Anda di halaman 1dari 10

PELAYANAN KONTEKSTUAL MELALUI PERSEMBAHAN SESAJIAN

Yenni Aplydiana
Sekolah Tinggi Teologi Simpson
yenniaplydiana99@gmail.com
Abstract:
The problems faced by their contextual service is the lack of definition of services
that is through culture.Writer raised a title which a service berkontekstual servants
performing bali look.Through culture or tradition can be delivered.Hanging from the way
started a ministry, it is to help service evangelism.The purpose of this research is to assist
the world evangelism through tradition that is in bali, writer uses the method used in this
research was qualitative.The data is various literature relating to the topic, also the result
observation of facts or activities that is in society.Approach it may bear descriptive in data
of words as spoken and a collection of behavior of the study, systematically, factual and
accurate
Key words: Contextual service , the offering , the community bali
Abstrak
Masalah yang dihadapi dikalangan pelayanan Kontekstual adalah kurangnya pengertian
pelayanan melalui budaya yang ada. Penulis mengangkat judul yang dimana seorang
pelayan melakukan pelayanan yang berkontekstual dengan budaya Bali. Melalui budaya
atau tradisi dapat disampaikan. Tergantung dari cara memulai pelayanan tersebut, hal ini
bertujuan untuk membantu pelayanan penginjilan. Tujuan penelitian ini adalah untuk
membantu dunia penginjilan melalui tradisi yang ada di Bali, penulis menggunakan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Sumber data adalah
berbagai literatur yang berkaitan dengan topik ini, juga hasil pengamatan terhadap fakta-
fakta atau kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam masyarakat. Pendekatan ini akan
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata lisan serta kumpulan perilaku dari
masyarakat yang diteliti, secara sistematis, faktual dan akurat.
Kata Kunci: Pelayanan Kontekstual, Sesajen, Masyarakat Bali

Pendahuluan
Bali adalah sebuah provinsi di Indonesia yang ibu kota provinsinya Denpasar. Bali
juga merupakan satu pulau di Kepulauan Nusa Tenggara. Secara Geografis, Bali terletak di
antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama
Hindu, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil seni-
budayanya, khususnya bagi parawisatwan Jepang dan Australia. Bali juga dikenal dengan
julukan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura.1 Agama Hindu merupakan agama yang
dominan di Asia Selatan terutama di India dan Nepal, Harun mengatakan, “agama Hindu
sendiri dibagi dalam beberapa sejarah, agama Hindu sendiri bagi orang pribumi sendiri
menyebut agama Hindu disebut Sanatana Dharma, yang berarti: agama yang kekal.
Govinda Das mengatakan, bahwa agama Hindu sesungguhnya adalah suatu proses
antropologis yang hanya karena nasib ironisnya saja diberi nama agama.2 Sesajen adalah
suatu pemberian (sesajiansesajian) sebagai tanda penghormatan atau rasa syukur terhadap
1
“Bali,” Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, October 4, 2020, accessed November 2,
2020, https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Bali&oldid=17473234.
2
Harun Hadiwijono Dr, Agama Hindu Dan Budha (BPK Gunung Mulia, 2010), 12.
semua yang terjadi di masyarakat sesuai bisikan ghaib yang berasal dari paranormal atau
tetuah-tetuah (Sawunggalih, 2010: 1).3
Pelayanan Kontekstual merupakan metode yang sering digunakan dalam dunia
penginjilan, pada umumnya pelayanan yang dilakukan untuk menginjili seorang adalah
menggunakan Alkitab dan sebagainya. Orang Kristen pada umumnya menginjili
dikarenakan bahwa penginjilan adalah suatu tugas dan perintah dari Tuhan Yesus kepada
orang Kristen untuk menginjili kepada orang-orang yang belum percaya kepada Kristus hal
ini dibenarkan didalam Kisah Para Rasul 1:8 bahwa setiap orang yang percaya kepada
Yesus Kristus harus menjadi saksi-Nya dimanapun ia berada, Roh Kudus akan menyertai
sampai kepada akhir zaman. Hal yang menjadi masalah dalam pembahasan ini apakah
orang Kristen pada masa kini memngerti dan memahami pelayanan penginjilan itu dengan
benar, ketika seseorang menginjili ada hal-hal yang tidak diperhatikan ketika
menyampaikan Injil itu dengan benar sehingga apa yang harus menjadi inti pembicaraan
tidak dapat disampaikan dengan baik dikarenakan sulit untuk diterima bagi orang-orang
yang sulit membuka diri kepada Injil. Masalah tersebut diperlukan jalan keluar yang dapat
membantu para penginjil dalam hal menyampaikan Injil yang muda diterima bagi orang-
orang yang belum percaya, yaitu pelayanan kontekstual.
Makmur Halim mengatakan
“ada berbagai usaha yang kontekstual yang sudah dilakukan oleh Allah dalam
Perjanjian Lama melalui para nabi maupun secara langsung oleh diri-Nya untuk
menyatakan kasih-Nya kepada orang berdosa.”4
Hal ini jelas bahwa kontekstual sudah dilakukan dalam Perjanjian Lama, pelayanan
kontekstual jarang digunakan oleh penginjil masa kini.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian adalah penulis melihat masalah yang ada di masyarakat Bali pada
saat ini, yang dimana bagi seorang agama Hindu wajib untuk memberikan sesajian setiap
harinya ditempat-tempat yang bagi kepercayaan mereka disitu ada dewa, ketika seorang
Hindu memberikan sesajian tersebut dewa akan senang, dan mereka akan selalu dilindung
oleh dewa-dewa tersebut. Yang menjadi tujuan penelitian adalah melakukan pelayanan
kontekstual melalui pemberian sesajian. Mengapa demikian dengan cara ini orang-orang
yang belum percaya kepada Yesus bisa mengenal Dia melalui metode tersebut.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Sumber data
adalah berbagai literatur yang berkaitan dengan topik ini, juga hasil pengamatan
terhadap fakta-fakta atau kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam masyarakat.
Pendekatan ini akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata lisan serta
kumpulan perilaku dari masyarakat yang diteliti, secara sistematis, faktual dan akurat.
PEMBAHASAN
HAKIKAT SESAJEN
3
Ni Made Kartika Dewi and Rahayu Dewi, “KAJIAN RAGAM DAN MAKNA SESAJEN PADA UPACARA
PERANG TIPAT BANTAL DI DESA KAPAL KECAMATAN MENGWI KABUPATEN BADUNG PROVINSI BALI,” Jurnal
Tata Boga 3, no. 1 (2014), accessed November 6, 2020,
https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/jurnal-tata-boga/article/view/1138.
4
Makmur Halim, MODEL-MODEL PENGINJILAN YESUS : Suatu Penerapan Masa Kini (Malang:
Gandum Mas, 2003), 41.
Sesajen atau sajen adalah sejenis persembahan kepada dewa atau arwah nenek
moyang pada upacara adat dikalangan penganut kepercayaan kuno di Indonesia. Dalam
pengamatan yang penulis lihat adalah sesajen adalah suatu makanan kecil, benda kecil,
bunga-bungaan sertang barang hiasan lainnya, kemudian di tata sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan simbolnya masing-masing. Seorang penginjil yang bernama Bapak Ketut
Suparte, adalah seorang yang beragama hindu dimasa lalunya kemudian memutuskan
mengikut Yesus dan menjadi seorang penginjil, Bapak Ketut merupakan salah satu
narasumber penulis, dalam wawancara tersebut penulis mengajukan beberapa pertanyaan
mengenai sesaji, dari hasil wawancara tersebut “Sesaji merupakan aktualisasi dari pikiran,
keinginan serta perasaan pelaku untuk lebih dekat kepada Tuhan. Dari hasil wawancara
tersebut, bahwa sesaji merupakan bukti atau simbol kalau seorang tersebut sudah
memberikan sesaji, dan ini merupakan bentuk negosiasi yang menginginkan roh-roh untuk
taat kepada mereka dan juga agar segala apa yang mereka lakukan berhasil. Hal ini
merupakan penjelasan yang didapatkan dari narasumber mengenai sesajen.
Kemudian penulis juga mewawancarai salah satu Narasumber yang bernama Ibu
Kadek Ale yang dimana Ibu ini asli beragama Hindu, Penulis mewawancarai dengan
beberapa pertanyaan, kemudian Ibu ini menjawab “ bahwa setiap pagi ia menghanturkan
sesajen dibanyak tempat tanpa tahu Tuhan mana yang ia sembah, ia juga tidak tahu mantra,
Sloka Veda atau Bhagawad Gita. Jangankan Sloka Veda, Tri Sandya saja ia tidak hafal (Tri
Sandya adalah mantra yang umum, biasanya dibacakan saat menghanturkan persembahan
sesajen dibanyak tempat). Ia menyadari bahwa ia memberikan sesajen dengan rasa hormat
dan rasa syukur, namun ia berfikir mengapa tuhan atau dewa harus diberi makan,
bukankah mereka mahakuasa, mengapa manusia seperti kami ini harus memberikan
mereka makan. Mengapa tuhan kejam jika manusia tidak memberikan persembahan
sesajen. Setelah panjang lebar mendengar penjelasan dari narasumber, disini penulis
menari kesimpulan jika ibu ini tidak memberikan sesajen setiap hari, ia takut tuhan atau
dewa akan marah dan membawa kesialan atau petaka dalam keluarganya.
Dalam kebudayaan agama Hindu pemberian sesajen merupak hal yang wajib
dilakukan setiap harinya. Made mengatakan dalam jurnalnya demikian...” Sesajen
memiliki nilai yang sangat sakral bagi pandangan masyarakat yang masihmempercayainya,
tujuan dari pemberian sesajen adalah untuk mencari berkah. Pemberian sesajen ini
biasanyadilakukan ditempat-tempat yang dianggap keramat dan mempunyai nilai magis
yang tinggi Pada dasarnya terdapat suatu simbol atau siloka di dalam sesajen yang harus
kita pelajari. Siloka, adalah penyampaian dalam bentuk pengandaian atau gambaranyang
berbeda (aphorisma). Kearifan lokal yang disimbolkan dalam sesajen perlu dipelajari
bukan disalahkan karena itu adalah kearifan budaya lokal yang diturunkan oleh leluhur
kita. Salah satu upacara agama Hindu yang mengajarkan banyak hal tentang bagaimana
tata cara hidup bermasyarakat yang baik adalah upacara “Perang Tipat Bantal”. Upacara
ini merupakan satu-satunya upacara agama Hindu yang terdapat di desa Kapal Kecamatan
Mengwi Kabupaten Badung Provinsi Bali. Wilayah ini merupakan wilayah mayoritas
menjunjung tinggi ragam dan nilai-nilai ritus sesajen dalam setiap upacara dan upakara
ajaran Hindu khususnya dalam peringatan hari-hari raya agama Hindu .”5

HAKIKAT PELAYANAN DAN KONTEKSTUAL

5
Dewi and Dewi, “KAJIAN RAGAM DAN MAKNA SESAJEN PADA UPACARA PERANG TIPAT BANTAL
DI DESA KAPAL KECAMATAN MENGWI KABUPATEN BADUNG PROVINSI BALI.”
Berbicara tentang pelayanan, kata pelayanan mengarah kepada tugas atau tanggung
jawab yang harus dikerjakan oleh seorang pelayan. Di Indonesia mengenal “Diaken”,
diaken disini berbicara sebagai jabatan gerejawi. Abineno menjelaskan bahwa “ setiap
orang datang untuk memberitahujab Injil dimana pun, pekerjaan diaken adalah melayani
orang-orang sakit dan orang-orang yang hidup dalam kekurangan.”6 Seorang diaken
memiliki peran dalam pelayanan, salah satunya menolong dan melayani orang-orang yang
membutuhkan. Hal ini merupakan tugas Allah kepada umat-Nya “sebagai pelayan-Nya
kepada sesama manusia- dalam Perjanjian Baru disebut diakonia=Pelayanan. Kata tersebut
disebit bersama-sama dengan kata-kata lain yang berasal dari akar-akar yang sama yaitu
“Diakonein” = Melayani dan “diakonos” = pelayanan.7 Dalam bukunya Abineno
menyampaikan bahwa “Pelayanan menghendaki kesediaan untuk memberikan diri sendiri
kepada orang lain. Dilihat dalam Perjanjian Baru “diakonia” digunakan untuk menyebut
hidup dan pekerjaan Yesus dan juga hidup dan pekerjaan Jemaat-Nya.8 Seorang pelayan
Tuhan haruslah dengan rela hati melakukan pelayanan kepada orang-orang yang dijumpai.
Dalam pelayanan harus memiliki perilaku dan gaya hidup yang baik, mengapa hal ini harus
diperhatikan karena seorang pelayan menjadi pusat perhatian orang-orang yang belum
mengenal Kristus.
Dalam buku “Iman atau Fanatisme”, pelayanan adalah tindakkan seorang pelayan.
Hal ini berarti hanya tindakan yang dilakukan dengan sikap seorang pelayan, yang bisa
disebut pelayanan. Buku ini memberikan contoh jika saya membantu seseorang agar
orang itu tunduk kepada saya, itu bukanlah pelayanan. Sikap seorang pelayan tidak seperti
itu, dalam buku ini kita belajar tentang sikap pelayan, yang pertama pelayan selalu peka
terhadap apa yang terjadi dengan pelayanannya. Orang Kristen adalah pelayan-pelayan
Kerajaan Allah, yang dipanggil untuk melayani Dunia. Yang kedua, pelayan harus
memelihara komunikasi, memelihara komunikasi disini yaitu memiliki relasi yang intim
kepada Allah, dengan demikian apa yang dikerjakan dapat terlaksan dengan baik. Dapat
disimpulkan bahwa kita perlu menggumuli segala niat pelayanan kita, dan memahami
dalam terang firman Tuhan, sampai batas mana tindakan pelayanan kita masih mampu
membawa kebaikan, kapan seorang pelayan harus bertindak, kapan kita harus
mempersilahkan Tuhan sendiri yang bertindak. Pelayan tidak boleh mengambilalih tugas
penuai, seorang pelayan harus menghargai peran orang lain dan peran Allah dalam
pelayanan kita.9
Konstekstual banyak digunakan dalam arti yang berbeda-beda. Jika melihat dari
hermeneutika, konteks mengacu pada setiap kalimat yang menyertai suatu bagian Alkitab
sebelumnya dan sesudahnya. Drewes mengatakan, “dalam Kontekstual, diperlukan adanya
kesadaran mengenai kekayaan tradisi budaya dan menekankan pengaruh modernisasi serta
hubungan-hubungan antar budaya dalam kerangka perjuangan demi mewujudkan keadilan
dan damai sejahtera.10
Adapun model-model kontekstual menurut Hasselgrave dan Rommen, yakni
sebagai berikut:
a.       Metode dialog liberal - mencari kebenaran: Metode ini dimulai dari
dialog antara orang-orang dari kepercayaan-kepercayaan yang hidup.
6
J. l ch Abineno Dr, Diaken Diakonia Dan Diakonat Gereja (BPK Gunung Mulia, 2010), 1.
7
Ibid., 2.
8
Ibid., 3.
9
Yahya Wijaya, Iman Atau Fanatisme (BPK Gunung Mulia, 2004), 92.
10
B. F Drewes, Apa Itu Teologi-Pengantar Kedalam Ilmu Teologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 153–
154.
Peserta-pesertanya adalah dari agama Kristen, Muslim, Budha dan Hindu.
Programnya mencakup kesempatan beribadah bersama secara sukarela di
bawah tema “makna dan praktik spiritualitas”. Dialog tersebut berfungsi
sebagai tanda pengharapan, memperkenalkan kepada mereka suatu
spiritualitas baru antar iman. Dialog ini bukan merupakan tujuan, tetapi
permulaan dari kontekstualisasi. Metodenya adalah mencari kebenaran
(baru) melalui dialog yang tidak bertikai. Hasilnya, yakni dapat memulai
hubungan baru antara Allah dan umat manusia serta antara manusia dan
manusia lain.
b.      Metode dialektis neo-liberal – menemukan kebenaran : Metode ini
diambil dari teologi pembebasan Gutierrez. Ia tidak mulai dengan Alkitab
(bahkan dengan tradisi), tetapi dengan tanggapan peka terhadap penderitaan
manusia. Tujuannya adalah perbaikan dunia dan bukan kelahiran baru
manusia. Teologi itu dipahami sebagai penggenapan fungsi kenabian,
karena dalam menafsirkan peristiwa-peristiwa sejarah bermaksud untuk
mengungkapkan dan memberitakan maknanya yang mendalam. Secara
pribadi hal ini terlihat di mana bangsa-bangsa, kelas-kelas sosial, dan orang-
orang berjuang untuk membebaskan diri dari dominasi dan penindasan oleh
bangsa-bangsa, kelas-kelas sosial dan orang-orang lain. Kerangkanya
adalah perjuangan dialektis antara bangsa-bangsa, kelas-kelas dan orang-
orang dalam dunia masa kini. Metodenya adalah menemukan kebenaran
dengan ikut serta dalam perjuangan tersebut dan menghadapkan agenda
dunia secara kenabian yang bijak. Hasilnya “hermeneutika Injil yang
politis” yang menyerukan manusia untuk menjadikan dunia ini tempat yang
lebih baik (yang dianggap sama dengan mendirikan Kerajaaan Allah).
c.       Metode dialektis neo-ortodoks – menemukan kebenaran: Pandangan
ini dekat dengan pandangan neo-liberal dalam metodenya. Persamaannya
terdapat dalam tekanan pada konteks historis masa kini, yakni konteks
dalam mana kita hidup dan berteologi. Perbedaan yang mendasar lebih
percaya kepada jiwa si pelaku teologi, sedangkan yang disebut belakangan
lebih percaya pada roh Allah yang menerangi teologi.
d.      Metode didaktis ortodoks – mengajarkan kebenaran: Pandangan-
pandangan Nicholls, Kato, Matheny, Geisler, Inch, Parshall, Escobar,
Richardson tentang kontekstualisasi muncul dari komitmen kepada Alkitab
yang berwibawa penuh dan minat untuk menginjili dunia sesuai dengan
Amanat Agung Kristus (Mat. 28:16-20). Istilah-istilah kunci dalam metode
ortodoks(dialog, Injil, iman, ajaran) mendapatkan artinya dari Alkitab.
Konteks kontekstualisasi adalah sistem-sistem kepercayaan bukan Kristen.
Metodenya adalah mencari dasar bersama atau membangun jembatan
komunikasi sehingga orang-orang yang tidak percaya dapat diyakinkan
akan kebenaran Injil Alkitabiah, lalu mengajarkan Alkitab kepada mereka
yang sudah diyakinkan. Hasil yang diharapkan adalah transformasi rohani
dari orang yang percaya kepada Kristus dan hal menjadikan bangsa-bangsa
menjadi murid-murid-Nya.11

Penulis merangkum bahwa beberapa hal yang menandai pelayanan yang


kontekstual adalah berteologi dengan berlandaskan Firman Tuhan dan mewujudkan pada
situasi kehidupan sehari-hari sehingga dapat mewujudkan kehendak Allah. Kemudian
11
David J. Hesselgrave and Edward Rommen, Kontekstualisasi, Makna, Metode Dan Model
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 185–190.
dapat mewujudkan iman dan melayani orang-orang agar menyadari bahwa berada mereka
didunia adalah untuk melayani mereka yang tehilang dari hadapan Allah. Lalu bersedia
untuk menjalankan tugas penggilan pelayanan yaitu dengan cara bersaksi bagi Kristus,
menjadi terang bagi orang-orang disekitar, serta menjadi satu kesatuan dalam Kristus
Yesus.
Sekarang bagaimana dapat mempertemukan teks dan konteks, hal ini harus dilihat
dari pemahaman setiap orang mengenai hakikat teks dan konteks serta tempatnya yang
tergantung dalm teologinya. Teologi selalu bertitik tolak dengan asumsi dasar, karena
Allah yang kita percayai itu adalah Allah yang berkuasa dan Allah yang senantiasa
menyatakan diri-Nya disepanjang hidup manusia. Untuk memulai suatu hal yang baru
harus dilihat makna teologis dari segala sesuatu yang digunakan untuk melakukan
pelayanan kontekstual.
PERTEMUAN INJIL DAN KEBUDAYAAN
Ketika adat sudah menjadi identitas etnis tertentu, maka ia akan menjadi sebuah
tradisi yang melembaga. Di mana tradisi adalah kebiasaan sosial yang diturunkan dari satu
generasi ke generasi lainnya melalui proses sosialisasi. Tradisi menentukan nilai-nilai dan
moral masyarakat, karena tradisi merupakan aturan-aturan tentang hal apa yang benar dan
hal apa yang salah menurut warga masyarakat. Konsep tradisi itu meliputi pandangan
dunia (worldviews) yang menyangkut kepercayaan tentang masalah kehidupan dan
kematian serta peristiwa alam dan makhluknya, atau konsep tradisi itu berkaitan dengan
sistem kepercayaan, nilai-nilai dan cara serta pola berpikir masyarakat.12 Adapun konsep
awal tentang kebudayaan berasal dari E.B. Tylor yang mengemukakan bahwa culture atau
civilization itu adalah complex whole includes knowledge, belief, art, morals, law, custom,
and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society. Batasan
tentang kebudayaan ini mengemukakan aspek kebendaan dan bukan kebendaan itu sendiri
atau materi dan nonmateri, sebagaimana Tylor kemukakan bahwa kebudayaan ialah
keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum
dan kemampuan-kemampuan lainnya serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat.13
Berkontekstual malalui budaya merupakan hal yang terkadang sulit untuk
dilakukan, dikarenakan harus dilihat dari makna teologinya sehingga tidak menimbulkan
ajaran sinkritisme yang menyesatka orang-orang yang kurang mengerti dalam hal
kekristenan. Penulis menjadikan sala satu tokoh Alkitab yang menjadi teladan dalam
pelayanan Kontekstual. Paulus dalam pemberitaan Injil, lebih bersifat keras dan dogmatis
juga, dikarenakan Paulus ingin orang-orang sezamannya mengenal Kristus. Hal ini tertulis
dalam Galatia 1:914
TB (1974) AYT (1954)  TL(2018) BIS(1985)
Seperti yang Sebagaimana Kami sudah
telah kami yang telah Seperti yang mengatakannya
katakan kami katakan telah kami dahulu,
dahulu, dahulu, katakan sekarang saya
sekarang sekarang pun sebelumnya mengatakannya
12
Judistira K. Garna, Ilmu-Ilmu Sosial Dasar – Konsep - Posisi, (Bandung:
Pascasarjana Unpad, 2001), h. 186.
13
Ibid., h. 157
14
https://alkitab.sabda.org/verse.php?book=galatia&chapter=1&verse=9#:~:text=Seperti%20yang
%20telah%20kami%20katakan,terima%2C%20s%20terkutuklah%20dia%201%20.
kukatakan kukatakan dan sekarang sekali lagi:
sekali lagi: pula, bahwa aku katakan Orang yang
jikalau ada jikalau barang lagi, jika ada memberitakan
orang yang seorang orang yang kepadamu
memberitakan memberitakan memberitakan "kabar baik"
kepadamu Injil kepadamu yang lain
suatu injil, kepadamu lain injil yang daripada Kabar
yang berbeda daripada yang bertentangan Baik yang
dengan apa telah kamu dengan apa sudah kalian
yang telah terima itu, yang sudah terima dari
kamu terima, biarlah ia kamu terima, kami, orang itu
terkutuklah terlaknat. biarlah ia hendaknya
dia terkutuk. dihukum Allah!

Berita Injil adalah kekal dan tidak berubah, dalam hal ini Paulus mengajarkan kebenaran
tentang Injil itu. Terdapat dalam hal yang tertentu Paulus berbicara sesuai dengan konteks
yang ada kemudian dibicarakan dengan cara yang berbeda. Paulus adalah seorang yang
dogmati dan teologis, namun jika baca dari semua suratnya Paulus seorang yang fleksibel
dalam metodologinya. Tidak heran jika Paulus disebut rasul yang menggunakan
kontekstual dalam penginjilannya.
Dalam hal ini tugas kontekstual yaitu apa yang dapat digunakan apa yang harus ditolak.15
a. Memakai : Memakai berarti semua atau beberapa unsur kebudayaan yang netral
tetap dipertahankan. Setiap kebudayaan mempunyai beberapa unsure yang
netral.Contoh: Penggunaan kopiah, sarung, kebaya, duduk dilantai, penggunaan
alat-alat musik tradisional, penggunaan bahasa Arab dalam pemberitaan Injil, dan
lainnya.
b. Mengubah: Yang dimaksud dengan mengubah ialah memurnikan unsur-unsur
kebudayaan yang dapat ditransformasikan supaya berkenan kepada Allah dan
sesuai dengan firman-Nya. Seperti yang dicanagkan oleh Ikrar Lausanne pasal 10:
”Gereja-gereja harus berusaha untuk mengubah dan memperkaya kebudayaan, dan
semuanya itu bagi kemuliaan Allah.” Contoh: “Selamatan” atau “hajatan” dapat
diubah inti selamatannya tetapi cara duduk dan alat-alat tetap dapat digunakan.
c. Membuang: Semua hal yang tidak cocok dengan firman Allah dan yang tidak
mungkin dimurnikan harus dibuang. Misalnya, poligami, upacara-upacara
sembahyang untuk orang mati, dan bentuk-bentuk lain yang berhubugan dengan
kuasa kegelapan, seperti praktek-praktek spritisme dan animisme.
 H. Richard Niebuhr telah menggolongkan lima pandangan tentang relasi antara Kristus
dan budaya yang diambil oleh bermacam-macam teolog:
1. Kristus melawan budaya (radikal) -yaitu, Kristus adalah otoritas tunggal; klaim dari
budaya harus ditolak. Pandangan ini menekankan pertentangan antara Kristus dan
kebudayaan dengan dasar ayat dari 1 Yohanes 2:15-16. Sikap ini menekankan
bahwa iman sangat bertentangan dengan budaya. Budaya berasal dari bawah, dari
bumi, bahkan dari setan, sedangkan gereja berasal dari atas, dari surga, bahkan dari
15
Deand S. Gilliland, The Word Among Us, (Waco, Word Books Publisher, 1989), hal.
25 dikutip oleh Budiman, hal.42.
Tuhan. Dunia kegelapan ini dikuasai oleh nafsu kedagangan, nafsu mata,
kesombongan. Semua itu akan berlalu sebab mereka akan dikalahkan oleh iman
kepada Kristus.
2. Kristus dari budaya (akomodatif) - yaitu, sistem Kristen tidak berbeda jenis dengan
budaya tetapi hanya dalam kualitas; yang terbaik dari budaya harus diseleksi untuk
menyesuaikan diri dengan Kristus.  Pandangan ini bersikap positif terhadap budaya,
tidak ada pertentangan antara iman dan budaya. Tidak ada ketegangan besar antara
gereja dan dunia, antara Injil dan hukum-hukum sosial, antara karya rahmat Illahi
dengan karya manusia. Mereka menafsirkan kebudayaan melalui Kristus
danberpendapat bahwa pekerjaan dan pribadi Kristus adalah sangat sesuai dengan
kebudayaan. Dipihak lain, kelompok ini berpendapat jika Kristus ditafsirkan
melalui kebudayaan, maka hal-hal yang terbaik dalam kebudayaan adalah cocok
dengan ajaran dan kehidupan Kristus. Namun penyesuaian ini bukan sembarangan,
sebab telah dilakukan juga penjungkiran bagian-bagian kebudayaan yang tidak
sesuai dengan Injil dan bagian-bagian Injil yang tidak sesuai dengan adat istiadat
sosial.
3. Kristus di atas budaya (sintetik) - Sikap ini sebenarnya merupakan bagian dari
sikap kedua. Dalam sikap ini baik iman maupun budaya diterima sebagai kesatuan
yang saling mengisi, iman mengatasi budaya tetapi iman tidak menghapus budaya,
melainkan budaya diintegrasikan ke dalam iman. Pandangan ini berawal dari
pandangan tingkatan hirarkis dari alam (natural) dan spiritual (rohani).
4. Kristus dan budaya berada dalam paradoks (dualistik) – yaitu, keduanya adalah
penguasa untuk ditaati dan karena itu orang percaya hidup dengan ketegangan
ini.  Sikap ini merupakan variasi dari sikap kedua, namun kebalikan dari sikap
ketiga. Di sini  orang mengakui bahwa hidup dalam dua dunia, dunia yang pertama
adalah kerajaan Allah, dunia yang kedua adalah masyarakat. Orang Kristen adalah
warga masyarakat sekaligus warga kerajaan Allah. Tetapi keduanya tidak ada
sangkut-paut apapun. 
5. Kristus sebagai transformator budaya-yaitu, budaya merefleksikan keadaan
manusia sudah jatuh ke dalam dosa; di dalam Kristus, umat manusia ditebus dan
budaya dapat diperbarui kembali memuliakan Allah dan memajukan tujuan-tujuan-
Nya. Sikap ini mengakui bahwa budaya telah dicemari oleh dosa dan tidak semua
hal di dunia ini baik-baik saja, bahkan yang terbaik dari manusia pun tetap penuh
dengan dosa, tetapi orang beriman harus yakin bahwa Kristus sudah menang atas
dosa dan bahwa Roh Kudus bekerja membaharui dan mentransformasi budaya dan
adat istiadat. Sikap gereja yang tepat menurut H. R. Niebuhr adalah sikap gereja
pengubah kebudayaan. Seorang teolog bernama Augustinus (354-430) telah
mempelopori sikap gereja pengubah kebudayaan. Posisi ini berangkat dari
pendirian bahwa tidak ada suatu kodrat yang tidak mengandung kebaikan, karena
itu kodrat setan sendiripun 16tidaklah jahat, sejauh itu adalah kodrat,tapi ia menjadi
jahat karena dirusak.
Intinya bahwa melalui sesajen dapat digunakan sebagai saran dalam menyampaikan
Injil bagi mereka yang belum mengenal siapa Yesus. Dalam hal ini ketika kita melayani
orang-orang Bali yang memberikan sesajen kepada dewa mereka, secara perlahan-lahan
memberikan pengertia yang dimana Tuhan Yesus itu adalah juruselamat yang hidup dan

16
Bagian ini diringkas dari buku Niebuhr berjudul Kristus dan Kebudayaan, (Jakarta,
Petra Jaya, 1951), buku asli H. Richard Niebuhr, Christ and Culture (New York: Harper & Row,
Harper Torchbooks, 1956).
berkuasa. Seperti yang sudah penulis sampaikan dipendahuluan sebagian besar dari mereka
yang menghanturkan sesajen setiap harinya tidak mengerti apa yang mereka lakukan?dan
pertanyaan terbesit dipikiran mereka, apakah tuhan itu makan?mengapa dewa harus
diberikan makanan, hal ini tentu saja jika dipikirkan oleh mereka yang memiliki pikiran
kritis terhadap situasi yang mereka hadapi. Dalam hal ini yang menjadi tujuan kita adalah
melayani mereka dengan cara merubah tujuan sesajen itu diberikan kepada siapa? Penulis
mempelajari dalam mata kuliah Misiologi dan Misiologi, bahwa Injil itu bisa disampaikan
melalui budaya atau tradisi yang ada pada di mana kita melayani. Dalam hal ini yang
penulis dapatkan adalah yang pertama adalah memakai beberapa unsur kebudayaan yang
netral, artinya yang dapat dipertahankan, dalam pemberian sesajen itu bisa dilakukan yang
tujuannya kepada Yesus Kristus, memberikan pengertian bahwa ketika memberikan
sesajen itu hanya simbol dari sikap ucapan syukur kita kepada Yesus. Kemudian
mengubah, yang dimana memurnikan unsur-unsur kebudayaan yang dapat
ditransformasikan supaya berkenan kepada Allah dan sesuai dengan firman-Nya, pada
umumnya orang-orang memberikan sesajen karena mereka akan dilindungi jika tidak
memberikan sesajen roh-roh jahat akan mengganggu mereka, namun tidak dalam hal ini
bahwa Yesus itu adalah Tuhan yang senantiasa menjaga dan melindungi bagi yang percaya
kepada-Nya. Kemudian membuang semua hal yang tidak selaras dengan Firman Allah,
yaitu menyadarkan mereka bahwa hanya Tuhan yang patut disembah dan di Puji,
membuang kebiasaan yang tidak berkenan dihadapan Allah.
KESIMPULAN
Melalui pertemuan Injil dengan kebudayaan yang ada di Bali, hal ini merupakan masalah
yang bersifat lokal, oleh sebab kelokaan itu maka kebudayaan yang bernuasan kekristenan
tidak bisa menjangkau seluruh budaya yang ada, karena perbedaan tersebut. Namun dalam
hal ini Injil yang universal itu dijadikan menjadi Injil yang lokal, yang bisa diterima oleh
masyarakat yang memegang kepercayaan agama Hindu. Namun dalam hal ini Injil harus
menjadi sentral dalam kebudayaan tersebut, sehingga dapat berjalan secara bersamaan
sehingga Injil itu dapat didengar orang yang belum mengenal atau mendengar Injil, melalui
kontekstual ini dapat disimpulkan bahwa Injil bisa diberitakan kepada semua suku bangsa
yang sesuai dengan konteks yang ada dan yang dapat diterima serta berlandaskan
kebenaran Firman Allah yang hidup.

Daftar Pustaka
Dewi, Ni Made Kartika, and Rahayu Dewi. “KAJIAN RAGAM DAN MAKNA SESAJEN
PADA UPACARA PERANG TIPAT BANTAL DI DESA KAPAL KECAMATAN
MENGWI KABUPATEN BADUNG PROVINSI BALI.” Jurnal Tata Boga 3, no. 1
(2014). Accessed November 6, 2020. https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/jurnal-
tata-boga/article/view/1138.
Dr, Harun Hadiwijono. Agama Hindu Dan Budha. BPK Gunung Mulia, 2010.
Dr, J. l ch Abineno. Diaken Diakonia Dan Diakonat Gereja. BPK Gunung Mulia, 2010.
Drewes, B. F. Apa Itu Teologi-Pengantar Kedalam Ilmu Teologi. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2011.
Halim, Makmur. MODEL-MODEL PENGINJILAN YESUS : Suatu Penerapan Masa Kini.
Malang: Gandum Mas, 2003.
Hesselgrave, David J., and Edward Rommen. Kontekstualisasi, Makna, Metode Dan
Model. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Kooij, Rijn van. Menguak fakta, menata karya nyata: sumbangan teologi praktis dalam
pencarian model pembangunan jemaat kontekstual. BPK Gunung Mulia, 2007.
Wijaya, Yahya. Iman Atau Fanatisme. BPK Gunung Mulia, 2004.
“Bali.” Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, October 4, 2020. Accessed
November 2, 2020. https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Bali&oldid=17473234.

Anda mungkin juga menyukai