Anda di halaman 1dari 15

Bandung, 20 Juni 2022

Nomor : ……./SPJH/APSG/VII/2020 Kepada Yth :


Lampiran : ------------------------------ Pemimpin Divisi Task Force
Sifat : Segera Bank BJBS
Perihal : Konstruksi Hukum Jl. Naripan 12-14
Dan Penawaran Jasa Hukum Kota Bandung

Memperhatikan surat Divisi Hukum dalam Surat Kuasa Khusus Direksi bank
bjbs serta dengan adanya permintaan berdasarkan pertemuan antara kami dan Pihak
BJBS selaku Klien pada Tanggal 20 Juni 2022 dengan ini kami sampaikan beberapa hal
sebagai berikut:
A. PENDAHULUAN
Pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan terkait tindak pidana merupakan masalah

yang telah lama ada dalam praktek penegakan hukum di Indonesia. Perkembangan dalam

praktek menuntut para praktisi untuk bersikap lebih hati-hati dalam mengelola benda

sitaan dan barang rampasan mengingat akibat yang timbul dari penyitaan maupun

perampasan dan kaitannya dengan isu perlindungan hak asasi manusia.

Adapun pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan merupakan konsekuensi

penyitaan atas benda/barang yang terkait dengan sutau tindak pidana yang dilakukan oleh

Penyidik.

Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang lebih

dikenal sebagai KUHAP telah memuat aturan mengenai penyitaan dan pengelolaan benda

sitaan, Ketentuan mengenai ketentuan umum penyitaan diatur dalam Bab V Bagian

Keempat Pasal 38-46 KUHAP. Adapun pengelolaan benda sitaan secara khusus diatur di
Pasal 44-46 KUHAP. Pengertian Penyitaan sendiri dijelaskan pada Bab I Pasal 1 angka

16 yang menyatakan:

Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih


dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau
tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan
pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.

Dari pengertian tersebut jelas bahwa penyitaan dilakukan untuk kepentingan pembuktian.

Masalah pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan bermula dari dilakukannya

upaya paksa berupa penyitaan oleh Penyidik. Prinsip dasar dan konstruksi hukum

penyitaan seringkali tidak dipahami secara komprehensif oleh Penyidik, termasuk juga

oleh Penuntut Umum dan Hakim, selain terutama dalam kaitannya dengan upaya

pembuktian suatu perkara tindak pidana di pengadilan. Penyitaan suatu barang bukti

terkait tindak pidana seringkali tidak memperhitungkan dampak yang timbul, padahal

secara hukum jenis benda yang (akan) disita memiliki cara dan konsekuensi yang

berbeda-beda. Dengan kata lain, masalah pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan

tidak selalu karena keterbatasan kemampuan mengelola tetapi dapat terjadi karena

Penyidik tidak memahami kebutuhan penyitaan dan penguasaan barangnya.

Penyitaan barang bukti senantiasa diikuti dengan perampasan barang yaitu penguasaan

atas fisik barang bukti. Di sisi lain, penyitaan barang bukti yang diikuti dengan

penguasaan fisik itu seringkali menimbulkan masalah bagi Penyidik. Di antara masalah

itu antara lain: tempat penyimpanan yang tidak memadai dan keterbatasan kemampuan

memelihara/mengelola barang bukti yang berujung pada rusaknya barang bukti dan

menurunnya nilai barang yang disita. Kerusakan barang bukti yang disita menimbulkan

resiko hukum bagi Penyidik dan negara bila barang dinyatakan oleh Hakim/pengadilan

untuk dikembalikan kepada pemilik/penguasa barang sebelum disita. Sementara di sisi


lain, rusak atau menurunnya nilai barang yang disita akan memperbesar kerugian negara

bila Hakim memutus barang itu dirampas menjadi milik negara.

Perkembangan (aturan) hukum yang kerap terlambat dibanding perkembangan kejahatan

juga menjadi kendala penegakan hukum di bidang pengelolaan benda sitaan.

Berkembangnya kejahatan mengakibatkan berkembang pula jenis barang bukti terkait

tindak pidana. Pada kejahatan pasar modal, kejahatan asuransi, kejahatan dunia maya,

dan lain-lain, penegak hukum dituntut lebih memahami sifat dan karakter barang bukti

kejahatan terutama dalam konteks penyitaan.

Dalam praktek dan perkembangannya aturan tersebut dianggap tidak memadai terlebih

dengan perkembangan kejahatan dan hukum kebendaan itu sendiri. Karena

pengaturannya dianggap tidak memadai dalam mengikuti perkembangan penegakan

hukum, institusi penegak hukum seperti Polri dan Kejaksaan membuat aturan sendiri

dengan alasan efisiensi dan efektifitas tindakan dan pengelolaannya. Sepanjang aturan

tersebut tidak bertentangan dengan KUHAP dan peraturan perudang-undangan terkait

lainnya tentu tidak menjadi masalah. Namun demikian, secara normatif dan praktis

lahirnya peraturan-peraturan tersendiri itu ternyata belum mampu menyelesaikan

masalah pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan.

Untuk melihat sejauh mana pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan menimbulkan

masalah hukum, perlu kita tinjau dengan pendekatan ilmiah pengaturan dasar yang ada

dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Dengan cara ini diharapkan dapat

memperjelas apakah peraturan perundang-undangan yang ada tidak lagi memadai


sehingga perlu dibuat aturan baru, atau sekedar permasalahan teknis yang hanya

memerlukan pengaturan menyangkut administrasi pengelolaannya saja. Lebih dari itu

juga perlu ditinjau makna benda sitaan dan barang rampasan dalam sistem hukum kita

untuk mendudukkan permasalahan secara proporsional.

B. IDENTIFIKASI MASALAH & LEGAL OPINION


1. PENYITAAN

Sebagaimana disebutkan oleh Pasal 1 angka 16 KUHAP bahwa penyitaan adalah

Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau
menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak,

berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,

penuntutan, dan peradilan. KUHAP mengatur kewenangan Penyitaan pada Bab V

Bagian Keempat Pasal 38- 46. Berdasarkan Pasal 36-48, beberapa prinsip utama

penyitaan adalah:

a. Penyitaan harus dengan ijin Ketua Pengadilan, kecuali dalam keadaan sangat

perlu dan mendesak, keadaan mana penyitaan hanya dapat dilakukan atas benda

bergerak (Ps. 38).

b. Objek penyitaan diatur secara limitatif dalam Pasal 39, meski bunyi pasal tersebut

masih menimbulkan perdebatan dan pertanyaan dalam praktek.

c. Penyitaan juga dapat dilakukan dalam hal tertangkap tangan (Ps. 40).

d. Dalam hal tertangkap tangan, Penyidik berwenang menyita paket atau surat atau

benda yang ditujukan atau berasal dari Tersangka (ps. 41).

e. Penyidik berwenang memerintahkan orang yang menguasai benda untuk

menyerahkan benda yang di bawah kekuasaannya itu (Ps. 42).

f. Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara dan

tanggungjawabnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai tingkat pemeriksaan

dalam proses peradilan (Ps. 44).

g. Benda sitaan yang mudah rusak dan membahayakan, sejauh mungkin dengan

persetujuan Tersangka dapat dijual lelang atau diamankan dan (uang) hasil lelang

itu dapat dijadikan barang bukti, dengan sedapat mungkin sebagian kecil dari

benda itu disisihkan guna kepentingan pembuktian (Ps. 44 ayat (1-)).

h. Benda sitaan yang bersifat terlarang dirampas bagi kepentingan negara atau

dimusnahkan.
Dari pengertian yang diatur Pasal 1 angka 16 tersebut, penyitaan memiliki dua bentuk

perbuatan yaitu mengambil alih dan menyimpan di bawah penguasaan. Perbuatan

mengambil alih harus dimaknai berbeda dengan perbuatan menyimpan di bawah

penguasaan semata-mata karena undang-undang menyatakan demikian. Apabila

perbuatan menyimpan di bawah penguasaan termaktub dalam makna perbuatan

mengambil alih, semestinya pembuat undang-undang tidak akan mencantumkan

perbuatan di bawah penguasaan secara tersendiri.

Perbuatan mengambil alih harus dimaknai sebagai suatu perbuatan hukum sedangkan

perbuatan menyimpan di bawah penguasaan harus dimaknai sebagai sebuah perbuatan

materil/fisik. Perbuatan mengambil alih juga harus dimaknai sebagai mengambil alih

dari pemilik benda, sedangkan perbuatan menyimpan di bawah penguasaan harus

dimaknai sebagai perbuatan merampas dari pemilik maupun bukan pemilik benda

melainkan juga orang yang menguasai benda tersebut. hal ini sejalan dengan prinsip

penyitaan yang tidak harus menyita dari seorang pemilik benda tapi juga dari seorang

penguasa benda yang bukan pemilik Dengan pemaknaan ini, mengambil alih dapat

diterjemahkan sebagai perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemilik benda yang

disita kehilangan kekuasaan hukum atas benda yang dimilikinya, sedangkan

mengambil alih tidak harus disertai dengan merampas benda tersebut.

Perbuatan menyimpan di bawah penguasaannya harus dimaknai sebagai perbuatan

merampas benda tersebut dari tangan pemilik atau orang yang menguasainya.

Perbuatan menyimpan di bawah penguasaan mengakibatkan orang yang menguasai

benda itu kehilangan kekuasaan fisik atas benda itu.


Berdasarkan pemaknaan atas perbuatan mengambil alih dan perbuatan menyimpan di

bawah penguasaan, dapat disimpulkan bahwa penyitaan berupa perbuatan mengambil

alih tidak harus diikuti dengan penguasaan fisik/merampas benda, dan penyitaan

berupa perbuatan menyimpan di bawah penguasaan pun tidak harus diikuti pengambil

alihan benda tersebut. Sebagai contoh, penyitaan berupa mengambil alih benda yang

(dapat) tidak diikuti dengan penguasaan (fisik)nya adalah terhadap benda berupa

saham dan kapal. Penyitaan berupa penyimpanan barang dalam penguasaan yang

tidak (perlu) diikuti pengambilalihan adalah benda yang bukan milik pelaku kejahatan

seperti kendaraan bermotor roda dua.

Sehubungan untuk kepentingan pembuktian yang menjadi tujuan penyitaan, Penyidik

juga harus memahami konsep kepemilikan sebuah benda. Ada benda-benda yang

kepemilikannya ditandai dengan surat atau bukti administrasi tertentu sehingga

Penyidik harus mengambil alih bukti kepemilikan tersebut, dan ada benda-benda yang

kepemilikannya ditandai dengan penguasaan fisik benda tersebut. Lebih dari itu,

Penyidik juga harus mempertimbangkan bahwa sehubungan dengan kepentingan

pembuktian apakah bukti administrasi kepemilikan suatu benda termasuk yang harus

disita sementara pemilik benda tidak ada hubungan dengan kejahatan yang akan

dibuktikan.

Dalam hal pemilik suatu benda terkait dengan tindak pidana yang akan dibuktikan,

bukti administrasi kepemeilikan suatu benda harus dirampas di bawah penguasaannya

dan diambil alih kekuasaan hukumnya sehingga pemilik tidak dapat memindahkan

kepemilikannya. Hal yang erakhir ini erat kaitannya dengan objek penyitaan

sebagaimana diatur Pasal 39 ayat (1) KUHAP:


(1) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:

a. Benda atau tagihan Tersangka atau Terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga
diperoleh dari tindak pidana aau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana
atau untuk mempersiapkannya;
c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d. Benda-benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan indak pidana yang
dilakukan.

Sebagai catatan, dalam praktek seringkali terjadi penyitaan yang tidak sesuai aturan

KUHAP. Pada beberapa kasus, Penyidik menyita benda-benda yang tidak ada

kaitannya dengan tindak pidana yang sedang disidik berdasarkan Surat Perintah

Penyidikan yang menjadi dasar penugasannya padahal pada saat akan melakukan

penggeledahan, Penyidik sepatutnya dapat menginventarisasi benda apa yang

dicarinya dan benda-benda apa yang diperkirakan ada kaitan dengan tindak pidana

yang sidang disidiknya. Hal ini penting untuk menghindarkan masyarakat/publik

bahkan seorang pelaku kejahatan dari penyalahgunaan kewenangan penegak hukum

yang amat luas itu.

2. Pengelolaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan menurut KUHAP

Benda sitaan dan barang rampasan adalah objek dua perbuatan hukum yang

berbeda. Objeknya sama namun berasal dari perbuatan hukum yang berbeda. Benda

sitaan adalah benda-benda yang diambil alih kekuasaan hukumnya atau dirampas

penguasaan fisiknya, sedangkan barang rampasan adalah benda-benda yang oleh


putusan pengadilan dinyatakan dirampas untuk negara maupun untuk kepentingan

pembuktian perkara lain.

Pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan telah diatur secara tegas dan jelas di

Pasal 44 dan 45 serta 46 KUHAP. Ketentuan Pasal 44 dan 45 mengatur secara khusus

benda sitaan sejak disita sampai dengan lahirnya putusan pengadilan, sedangkan Pasal

46 mengatur secara khusus benda sitaan pasca lahirnya putusan pengadilan baik yang

berstatus dirampas maupun berstatus lain.

Pasal44KUHAPmenyatakan:

(1) Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara.

(2) Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan

tanggungjawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat

pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda ersebut dilarang untuk dipergunakan

oleh siapapun juga.

Penjelasan Pasal 44 menyatakan:

(1) Selama belum ada rumah penyimpanan benda sitaan negara di tempat yang

bersangkutan, penyimpanan benda sitaan tersebut dapat dilakukan di kantor kepolisian

negara Republik Indonesia, di kantor kejaksaan negeri, di kanor pengadilan negeri, di

gedung bank pemerintah dan dalam keadaan memaksa di tempa penyyimpanan lain

atau tetap di tempat semula benda itu disita.

Dari Pasal 44 ayat (1) jelas terdapat norma bahwa benda sitaan harus disimpan di

rumah penyimpanan benda sitaan negara atau yang menurut PP Nomor 27 tahun 1983

tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana saat ini dikenal
sebagai Rumah Penyimpanan Benda Sitaan (RUPBASAN). Sebagai undang-undang

yang mengatur hukum acara pidana, norma yang terdapat di dalamnya adalah norma

pengaturan yang mengikat dan karenanya harus diikuti. Apa yang diatur dalam suatu

hukum acara adalah tatacara yang diakui. Sebaliknya, hal-hal yang tidak diatur dalam

hukum acara bukanlah hal yang diakui/diperbolehkan. Norma harus diatur dalam

batang tubuh suatu undang-undang dan tidak boleh diatur dalam bagian penjelasan.

Sebagaimana kedudukannya, bagian penjelasan haruslah merupakan penjabaran dari

batang tubuh undang-undang. Bagian penjelasan juga tidak boleh memuat norma.

Meski benda sitaan disimpan di RUPBASAN, Pejabat yang bertanggungjawab secara

hukum atas benda sitaan adalah pejabat sesuai tingka pemeriksaan perkara. Hal ini

sama halnya dengan penahanan dimana seorang Tersangka pelaku kejahatan yang

ditahan diserahkan (fisiknya) ke rumah tahanan sedangkan tanggungjawab hukumnya

tetap ada pada pejabat yang menahannya berdasarkan tingkatan proses hukum yang

sedang berjalan.

Penjelasan Pasal 44 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam hal belum ada

RUPBASAN di tempat yang bersangkutan penyimpanan benda sitaan dapat dilakukan

di... dst adalah berdasarkan kenyataan bahwa pada saat diberlakukannya KUHAP

belum terdapat RUPBASAN di banyak tempat hal mana sampai dengan saat ini pun

masih demikian adanya. Oleh karena itu pembentuk undang-undang memberikan

catatan dalam penjelasan bahwa dalam hal belum terdapat RUPBASAN penyimpanan

benda sitaan dapat dilakukan di tempat selain RUPBASAN. Kata dapat disitu pun

bukan merupakan norma karena tidak bersifat mengikat sebagaimana sebuah norma.

Dengan kata lain, KUHAP mengamanakan agar dibentuk/didirikan RUPBASAN di

tempat-tempat mana seharusnya ada.


Berdasarkan catatan pembentukan undang-undang, ditemukan fakta bahwa terdapat

alasan tertentu dicantumkannya tempat penyimpanan benda sitaan selain RUPBASAN

adalah berdasarkan alasan bahwa tempat-tempat tersebut (kantor polisi, kejaksaan,

pengadilan negeri, bank pemerintah) adalah tempat-tempat yang relatif telah ada dan

tersebar di wilayah Indonesia. Bahkan dalam keadaan tertentu, benda yang disita

dapat dibiarkan saja tetap berada di tempat benda itu berada saat disita. Dengan kata

lain, berdasarkan alasan tertentu benda yang disita tidak selalu harus diikuti dengan

penguasaan atas fisik benda tersebut.

KUHAP juga mengatur prinsip pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan di

Pasal 45 dan 46. Pasal 45 menyatakan:

(1) Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau

membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan

terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika

biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin

dengan persetujuan Tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut:

a. Apabila perkara masih ada di tangan penyidik atau penuntut umum, benda

tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut

umuum, dengan disaksikan oleh Tersangka atau kuasanya;

b. Apabila perkara sudah di tangan pengadilan, maka benda tersebut dapat

diamankan atau dijual lelang oleh penuntut umum atas ijin hakim yang

menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh Terdakwa atau kuasanya;


(2) Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai

barang bukti;

(3) Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil dari

beda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);

(4) Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi

kepentingan negara atau untuk dimusnahkan.

Penjelasan Pasal 45 menyatakan:

1. Yang dimaksud dengan benda yang dapat diamankan anara lain ialah benda

benda yang mudah terbakar, mudah meledak, yang untuk itu harus dijaga serta

diberi anda khusus atau benda yang dapa membahayakan kesehatan orang dan

lingkungan. Pelaksanaan lelang dilakukan oleh kantor lelang negara setelah

diadakan konsultasi dengan pihak penyidik atau penuntut umum setempat atau

hakim yang bersangkutan sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses

peradilan dan lembaga yang ahli dalam menentukan sifat benda yang mudah

rusak dan

2. Benda untuk pembuktian yang menurutt sifatnya lekas rusak dapat dijual lelang

dan uang hasil pelelangan dipakai sebagai ganti untuk diajukan di sidang

pengadilan sendangkan sebagian kecil dari benda itu disisihkan untuk dijadikan

barang bukti.

3. Yang dimaksud dengan benda yang dirampas untuk negara ialah benda yang

harus diserahkan kepada departemen yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (1), ada 3 jenis benda yang dapat dilelang

demi efektifitas pengelolaannya:

1. Benda yang dapat lekas rusak.

2. Benda yang membahayakan.

3. Benda yang biaya penyimpanannya terlalu tinggi.

Penjelasan Pasal 45 memperjelas kriteria benda yang lekas rusak dan membahayakan

namun tidak memberikan ukuran biaya penyimpanan yang terlalu tinggi, maka dalam

konteks ini harus dikaitkan dengan kemampuan anggaran yang ada pada RUPBASAN

sebagai institusi yang diamanatkan menyimpan benda sitaan.

Mengenai barang rampasan, Pasal 46 ayat (2) menyatakan:

(2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan

dikembalikan kepada orang atau keapda mereka yang disebut dalam putusan tersebut,

kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk

dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai idak dapat dipergunakan laggi atau jika

benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.

Dalam praktek, pelaksanaan pengelolaan ini ternyata tidak mudah dilaksanakan

karena berbagai alasan termasuk dan terutama untuk mendapatkan ijin dari

Tersangka/Terdakwa terlebih apabila menyangkut benda-benda tertentu yang bagi

Tersangka/Terdakwa dianggap memiliki nilai tinggi/tertentu. Untuk kebutuhan

praktek ini, perlu dipertimbangkan untuk mengubah peraturan perundang-undangan

yang ada dan melakukan perbandingan dengan negara lain.


C. RISIKO YANG DIHADAPI BANK BJBS
Bahwa berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 18/POJK.03/2016
tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, menurut hemat kami
terdapat 4 (empat) risiko perbankan yang dihadapi bank bjb dalam perkara a quo
yaitu :
1). Risiko hukum : Risiko akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek
yuridis
2). Risiko reputasi : Risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan pemangku
kepentingan (stakeholder) yang bersumber dari persepsi
negatif terhadap Bank
3). Risiko operasional : Risiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya
proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem,
dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang
mempengaruhi operasional Bank
4). Risiko stratejik : Risiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan
dan/atau
pelaksanaan suatu keputusan stratejik serta kegagalan
dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis

D. KESIMPULAN
Berdasarkan paparan di atas mengenai penyitaan dan rampasan baik dalam tahap
penyelidikan , penyidikan dan penuntutan berstatus belum penuh karena masih
adanya kepentingan negara berupa kepastian hukum dan keadilan demi
menghormati landasan Negara Hukum, oleh sebab itu menurut hemat kami terlalu
beresiko untuk segera membuka blokir/mengalihkan objek sitaan yang ada dalam
penguasaan penyidik mengingat harus adanya azas kehati-hatian dari pihak
Perbankan dalam menjalakan kegiatan usaha.
Demikian singkatnya paparan kami dalam permintaan untuk pertimbangan hukum
klien dalam mengambil keputusan, singkat kata kami ucapkan banyak terima kasih
Hormat kami,
Firma Hukum APSG & Partners

(Arya Pradiptha Kusumah, SH)

Anda mungkin juga menyukai