Anda di halaman 1dari 11

Tugas 2

1. Buatlah contoh perhitungan dari PPh pasal 21s, 22 dan 23 yang Anda
ketahui! Sebutkanlah dasar hukumnya !

Jawab:

Mengenal Pemotong Pajak PPh 21

Pembayaran PPh 21 dilakukan dalam tahun berjalan melalui pemotongan oleh pihak-pihak
tertentu. Pemotong PPh Pasal 21 adalah Wajib Pajak orang pribadi atau badan termasuk
Bentuk Usaha Tetap yang mempunyai kewajiban melakukan pemotongan pajak atas
penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan. Pemotong PPh Pasal 21 sesuai
dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER/-16/PJ/2016 adalah sebagai berikut:

Pemberi Kerja

Pemberi kerja yang diperbolehkan menjadi pemotong pajak terdiri atas:

• Orang pribadi atau badan


• Cabang, perwakilan, atau unit, dalam hal yang melakukan sebagian atau seluruh
administrasi yang terkait dengan pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain.

Bendahara atau Pemegang Kas Pemerintah

Ini termasuk bendahara atau pemegang kas Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI,
Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan
Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri.

Dana Pensiun

Pihak pemotong dana pensiun meliputi badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja dan
badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.

Orang Pribadi

Orang pribadi yang boleh memotong pajak adalah mereka yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar:

• honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak
dalam negeri.
• honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar
negeri.
• honorarium, komisi, fee, atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan
pegawai magang.

Penyelenggara Kegiatan
Penyelenggara kegiatan ini termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan
internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan
kegiatan serta membayarkan honorarium, hadiah, atau penghargaan apapun kepada Wajib
Pajak dalam negeri.

Wajib Pajak PPh 21

Wajib Pajak PPh 21 adalah orang pribadi atau badan yang dikenakan tarif pajak PPh Pasal
21. Wajib Pajak tersebut terbagi menjadi 6 kategori sebagai berikut:

Pegawai

Pegawai merupakan orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja berdasarkan perjanjian
atau kesepakatan kerja. Adapun pegawai ini terbagi menjadi dua kategori yaitu pegawai tetap
dan pegawai tidak tetap.

Penerima Pesangon

Mereka adalah para penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan
hari tua atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya.

Bukan Pegawai

Bukan pegawai adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap atau tenaga
kerja lepas yang memperoleh penghasilan. Termasuk bukan pegawai adalah:

• Tenaga ahli seperti dokter, arsitek, akuntan, dan lainnya


• pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
dan seniman lainnya
• olahragawan
• penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator
• pengarang, peneliti, dan penerjemah
• pemberi jasa dalam segala bidang
• agen iklan
• pengawas atau pengelola proyek
• pembawa pesan atau perantara
• petugas penjaja barang dagangan
• petugas dinas luar asuransi
• distributor perusahaan MLM atau direct selling

Komisaris

Mereka adalah anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap
sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama.

Mantan Pegawai

Mantan pegawai adalah para pekerja yang sudah tidak terikat kerja lagi dengan instansi
tempat bekerjanya.
Peserta Kegiatan

Peserta kegiatan yang terkena tarif pajak PPh 21 ialah mereka yang menerima penghasilan
sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, meliputi:

• peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olahraga, seni,
ketangkasan, dan perlombaan lainnya
• peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, dan kunjungan kerja
• peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu
• peserta pendidikan dan pelatihan
• peserta kegiatan lainnya

Elemen dalam Perhitungan PPh 21

Sebelum belajar lebih jauh mengenai cara perhitungan PPh 21, terlebih dahulu mari kita
mengenal 4 elemen dalam perhitungan PPh 21 berikut ini.

Biaya Jabatan

Biaya jabatan merupakan biaya yang harus dikeluarkan selama 12 bulan oleh Wajib Pajak
yang berhubungan dengan pekerjaan. Besaran biaya jabatan ini yaitu 5% dari penghasilan
bruto selama setahun atau maksimal Rp. 500.000 per bulan atau Rp. 6.000.000 per tahun.

Biaya Pensiun

Biaya pensiun ditetapkan sebesar 5% dari penghasilan bruto selama setahun atau paling
tinggi Rp. 200.000 per bulan atau Rp. 2.400.000 per tahun.

BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan

Program BPJS Kesehatan mewajibkan seluruh warga negara Indonesia agar mempunyai
asuransi kesehatan. Untuk para pekerja, iuran BPJS Kesehatan ditetapkan sebesar 1% dari
pendapatannya. Adapun program BPJS Ketenagakerjaan mulai berlaku sejak 1 Juli 2015.
Selain dua program tersebut, masih ada lagi empat program jaminan sosial tenaga kerja yaitu
Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK), Jaminan Hari Tua (JHT), dan
Jaminan Pensiun (JP). Iuran yang harus dikeluarkan pekerja setiap bulannya untuk setiap
jaminan yaitu 2% untuk JHT, 1% untuk JP, 0,24% untuk JKK, dan 0,3% untuk JK.

Penghasilan Kena Pajak (PKP) dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Penghasilan Kena Pajak (PKP) adalah penghasilan yang terkena pajak setelah dihitung
dengan berbagai tunjangan dan program jaminan. Sedangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) adalah nilai pengurang dari penghasilan bruto wajib pajak. Berdasarkan peraturan
yang berlaku, berikut adalah tarif PTKP terbaru:

PTKP Pria/Wanita Lajang PTKP Pria Kawin PTKP Suami Istri


TK/0 Rp. 54.000.000 K/0 Rp. 58.500.000 K/I/0 Rp. 112.500.000
TK/1 Rp. 58.500.000 K/1 Rp. 63.000.000 K/I/1 Rp. 117.000.000
TK/2 Rp. 63.000.000 K/2 Rp. 67.500.000 K/1/2 Rp. 121.500.000
TK/3 Rp. 67.500.000 K/3 Rp. 72.000.000 K/I/2 Rp. 126.000.000

Kasus Perhitungan PPh 21

Tarif PPh 21

Beberapa tarif berikut ini digunakan sebagai dasar perhitungan PPh 21:

Lapisan PKP Tarif Pajak


Rp. 0 s.d Rp. 50.000.000 5%
Di atas Rp. 50.000.000 s.d Rp. 250.000.000 15%
Di atas Rp. 250.000.000 s.d Rp. 500.000.000 25%
Di atas Rp. 500.000.000 30%

Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh Pasal 21

Dasar pengenaan dan pemotongan PPh 21 sebagai berikut:

1. PKP
2. Penghasilan bruto
3. Sebesar 50% dari penghasilan bruto
4. Sebesar 50% dari jumlah kumulatif penghasilan bruto

Perhitungan PPh 21 Pegawai Tetap dengan Gaji Bulanan

Tommy bekerja di Universitas Nusantara. Ia memperoleh gaji sebulan beripa gaji poko Rp.
6.000.000. Tommy juga membayar iuran pensiun sebesar Rp. 100.000. Tomm sudah menikah
tapi belum mempunyai anak. Penghitungan PPh 21 adalah:

Gaji sebulan Rp. 6.000.000


Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp. 6.000.000) Rp. 300.000
2. Iuran Pensiun Rp. 100.000
(Rp. 400.000)
Penghasilan neto sebulan Rp. 5.600.000
Penghasilan neto setahun: 12 x 5.600.000 Rp.67.200.000
PTKP (K/0):– Untuk diri Wajib Pajak– Tambahan Rp.54.000.000
WP Menikah Rp.4.500.000
(Rp.58.500.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp. 8. 700.000
PPh 21 Setahun: 5% x Rp.8.700.000 Rp. 435.000
PPh 21 sebulan: Rp. 435.000: 12 Rp. 36.250

Perhitungan PPh 21 Pegawai Tetap Wanita, Suami Tidak Berpenghasilan


Endang adalah karyawati dengan status menikah tanpa anak. Ia bekerja di PT. X dengan gaji
Rp. 7.500.000 per bulan. Endang membayar iuran pensiun sebesar Rp. 100.000 setiap bulan.
Diketahui bahwa suami Enda tidak mempunyai penghasilan apa pun. Pada bulan Juli, selain
menerima gaji, Endang juga menerima pembayaran atas lembur sebesar Rp. 2.500.000.
Penghitungan PPh 21 pada bulan Juli adalah:

Gaji sebulan Rp. 7.500.000


Lembur Rp. 2.500.000
Penghasilan bruto sebulan Rp. 10.000.000
Pengurangan:1. Biaya jabatan: 5% x Rp.500.000
Rp.10.000.0002. Iuran Pensiun Rp.100.000
(Rp.600.000)
Penghasilan neto sebulan Rp. 9.600.000
Penghasilan neto setahun: 12 x Rp. 9.600.000 Rp.112.800.000
PTKP (K/0):– Untuk Diri Wajib Pajak– Tambahan Rp.54.000.000
WP Rp.4.500.00
(Rp.58.500.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp.54.300.000
Penghasilan Kena Pajak:
PPh Pasal 21 setahun:5% x Rp. 50.000.00015% x Rp.2.500.000
Rp. 4.300.000 Rp.645.000
Total PPh setahun Rp.3.145.000
PPh 21 sebulan: Rp. 3.145.000:12 Rp. 262.083

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22

merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 22.
Objek tersebut dikenakan tarif yang berbeda-beda sesuai transaksi.

Objek Pemungutan PPh Pasal 22

• Impor barang tertentu dan barang tertentu lainnya.


• Ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam dan mineral bukan logam.
• Pembelian barang oleh Bendaharawan Pemerintah & Kuasa Pengguna Anggaran.
• Penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh produsen atau
importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas dan pelumas.
• Penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan usaha yang
bergerak dalam bidang usaha industri semen, kertas, baja, otomotif dan farmasi.
• Penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh ATPM, APM dan importir umum
kendaraan bermotor.
• Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dalam bidang
kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan dan perikanan.
• Pembelian batubara, mineral logam dan mineral bukan logam.
• Penjualan emas batangan di dalam negeri.
• Penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Perhitungan PPh Pasal 22

1. PT X adalah importir gandum yang memiliki API, pada bulan Februari 2020
melakukan impor gandum dari AS dengan harga faktur US$ 200.000, biaya asuransi
2% dari harga faktur, ongkos angkut 5% dari harga faktur. Bea Masuk 20%, PPN
10%. Kurs Menteri Keuangan pada saat impor Rp.15.000/US$. Hitunglah berapa
besarnya PPh Pasal 22 yang dipungut.

Jawab :

Harga faktur (cost ) = US$ 200,000

Asuransi (Insurance) 2% x US$ 200,000 = US$ 4.000

Ongkos angkut (freight) 5% x US$ 200,000 = US$ 10.000

Harga Pabean (CIF) = US$ 214.000

Bea Masuk (20% x US$ 214.000) = US$ 42.800

Nilai Impor = CIF + Bea Masuk = US$ 256.800

Kurs Nilai Impor (US$ 256.800 x Rp 15.000) = Rp 3.852.000.000

PPh Pasal 22 (0,5% x Rp 3.852.000.000) = Rp 19.260.000

2. Barang impor yang disita oleh Ditjen Bea & Cukai (DJBC) dijual lelang dan telah
dibeli oleh PT Y dengan harga lelang Rp 10.000.000.000. Berapakah PPh Pasal 22
yang harus dipungut?

Jawab :

PPh Pasal 22 = 7,5% x Rp 10.000.000.000 = Rp 750.000.000

3. PT Z pada bulan September 2020 menjual semen hasil produksinya dengan harga Rp
22.000.000 (sudah termasuk PPN) kepada distributor UD. Kencana (tidak ber NPWP)
di Malang. Berapa besarnya PPh Pasal 22 yang dipungut oleh PT Z?

Jawab :

DPP = 100/110 x Rp 22.000.000 = Rp 20.000.000

PPh Pasal 22 = 0,25% x Rp 20.000.000 × 100% = Rp 100.000

4. Bendahara BOS melakukan pembelian perlengkapan kantor dengan jumlah


pembayaran Rp 4.400.000 termasuk PPN. Hitung PPh 22 yang terutang atas kegiatan
tersebut!

Jawab:
Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

= (100 : 110) x Rp 4.400.000 = Rp 4.000.000

PPh 22 yang terutang

= Rp 4.000.000 x 1,5% = Rp 60.000

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22

Tarif PPh 23 adalah tarif yang dikenakan atas penghasilan yang berasal dari modal, hadiah &
penghargaan serta penyerahan jasa selain yang telah dipotong PPh 21.

Seperti yang termuat dalam UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, PPh 21
diberlakukan untuk Penghasilan Kena Pajak yang berhubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan wajib pajak. Sumber penghasilan yang dimaksud dalam hal ini di antaranya adalah
upah, honorarium, gaji, tunjangan, dana pensiun dan imbalan lain.

Jenis Tarif PPh 23

Subjek pajak yang dikenai tarif PPh 23 adalah wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan
bentuk usaha tetap. Sementara itu, pemotong PPh Pasal 23 adalah badan pemerintah, subjek
pajak dalam negeri, bentuk usaha tetap, penyelenggara kegiatan, perwakilan perusahaan luar
negeri, dan orang pribadi yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.

Berdasarkan aturan yang berlaku dan tercantum dalam UU PPh, tarif PPh 23 dibedakan atas
dua jenis. Berikut ini ulasannya:

Tarif PPh 23 sebesar 15%

Wajib pajak diharuskan membayar PPh sebesar 15% dari jumlah bruto atas dividen, bunga,
royalti, dan hadiah, penghargaan, bonus, atau sejenisnya, selain yang belum dipotong oleh
PPh Pasal 21.

Seperti yang tercantum di dalam Pasal 4 ayat (1) UU 36 Tahun 2008 tentang PPh, dividen
yang dimaksud termasuk dividen yang diterima oleh pemegang polis dari perusahaan
asuransi serta pembagian sisa hasil usaha koperasi. Bunga adalah diskonto, premium, dan
imbalan karena jaminan pengembalian utang. Sementara yang dimaksud dengan royalti
adalah imbalan atas penggunaan hak.

Tarif PPh 23 sebesar 2%

Wajib pajak diharuskan membayar PPh sebesar 2% dari jumlah bruto atas sewa dan
penghasilan lain yang berkaitan dengan penggunaan harta. Sewa dan penghasilan lain yang
berasal dari penggunaan tanah dan bangunan dikecualikan dari pajak ini Dasar hukumnya
dapat kita temukan pada pasal 4 ayat (2) bagian d.
Tarif ini juga berlaku untuk jumlah bruto dari imbalan jasa teknik, jasa konstruksi, jasa
manajemen, dan jasa konsultan. Selain itu, ada beberapa jenis jasa lain yang dikenakan tarif
PPh 23 2%, yaitu jasa penilai, jasa akuntansi, jasa hukum, jasa perancang, jasa pengolahan
limbah, jasa penerbitan/percetakan, jasa penerjemahan, jasa sertifikasi, dan lain sebagainya
seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.

Penghitungan PPh Pasal 23 dengan Tarif Pemotongan 2%

PT Sejahtera memberikan jasa konsultasi kepada CV Indah pada bulan Agustus 2019 dengan
imbalan sebesar Rp20.000.000 tunai.

Maka, penghitungan PPh 23 untuk pendapatan ini adalah:

2% x penghasilan bruto

2% x Rp20.000.000 = Rp400.000

Besaran PPh Pasal 23 untuk imbalan jasa konsultasi PT Sejahtera adalah sebesar Rp400.000
dan harus dilaporkan oleh CV Indah ke kantor pajak.

Penghitungan PPh Pasal 23 dengan Tarif Potongan 15%

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Sejahtera mengumumkan pembagian dividen


sebesar Rp3.000.000.000. PT Perkasa memiliki 10% saham PT Sejahtera.

PT Perkasa adalah wajib pajak badan yang atas dividen yang diterimanya tidak berlaku
ketentuan PPh pasal 4 ayat (2). Berdasarkan ketentuan Undang-Undang (UU) PPh Nomor 36
Tahun 2008, penghasilan berupa dividen yang diterima PT Perkasa dikenai PPh pasal 23
dengan tarif 15% dari penghasilan bruto.

Kepemilikan PT Perkasa adalah 10%, sehingga dividen yang menjadi hak PT Perkasa adalah
Rp300.000.000 (Rp3.000.000.000×10%).

Jumlah PPh pasal 23 yang dipotong adalah Rp45.000.000 (Rp300.000.000×15%).

Ketentuan Penting dalam PPh 23

Jumlah bruto adalah jumlah penghasilan yang dibayarkan, akan dibayarkan, atau telah jatuh
tempo pembayaran, oleh badan pemerintah, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
subjek pajak dalam negeri, atau perwakilan perusahaan luar negeri.

Namun, jumlah bruto tersebut tidak termasuk dalam beberapa bagian ini:

• Pembayaran gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain yang merupakan
imbalan atas pekerjaan yang dilakukan wajib pajak penyedia tenaga kerja kepada
tenaga kerja. Hal ini harus dibuktikan oleh kontrak kerja dengan pengguna jasa dan
daftar pembayaran gaji, tunjangan, upah, atau honorarium.
• Pembayaran kepada penyedia jasa yang merupakan hasil pengadaan barang atau
material terkait jasa yang diberikan. Hal ini harus dibuktikan oleh faktur pembelian
atas pengadaan barang atau material.
• Pembayaran melalui penyedia jasa kepada pihak ketiga. Hal ini harus dibuktikan oleh
faktur tagihan dari pihak ketiga dan disertai dengan perjanjian tertulis.
• Pembayaran kepada penyedia jasa yang berupa penggantian atau reimbursement. Ini
berlaku untuk biaya yang telah dibayarkan oleh penyedia jasa kepada pihak ketiga.
Hal ini harus dibuktikan oleh faktur tagihan dan bukti pembayaran.

Selain itu, jumlah bruto juga tidak berlaku atas penghasilan untuk jasa katering dan
penghasilan yang telah dikenakan dengan pajak bersifat final.

Pengecualian PPh 23

Selain dari yang tercatat tersebut, ada beberapa pengecualian lain yang tidak dikenakan
pemotongan PPh 23, yaitu sebagai berikut:

• Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.


• Sewa yang dibayar atau terutang berkaitan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi.
• Dividen yang diterima dari cadangan laba yang ditahan.
• Kepemilikan saham pada badan berupa Perseroan Terbatas atau BUMN/BUMD yang
memberikan dividen paling rendah 25% berasal dari jumlah modal yang disetor.
• Laba yang diterima oleh anggota perseroan komanditer.
• SHU (Sisa Hasil Usaha) koperasi yang dibayarkan kepada anggota.
• Penghasilan yang dibayar atau terutang atas jasa keuangan dari badan usaha yang
berfungsi menyalurkan pinjaman atau pembiayaan.

Perlu diketahui, apabila wajib pajak tidak memiliki NPWP, tarif yang diberlakukan adalah
100% lebih tinggi daripada tarif PPh 23 yang ditetapkan. Jadi, apabila jumlah PPh yang harus
dibayar oleh wajib pajak pemilik NPWP adalah Rp500.000, maka PPh yang harus dibayar
oleh wajib pajak yang tidak memiliki NPWP adalah Rp500.000 +(100% x Rp500.000) =
Rp1.000.000.

2. Jelaskan yang dimaksud dengan pajak berganda, serta kelemahan dan kelebihan dari
pajak berganda tersebut! Sebutkanlah dasar hukumnya !

Jawab:

Pajak berganda adalah pengenaan pajak atas penghasilan (objek pajak) yang sama terhadap
subjek pajak yang sama oleh dua negara yang berbeda. Pajak berganda dapat terjadi apabila
dalam suatu transaksi lintas batas negara terdapat lebih dari satu negara yang menyatakan hak
pemajakan berdasarkan salah satu faktor penghubung.

Dengan kata lain, pajak berganda dapat terjadi karena adanya konflik kepentingan antara
suatu negara dan negara lainnya berupa perbedaan sistem atau prinsip pemajakan antara
negara tersebut. Konflik yang dimaksud ialah konflik antara suatu negara dan negara lainnya
untuk menjadi negara sumber dari suatu penghasilan tertentu.

Konflik selanjutnya yakni konflik antara negara domisili dan negara sumber untuk
mengenakan pajak atas suatu penghasilan tertentu (source-residence conflict), kemudian
konflik antara suatu negara dan negara lainnya untuk menjadi negara domisili (residence
state) bagi subjek pajak tertentu (residence-residence conflict), Dan konflik antara negara
domisili dan negara sumber atas karakterisasi suatu jenis penghasilan tertentu
(characterization of income conflict).

Penyebab lain dari terjadinya pajak berganda ialah karena adanya prinsip perpajakan global
untuk Wajib Pajak dalam negeri dimana penghasilan dari dalam negeri dan luar negeri
dikenakan pajak oleh negara residen atau negara domisili Wajib Pajak, terdapat juga
pemajakan teritorial bagi Wajib Pajak luar negeri oleh negara sumber penghasilan dimana
penghasilan yang bersumber dari negara tersebut dikenakan pajak oleh negara sumber.

Untuk menciptakan perdagangan dan investasi lintas batas negara dan menumpas pengelakan
pajak yang dapat merugikan negara maka hadirlah tax treaty yang merupakan bagian dari
hukum internasional untuk menghindari terjadinya perpajakan berganda yang akan
membebani dunia usaha yang sudah kita bahas di artikel

Kelemahan Pajak Berganda

1. Tidak adanya prinsip transparansi: Beberapa pihak mengkritik bahwa ketentuan


persetujuan P3B di Indonesia tidak transparan dan sulit diakses oleh masyarakat. Hal ini
membuat masyarakat kesulitan untuk memahami ketentuan tersebut.

2. Tidak merata: Beberapa kritikus menganggap bahwa ketentuan persetujuan P3B di


Indonesia tidak merata untuk semua sektor dan jenis usaha. Beberapa jenis usaha dan sektor
mungkin mendapatkan perlakuan yang lebih menguntungkan daripada yang lainnya.

3. Tidak efektif dalam menghindari penghindaran pajak: Ketentuan persetujuan P3B di


Indonesia masih dianggap tidak efektif dalam menghindari penghindaran pajak oleh
beberapa pihak. Beberapa praktik penghindaran pajak masih bisa terjadi meskipun
adanya persetujuan P3B.

4. Potensi kehilangan penerimaan pajak negara: Beberapa pihak khawatir bahwa


ketentuan persetujuan P3B di Indonesia dapat menghilangkan potensi penerimaan
pajak negara. Meskipun bertujuan untuk menghindari adanya pungutan ganda pajak,
namun persetujuan P3B dapat memungkinkan beberapa pihak untuk menghindari
pajak yang seharusnya dibayar.

5. Dapat dimanfaatkan untuk tujuan yang tidak sesuai: Beberapa kritikus


mengkhawatirkan bahwa persetujuan P3B dapat dimanfaatkan untuk tujuan yang
tidak sesuai, seperti untuk melakukan pencucian uang atau kegiatan ilegal lainnya.
Meskipun terdapat beberapa kritik terhadap ketentuan persetujuan P3B di Indonesia, namun
perlu diingat bahwa kerjasama ini bertujuan untuk menghindari adanya pungutan ganda pajak
dan mendorong investasi asing di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi dan
pembenahan dalam implementasi persetujuan P3B agar dapat memberikan manfaat yang
optimal bagi Indonesia.

Sebagian besar penghasilan wajib pajak yang diterima di Indonesia dan di negara lain dapat
diatur dalam perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) yang telah ditandatangani oleh
Indonesia dengan negara-negara lain. Namun, terdapat beberapa jenis penghasilan yang
belum diatur dalam P3B Indonesia dengan negara lain, yaitu:

1. Penghasilan dari kegiatan yang dilakukan oleh badan usaha yang tidak memiliki kantor
tetap di Indonesia atau di negara lain yang tercakup dalam P3B.

2. Penghasilan dari kegiatan yang dilakukan oleh profesional (misalnya konsultan, dokter,
dan pengacara) yang tidak memiliki kantor tetap di Indonesia atau di negara lain yang
tercakup dalam P3B.

3. Penghasilan dari dividen atau bunga yang diperoleh oleh wajib pajak dari negara yang
tidak tercakup dalam P3B.

Kelebihan Pajak Berganda


diharapkan adanya peningkatan aktivitas ekonomi antara Indonesia dan negara mitra.
Tidak hanya itu, P3B juga memungkinkan kerja sama yang lebih erat antar-otoritas
pajak semisal dalam pertukaran informasi,”

Anda mungkin juga menyukai