D Lindarto
Departemen Arsitektur
Universitas Sumatera Utara
Medan. Indonesia.
dwi.lindarto@usu.ac.id
ABSTRAK
Perkembangan arsitektur dunia diwarnai usaha memunculkan kekhususan ciri lokalitas / regionalisme keunikan tempat.
Ditengah demolisi kemusnahan artefak arsitektur adat, penggiat arsitektur Nusantara mencoba mengabadikan dalam
bentuk kertas kerja dengan semangat pengungkapan kecerdasan arsitektur Nusantara yang setara dengan pengetahuan
arsitektur dunia. Tulisan ini mengungkap kecerdasan arsitektural berupa unsur pembentuk place identity yang terdapat
pada geriten Karo. Secara fenomenologis, analisis dilakukan dengan metode deskriptif model Ricoeur dan teknik retorika.
Pembahasan melingkupi transformasi geriten, obyek geriten-rumah, geriten-ladang, geriten artifisial, Terungkap bahwa
Geriten (selain jambur) merupakan rujukan modifikasi unsur rancang bangunnya untuk beragam fungsi di masa kini. Hal
ini menunjukkan bahwa geriten mempunyai unsur daya ungkit pembentuk identitas dalam ungkapan penanda tempat
(landmark) antara lain elastisitas ketinggian (vertikalitas), ornamentasi, setting, distinctivenenss, occasion, boundary,
orientation, rhythm. Geriten sebagai salah satu dari kecerdasan Nusantara merupakan modal kekayaan lokalitas yang
potensial untuk membangun arsitektur berjati diri. Nusantara menanti kajian pengungkapan kecerdasan arsitektur
Nusantara lainnya untuk bersanding dengan pengetahuan dunia.
Geriten dengan kaki penyangga ber-sekur Lantai papan tersebut membentuk tempat yang
merupakan kreasi olah geriten dengan peletakan nyaman terlindung dari panas matahari, hujan dan
jumlah tulang belulang yang lebih banyak atau lembab tanah. digunakan oleh muda mudi untuk
bertambahnya beban akibat bertambahnya bertemu di geriten. Remaja Karo semenjak umur 10
ornamentasi dan dimensi anjung-anjung geriten tahun telah diwajibkan tidur di geriten atau jambur.
sehingga memerlukan penguatan penyangga geriten Untuk menahan hembusan angin gunung dipasang
(gambar 5). mel melen juga merupakan detail pengaku akhiran
penutup lantai (gambar 7). Bangunan lain yag mirip
geriten adalah Jambur dengan fungsi yang berbeda
(gambar 8)
Gambar 8. Jambur
Sumber : margasilima.blogspot.co.id/2012
Jelajah Perubahan Bentuk dan Makna Geriten Gambar 9. Pemaknaan (tempat tulang – tempat mayat)
Sumber : Tropenmuseum – Pribadi (2017)
Geriten adalah arsitektur bersifat private terisi oleh
tulang belulang cawir metua (walaupun teknik Geriten memiliki dimensi berskala manusia
membangunnya dilakukan gotong royong). Sifat dibanding rumah Siwaluh jabu (yang gigantic),
private demikian menjadikan geriten dengan luwes ornamentasi pada geriten juga terbilang tidak
terterima dan diadopsi masyarakat individualitas serumit pahatan ornamen pada rumah tinggal,
masa kini. Dapat difahami bahwa typologi geriten proses pembangunan geriten tidak terbebani oleh
dengan kemudahan pembangunan, kemudahan keharusan persyaratan dan adat ritual pendirian
pemasangan symbol private, keluwesan modifikasi bangunan. Kesederhanaan bentuk, struktur, dimensi
struktur dan bahan modern menghasilkan memungkinkan pengerjaan oleh beberapa tukang
keragaman kreatifitas namun tetap beridentitas saja (tidak banyak lagi tukang yang piawai
Karo. Sejalan dengan perubahan jaman dan membangun rumah sebesar si waluhjabu).
dinamika Arsitektur Nusantara maka arsitektur Karo Keunikan diatas menjadikan daya tarik bagi
mengalami fenomena yang semula adalah arsitektur masyarakat untuk olah modifikasi typologi geriten.
komunal “kami/kita” menjadi arsitektur “aku”
individual [23] Geriten sebagai pembentuk citra tempat (sense
of place)
Bergesernya tata cara mengelola kematian dan Citra atau suasana „tempat‟ yang menarik (sense of
pemakaman masa kini melunturkan tradisi dan place) merupakan suatu senyawa olahan bentuk
upacara ritual adat ngampeken tulan-tulan dan hal fisik dan makna yang menimbulkan ciri khas
ini juga menggeser peranan Geriten yang simbolik (imageability). Kemampuan mendatangkan kesan
dan maknawi menjadi menjadi bentuk bangunan (imagibilitas) berhubungan erat dengan kemudahan
artifisial berfungsi praktis. Berubahnya proses ritual untuk dikenali (legibility). Potensi unsur pembentuk
religius dan cara hidup modern kiwari telah citra „tempat‟ antara lain adalah adanya obyek
menuntut perubahan budaya material termasuk berkarakter, mempunyai differensiasi berdaya beda,
arsitektur. [24] obyek mudah dikenali/difahami ataupun penataan
rancang bangun obyek yang berkaitan dengan
Memory kolektif masyarakat Karo menyatakan keunikan fungsi kawasan membentuk identitas
bahwa Geriten berkaitan kematian dan pengelolaan tempat[25]. Identitas merupakan konstruksi
jasad mati. Karenanya typologi bentuk geriten diskursif, produk wacana-wacana, atau cara cara
masih terterima menjadi pilihan bentuk bangunan tertentu dalam berkomunikasi (regulated ways of
bagi makam warga Karo. Perubahan religi telah speaking) tentang dunia[26]. Dengan kata lain
mengalihkan perletakan tulang belulang yang identitas direncanakan dan bukan ditemukan,
terbentuk dari representasi-representasi bahasa empat tiang penyangga struktur ikatan kayu serta
bentuk dan karakter. ornamen pada melen-melen, derpih dan ayo.
Studi Kevin Lynch mengungkap imageability dan Sejalan waktu, geriten tidak hanya difungsikan
legibility suatu tempat mudah terbentuk dengan sebagai wadah tulang nenek moyang namun telah
kreasi landmark yakni suatu bentuk visual yang dimodifikasi untuk fungsi kuburan/makam, rumah
mencolok sebagai titik rujukan (referensi), orientasi jaga, gerbang desa, tugu, halte dan fungsi profan
suatu tempat (node) di ruang luar terbuka dan lainnya. Setting modifikasi geriten sebagai
merupakan penanda hirarki makna suatu tempat bangunan makam masyarakat Karo menunjukkan
[27]. Bagaimana potensi geriten sebagai sumber adanya dua type yaitu geriten yang ditempatkan
kreasi pembentukan landmark sehinnga membentuk dekat rumah (geriten-rumah) dan geriten yang
sense of place yang beridentitas menjadi pokok ditempatkan di perladangan (geriten-ladang).
bahasan berikut ini.
Geriten-Rumah
Sebagai wadah tulang nenek moyang geriten Geriten-rumah menunjukkan ciri penggunaan unsur
menjadi sakral dan senyap kegiatan (dihuni oleh ketinggian / vertikalitas sebagai unsur pembentuk
tulang) namun ketika diadakan occasion/event ritual citra. Ketinggian geriten-rumah selaras dengan
ngampeken tulan-tulan, geriten memperoleh makna ketinggian atap rumah sebagai referensi tinggi.
menjadi suatu „tempat‟. Geriten telah mampu tampil Tidak adanya upaya meninggikan geriten-rumah
sebagai „tempat‟ bersemayamnya moyang (bukan membuat tampang seluruh geriten-rumah cukup
dalam konotasi makam) dengan bubuhan karakter dapat dinikmati sebagai vista jarak pendek
keteladananyang di-sakralkan. Geriten menegaskan (mengingat halaman rumah memang sempit).
pendapat bahwa tempat adalah senyawa ruang dan Ornamentasi geriten-rumah sarat terdapat di bagian
karakter [28] rendah yaitu pada melen-mele, derpih dan ayo
sebagai focal point penarik sequence vista ketika
Geriten masa kini memiliki ekspresi yang mengarah peziarah bergerak mendekati geriten-rumah ini
kepada kualitas landmark. Bahkan dimasa awal (gambar 11)
pertumbuhan kota Medan 1948 bentukan Geriten
telah terpancang sebagai Landmark di lapangan
Merdeka sejajar dengan monumen Tamiang
Belanda. (gambar 10)
Geriten Artifisial
Di daerah perkotaan, bentukan mirip geriten
sekarang banyak ditemui di Kawasan Kabanjahe,
Berastagi dan sekitarnya. Pada jalan masuk
Berastagi, geriten difungsikan sebagai pembentuk
citra dengan kreasi penanda jalur arah. Penempatan
geriten mengukuhkan citra tempat dengan ungkapan
Gambar 12. Geriten-Ladang path dan edges melalui ekspresi kelanjutan
Sumber : koleksi Lindarto, 2017
(kontinuitas), dan ungkapan district melalui sebagai
Pada bagian ayo di anjung-anjung geriten-ladang elemen kedekatan dan kesamaan (proksimitas dan
dituliskan nama merga Karo si empunya geriten- similaritas)[32]. Keunikan dicapai dengan
ladang (cukup berbeda dengan ornamentasi ayo perulangan geriten yang dikenal sebagai rhythm.
geriten-rumah). Bubuhan nama tersebut merupakan bentukan gazebo geriten ini menjadi pilihan
penanda identitas yang mempunyai kemampuan typologi yang terterima di boulevard Berastagi.
membentuk (imageability) citra district / setting Geriten menjadi tempat yang digemari untuk selfie
sebagai suatu virtual boundary pemilik teritorial occasion sebagai simbol jati diri Karo yang menarik
ladang tersebut. Berbeda dengan kelaziman (gambar 13)
pembentukan batas / boundary yang dipertegas
dengan dinding fisik, masyarakat Karo mampu
mempersepsi batas teritorial ladangnya dengan
penempatan geriten sebagai fokal point membentuk
enclosure wilayah. hal ini selaras dengan pendapat
„….Centralization, direction and rhythm are
therefore other important properties of concrete
space….Any enclosure is defined by a boundary ..’
[29]. Geriten-ladang merupakan ungkapan
sentralitas memperkuat pembentukan virtual
boundary..
Gambar 17. Geriten – Gudang meriam puntung Sumber : olah analisis geriten, 2018
Maimoon palace
Sumber ; Koleksi Lindarto, 2017 KESIMPULAN
`
Modernisasi makam Karo menyisakan beberapa Geriten adalah bentukan arsitektur Karo wadah
pertanyaan. Ungkapan arsitektural layaknya tulang belulang cawir metua sebagai representasi
deconstruction (gambar 18) menjadi tantangan penghormatan keteladanan nenek moyang dalam
budaya parbegu. Seturut jaman geriten Karo
bagi pengungkapan kecerdasan nusantara (genius
memperoleh re-interpretasi berwujud arsitektur
locus) selanjutnya.
makam Karo yang mampu bercitra identitas ke-
Karo-an yang menarik.
Geriten (selain jambur) merupakan rujukan
modifikasi unsur rancang bangunnya untuk beragam
fungsi arsitektur di masa kini. Hal ini menunjukkan
bahwa geriten mempunyai unsur daya ungkit
pembentuk identitas dalam ungkapan penanda
tempat (landmark) antara lain elastisitas ketinggian
(vertikalitas), ornamentasi, setting, distinctivenenss,
occasion, boundary, orientation, rhythm.
Geriten sebagai salah satu dari kecerdasana
Nusantara merupakan modal kekayaan lokalitas
yang potensial untuk membangun arsitektur berjati
diri.
Gambar 18. Makam Karo Kekinian
Sumber : Koleksi Lindarto, 2018 DAFTAR PUSTAKA
Dari jelajah pembahasan geriten diatas dapat [1] Jencks. C, 1977, The Language Of Post Modern
diungkapkan keterkaitan unsur kebertahanan daya Architecture, Rizzoli, New York.
tarik geriten dengan kreasi kekinian. Berikut tabel [2] Frampton, Kenneth, 2005, Preface dalam Ten Shades
unsur potensial geriten yang digunakan dalam of Green: Architecture and the Natural World eds.
pencapaian fungsinya sebagai penanda tempat atau Buchanan, Peter 1st edition, The architectural league
landmark. Dari tabel tersebut terlihat bahwa unsur of New York).
bentuk dan makna menjadi unsur yang paling [3] Adijanto J, 2011. Local Wisdom Vs Genius Loci Vs
banyak digunakan dalam upaya pencitraan tempat. Cerlang Tara (Kajian Penggunaan Istilah Arsitektural
dan Konsekuensinya) proceeding seminar nasional
The Local Tripod, Universitas Brawijaya
[4] Prijotomo, Josef, 2008, Pasang Surut Arsitektur
Indonesia, Wastu Lanas Grafika, Surabaya
[5] Prijotomo, Josef, 2008, Pasang Surut Arsitektur [22] Rapoport, Amos, 1982, Human Aspect Urban Form,
Indonesia, Wastu Lanas Grafika, Surabaya Van Nostrand Reinhold Company, New York, 1982
[6] Sulistyowati, Murtijas, 2016. Struktur di Arsitektur [23] Sulistyowati, Murtijas, 2016. Struktur di Arsitektur
Nusantara. Proceeding Temu Ilmiah IPLBI 2016 Nusantara. Proceeding Temu Ilmiah IPLBI 2016
Malang Malang
[7] Lindarto, D, 2003, Thesis Jelajah Ruang Arsitektural [24] Nawawiy, M L et al. 2004. Raibnya Para Dewa.
dalam Kisah Dewa Ruci. ITS Surabaya Kajian Arsitektur Karo, Bina Teknik Press, Medan
[8] Adijanto J, 2011. Local Wisdom Vs Genius Loci Vs [25] Norberg-Schulz, Christian, 1984, Genius Loci:
Cerlang Tara (Kajian Penggunaan Istilah Arsitektural Toward a Phenomenology of Architecture, Rizzoli,
dan Konsekuensinya) proceeding seminar nasional New York
The Local Tripod, universitas brawijaya [26] Barker, Chris. 2005. Cultural Studies Teori dan
[9] Hidayatun, I Maria dkk, 2013. Nilai-nilai Praktek. Yogyakarta: Bentang
Kesetempatan dan Kesemestaan dalam Regionalisme [27] Zahnd, Markus, 2006, Perancangan Kota Secara
Arsitektur di Indonesia. Seminar nasional SCAN#4 Terpadu, Penerbit Kanisius, Jogyakarta
.2013 [28] Norberg-Schulz, Christian, 1984, Genius Loci:
[10] Verth. PJ. 1877. Het Landschap Deli op Sumatera. Toward a Phenomenology of Archtecture, Rizzoli,
TNAG Deel II. New York. pp-23
[11] Purba, Parentahen. 2007. Melestarikan Adat [29] Norberg-Schulz, Christian, 1984, Genius Loci:
Nggeluh Kalak Karo. CV RG Pinem Medan Toward a Phenomenology of Architecture, Rizzoli,
[12] Puji L dkk. 2014. Local Wisdom as Alternative of New York, pp-130
Disaster Communication Management in Mount [30] Norberg-Schulz, Christian, 1984, Genius Loci:
Sinabung, Karo Regency, North Sumatera, Toward a Phenomenology of Architecture, Rizzoli,
Indonesia, The Indonesian Journal of New York, pp-12
Communication Studies. [31] Norberg-Schulz, Christian, 1984, Genius Loci:
[13] Nawawiy, ML et al, 2004, Raibnya Para Dewa. Toward a Phenomenology of Place, Rizzoli, New
Kajian Arsitektur Karo, Bina Teknik Press, Medan York, pp-22
[14] Perangin-angin, Maria Ulina, 2006, Rumah Adat Si [32] Lang, Jon, 1987, Creating Architectural Theory, The
Waluh Jabu ; makna dan fungsinya bagi Role of The Behavioral Sciences in Environmental
Masyarakat Karo di Desa Lingga , Kab Karo. Design, Van Nostrand Reinhold Company Inc.
Jurnal Kerabata Vol I Nomor I Maret 2006 [33] Rapaport, A, 1998, House Form and Culture,
[15] Antariksa dkk, 2015, Elemen pembentuk Arsitektur edition 69, Prentice Hall Inc.
Tradisional batak Karo di Kampong Dokan, [34] Norberg-Schulz, Christian, 1984, Genius Loci:
[16] Erdansyah, Fuad . 2011, Simbol dan Pemaknaan Toward a Phenomenology of Place, Rizzoli, New
Gerga pada Rumah Adat Batak Karo di Sumatera York, pp-20-21
Utara Dewa Ruci Jurnal, Vol 7 No. 1 Juli 2011.
Medan
[17] Prijotomo, Josef, 2008, Pasang Surut Arsitektur
Indonesia, Wastu Lanas Grafika, Surabaya
[18] Creswell, J.W. 2008. Research Design: Qualitative,
Quantitative, and Mixed Methods Approaches.
California: Sage Publications, Inc.
[19] Groat, L. & Wang, D. 2002. Architectural Research
Methods. New York: John Wiley & Sons. Inc.
[20] Ricoeur, Paul, 1985, Time and Narative, vol. II terj.
Kathleen McLaughin and David Pellauer,
University of Chicago Press, University of Chicago
Press
[21] Astra, I Gde Semadi . 2010. “Revitalisasi Kearifan
Lokal dalam Memperkokoh Jati Diri Bangsa di Era
Global” dalam I Wayan Ardika dan Darma Putra
(ed). Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik
Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana dan
Balimangsi Press.