Sistem Politik Terhadap Hukum Jurnal Karina
Sistem Politik Terhadap Hukum Jurnal Karina
JURNAL
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas kuliah
O
L
E
H
KARINA APRILA
NIM: 223309010476
Program Studi : Etika Dan Filsafat Hukum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA
2022/2023
ABSTRAK
Sejak tahun 2000, swakelola daerah mendapat tanggapan yang luas dan
dipraktekkan secara masal. Setelah sepuluh tahun mencalonkan diri,
tampak jelas bahwa otonomi daerah mengubah wajah politik Indonesia
dengan cara yang sangat berbeda dari sejarah sebelumnya. Ide awalnya
adalah untuk menciptakan good governance di tingkat lokal. Kehadirannya
didukung oleh lembaga multinasional seperti Bank Dunia dan Dana
Moneter Internasional (IMF).
Namun dalam praktiknya, otonomi daerah selama satu dekade terakhir
justru memunculkan beberapa masalah baru yang mengancam demokrasi
dan berujung pada kebangkrutan nasional. Tumbuhnya politik identitas
dan otoritarianisme, merebaknya praktik korupsi ke daerah,
terselenggaranya pilkada yang didorong oleh kebijakan antimonopoli dan
moneter, maraknya pemekaran daerah, eksploitasi sumber daya alam
(SDA) yang tidak terkendali, selain jabatan gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat di kabupaten/kota di pemerintahan/walikota dll.
Semua praktik politik otonomi daerah lebih menguntungkan elit politik dan
ekonomi lokal. Mereka menjadi raja-raja kecil di wilayah itu. Meski
sebagian besar masyarakat lokal masih menjadi incaran para politisi.
Priyambudi dan Foucher, misalnya, menyimpulkan bahwa dalam banyak
hal otonomi daerah mengarah pada korupsi yang meluas, kekerasan
xenofobia, dan penindasan terhadap komunitas lokal yang dimobilisasi
oleh politisi yang haus kekuasaan.
PENDAHULUAN
A. hubungan otoritas;
B. Untuk pendanaan;
C Pelayanan publik;
D. Pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.
Konsep demokrasi dalam konteks devolved government merupakan ciri
atau sifat struktur pemerintahan Indonesia yang menghargai pluralisme
atau keberagaman kelompok. Menurut Bagir Manan, hak untuk mencabut
secara prinsip dan untuk berkonsultasi dalam sistem permusyawaratan
negara hanya dimungkinkan jika daerah sendiri memiliki hak untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tertentu seperti urusan
dalam negeri dalam arti penuh (termasuk asas) atau sebagian (terbatas
saja). sepanjang cara penerapannya).
Ibarat perputaran roda, siklus pergantian penguasa di negeri ini sudah
terjadi. Transisi dari penguasa ke oposisi atau sebaliknya. Artinya, iklim
politik nasional saat ini sangat dinamis. Bagaimana tidak partai politik
sebagai instrumen demokrasi kemudian terlibat dalam “ring” dan regulasi
kekuasaan. Persaingan yang secara otomatis menuntut kelanjutan strategi
partai politik. Koalisi, mungkin metode yang dianggap efektif dalam
menggabungkan kekuatan yang mengarah ke perebutan kekuasaan. Di
Indonesia pasca reformasi, sistem koalisi menjadi trend yang efektif,
karena secara fundamental termaktub dalam konstitusi. Frasa
"perkumpulan partai politik" dalam Pasal 6A(2) UUD 1945 begitu jelas.
empat Sebagai ujung tombak kekuasaan pemerintah, birokrasi
mengontraskan pelaksanaan kekuasaan pemerintah yang sebenarnya
dengan warga negara yang menjadi sasaran kekuasaan itu. Status birokrasi
sebagai kebutuhan dalam penyelenggaraan negara bisa menjadi pedang
bermata dua. Birokrasi bisa menjadi hadiah bagi warga negara yang
membutuhkan layanannya. Namun, birokrasi bisa menjadi monster kejam
yang bisa merenggut hak warga negara kapan saja. Pada tataran praktis,
birokrasi sangat penting bagi terwujudnya negara hukum yang demokratis.
Kebutuhan akan reformasi birokrasi tidak dapat dipungkiri. Perubahan
cara pandang birokrasi dari “yang dilayani” menjadi yang melayani masih
sebatas bahasa. Namun upaya tersebut telah dilakukan dan diharapkan
segera memberikan hasil yang menguntungkan model birokrasi pusat dan
daerah, tidak terpengaruh oleh perubahan sistem politik Indonesia.
Desentralisasi politik mengarah pada dua tujuan utama, yaitu tujuan politik
sebagai cerminan dari proses demokratisasi dan tujuan kesejahteraan.
Tujuan politiknya adalah memposisikan pemerintah daerah sebagai alat
pendidikan kewarganegaraan masyarakat di tingkat lokal, yang pada
gilirannya mendorong pendidikan kewarganegaraan nasional untuk
mempercepat terwujudnya masyarakat madani. Di sisi lain, tujuan
kesejahteraan mendefinisikan pemerintah provinsi sebagai entitas
administrasi tingkat lokal yang bekerja untuk memberikan pelayanan
publik secara efektif, efisien dan ekonomis untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat. Beberapa pelayanan yang diberikan
oleh pemerintah daerah kepada masyarakat bersifat regulasi (peraturan
publik), mis. B. Kewajiban warga untuk memiliki KTP, KK, IMB, dll.
Sedangkan bentuk jasa lainnya adalah yang menyediakan barang publik,
yaitu barang yang memenuhi kebutuhan masyarakat, seperti B. Jalan,
pasar, rumah sakit, terminal, dll. Barang dan makanan yang disediakan oleh
pemerintah daerah harus memenuhi kebutuhan warganya. Tanpa mereka,
sulit bagi pemerintah daerah untuk menerima tanggung jawab atas
legitimasi yang diberikan warga kepada pemerintah daerah untuk
mengatur dan memerintah masyarakat. Terlepas dari berapa banyak
otonomi atau kekuasaan yang dijalankan. Di daerah, kewenangan ini masih
dibatasi, yaitu rambu-rambu berupa petunjuk dan pedoman, dan kontrol
pemerintah pusat, baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah,
maupun pedoman lain pelaksanaan otonomi. terjadi sesuai dengan kriteria.
PENUTUP
1. Kesimpulan Sebagai bagian dari otonomi daerah, menurut UU No. 22
Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004. Dalam UU No. 22 Tahun 1999, tugas
dan wewenang pengurus daerah dan gubernur diatur lebih jelas, namun
terlalu sempit dan terbatas. Sedangkan berdasarkan UU No. 32 Tahun
2004, tugas dan wewenang pemerintah daerah dan gubernur diatur dalam
urusan wajib dan urusan pilihan PP No. diatur lebih komprehensif.
38/2007, tetapi tidak secara khusus, karena tugas dan wewenang lingkaran
dapat diubah oleh masalah umum, seperti B. PP No. 3, terus
dikomunikasikan dengan direksi/pemkot. 38/2007. Tugas dan wewenang
gubernur dalam pelaksanaan otonomi daerah dibagi menjadi dua peran,
yaitu sebagai daerah otonom dan sebagai wakil pemerintah pusat di
daerah. Sebagai daerah otonom, provinsi memiliki kewenangan untuk
mengelola desentralisasi, desentralisasi, dan pengelolaan bersama.
Sebagai wakil pemerintah pusat daerah, provinsi mempunyai tugas
mengkoordinir, membina, dan mengendalikan pemerintahan
kabupaten/kota dalam penyelenggaraan otonomi daerah di provinsi
tersebut. Namun demikian, provinsi sebagai perwakilan pemerintah pusat
di daerah tidak secara optimal menjalankan tugas dan wewenangnya,
seperti yang tergambar dalam uraian dokumen ini. Ini karena alasan
administrasi dan politik Kepala Negara/Walikota. Berdasarkan UU No.
Menurut UU No. 22 Tahun 1999 yang lebih menekankan aturan
administratif, gubernur tidak dianggap lebih tinggi dari gubernur/walikota.
Sedangkan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, dengan lebih menekankan
pada aturan politik, peran gubernur diabaikan karena gubernur/walikota
lebih mengutamakan sinergi dengan partai politik pendukung atau
mungkin pengusaha yang menjadi sponsornya. Hal ini karena gubernur
memiliki ideologi politik atau agama dan suku yang berbeda dengan kepala
negara/walikota. Akibatnya, banyak kebijakan kabupaten/kota yang
menyimpang dari semangat otonomi daerah. Perda utama (kerugian) yang
ditekankan oleh pemerintah pusat adalah investasi dan eksklusivitas
daerah berdasarkan identitas kelompok masyarakat tertentu.
2. Rekomendasi
Pemerintah pusat harus berusaha memperketat persyaratan pengangkatan
kepala daerah (khususnya pemerintah provinsi/walikota) untuk
dimasukkan dalam UU No. 1. 32 Tahun 2004 (Majalah Time nomor 25 April
2010, 19). Gubernur harus diminta untuk mendukung ketegangan.
Tujuannya untuk mengkaji materi agar Kepala Negara/Walikota memiliki
komitmen terhadap pelaksanaan kebijakan nasional (UUD 1945 dan
Pancasila) dan kebijakan daerah (politik daerah, pelayanan publik,
kebijakan masyarakat daerah, dll). Dukungan semua pihak terhadap
implementasi PP No. 19/2010 menjadiBupati/Walikotamenciptakan
“jembatan sosial” melalui berbagai diskusi, forum dan rapat terbuka yang
empatik dengan Bupati/Walikota guna mensinergikan tugas dan
kewenangan Gubernur dengan tugas dan kewenangan Bupati/Walikota.
Gubernur perlu membuat kesamaan komitmen dan visi dengan
Bupati/Walikota mengenai kemana pembangunan Provinsi dan
Kabupaten/Kota akan dibawa, di samping pula harus selalu mengingatkan
Bupati/Walikota untuk menyinkronkan kebijakan antar Kabupaten/Kota
dan antara Kabupaten/Kota dengan Provinsi.
Birokrasi adalah ujung tombak dari pelaksanaan kekuasaan pemerintahan.
Dalam praktek, peran birokrasi sangatlah besar, sehingga ada yang
menyejajarkan kekuasaan birokrasi dengan tiga kekuasaan kenegaraan
(eksekutif, yudisial, legislatif) dan menyebut birokrasi sebagai kekuasaan
ke empat. Sebagai ujung tombak kekuasaan pemerintahan, pada
birokrasilah bertemu secara nyata penggunaan kekuasaan pemerintahan
dengan warga masyarakat yang terhadapnya kekuasaan tersebut
ditujukan. Kedudukan birokrasi sebagai sebuah keniscayaan dalam sistem
penyelenggaraan kenegaraan, dapat menjadi pedang bermata dua.
Birokrasi dapat menjadi dewa penolong bagi warga masyarakat yang
membutuhkan pelayanannya. Namun, birokrasi bisa menjadi monster yang
kejam, yang setiap saat dapat merampas hak-hak warga masyarakat. Dalam
tataran praksis, birokrasi memiliki nilai signifikansi yang tinggi bagi
brealisasi realisasi negara hukum demokrasi. Adanya kebutuhan untuk
melakukan suatu bureaucratic reform, tidak dapat dipungkiri lagi.
Perubahan visi birokrasi dari “yang dilayani,”menjadi yang melayani”
masih sebatas ucapan. Namun demikian upaya tersebut telah berjalan,
semoga saja tidak lama lagi akan membuahkan hasil yang bermanfaat bagi
pola birokrasi pusat dan daerah tanpa terpengaruh dengan adanya
pergeseran sistem politik di Indonesia.