Anda di halaman 1dari 10

Kearifan Lokal Modifikasi Potensi Place Identity Geriten Karo

D Lindarto
Departemen Arsitektur
Universitas Sumatera Utara
Medan. Indonesia.
dwi.lindarto@usu.ac.id

ABSTRAK

Perkembangan arsitektur dunia diwarnai usaha memunculkan kekhususan ciri lokalitas / regionalisme keunikan tempat.
Ditengah demolisi kemusnahan artefak arsitektur adat, penggiat arsitektur Nusantara mencoba mengabadikan dalam
bentuk kertas kerja dengan semangat pengungkapan kecerdasan arsitektur Nusantara yang setara dengan pengetahuan
arsitektur dunia. Tulisan ini mengungkap kecerdasan arsitektural berupa unsur pembentuk place identity yang terdapat
pada geriten Karo. Secara fenomenologis, analisis dilakukan dengan metode deskriptif model Ricoeur dan teknik retorika.
Pembahasan melingkupi transformasi geriten, obyek geriten-rumah, geriten-ladang, geriten artifisial, Terungkap bahwa
Geriten (selain jambur) merupakan rujukan modifikasi unsur rancang bangunnya untuk beragam fungsi di masa kini. Hal
ini menunjukkan bahwa geriten mempunyai unsur daya ungkit pembentuk identitas dalam ungkapan penanda tempat
(landmark) antara lain elastisitas ketinggian (vertikalitas), ornamentasi, setting, distinctivenenss, occasion, boundary,
orientation, rhythm. Geriten sebagai salah satu dari kecerdasan Nusantara merupakan modal kekayaan lokalitas yang
potensial untuk membangun arsitektur berjati diri. Nusantara menanti kajian pengungkapan kecerdasan arsitektur
Nusantara lainnya untuk bersanding dengan pengetahuan dunia.

Kata Kunci : Kearifan Lokal, Place Identity, Geriten Karo

PENDAHULUAN nusantara mempunyai ke-cerdas-an sebagai


kemampuan otak/nalar; tapi juga mempunyai ke-
Perkembangan arsitektur dunia masa kini diwarnai cerdik-an sebagai kemampuan intuisi/perasaan
oleh usaha untuk memunculkan kembali manusia Nusantara [3]
kekhususan ciri lokalitas yang kemudian dilafalkan
menjadi regionalisme dengan tampilan keunikan jati Tuntutan pengungkapan regionalisme arsitektur
diri tempat [1] Kehendak untuk memperlihatkan Nusantara dicanangkan oleh Prijotomo
identitas lokal dan potensi olah rancang bangun dikatakannya bahwa dalam upaya berarsitektur
yang berbeda antar tempat dianggap menjadi suatu kiwari menjadi halal dilakukan penghadiran
keharusan dan populer sebagai pokok bahasan kembali segenap ungkapan dan komponen arsitektur
narasi maupun praksis di era abad XII [2] klasik atau daerah atau tradisional guna melihatkan
Fenomena demikian berlangsung juga di Indonesia identitas atau jatidiri bangsa (arsitektur
melalui diskusi panjang atas nama arsitektur klasik=arsitektur nusantara)[4]. Metode olah pikir
Nusantara. yang ditawarkan antara lain dengan menempatkan
arsitektur tradisional sebagai rekaman pengetahuan
Sejauh ini para penggiat arsitektur Nusantara telah Arsitektur Nusantara, kemudian membangun
menghasilkan banyak kertas kerja dalam rangka arsitektur Nusantara sebagai pengetahuan arsitektur
mengungkap kecerdasan arsitektur Nusantara yang dapat digunakan untuk membuat arsitektur
ditengah ironi kemusnahan artefak arsitektur yang menusantara disatu pihak dan menjadikan
Nusantara itu sendiri. Semangat yang melandasi arsitektur Nusantara sebagai warga arsitektur dunia
adalah pemahaman bahwa pengetahuan arsitektur di pihak yang lain[5]
Tulisan ini merupakan pengungkapan kecerdasan diminati dalam berbagai kreasi arsitektur Karo masa
arsitektur Nusantara sebagai pelengkapan mosaik- kini.
mosaik pengetahuan arsitektur Nusantara yang telah
banyak diungkapkan penggiat narasi arsitektur METODE PENELITIAN
dalam berbagai konteks misalnya struktur [6], ruang
arsitektural Jawa [7] Istilah kecerdasan Nusantara Penelitian ini bermula dari ungkapan Prijotomo
[8], lokalitas arsitektural Nusantara [9] Tulisan ini bahwa beragamnya karya arsitektur yang
ibarat pengungkapan selubung demi selubung mencerminkan keberagaman etnis dan budaya
lipatan pengetahuan arsitektur yang akan menunjukan adanya kesetempatan / lokalitas yang
mengkayakan khasanah arsitektur di Nusantara luar biasa dtengah pemikiran tentang kesemestaan /
dalam upaya perwujudan arsitektur di Indonesia globalitas yang memang bersifat umum [17].
yang berjati diri. Karenanya penelitian ini akan mengungkap
kecerdasan lokal arsitektur Geriten dengan koridor
Di pulau Sumatera utamanya di Sumatera Utara kesemestaan pengetahuan „penanda tempat‟
setidaknya terdapat tujuh etnis mengemuka yaitu arsitektural.
Nias, Pak-Pak Dairi, Melayu, Mandailing, Batak
Toba, Batak Simalungun dan Karo. Suku Karo Perubahan arsitektur geriten Karo merupakan
tinggal di dataran tinggi 1300 m dpl di lereng fenomena artefak. karenanya perlakuan
gunung Sinabung dan Sibayak Kabupaten Tanah fenomenologis menjadi pilihan mengungkap unsur
Karo. Masyarakat Karo sebagian masih penganut kreasi Geriten sebagai penanda tempat (place
Pemena atau Pabegu selain pemeluk agama Islam identity). Dengan menggunakan metode kualitatif
atau Kristen. Masa kini permukiman Karo yang naturalistik / fenomenologi, menarik kesimpulan
masih cukup terawat ada di desa Lingga Kabupaten penelitian secara induktif dari tema-tema temuan
Karo sejauh 4,5 km dari ibu kota Kabanjahe. lapangan, mengabstraksikan realitas ke dalam
konstruksi konsepsual dan menggunakan peneliti
Suatu pemukiman rumah Karo yang disebut Kuta sebagai instrumen utama penelitian [18]. Analisis
terdiri atas beberapa rumah Si Waluh Jabu (rumah dilakukan dengan metode deskriptif dan teknik
tinggal), Sapo page (lumbung padi), Jambur (balai retorika [19]. Model telaah kritis Paul Ricoeur
berkumpul), Jambur lesung (tempat menumbuk digunakan dalam melakukan interpretasi tekstual
padi) dan Geriten (tempat tulang moyang). mendeskripsikan suatu fenomena dalam bentuk
Eksistensi geriten terlihat di tengah kemusnahan narasi [20].
type rumah Karo (tercatat tahun 2017 desa Lingga
menyisakan hanya 3 bangunan siwaluh jabu, jambur HASIL DAN PEMBAHASAN
lesung dan geriten). Arsitektur yang disebut geriten Jelajah Arsitektur Geriten
oleh masyarakat kini hanya menunjuk kepada Penggunaan nama Geriten sering dipertukarkan
hiasan tugu, gerbang desa jauh dari kesan sakral dengan Jambur karena bentuk yang hampir
sumber keteladanan nenek moyang. Khasanah typikal. Geriten lebih kecil dari jambur dengan
kecerdasan arsitektur Nusantara Karo sendiri telah ukuran sekitar 2,5 meter x 2,5 meter. Geriten
banyak ditelaah dari sisi keberadaan geriten di tegak diatas tiang, bagian atas berdinding sebagai
lapangan Merdeka [10], budaya dan ritual arsitektur tempat menyimpan tulang-belulang mereka yang
Karo [11], arsitektur Karo menanggapi bencana meninggal cawir metua (lanjut usia). Jenis
[12], budaya religi dan arsitektur Karo [13], ritual kematian ini dianggap paling mulia pada budaya
pembangunan rumah Karo [14]. elemen pembentuk Karo. Penyimpanan tulang belulang
visual, spatial dan struktural arsitektur Karo [15]. diselenggarakan dengan ritual adat Ngampeken
simbol dan makna Gerga rumah Karo [16]. Dengan Tulan-Tulan (Ngampeken = mengambil /
memperhatikan kebertahanan arsitektur Geriten mengumpulkan kembali, Tulan-tulan = Tulang).
maka menarik untuk diungkapkan unsur yang juga dikatakan Muat Tulan-Tulan, yang diadakan di
meneguhkan geriten sehingga bentukannya tetap Jambur.
Penjelajahan arsitektur geriten ini adalah
pengungkapan unsur kearifan lokal (local genius)
yang dikiaskan sebagai berikut : “....the sum of
cultural characteristic which the vast majority of
people have in common as a result of their
experiences in early life…” yaitu keseluruhan ciri-
ciri kebudayaan yang dimiliki oleh suatu
masyarakat/bangsa sebagai hasil pengalaman
mereka di masa lampau) [21]. Dengan demikian
konteks bahasan lebih merupakan jelajah yang
melibatkan idiom arsitektural dan antropologi
secara resiprokal.
Gambar 1. Geriten (schedelhuisje) en rijstschuren, Soerbati.
1914-1919
Kemenjadian bentuk rumah tulang / geriten secara
Sumber : www.gobatak.com umum dipengaruhi oleh beberapa aspek
sebagaimana pendapat bahwa „…Bentuk rumah
dimodifikasi oleh keadaan iklim juga metode
Keragaman sosial masyarakat Karo dan kreasi
konstruksi, ketersediaan material dan teknologi,
tukang berpengaruh terhadap penampilan bentuk
sebagai faktor pembentuk pendukung [22]
dan ornamentasi geriten. Ornamentasi geriten
Rancang bangun arsitektur kematian suku Karo
menggambarkan strata sosial dan profesi semasa
mulanya menegakkan wadah sederhana berstruktur
hidupnya orang yang „dinaikkan‟ tulang-
bambu seperti tempat sesaji sebagai pengabadian
belulangnya. Ornamentasi geriten serupa dengan
moyang yang telah meninggal (gambar 3).
ornamen rumah tinggal dalam bentuk maupun
makna simbolisnya. Pada melen-melen/pendungi
dibubuhkan ornamen tapak raja sulaiman dan
teger tudung bermakna kewibawaan dan
keagungan. Ornamen pengeret-ret (cicak) sebagai
pengikat derpih dinding kayu bermakna ikatan
kekeluargaan serta penolak bala. Di bagian pucuk
bubung atap terpasang ornamen tanduk kerbo
dipercaya sebagai penjaga geriten, penolak bala.
Sejak jaman penjajahan Jepang di Indonesia,
geriten telah menjadi bangunan yang menarik
sehingga terpampang pada mata uang Dai Nippon
sebagai salah satu ikon bangunan Indonesia.
Setting menunjukkan adanya kedekatan
(proximity) yang erat antara geriten dengan rumah Gambar 3. Wadah sesaji penghormatan arwah leluhur
Si waluh jabu, jambur, sapo page, lesung. Sumber : Achim Sibeth, 1991

Dalam perkembangannya bentuk simplifikasi rumah


tinggal Karo menjadi model pilihan „wadah‟ oleh
adanya kepentingan peletakan tulang belulang para
terhormat yang kemudian disebut geriten. Kreasi
geriten dengan penyangga satu tiang dibuat sebagai
wadah bagi satu tulang belulang yang karena
bobotnya relatif ringan hanya memerlukan
penyangga satu tiang (gambar 4).
Gambar 2: Geriten pada mata uang jaman Jepang
Sumber : B Sembiring, 2017
geriten membentuk ruang berbatas empat tiang di
bawah rumah tulang. Di bagian ini dibentangkan
lantai papan yang berfungsi sebagai pengaku
bangun geriten juga berfungsi untuk menggapai dan
membersihkan rumah tulang (gambar 6).

Gambar 4. Geriten satu tiang, dua ayo (1921)


Sumber : margasilima.blogspot.co.id/2012

Ketersediaan kayu besar sebagai bahan kaki


penyangga menjadikan geriten tiang tunggal
terbatas dalam ketinggian. Gangguan aktifitas
manusia dan hewan piaraan memunculkan pagar
sekeliling geriten. Pagar yang sekaligus berfungsi Gambar 6. Geriten empat tiang, dua ayo (1921)
sebagai pijakan bagi pemeliharaan geriten. Sumber : margasilima.blogspot.co.id/2012

Geriten dengan kaki penyangga ber-sekur Lantai papan tersebut membentuk tempat yang
merupakan kreasi olah geriten dengan peletakan nyaman terlindung dari panas matahari, hujan dan
jumlah tulang belulang yang lebih banyak atau lembab tanah. digunakan oleh muda mudi untuk
bertambahnya beban akibat bertambahnya bertemu di geriten. Remaja Karo semenjak umur 10
ornamentasi dan dimensi anjung-anjung geriten tahun telah diwajibkan tidur di geriten atau jambur.
sehingga memerlukan penguatan penyangga geriten Untuk menahan hembusan angin gunung dipasang
(gambar 5). mel melen juga merupakan detail pengaku akhiran
penutup lantai (gambar 7). Bangunan lain yag mirip
geriten adalah Jambur dengan fungsi yang berbeda
(gambar 8)

Gambar 5. Geriten satu tiang ber sekur, empat ayo (1914)


Sumber : Collectie.wereldculturen.nl.Troopenmuseum

Selanjutnya tuntutan vertikalitas geriten ditanggapi


dengan tatanan struktur kolom dan balok empat
tiang penyangga sebagai bangunan penumpu rumah Gambar 7. Geriten empat tiang, empat ayo (1921)
tulang belulang yang semakin besar. Ketinggian Sumber : margasilima.blogspot.co.id/2012
semula diletakkan pada ruang diatas, sekarang
makam diletakkan di bawah geriten (gambar 9)

Gambar 8. Jambur
Sumber : margasilima.blogspot.co.id/2012

Jelajah Perubahan Bentuk dan Makna Geriten Gambar 9. Pemaknaan (tempat tulang – tempat mayat)
Sumber : Tropenmuseum – Pribadi (2017)
Geriten adalah arsitektur bersifat private terisi oleh
tulang belulang cawir metua (walaupun teknik Geriten memiliki dimensi berskala manusia
membangunnya dilakukan gotong royong). Sifat dibanding rumah Siwaluh jabu (yang gigantic),
private demikian menjadikan geriten dengan luwes ornamentasi pada geriten juga terbilang tidak
terterima dan diadopsi masyarakat individualitas serumit pahatan ornamen pada rumah tinggal,
masa kini. Dapat difahami bahwa typologi geriten proses pembangunan geriten tidak terbebani oleh
dengan kemudahan pembangunan, kemudahan keharusan persyaratan dan adat ritual pendirian
pemasangan symbol private, keluwesan modifikasi bangunan. Kesederhanaan bentuk, struktur, dimensi
struktur dan bahan modern menghasilkan memungkinkan pengerjaan oleh beberapa tukang
keragaman kreatifitas namun tetap beridentitas saja (tidak banyak lagi tukang yang piawai
Karo. Sejalan dengan perubahan jaman dan membangun rumah sebesar si waluhjabu).
dinamika Arsitektur Nusantara maka arsitektur Karo Keunikan diatas menjadikan daya tarik bagi
mengalami fenomena yang semula adalah arsitektur masyarakat untuk olah modifikasi typologi geriten.
komunal “kami/kita” menjadi arsitektur “aku”
individual [23] Geriten sebagai pembentuk citra tempat (sense
of place)
Bergesernya tata cara mengelola kematian dan Citra atau suasana „tempat‟ yang menarik (sense of
pemakaman masa kini melunturkan tradisi dan place) merupakan suatu senyawa olahan bentuk
upacara ritual adat ngampeken tulan-tulan dan hal fisik dan makna yang menimbulkan ciri khas
ini juga menggeser peranan Geriten yang simbolik (imageability). Kemampuan mendatangkan kesan
dan maknawi menjadi menjadi bentuk bangunan (imagibilitas) berhubungan erat dengan kemudahan
artifisial berfungsi praktis. Berubahnya proses ritual untuk dikenali (legibility). Potensi unsur pembentuk
religius dan cara hidup modern kiwari telah citra „tempat‟ antara lain adalah adanya obyek
menuntut perubahan budaya material termasuk berkarakter, mempunyai differensiasi berdaya beda,
arsitektur. [24] obyek mudah dikenali/difahami ataupun penataan
rancang bangun obyek yang berkaitan dengan
Memory kolektif masyarakat Karo menyatakan keunikan fungsi kawasan membentuk identitas
bahwa Geriten berkaitan kematian dan pengelolaan tempat[25]. Identitas merupakan konstruksi
jasad mati. Karenanya typologi bentuk geriten diskursif, produk wacana-wacana, atau cara cara
masih terterima menjadi pilihan bentuk bangunan tertentu dalam berkomunikasi (regulated ways of
bagi makam warga Karo. Perubahan religi telah speaking) tentang dunia[26]. Dengan kata lain
mengalihkan perletakan tulang belulang yang identitas direncanakan dan bukan ditemukan,
terbentuk dari representasi-representasi bahasa empat tiang penyangga struktur ikatan kayu serta
bentuk dan karakter. ornamen pada melen-melen, derpih dan ayo.
Studi Kevin Lynch mengungkap imageability dan Sejalan waktu, geriten tidak hanya difungsikan
legibility suatu tempat mudah terbentuk dengan sebagai wadah tulang nenek moyang namun telah
kreasi landmark yakni suatu bentuk visual yang dimodifikasi untuk fungsi kuburan/makam, rumah
mencolok sebagai titik rujukan (referensi), orientasi jaga, gerbang desa, tugu, halte dan fungsi profan
suatu tempat (node) di ruang luar terbuka dan lainnya. Setting modifikasi geriten sebagai
merupakan penanda hirarki makna suatu tempat bangunan makam masyarakat Karo menunjukkan
[27]. Bagaimana potensi geriten sebagai sumber adanya dua type yaitu geriten yang ditempatkan
kreasi pembentukan landmark sehinnga membentuk dekat rumah (geriten-rumah) dan geriten yang
sense of place yang beridentitas menjadi pokok ditempatkan di perladangan (geriten-ladang).
bahasan berikut ini.
Geriten-Rumah
Sebagai wadah tulang nenek moyang geriten Geriten-rumah menunjukkan ciri penggunaan unsur
menjadi sakral dan senyap kegiatan (dihuni oleh ketinggian / vertikalitas sebagai unsur pembentuk
tulang) namun ketika diadakan occasion/event ritual citra. Ketinggian geriten-rumah selaras dengan
ngampeken tulan-tulan, geriten memperoleh makna ketinggian atap rumah sebagai referensi tinggi.
menjadi suatu „tempat‟. Geriten telah mampu tampil Tidak adanya upaya meninggikan geriten-rumah
sebagai „tempat‟ bersemayamnya moyang (bukan membuat tampang seluruh geriten-rumah cukup
dalam konotasi makam) dengan bubuhan karakter dapat dinikmati sebagai vista jarak pendek
keteladananyang di-sakralkan. Geriten menegaskan (mengingat halaman rumah memang sempit).
pendapat bahwa tempat adalah senyawa ruang dan Ornamentasi geriten-rumah sarat terdapat di bagian
karakter [28] rendah yaitu pada melen-mele, derpih dan ayo
sebagai focal point penarik sequence vista ketika
Geriten masa kini memiliki ekspresi yang mengarah peziarah bergerak mendekati geriten-rumah ini
kepada kualitas landmark. Bahkan dimasa awal (gambar 11)
pertumbuhan kota Medan 1948 bentukan Geriten
telah terpancang sebagai Landmark di lapangan
Merdeka sejajar dengan monumen Tamiang
Belanda. (gambar 10)

Gambar 11. Geriten-rumah


Sumber : koleksi Lindarto, 2017

Gambar 10. Geriten di Lapangan Merdeka Medan 1948 Geriten-Ladang


Sumber : karosiadi.blogspot.co.id Geriten-ladang menunjukkan ketinggian atau
vertikalitas yang lebih dengan timbunan muka tanah
Bentuk geriten mudah dikenali dengan adanya serta kaki bangunan yang lebih jangkung.
anjung-anjung dan tunjuk langit, derpih pendek, Vertikalitas demikian memperkuat kemencolokan
geriten di tengah hamparan ladang luas. dapat disetarakan denagn istilah „eyes on the street‟
Penempatan geriten-ladang ini agak ditarik ke versi Jane Jacobs ataupun sebagai the place
dalam dari arah jalan raya (set-back) yang membuat guardian [30]
adanya jarak bagi untuk memandang geriten tinggi Dengan demikian dapat dikatakan bahwa geriten
di padang lapang. Suguhan permainan landmark eksis di perladangan sebagai penanda identitas
vista yang cukup menghasilkan geriten menjadi penanda kepemilikan sekaligus petunjuk orientasi di
monumental (Gambar 12) luasnya perladangan sebagaimana pendapat
„…Identification and orientation are primary aspect
of man’s being in the world. Whereas identification
is the basis for man’s sense of belonging.
Orientation is the function which enables him to be
that homo viator, which is part of his nature…’.
[31]

Geriten Artifisial
Di daerah perkotaan, bentukan mirip geriten
sekarang banyak ditemui di Kawasan Kabanjahe,
Berastagi dan sekitarnya. Pada jalan masuk
Berastagi, geriten difungsikan sebagai pembentuk
citra dengan kreasi penanda jalur arah. Penempatan
geriten mengukuhkan citra tempat dengan ungkapan
Gambar 12. Geriten-Ladang path dan edges melalui ekspresi kelanjutan
Sumber : koleksi Lindarto, 2017
(kontinuitas), dan ungkapan district melalui sebagai
Pada bagian ayo di anjung-anjung geriten-ladang elemen kedekatan dan kesamaan (proksimitas dan
dituliskan nama merga Karo si empunya geriten- similaritas)[32]. Keunikan dicapai dengan
ladang (cukup berbeda dengan ornamentasi ayo perulangan geriten yang dikenal sebagai rhythm.
geriten-rumah). Bubuhan nama tersebut merupakan bentukan gazebo geriten ini menjadi pilihan
penanda identitas yang mempunyai kemampuan typologi yang terterima di boulevard Berastagi.
membentuk (imageability) citra district / setting Geriten menjadi tempat yang digemari untuk selfie
sebagai suatu virtual boundary pemilik teritorial occasion sebagai simbol jati diri Karo yang menarik
ladang tersebut. Berbeda dengan kelaziman (gambar 13)
pembentukan batas / boundary yang dipertegas
dengan dinding fisik, masyarakat Karo mampu
mempersepsi batas teritorial ladangnya dengan
penempatan geriten sebagai fokal point membentuk
enclosure wilayah. hal ini selaras dengan pendapat
„….Centralization, direction and rhythm are
therefore other important properties of concrete
space….Any enclosure is defined by a boundary ..’
[29]. Geriten-ladang merupakan ungkapan
sentralitas memperkuat pembentukan virtual
boundary..

Ekspresi yang ditimbulkan oleh pemakaian bentuk


anjung anjung empat sisi memiliki nilai kesakralan Gambar 13. Olah Rhythm Geriten-Gazebo
geriten. Kini difungsikan sebagai pengawasan Sumber : Koleksi Lindarto, 2017
terhadap kriminalitas yang mungkin terjadi di
perladangan sekitar layaknya suatu virtual cctv yang Dari perspektif perubahan budaya, Rapaport
berpendapat bahwa arsitektur adalah perwujudan
bendawi dari nilai-nilai budaya dan wadah bagi Gambar 15. Geriten – di puncak gerbang
kebiasaan masyarakat dalam budaya tersebut [33] Sumber ; Koleksi Lindarto, 2017
Di kawasan heritage rumah Siwaluh Jabu desa
Lingga Karo, warga setempat menyebutkan geriten
sebagai gerbang masuk desa Lingga. Konsep
bentukan „penjagaan‟ sebagaimana diungkapkan
pada bahasan geriten-ladang muncul kembali
sebagai unsur pembentuk citra tempat. Bagian
bawah geriten digunakan sebagai tempat berkumpul
dan ronda malam. Citra pembentuk sense of place
dicapai dengan penempatannya pada simpang jalan
yang lazim disebut node / edge penanda district
desa (gambar 14)
Gambar 16. Geriten – Halte Kuda di Berastagi
Sumber ; Koleksi Lindarto, 2017

Geriten mengalami penyederhanaan bentukan


namun miskin makna sebagaimana diungkapkan
oleh Rapoport berikut : …In primitive societies we
find thart even the smallest environmental details
are known and meaningful, and they make up
complex spatial structures …In modern society ,
however, attention has almost exclusively been
concentrated on the ‘practical’ function of
orientation, whereas identification has been left to
Gambar 14. Geriten – gerbang desa chance..[34]
Sumber asanisembiring.wordpress,com
Tuntutan keragaman fungsi masa kini disamping
Elastisitas dan Simplifikasi Geriten keinginan untuk berbeda dari kondisi sekitarnya
mewujudkan geriten wadah legenda „meriam
Geriten masa kini mengalami deformasi dengan puntung‟ di Istana Maimoon. Ruang simpan yang
keunggulan elastisitas bentuk. Teknologi bahan dan terbentuk menjadi demikian besar dengan melen-
olah struktur modern telah mensimplifikasi geriten melen polos, tanpa derpih. Tanda kesakralan
menjadi fungsi artifisial. Geriten sakral telah dibangun dengan penempatan anjung-anjung.
berubah menjadi geriten fungsi kekinian misalnya Modifikasi geriten Maimoon mampu membangun
halte, makam modern, kepala tugu (gambar 15-16) distinctiveness sebagai persepsi positif terhadap
keunikan dan penandaan tempat yang berbeda
dengan kawasan lain sekitarnya (gambar 17)
Tabel 1. Kaitan unsur potensial geriten dengan unsur
kreasi landmark
Bentuk Struktur Ornamen Fungsi Makna
Bahan
Vertikalitas √ √
Setting √ √ √ √
Distinctiveness √ √ √ √ √
Occasion √ √ √
Boundary √ √ √ √
Orientation √ √ √ √
Rhythm √ √ √

Gambar 17. Geriten – Gudang meriam puntung Sumber : olah analisis geriten, 2018
Maimoon palace
Sumber ; Koleksi Lindarto, 2017 KESIMPULAN
`
Modernisasi makam Karo menyisakan beberapa Geriten adalah bentukan arsitektur Karo wadah
pertanyaan. Ungkapan arsitektural layaknya tulang belulang cawir metua sebagai representasi
deconstruction (gambar 18) menjadi tantangan penghormatan keteladanan nenek moyang dalam
budaya parbegu. Seturut jaman geriten Karo
bagi pengungkapan kecerdasan nusantara (genius
memperoleh re-interpretasi berwujud arsitektur
locus) selanjutnya.
makam Karo yang mampu bercitra identitas ke-
Karo-an yang menarik.
Geriten (selain jambur) merupakan rujukan
modifikasi unsur rancang bangunnya untuk beragam
fungsi arsitektur di masa kini. Hal ini menunjukkan
bahwa geriten mempunyai unsur daya ungkit
pembentuk identitas dalam ungkapan penanda
tempat (landmark) antara lain elastisitas ketinggian
(vertikalitas), ornamentasi, setting, distinctivenenss,
occasion, boundary, orientation, rhythm.
Geriten sebagai salah satu dari kecerdasana
Nusantara merupakan modal kekayaan lokalitas
yang potensial untuk membangun arsitektur berjati
diri.
Gambar 18. Makam Karo Kekinian
Sumber : Koleksi Lindarto, 2018 DAFTAR PUSTAKA
Dari jelajah pembahasan geriten diatas dapat [1] Jencks. C, 1977, The Language Of Post Modern
diungkapkan keterkaitan unsur kebertahanan daya Architecture, Rizzoli, New York.
tarik geriten dengan kreasi kekinian. Berikut tabel [2] Frampton, Kenneth, 2005, Preface dalam Ten Shades
unsur potensial geriten yang digunakan dalam of Green: Architecture and the Natural World eds.
pencapaian fungsinya sebagai penanda tempat atau Buchanan, Peter 1st edition, The architectural league
landmark. Dari tabel tersebut terlihat bahwa unsur of New York).
bentuk dan makna menjadi unsur yang paling [3] Adijanto J, 2011. Local Wisdom Vs Genius Loci Vs
banyak digunakan dalam upaya pencitraan tempat. Cerlang Tara (Kajian Penggunaan Istilah Arsitektural
dan Konsekuensinya) proceeding seminar nasional
The Local Tripod, Universitas Brawijaya
[4] Prijotomo, Josef, 2008, Pasang Surut Arsitektur
Indonesia, Wastu Lanas Grafika, Surabaya
[5] Prijotomo, Josef, 2008, Pasang Surut Arsitektur [22] Rapoport, Amos, 1982, Human Aspect Urban Form,
Indonesia, Wastu Lanas Grafika, Surabaya Van Nostrand Reinhold Company, New York, 1982
[6] Sulistyowati, Murtijas, 2016. Struktur di Arsitektur [23] Sulistyowati, Murtijas, 2016. Struktur di Arsitektur
Nusantara. Proceeding Temu Ilmiah IPLBI 2016 Nusantara. Proceeding Temu Ilmiah IPLBI 2016
Malang Malang
[7] Lindarto, D, 2003, Thesis Jelajah Ruang Arsitektural [24] Nawawiy, M L et al. 2004. Raibnya Para Dewa.
dalam Kisah Dewa Ruci. ITS Surabaya Kajian Arsitektur Karo, Bina Teknik Press, Medan
[8] Adijanto J, 2011. Local Wisdom Vs Genius Loci Vs [25] Norberg-Schulz, Christian, 1984, Genius Loci:
Cerlang Tara (Kajian Penggunaan Istilah Arsitektural Toward a Phenomenology of Architecture, Rizzoli,
dan Konsekuensinya) proceeding seminar nasional New York
The Local Tripod, universitas brawijaya [26] Barker, Chris. 2005. Cultural Studies Teori dan
[9] Hidayatun, I Maria dkk, 2013. Nilai-nilai Praktek. Yogyakarta: Bentang
Kesetempatan dan Kesemestaan dalam Regionalisme [27] Zahnd, Markus, 2006, Perancangan Kota Secara
Arsitektur di Indonesia. Seminar nasional SCAN#4 Terpadu, Penerbit Kanisius, Jogyakarta
.2013 [28] Norberg-Schulz, Christian, 1984, Genius Loci:
[10] Verth. PJ. 1877. Het Landschap Deli op Sumatera. Toward a Phenomenology of Archtecture, Rizzoli,
TNAG Deel II. New York. pp-23
[11] Purba, Parentahen. 2007. Melestarikan Adat [29] Norberg-Schulz, Christian, 1984, Genius Loci:
Nggeluh Kalak Karo. CV RG Pinem Medan Toward a Phenomenology of Architecture, Rizzoli,
[12] Puji L dkk. 2014. Local Wisdom as Alternative of New York, pp-130
Disaster Communication Management in Mount [30] Norberg-Schulz, Christian, 1984, Genius Loci:
Sinabung, Karo Regency, North Sumatera, Toward a Phenomenology of Architecture, Rizzoli,
Indonesia, The Indonesian Journal of New York, pp-12
Communication Studies. [31] Norberg-Schulz, Christian, 1984, Genius Loci:
[13] Nawawiy, ML et al, 2004, Raibnya Para Dewa. Toward a Phenomenology of Place, Rizzoli, New
Kajian Arsitektur Karo, Bina Teknik Press, Medan York, pp-22
[14] Perangin-angin, Maria Ulina, 2006, Rumah Adat Si [32] Lang, Jon, 1987, Creating Architectural Theory, The
Waluh Jabu ; makna dan fungsinya bagi Role of The Behavioral Sciences in Environmental
Masyarakat Karo di Desa Lingga , Kab Karo. Design, Van Nostrand Reinhold Company Inc.
Jurnal Kerabata Vol I Nomor I Maret 2006 [33] Rapaport, A, 1998, House Form and Culture,
[15] Antariksa dkk, 2015, Elemen pembentuk Arsitektur edition 69, Prentice Hall Inc.
Tradisional batak Karo di Kampong Dokan, [34] Norberg-Schulz, Christian, 1984, Genius Loci:
[16] Erdansyah, Fuad . 2011, Simbol dan Pemaknaan Toward a Phenomenology of Place, Rizzoli, New
Gerga pada Rumah Adat Batak Karo di Sumatera York, pp-20-21
Utara Dewa Ruci Jurnal, Vol 7 No. 1 Juli 2011.
Medan
[17] Prijotomo, Josef, 2008, Pasang Surut Arsitektur
Indonesia, Wastu Lanas Grafika, Surabaya
[18] Creswell, J.W. 2008. Research Design: Qualitative,
Quantitative, and Mixed Methods Approaches.
California: Sage Publications, Inc.
[19] Groat, L. & Wang, D. 2002. Architectural Research
Methods. New York: John Wiley & Sons. Inc.
[20] Ricoeur, Paul, 1985, Time and Narative, vol. II terj.
Kathleen McLaughin and David Pellauer,
University of Chicago Press, University of Chicago
Press
[21] Astra, I Gde Semadi . 2010. “Revitalisasi Kearifan
Lokal dalam Memperkokoh Jati Diri Bangsa di Era
Global” dalam I Wayan Ardika dan Darma Putra
(ed). Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik
Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana dan
Balimangsi Press.

Anda mungkin juga menyukai