 4 3.13 21 1.08
55 64 0 0.00 3 0.15
Total 128 100.00 1951 100.00

Prevalensi HBsAg positif (+) yang tertinggi pada rentang umur 25-34
tahun sebanyak 53 kasus dengan persentase 41.41% dan HBsAg positif (+)
terendah pada rentang umur 55-64 tahun sebanyak 0 dengan persentase 0.00%.

Tabel 4.3. Distribusi HBsAg (+) dan HBsAg (-) berdasarkan jenis kelamin pada
Calon Tenaga Kerja Indonesia di Klinik Gora Mataram
Jenis Kelamin
Jumlah HBsAg
( + ) ( % ) ( - ) ( % )
Laki-laki 100 78.13 1505 77.14
Perempuan 28 21.88 446 22.86
Total 128 100.00 1951 100.00

Prevalensi HBsAg positif (+) tertinggi pada laki-laki sebanyak 100 kasus dengan
persentase 78.13% dan HBsAg positif (+) terendah pada perempuan sebanyak 28
kasus dengan persentase 21.86%
38

BAB V
PEMBAHASAN

Berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari buku registrasi pasien yang
melakukan pemeriksaan di Klinik Gora Mataram periode Januari s/d Maret 2013
yang disajikan pada tabel 4.1. didapatkan pasien CTKI yang melakukan
pemeriksaan di Klinik Gora Mataram sebanyak 2079. Dari jumlah sampel
tersebut didapatkan 128 kasus HBsAg positif dan 1.951 kasus HBsAg negatif, jadi
prevalensi hepatitis B positif (+) adalah 6,16%. Berdasarkan rentang umur, hasil
penelitian yang diperoleh pada tabel 4.2. didapatkan bahwa usia 25-34 tahun
memperoleh persentase HBsAg positif (+) yang paling tinggi yaitu sebanyak 53
orang (41.41 %). Usia 25-34 tahun merupakan usia produktif dalam berproduksi
dimana manusia pada usia tersebut juga banyak melakukan aktivitas di luar
lingkungan seperti: mengkonsumsi makanan tidak higienis, melakukan hubugan
seksual secara bebas, menggunakan jarum suntik secara bergantian,
mengkonsumsi minuman beralkohol secara berlebihan sehingga rentan terinfeksi
HBsAg. Berdasarkan jenis kelamin, data yang disajikan pada tabel 4.3., diketahui
bahwa dari 128 kasus HBsAg positif (+), terdiri dari CTKI laki-laki sebanyak 100
orang (78,13 %) dari 128 kasus penderita penyakit Hepatitis B dan CTKI
perempuan sebanyak 28 orang (21,88 %) 128 kasus penderita Hepatitis B periode
Januari s/d Maret 2013.
Di Nusa Tenggara Barat masih banyak kasus penyakit yang menular salah
satunya penyakit Hepatitis B. Dari Hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa
38
39

laki-laki lebih banyak terkena penyakit Hepatitis B daripada perempuan. Hal ini
disebabkan karena laki-laki cenderung mengkonsumsi alkohol dan tingkat
kebersihan yang rendah dibandingkan perempuan. Hasil penelitian ini sesuai
dengan peneitian yang dilakukan oleh Rahmadewi (2007) yang menyatakan
bahwa jumlah laki-laki (58,1%) lebih banyak mengidap penyakit hepatitis
dibandingkan dengan perempuan (41,9%) dari 31 orang sampel. Sedangkan,
berdasarkan kategori umur pada penelitian didapatkan golongan umur 25-34 tahun
merupakan golongan terbanyak yang mengidap hepatitis (41,41%) dari 128 orang
sampel. Hal ini tidak sama dengan penelitian yang telah dilakukan Rahmawati
(2007) bahwa golongan umur 41-60 tahun merupakan golongan terbanyak yang
mengidap hepatitis (45,2%) dari 31 orang sampel. Hal ini disebabkan karena
adanya perbedaan tingkat insidensi hepatitis terjadi dimana Nusa tengga barat
merupakan insiden tertinggi mengalami hepatitis.
Indonesia digolongkan ke dalam kelompok daerah dengan prevalensi
hepatitis B dengan tingkat endemisitas menengah sampai tinggi. Prevalensi
Hepatitis B kronik di Indonesia diperkirakan mencapai 10-15% dari total
penduduk atau setara 13,5 juta penderita Hepatitis B. Jumlah ini membuat
Indonesia menjadi Negara ke-3 di Asia yang pengidap Heptitis B kronik paling
banyak, setelah Cina dan India. (Soemohardjo S, 1999), sedangkan pada tahun
2010, jumlah penderita Hepatitis B di Indonesia diperkirakan mencapai 30 juta
orang dan sekitar 15 juta diantaranya berpotensi menderita chronic liver diseases.
(Anonim, 2010).
40

Faktor penyebab tingginya Hepatitis B yang perlu di waspadai adalah
faktor penularannya. Adapun cara dan media yang merupakan sarana penularan
hepatitis B yang mungkin terjadi dikalangan CTKI disebabkan beberapa faktor
yaitu : penggunaan jarum suntik atau jarum tato yang tidak steril yang dipakai
lebih dari satu kali, penggunaan alat kebersihan diri seperti sikat gigi dan handuk
bersama, hubungan seksual dan menggunakan pisau cukur bersama secara
bergantian.
Pencegahan hepatitis B (HBsAg) dapat dilakukan dengan cara
menggunakan alat suntik yang steril dan sekali pakai, menggunakan alat
kebersihan (sikat gigi dan handuk) secara tidak bersama dengan penderita,
pasangan seksual dianjurkan vaksinasi.












41

BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Berdasarkan kelompok umur, jumlah penderita HBsAg positif usia 15 24
tahun sebanyak 40 orang dengan persentase 31,25 %, usia 25 34 tahun
sebanyak 53 orang (41,41%), usia 35 44 tahun sebanyak 31 orang
(24,22%), usia 45 -54 tahun sebanyak 4 orang (3,13%) dan usia 55 64
tahun tidak menderita HBsAg positif. Jadi persentase HBsAg positif
tertinggi pada usia 25 34 tahun sebesar 41,41 %.
2. Berdasarkan jenis kelamin, jumlah penderita HBsAg positif untuk jenis
kelamin laki laki sebanyak 100 orang dengan persentase 78,13 %
sedangkan untuk jenis kelamin perempuan sebanyak 28 orang dengan
persentase 21,88 %.
3. Prevalensi Hepatitis B (HBsAg) positif yang tertinggi pada usia 25-34
sebanyak 53 orang dengan persentase 41.41%, sedangkan dari jenis
kelamin laki laki sebnyak 100 orang dengan persentase 78.13%.
B. Saran
1. Bagi CTKI dengan HBsAg Negatif, disarankan untuk melakukan
vaksinasi sebagai tindakan pencegahan infeksi terhadap Hepatitis B.
2. Bagi CTKI dengan HBsAg Positif, diharapkan untuk melakukan
pemeriksaan penunjang hepatitis lainnya, untuk mengetahui derajat infeksi
hepatitisnya.
41
42

3. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan untuk meneliti lebih lanjut mengenai
demografi penyebaran hepatitis berdasarkan wilayah asalnya dan
menggunakan periode yang lebih lama.

Anda mungkin juga menyukai