Anda di halaman 1dari 18

SISTEM POLITIK TERHADAP HUKUM

JURNAL
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas kuliah
O
L
E
H
KARINA APRILA
NIM: 223309010476
Program Studi : Etika Dan Filsafat Hukum

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA
2022/2023
ABSTRAK

Sejak tahun 2000, swakelola daerah mendapat tanggapan yang luas dan
dipraktekkan secara masal. Setelah sepuluh tahun mencalonkan diri,
tampak jelas bahwa otonomi daerah mengubah wajah politik Indonesia
dengan cara yang sangat berbeda dari sejarah sebelumnya. Ide awalnya
adalah untuk menciptakan good governance di tingkat lokal. Kehadirannya
didukung oleh lembaga multinasional seperti Bank Dunia dan Dana
Moneter Internasional (IMF).
Namun dalam praktiknya, otonomi daerah selama satu dekade terakhir
justru memunculkan beberapa masalah baru yang mengancam demokrasi
dan berujung pada kebangkrutan nasional. Tumbuhnya politik identitas
dan otoritarianisme, merebaknya praktik korupsi ke daerah,
terselenggaranya pilkada yang didorong oleh kebijakan antimonopoli dan
moneter, maraknya pemekaran daerah, eksploitasi sumber daya alam
(SDA) yang tidak terkendali, selain jabatan gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat di kabupaten/kota di pemerintahan/walikota dll.
Semua praktik politik otonomi daerah lebih menguntungkan elit politik dan
ekonomi lokal. Mereka menjadi raja-raja kecil di wilayah itu. Meski
sebagian besar masyarakat lokal masih menjadi incaran para politisi.
Priyambudi dan Foucher, misalnya, menyimpulkan bahwa dalam banyak
hal otonomi daerah mengarah pada korupsi yang meluas, kekerasan
xenofobia, dan penindasan terhadap komunitas lokal yang dimobilisasi
oleh politisi yang haus kekuasaan.
PENDAHULUAN

Dasar otonomi daerah dalam satu dasawarsa terakhir, terkait UU No. 22


Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004, adalah Kabupaten/Kota.
Sementara itu, lingkaran tersebut merupakan perwakilan pemerintah
pusat di daerah yang bertugas mengoordinasikan, memajukan, dan
mengendalikan pelaksanaan otonomi daerah di provinsi masing-masing.
Dalam kerangka otonomi daerah, hubungan politik di tingkat lokal dan
nasional ditentukan oleh hubungan antara pemerintah kabupaten/kota
yang dipimpin oleh gubernur/walikota, dan pemerintah provinsi yang
dipimpin oleh gubernur. Otonomi daerah yang merupakan anak kandung
dari desentralisasi sebenarnya merupakan anugerah dari negara, yaitu
kekuasaan kepala negara untuk mengelola politik dan ekonomi di tingkat
nasional kepada kepala negara di tingkat daerah. Pada saat yang sama,
demokrasi dan politik lokal diperhatikan oleh penduduk setempat. Konsep
otonomi daerah seperti yang dikenal saat ini telah ada sejak pemerintah
kolonial Belanda berkuasa di Indonesia dengan Decentralisatie Wet pada
tanggal 23 Juli 1903 (Makalah Seminar Nasional “Menata Ulang
Desentralisasi dari Daerah”, Fisipol UGM, Yogyakarta, 25 Jan .2010).
Melalui kebijakan itu, sebagian kekuasaan pemerintahan nasional
(Gubernur Jenderal Batavia) diserahkan kepada penduduk wilayah
tersebut. Meski kebijakan sudah ada sejak saat itu, praktik otonomi daerah
baru terwujud hampir 100 tahun kemudian. Baru setelah reformasi tahun
1998 yang menggulingkan rezim Orde Baru yang sentralistik, praktik
otonomi daerah dapat diartikulasikan secara otentik dan inklusif yang
memberikan ruang bagi perkembangan demokrasi dan politik di tingkat
lokal. Sejak tahun 2000, swakelola daerah mendapat tanggapan yang luas
dan dipraktekkan secara masal. Setelah sepuluh tahun mencalonkan diri,
tampak jelas bahwa otonomi daerah mengubah wajah politik Indonesia
dengan cara yang sangat berbeda dari sejarah sebelumnya. Ide awalnya
adalah untuk menciptakan good governance di tingkat lokal. Kehadirannya
didukung oleh lembaga multinasional seperti Bank Dunia dan Dana
Moneter Internasional (IMF). Bank Dunia menyatakan bahwa
desentralisasi atau otonomi daerah adalah "ledakan utama" dalam politik
Indonesia (seperti yang dikutip oleh Nordholt dan Klinken (2007) dan
Supriatma (2009) Hofman dan Kaiser (2002)). Otonomi daerah
menjanjikan perubahan eksistensi lokal. Misinya adalah mendekatkan
negara kepada rakyat melalui penyampaian layanan publik, pemberdayaan
masyarakat lokal dan meningkatkan tanggung jawab lokal. Namun dalam
praktiknya, otonomi daerah selama satu dekade terakhir justru
memunculkan beberapa masalah baru yang mengancam demokrasi dan
berujung pada kebangkrutan nasional. Tumbuhnya politik identitas dan
otoritarianisme, merebaknya praktik korupsi ke daerah, terselenggaranya
pilkada yang didorong oleh kebijakan antimonopoli dan moneter,
maraknya pemekaran daerah, eksploitasi sumber daya alam (SDA) yang
tidak terkendali, selain jabatan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di
wilayah administratif, kotamadya/walikota, dll. Segala praktik politik yang
berkaitan dengan otonomi daerah lebih menguntungkan elit politik dan
ekonomi lokal. Mereka menjadi raja kecil di daerah itu. Meski sebagian
besar masyarakat lokal masih menjadi incaran para politisi. Priyambudi
dan Foucher, misalnya, menyimpulkan bahwa dalam banyak hal otonomi
daerah telah menyebabkan meluasnya korupsi, kekerasan xenophobia, dan
represi terhadap masyarakat lokal yang dimobilisasi oleh politisi yang haus
kekuasaan.
PEMBAHASAN

1. Hubungan politik lokal dan nasional dalam otonomi daerah


Relasi politik lokal dan nasional dalam konteks otonomi daerah selama
satu dasawarsa terakhir yang diperankan dalam hal ini oleh
Gubernur/Walikota dan Gubernur dapat dilihat dalam dua ketetapan
tentang pemerintahan daerah, yaitu UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. .ro.
32/2004. Peraturan tambahan berupa Peraturan Pemerintah (PP) terkait
dengan kedua UU tersebut juga dapat ditelaah untuk lebih mendalami
hubungan politik lokal dan nasional dalam konteks otonomi daerah.
Namun, sebelum mendalami hubungan antara gubernur dan kepala
negara/walikota dalam konteks otonomi daerah, ada baiknya memahami
peran dan fungsi provinsi sebagai daerah otonom. Karena selain sebagai
wakil pemerintah pusat di daerah, gubernur dan pemerintah kabupaten
juga menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai daerah otonom.
Dalam menjalankan tugas dan perannya sebagai daerah otonom, provinsi
memiliki berbagai tugas dan wewenang berdasarkan UU No. 22 Tahun
1999 dan UU No. 32 Tahun 2004. Sebagai daerah otonom, UU No. UU No. 22
Tahun 1999 secara tegas mengatur daerah provinsi yang tidak diatur oleh
UU No. 32/2004. Disebutkan dalam UU No. 22 Tahun 1999, bahwa wilayah
kabupaten terdiri atas wilayah darat dan laut yang diukur dengan jarak 12
mil laut dari pantai ke laut lepas dan/atau perairan nusantara. Selain itu,
UU No. Ordonansi No. 22 Tahun 1999 juga menyebutkan bahwa daerah
melaksanakan desentralisasi, desentralisasi dan tugas pembantuan.
Desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan negara dari pemerintah pusat
kepada pemerintah provinsi sebagai daerah otonom yang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem negara kesatuan republik
indonesia.
Dalam desentralisasi, pemerintah pusat melimpahkan kewenangan
administratif kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah
dan/atau kepada otoritas vertikal tertentu. Dalam hal ini tugas
pembantuan adalah perintah dari penyelenggara negara kepada daerah
dan desa serta daerah daerah kepada desa untuk melakukan beberapa
tugas yang berkaitan.
Mereka memiliki keuangan, peralatan, infrastruktur, dan sumber daya
manusia yang spesifik. Mereka harus melaporkan implementasinya dan
menjawab mereka yang menerapkannya. Kewenangan daerah sebagai
daerah otonom yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 lebih terbatas
dan mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan antarnegara
bagian dan kotamadya, serta kewenangan dalam beberapa bidang
pemerintahan lainnya. Secara hukum, provinsi memiliki kewenangan
untuk mengelola sumber daya nasional di wilayah tersebut dan kemudian
bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kekuasaan tersebut antara
lain:

A. Penelitian, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya alam


laut di wilayah laut yang bersangkutan;
B. manfaat administratif;
C.desain interior;
D. Pelaksanaan peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau disetujui oleh
pemerintah pusat; dan juga
e. Bantuan dalam penyelenggaraan keamanan dan kedaulatan negara.
Padahal kewenangan provinsi sebagai daerah otonom berdasarkan UU No.
UU No. 32/2004 didasarkan pada urusan wajib dan urusan pilihan yang
pengaturannya lebih komprehensif dari UU No. 32/2004. 22/1999.
Penyelenggaraan urusan wajib dan urusan pilihan oleh pemerintah daerah
didasarkan pada PP No. 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan
pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan kabupaten, dan
pemerintahan kabupaten/kota.

2. Disharmoni dan dampaknya


Seperti telah disinggung, ketidaktaatan sebagian gubernur/walikota
kepada gubernur menyebabkan harmonisasi hubungan antara provinsi
sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan kabupaten/kota sebagai
implementasi otonomi daerah. Ketidakharmonisan ini sudah terlihat dari
pernyataan gubernur bahwa ada gubernur yang membangkang, mangkir,
tidak mau rapat dengan gubernur, berjanji tidak akan berkonsultasi dengan
gubernur, dll. Pada dasarnya, selama otonomi daerah, gubernur/walikota
yang bertanggung jawab. merasa tidak memiliki atasan seperti Gubernur.
Banyak konsekuensi negatif ketika gubernur/walikota bertindak sebagai
wakil pemerintah pusat di daerah tanpa pengawasan dan koordinasi yang
ketat dari gubernur, terutama dalam hal penyusunan dan pelaksanaan
peraturan daerah (Perda). Pada era otonomi daerah, banyak
pemerintahan/kota yang memberlakukan peraturan daerah bermasalah
yang dirasa mempengaruhi keberadaan dan kelangsungan Indonesia
sebagai negara-bangsa. Widodo AS, dalam kapasitasnya sebagai Menteri
Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, mengatakan lebih dari
85 persen perda memiliki masalah legalitas, konten, dan ketidaksesuaian.
Meskipun dasar penyelenggaraan negara adalah peraturan daerah yang
secara langsung mempengaruhi rakyat di bawahnya, namun banyak
peraturan daerah yang bermasalah karena tidak adanya sinergi politik
antara pusat dan daerah, dalam hal ini melalui gubernur. perwakilan
pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten/kota. Negara bagian/kota
cenderung bertindak independen dalam menyusun dan meratifikasi
peraturan daerah tanpa berkonsultasi atau menyetujui gubernur. Mengenai
pengaturan normatif pelaksanaan otonomi daerah oleh negara/kota
(Perda), jelas bahwa pengaruh kegiatan koordinasi, pengendalian, dan
pembangunan negara/kota dilakukan oleh kabupaten sebagai wakil pusat.
pemerintah. . Pemerintahan di daerah belum optimal. Situasi ini
menciptakan ketidakharmonisan hubungan antara gubernur/walikota dan
gubernur. Konflik ini lebih berlatar politik daripada administratif, yaitu
antara penguasa/walikota dengan gubernur dari partai politik yang
berbeda, agama atau kepercayaan yang berbeda, suku atau suku yang
berbeda. Gubernur/walikota cenderung lebih patuh dan patuh dalam
berkoordinasi dengan pihak pendukungnya dibandingkan dengan
gubernur. Oleh karena itu, kurangnya sinergi hubungan politik antara
kepala negara/walikota dan gubernur memiliki banyak alasan lain selain
alasan administratif dalam pelaksanaan otonomi daerah selama satu
dekade terakhir.
3. Demokrasi Salah satu konsep demokrasi yang mempengaruhi sistem
demokrasi Indonesia adalah demokrasi konstitusional. Ciri demokrasi
konstitusional adalah gagasan bahwa pemerintahan yang demokratis
adalah pemerintahan dengan kekuasaan terbatas dan tidak berhak
bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan
kekuasaan pemerintahan tercantum dalam konstitusi; lalu dari semata.
Demokrasi harus mengandung dua dimensi terbaik dalam hal kontestasi
dan partisipasi. Menurut Dahl, sistem yang demokratis memiliki tujuh
indikator:
kelompok tertentu. Mendirikan dan bergabung dengan organisasi,
termasuk partai politik dan kelompok kepentingan, dijamin. Menurut Dahl,
surat-surat berikut termasuk syarat terbentuknya sistem demokrasi yang
ideal:
A. Hak pilih yang sama b. Partisipasi Efektif c. mengungkapkan kebenaran
d. Kontrol akhir agenda adalah tanggung jawab masyarakat e. Bidang
tindakan masyarakat hukum terletak pada orang dewasa.

Penekanan pada demokrasi prosedural (semata-mata pelaksanaan


pemilihan) menyebabkan kritik Terry Karl tentang "kesalahan pemilihan".
Menurut Terry Karl, demokrasi prosedural mengutamakan
penyelenggaraan pemilu di atas dimensi lain dan mengabaikan
kemungkinan pemilu multipartai mengesampingkan hak individu tertentu
untuk bersaing memperebutkan kekuasaan. Kritik ini menyebabkan
pemahaman yang diperluas tentang demokrasi. Larry Diamond
mencantumkan sepuluh komponen spesifik dari demokrasi yang diperluas
sebagai berikut:

A. Kelompok minoritas memiliki kesempatan untuk mengekspresikan


kepentingan mereka.
B. Setiap warga negara memiliki kedaulatan yang sama di depan hukum
C Kebebasan untuk membentuk partai politik dan memberikan suara
dalam pemilihan.
D. Kebebasan warga negara untuk mendirikan dan bergabung dalam
perkumpulan.
e. Kebebasan warga negara untuk membentuk dan bergabung dalam
berbagai perkumpulan dan gerakan mandiri. F. Ketersediaan Sumber Data
Alternatif.
G. Setiap orang memiliki kebebasan beragama, berekspresi, berserikat dan
berdemonstrasi.
B. Setiap warga negara memiliki kedaulatan yang sama di depan hukum.
Saya Peradilan yang independen dan tidak diskriminatif secara efektif
melindungi kebebasan individu dan kelompok.

Mengenai konstitusi dan demokrasi, bagaimanapun, harus diingat bahwa


tidak ada konstitusi yang sempurna di dunia ini yang dapat diterima oleh
semua orang. Dalam negara demokrasi, perbedaan pendapat dan
kontroversi tidak dapat dihindari, setidaknya hampir pasti akan ada
perbedaan pandangan, tetapi perbedaan pendapat tersebut justru
menjadikan demokrasi sebagai filter untuk mencapai hasil melalui proses
hukum. Seiring berjalannya waktu, demokrasi Indonesia mengalami
transisi dan perubahan. Gelombang demokratisasi yang merebak di
Indonesia berpuncak pada tumbangnya rezim Orde Baru dan dimulainya
orde reformasi pada tahun 1999. Hal tersebut membawa Indonesia ke
dalam periode sejarah yang dikenal dengan “Masa Transisi Demokrasi”.
Masa transisi dipandang sebagai era yang menandai titik awal atau jeda
waktu antara pemerintahan otoriter dan demokratis. Ini diikuti dengan
penciptaan lembaga politik baru dan aturan politik dalam kerangka
demokrasi. Pada masa transisi menuju demokrasi itu, perkembangan
supremasi hukum pasca gejolak sosial, termasuk penyelenggaraan pilkada
di Indonesia, terus berlanjut. Kepekaan terhadap aturan sejalan dengan
perkembangan kehidupan sosial. Pilkada pasca reformasi melukiskan
wajah demokrasi yang telah direformasi Perubahan sistem politik di
Indonesia Peristiwa terkini di Indonesia menunjukkan bahwa telah terjadi
perubahan sistem politik. Teori Polybius menunjukkan bahwa kekuasaan
di Indonesia hanya milik kelompok tertentu. Oligarki politik berjalan baik
saat pilkada berlangsung. Posisi dominan kelompok terlihat jelas dan tidak
lagi hanya KMP dan KIH. Praktek oligarki politik di daerah tidak
mempedulikan apa yang terjadi di pusat. Kelompok politik hanya
berdasarkan kepentingan, apalagi "ideologi" atau "visi dan misi partai". Apa
yang menjadi dasar koalisi hanyalah soal kemenangan dan kekalahan
politik. Jika politik Indonesia saat ini seperti benang merah, tak lebih dari
terlepasnya kerja politik dari prinsip-prinsip dasarnya. Orientasi politik
berhenti
dalam arena perebutan kekuasaan dan mengabaikan aksioma-aksioma
intinya sebagai sarana untuk mewujudkan nilai-nilai koeksistensi.
Memang, tanpa disadari, Elama begitu terbuai dalam euforia demokrasi
sehingga masih ada tanda tanya apakah kita hidup di zaman demokrasi.
Pertama, demokrasi sebagai landasan kehidupan bernegara biasanya
mengandung pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat membuat
peraturan-peraturan atas persoalan-persoalan sentral yang mempengaruhi
kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan penyelenggaraan negara,
karena itulah politik. menentukan kehidupan rakyat. Selain itu, sistem
demokrasi yang diperkuat dengan amandemen konstitusi harus disertai
dengan moral atau semangat penyelenggaraan negara untuk
melaksanakannya. Kemudian, dalam praktik demokrasi modern, terdapat
nilai-nilai kebebasan dan persamaan yang mengarah pada konsep
representasi. Teori demokrasi mengasumsikan bahwa hanya pemerintahan
perwakilan yang memiliki legitimasi untuk berkuasa. Berkaitan dengan hal
tersebut adalah tuntutan bahwa elit pemerintah harus bekerja untuk dan
atas nama kepentingan rakyat. Demokrasi yang diperkenalkan di
Indonesia, yaitu H. Demokrasi yang berlandaskan Pancasila, masih dalam
tahap perkembangan dan memiliki karakteristik serta interpretasi dan
pandangan yang berbeda. Namun yang tidak dapat dipungkiri, beberapa
nilai inti dari demokrasi konstitusional secara jelas diabadikan dalam UUD
1945, yaitu dua prinsip yang menjiwai teks dan terkandung dalam
penjelasan sistem UUD 1945. .pemerintahan negara yaitu :

A. Indonesia adalah negara hukum. Negara Indonesia berdasarkan atas


hukum (rule of law), bukan atas kekuasaan (power state) belaka.
B.Sistem konstitusi. Pemerintahan didasarkan pada sistem konstitusional
(hukum konstitusional), bukan absolutisme (kekuasaan tak terbatas).
4. Dampak terhadap Birokrasi Pusat dan Daerah Perubahan sistem politik
sebagaimana diuraikan di atas mempengaruhi hubungan birokrasi antara
pusat dan daerah, garis politik yang tidak linier antara pusat dan daerah
seringkali mempersulit koordinasi antara pusat dan daerah. daerah
Bagaimanapun, informasi yang diperintahkan oleh pusat tidak dapat
dilaksanakan bahkan diabaikan oleh daerah karena hanya bermotif politik
akibat ketidaklinieran pemerintah pusat dan daerah. Di atas dapat
mempengaruhi penerapan nilai dasar hash. Desentralisasi harus dicapai
dengan membentuk daerah otonom dan mendelegasikan kewenangan
untuk menangani urusan pemerintahan kepada daerah yang berada di
bawah daerah otonom atau diakui sebagai daerah anggaran. Berdasarkan
nilai-nilai fundamental konstitusi tersebut, pelaksanaan desentralisasi di
Indonesia sangat erat kaitannya dengan pemisahan kekuasaan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Karena selalu ada dua unsur
penting dalam pelaksanaan desentralisasi, yaitu pembentukan daerah
otonom dan penyerahan kekuasaan secara sah dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus daerah
pemerintahan tertentu. Dilihat dari hubungan antara administrasi negara
dengan pemerintahan negara, hal ini dapat dilihat dari adanya hubungan-
hubungan dalam penyelenggaraan negara. kebijakan desentralisasi
Tujuannya adalah memberdayakan daerah untuk mengatur dan mengelola
anggarannya sendiri sesuai dengan kewajiban Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Kenyataan bahwa tanggung jawab akhir penyelenggaraan
urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada daerah menjadi tanggung
jawab pemerintah pusat, karena akibat akhir (dampak) eksternal dari
pelaksanaan urusan tersebut tetap menjadi tanggung jawab negara. Peran
pusat dalam konteks otonomi daerah pada hakekatnya adalah menetapkan
kebijakan makro, pengendalian, pemantauan, evaluasi, pengendalian dan
penguasaan (capacity building) agar daerah dapat menjalankan
otonominya secara optimal. Sementara itu, peran daerah lebih banyak
terletak pada tataran pelaksanaan otonomi ini. Dalam pelaksanaan
otonomi daerah, kewenangan untuk membentuk kebijakan daerah.
Kebijakan yang diambil oleh daerah adalah dalam otonomi yang diberikan
kepadanya dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, terutama norma, standar dan prosedur yang
ditetapkan oleh Pusat. Pemerintah daerah mengatur urusan
pemerintahannya kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah
lainnya. Hubungan tersebut meliputi:

A. hubungan otoritas;
B. Untuk pendanaan;
C Pelayanan publik;
D. Pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.
Konsep demokrasi dalam konteks devolved government merupakan ciri
atau sifat struktur pemerintahan Indonesia yang menghargai pluralisme
atau keberagaman kelompok. Menurut Bagir Manan, hak untuk mencabut
secara prinsip dan untuk berkonsultasi dalam sistem permusyawaratan
negara hanya dimungkinkan jika daerah sendiri memiliki hak untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tertentu seperti urusan
dalam negeri dalam arti penuh (termasuk asas) atau sebagian (terbatas
saja). sepanjang cara penerapannya).
Ibarat perputaran roda, siklus pergantian penguasa di negeri ini sudah
terjadi. Transisi dari penguasa ke oposisi atau sebaliknya. Artinya, iklim
politik nasional saat ini sangat dinamis. Bagaimana tidak partai politik
sebagai instrumen demokrasi kemudian terlibat dalam “ring” dan regulasi
kekuasaan. Persaingan yang secara otomatis menuntut kelanjutan strategi
partai politik. Koalisi, mungkin metode yang dianggap efektif dalam
menggabungkan kekuatan yang mengarah ke perebutan kekuasaan. Di
Indonesia pasca reformasi, sistem koalisi menjadi trend yang efektif,
karena secara fundamental termaktub dalam konstitusi. Frasa
"perkumpulan partai politik" dalam Pasal 6A(2) UUD 1945 begitu jelas.
empat Sebagai ujung tombak kekuasaan pemerintah, birokrasi
mengontraskan pelaksanaan kekuasaan pemerintah yang sebenarnya
dengan warga negara yang menjadi sasaran kekuasaan itu. Status birokrasi
sebagai kebutuhan dalam penyelenggaraan negara bisa menjadi pedang
bermata dua. Birokrasi bisa menjadi hadiah bagi warga negara yang
membutuhkan layanannya. Namun, birokrasi bisa menjadi monster kejam
yang bisa merenggut hak warga negara kapan saja. Pada tataran praktis,
birokrasi sangat penting bagi terwujudnya negara hukum yang demokratis.
Kebutuhan akan reformasi birokrasi tidak dapat dipungkiri. Perubahan
cara pandang birokrasi dari “yang dilayani” menjadi yang melayani masih
sebatas bahasa. Namun upaya tersebut telah dilakukan dan diharapkan
segera memberikan hasil yang menguntungkan model birokrasi pusat dan
daerah, tidak terpengaruh oleh perubahan sistem politik Indonesia.
Desentralisasi politik mengarah pada dua tujuan utama, yaitu tujuan politik
sebagai cerminan dari proses demokratisasi dan tujuan kesejahteraan.
Tujuan politiknya adalah memposisikan pemerintah daerah sebagai alat
pendidikan kewarganegaraan masyarakat di tingkat lokal, yang pada
gilirannya mendorong pendidikan kewarganegaraan nasional untuk
mempercepat terwujudnya masyarakat madani. Di sisi lain, tujuan
kesejahteraan mendefinisikan pemerintah provinsi sebagai entitas
administrasi tingkat lokal yang bekerja untuk memberikan pelayanan
publik secara efektif, efisien dan ekonomis untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat. Beberapa pelayanan yang diberikan
oleh pemerintah daerah kepada masyarakat bersifat regulasi (peraturan
publik), mis. B. Kewajiban warga untuk memiliki KTP, KK, IMB, dll.
Sedangkan bentuk jasa lainnya adalah yang menyediakan barang publik,
yaitu barang yang memenuhi kebutuhan masyarakat, seperti B. Jalan,
pasar, rumah sakit, terminal, dll. Barang dan makanan yang disediakan oleh
pemerintah daerah harus memenuhi kebutuhan warganya. Tanpa mereka,
sulit bagi pemerintah daerah untuk menerima tanggung jawab atas
legitimasi yang diberikan warga kepada pemerintah daerah untuk
mengatur dan memerintah masyarakat. Terlepas dari berapa banyak
otonomi atau kekuasaan yang dijalankan. Di daerah, kewenangan ini masih
dibatasi, yaitu rambu-rambu berupa petunjuk dan pedoman, dan kontrol
pemerintah pusat, baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah,
maupun pedoman lain pelaksanaan otonomi. terjadi sesuai dengan kriteria.

PENUTUP
1. Kesimpulan Sebagai bagian dari otonomi daerah, menurut UU No. 22
Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004. Dalam UU No. 22 Tahun 1999, tugas
dan wewenang pengurus daerah dan gubernur diatur lebih jelas, namun
terlalu sempit dan terbatas. Sedangkan berdasarkan UU No. 32 Tahun
2004, tugas dan wewenang pemerintah daerah dan gubernur diatur dalam
urusan wajib dan urusan pilihan PP No. diatur lebih komprehensif.
38/2007, tetapi tidak secara khusus, karena tugas dan wewenang lingkaran
dapat diubah oleh masalah umum, seperti B. PP No. 3, terus
dikomunikasikan dengan direksi/pemkot. 38/2007. Tugas dan wewenang
gubernur dalam pelaksanaan otonomi daerah dibagi menjadi dua peran,
yaitu sebagai daerah otonom dan sebagai wakil pemerintah pusat di
daerah. Sebagai daerah otonom, provinsi memiliki kewenangan untuk
mengelola desentralisasi, desentralisasi, dan pengelolaan bersama.
Sebagai wakil pemerintah pusat daerah, provinsi mempunyai tugas
mengkoordinir, membina, dan mengendalikan pemerintahan
kabupaten/kota dalam penyelenggaraan otonomi daerah di provinsi
tersebut. Namun demikian, provinsi sebagai perwakilan pemerintah pusat
di daerah tidak secara optimal menjalankan tugas dan wewenangnya,
seperti yang tergambar dalam uraian dokumen ini. Ini karena alasan
administrasi dan politik Kepala Negara/Walikota. Berdasarkan UU No.
Menurut UU No. 22 Tahun 1999 yang lebih menekankan aturan
administratif, gubernur tidak dianggap lebih tinggi dari gubernur/walikota.
Sedangkan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, dengan lebih menekankan
pada aturan politik, peran gubernur diabaikan karena gubernur/walikota
lebih mengutamakan sinergi dengan partai politik pendukung atau
mungkin pengusaha yang menjadi sponsornya. Hal ini karena gubernur
memiliki ideologi politik atau agama dan suku yang berbeda dengan kepala
negara/walikota. Akibatnya, banyak kebijakan kabupaten/kota yang
menyimpang dari semangat otonomi daerah. Perda utama (kerugian) yang
ditekankan oleh pemerintah pusat adalah investasi dan eksklusivitas
daerah berdasarkan identitas kelompok masyarakat tertentu.
2. Rekomendasi
Pemerintah pusat harus berusaha memperketat persyaratan pengangkatan
kepala daerah (khususnya pemerintah provinsi/walikota) untuk
dimasukkan dalam UU No. 1. 32 Tahun 2004 (Majalah Time nomor 25 April
2010, 19). Gubernur harus diminta untuk mendukung ketegangan.
Tujuannya untuk mengkaji materi agar Kepala Negara/Walikota memiliki
komitmen terhadap pelaksanaan kebijakan nasional (UUD 1945 dan
Pancasila) dan kebijakan daerah (politik daerah, pelayanan publik,
kebijakan masyarakat daerah, dll). Dukungan semua pihak terhadap
implementasi PP No. 19/2010 menjadiBupati/Walikotamenciptakan
“jembatan sosial” melalui berbagai diskusi, forum dan rapat terbuka yang
empatik dengan Bupati/Walikota guna mensinergikan tugas dan
kewenangan Gubernur dengan tugas dan kewenangan Bupati/Walikota.
Gubernur perlu membuat kesamaan komitmen dan visi dengan
Bupati/Walikota mengenai kemana pembangunan Provinsi dan
Kabupaten/Kota akan dibawa, di samping pula harus selalu mengingatkan
Bupati/Walikota untuk menyinkronkan kebijakan antar Kabupaten/Kota
dan antara Kabupaten/Kota dengan Provinsi.
Birokrasi adalah ujung tombak dari pelaksanaan kekuasaan pemerintahan.
Dalam praktek, peran birokrasi sangatlah besar, sehingga ada yang
menyejajarkan kekuasaan birokrasi dengan tiga kekuasaan kenegaraan
(eksekutif, yudisial, legislatif) dan menyebut birokrasi sebagai kekuasaan
ke empat. Sebagai ujung tombak kekuasaan pemerintahan, pada
birokrasilah bertemu secara nyata penggunaan kekuasaan pemerintahan
dengan warga masyarakat yang terhadapnya kekuasaan tersebut
ditujukan. Kedudukan birokrasi sebagai sebuah keniscayaan dalam sistem
penyelenggaraan kenegaraan, dapat menjadi pedang bermata dua.
Birokrasi dapat menjadi dewa penolong bagi warga masyarakat yang
membutuhkan pelayanannya. Namun, birokrasi bisa menjadi monster yang
kejam, yang setiap saat dapat merampas hak-hak warga masyarakat. Dalam
tataran praksis, birokrasi memiliki nilai signifikansi yang tinggi bagi
brealisasi realisasi negara hukum demokrasi. Adanya kebutuhan untuk
melakukan suatu bureaucratic reform, tidak dapat dipungkiri lagi.
Perubahan visi birokrasi dari “yang dilayani,”menjadi yang melayani”
masih sebatas ucapan. Namun demikian upaya tersebut telah berjalan,
semoga saja tidak lama lagi akan membuahkan hasil yang bermanfaat bagi
pola birokrasi pusat dan daerah tanpa terpengaruh dengan adanya
pergeseran sistem politik di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai