Anda di halaman 1dari 2

Ocehan Pernikahan: Segmen I

Mengurungkan Pernikahan Itu Panasea

Jujur. Ocehan ini dijabarkan berdasarkan pengalaman empiris penulis, hampir semua
orang bahkan. Pengalaman yang menjadi panasea atau titik remidi kehidupan saya yang
sangkut pautnya dengan urusan menikah. Ya. Genap memasuki bulan keempat saya berdamai
dengan status ‘calon suami’ seorang gadis inlander yang telah saya urungkan. Kecewa pasti
ada. Positifnya jauh lebih ada. Sebelum saya lebih lanjut mengurai. Pertama, ada baiknya
kalau saya meminta maaf pada ‘calon istri’ saya yang berhati baik nan rupawati sekaligus
berterimakasih sudah berbagi jawaban atas pelajaran kehidupan. Kedua, pembaca dilarang
keras mempertanyakan referensi apa yang saya tuliskan, ya karena cukup pengalaman saya
saja yang menjadai aksioma anda, wahai pembaca yang senasib!
Saya punya asumsi bahwa menikah adalah hak otonom bagi individu (selain Nabi).
Tidak boleh represif. Tanpa suruhan dari pihak lain. Tanpa tekanan dari pihak mempelai.
Berhak menentukan arah kekuasaan atas dirinya sendiri. Karena itu, menikah adalah sebuah
pilihan sekaligus pilahan. Ya. Karena kriteria menjadi suami yang kompeten adalah memilih
istri yang tepat. Begitu sebaliknya, menjadi istri yang dewasa adalah memilah suami yang
cakap. Sebab Al-Qur’an sendiri menyadarkan kita jika suami adalah kebaya bagi sang istri,
sementara istri adalah jas mewah bagi suaminya. Dengan demikian, yang tau tipe dan motif
kebaya atau jas mewah apa yang harus dikenakan cuma orangnya. Bayangkan jika ukuran
tinggi badan anda cuma 160 cm dipaksa mengenakan baju berukuran XL. Pasti njebat ora
karuan. Ngisin-ngisini. Pasti dianggap jorok dan bengal.
Maka poin pertama, menikah itu soal menyeleksi calon pasangan. Inilah yang
dalam islam disulihbahasakan dengan kafa’ah (kesesuaian). Dan itu saya sadari betul.
Kalaupun saya paksa untuk terus melangkah berjalan meniti kehidupan (halah) yang pasti
saya akan terjungkal-jungkal tidak terkontrol. Sebab akal dan perasaan saling menegasikan
satu sama lain.
Poin kedua, terlepas dari teori sosial (humanly society). Cinta ternyata bukan
alasan absolut untuk menikah. Karena bagi saya menikah atas dasar cinta akan
menimbulkan banyak luka yang ujung-ujungnya duka. Mengapa? Dengan jawaban klise,
karena orang kalau sudah cinta, dia pasti buta. dan jika sudah dibutakan, dia akan kehilangan
daya tenaga memperjuangkan ‘kebenaran objektif’. Implikasinya, berpotensi besar memicu
kericuhan atas hak kenyaman hidup. Kehilangan separuh tenaga untuk membayangkan hal
yang sia-sia. Parahnya lagi, orang kalau sudah cinta pasti gagal mengalahkan rasa cintanya
atas akal sehatnya. Sudah banyak contohnya. Dari sini saya percaya jika cinta mengalahkan
segalanya. Bahkan gara-gara cinta orang bisa masuk rumah sakit jiwa. Beberapa
menyebabkan terenggutnya nyawa. Maka dari itu, cinta harus diposisikan seperti filsafat
mandi. Tidak pernah merasakan segarnya mandi bikin bau badan kumuh dan lebus. Terlalu
sering mandi pun bikin kepala pening dan masuk angin. Maka cinta itu harus proporsional.
Ada pasemon ‘siapa tahu sewaktu-waktu orang yang kamu cintai menjadi alasan
kuat untuk dibenci?’. Maka barang siapa yang menikah hanya mengandalkan ketegeran cinta,
sama dengan telah menyiapkan pisau untuk membunuh dirinya sendiri secara filosofis. Tidak
heran jika di taraf yang lain, Islam sendiri memberi peringatan untuk tidak terlalu menuruti
apa kata cinta? Sebab menikah itu hubunganya dengan kesiapan mental dan pikiran yang
cukup jernih. Siap berkompromi dengan segala ketidakmungkinan hidup. sebab cinta adalah
pangkal segala ketidaklogisan. Disinilah peran kita meletakkan sisi ambisi manusia.

Kembali ke bagian intim tulisan ini, setelah mengurai dua teori familiar diatas. Saya paparkan
hasil refleksi saya selama empat bulan berjalan ini.

#Pra_tunangan
Pertama, saya adalah tipe cowok yang terlalu sat-set, was-wes, non klewas-kleweslah kalau.
Tidak terlalu suka bermain teori menimbang-nimbang segala hal. Saya percaya sekali waktu
itu, bahwa menikah itu konstruksinya dibangun atas rasa cinta.
Kedua,

#Pasca_gagal_tunangan
Nggak harus good looking, yang penting istikamah ngucapin good evening.

Sebagai pamungkas. Saya lampirkan dua gubahan larik puisi

Kau akan menutup mata, ketika memasuki cinta.


Kau akan membuka mata, kala keluar dari jeratanya

Anda mungkin juga menyukai