Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pajak mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan bangsa


Indonesia khususnya dalam membangun edan mengembangkan ekonominya,
karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua
pengeluaran negara termasuk untuk kesejahteraan rakyatnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 Pasal 1 Nomor 1, Pajak adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Serta Pajak merupakan sumber
utama penerimaan negara yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat dengan cara meningkatkan pelayanan publik.
Dalam hal ini Pajak mempunyai banyak fungsi pajak, fungsi
tersebut sangat berperan bagi pembangunan negara dan masyarakat. Pajak
digunakan untuk membiayai berbagai macam pengeluaran publik. Pajak
dibayarkan oleh rakyat kepada Negara berdasarkan undang-undang yang
berlaku. Fungsi pajak begitu penting sehingga setiap orang harus memenuhi
kewajiban pajaknya. Tanpa fungsi pajak sebagian besar kegiatan negara akan
sulit berjalan. Namun, masih banyak orang yang belum mengerti apa saja
fungsi pajak. Ini membuat orang banyak menghindari kewajiban pajaknya.
Fungsi pajak merupakan salah satu sumber terbesar pendapatan negara.
Fungsi pajak juga nantinya dinikmati oleh seluruh warga negara. Maka dari itu
sangat penting untuk membayar pajak dengan tertib.

Terdapat banyak Pajak yang dipungut oleh Negara, tetapi makalah ini
hanya membahas Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan Pasal 21, 22, 23, 24, 4
ayat (2), 25, dan 26. yang dikenai untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan.

Adapun beberapa Pajak yang dipungut oleh negara dalam menjalankan


keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara yaitu, Pajak Penghasilan
Pasal 21, 22, 23, 24, 4 ayat (2), 25, dan 26. Dari berbagai macam Pajak
Penghasilan tersebut yang dipungut oleg Direktorat Jendral Pajak, Direktorat
Jendral Bea dan Cukai pada Kementrian Keuangan dan Dinas Pendapatan
Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Dengan makalah ini akan membahas mengenai pengertian, subjek dan
objek, contoh dan cara perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21, 22, 23, 24, 4
ayat (2), 25, dan, 26.

1
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa maksud dari Pajak Penghasilan Pasal 21, 22, 23, 24, 4 ayat (2),
25, dan 26 bagi Negara?
b. Apa saja Objek dan Subjek Pajak Penghasilan Pasal 21, 22, 23, 24, 4
ayat (2), 25, dan 26?
c. Bagaimana Cara Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21, 22, 23, 24,
4 ayat (2), 25, dan 26?

1.3 Tujuan
a. Untuk memahami apa itu Pajak Penghasilan Pasal 21, 22, 23, 24, 4
ayat (2), 25, dan 26.
b. Untuk mengetahui bagaimana cara dalam melakukan perhitungan
Pajak Penghasilan Pasal 21, 22, 23, 24, 4 ayat (2), 25, dan 26.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pajak Penghasilan Pasal 21


2.1.1 Pengertian
PPh Pasal 21 Adalah Pemotongan Atas Penghasilan Yang Dibayarkan Kepada
Orang Pribadi Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jabatan, Jasa, dan Kegiatan.
Pengurangan yang diperbolehkan dan cara menghitung PPh pasal 21 atas
penghasilan yang diterima oleh WP Orang Pribadi Dalam Negeri dan Luar Negeri
Sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan.
2.1.2 Pokok-Pokok Isi pada Pajak Penghasilan Pasal 21
a.Pemotong
1) Pemberi kerja
2) Bendaharawan Pemerintah
3) Dana Pensiun
4) Orang Pribadi dan atau Badan Yang Membayar Honorarium termasuk
Kepada Tenaga Ahli OP Subyek Pajak Dalam Negeri, OP Subyek Pajak luar
Negeri, Peserta Pendidikan, Pelatihan dan Magang
5) Penyelenggara kegiatan baik badan pemerintah, organisasi, perkumpulan
maupun OP yang menyelenggarakan kegiatan.
b.Penerima Penghasilan
1) Pegawai : Tetap dan Tidak Tetap
a) Pegawai Tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh
penghasilan dalam jumlah tertentusecara teratur, termasuk anggota
dewan komisaris dan anggota dewan pengawas, serta pegawai yang
bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu yang
menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu
secara teratur. sepanjang pegawai yang bersangkutan bekerja penuh
(full time) dalam pekerjaan tersebut.
Tertentu teratur : Gaji Pokok, Tunjangan (tunai). Tunjangan (non
tunai= manfaat ex premi asuransi)
Tidak teratur : THR, Bonus, Jasa Produksi, Tantiem.
Contoh Soal:
Sam bekerja di Universitas Nusantara. Ia memperoleh gaji sebulan
beripa gaji poko Rp. 6.000.000. Sam juga membayar iuran pensiun
sebesar Rp. 100.000. Sam sudah menikah tapi belum mempunyai
anak.
Penghitungan PPh 21 adalah:

Gaji sebulan Rp. 6.000.000

Pengurangan:

3
1. Biaya jabatan (5% x
Rp. 300.000
Rp. 6.000.000)

2. Iuran Pensiun Rp. 100.000

(Rp. 400.000)

Penghasilan neto
Rp. 5.600.000
sebulan

Penghasilan neto
Rp.67.200.000
setahun: 12 x 5.600.000

PTKP (K/0):– Untuk diri Rp.54.000.00


Wajib Pajak– Tambahan 0
WP Menikah Rp.4.500.000

(Rp.58.500.000)

Penghasilan Kena Pajak Rp. 8. 700.000

PPh 21 Setahun: 5%
Rp. 435.000
x Rp.8.700.000

PPh 21 sebulan: Rp.


Rp. 36.250
435.000: 12

b) Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya


menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja,
berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang
dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh
pemberi kerja.
2) Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun,
tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya.
Peserta kegiatan adalah orang pribadi yang terlibat dalam suatu kegiatan
tertentu, termasuk mengikuti rapat, sidang, seminar, lokakarya
(workshop), pendidikan, pertunjukan, olahraga, atau kegiatan lainnya
dan menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan
keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut.
3) Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
a) tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari
pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan
aktuaris.
4
b) pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film,
bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, (oto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis,
dan seniman lainnya.
c) Olahragawan.
d) penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.
e) pengarang, peneliti, dan penerjemah.
f) pembeni jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan
system aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi
dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan, agen iklan;
g) pengawas atau pengelola proyek.
h) pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang
menjadi perantara.
i) petugas penjaia barang dagangan.
j) petugas dinas luar asuransi.
k) distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan
kegiatan sejenis lainnya.
4) Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan
sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan.

2.1.3 Dasar Hukum PPh Pasal 21


Pada PPh Pasal 21 ada beberapa dasar hukum yaitu, sebagai berikut:
1. Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 Sebagaimana Terakhir Telah Di
Ubah Dengan Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Keempat Atas UU No. 7 Tentang Pajak Penghasilan
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan
Perpajakan;
3. PP Nomor 68 Tahun 2009 Tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas
Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaart Pensiun, Tunjangan
Hari Tua, Dan Jaminan Hari Tua Yang Dibayarkan Sekaligus.
4. PP Nomor 41 Tahun 2016 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Pasal 21
Atas Penghasilan Pegawai Dari Pemberi Kerja Dengan Kriteria Tertentu.
5. Peraturan Mentri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan
Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi.
6. Peraturan Mentri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang
Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, Dan Jaminan
Hari Tua Yang Dibayarkan Sekaligus.
7. Peraturan Mentri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pejabat Negara,PNS,
Anggota TNI, Anggota Polri, Dan Pensiunannya Atas Penghasilan Yang

5
Menjadi Beban Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Atau
Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah.
8. Peraturan Mentri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 Tentang
Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak.
9. Peraturan Mentri Keuangan Nomor 102/PMK.010/2016 Tentang
Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan Dari
Pegawai Harian Dan Mingguan Serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya Yang
Tidak Dikenakan Pemotongan Menimbang Pajak Penghasilan.
10. Peraturan Mentri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2017 Tentang Tata Cara
Pelaporan Dan Penghitungan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
Atas Penghasilan Pegawai Dari Pemberi Kerja Dengan Kriteria Tertentu.
11. Peraturan Mentri Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019 Tentang Tata Cara
Pendaftaran Dan Pengukuhan Dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak, Serta Pemotongan atau Pemungutan, Penyetoran, Dan
Pelaporan Pajak Bagi Instansi Pemerintah.
12. Peraturan Mentri Keuangan Nomor 59/PMK.03/2022 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Mentri Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019 Tentang Tata
Cara Pendaftaran Dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak,
Pengukuhan Dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Serta
Pemotongan Dan/Atau Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak
Bagi Intansi Pemerintah.
13. Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-26/PJ/2009 Tentang
Pelaksanaan Pemberian Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung
Pemerintah Atas Penghasilan Pekerja Pada Pemberi Kerja Yang Berusaha
Pada Kategori Usaha Tertentu.
14. Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-22/Pj/2009 Tentang
Perubahan Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-22/PJ/2009
Tentang Pelaksanaan Pemberian Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung
Pemerintah Atas Penghasilan Pekerja Pada Pemberi Kerja Yang
Berusaha Pada Kategori Usaha Tertentu.
15. Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-16/PJ/2009 Tentang
Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan,Penyetoran, Dan Pelaporan
Pajak Penghasilan Pasal 21.

2.1.4 Tarif Pajak Penghasilan

1. Tarif Pasal 17 UU Pph X Dasar Pengenaan PPh(PPh Tidak Bersifat Final)


2. Tarif Final X Jumlah Bruto ( Untuk Pph Bersifat Final)

2.1.5 Lapisan Penghasilan Kena Pajak

6
Jika Penerima Penghasilan Tidak Memiliki NPWP, Maka Dikenakan
Tarif Lebih Tinggi 20% Dari Tarif Normal.

2.1.6 Penghasilan Tidak Kena Pajak.

KETERANGAN STATUS PTKP :


TK : TIDAK KAWIN
K : KAWIN

2.1.7 Objek Pajak dan bukan obyek pajak penghasilan pasal 21


1) Obyek PPh Pasal 21
a) penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa
penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur,
b) penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima pensiun secara
teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
c) penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan
penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara
sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan
hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis;
d) penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah
harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang
dibayarkan secara bulanan;
e) imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium,
komisi, fee, dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk
apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan
kegiatan yang dilakukan;
7
f) Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan
dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan
nama apapun.
g) penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak
teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau
dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada
perusahaan yang sama;
h) penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau
imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh
mantan pegawai,
i) penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program
pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
j) Imbalan Natura/kenikmatan yang diberikan oleh WP Final, dan WP
dengan Deemed Profit.

2) Bukan Obyek PPh Pasal 21

a) Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan


asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi
kecelakaan, asuransi iiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa:
b) Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk
apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau pemerintah, kecuali
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) Per Dirjen
Pajak 31/2012;
c) luran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan
hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara
tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga
kerja yang dibayar oleh pemberi kerja,
d) Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah,
atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama
yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak
dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan di antara pjhak-pihak yang
bersangkutan,
e) Beasiswa

2.1.8 Penyetoran dan Pelaporan Penyetoran dan pelaporan PPh pasal 21


yang telah dipotong dari pegawai dan orang pribadi.
8
Selama pegawai dilakukan sesuai dengan batas waktu yang berlaku
dalam KUP. Untuk pengisian SPT Masa PPh Pasal 21 dapat dilakukan melalui:

1) Formulir SPT Masa PPh pasal 21/26 dan lampiran secara manual disertai
petunjuk pengisian Formulir SPT Masa PPh pasal 21.
2) Melalui aplikasi e-SPT Masa PPh pasal 21 versi 24 dapat di download di
www.pajak.go.id.

2.2 Pajak Penghasilan Pasal 22


2.2.1 Pengertian
Pajak Penghasilan atau PPh Pasal 22 adalah pajak penghasilan yang
pemungutannya dilakukan oleh bendaharawan atau badan usaha tertentu, baik
milik pemerintah maupun swasta yang melakukan kegiatan ekspor dan impor
serta re-impor maupun kegiatan usaha lain.

2.2.2 Penjelasan PPh Pasal 22 Umum dan Bendaharawan / BUMN


Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan, PPh 22 merupakan bentuk pemotongan atau pemungutan pajak
yang dilakukan satu pihak terhadap wajib pajak dan berkaitan dengan kegiatan
perdagangan barang.
Menurut Pasal 22 ayat 1 UU PPh ini, Menteri Keuangan dapat menetapkan:
a. Bendahara pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan
pembayaran atas penyerahan barang.
b. Badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang
melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
c. Wajib Pajak Badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas
penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
PPh 22 Bendaharawan adalah pemungutan yang dilakukan oleh
Bendaharawan Pemerintah atas penyerahan barang oleh rekanan yang dibiayai
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Bendaharawan Pemerintah ini, baik pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah, instansi atau lembaga-lembaga negara lain yang berkenaan dengan
pembayaran atas penyerahan.
PPh 22 BUMN adalah pajak yang dipungut oleh Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) atas pembayaran atau penyerahan barang.
2.2.3 Subjek dan Objek Pajaknya
Sebelumnya, ketentuan mengenai pemungutan pajak penghasilan pasal 22
sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang
impor atau kegiatan usaha di bidang lain diatur dalam PMK No. 154/PMK.03/2010.
Namun pemerintah telah melakukan beberapa kali perubahan atau
penyempurnaan peraturan terkait pemungutan pajak penghasilan pasal 22 ini,
yang kemudian mencabut tersebut.
Kemudian, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan
9
dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau
Kegiatan Usaha di Bidang Lain, objek PPh pasal 22 di antaranya:
1) Impor barang dan ekspor
Kegiatan impor dan ekspor barang yang dilakukan eksportir atas barang
atau komoditas:
a) Tambang batubara
b) Mineral logam
c) Mineral bukan logam

2) Pembayaran atas pembelian barang objek PPh Pasal 22 Bendaharawan


Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh bendahara
pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut
pajak pada:
a) Pemerintah Pusat
b) Pemerintah Daerah
c) Instansi atau lembaga Pemerintah
d) Lembaga-lembaga negara lainnya

3) Pembayaran atas pembelian barang (Pembayaran atas pembelian barang


yang dilakukan dengan mekanisme Uang Persediaan (UP) yang dilakukan
oleh bendahara pengeluaran)

4) Pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga


Pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga dengan
mekanisme:
a) Pembayaran langsung (LS) oleh KPA
b) Pejabat penerbit surat perintah membayar yang diberi delegasi oleh
KPA

5) Pembayaran atas pembelian barang untuk BUMN (objek pajak PPh 22


BUMN)
Pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) untuk keperluan kegiatan usahanya.

6) Penjualan hasil produksi kepada distributor


Penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan
usaha yang bergerak dalam bidang usaha:
a) Industri semen
b) Industri kertas
c) Industri baja
d) Merupakan industri hulu
e) Industri otomotif
f) Industri farmasi

7) Penjualan kendaraan bermoto


Penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh:
a) Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM)
b) Agen Pemegang Merek (APM)
10
c) Importir umum kendaraan bermotor

8) Penjualan Migas
Penjualan migas oleh produsen atau importir yang terdiri dari:
a) Bahan bakar minyak
b) Bahan bakar gas
c) Pelumas

9) Pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul


Pembelian bahan-bahan dari pedagang pengepul keperluan industrinya
atau ekspornya oleh industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor:
a) Kehutanan
b) Perkebunan
c) Pertanian
d) Peternakan
e) Perikanan

10) Penjualan barang yang tergolong sangat mewah


Penjualan barang tergolong sangat mewah yang dilakukan oleh wajib
pajak badan.

2.2.4 Perluasan Pemungutan Objek Pajak Penghasilan Pasal 22


Melalui PMK No. 92/PMK.03/2019 tentang Perubahan Kedua Atas PMK No.
253/PMK.03/2008 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pajak
Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah, WP
Badan yang berhak memungut PPh Pasal 22 diperluas.
Waktu pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ini dilakukan saat penjualan
barang tergolong mewah.

Barang tergolong sangat mewah yang jadi objek PPh Pasal 22 di antaranya:
a. Pesawat terbang pribadi dan helikopter pribadi
b. Kapal pesiar, yacht, dan sejenisnya
c. Rumah beserta tanahnya, dengan harga jual atau harga pengalihannya
lebih dari Rp30 miliar atau luas bangunan lebih dari 400 meter persegi
d. Apartemen, kondominium dan sejenisnya, dengan harga jual atau
pengalihannya lebih dari Rp30 miliar atau luas bangunan lebih dari 150
meter persegi
e. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10
orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle (SUV), multi purpose
vehicle (MPV), minibus dan sejenis, dengan harga jual lebih dari Rp2
miliar atau dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000cc
f. Kendaraan bermotor roda dua dan tiga, dengan harga jual lebih dari
Rp300 juta atau dengan kapasitas silinder lebih dari 250cc

11
g. B. Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22
h. Daftar kegiatan yang dikecualikan atau tidak dikenakan PPh Pasal 22 di
antaranya:
a. Impor barang-barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh.
i. Pengecualian tersebut, harus dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas
PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
a. Impor barang-barang yang dibebaskan dari bea masuk:
j. yang dilakukan ke dalam Kawasan Berikat (kawasan tanpa bea masuk
hingga barang tersebut dikeluarkan untuk impor, ekspor atau re-impor)
dan Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE), yaitu tempat
penimbunan barang dagangan karena pengimpornya tidak membayar bea
masuk sebagaimana mestinya;
k. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 PP Nomor 6 Tahun
1969 tentang Pembebanan atas Impor sebagaimana diubah dan ditambah
terakhir dengan PP Nomor 26 tahun 1988 Jo. Peraturan Pemerintah
Nomor 2 tahun 1973;
l. berupa kiriman hadiah;
m. untuk tujuan keilmuan.
2.2.5 Tarif PPh Pasal 22
Besar tarif pajak penghasilan pasal 22 menurut UU PPh dan diatur dalam PMK
No. 34/PMK.010 Tahun 2017 yakni:
a. Tarif PPh 22 sebesar 2,5% dan 7,5% atas Impor
Tarif pajak penghasilan pasal 22 ini untuk pajak penghasilan atas impor
barang dengan rincian sebagai berikut:
1) Tarif pembebanan tunggal sebesar 10% dari nilai impor, dengan atau
tanpa menggunakan API untuk barang tertentu yang tercantum dalam
Lampiran I PMK 34/2017.
2) Importir yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API): 2,5% dari
nilai impor.
3) Importir non-API: 7,5% dari nilai impor.
4) Importir yang tidak dikuasai: 7,5% dari harga jual lelang.

b. Tarif PPh Pasal 22 sebesar 1,5% atas Pembelian


Besar tarif ini dari harga pembelian barang tidak termasuk PPN dan tidak
final untuk pembelian barang ini dilakukan oleh:
1) Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB) Kementerian Keuangan
2) Bendahara Pemerintah ( pph 22 bendaharawan )
3) BUMN/BUMD (Badan Usaha Milik Daerah)

c. Tarif PPh 22 atas Penjualan Hasil Produksi Tertentu


Tarif pajak penghasilan pasal 22 atas penjualan hasil produksi ini
ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak (KEP) yang
12
dihitung dari Dasar Pengenaan Pajak ( DPP ) PPN dan bersifat tidak final,
di antaranya:
1) Kertas: 0.1% dari DPP PPN
2) Semen: 0.25% dari DPP PPN
3) Baja: 0.3% dari DPP PPN
4) Otomotif: 0.45% dari DPP PPN
5) Semua jenis obat: 0,3% dari DPP PPN
DPP adalah harga jual, nilai ekspor/impor, penggantian, atau nilai yang
dipakai sebagai dasar dari perhitungan besarnya pajak yang terutang.
d. Tarif PPh Pasal 22 Hasil Produksi Migas
Pengenaan pajak penghasilan pasal 22 dari hasil produksi atau penyerahan
barang oleh produsen/importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas
adalah:
1) 0,25% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan kepada
stasiun pengisian bahan bakar umum yang menjual BBM yang dibeli
dari Pertamina atau anak usaha Pertamina
2) 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan kepada
stasiun pengisian bahan bakar umum yang menjual bakar minyak yang
dibeli selain dari Pertamina atau anak perusahaan Pertamina
3) 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan kepada pihak
yang dibeli dari Pertamina maupun selain dari Pertamina atau anak
usaha Pertamina.
4) 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk bahan bakar gas
5) 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk pelumas

e. Tarif PPh 22 sebesar 0,25% atas Pembelian Bahan untuk Industri


Besar tarif ini dari harga pembelian tidak termasuk PPN atas pembelian
bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang
pengumpul, di antaranya:
1) Pembelian hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan
perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur.

f. Tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,5% atas Impor Komoditas


Tarif ini dari nilai impor ini berlaku untuk impor beberapa komoditas seperti
kedelai, gandum, dan tepung terigu, oleh importir yang menggunakan API.

g. Tarif PPh 22 sebesar 1,5% atas Ekspor Komoditas Tambang


Tarif ini dari nilai ekspor ini berlaku untuk ekspor komoditas tambang
batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, sesuai uraian barang
dan pos tarif (HS/Harmonized System) oleh eksportir yang terikat dalam
perjanjian kerjasama pengusaha pertambangan dan Kontrak Karya (KK).
h. Tarif PPh 22 sebesar 0,45% atas Penjualan Kendaraan Bermotor

13
Tarif ini dari DPP PPN berlaku atas penjualan kendaraan bermotor di
dalam negeri oleh ATPM, APM, dan importir umum kendaraan bermotor,
tidak termasuk alat berat.
i. Tarif PPh 22 sebesar 0,45% atas Penjualan Emas Batangan
Tarif ini dari harga jual emas batangan ini berlaku atas penjualan emas
batangan oleh badan usaha yang melakukan penjualan.
j. Tarif PPh Pasal 22 Barang Mewah
Sesuai Pasal 2 ayat (2) PMK 29/2019 ini, besar pajak
penghasilan pasal 22 yang dipungut pada saat melakukan penjualan
barang yang tergolong sangat mewah adalah:

a. Tarif PPh 22 sebesar 1% atas Penjualan Barang Mewah


Tarif Pajak Penghasilan 22 sebesar 1 persen dari harga jual tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM) atas barang ini untuk:
1) Rumah beserta tanahnya, dengan harga jual atau harga pengalihannya
lebih dari Rp30 miliar atau luas bangunan lebih dari 400 meter persegi
2) Apartemen, kondominium dan sejenisnya, dengan harga jual atau
pengalihannya lebih dari Rp30 miliar atau luas bangunan lebih dari 150
meter persegi
b. Tarif PPh Pasal 22 sebesar 5% atas Penjualan Barang Mewah
Tarif ini dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM atas barang
berlaku untuk:
1) Pesawat terbang pribadi dan helikopter
2) Kapal pesiar, yacht dan sejenisnya
3) Kendaraan bermotor roda 4 pengangkutan orang kurang dari 10 orang
berupa sedan, jeep, SUV, MPV, minibus dan sejenisnya, dengan harga
jual lebih dari Rp2 miliar atau dengan kapasitas silinder lebih dari
3.000cc
4) Kendaraan bermotor roda 2 dan 3 dengan harga jual lebih dari Rp300
juta atau dengan kapasitas silinder lebih dari 250cc

Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar


penghitungan Bea Masuk (BM) yaitu Cost Insurance and Freight (CIF)
ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan di
bidang impor.
Jika wajib pajak tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka akan
dikenakan tarif 100% dari pada tarif umum PPh Pasal 22 yang berlaku.

2.2.6 Pemungut PPh Pasal 22


Sebagaimana disebutkan dalam UU PPh No. 7 Tahun 1983 yang beberapa kali
diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008, pemungut PPh Pasal 22 yaitu wajib
pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

a. Wajib Pajak Badan Pemungut PPh 22 saat Pembelian


1) Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) atas objek PPh Pasal
22 impor barang.
14
2) Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai
pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau
Lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan
dengan pembayaran atas pembelian barang.
3) Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian
barang yang dilakukan dengan mekanisme Uang Persediaan (UP).
4) Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah
Membayar yang diberikan delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA),
berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga
yang dilakukan dengan mekanisme Pembayaran Langsung (LS).
5) Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu badan usaha yang seluruh atau
sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang
meliputi:
a) PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT
Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia
(Persero) Tbk., PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan
Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi
Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero), PT Krakatau Steel
(Persero).
b) Bank-bank Badan Usaha Milik Negara, berkenaan dengan pembayaran
atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan
kegiatan usahanya.
6) Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan,
perkebunan,
pertanian, peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari
pedagang pengumpul untuk keperluan industrinya atau ekspornya.
7) Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang
batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang
pribadi pemegang izin usaha pertambangan.

b. Perusahaan Swasta yang Wajib Memungut PPh 22 saat Penjualan

1) Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri
kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas
penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri.
2) Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM),
dan importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan
bermotor di dalam negeri.
3) Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan
pelumas, atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan
pelumas.

15
4) Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja yang
merupakan industri hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi antara
hulu dan industri hilir.
5) Pedagang pengumpul berupa badan atau orang pribadi yang kegiatan
usahanya:
a) Mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan,
dan perikanan;
b) Menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang
bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan,
dan perikanan.

6) Sesuai dengan PMK Nomor 92/PMK.03/2019, pemerintah menambahkan


pemungut PPh Pasal 22 dengan wajib pajak badan yang melakukan
penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

2.3 Pajak Penghasilan Pasal 23


2.3.1 Pengertian
Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh Pasal 23) adalah pajak yang dikenakan pada
penghasilan atas modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang
telah dipotong PPh Pasal 21. Umumnya penghasilan jenis ini terjadi saat adanya
transaksi antara pihak yang menerima penghasilan (penjual atau pemberi jasa) dan
pemberi penghasilan. Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh Pasal 23) adalah pajak yang
dikenakan pada penghasilan atas modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan
penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Umumnya penghasilan jenis
ini terjadi saat adanya transaksi antara pihak yang menerima penghasilan (penjual
atau pemberi jasa) dan pemberi penghasilan.

2.3.2 Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 23


Pembayaran dilakukan oleh pihak pemotong yang kemudian menyetorkannya melalui
Bank Persepsi (ATM, teller bank, fitur bayar pajak online di OnlinePajak, dll) yang telah
disetujui oleh Kementerian Keuangan.
a.Bukti Potong PPh Pasal 23
Sebagai tanda bahwa PPh Pasal 23 telah dipotong, pihak pemotong harus
memberikan bukti potong (rangkap ke-1) yang sudah dilengkapi kepada pihak
yang dikenakan pajak tersebut dan bukti potong (rangkap ke-2) pada saat
melakukan e-Filing pajak PPh 23 di OnlinePajak.
b. Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 23
Pelaporan dilakukan oleh pihak pemotong dengan cara mengisi SPT Masa
PPh Pasal 23, lalu bisa melaporkannya melalui fitur lapor pajak online atau e-
Filing gratis di OnlinePajak.
c. Jatuh Tempo Pajak Penghasilan Pasal 21
Jatuh tempo pelaporan adalah tanggal 20, sebulan setelah bulan terutang
pajak penghasilan 23. Jika sebelumnya perhitungan, pembayaran dan
pelaporan PPh Pasal 23 dilakukan secara terpisah-pisah, kini ketiga hal
tersebut bisa dilakukan dengan satu
2.3.2 Pungutan Pajak PPh Pasal 23
a.Tarif 15% dari jumlah bruto atas :
1) Dividen, kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi dikenakan final,
bunga dan royalty.
16
2) Hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh pasal 21
b.Tarif 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain yang berkaitan
dengan penggunaan harta kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.
c. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi dan jasa konsultan.
d. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya adalah yang diuraikan
dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 141/PMK.03/2015 dan efektif mulai
berlaku pada tanggal 24 Agustus 2015.
e. Bagi Wajib Pajak yang tidak ber-NPWP akan dipotong 100% lebih tinggi dari
tarif PPh Pasal 23.
f. Jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan, disediakan
untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan
pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha
tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak
dalam negeri atau bentuk usaha tetap, tidak termasuk:
1) Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh
Wajib Pajak penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan
pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa.
2) Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material (dibuktikan
dengan faktur pembelian).
3) Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya
dibayarkan kepada pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan pihak
ketiga disertai dengan perjanjian tertulis).
4) Pembayaran penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian
pembayaran sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak
kedua kepada pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan atau bukti
pembayaran yang telah dibayarkan kepada pihak ketiga).

2.3.3 Jenis Objek Pajaknya


Berikut ini adalah daftar objek pph 23 jasa lainnya tersebut:
a. Penilai (appraisal)
b. Aktuaris
c. Akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan
d. Hukum
e. Arsitektur

2.3.4 Pihak Pemotong dan Pihak yang Dikenakan

a.Pihak pemotong PPh Pasal 23:


1) Badan pemerintah
2) Subjek pajak badan dalam negeri
3) Penyelenggara kegiatan
4) Bentuk Usaha Tetap (BUT)
5) Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
6) Wajib pajak orang pribadi dalam negeri tertentu yang ditunjuk Direktur
Jenderal Pajak.
b.Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23:
17
1) Wajib pajak dalam negeri
2) Bentuk Usaha Tetap (BUT)

2.3.5 Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 23 atas Dividen


Tarif PPh Pasal 23 atas dividen sebesar 15% dari jumlah bruto. Tarif ini juga
diberlakukan pada penghasilan atas bunga, royalti, hadiah, penghargaan, bonus,
atau sejenisnya, selain yang belum dipotong oleh PPh Pasal 21.
Pak maliq menerima royalti atas hak yang digunakan sebesar Rp10.000.000.
Berapa besar pemotongan PPh Pasal 23 atas royalti yang diberikan pada Pak maliq?
maka jumlah PPh yang harus dibayarkan adalah:
15% x Rp10.000.000 = Rp1.500.000.
Tarif PPh Pasal 23 atas royalti = 15%
Besar royalti = Rp10.000.000
Besar pemotong PPh Pasal 23 atas royalti:
= 15% x Rp10.000.000
= Rp1.500.000
Jadi, besar pemotongan PPh 23 atas royalti yang diterima Pak Kelik sebesar
Rp1.5000.000.

2.4 Pajak Penghasilan pasal 24


2.4.1 Pengertian
Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 24 adalah peraturan yang mengatur hak
wajib pajak untuk memanfaatkan kredit pajak mereka di luar negeri, untuk
mengurangi nilai pajak terutang yang dimiliki di Indonesia. Bunyi Pasal 24 ayat 1 UU
Nomor 36 tahun 2008 tentang PPh.
“Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri, boleh dikreditkan terhadap
pajak yang terutang berdasarkan undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama,”
bunyi Pasal 24 ayat 1 UU Nomor 36 tahun 2008 tentang PPh.
Seperti tercantum dalam Pasal 24 ayat 2 UU PPh, besarnya kredit pajak adalah
sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak
boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang PPh
(UU nomor 36 tahun 2008).Disebutkan pada Pasal 2 UU 36/2008 bahwa besarnya
kredit pajak adalah sebesar PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi
tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan aturan UU PPh.

2.4.2 Subjek & Objek PPh Pasal 24


Sebagaimana disebutkan pula dalam UU 36/2008, diatur pula subjek dan
objek PPh Pasal 24 seperti di bawah ini:
18
a. Subjek PPh Pasal 24 yaitu wajib Pajak dalam negeri yang terutang pajak atas
seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari
luar negeri.

b. Objek PPh Pasal 24 adalah penghasilan yang berasal dari luar negeri.

2.4.3 Sumber Penghasilan Kena pajak


poin-poin sumber penghasilan kena pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia
seperti telah diatur dalam aturan perundang-undangan.Adapun jenis-jenis
penghasilan kena pajak yang dapat digunakan untuk memotong utang pajak
Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Penghasilan dari saham dan surat berharga lainnya, serta keuntungan dari
pengalihan saham dan surat berharga lainnya.Penghasilan berupa bunga,
royalti, dan sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-benda bergerak.

b. Penghasilan berupa sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-benda


tidak bergerak.Penghasilan berupa imbalan yang berhubungan dengan jasa,
pekerjaan, serta kegiatan.

c. Pendapatan dari Bentuk Usaha Tetap (BUT) di luar negeri.Penghasilan dari


pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda keikutsertaan
dalam pembiayaan atau pemanfaatan di sebuah perusahaan pertambangan.
Keuntungan dari pengalihan aset tetap.

d. Keuntungan dari pengalihan aset yang merupakan bagian dari suatu bentuk
usaha tetap (BUT).kalau nilai pajak di luar negeri yang telah digunakan sebagai
kredit pajak di Indonesia telah berkurang atau dikembalikan sehingga nilai
kredit akan berkurang untuk menutup pajak terutang yang ada di sini, maka
Wajib Pajak harus membayar jumlah terutang tersebut ke Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) di Indonesia

2.4.4 Cara Melaksanakan Kredit Pajak Luar Negeri

Untuk melaksanakan pengkreditan pajak yang terutang atau dibayar di luar


negeri, wajib pajak wajib menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal
Pajak dengan dilampiri:Laporan keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar
negeriFotokopi surat pemberitahuan pajak (tax return) yang disampaikan di luar
negeri.

Dokumen pembayaran pajak di luar negeriPenyampaian permohonan kredit


pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri tersebut dilakukan bersamaan
dengan penyampaian SPT tahunan PPh. Kemudian, kamu juga wajib memperhatikan
dalam pelaksanaan kredit pajak di antaranya adalah jika penghasilan dari luar negeri
didapat dari beberapa negara, maka penghitungan PPh pasal 24 dilakukan untuk
masing-masing negara; serta penghasilan kena pajak yang dikenakan PPh Final
(Pasal 4 ayat 2) dan/atau penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri, tidak dapat

19
digabungkan dengan penghasilan lainnya, baik yang diperoleh dari dalam negeri
maupun luar negeri.

Selain itu, Kepala KPP dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian


lampiran-lampiran seperti yang disebutkan atas permintaan Wajib Pajak, karena
alasan-alasan yang ada di luar kekuasaan Wajib Pajak. Lalu, jika terjadi perubahan
besaran penghasilan yang berasal dari luar negeri, Wajib Pajak harus melakukan
koreksi SPT Tahunan dengan melampirkan dokumen-dokumen terkait dengan
perubahan tersebut.

Selanjutnya, jika koreksi SPT menyebabkan PPh kurang bayar, maka atas
kekurangan bayar tersebut tidak akan dikenakan sanksi bunga. Di sisi lain, apabila
atas pembetulan SPT itu menjadi lebih bayar, maka dapat dikembalikan kepada
Wajib Pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.

2.4.5 Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 24

PT Sinar Gemilang di Semarang memperoleh penghasilan neto dalam tahun


2014 sebagai berikut:
Penghasilan dalam negeri Rp400.000.000
Penghasilan dari Vietnam (tarif pajak 20%) Rp200.000.000
Hitunglah PPh Pasal 24 atau kredit pajak luar negeri dari PT Sinar Gemilang
tahun 2014?
Jawaban:
Penghitungan PPh Pasal 24 adalah sebagai berikut:

1. Menghitung total penghasilan


kena pajak:

Penghasilan dalam negeri Rp400.000.000

Penghasilan dari vietnam Rp200.000.000

Jumlah penghasilan neto Rp600.000.000

2. Menghitung PPh terutang

Pajak terhutang 25% X Rp600.000.000 Rp150.000.000

3. Menghitung PPh maksimum


yang dapat dikreditkan :

(penghasilan luar negeri :


total penghasilan ) X total
PPh terutang

(Rp200.000.000 : Rp600.000.000) x Rp50.000.000


Rp150.000.000 = Rp49.999.999

20
(dibulatkan)

4. Menghitung PPh yang terutang


atau dipotong di luar negeri:

20% x Rp200.000.000 = Rp40.000.000

Dari perhitungan di atas, kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan adalah
sebesar Rp40.000.000 atau sebesar PPh yang terutang atau dibayar di Luar
Negeri. Jumlah ini diperoleh dengan membandingkan penghitungan PPh
maksimum yang boleh dikreditkan dengan PPh yang terutang atau dibayar di
Luar Negeri, kemudian pilih jumlah yang terendah.

2.5 Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2)


2.5.1 Pengertian
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Pasal 4 ayat 2 Tentang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan, bahwa pertimbangan yang mendasari pengenaan
PPh Final yaitu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan
tabungan masyarakat, kesederhanaan dalam memungut pajak, beban administrasi
yang dapat diminimalisir baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak
(DJP), pemerataan mengenai pengenaan pajak, serta memperhatikan mengenai
perkembangan ekonomi dan moneter.

PPh Final merupakan pajak yang tidak dapat dikreditkan atau dikurangkan dari
total pajak penghasilan yang terutang pada akhir tahun pajak atau pada saat
perhitungan PPh dalam SPT Tahunan. Sehingga pajak yang dipotong, dipungut oleh
pemberi penghasilan atau dibayar sendiri oleh pihak penerima penghasilan,
perhitungan pajaknya harus diselesaikan dan dilunasi dalam masa pajak yang sama
ketika menerima penghasilan, maka tidak diperlukan untuk melakukan pelaporan lagi
ketika akhir tahun pajak

2.5.2 Pemotong PPh Pasal 4 Ayat 2

Pemotongan PPh Final Pasal 4 Ayat 2 dilakukan oleh pihak pemberi


penghasilan sehubungan dengan pembayaran untuk objek tertentu (Wajib Pajak
Badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 Ayat 2, sedangkan bagi Wajib Pajak
Orang Pribadi tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 Ayat 2). Apabila Wajib
Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek pajak dari PPh Pasal 4 Ayat 2
dan pemberi penghasilan juga merupakan pemotong PPh Pasal 4 Ayat 2, maka atas
penghasilan tersebut yang telah diterima akan dipotong PPh Pasal 4 Ayat 2 oleh
pihak pemotong tersebut. Namun, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang
merupakan objek PPh Pasal 4 Ayat 2 dan pihak pemberi penghasilan adalah orang
pribadi maka Wajib Pajak wajib menyetor sendiri atas PPh Pasal 4 Ayat 2 tersebut.

2.5.3 Objek PPh Pasal 4 Ayat 2


21
a.Bunga deposito dan tabungan lainnya.
b.Hadiah dari undian.
c. Transaksi berupa derivatif.
d.Penghasilan tertentu sesuai yang diatur oleh Peraturan Pemerintah.
e.Penjualan berupa saham atau pengalihan penyertaan modal oleh perusahaan
modal ventura.
f. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya.
g.Bunga simpanan.
h.Bunga obligasi dan surat utang negara.
i. Transaksi dari pengalihan harta.
j. Tanah dan/atau bangunan.
k. Usaha real estate.
l. Usaha jasa konstruksi.
m. Penyewaan tanah dan bangunan.

2.5.4 Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2

a.Tarif sebesar 20% atas bunga deposito serta jenis-jenis tabungan, SBI, dan
diskon jasa giro.
b.Tarif sebesar 10% atas bunga simpanan yang dibayar koperasi kepada anggota
jika > Rp250.000 per bulan, jika < Rp 250.000 maka tarif sebesar 0%.
c. Tarif sebesar 10% atas dividen.
d.Tarif sebesar 25% atas hadiah undian, berdasarkan dari jumlah bruto hadiah
undian.
e.Tarif sebesar 2,5% atas transaksi derivatif, berdasarkan margin awal.
f. Tarif sebesar 0,5% atas penjualan saham pendiri.
g.Tarif sebesar 0,1% atas penjualan saham bukan pendiri.
h.Tarif sebesar 2-6% atas jasa konstruksi.
i. Tarif sebesar 1% dan 5% atas sewa atas tanah dan/atau bangunan (termasuk
real estate). 1% digunakan untuk pengalihan Rumah Sederhana dan RUSUN
Sederhana.)
j. Tarif sebesar 0,1% atas transaksi penjualan dan pengalihan saham oleh modal
ventura.

2.5.5 Dikecualikan dari PPh Final

- Bunga deposito/tabungan/SBI dengan jumlah deposito /tabungan/SBI tidak


melebihi Rp7.500.000,00 dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.
- Bunga diskonto yang telah diterima ataupun diperoleh dari bank yang didirikan
di Indonesia atau cabang bank luar negeri yang bertempat di wilayah
Indonesia.
- Bunga deposito/tabungan/diskonto SBI yang telah diterima ataupun diperoleh
dari Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
22
sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan sesuai dengan
pernyataan pada Pasal 29 UU No. 11 Tahun 1992 mengenai Dana Pensiun.
- Bunga tabungan yang terdapat pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam
rangka pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana, kavling siap
bangun untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, ataupun rumah susun
sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri.

2.5.6 Pengecualian Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan


Kategori yang dapat diberikan pembebasan PPh yang bersifat final yang
diberikan atas penerbitan Surat Keterangan Bebas :
a.Orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah dari PTKP yang jumlah
bruto pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunannya <Rp60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.
b.Orang pribadi yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
sehubungan dengan hibah yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat, dan kepada badan keagamaan atau badan
pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang
telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, berdasarkan hibah tersebut tidak
berhubungan dengan suatu usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan
antara pihak-pihak yang bersangkutan.
c. Badan yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan
sehubungan dengan hibah yang diberikan kepada badan keagamaan atau
badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi.

2.5.6 Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2)

PT Oke Indonesia menyelenggarakan penarikan hadiah undian atas kupon-


kupon yang telah dikirimkan oleh para pelanggannya, dengan hadiah senilai
Rp100.000.000. Dalam penarikan undian tersebut nama Budiman muncul sebagai
pemenang hadiah undian. Bagaimana penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal
4 ayat 2 atas hadiah undian yang harus dipotong oleh PT Oke Indonesia?

Penyelesaian:

PPh Pasal 4 ayat 2 yang dipotong oleh PT Oke Indonesia adalah

25% x Rp100.000.000 = Rp25.000.000.

2.6 Pajak penghasilan Pasal 25

2.6.1 Pengertian

23
Pajak penghasilan pasal 25 atau PPh 25 Badan adalah angsuran pembayaran
pajak penghasilan oleh wajib pajak badan setiap bulan dalam tahun berjalan.
Angsuran ini dikenakan tarif PPh Pasal 25 badan. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25
tidak dikenakan pada objek pajak tertentu, melainkan hanyalah metode pembayaran
pajak yang memiliki tarif sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan.

Tujuan adanya metode pembayaran pajak penghasilan pasal 25 ini tidak lain
agar tidak membebani wajib pajak. Sehingga WP dapat membayar pajak penghasilan
terutangnya dengan cara diangsur mengikuti mekanisme dan sesuai tarif PPh 25
badan bagi wajib pajak badan maupun pribadi. Artinya, WP badan tidak harus
membayar seluruh PPh terutangnya secara langsung, tapi memiliki opsi dengan cara
diangsur setiap bulan, sehingga tidak membebani.

Berbeda dengan jenis pajak penghasilan lainnya, PPh Pasal 25 memiliki


kategori dan cara penghitungannya sendiri. Setiap Wajib Pajak Orang Pribadi atau
Wajib Pajak Badan diharuskan membayar pajak yang terutang dalam jangka waktu
satu tahun dan harus dilunasi.

Namun dalam praktiknya, mungkin terdapat kesulitan dalam melunasinya,


sehingga diatur pembayaran pajak penghasilan secara angsuran untuk meringankan
beban Wajib Pajak agar tetap dapat memenuhi kewajibannya.

Merujuk Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 38 Tahun 2008, pengertian


Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah pembayaran pajak atas penghasilan secara
angsuran setiap bulannya dalam waktu satu tahun.

Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar
sendiri oleh wajib pajak untuk setiap bulan adalah sebesar pajak penghasilan yang
terutang menurut Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh tahun pajak yang lalu
dikurangi:

a. PPh yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta
PPh yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
b. Pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dibagi 12 bulan atau
banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

2.6.2 Ketentuan Besarnya Angsuran


Sebagaimana dijelaskan pada Pasal 25 ayat (1) di atas, bahwa besar angsuran
PPh 25 adalah sebesar pajak penghasilan yang terutang menurut SPT Tahunan.
Merujuk Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh),
besarnya angsuran pajak yang harus dibayar wajib pajak untuk bulan-bulan sebelum
batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh sama dengan besarnya angsuran pajak
untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.

24
Sedangkan dalam Pasal 25 ayat (4) disebutkan, apabila dalam tahun pajak
berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) untuk tahun pajak yang lalu,
besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan SKP tersebut dan berlaku
mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan SKP.
a. Siapa yang menghitung Angsuran PPh25
Seperti diketahui, penerapan pajak penghasilan di Indonesia menganut sistem
self assessment, yang artinya wajib pajak sendiri yang melakukan
penghitungan, penyetoran dan pelaporan pajak penghasilannya. Namun ada
kalanya DJP yang menentukan besar angsuran PPh 25 tersebut, sebagaimana
diatur dalam Pasal 25 ayat (6) UU PPh.
DJP berwenang menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam
tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, sebagai berikut:
1) Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
2) Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
3) SPT Tahunan PPh tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu
yang ditentukan;
4) Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT
Tahunan PPh;
5) Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh yang mengakibatkan
angsuran bulanan
6) lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan; dan
7) Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Sementara itu, Menteri Keuangan dapat menetapkan penghitungan besarnya
angsuran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (7) yakni bagi:

b.WP baru
Bank, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD),
WP masuk bursa, dan WP lainnya yang berdasarkan ketentuan ketentuan
perundang-undangan harus membuat laporan keuangan berkala. WP orang
pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi 0,75% dari peredaran
bruto

2.6.3 Tarif PPh Pasal 25 Badan Berapa Persen

Sejatinya, tidak ada istilah berapa tarif PPh Pasal 25 karena memang ini bukan
pengenaan pajak pada suatu objek pajak, melainkan sebutan dari sebuah angsuran
pembayaran pajak penghasilan terutang. Singkatnya, pajak terutang yang harus
dibayar disebut PPh Pasal 29, sedangkan PPh Pasal 25 adalah angsuran pembayaran
pajak penghasilan terutang.

Rumusnya:

Besar PPh Terutang (PPh 29) dibagi 12 bulan = Angsuran pembayaran pajak (PPh
25).

25
Untuk mengetahui berapa besar PPh terutang dari tahun pajak yang bersangkutan
yang harus dibayarkan setiap bulannya yakni dengan cara menghitung Penghasilan
Kena Pajak (PKP) dikalikan dengan tarif PPh yang berlaku, kemudian dibagi 12
bulan.

Dari situ akan ketemu cicilan PPh terutang yang harus dibayarkan setiap bulannya
atau biasa disebut pembayaran angsuran PPh 25.

Ada kalanya, pemerintah memberikan insentif pajak berupa potongan angsuran


pembayaran pajak penghasilan terutang atau insentif PPh 25.

2.6.4 Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 25

PPh Pasal 25 dituliskan dalam bentuk SPT Tahunan dengan penghitungannya


selama setahun sekali setelah data penghasilan sudah lengkap selama satu tahun
tersebut. Biasanya, penghitungannya dilakukan setelah laporan keuangan sudah
memasuki masa tutup buku tahunan.

Dalam ketentuannya, besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun pajak


yang dibayarkan pada tahun berikutnya itu berdasarkan perhitungan PPh tahun
pajak sebelumnya dalam pelaporan SPT Tahunan.

2.6.5 Contoh Soal Perhitungan PPh Pasal 24

Contoh Soal PPh Pasal 25 Badan


PT AAA bergerak di bidang produksi makanan yang mana penjualannya
dimasukkan ke banyak supermarket atau toko besar.

Tidak hanya itu, perusahaan ini juga melakukan ekspor ke luar negeri seperti
Thailand dan Korea Selatan.

Misalnya pada data pajak, angsuran PPh 25 yang sudah dibayarkan adalah
Rp168.982.456 dan jumlah penghasilan PT AAA dalam setahun lebih dari
Rp50.000.000.000 maka penghitungannya menggunakan tarif PPh Badan
22%.

Adapun laba-rugi sebelum pajaknya atau penghasilan kena pajak sebesar


Rp937.688.000.

Maka, perhitungan PPh Pasal 25 Badan dari PT AAA sebagai berikut:

PPh Badan Rp937.688.000 x 22% =Rp206.291.360

PPh Pasal 29 =Rp206.291.360 - Rp168.982.456

26
Angsuran PPh 25 yang telah dibayar = Rp37.308.904

Sisa angsuran PPh 25 Rp37.308.904/12 bulan = Rp3.109.075,33

Pajak kurang bayar yang harus disetorkan kembali tersebut dikenakan utang
bunga berdasarkan berdasarkan tarif bunga sanksi administrasi pajak akibat
pembetulan yang menyebabkan kurang bayar PPh.

Pengenaan sanksi bunga administrasi pajak akibat pembetulan SPT Tahunan


PPh yang menyebabkan kurang bayar tersebut dihitung sejak:

a. Terutang sanksi bunga per bulan untuk masa Maret 2023 terhitung sejak
16 April 2023 hingga tanggal penyetoran.
b. Terutang sanksi bunga per bulan untuk masa April 2023 terhitung sejak
16 Mei 2023 hingga tanggal penyetoran.
c. Terutang sanksi bunga per bulan untuk masa Mei 2023 terhitung sejak 16
Juni 2023 hingga tanggal penyetoran.
d. Terutang sanksi bunga per bulan untuk masa Juni 2023 terhitung sejak
16 Juli 2023 hingga tanggal penyetoran.

2.7 Pajak Penghasilan Pasal 26

2.7.1 Pengertian

Menurut Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 sebagaimana telah diubah


terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan, PPH pasal 26 adalah pajak penghasilan yang dikenakan
kepada Wajib Pajak Luar Negeri selain Badan Usaha Tetap (BUT) atas penghasilan
yang diterima dari Indonesia. Atas penghasilan (gaji, bunga, dividen, royalti, hadiah,
dan sebagainya) yang diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri wajib dipotong PPh
pasal 26 oleh pemotong yang memberikan penghasilan tersebut kepada Wajib Pajak
Luar Negeri.

2.7.2 Dasar Hukum PPh Pasal 26

a.Pasal 26 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah


terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan
b.PER-32/PJ/2015 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran,
Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal
26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi

2.7.3 Pemotong PPh Pasal 26


27
a.Pemberi kerja
b.Bendahara atau pemegang kas pemerintah
c. Badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan lain yang
membayar uang pensiun secara berkala dan THT atau JHT kepada Subjek
Pajak Luar Negeri (SPLN);
d.Orang pribadi (usaha atau pekerjaan bebas)
e.Penyelenggara kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau
penghargaan dalam bentuk apa pun kepada Subjek Pajak Luar Negeri
berkenaan dengan suatu kegiatan.
f. Lainnya, yang membayarkan penghasilan dalam bentuk apapun kepada Wajib
Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap.

2.7.4 Penghasilan yang Dipotong PPh 26

a.Dividen
b.Bunga (premium, diskonto, dan imbalan jaminan pengembalian utang)
c. Royalti, sewa, dan penghasilan dari penggunaan harta lainnya
d.Imbalan dari jasa, pekerjaan, dan kegiatan.
e.Hadiah dan penghargaan.
f. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
g.Premi swap, transaksi lindung nilai lainnya.
h.Keuntungan karena pembebasan utang.
i. Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia (jika termasuk
ke dalam pasal 4 ayat 2, dikecualikan)
j. Premi asuransi yang dibayar ke perusahaan asuransi di luar negeri.
k. Penjualan atau pengalihan saham oleh Subjek Pajak luar negeri.
l. Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia,
(jika ditanamkan kembali ke Indonesia, dikecualikan)

2.7.5 Tarif Pajak Penghasilan Pasal 26

Tarif Pajak PPh Pasal 26 adalah sebesar 20%, tetapi apabila antara Indonesia
dengan negara asal Wajib Pajak Luar Negeri tersebut terdapat Tax treaty atau P3B
(Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda), maka tarif pajak PPh pasal 26
dikenakan berdasarkan Tarif Pajak PPh pasal 26 berdasarkan Tax treaty atau P3B
tersebut. Tarif 20% dikenakan dari dasar pengenaan pajak, dengan ketentuan
sebagai berikut:

a.Tarif 20% dari penghasilan Bruto.


b.Tarif 20% dari penghasilan Neto.

2.7.6 Perhitungan PPh Pasal 26 Tarif 20% dari Penghasilan Bruto

Atas penghasilan dari:

a.Dividen

28
b.Bunga (premium, diskonto, dan imbalan jaminan pengembalian utang);
c. Royalti, sewa, dan penghasilan dari penggunaan harta lainnya;
d.Imbalan dari jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e.Hadiah dan penghargaan;
f. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya

Rumus yang digunakan:

PPh Pasal 26 =20% x Penghasilan Bruto

Contoh Kasus :

Ahmad berstatus menikah dengan dua orang anak, bekerja sebagai konsultan
pada hotel Kala Pajak dengan gaji sebulan US$15,000. Roger mulai bekerja
pada tanggal 1 September 2019 dan selesai kontraknya pada tanggal 1 Juli
2020. Kurs KMK yang berlaku pada bulan Maret 2020 adalah Rp14.000,00
untuk US$1.00

Berapa PPh pasal 26 yang dipotong oleh Hotel Sobat Pajak untuk Roger pada
bulan Maret 2020?

Jawab:

20% x US$15,000 x Rp14.000,00 = Rp42.000.000,00

Perhitungan PPh Pasal 26 Tarif 20% dari Penghasilan Netto


Penghasilan neto dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut:
Perkiraan Penghasilan Neto x Penghasilan Bruto
Penghitungan tersebut diterapkan pada objek sebagai berikut:
1) Penjualan dari penjualan harta di Indonesia.
2) remi asuransi atau reasuransi yang dibayar kepada perusahaan asuransi luar
negeri.
Besarnya perkiraan penghasilan neto dihitung sebagai berikut:
1. Untuk premi yang dibayar kepada perusahaan asuransi luar negeri. Besarnya
perkiraan penghasilan neto adalah 50% dari jumlah premi yang dibayar
(penghasilan bruto), sehingga :
PPh pasal 26 = 20% x penghasilan neto
= 20% x (50% x penghasilan bruto)
= 10% x penghasilan bruto
= 10% x jumlah premi yang dibayar
2. Untuk premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi di Indonesia kepada
perusahaan asuransi di luar negeri adalah 10% dari jumlah premi yang dibayar
(penghasilan bruto), sehingga :
PPh pasal 26 = 20% x penghasilan neto
= 20% x (10% x penghasilan bruto)

29
= 2% x penghasilan bruto
= 2% x jumlah premi yang dibayar
3. Untuk premi yang dibayar perusahaan reasuransi yang di Indonesia kepada
perusahaan asuransi di luar negeri adalah 5% dari jumlah premi yang dibayar
(penghasilan bruto), sehingga:
PPh pasal 26 = 20% x penghasilan netto
= 20% x (50% x penghasilan bruto)
= 1% x penghasilan bruto
= 1% x jumlah premi yang dibayar

30

Anda mungkin juga menyukai