Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, dimana atas berkah
rahmat dan karuniaNya kami semua mampu menyusun makalah ini dalam rangka untuk
memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak.
Dalam proses penyusunan makalah ini, tim penyusun mengalami banyak permasalahan. Namun
berkat arahan dan dukungan dari berbagai pihak akhirnya makalah ini dapat diselesaikan tepat
pada waktunya.
Penyusun menyadari makalah ini masih belum sempurna, baik dari isi maupun
sistematika penulisannya, maka dari itu penyusun berterima kasih apabila ada kritik dan saran
yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.Akhir kata, semoga makalah ini dapat dapat
bermanfaat bagi rekan-rekan.
1
DAFTAR ISI
Contents
KATA PENGANTAR..................................................................................................................................1
DAFTAR ISI.................................................................................................................................................2
BAB I.............................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN........................................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang...........................................................................................................................3
BAB II...........................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN...........................................................................................................................................4
2.1 Laporan Pendahuluan...............................................................................................................4
A. Definisi.........................................................................................................................................4
B. Etiologi.........................................................................................................................................4
C. Tanda dan Gejala.......................................................................................................................5
D. Pathogenesis.....................................................................................................................................6
E. Manifestasi Klinis.......................................................................................................................6
F. Prognosis.....................................................................................................................................7
G. Pathway...................................................................................................................................8
H. Komplikasi..............................................................................................................................9
J. Penatalaksanaan Medis.............................................................................................................9
2.2 Asuhan Keperawatan...............................................................................................................12
A. Pengkajian.................................................................................................................................12
B. Diagnosis....................................................................................................................................13
C. Intervensi Keperawatan...........................................................................................................13
D. Implementasi.............................................................................................................................15
E. Evaluasi.....................................................................................................................................15
BAB III........................................................................................................................................................16
PENUTUP...................................................................................................................................................16
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................................17
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Difteri adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernapasan bagian atas. Penyakit ini dominan
menyerang anak-anak, biasanya bagian tubuh yang diserang adalah tonsil, faring, hingga laring yang
merupakan saluran pernapasan bagian atas. Ciri khusus pada difteri berupa terbentuknya lapisan yang
khas selaput lendir pada saluran napas, serta adanya kerusakan otot jantung dan saraf. Difteri disebabkan
oleh Bakteri Corynebacterium diphteriae.
Gejala yang di timbulkan difteri ialah terbentuknya lapisan tipis berwarna abu-abu yang menutupi
tenggorokan dan amandel, demam/menggigil, sakit tenggorokan terutama ketika menelan, warna kulit
kebiruan, muncul benjolan di leher akibat pembengkakan kelenjar getah bening, keluarnya cairan dan
darah dari hidung.
Cara penularan Difteri terjadi melalui droplet saat penderita (atau karier yakni orang yang terinfeksi
tetapi tidak mengalami tanda-tanda gejala penyakit) batuk, bersin, dan berbicara. Selain itu, debu atau
muntahan juga bisa menjadi sumber penularan. Bahkan susu yang tidak dipasteurisasi dapat berperan
menjadi media penularan difteri.
Pengobatan Difteri merupakan penyakit dengan kondisi serius dan perlu penanganan langsung dari
dokter. Pertama, dokter memberikan suntikan antitoksin (ADS/Anti-difteri serum) segera setelah
diagnosis difteri ditegakkan, untuk melawan racun yang dihasilkan oleh bakteri. Pemberian ADS
berbarengan dengan antibiotic. Karena ADS tidak bisa digunakan untuk eliminasi bakteri penyebab,
begitupun sebaliknya antibiotic tidak dapat mengantikkan peran ADS untuk menetralisasi toksin difteri.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Laporan Pendahuluan
A. Definisi
Suatu penyakit infeksi akut yang mudah menular, dan yang sering diserang terutama saluran
pernafasan bagian atas dengan tanda khas timbulnya “pseudomembran”. Kuman juga
melepaskan eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum local. Penyebab penyakit ini
adalah kuman Corynebacterium diptheriae yang bersifat gram positif dan polimorf, tidak
bergerak, dan tidak membentuk spora. Bakteri dapat ditemukan dalam sediaan langsung yang
diambil dari hapusan tenggorok atau hidung, basil difteria akan mati pada suhu 60 derajat celcius
selama 10 menit tapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es, air, susu, dan lendir yang
telah mengering.
Dapat diartikan juga sebagai suatu penyakit infeksi akut yang menyerang saluran pencernaan
bagian atas dengan masa inkubasi antara 2 sampai 7 hari. Basilnya dapat hidup dan berkembang
biak pada saluran pernafasan atas, maka dapat menimbulkan terjadinya radang dengan
terbentuknya pseudomembran local. Bila tidak mendapat pengobatan maka akan menyebar ke
seluruh saluran pernafasan atas yang akhirnya menyebabkan tersumbatnya jalan nafas atau
obstruksi. Basil difteri akan mengeluarkan toksin dan akan menyebar ke jantung sehingga
menyebabkan paralise, menyebar ke syaraf sehingga mengakibatkan paralise, dan menyebar ke
ginjal sehingga menyebabkan nepritis.
B. Etiologi
4
membedakannya kadang – kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi
glikogen, kanji, glukosa, maltose, dan sukrosa.
Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe gravis, intermedius dan mitis,
namun dipandang dari sudut antigenisitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat
heterogen dan mempunyai banyak tipe serologic. Hal ini mungkin bisa meneramgkan mengapa
pada seseorang pasien bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas dari
C.diphtheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin seperti in vivo maupun in vitro.
Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas
atau cahaya, mempunyai dua fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (karboksi
– terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau memproduksi toksin dipengaruhi
oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh
bakteriofag yang mengandung toxigene.
Penularan difteri dari penderita terjadi secara langsung melalui air ludah, maupun secara
tidak langsung melalui sapu tangan dan berbagai benda lain yang tercemar ludah penderita.
Penularan melalui air susu dan debu dapat juga terjadi dan manusia merupakan satu – satunya
sumber infeksi difteri bagi manusia lainnya.
a) Diphtheria Hidung : permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau
disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan
kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas. Pada
pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi.
b) Diphtheria Tonsil-Faring : Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan.
dalam 1-2 hari timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup
5
tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke distal ke laring
dan trakea.
c) Diphtheria Laring : Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi
lebih berupa gejala obstruksi saluran nafas atas.
d) Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga : Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi
jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria
pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran
pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen
dan berbau.
D. Pathogenesis
Corynebacterium diphtheria yang masuk ke dalam tubuh dapat berkembang biak pada
mukosa saluran nafas, untuk kemudian memproduksi eksotoksin yang disebut diphtheria toxin
(dt). Toksin yang terbentuk tersebut kemudian dapat diserap oleh membran mukosa dan
menimbulkan peradangan dan penghancuran epitel saluran nafas hingga terjadi nekrosis, leukosit
akan menginfiltasi daerah nekrosis sehingga banyak ditemukan fibrin yang kemudian akan
membentuk patchy exudate, yang masih dapat dilepaskan.
Pada keadaan lanjut akan terkumpul fibrous exudate yang membentuk pseudomembran
(membran palsu) dan semakin sulit untuk dilepas serta mudah berdarah. Umumnya
pseudomembran terbentuk pada area tonsil, faring, laring, bahkan bisa meluas sampai trakhea
dan bronkus. Membran palsu dapat menyebabkan edema pada jaringan mukosa dibawahnya,
sehingga dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas dan kematian pada penderita difteri
pernafasan. Toksin kemudian memasuki peredaran darah dan menyebar ke seluruh tubuh,
terutama pada jantung dan jaringan saraf yang memiliki banyak reseptor dt, serta menyebabkan
degenerasi dan nekrosis pada jaringan tersebut.
Bila mengenai jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan payah jantung,
sedangkan pada jaringan saraf akan menyebabkan polineuropati. Kematian biasanya disebabkan
karena adanya kegagalan jantung dan gangguan pernafasan dapat menimbulkan respon imun
terhadap difteri, walaupun level toksin biasanya tidak cukup tinggi untuk menyebabkan
kerusakan serius. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa wabah difteri biasanya terjadi di
6
daerah beriklim sedang, dimana kasus infeksi kulit jarang terjadi sehingga level imunitas alami
yang terbentuk juga rendah, hal ini terutama terjadi pada anak – anak.
E. Manifestasi Klinis
Pada saluran nafas atas dengan disertai gejala sakit tenggorok, disfagia, limfadenitis,
demam yang tidak tinggi, malaise dan sakit kepala. Membran adheren yang terbentuk pada
nasofaring dapat berakibat fatal karena bisa menyebabkan obstruksi saluran nafas. Efek sistermik
berat meliputi miokarditis, neuritis, dan kerusakan ginjal akibat exotoksin. C.diphtheriae (sering
pada strain yang nontoksigenik) dapat menyebabkan difteri kutaneus pada orang dengan standar
hegienis yang buruk (contoh pengguna obat dan alkohol) untuk cenderung terjadi kolonisasi
(dikulit lebih sering terjadi dibandingkan faring).
Gejala difteri itu sendiri dibedakan berdasarkan lokasi infeksi, bila di pernafasan maka
disebut difteri pernafasan/ respiratory yang meliputi area tonsilar, faringeal, dan nasal. Difteri
pernafasan merupakan penyakit pada saluran nafas yang sangat serius, sebelum
dikembangkannya pengobatan medis yang efektif, sekitar setengah dari kasus dengan gejala
difteri pernafasan meninggal. Pada anak-anak yang menderita difteri ini, lokasi utama terdapat
pada tenggorokan bagian atas dan bawah.
Difteri lain (non pernafasan) selain difteri pernafasan adalah difteri hidung, kulit,
vulvovaginal dan anal auditori eksternal. Pada difteri hidung gejala awal biasanya mirip seperti
flu biasa, yang kemudian berkembang membentuk membran dijaringan antara lubang hidung
dengan disertai lendir yang dapat bercampur darah. Toksin yang dihasilkan oleh difteri hidung
ini tidak dengan mudah dapat diserap ke dalam tubuh tapi dapat dengan mudah menyebarkan
infeksi kepada orang lain.
F. Prognosis
Bergantung pada :
7
5) Terdapatnya komplikasi miokarditis sangat memperburuk prognosis.
6) Pengobatan : terlambat pemberian ADS maka prognosis akan memburuk.
G. Pathway
Corynebacterium diphtheriae
Tubuh
Berkembang biak
Saluran nafas
Membentuk
pseudomembran Melepaskan eksotoksin
Faring, laring,
Otot jantung Saraf perifer Hati dan
tonsil, saluran nafas
ginjal
8
Jalan nafas miokarditis Paralisis otot
terganggu pernafasan
H. Komplikasi
1. Pada saluran pernafasan : terjadi obstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya,
bronkopneumonia, atelectasis.
2. Kardiovaskular : miokarditis, yang dapat terjadi akibat toksin yang membentuk
kuman difteria.
3. Kelainan pada ginjal (nefritis)
4. Kelainan saraf (kira – kira 10 % pasien difteria mengalami komplikasi yang mengenai
susunan saraf terutama system motoric), berupa :
a. Paralisis / paresis palatum mole sehingga terjadi rinolalia (suara sengau), tersedak,
atau sukar menelan, dan dapat terjadi pada minggu ke I sampai II.
b. Paralisis / paresis otot – otot mata sehingga dapat menyebabkan strabismus,
gangguan akomodasi, dilatasi pupil atau ptosis yang timbul pada minggu ke III.
c. Paralisis umum yang dapat terjadi setelah minggu ke IV, kelainan dapat mengenai
otot – otot muka, leher, anggota gerak dan yang paling berbahaya bila mengenai
otot pernafasan.
I. Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium (apakah ada kuman corynebacterium diphtheriae).
2. Pemeriksaan darah (apakah ada penurunan Hb, leukosit, eritrosit, dan albumin).
3. Pemeriksaan bakteriologis
4. Shick test (apakah seseorang tersebut rentan terhadap difteri)
J. Penatalaksanaan Medis
1. Tindakan umum :
9
a. Mencegah terjadinya komplikasi
b. Mempertahankan / memperbaiki keadaan umum
c. Mengatasi gejala / akibat yang timbul
2. Pengobatan :
a. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS) harus diberikan setelah dibuat
diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka
kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari
hari ke enam menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.
10
kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan
indikasi tindakan trakeostomi.
e. Pengobatan kontak : pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi
sampai tindakan berlaku atau terlaksana yaitu biakan hidung dan tenggorok serta
gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui. Pemeriksaan
serologi dan observasi harian, anak yang telah mendapat imunisasi dasar
diberikan booster toksoid difteria.
f. Pengobatan karier : mereka yang tidak merasakan atau menunjukkan keluhan,
mempunyai uji Shick (-) tapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya.
Dapat diberikan penisilin 100 mg/kgBB/ hari oral/suntikan atau eritromisin 40
mg/kgBB/hari. Selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi
atau adenoidektomi.
g. Imunisasi :
imunisasi pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal
terhadap difteria sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat
bertahan selama 2 sampai 3 minggu. Sedangkan imunisasi aktif diperoleh
setelah menderita aktif atau nyata atau inapparent infection serta imunisasi
toksoid difteria.
Uji kepekaan Shick (menentukan kerentanan atau suseptibilitas seseorang
terhadap difteria, dilakukan dengan menyuntikkan toksin difteria yang
dilemahkan secara IC).
Uji kepekaan Moloney (menentukan sensitivitas terhadap produk bakteri
dari basil difteria, dilakukan dengan cara memberikan 0,1 ml larutan
toksoid secara intradermal)
11
2.2 Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Biodata :
Umur : biasanya terjadi pada anak – anak umur 2 sampai 10 tahun dan jarang
ditemukan pada bayi berumur di bawah 6 bulan daripada remaja di atas 15 tahun.
2. Keluhan utama : klien merasakan demam tetapi tidak terlalu tinggi suhunya
3. Riwayat kesehatan sekarang : klien mengalami demam tetapi tidak terlalu tinggi
suhunya, terlihat lesu, pucat, sakit kepala, dan terkadang anoreksia.
4. Riwayat kesehatan dahulu : klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus,
faring, laring, dan saluran nafas atas serta mengalami pilek dengan secret bercampur
dengan darah.
5. Riwayat penyakit keluarga : adanya keluarga yang menderita difteri
6. Pola fungsi kesehatan :
a. Pola nutrisi dan metabolisme
jumlah nutrisi yang kurang disebabkan anoreksia
b. Pola aktivitas
klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam
d. Pola eliminasi
Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan gizi atau
nutrisi yang kurang disebabkan anoreksia.
12
7. Pemeriksaan Fisik
a. Pada difteria tonsil – faring :
Malaise
Suhu tubuh < 38,9 derajat celcius
Pseudomembran melekat dan menutup tonsil dan dinding faring
Bullneck
b. Difteria laring :
Stridor
Suara parau
Batuk kering
Pada obstruksi laring yang berat, terdapat retraksi suprasternal, subcostal,
dan supraclavicular
c. Difteria hidung :
Secret hidung serosanginus mukopurulen
Lecet pada nares dan bibir atas
Membrane putih pada septum nasi
B. Diagnosis
1. Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan Hipersekresi jalan nafas di
buktikan dengan Mengi, wheezing dan/atau ronkhi kering
2. Pola Napas Tidak Efektif berhubungan dengan hambatan Upaya napas dibuktikan dengan
Dispnea, Penggunaan otot bantu napas dan pemanjangan fase ekspirasi.
3. Gangguan Ventilasi Spontan berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan dibuktikan
dengan Dispnea, PO2 menurun,
C. Intervensi Keperawatan
13
1. Mengi cukup menurun (4) napas)
2. Wheezing cukup menurun -Monitor bunyi napas tambahan (mis, gurgling,
(4) mangi, wheezing, ronkhi kering)
3. Mekonium cukup menurun -Monitor sputum (jumlah, warna dan aroma)
(4) Terapeutik
-Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-
titt dan chin-lift (jaw-thrust jika trauma servikal)
-Posisikan semi-Fowler atau Fowler
-Berikan minum hangat
-Lakukan Fisioterapi dada, jika perlu
-Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
-Lakukan Hiperoksigenasi sebelum penghisapan
endotrakeal
-Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep
Mc Gill
-Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
-Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
-Ajarkan Teknik batuk efektif
Kolaborasi
-Kolaborasi pemberian bronkodilator, mukolitik,
jika perlu
2. Setelah di lakukan Intervensi Manajemen Jalan Napas Buatan
keperawatan selama 3x24 jam Tindakan
maka Pola Napas menurun dengan Observasi
Kriteria Hasil: -Monitor posisi selang endotrakeal (ETT), terutama
-Dispnea cukup menurun (4) setelah mengubah posisi
-Penggunaan otot bantu napas -Monitor tekanan balon ETT setiap 4-8 jam
cukup menurun (4) -Monitor kulit area stoma trakeostomi (mis,
-Pemanjangan fase ekspirasi kemerahan, drainase, perdarahan)
cukup menurun (4) Terapeutik
-Kurangi tekanan balon secara periodic tiap shift
-Pasang oropharyngeal airway (OPA) untuk
mencegah ETT tergigit
-Cegah ETT terlipat (kinking)
-Berikan pre-oksigenasi 100% selama 30 detik (3-6
kali ventilasi) sebelum dan setelah penghisapan
-Berikan volume pre-oksigenasi (bagging atau
ventilasi mekanik) 1,5 kali volume tidal
-Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
jika diperlukan (bukan secara berkala/rutin)
-Ganti fiksasi ETT setiap 24 jam
Ubah posisi ETT secara bergantian (kiri dan kanan)
setiap 24 jam
3. Setelah dilakukan Intervensi Dukungan Ventilasi
14
Keperawatan selama 3x24 jam Tindakan
maka Ventilasi Spontan menurun Observasi
dengan Kriteria Hasil: -Identifikasi adanya kelelahan otot bantu napas
-Dispnea cukup menurun (4) -Identifikasi efek perubahan posisi terhadap status
-PO2 cukup membaik (4) pernapasan
-Monitor status respirasi dan oksigenasi (mis,
frekuensi dan kedalaman napas, penggunaan otot
bantu napas, bunyi napas tambahan, saturasi
oksigen)
Terapeutik
-Pertahankan kepatenan jalan napas
-Berikan posisi semi Fowler atau Fowler
-Fasilitasi mengubah posisi senyaman mungkin
-Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan (mis, nasal
kanul, masker wajah, masker rebreathing atau non
rebreathing)
-Gunakan bag-valve mask, jika perlu
Edukasi
-Ajarkan melakukan Teknik relaksasi napas dalam
-Ajarkan mengubah posisi secara mandiri
-Ajarkan Teknik batuk efektif
Kolaborasi
-Kolaborasi pemberian bronchodilator, jika perlu
D. Implementasi
E. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan untuk mengetahui sejauh
mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai. Evaluasi ini dilakukan dengan cara
membandingkan hasil akhir yang teramati dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat dalam
rencana keperawatan.
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang menyerang saluran pencernaan bagian
atas dengan masa inkubasi antara 2 sampai 7 hari. Basilnya dapat hidup dan berkembang biak
pada saluran pernafasan atas, maka dapat menimbulkan terjadinya radang dengan terbentuknya
pseudomembran local. Bila tidak mendapat pengobatan maka akan menyebar ke seluruh saluran
pernafasan atas yang akhirnya menyebabkan tersumbatnya jalan nafas atau obstruksi.Secara
umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe gravis, intermedius dan mitis, namun
dipandang dari sudut antigenisitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat
heterogen dan mempunyai banyak tipe serologic. Hal ini mungkin bisa meneramgkan mengapa
pada seseorang pasien bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae.
Gejala difteri itu sendiri dibedakan berdasarkan lokasi infeksi, bila di pernafasan maka
disebut difteri pernafasan / respiratory yang meliputi area tonsilar, faringeal, dan nasal. Difteri
pernafasan merupakan penyakit pada saluran nafas yang sangat serius, sebelum
dikembangkannya pengobatan medis yang efektif, sekitar setengah dari kasus dengan gejala
difteri pernafasan meninggal. Pada anak-anak yang menderita difteri ini, lokasi utama terdapat
pada tenggorokan bagian atas dan bawah. Difteri lain (non pernafasan) selain difteri pernafasan
adalah difteri hidung, kulit, vulvovaginal dan anal auditori eksternal. Pada difteri hidung gejala
awal biasanya mirip seperti flu biasa, yang kemudian berkembang membentuk membran
dijaringan antara lubang hidung dengan disertai lendir yang dapat bercampur darah. Toksin yang
dihasilkan oleh difteri hidung ini tidak dengan mudah dapat diserap ke dalam tubuh tapi dapat
dengan mudah menyebarkan infeksi kepada orang lain.
16
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Difteri. In: RI DK, editor.
Jakarta: Pusat Data dan Informasi; 2017
WHO. Diphtheria Reported cases by country 2017 [26 Januri 2018]. Available from:
http://apps.who.int/gho/data/view.main.1540_41?lang=en.
17