Anda di halaman 1dari 11

Nama : Ivana Gloria Anindita

NRP : G11200005
Judul Skripsi : Pengaruh Metode Multisensori Terhadap Keterampilan Menulis Permulaan Kelas 1 SD

Artikel 1
Ringkasan
1. Dunn, L. B. (2011). Awesome God: connecting through multisensory study and Lectio Divina of spiritual
narratives.
https://place.asburyseminary.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1765&context=ecommonsatsdissertations

Disertasi karya Dunn ini menjelaskan tentang pengaruh dari multisensori dalam hal spiritual
kekaguman merasakan kehadiran Tuhan. Hal ini menekankan pada peran sensor tubuh yakni penglihatan,
pendengaran, gerakan tubuh, dan perabaan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi pengaruh dan
dampaknya dari studi kelompok kecil dewasa dalam jangka pendek pada aspek kekaguman hubungan
pribadi subyek terhadap Tuhan menggunakan alat bantu ibadah dan narasi spiritual Kristen dalam konteks
multisensori.
Metodologi penelitian ini memakai pendekatan eksploratif, dan mix method (kuantitatif –
kualitatif). Subyek penelitian terdiri dari orang dewasa kisaran 18 tahun sampai pertengahan 80 tahun
yang berasal dari keanggotaan dua gereja yang berbeda. Peserta dibagi dalam beberapa kelompok.
Kelompok yang setuju untuk berpartisipasi dengan penelitian ini ada dari kelompok Selasa sore dan Kamis
malam. Jumlah peserta yang menghadiri setidaknya empat sesi adalah dua puluh orang dewasa Durasi
penelitian ini dilakukan selama 6 minggu dengan sekali pertemuan selama dua jam. Total delapan sesi
kelompok, termasuk sesi pendahuluan, enam sesi kelompok kecil, dan sesi penutup untuk posttest dan
focus group discussion. Peneliti melakukan pretest dan posttest untuk mengukur tingkat perubahan.
Peneliti melakukan intervensi multisensori pada subyek dalam 6 sesi. Perlakuan yang dilakukan
yakni Kelompok eksperimen bertemu di ruang kelas untuk komponen didaktik dan di tempat suci untuk
komponen pengalaman. Devosi termasuk doa dari St. Agustinus. Alat bantu ibadah yang diberikan berupa
lilin, mangkuk bernyanyi, ikon, tasbih dan tali, gerak tubuh dari berlutut dan menyilangkan diri, dupa, dan
Lectio Divina.

Hasil penelitian menjawab 3 pertanyaan penelitian yaitu:

Pertanyaan Penelitian #1
Tingkat kekaguman apa yang menjadi ciri hubungan pribadi peserta dengan Tuhan
sebelum berpartisipasi dalam studi kelompok kecil?

Dalam penelitian ini menunjukkan dari 20 orang yang berusia 18 sampai 80 tahun merasa kagum
pada Tuhan berada pada gradasi 2 (perolehan skor terbanyak) kemudian gradasi 3.
(Dunn p. 36. 2012)

Pertanyaan Penelitian #2
Perubahan apa saja yang terjadi pada level kekaguman peserta setelah berpartisipasi
dalam studi kelompok kecil?

Hasil kelas intervensi menunjukan peningkatan skor dalam semua gradasi.

Sebelum perlakuan metode multisensori Sesudah perlakuan metode multisensori

Pertanyaan Penelitian #3
Apa manfaat dari metode pengajaran naratif dan multisensori dalam mempengaruhi level
kekaguman yang dialami?

Dari penelitian ini hasil menunjukkan semua elemen yang dipakai dalam narasi dan aktivitas
multisensori berkaitan dengan kekaguman peserta dengan Tuhan dapat dilihat dari tabel di bawah ini
(Table 4.11). Dari tabel menunjukkan elemen yang paling banyak disukai adalah melalui Lectio Divina
dan Praise music. Sedangkan elemen yang paling tidak disukai, dari 20 orang terdapat 4 orang yang
memilih incense.

(Dunn, p. 110. 2012)


Artikel 1
Tanggapan
Disertasi ini cukup unik bertujuan untuk mengukur rasa kagum kepada Tuhan subyek setelah
diberi intervensi multisensory. Sebenarnya saya cukup bertanya-tanya bagaimana bisa mengukur rasa
kagum, namun ternyata dalam penelitian ini menyebutkan ada suatu metode untuk mengukur rasa kagum.
Metode ini ditemuka oleh seorang ahli psikoevolusiuner;

“Robert Plutchik membahas empat metode mengukur emosi dari perasaan kagum:
1. Laporan diri dari perasaan subjektif oleh manusia dewasa
2. Menilai perilaku yang dapat diamati
3. Beri peringkat produk dari perilaku seseorang
4. Rekaman fisiologis dari perubahan tubuh“
{Robert Plutvhik dalam Dunn, p. 35)

Dalam disertasi ini dijelaskan pengukuran rasa kagum menggunakan metode 1, 2, dan 3. Peneliti
memperoleh hasil skor partisipan melalui jawaban mereka dalam soal pretes dan postest, mencatat setiap
perilaku kekaguman partisipan seperti menghapus air mata, sikap fokus dan menunjukkan perhatian,
mengungkapkan pujian lewat kata-kata. Dari penelitian ini saya melihat rasa kagum kepada Tuhan juga
bisa bertambah dengan suatu perlakuan. Metode multisensori mendukung manusia untuk bisa menerima
informasi secara indrawi untuk merasakan Tuhan (feeling). Menurut saya kekaguman kepada Tuhan
adalah hal abstrak. Untuk orang bisa bertambah rasa “kagum”nya harus ada sebuah pengertian dan
perhemaan. Hal ini juga terjawab dalam penelitian ini. Pengertian dan perhemaan masuk dalam sesi
diskusi kelompok kecil dengan menjawab pertanyaan terbuka dan tertutup yang sudah disediakan peneliti.

Metode yang paling banyak disukai oleh partisipan adalah Lectio Divina yaitu menikmati
kehadiran Tuhan bisa dengan membaca atau merenungkan firman (Dunn, p.60, 2012). Pengertian dan
perhemaan partisipan semakin terisi ditambah dengan kedamaian dari elemen Praise music sebelumnya,
Hal ini menunjukkan bentuk ibadah yang menghantar manusia sebagai jemaat untuk semakin mengenal
Tuhan dan kagum akan kehadiran-Nya.
Artikel 2
Ringkasan
2. Newman, B. J. (2016). Inclusive worship: Creating a language and multisensory options so that all can
participate. Review & Expositor, 113(2), 217-224.
https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0034637316641023

Dalam artikel yang terdiri dari 9 halaman ini menyajikan informasi secara singkat tentang ibadah
inklusif yang terbuka untuk semua orang terutama untuk penyandang disabilitas melalui metode vertical
habits dan multiensori agar semua bisa berpartisipasi. Pada bagian pengantar menjelaskan keprihatinan
penulis tentang realita penyandang disabilitas yang ditolak oleh gereja karena alasan gereja tidak bisa
memfasilitasi kebutuhan mereka. Hal ini yang membuat respon penyandang difabel untuk malas datang
ke gereja. Contohnya pengidap ADHD menolak dtang ke gereja karena dia sudah bosan di sekolah hanya
duduk dan mendengarkan dan tidak mau memakai hari liburnya untuk merasakan hal yang sama
(Newman, p. 222, 2016).
Tidak hanya hal penyandang disabilitas yang terhambat akses kepada Tuhan secara fisik, penulis
juga menemukan hambatan jemaat dalam hal ibadah kepada Tuhan. Ia menemukan bahwa kesulitan
jemaat mengkespresikan diri mereka dalam berinteraksi dengan Tuhan. Hambatan tersebut terjadi karena
kurang terbiasa atau tidak terlatih untuk mengungkapkan terima kasih dan minta maaf. Maka dari itu
penulis mendapati vertical habits sebagai suatu cara yang perlu diterapkan gereja untuk membantu jemaat
terhubung dengan Tuhan dalam ibadah. Penulis mengemukakan ada 8 vertical habits dapat dilihat gambar
di bawah ini.

Vertical habits adalah bahasa “common denominator” untuk sebuah ibadah. Kebiasaan bertutur
kata dengan Tuhan ini dapat memberikan sambutan dan sebagai titik awal untuk masuk ke dalam
percakapan dengan Tuhan dalam ibadah.
Dengan mengusung vertical habits dan multisensory, penulis menerapkan hal tersebut dan
menceritakan pengalamannya di dalam jurnal ini. Dalam ibadah tidak hanya duduk diam dengan
mendengarkan secara audio, tapi secara visual dengan LCD, gambar-gambar vertical habits, audio dari
alkitab suara dan lainnya.
Tanggapan
Dalam artikel ini penekanan terbesar dari vertical habits sedangkan penjelasan multisensori hanya
sedikit saja. Model penerapan multisensori hanya berdasarkan aktivitas yang melibatkan visual dengan
LCD, audio dengan alkitab suara, sedangkan kinestetik dan taktil tidak begitu deijelaskan. Penulis hanya
menyebutkan ketertarikan dan pemahaman akan pentignya multisensori dalam satu sub paragraf sehingga
saya kurang mendapat infoemasi yang penting dan mendetil yang dapat saya pakai untuk skripsi saya.
Meski demikian saya dapat menemukan gambaran dan tujuan tentang metode vertical habits dan
multisensori. Artikel ini cukup bagus untuk memberikan pengantar bagi gereja dan orang percaya bahwa
semua orang berhak untuk mendapat akses untuk datang kepada Tuhan. Dan tugas kita adalah membantu
dan ikut menaruh perhatian untuk membuka akses tersebut agar semua orang yang datang kepada Tuhan
bisa terkoneksi dengan Dia.
Saya setuju akan kerinduan penulis dan tujuan yang mulia tersebut. Meski multisensori hanya
dijelaskan sedikit, tapi penulis sadar perspektif multisensori dalam alkitab yakni Tuhan bekerja lewat
semua indra kita untuk kita bisa merasakannya. Konsep yang ada dalam cerita peringatan kematian
Kristus, “melakukan ini sebagai peringatan akan Aku,”

“Perayaan yang terkait dengan tugas mengingat ini bersifat multisensori. Perjamuan Tuhan melibatkan
unsur-unsur yang dapat kita lihat, sentuh, cicipi, cium, dan jika digabungkan dengan kata-kata dalam Kitab
Suci, kita juga dapat mendengarnya. Tuhan ingin kita mengingatnya, dan Tuhan memungkinkan semua
jenis pembelajar untuk melakukan hal itu.”
(Newman, p. 222. 2016)

Dari konsep ini, saya semakin yakin untuk meneliti dan mencari tahu lebih dalam keuntungan dan
dampak dari metode multisensori dalam pembelajara di kelas. Saya berharap perspektif ini mendorong
saya untuk menjadi guru yang menyenangkan dan kreatif dalam memenuhi panggilan profesi guru.
Artikel 3
Ringkasan
3. Sinclair, Stefanie and Maiden, John (2020). Take a picture of religion: Engaging students in the
multisensory study of lived religion. JBASR (Journal of the British Association for the Study of
Religions), 22 pp. 122–137.
https://oro.open.ac.uk/74624/

Penelitian ini dibuat dan dikaji bukan dalam ranah agama kristen. Namun sebagai sebuah
penelitian yang ditujukan kepada mahasiswa dalam mata kuliah ‘lived religion’dan ‘material religion’.
Kegiatan yang harus dilakukan subyek adalah memotret atau merekam suara - (misalnya dari ponsel) yang
menggambarkan ‘suara’ agama – yang ada di lingkungan sekitar mereka, kemudian dikumpulkan di
platform belajar “Open Studio.” Hasil dari foto dan rekaman suara yang sudah mahasiswa ambil, akan
mereka kumpulkan untuk mengerjakan tugas yang diberikan tutor. Mahasiswa akan menganalisis dan
mulai mencari tahu makna agama yang ada di lingkungannya dan mereka akan mendalami tentang agama
sesuai materi yang diajarkan.
Peneliti melakukan penelitiannya pada tahun 2020 pada saat covid. Maka dari itu subyek penelitian
yang mereka tuju adalah mahasiswa yang belajar dengan pembelajaran jarak jauh. Peneliti mengambil
data secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, subyek mengisi survei kuisioner campuran
pertanyaan terbuka dan tertutup yang ada dalam platform belajar mereka benama “Open Studio”.
Sedangkan data kualitatif melakukan wawancara semi-terstruktur dengan empat tutor (yaitu setengah dari
tutor yang mengajar kursus ini). Sebanyak 97 mahasiswa terlibat dalam namun peneliti hanya
mengirimkan survey kepada 72 mahasiswa saja karena . Dari 72 siswa tersebut, total ada 21 siswa yang
menjawab. 5 diantaranya menyelesaikan survei sebagian dan 16 diantaranya merupakan tanggapan
lengkap.
Multisensori yang dimaksud penulis adalah Multisensori Berbasis Objek. Pengertian multisensori
berbasis objek mengacu pada siklus pembelajaran yang menyoroti pentingnya pembelajaran berdasarkan
pengalaman dan menekankan hubungan antara eksperimen aktif, pengalaman nyata, observasi reflektif,
dan konsep abstrak (Sinclair, Stefanie dan Maiden, John, p. 126. 2020). Penelitian ini berhasil menerapkan
multisensori berbasis objek dalam metode belajar untuk mahasiswa bisa mengalami proses belajar yang
hidup.
Tanggapan
Saya baru mendengar multisensori berbasis objek dari jurnal ini. Jenis multisensori ini cukup
menarik karena ada suatu pengalaman secara langsung dengan “mencari” berdasarkan pikiran siswa.
Kegiatan ini dapat menjadi pemantik di awal, dan kemudian dapat menjadi bahan proses belajar untuk
analisis dalam pengembangan konsep. Saya rasa metode multisensori berbasis objek dalam penelitian ini
cocok untuk dipakai sebagai suatu proyek. Memang tidak bisa selesai dalam satu pertemuan, namun
kegiatan berlanjut di beberapa pertemuan berikutnya. Cara ini cocok untuk proses pengumpulan nilai
sesuai kurikulum merdeka belajar.
Jurnal ini memang tidak membahas multisensori menurut perpektif kristen, namun saya
menemukan bahwa secara akademik metode multisensori memang dapat dipakai dalam runtutan cara
belajar ilmiah. Dari mata kuliah dan tugas Open Studio itu, saya merasa kesamaan dengan pengalaman
saya sebagai mahasiswa UK Petra. Di mata kuliah Agama dan Hidup Bermakna yang saya ambil di
semester satu, juga belajar tentang agama-agama. Penelitian ini juga belajar agama-agama, di kegiatan 1
mahasiswa ditugaskan untuk memotret dan merekam suara tentang unsur agama yaitu pemandangan dan
suara, di lingkungan lokal mereka. Hal ini menggali basic knowledge mahasiswa. Dan hal ini cara belajar
yang baik karena menerapkan pembelajaran student centered.
Artikel 4
Ringkasan
4. Smith, S. W. Southwestern Baptist Theological Seminary The Non-Verbal Illustration: Mcluhan,
Postman, and the Emerging Preacher Emerging Church thinkers generally advocate the multi-sensory,
non verbal, mediated in preaching, or even in lieu of preaching as oral communication. This paper will
show.
https://stevenwsmith.net/wp-content/uploads/2014/11/The-Non-Verbal-Illustration.pdf

Secara umum penulis mengungkapkan pemikiran dan penilaiannya tentang gereja yang
berkembang. Penulis mengkaji opininya tentang teori khotbah dari Emerging Church yang memakai
multisensori kemudian menganalisisnya dengan pemikiran ahli teori komunikasi Marshal Mcluhan, dan
kritikus budaya Neil Postman.
Pertama penulis mengkritik gereja berkembang saat ini khotbah firmannya memanfaatkan media
teknologi, namun isi atau kontennya juga berubah dan bisa melenceng dari tujuan isi Alkitab. Dalam
lembaran awal, penulis menjelaskan ketidaksetujuannya tentang khotbah yang ditayangkan di televisi
karena esensi khotbah dapat berubah, bukan untuk memberitakan kebenaran malahan bisa melenceng
hanya untuk hiburan penonton.
Kedua penulis juga menyebutkan bahwa penggunaan multisensori dalam ibadah lebih dari sekadar
penggunaan nonverbal. Padahal khotbah secara nonverbal adalah pesannya. Jadi yang seharusnya dituju
adalah mengalami kebenaran bukan hanya mendengarkan kebenaran. Penulis memberikan sebuah contoh
cerita tentang penggunaan nonverbal melebihi multisensori yang seharusnya:

“Seorang pendeta gereja baru mengizinkan jemaatnya duduk dalam lingkaran tersendiri, masing-masing
dengan bola benang berwarna. Saat mereka mendiskusikan topik tersebut, mereka akan memegang satu
tempat di benang tersebut, dan kemudian melemparkan benang tersebut ke peserta lain yang terhubung
dengan mereka. Di akhir diskusi, jemaah melihat lingkaran warna-warni di hadapan mereka. Sang khatib
kemudian mencatat bahwa ini seperti kesatuan di mana semua perbedaan pendapat dan pemikiran saling
terhubung satu sama lain. Bagi sebagian orang, ini tampak seperti visual persatuan yang indah. Namun
hal ini nampaknya berbeda dari apa yang Paulus katakan tentang kesatuan dalam Efesus 4, yaitu bahwa
karena sifat Allah, kita harus bekerja keras untuk menyatukan diri kita pada kebenaran yang diwahyukan
seperti yang disampaikan oleh para pendeta-pengajar.”
(Smith, p. 7, 2005)

Dari cerita tersebut penting bahwa konten dan isi khotbah yang perlu disampaikan adalah konsep
dan pesan verbal yang tepat. Konsep tentang tritunggal, cinta, integritas dan lainnya juga perlu
menggunakan cara non verbal - multisensori ini.
Sebagai kesimpulan penutup, penulis meringkas gereja yang berkembang harus kembali melihat
konten khotbah yang harus berfokus pada firman. Zaman sekarang kebanyakan orang distimulasi secara
visual, namun tujuan khotbah bukan hanya “ditonton” dan sekadar didengar, tapi dialami.
Tanggapan
Secara jujur sebenarnya saya cukup bingung setelah membaca artikel ini. Baik secara bahasa dan
kontennya sangat tinggi dan ilmiah, dan saya bingung apa tujuan yang disampaikan penulis. Terutama
tentang konsep multisensori yang dijelaskan penulis. Apakah sebenarnya penulis setuju atau tidak. Namun
hal yang menarik bagi saya adalah cerita tentang khobah “kesatuan” yang saya lampirkan di atas. Metode
menggunakan gulungan benang cukup menjadi sebuah praktik untuk menjelaskan pesan yang tepat. Ini
bisa saya pakai mungkin saat mengajar sekolah minggu atau kelompok kecil. Dengan menyediakan
gulungan benang berbeda warna dan sedikit anak, akan ada pola dan warna yang indah terbentuk.
Menurut saya apabila kita menggunakan media secara nonverbal atau verbal bahkan ditambah
mulrisensori akan sangat baik dan berpengaruh dalam meningkatkan perhatian audiens. Saya setuju jika
penulis bermaksud, khotbah offline secara interaksi langsung dapat dibawakan bukan hanya dengan
‘mendengar’ dan bukan hanya ‘melihat’ penjelasan proyektor, namun ada cerita dan konten yang berbobot
dan aktivitas yang dibuat sedemikian rupa supaya audiens bisa mengerti.
Artikel 5
Ringkasan
5. Cummins, M. D. (2004). Creative Preaching: How Multi-Sensory Preaching Connects the Word of God
to the Twenty-First Century Culture.
https://digitalcommons.liberty.edu/doctoral/372/

Tesis karya Cummins ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari multisensori dalam gereja. Penggunaan
multisensori sebagai bentuk kreativitas dalam membawakan firman oleh pendeta. Penggunaan multisensori
berdasarkan sistem-sistem yang ada yakni;

(Cummins, p. 3. 2004)

Peneliti menyatakan penggunaan multisensori bukanlah ilmu yang baru, sebab dalam sejarah manusia di
Alkitab bahkan sejak adam dan hawa sudah diterapkan. Contohnya pada saat ular merayu hawa, ia menggunakan
sensor manusia yakni suara, penglihatan, sentuhan, dan perasa. Bahkan sampai hari ini pun iblis uga menggoda
manusia dengan multisensori (p. 4). Peneliti mengkaji secara jelas dan spesifik tentang konsep multisensori
berdasarkan Alkitab “Multi-sensory worship connects the truths of God’s Word to the senses of a person
producing not only short term obedience but also stimulating long term adherence to God’s timeless truths.”
(Cummins, 2004).
Pengumpulan data dilakukan secara kuantitatif menggunakan survey yang ditujukan kepada pendeta gembala
dari gereja-gereja. Total jumlah subyek penelitian yakni 43 pendeta. Pertanyaan survey berhubungan metode
khotbah apa yang paling sesuai untuk menghubungkan firman Tuhan dengan budaya abad kedua puluh satu ini.
Jawaban responden bervariasi mulai dari narasi, multisensori, teknologi, visual atau lainnya. Dan jawaban
terbanyak yakni melalui metode multimedia. Namun multimedia yang dimaksud belum disebutkan secara
spesifik. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa satu cara bukan merupakan satu metode yang paten untuk
terhubung dengan Tuhan. Namun peneliti terus menggali berdasarkan topik multisensori dan menemukan bahwa
multisensori dapat sesuai dengan dinamika budaya kita. Konsep multisensori dapat diartikan sebagai kadian yang
pernah dialami (yang benar-benar kita ingat, yang dilihat, bau, sentuhan, dan klip ingatan) terhubung dengan
kebenaran Alkitab pada hari itu. Orang-orang mencari pengalaman untuk dimasukkan kedalam kisah hidup
pribadi mereka sehingga mereka menjadi bagian yang lebih besar yakni cerita Tuhan dalam hidup mereka.
Tanggapan
Menurut saya tesis ini adalah yang terbaik untuk mencari informasi multisensori menurut sejarah Alkitab.
Kajian tentang multisensori secara alkitabiah sangat banyak dan jelas. Hanya saja, untuk metodologi dan
pengumpulan datanya hanya sekadar survei. Kemudian langkah-langkah praktis untuk melakukan multisensori
dalam khotbah atau kelompok belajar juga sedikit sekali. Penjelasan dari bab awal hingga kesimpulan juga hanya
menitikberatkan pada metode multisensori sebagai cara yang paling cocok untuk khotbah karena di Alkitab, cara
Allah berkomunikasi dan pengalaman tokoh-tokoh Alkitab, mereka merasakan Tuhan secara multisensori.
Dari penjelasan tesis ini saya menjadi semakin yakin dan mengerti bahwa Tuhan juga berkarya secara
multisensori dalam kehidupan manusia. Bahwa cara manusia berkomunikasi tidak terbatas hanya dari berbicara
saja tapi apapun dapat diartikan dengan maksud atau pesan tertentu di dalam hati untuk mendapatkan pengertian
sesuai kebenaran.

Anda mungkin juga menyukai