Anda di halaman 1dari 71

BAB II

LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS

2.1. Deskripsi Teori Perilaku Sosial

Teori perilaku social menurut Sarlito (Sarwono Sarlito,2009:28) dibagi


menjadi tiga yaitu :

2.1.1. Perilaku sosial (social behavior)

Yang dimaksud perilaku sosial adalah perilaku ini


tumbuh dari orang-orang yang ada pada masa kecilnya
mendapatkan cukup kepuasan akan kebutuhan inklusinya. Ia
tidak mempunyai masalah dalam hubungan antar pribadi
mereka bersama orang lain pada situasi dan kondisinya. Iabisa
sangat berpartisipasi, tetapi bisa juga tidak ikut- ikutan, ia bisa
melibatkan diri pada orang lain, bisa juga tidak, secara tidak
disadari ia merasa dirinya berharga dan bahwa orang lain pun
mengerti akan hal itu tanpa ia menonjolkan-nonjolkan diri.
Dengan sendirinya orang lain akan melibatkan dia dalam
aktifitas-aktifitas mereka.

2.1.2. Perilaku yang kurang sosial (under social behavior)

Timbul jika kebutuhan akan inklusi kurang terpenuhi,


misalnya: sering tidak diacuhkan oleh keluarga semasa
kecilnya. Kecenderungannya orang ini akan menghindari
hubungan orang lain, tidak mau ikut dalam kelompok-
kelompok, menjaga jarak antara dirinya dengan orang lain,
tidak mau tahu, acuh tak acuh. Pendek kata, ada
kecenderungan introvert dan menarik diri. Bentuk tingkah
laku yang lebih ringan adalah: terlambat dalam pertemuan
atau tidak datang sama sekali, atau tertidur di ruang diskusi

1
dan sebagainya. Kecemasan yang ada dalam ketidak
sadarannya adalah bahwa ia seorang yang tidak berharga
dan tidak ada orang lain yang mau menghargainya.

2.1.3. Perilaku terlalu sosial (over social behavior).

Psikodinamikanya sama dengan perilaku kurang sosial,


yaitu disebabkan kurang inklusi. Tetapi pernyataan
perilakunya sangat berlawanan. Orang yang terlalu sosial
cenderung memamerkan diri berlebih-lebihan (exhibitonistik).
Bicaranya keras, selalu menarik perhatian orang, memaksakan
dirinya untuk diterima dalam kelompok, sering menyebutkan
namanya sendiri, suka mengajukan pertanyaan- pertanyaan
yang mengagetkan.
Sebagai makhluk sosial, seorang individu sejak lahir
hingga sepanjang hayatnya senantiasa berhubungan dengan
individu lainnya atau dengan kata lain melakukan relasi
interpersonal. Dalam relasi interpersonal itu ditandai dengan
berbagai aktivitas tertentu, baik aktivitas yang dihasilkan
berdasarkan naluriah semata atau justru melalui proses
pembelajaran tertentu. Berbagai aktivitas individu dalam
relasi interpersonal ini biasa disebut perilaku sosial.
Seseorang agar bisa memenuhi tuntutan sosial maka perlu
adanya pengalaman sosial yang menjadi dasar pergaulan.

a) Pentingnya pengalaman sosial

Banyak peristiwa atau pengalaman sosial yang


dialami pada masa anak-anak. Beberapa pandangan
pengalaman (Hurlock, 2003: 156)

b) Pengalaman yang menyenangkan

Pengalaman yang menyenangkan mendorong

2
anak untuk mencari pengalaman semacam itu
lagi.

c) Pengalaman yang tidak menyenangkan

Pengalaman yang tidak menyenangkan dapat


menimbulkan sikap yang tidak sehat terhadap
pengalaman sosial dan terhadap orang lain.
Pengalaman yang tidak menyenangkan
mendorong anak menjadi tidak sosial atau anti
sosial.

d) Pengalaman dari dalam rumah (keluarga)

Jika lingkungan rumah secara keseluruhan


memupuk perkembangan sikap sosial yang baik,
kemungkinan besar anakakan menjadi pribadi
yang sosial atau sebaliknya.

e) Pengalaman dari luar rumah

Pengalaman sosial awal anak di luar rumah


melengkapi pengalaman di dalam rumah dan
merupakan penentu penting bagi sikap sosial dan
pola perilaku anak. Berdasarkan pemahaman
diatas, pengalaman sosial pada masa anak-anak
baik itu yang menyenangkan, tidak
menyenangkan, diperoleh dari dalam rumah atau
dari luar rumah adalah sangat penting.

2.1.4. Mulainya perilaku sosial

Perilaku sosial dimulai pada masa bayi bulan


ketiga. (Hurlock, 2004: 259) Karena pada waktu lahir,

3
bayi tidak suka bergaul dengan orang lain. Selama
kebutuhan fisik mereka terpenuhi, maka mereka tidak
mempunyai minat terhadap orang lain. Sedangkan pada
masa usia bulan ketiga bayi sudah dapat membedakan
antara manusia dan benda di lingkungannya dan mereka
akan bereaksi secara berbeda terhadap keduanya.
Penglihatan dan pendengaran cukup berkembang
sehingga memungkinkan mereka untuk menatap orang
atau benda juga dapat mengenal suara. Perilaku sosial
pada masa bayi merupakan dasar bagi perkembangan
perilaku sosial. Krech et. al. (Krech et.al.1962 :104-106)
mengungkapkan bahwa untuk memahami perilaku sosial
individu, dapat dilihat dari kecenderungan- kecenderungan
ciri-ciri respon interpersonalnya, yang terdiri dari :

a) Kecenderungan Peranan (Role Disposition);


yaitu kecenderungan yang mengacu kepada
tugas, kewajiban dan posisi yang dimiliki
seorang individu,
b) Kecenderungan Sosiometrik (Sociometric Disposition);
yaitu
kecenderungan yang bertautan dengan
kesukaan, kepercayaan terhadap individu lain,
dan
c) Ekspressi (Expression Disposition), yaitu
kecenderungan yang bertautan dengan ekpresi
diri dengan menampilkan kebiasaaan-
kebiasaan khas (particular fashion).

Lebih jauh diuraikan pula bahwa dalam


kecenderungan peranan (Role Disposition) terdapat pula

4
empat kecenderungan yang bipolar, yaitu:
1) Ascendance-Social Timidity,

Ascendance yaitu kecenderungan


menampilkan keyakinan diri, dengan arah
berlawanannya social timidity yaitu takut dan
malu bila bergaul dengan orang lain, terutama
yang belum dikenal.

2) Dominace-Submissive

Dominace yaitu kecenderungan untuk


menguasai orang lain, dengan arah
berlawanannya kecenderungan submissive,
yaitu mudah menyerah dan tunduk pada
perlakuan orang lain.

3) Social Initiative-Social Passivity


social initiative yaitu kecenderungan untuk
memimpin orang lain, dengan arah yang
berlawanannya social passivity yaitu
kecenderungan pasif dan tak acuh.

4) Independent-Depence

Independent yaitu untuk bebas dari pengaruh


orang lain,dengan arah berlawanannya.

5) dependence yaitu kecenderungan untuk


bergantung pada orang lain.

Dengan demikian, perilaku sosial individu dilihat dari


kecenderungan peranan (role disposition) dapat
dikatakan memadai, manakala menunjukkan ciri-ciri
respons interpersonal sebagai berikut:

5
I. Yakin akan kemampuannya dalam bergaul secara
sosial;

II. Memiliki pengaruh yang kuat terhadap teman


sebaya;

III. Mampu memimpin teman-teman dalam kelompok;


dan

IV. Tidak mudah terpengaruh orang lain dalam bergaul.


Sebaliknya, perilaku sosial individu dikatakan
kurang atau tidak memadai manakala menunjukkan
ciri-ciri respons interpersonal sebagai berikut :

a) kurang mampu bergaul secara sosial

b) mudah menyerah dan tunduk pada perlakuan


orang lain

c) pasif dalam mengelola kelompok; dan

d) tergantung kepada orang lain bila akan


melakukan suatu tindakan.

Kecenderungan-kecenderungan tersebut
merupakan hasil dan pengaruh dari faktor
konstitutisional, pertumbuhan dan perkembangan
individu dalam lingkungan sosial tertentu dan
pengalaman kegagalan dan keberhasilan berperilaku
pada masa lampau.

2.2. Konsep Perilaku Sosial


2.2.1. Pengertian Perilaku

Sebelum penulis menjelaskan mengenai perilaku


sosial lebih lanjut, maka penulis akan menjelaskan
terlebih dahulu mengenai definisi atau pengertian dari

6
perilaku dan sosial. Perilaku sosial menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2001:859) yaitu “Tanggapan atau
reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan”.
Tanggapan atau reaksi individu bisa menjadi pola-pola
perilaku itu dapat dibentuk melalui proses pembiasaan
dan pengukuhan (Reinforcemen) dengan
mengkondisikan stimulus (Conditioning) dalam
lingkungan (Environmentalistik). Perilaku tidak semuanya
dapat diamati secara objektif atau secara indrawi oleh
mata, akan tetapi perilaku juga bisa diamati dari perilaku
yang tidak senyatannya atau bukan dari indrawi
penglihatan saja (Covert Behaviour).
Sedangkan menurut pendapat Haricahyono (1989:73)
membagi perilaku itu menjadi 2 bagian diantarannya:
Perilaku manusia terdiri dari perilaku-perilaku yang
tampak oleh mata (Over Behaviour, seperti bekerja
menangis dan sebagainnya) dan perilaku perilaku yang
tidak tampak oleh mata (Covert Behaviour, seperti
berfikir, perasaan emosi, kebutuhan, kebahagiaan, sikap,
dan sebagainnya). Menurut Allport (dalam Gunawan
2001:19) manyatakan bahwa “Tingkah laku merupakan
organisasi dinamis dari sistem psikofisik seseorang yang
menentukannya dalam mengadakan penyesuaian
terhadap lingkungan yang khas”, Sedangkan menurut
Walgito (2004:15) mengatakan “Perilaku manusia tidak
lepas dari keadaan individu itu sendiri dan lingkungan
dimana individu itu berada”.
Lebih lanjut perilaku menurut Walgito (2004:12),
“Perilaku manusia dapat dibedakan antara perilaku
refleksif dan perilaku non refleksif. Perilaku refleksif

7
merupakan perilaku yang terjadi atas reaksi secara
spontan terhadap stimulus yang mengenai organisme
tersebut, sedangkan perilaku non refleksif adalah perilaku
yang diatur oleh pusat kesadaran atau otak”. Tokoh lain
pun yaitu Skinner (dalam Anggriani, 2005: 4)
mengemukakan bahwa perilaku dibagi menjadi 2 bagian
yaitu: Perilaku dibedakan menjadi perilaku yang alami
(Innate Behaviour) dan perilaku operan (Operant
Behaviour). Perilaku yang alami adalah perilaku yang
dibawa sejak lahir, yang berupa repleks dan insting,
sedangkan perilaku operan adalah perilaku yang
dibentuk melalui proses belajar.
Perilaku operan merupakan perilaku yang
dibentuk, dipelajari dan dapat dikendalikan, oleh karena
itu dapat berubah melalui proses belajar. Maka dari itu
setiap individu mempunyai perilaku yang bisa kita amati
secara indra penglihatan maupun tidak secara nyata, dan
perilaku bisa berubah melalui proses belajar selama
individu berinteraksi dengan orang lain dalam hidupnya.
Untuk contoh dari perilaku alami dan perilaku operan.
Perilaku alami contohnya orang akan mengedipkan mata
saat matannya terkena debu, sedangkan perilaku operan
contohnya wanita akan terus berdandan ketika dia
mendapat pujian dari orang lain bahwa dia cantik.

2.2.2. Pengertian Sosial

Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial,


dimana manusia sangat mebutuhkan orang lain tidak bisa
hidup sendiri. Manusia butuh orang lain untuk
berkomunikasi, butuh orang lain untuk dapat meyelesaikan

8
pekerjaan atau masalahnya yang tidak bisa ia selesaikan
dengan sendirinya. Bahkan hal sekecil apapun seperti kita
butuh orang yang bisa mencukur rambut kita, membutuhkan
orang yang bisa memperbaiki laptop kita saat rusak dan
sebagainya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:
1085) menyatakan bahwa “Sosial itu berkenaan dengan
masyarakat yang adannya komunikasi dan suka
memperhatikan kepentingan umum”. Sedangkan menurut
Gerungan (1978: 28) bahwa “Pada hakikatnya manusia
adalah makhluk sosial”.
Manusia harus bisa hidup bersama dengan individu
lain, sehingga terjadi situasi sosial. Lebih lanjut dikatakan
Gerungan (1978: 77) “Situasi sosial diartikan sebagai tiap -
tiap situasidi mana terdapat saling hubungan antara manusia
yang satu dengan manusia yang lain. Sosial dapat diartikan
sebagai hubungan manusia yang saling membutuhkan
dengan dengan orang lain dan terkadang memunculkan rasa
empati, mengasihi, sehinga ada rasa untuk saling bergotong
royong dan tolong menolong dalam kehidupan bersosial.
Selain itu sosial tentunya membahas bagaimana hubungan
individu dengan individu, individu dengan kelompok,
kelompok dengan individu, kelompok dengan kelompok yang
ada dimasyarakat.

2.2.3. Pengertian Perilaku Sosial

Pada dasarnya setiap individu akan menampilkan


perilakunya masing-masing dan tentu akan berbeda jika
kita melihat individu lain dalam berperilaku dimasyarakat.
Perilaku yang dibawa oleh setiap individu akan saling
mempengaruhi perilaku orang lain akibat dari respon yang

9
ia terima. Perilaku ini akan muncul saat salah satu individu
berinteraksi dengan orang lain. Penulis akan membahas
dan menjelaskan perilaku sosial, menurut Sarwono
(2012:11) menyatakan bahwa Psikologi seperti yang
telah diketahui, adalah ilmu tentang perilaku, sedangkan
sosial disini berarti interaksi antar individu atau antar
kelompok dalam masyarakat.
Setiap individu ketika berinteraksi dengan orang
lain atau masyarakat tentunya akan memunculkan suatu
perilaku yang dapat dipahami, karena mempunyai makna
dari perilaku tersebut secara sosial. Hal ini juga
diungkapkan menurut Ahmadi (dalam Nina 2012: 10)
yaitu “Psikologi Sosial merupakan kajian mengenai
perilaku antar pribadi manusia. Objek yang dibahas
secara garis besar dalam psikologi sosial adalah manusia
dan perilaku sosialnya atau gejala- gejala sosial”. Tokoh
lain pun juga memberikan pendapatnya menurut

10
David (dalam Nina 2012: 12) bahwa: Psikologi sosial
adalah ilmu yang berusaha secara sistematis untuk
memahami perilaku sosial, mengenai: (a). bagaimana
kita mengamati orang lain dan situasi sosial; (b).
bagaimana orang lain bereaksi terhadap kita; (c).
bagaimana kita dipengaruhi oleh situasi sosial.

2.2.4. Bentuk Perilaku Sosial

Klasifikasi mengenai perilaku sosial atau tindakan


sosial menurutMax Weber (dalam Narwoko dan Suyanto,
2011: 19) adalah sebagai berikut:

a. Rasionalitas Instrumental
Disini tindakan sosial yang dilakukan seseorang
didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar
yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu
dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk
mencapainya. Max Weber (dalam Narwoko dan
Suyanto, 2011, :19) Rasional instrumental
adalah tindakan sosial yang dilaksanakan
dengan pertimbangan tertentu antara usaha,
manfaat dan tujuan yang ingin didapat oleh
orang tersebut. Contohnya seorang guru
bertujuan ingin mengetahui seberapa paham
kemampuan siswa dalam belajar sosiologi dari apa
yangtelah diajarkan olehnya maka guru tersebut
melakukannya dengan cara membuat alat tes
sebagai alat ukur.
b. Rasionalitas Nilai

11
Sifat rasional tindakan jenis ini adalah bahwa
alat-alat yang ada hanya merupakan
pertimbangan dan perhitungan yang sadar,
sementara tujuan-tujuannya sudah ada di dalam
hubungannya dengan nilai-nilai individu yang
bersifat absolut. Max Weber (dalam Narwoko
dan Suyanto, 2011:19) Tindakan rasionalitas
yang berorientasi nilai contohnya seorang
pemuda memberikan tempat duduknya kepada

12
seorang nenek karena ia memiliki keyakinan
bahwa anak muda harus hormat kepada orang
tua, atau contoh lain seorang mahasiswa yang
mau berteman dengan teman sekelasnya
sendiri walaupun temannya berasal dari luar
pulau atau suku dari daerah lain tanpa
membeda- bedakannya.
c. Tindakan Tradisional
Dalam tindakan jenis ini, seseorang
memperlihatkan perilaku tertentu karena
kebiasaan yang diperoleh dari nenek moyang,
tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan.
Max Weber (dalam Narwoko dan Suyanto,
2011:19). Jadi, tindakan tradisional berdasarkan
suatu nilai yang hanya mengikut pada tradisi
yang dilakukan dan hanya berdasarkan oleh
para pendahulunya saja, tidak tahu apa maksud
dan tujuan dari kegiatan tersebut. Tindakan ini
bahkan tidak rasional untuk dilaksanakan.

2.3. Pol
itik
Lo
kal
2.3.1. Politik

Secara etimologis, politik berasal dari bahasa


Yunani, polis. Politik sering diartikan sebagai Negara
Kota (city state). Kata polis memiliki banyak derivasi,
seperti “polities” (warga negara) yang dalam bahasa Inggris
disebut citizen dan “politicos” yang berarti

13
kewarganegaraan (civic). Politik merupakan seni
mengatur kolektivitas, yang terdiri atas beragam individu
berbeda melalui serangkaian undang-undang yang
disepakati bersama.
Pengertian politik di atas memiliki relevansi dengan
konsep politik lokal (local Politics). Relevansi tersebut tak
lain adalah interaksi sosial dalam ruang tertentu. Politik
lahir berawal dari interaksi sosial dalam sebuah ruang,
yang kemudian melahirkan lembaga politik seperti
negara dan berbagai institusinya. Dinamika politik
lokal di

14
Indonesia selalu berubah sepanjang waktu. Pada era
sebelum kemerdekaan, politik lokal di Nusantara
menunjukkan potret buram karena penguasa memperoleh
kekuasaan dalam kerangka hukum adat yang totaliter.
Akibatnya sebagian masyarakat yang totaliter.
Akibatnya sebagian besar lapisan masyarakat hanya
diakui sebagai hamba (bukan warga) yang tidak pernah
menjadi subjek pembangunan semasa itu. Masyarakat
dijadikan objek dari kehidupan politik yang tidak berpihak
kepada mereka. Pemerintahan daerah merupakan
pelaksana fungsi pemerintahan di daerah yang dilakukan
oleh dua lembaga pemerintahan daerah yaitu,
pemerintah daerah dan DPRD. Hubungan antara
pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan
kerja yang kedudukan setara dan bersifat kemitraan.
Kedudukan yang setara bermakna bahwa di antara
lembaga pemerintahan daerah memiliki kedudukan yang
sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi.
Hal ini tercermin dalam membuat kebijakan daerah
bahwa pemerintah daerah dan DPRD adalah mitra kerja
untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan
fungsi masing- masing. Sehingga antara kedua lembaga
itu membangun kerja samayang sifatnya saling mendukung
bukan merupakan lawan ataupun pesaing satu sama lain.
Proses peralihan dari sistem dekonsetrasi ke sistem
desentralisasi disebut pemerintah daerah dengan
otonomi. Otonomi adalah penyerahan urusan
pemerintahan kepada pemerintah daerah yang bersifat

15
operasional dalam rangka sistem birokrasi pemerintahan.
Tujuan otonomi adalah mencapai efektivitas dan efisiensi
dalam pelayanan kepada masyarakat. Desentralisasi
yang tujuannya untuk pengembangan daerah secara
mandiri justru lebih didominasi oleh pertarungan elite
politik maupun elite birokrasi.
Monopoli kekuasaan di daerah-daerah tertentu juga
menambah
catatan hitam desentralisasi di Indonesia. Akibatnya
desentralisasi

16
justru menjadi identik dengan oligarki pada tatanan lokal.
Selain itu, adanya desentralisasi oleh para elite politik
justru menjadi Otonomi daerah adalah kewenangan
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi
masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Otonomi adalah penyerahan urusan
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang bersifat
operasional. Tujuan otonomi adalah mencapai efisiensi dan
efektivitas dalam pelayanan kepada masyarakat.
Tujuan yang hendak dicapai dalam penyerahan
urusan ini adalah antara lain: menumbuh kembangkan
daerah dalam berbagai bidang, meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat, menumbuhkan kemandirian daerah,
dan meningkatkan daya saing daerah dalam proses
pertumbuhan. Desentralisasi adalah pendelegasian
wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan
kepada orang-orang pada level bawah pada suatu
organisasi. Pada sistem pemerintahan yang terbaru tidak
lagi menerapkan sistem pemerintahan sentralisasi,
melainkan sistem otonomi daerah atau otda yang
memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk
mengambil kebijakan.
Studi-studi sebelumnya mengungkapkan wacana
pemekaran muncul kepermukaan yang juga menjadi
alasan utama mengapa sebuah daerah ingin untuk
melakukan pemekaran daerah, yaitu:
1) Kebutuhan untuk pemerataan ekonomi daerah

17
Menurut data IRDA (Indonesia Rapid
Desentralization Appriasal), kebutuhan untuk
pemerataan ekonomi menjadi alasan.
2) Kondisi geografis yang terlalu luas. Banyak kasus
diIndonesia, proses Delivery pelayanan publik
tidak pernah terlaksana dengan optimal karena
infrastruktur yang tidak memadai. Akibatnya luas
wilayah yang sangat luas membuat pengelolaan
pemerintahan dan pelayanan publik tidak efektif.
3) Perbedaan basis identitas Alasan perbedaan
identitas (etnis, asal muasal keturunan) juga muncul
menjadi salah satu alasan

18
pemekaran. Tuntutan pemekaran muncul karena
biasanya masyarakat yang berdomisili didaerah
pemekaran merasa sebagai komunitas budaya
tersendiri yang berbeda dengan komunitas induk.
4) Kegagalan Pengelolaan Konflik Komunal.

2.3.2. Poilitik Lokal

Politik lokal secara harfiah adalah bagian dari


suatu sistem politikyang dijalankan oleh suatu Negara.
Konteks lokal dalam hal ini menyiratkan pada pemaknaan
heterogenitas masyarakat lokal (daerah) yang memiliki
kesejarahan, situasi batin dan psikologis yang berbeda.
Kondisi tersebut tentu memberikan kontribusi pada
praktek politik di daerah sebagai cara memanifestasikan
atau praktek dari paradigma yang terbangun.
Politik lokal secara sederhana adalah praktek
politik di tingkat lokal. Praktek politik secara faktual terkait
dengan dinamika penyelenggaraan pemerintahan dan
dinamika peran masyarakat sec ara keseluruhan dalam
mewujudkan pencapaian cita-cita. Secara umum politik
lokal tidak dapat dilepaskan dari konteks politik nasional
atau sistem politik yang dianut oleh suatu negara.
Menurut CSIS (2001) politik lokal adalah dinamika
institusi-institusi politik di daerah dalam
mengaktualisasikan interaksi dalam penyelenggaran
pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat dan
memfungsikan peran-peran yang di laksanakan oleh
asing-masing institusi tersebut.

19
Dalam konteks ini maka institusi-institusi politik
lokal adalah dapat dikategorikan menjadi supra struktur
politik dan infra struktur politik. Supra struktur politik yang
dimaksud adalah pemerintah daera h dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPRD). Infra struktur politik dalam
hal ini meliputi partai politik, kelompok kepentingan dan
mediamassa.
Dalam konteks pengertian ini maka potikal adalah
berkerjanya pemerintah daerah, DPRD, partai politik,
kelompok kepentingan, dan

20
media massa dalam melaksanakan pembangunan
melalui interaksi dan dinamika peran. Dalam proses
penyelenggaraan pembangunan maka keseluruhan
institusi politik atau komponen politik tersebutakan
mempengaruhi mutu pembangunan. Institusi politik
dalam menjalankan perannya dituntut untukmemiliki
berbagai kemampuan dan kapabilitas. Kapabilitas yang
dimaksud adalah extractivecapability, regulative
capability, distributiv e capability, symbolic capability dan
responsive capability.
Menurut Amin Ibrahim (2013) bahwa konteks Politik
lokal terkait dengan konsepsi sistem potikal (SPL) dan
dinamika Potikal (DPL). Dalam pemaknaan politik lokal
seperti ini, konsep sistem politik menjadi kerangka dalam
analisisnya.
Namun demikian kekhasan heterogenitas lokal dan
kasus- kasus yang terjadi dewasa ini dalam praktek
politik di daerah akan mewarnai pemahaman terhadap
potikal. Politik lokal harus dicermati secara sistemik,
artinya sebagai suatu tatanan yang utuh, maka DPL akan
sangat ditentukan oleh tingkat dan kualitas sinergi antara
Subsistem Infra Struktur Politik Lokal (ISPL) dengan
Subsistem Supra Struktur Politik Lokal yang
bersangkutan.
Dalam setiap sub-sistem tersebut, tingkat peran atau
kinerjanya juga ditentukan oleh baik tidaknya kerjasama
antara sub-subsistem Elit Politik Lokal, Kelas Menengah
Politik Lokal dan Kelas Bawah Politik Lokal nya, serta

21
juga dipengaruhi oleh keberadaan Kelas Cuek Politik
Lokalnya. Artinya eksistensi dari kelompok-kelompok
tersebut akan mewarnai Politik lokal dan memberikan
kekhasan bagi praktek potikal. Dalam pemaknaan politik
local keseluruhan komponen tersebut secara dinamis akan
berinteraksi dalam konteks peran, kapasitas dan
kapabilitas, serta interaksi antar komponen itu sendiri.
Kondisi tersebut tentu memberikan kontribusi pada
praktek politikdi daerah sebagai cara memanifestasikan
atau praktek dari paradigma yang terbangun. Politik
lokal secara sederhana adalah

22
praktek politik di tingkat lokal. Praktek politik secara
faktual terkait dengan dinamika penyelenggaraan
pemerintahan dan dinamika peran masyarakat secara
keseluruhan dalam mewujudkan pencapaian cita- cita.
Secara umum politik lokal tidak dapat dilepaskan dari
konteks politik nasional atau sistem politik yang dianut
oleh suatu negara.
Menurut CSIS (2001) politik lokal adalah dinamika
institusi - institusi politik di daerah dalam
mengaktualisasikan interaksi dalam penyelenggaran
pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat dan
memfungsikan-peran-peran yang dialksanakan oleh
asing-masing institusi tersebut.
Dalam konteks ini maka institusi-institusi politik
lokal adalah dapat dikategorikan menjadi supra struktur
politik dan infra struktur politik. Supra struktur politik yang
dimaksud adalah pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPRD). Infra struktur politik dalam hal ini meliputi
partai politik, kelompok kepentingan dan media massa.
Dalam konteks pengertian ini maka potikal adalah
berkerjanya pemerintah daerah, DPRD, partai politik,
kelompok kepentingan, dan media massa dalam
melaksanakan pembangunan melalui interaksi dan
dinamika peran. Dalam proses penyelenggaraan
pembangunan maka keseluruhan institusi politik atau
komponen politik tersebut akan mempengaruhi
mutupembangunan.
Dalam setiap subsistem tersebut, tingkat peran atau

23
kinerjanya
juga ditentukan oleh baik tidaknya kerjasama antara sub-
subsistem Elit Politik Lokal, Kelas Menengah Politik Lokal
dan Kelas Bawah Politik Lokal nya, serta juga
dipengaruhi oleh 10 keberadaan Kelas Cuek Politik
Lokalnya. Artinya eksistensi dari kelompok- kelompok
tersebut akan mewarnai Po;itik lokal dan memberikan
kekhasan bagi praktek potikal. Dalam pemaknaan politik
local keseluruhan komponen tersebut secara dinamis
akan berinteraksi dalam konteks peran, kapasitas dan
kapabilitas, serta interaksi antar komponen itu
sendiri.Dinamika interaksi, peran, dan kapasitas atau
kapabilitas akan

24
berkontribusi secara spesifik dalam proses pemerintahan.
Pemerintahan daerah sebagai organisasi
pelayanan kepada masyarakat berusaha mewujudkan
kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan bernegara atau
tujuan politik bernegara.Dengan demikian interrelasi
politik lokal memberikan pengaruh kepada bagaimana
pemda menjalankan fungsinya.

2.3.3. Dinamika Politik lokal Era Reformasi Pada tahun


1999
Indonesia mencatatkan sejarah dalam memasuki
era desentralisasi sesungguhnya. Dengan lahirnya
Undang-undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan
Daerah, desentralisasi membuka peluang politik lokal
mencari jalan keluar menuju kemandirian daerah. Pada
prinsipnya, Undangundang Nomor 22/1999 berusaha
mendekatkan pemerintahan daerah agar lebih responsif
kepada rakyatnya dan memberikan ruang transparansi
lebih besar demi mencapai devolusi kekuasaan. Peran
pemerintah pusat hanyalah terbatas sebagai penjaga
malam saja karena sisa tanggung jawab setelah menjadi
urusan daerah adalah meliputi: pertahanan keamanan
nasional, kebijaksanaan luar negeri, masalah-masalah
fiskal dan moneter, perencanaan ekonomi makro,
sumbersumber alam, kehakiman, dan agama.

Daerah memiliki kewenangan mengurus pekerjaan


umum, pendidikan dan kebudayaan, pemeliharaan
kesehatan, pertanian, perhubungan, industri,
perdagangan, investasi, masalah-masalah lingkungan,

25
koperasi, tenaga kerja, dan tanah (Ratri Istania, 2009). UU
tersebut telah memberikan dasar-dasar pemerintahan
desentralisasi administratif yang sangat banyak
kelemahannya. Aturan-aturan mengenai pemerintahan
daerah tersebut mengandung kelemahan karena tidak
mengikutsertakan masukan dari daerah-daerah.
Sekelompok elit bekerja secara tergesa-gesa melahirkan
model desentralisasi ala Barat. Desentralisasi tersebut
memang sengaja

26
dirancang atas dasar titipan dari pemikiran-pemikiran
barat yang sangat ingin memberlakukan model
desentralisasi mereka ke negara- negara
berkembang,tanpa memperhatikan sendi-sendi
kelembagaan di Indonesia yang sama sekali lemah dan
tidak demokratis (Ratri Istania, 2009).

2.4. Konflik Antara Kelompok Masyarakat

Konflik adalah suatu tindakan salah satu pihak yang


berakibat menghalangi, menghambat, atau mengganggu
pihak lain dimana hal ini dapat terjadi antar kelompok
masyarakat ataupun dalam hubungan antar pribadi
(Antonius, dkk, 2002:175).
Konflik atau perselisihan adalah salah satu bentuk
perilakupersaingan antar individu atau antara kelompok
orang. Potensi terjadinya konflik akan ada bila dua atau lebih
aktor bersaing secara berlebihan atau tidak adanya kesesuaian
tujuan dalam kondisi sumberdaya yang terbatas(Harmen
Batubara , 2013:7).
Selain itu, Pruit dan Rubin (Susan, 2009:9)
menyimpulkan bahwa konflik berarti persepsi mengenai
perbedaan kepentingan (perceiver divergence of interest) atau
suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik
tidak dicapai secara simultan.
Istilah “konflik” secara etimologis berasal dari bahasa
Latin “con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti
berbenturan atau tabrakan. Pada umumnya istilah konflik
sosial mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan

27
dan pertikaian antar pribadi melalui dari konflik kelas sampai
pada pertentangan atau perperangan internasional. (Elly M.
Setiadi dan Usman Kolip,2011:345).
Menurut Webster, istilah “conflict” berarti suatu
perkelahian, perperangan, atau perjuangan” yaitu berupa
konfrontasi fisik antara beberapa pihak, konflik juga oleh
Webster diartikan sebagai suatu persepsi mengenai
perbedaan kepentingan atau suatu kepercayaan bahwa
aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai
secara

28
simultan. (Syarifuddin Jurdi,2013:214).
Kemudian Konflik juga merupakan salah satu esensi dari
kehidupan dan perkembangan manusia yang mempunyai
karakteristik yang beragam. Manusia memiliki perbedaan
kelamin, suku, agama, kepercayaan, aliran politik, serta
budaya dan tujuan hidupnya. Dalam sejarah umat manusia,
perbedaan inilah yang selalu menimbulkan konflik. Selama
masih ada perbedaan tersebut, konflik tidak dapat dihindari
dan selalu akan terjadi.
Dari sini ada benarnya jika sejarah umat manusia
merupakan sejarah konflik. Konflik selalu terjadi di dunia,
dalam sistem sosial, yang bernama negara, organisasi,
perusahaan, dan bahkan dalam sistem sosial terkecil yang
bernama keluarga dan pertemanan, konflik terjadidimasa lalu
dan pasti akan terjadi yang akan datang.(Wirawan,2009:1).
Teori konflik Ralf Dahrendrof menyatakan bahwa “pola
personia dan fungsionalisme pada umumnya menyajikan suatu
yang berlebihan tentang konsensus, integrasi dan pandangan
yang statis terhadap masyarakat”. Dalam pandangan
Dhrendorf masyarakat terisi dari dua muka satu adalah muka
konsensus dan muka lain ialah pertikaian atau pertentangan
(konflik).
Teori konflik memandang masyarakat terus-menerus
berubah dan masing-masing bagian dalam masyarakat
potensial memacu dan menciptakan perubahan sosial.
Dalam konteks pemeliharaan tatanan sosial teori ini lebih
menekankan pada peranan kekuasaan (Sunyanto
Usman,2012:56).

29
Robbin (1996:431), mengatakan konflik dalam organisasi
di sebut sebagai “The Conflict Paradoks”, yaitu pandangan
bahwa di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja
kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan
organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik.
Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara lain:

1. Pandangan tradisional, menyatakan bahwa konflik harus


dihindari

30
karena akan menimbulkan kerugian. Aliran ini juga
memandang konflik sebagai sesuatu yang buruk, tidak
menguntungkan dan selalu merugikan organisasi. Oleh
karena itu konflik harus dicegah dan dihindari sebisa
mungkin dengan mencari akar permasalahannya.

2. Pandangan hubungan kemanusiaan, pandangan


aliran behavioral ini menyatakan bahwa konflik
merupakan sesuatu yang wajar, alamiah dan tidak
terelakan dalam setiap kelompok manusia. Konflik tidak
selalu buruk karena memiliki potensi kekuatan yang
positif di dalam menentukan kinerja kelompok. Konflik
tidak selamanya merugikan, bahkan bisa
menguntungkan, yang oleh karena itu konflik harus
dikelola dengan baik.

3. Pandangan interaksionis, yang menyatakan bahwa


konflik bukan sekedar sesuatu kekuatan positif dalam
suatu kelompok. Melainkan juga mutlak perlu untuk
suatu kelompok agar dapat berkinerja positif, oleh
karena itu konflik harus diciptakan. Pandangan ini
didasari keyakinan bahwa organisasi yang tenang,
harus harmonis, damai ini justru akan membuat
organisasi itu menjadi statis, stagnan dan tidak inovatif.
Dampaknya adalah kinerja organisasi menjadi rendah.

Konflik diyakini sebagai fakta utama dalam masyarakat.


Sejumlah tradisi intelektual, menyediakan perangkat analisis
interprestasi terhadap masalah tersebut. konflik merupakan

31
suatu fakta dalam masyarakat industri modern. Secara
empiris konflik, tidak diakui karena orang lebih memilih
stabilitas sebagai hakikat masyarakat.

Konflik merupakan realitas yang harus dihadapi oleh para


ahli teori sosial dalam membentuk model-model umum
perilaku sosial. Konflik mempunyai fungsi positif, salah
satunya adalah mengurangi ketegangan

32
dalam masyarakat, juga mencegah agar ketegangan
tersebut tidak terus bertambah dan menimbulkan kekerasan
yang memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan
(Wardi Bactiar,2006:107).

Para sosiolog berpendapat bahwa akar dari timbulnya


konflik yaitu adanya hubungan sosial, ekonomi, politik yang
akarnya adalah perebutan atas sumber-sumber kepemilikan,
status sosial dan kekuasaan yang jumlah ketersediaanya
sangat terbatas dengan pembagian yang tidak merata di
masyarakat. (Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, 2011:361)
Ketidakmerataan pembagian aset-aset sosial di dalam
masyarakattersebut dianggap sebagai bentuk ketimpangan.
Ketimpangan pembagian ini menimbulkan pihak-pihak
tertentu berjuang untuk mendapatkannya atau
menambahinya bagi yang perolehan asset sosial relatif
sedikit atau kecil.

Sementara pihak yang telah mendapatkan pembagian


asset sosial tersebut berusaha untuk mempertahankan dan
bisa juga menambahinya disebut sebagai status quo dan
pihak yang berusaha mendapatkannya disebut sebagai status
need. Pada dasarnya, secara sederhana penyebab konflik di
bagi dua, yaitu:

1. Kemajemukan horizontal, yang artinya adalah strukutur


masyarakat yang majemuk secara kultural, seperti suku
bangsa, agama, ras dan majemuk sosial dalam arti
perbedaan pekerjaan dan profesi seperti petani, buruh,
pedagang, pengusaha, pegawai negri, militer, wartawan,

33
alim ulama, sopir dan cendekiawan. Kemajemukan
horizontal, kultural menimbulkan konflikyang masing-
masing unsur kultural tersebut mempunyai karakteristik
sendiri dan masing-masing penghayat budaya tersebut
ingin mempertahankan karakteristik budayanya tersebut.
dalam masyarakat yang stukturnya seperti ini, jika belum
ada konsensus nilai yang menjadi pegangan bersama,
konflik yang trjadi dapat menimbulkan perang saudara.
2. Kemajemukan vertikal, yang artinya struktur
masyarakat yang terpolarisasi berdasarkan kekayaan,
pendidikan, dan kekuasaan.

34
Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik sosial
karea ada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki
kekayaan, pendidikan yang mapan, kekuasaan dan
kewenangan yang besar, sementara sebagian besar
tidak atau kurang memiliki kekayaa, pendidikan rendah,
dan tidak memiliki kekuasaan dan
kewenangan.Pembagian masyarakat seperti ini
merupakan benih suburtimbulna konflik sosial.
Menurut Wibowo (2006:47) penyebab konflik yang lain adalah
a. Perceptual Distortion (penyimpangan Persepsi)
Orang cendrungbias dalam cara melihat seseorang
atau sesuatu. Pada umumnya, kita cendrung
melihat situasi dengan cara yang menguntungkan
kita sendiri.
b. Grudges (Dendam) sering kali konflik disebabkan
karena takut kehilangan muka dalam berhubungan
dengan orang lain dan berusaha berbuat sama
dengan orang tersebut dengan merencanakan
bentuk pembalasan.
c. Distrust (Ketidakpercayaan) semakin kuat orang
menyangka bahwa apabila individu atau kelompok
meninggalkan mereka, makahubungan antara orang
dan kelompok tersebut diliputi oleh konflik.
Renggangnya hubungan antara orang atau
kelompok disebabkan oleh perasaan bahwa pihak
lainnya tidak dapat di percaya.
d. Competition Over Scare Resources (Kompetisi
atas Sumber Daya Langka) konflik yang terjadi karena

35
dalam distribusi sumber daya disebabkan oleh orang
yang cendrung menganggap berlebihan atas
konstribusinya pada organisasi. Perasaan ini
menimbulkan tuntutan untuk mendapatkan sumber
daya lebih banyak sesuai dengan kontribusi yang
diberikan, padahal semua orang memahami bahwa
sumber daya yang tersedia terbatas.
e. Destructive Critisism (Keritik Bersifat Merusak)
kritik ini merupakan umpan balik negatif yang
membuat marh mereka yang menerimanya dan
bukannya membantu mereka untuk

36
melakukan pekerjaan dengan lebih baik.

Menurut Smith, Mazzarella dan Piele sumber terjadinya


konflik adalah: Unsur komunikasi yang bisa terjadi pada
masing-masing atau gabungan dari unsur-unsur komunikasi,
yaitu sumber komunikasi, pesan, penerima pesan dan
saluran.

a. Struktur organisasi, yang secara potensial dapat


memunculkan konflik. Tiap departemen/ fungsi dalam
organisasi mempunyai tujuan, kepentingan dan
program sendiri-sendiri yang seringkali berbeda
dengan yang lain.
b. faktor manusia. Sifat dan kepribadian manusia satu
dengan yang lain berbeda dan unik. Hal ini
berpotensi memunculkan konflik.

Mastenbroek, membagi konflik ini menjadi empat, yaitu :

1. Instrumental Conflicts Konflik terjadi karena adanya


ketidak sepahaman antar komponen dalam
organisasi dan proses pengoperasiannya.
2. Socio-emotional Conflicts Konflik ini berkaitan
dengan identitas, kandungan emosi, citra diri,
prasangka, kepercayaan, keterikatan, identifikasi
terhadap kelompok, lembaga dan lambang-lambang
tertentu, sistem nilai dan reaksi individu dengan
yang lainnya.

3. Negotiatimg Conflicts Konflik negosiasi adalah


ketegangan- ketegangan yang dirasakan pada waktu

37
proses negosiasi terjadi, baik antara individu dengan
individu atau kelompok dengan kelompok.
4. Power and Depedency Conflicts Konflik kekuasaan
dan ketergantungan berkaitan dengan persaingan
dalam organisasi, misalnya pengamanan dan
penguatan kedudukan yang strategis.

Soerjono Soekanto, membagi konflik sosial menjadi lima


bentuk :

38
1. konflik atau pertentangan pribadi, yaitu konflik yang
terjadi antara dua individu atau lebih karena
perbedaan pandangan dan sebagainnya.
2. konflik atau pertentangan rasial, yaitu konflik yang
timbul akibat perbedaan ras.
3. Konflik atau pertentangan antara kelas-kelas sosial,
yaitu konflik yang terjadi disebabkan adanya
perbedaan kepentingan antar kelas sosial.
4. konflik atau pertentangan politik, yaitu konflik yang
terjadi akibat adanya kepentingan atau tujuan politis
seseorang atau kelompok.
5. Konflik atau pertentangan yang bersifat
internasional, yaitu konflik yang terjadi karena
perbedaan kepentingan yang kemudian
berpengaruh pada kedaulatan negara.

Di dalam realitas masyarakat, konflik sebagai hal yang


harus ada dan kehadirannya tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Adanya perbeankekuasaan dapat dipastikan menjadi sumber
konflik dalam sebuah sistem sosial, terutama masyarakat
yang kompleks dan heterogen. Tidak hanya itu, sumber daya
yang langka (terutama sumber daya ekonomi) di dalam
masyarakat akan membangkitkan kompetisi diantara pelaku
ekonomi yang merebutkannya dan bukan mustahil berujung
pada pertikaian akibat persoalan distribusi sumber daya
tersebut yang tidak pernah merata. Kelompok-kelompok
kepentingan yang berbeda dalam sistem sosial akan saling
mengejar tujuan yang berbeda dan saling bersaing. Menurut
Lockwood, bahwa kekuatan-kekuatan yang saling bersaing

39
dalam mengejar kepetingan masing-masing akan melahirkan
mekanisme ketidakteraturan sosial (social disorder). Paul B.
Horton dan Chester L. Hunt menyatakan, bahwa terotisi konflik
memandang suatu masyarakat itu dapat menjadi satu karena
terikat bersama oleh kekuatankekuatan kelompok atau kelas
yang dominan masyarakat. Berbeda dengan anggapan para
fungsionalis yang memandng nilai-nilai bersama atau
konsensus anggota masyarakat menjadi suatu ikatan
pemersatu, maka

40
dalam pandangan teoritisi konflik, konsensus itu meupakan
ciptaan dari kelompok atau kelas dominan untuk
melaksanakan nilai-nilai tertentu yang mereka inginkan.
(Wirawan, 2012:59).

Penganut teori konflik menunjukkan persepsi yang


sangat berbeda dengan kalangan fungsionalis dalam
memahami masyarakat. Jika kalangan fumgsionalis melihat
adanya saling ketergantungan dan kesatuan masyarakat,
maka kalangan penganut teori konflik justru melihat
masyarakat merupakan arena di mana satu kelompok
dengan yang lain saling bergantung untuk memperebutkan
“power” dan mengontrol, bahkan melakukan penekanan bagi
saingan-saingan mereka.

Menurut Alison dan Wallace, teori konflik memiliki tiga


asumsi utama, dimana satu dengan yang lain saling
berhubungan. Asumsi utama teori konflik menegaskan,
manusia memiliki kepentinga-kepentingan yang asasi dan
mereka berusaha untuk merealisasikan kepentingan-
kepentingan itu. Asumsi kedua menunjukkan, “power”
(kekuasaan) bukanlah sekedar barang langka dan terbagi
secara tidak merata, sehingga merupakan sumber konflik,
melainkan juga sebagai sesuatuyang bersifat memaksa
(coercive). Asumsi kedua ini menempati posisi sentral bagi
perspektif teori konflik. Asumsi ketiga, ideologi dan nilai-nilai
dipandangnya sebagai senjata yang digunakan oleh berbagai
kelompok yang berbeda untuk meraih tujuan dan
kepentingan mereka masing- masing.

41
Weber menempatkan konflik dalam posisi sentral dalam
menganalisis tentang masyarakat. Baginya, konflik
merupakan unsur dasar kehidupan manusia. Weber
menyatakan, “Pertentangan tidak dapat dilenyapkan dari
kehidupan budaya manusia. Orang memang dapat merubah
sarananya, obyeknya, arah dasar ataupun pendukungnya,
akan tetapi orang tidak dapat membuang konflik itu sendiri”.
Marx melihat konflik sosial terjadi di antar kelompok atau kelas
dari pada diantara individu. Hakikat konflik antar kelas
tergantung pada sumber pendapatan mereka. Kepentingan
ekonomi mereka bertentangan karena kaum proletariat
memperoleh upah dari kaup

42
pitalis hidup dari keuntungan, dan bukan karena yang
pertama melarat yang terakhir kaya raya.

Banyak teori konflik batas wilayah ini berkembang di


indonesia termasuk juga sebagi penjabaran undang-undang
dan peraturan pemerintahan yang ada sinegara ini,
kerjasama antar daerah merupakan salah satu tema penting
untuk memberikan solusi atas maraknya konflik- konflik
Sumber Daya Alam (SDA).

Sedangkan konflik menurut Coser (Dalam Alex R.


Tutuhatunewa) mengatakan bahwa, konflik internal itu juga
menguntungkan kelompok itu secara positif karena semua
hubungan sosial pasti memiliki tingkat antagonisme tertentu,
ketegangan atau perasaan-perasaan negatif. Dengan
demikian, bahwa ketegangan pasti ada pada semua
hubungan sosial hanyalah karena individu-individu berbeda
satu sama lain dalam kebutuhannya, tujuan pribadi, tujuan
kelompok, keterampilan, kemampuan dan seterusnya.

Ditambahkan oleh Hunts, Sborn 1944 : 592 mengatakan


bahwa konflik adalah situasi dimana dua orang atau lebih
tidak setuju terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pokok-
pokok keorganisasian atau mereka mengalami emosi
antagonis satu sama lain4. Kedua teori tersebut telah
menggambarkan apa yang dimaksud dengan konflik dan
melihat untung dan ruginya terhadap konflik tersebut,
tergantung dari cara penyelesaian, cara pengelolaan dan
cara penenganan konflik dimaksud. Bila dilihat dari konflik
yang terjadi di Buano Utara, seperti telah digambarkan pada

43
latarbelakang bahwa konflik tersebut diakibatkan oleh
berbagai macam kepentingan-kepentingan kelompok soa.
Salah satu yang paling menonjol dan jadi pembahasan
utama adalah konflik dalam memperebut turunan raja di
Negeri Buano Utara Kecamatan Waesala Kabupaten Seram
Bagian Barat.

Sehubungan dengan pendapat tentang teori diatas, maka


untuk memperjelas dan memberi pemahaman tentang
permasalahan yang

44
diteliti, maka penulis hendak mendekatkannya dengan
beberapa teori yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

Menurut analisis Hazelrigg, 1972; Turner, 1973;


Weingart, 1969 tentang teori konflik Dahrendorf yaitu :

Pertama, model Dahrendorf tak secara jelas


mencerminkanpemikiran Marxian seperti yang ia
nyatakan. Seperti segera akan terlihat, sebenarnya teori
konflik ini merupakan terjemahan yang takmemadai dari
teori Marxian kedalam sosiologi.

Kedua, seperti telah dicatat, teori konflik lebih banyak


kesamaannya dengan fungsionalisme truktural ketimbang
dengan teori Marxian.

Ketiga, seperti fungsionalisme struktural, teori konflik


hampir seluruhnya bersifat makroskopik dan akibatnya
sedikit sekali yang ditawarkan kepada kita untuk
memahami pemikiran dan tindakan individu.

Dahrendorf melihat teori konflik sebagai teori parsial,


menganggap teori itu merupakan perspektif yang dapat
dipakai untuk menganalisa fenomena sosial. Dahrendorf
menganggap bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja
sama (kemudian) dia menyempurnakan posisi ini dengan
menyatakan bahwa segala sesuatu yang dapat dianalisa
dengan fungsional struktural dapat pula dianalisa dengan teori
konflik denganlebih baik.

2.4.1. Penyebab Konflik Sosial

45
Sebelum membahas bentuk-bentuk konflik sosial,
ketahuiterlebih dahulu penyebabnya. Konflik yang terjadi
di dalam masyarakat terjadi dalam berbagai hal. Secara
umum, penyebab timbulnya konflik dikelompokkan
sebagai berikut:
a. Perbedaan antar Individu
Perbedaan yang ada antara sesama individu bisa
menjadi

46
penyebab terjadinya konflik sosial. Misalnya
perbedaan pendapat atau perasaan yang dapat
menimbulkan konflik.
b. Perbedaan kepentingan
Adanya perbedaan kepentingan, seperti
kepentingan ekonomi, politik, sosial, dan
sebagainya juga bisa menyebabkan terjadinya
konflik sosial. Contohnya, terjadinya konflik
antarpartai politik menjelang pemilu.
c. Perbedaan kebudayaan
Kepribadian seseorang diwarnai kebudayaan
kelompoknya, seperti pola pikir dapat
menyebabkan terjadinya konflik. Misalnya,
perbedaan pendapat tentang budaya barat antara
orang tua dengan anak.
d. Perubahan Sosial
Perubahan sosial yang berlangsung cepat akan
mengubah nilai-nilai dalam masyarakat. Hal ini
akan menyebabkan munculnya kelompok -
kelompok yang berbeda pendirian. Sebagai
contoh adanya perubahan yang terjadi
dilingkungan sekitar, ada sebagian masyarakat
yang bisa menerima dan ada yang belum siap
menerima. Namun, perlu diketahui, tidak semua
konflik bersifat negatif. Ada konflik yang bersifat
posistif. Dengan konflik akan
melahirkansolidaritas kelompok sehingga dapat
menciptakan stabilitas dan integrasi sosial.

47
Adanya konflik membuat seseorang dapat
mengetahui sumber-sumber ketidakpuasan
dalam masyarakat untuk kemudian di upayakan
cara penyelesaiannya.

2.4.2. Bentuk-Bentuk Konflik Sosial

Bentuk konflik di dalam masyarakat dapat


berlangsung antara individu dengan individu, individu
dengan kelompok, atau antar kelompok di dalam
masyarakat.

48
a) Konflik Individu dengan Individu.
Konflik antar sesama individu adalah jenis konflik
yang sering terjadi. Hal itu bisa terjadi antara
sesama pemain sepak bola, antara karyawan
sesama karyawan, dan lain sebagainya.
b) Konflik Antar Negara
Konflik sosial antar negara terjadi antara negara
yang saling berselisih.

c) Konflik antar Rasial


Konflik antar rasial adalah konflik yang terjadi antara
ras yang berbeda, seperti adanya diskriminasi ras
atau politik apartheid di Afrika.
d) Konflik antar kelas sosial
Konflik antar kelas sosial adalah konflik yang terjadi
antarkelas sosial yang berbeda. Contoh, konflik
antara direktur dengan karyawan di kantor.
e) Konflik antar kelompok sosial
Konflik antar kelompok sosial adalah konflik yang
terjadi antara kelompok dalam masyarakat ,seperti
konflik antara suporterbola, tawuran pelajar, konflik
antarpartai politik.
f) Konflik internal individu
Konflik internal individu merupakan konflik terjadi
dalam diri seseorang. Konflik ini akan terjadi ketika
individu harus memilih dua atau lebih yang tujuan
saling bertentangan dan bimbang dalam
memilihnya. Contoh kasusnya, ada seorang anak
yang bingung memilih antara mengerjakan tugas

49
sekolah atau membantu acara hajatan di kampung.
g) Konflik antar generasi
Konflik antar generasi adalah konflik yang terjadi
antar generasi. Misalnya konflik antara anak- anak
dengan orang tua tentang pandangan terhadap
tradisi dan adat istiadat.
h)

50
i) Konflik yang bersifat deskruktif dan konstruktif
Konflik deskruktif adalah konflik yang merusak dan
merugikan pihak yang berkonflik. Contohnya,
tawuran pemuda antar
kampung. Sedangkan konflik konstruktif merupakan
jenis konflik yang bersifat membangun. Misalnya,
adanya perbedaan pendap at mengadakan rapat
rapat. Konflik berdasarkan aktivitas manu sia di
dalam masyarakat. Konflik tersebut terdiri dari
konflik ekonomi, konflik sosial, konflik politik, konflik
budaya, dan konflik ideologi. Adapun
contohnya ialah konflik
antara pemilik perusahaan, konflik
menjelang pemilu, konflik antar keyakinan atau
agama.

2.5. Masyarakat Adat

Istilah “Masyarakat Adat” sesungguhnya bukanlah hal


yang asing bagi kita. Indonesia adalah negara dengan
populasi Masyarakat Adat yang tinggi dengan perkiraan
mencapai sekitar 40-70 juta jiwa, di mana 20 juta di
antaranya adalah anggota AMAN. Dengan dinamika situasi
yang ada, di mana Masyarakat Adat sebagai kelompok
minoritas seringkali mengalami diskriminasi, stigma,
kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi, definisi atas apa
atau siapa itu Masyarakat Adat, terkadang masih dipahami
secara samar atau keliru. Ketiadaan Undang-Undang
tentang Masyarakat Adat, berdampak besar pada situasi dan

51
kelangsungan hidup Masyarakat Adat. AMAN mempadankan
terminologi “Indigenous Peoples” yang dipakai secara global
sebagai “Masyarakat Adat.” Masyarakat Adat adalah
kelompok masyarakat yang memiliki sejarah asal-usul dan
menempati wilayah adat secara turun-temurun. Masyarakat
Adat memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam,
kehidupan sosial-budaya yang diatur oleh hukum adat, dan
lembaga adat yang mempertahankan keberlanjutan
kehidupan Masyarakat Adat sebagai komunitas adat.
Terdapat empat warisan leluhur atau asal-usul sebagai
pembeda antara Masyarakat Adat dan kelompok masyarakat
lainnya. Unsur-unsur

52
tersebut, antara lain Identitas budaya yang sama, mencakup
bahasa, spir itualitas, nilai-nilai, serta sikap dan perilaku yang
membedakan kelompok sosial yang satu dengan yang lain:
Sistem Nilai dan Pengetahuan, Mencakup pengetahuan
tradisional yang dapat berupa pengobatan tra disional,
perladangan tradisional, permainan tradisional, sekolah adat,
dan pengetahuan tradisional maupun inovasi lainnya; wilayah
adat (ruang hidu p), meliputi tanah, hutan, laut, dan sumber
daya alam (SDA) lainnya yang bukan semata-mata dilihat
sebagai barang produksi (ekonomi), tetapi juga menyangkut
sistem religi dan sosial budaya; serta hukum adat dan
kelembagaan adat aturan-aturan dan tata kepengurusan
hidup bersa ma untuk mengatur dan mengurus diri sendiri
sebagai suatu kelompok sosial, budaya, ekonomi, dan
politik.
Sementara itu, mengacu pada Deklarasi Persatuan
Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Masyarakat Adat
atau Declaration on the Rights of Indigenous Peoples
(UNDRIP), karakteristik penanda Masyarakat Adat, antara
lain identifikasi diri (self-identification); keberlanjutan sejarah
(sebelum diinvasi oleh kekuatan penjajah atau kolonial);
penduduk asal (sejarah); hubungan spiritual dengan tanah
dan wilayah adat; identitas yang khas (bahasa, budaya,
kepercayaan); serta sistem sosial politik dan ekonomi yang
khas.
Secara internasional, sebelum lahirnya UNDRIP,
Konvensi ILO No. 169 atau Konvensi Masyarakat Adat 1989
menjadi instrumen internasional pertama yang mengakui

53
Masyarakat Adat. Konvensi tentang Masyarakat Adat yang
ditetapkan oleh negara-negara anggota Organisasi Perburuhan
Internasional pada 1989 itu, bertujuan untuk merevisi
Konvensi ILO No. 107 (Konvensi Masyarakat Adat 1957).
Prinsip utama konvensi tersebut adalah perlindungan
terhadap Masyarakat Adat atas kebudayaan, gaya hidup,
tradisi, dan kebiasaan.
Selain itu, hak asal-usul merupakan pula faktor yang
secara tegas membedakan Masyarakat Adat dengan
kerajaan atau kesultanan. Kerajaan atau kesultanan
merupakan konsep negara lama. Sehingga,

54
Masyarakat Adat tidak sama dengan kerajaan atau
kesultanan. Sejak awal, Indonesia telah mengakui
keberadaan Masyarakat Adat lewat Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945. Ppengakuan dan penghormatan terhadap
Masyarakat Adat, tercantum di dalam Pasal 18B ayat (2) dan
Pasal 28I ayat (3).
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” UUD 1945
Pasal 18B ayat (2) “Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman
dan peradaban.” UUD 1945 Pasal 28I ayat (3).
Dalam berbagai narasi dan produk hukum di Indonesia,
terdapat juga istilah yang dipakai, yaitu masyarakat hukum
adat (MHA), masyarakat lokal, masyarakat tradisional,
komunitas adat terpencil (KAT), dan penduduk asli. Berbagai
sebutan tersebut dapat merujuk pada Masyarakat Adat,
misalnya penyebutan “masyarakat lokal” di nagari pada
Masyarakat Adat Minangkabau, Sumatera Barat atau marga
di Masyarakat Adat Batak, Sumatera Utara atau penduduk
asli Papua (suku dan marga) di Papua dan Papua Barat.
Namun, sebutan-sebutan yang ada, dapat pula merujuk pada
masyarakat lokal - bukan Masyarakat Adat - dalam konteks di
Jawa atau komunitas pendatang (misalnya, kampung
transmigran) yang mendiami suatu wilayah selama beberapa
generasi jika penyebutannya tidak mempertimbangkan

55
identitas bahasa, ikatan genealogis, maupun teritorial terkait
pada warisan asal-usul sebagai pembeda. Penulisan
“Masyarakat Adat” pun menggunakan awalan huruf kapital
untuk mempertegas Masyarakat Adat sebagai subjek hukum.
Sementara itu, kebijakan-kebijakan negara yang
selama ini
memprioritaskan pembangunan industri-industri berbasis
sumber daya alam (SDA), telah menyebabkan Masyarakat
Adat terpinggirkan sekaligus kehilangan hak dan akses
atas SDA. Misalnya, pembangunan

56
perkebunan monokultur secara masif oleh perusahaan
perkebunan sawit yang menggusur hutan-hutan adat sebagai
sumber penghidupan Masyarakat Adat, mengakibatkan
Masyarakat Adat kehilangan pangan dan ruang hidup. Belum
disahkannya Rancangan Undang-Undangtentang Masyarakat
Adat (RUU MA) juga kian meningkatkan eskalasi terjadinya
berbagai konflik, diskriminasi, kriminalisasi, perampasan wilayah
adat, dan tindak kekerasan terhadap Masyarakat Adat di
berbagaipenjuru Indonesia. Saat ini, pengakuan maupun
perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia, masih
menghadapi persoalan terkait dengan pengakuan bersyarat.
Apalagi, dengan lahirnya UU Cipta Kerja dan UU Minerba yang
baru, telah menghadirkan anomali pada iklmi demokrasi
sekaligus menegaskan ancaman terhadap eksistensi
Masyarakat Adat.
Di dalam Masyarakat Adat sendiri, juga hidup beragam
kelompok minoritas, yaitu mereka Masyarakat Adat yang
mengalami ketertindasan berlapis, baik itu karena faktor
kesejarahan, kelas, maupun lainnya. Mereka adalah yang
mengalami diskriminasi dan stigma berganda, bukan hanya
karena Masyarakat Adat, tetapi karena identitas lain yang
melekat. Kelompok Masyarakat Adat minoritas itu tak
terbatas pada yang disebutkan di sini-meliputi perempuan,
anak (berusia di bawah 17 tahun), penyandang disabilitas,
lansia, minoritas gender dan seksual, dan kelompok
minoritas lainnya yang hidup di dalam suatu komunitas adat
sebagai Masyarakat Adat.

57
2.6. Kerangka Fikir

Kerangka pemikiran merupakan suatu bentuk proses dari


keseluruhan proses penelitian. Alur pemikiran yang logis dalam
membangun suatu pikir yang membuahkan kesimpulan
berupa hipotesis. Kerangka berpikir merupakan sintesa
tentang hubungan antara variabel yang disusun dari berbagai
teori yang telah dideskripsikan, selanjutnya dianalisis
secarakritis dan sistematis dengan metode analisa yang
digunakan.

58
2.6.1. Teori

Teori pierre bourdieu di gerakan oleh keinginan


untuk mengatasi apa yang disebutnya sebagai oposisi
palsu antara objektivisme dengan subjetivisme, atau,
menurut kata katanya, oposisi absurd antara individu
dengan masyarakat, seperti dikatakan bourdieu,
keinginan paling abadi yang mengarahkan karya saya
adalah untuk mengatasi oposisi antara objektivisme
dengan subjektivisme, walaupun sosiologi bourideu terus
berupaya menjelaskan hubungan individu dengan
masyarakat, tetapi ia bersikap hati hati agar tidak terjebak
pada godaan untuk menggunakan kategori ideologis
secara berlebihan, seperti “individu” sebagai satu unit
analisis. Di saat bertindak sebagai ilmuan sosial, ia
memeberi perhatian kepada kesosialan kita pada prilaku
kita sebagai agen agen dan elemen kreatifdalam proses
sosial.

Inti dari karya bourdieu, dan upaya untuk


menjembatani subjektivisme dengan objektivisme,
terletak pada konsep habitus dan arena dan hubungan
dialektis antara keduanya kalau Habitus berada di dalam
pikiran aktor, arena berada di luar pikiran mereka.

Habitus adalah struktur mental atau kognitif yang


dengan nya orang berhubungan dengan dunia sosial.
Orang dibekali dengan serangkain skema terinternalisasi
yang mereka gunakan untuk meresepsi, memahami,

59
mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia sosial.

Dari skema inilah orang menghasilkan praktik


mereka, memersepsi dan mengevaluasinya. Secara
dialektis Habitus adalah produk dari internalisasi struktur
dunia sosial sebenarnya kita dapat menganggap Habitus
sebagai akal sehat mereka merefleksikan pembagian
objektif dalam struktur kelas, seperti kelompok usia, jenis
kelamin, dan kelas sosial. Habitus diperoleh sebagai
akibat dari

60
ditempatinya posisi di dunia sosial dalam waktu yang
panjang. Jadi, Habitus bervariasi tergantung pada sifat
posisi seseorang di dunia tersebut, tidak semua orang
memiliki habitus yang sama. Namun, mereka yang
menempati posisi sama di dunia cenderung memiliki
habitus yang sama.

Habitus dipahami sebagai dasar alamiah


kepribadian individu yang berfungsi sebagai benturan
perilaku dari lingkungan sekitarnya, sehingga habitus
didefinisikan sebagai seperangkat skema (tatanan) yang
memungkinkan agen-agen menghasilkan
keberpihakannya kepada praktik-praktik yang telah di
adaptasi atau di sesuaikan dengan perubahan situasi yang
terus terjadi, intisari dari hal ini adalah sejenis improvisasi
yang teratur. Habitus yang ada pada waktu tertentu telah
diciptakan sepanjang perjalanan sejarah: Habitus, produk
sejarah, menghasilkan praktik individu dan kolektif, dan
sejarah, sejalan dengan skema yang digambarkan oleh
sejarah. Habitus yang termanifestasikan pada individu
tertentu diperoleh dalam proses sejarah individu dan
merupakan fungsi dari titik tertentu dalam sejarah sosial
tempat ia terjadi.

Aspek menarik dari karya Bourdieu adalah


bagaimana gagasan- gagasannya terbangun dalam
dialog yang terus berlanjut, kadang- kadang eksplisit dan
kadang-kadang implisit, dengan gagasan- gagasan
lainnya cukup dipengaruhi oleh dua pemikir terkemuka di

61
masa ia belajar yaitu, Jean Paul Sartre dan Claude Levi
Straus. Dari eksistensialisme Sartre, Bourdieu belajar
tentang pemahaman yang begitu kuat bahwa aktor
sebagai pencipta dunia sosial mereka. Namundia merasa
bahwa Sartre melangkah terlalu jauh dalam menempatkan
kekuasaan pada aktor dan dalam prosesnya
mengabaikan hambatan- hambatan struktural. lewat
perspektif struktur ini, dia kemudian berpaling ke karya
strukturalis Levi Straus. Dia tertarik pada orientasinya.
Sebaliknya pada saat itu ia

62
menggambarkan dirinya sebagai strukturalis lugu. Selain
itu Bourdieu mendefinisikan salah satutujuan dasarnya
sebagai reaksi atas eksis strukturalisme, saya berminat
untuk mengembalikan aktor di dunia nyata yang telah
sirna ditangan Levi Straus dan para strukturalis lain yang
memandang aktor sebagai epifenomena struktur.

Jadi dalam pembahasan mengenai Habitus yang


menjadi sentral pembahasan adalah bahwa Habitus
merupakan kontruksi pengantar, bukan kontruksi
pendeterminasi. Ia juga merupakan sebuah sifat (virtue)
yang tercipta karena kebutuhan. Artinya Habitus
mempunyai pola determinisme yang meduduki setiap
individu dalam ruang tertentu. Akan tetapi dalam teori
Habitus kreatifitas mendapat apresiasiuntuk menjadi
penyeimbang dalam objek. Artinya Habitus menjadi
fondasi awal untuk menjadikan tindakan sebagai
promotor dalam mengkombinasikan disposisi sebagai
sikap untuk melahirkan sebuah tindakan baru. Selain itu
Habitus secara erat dihubungkan dengan modal, karena
sebagaian Habitus tersebut (Habitus fraksi sosial dan
budaya yang dominan) berperan sebagai pengganda
berbagai jenis modal.

2.6.2. Modal
Menurut pierre bourdieu terdapat 4 modal yang
menjdi pertaruhan dalam sebuah arena modal sosial,
modal ekonomi, modal budaya, modal simbolik. Fungsi
modal, bagi Bourdiaeu adalah relasi sosial dalam sebuah

63
sistem pertukaran, yang mempresentasikan dirinya
sebagai sesuatu yang langka, yang layak di cari dalam
bentuk sosial tertentu. Beragam jenis modal dapat di
pertukarkan dengan jenis modal – modal lainnya.
Penukaran yang paling dramatis adalah penukaran
dalam bentuk simbolik. Sebab dalam bentuk inilah bentuk
modal-modal yang berbeda dipersepsi dan dikenali
sebagai sesuatu yang menjadi mudah dilegimitimasi.
1. Modal ekonomi Hal-hal materil (yang dapat
dimiliki nilai

64
simbolik) dan berbagai atribut yang tak tersentuh,
namun memilikisignifikasi secara kultur, misalnya
prestis, status, dan otoritas (yang dirujuk sebagai
modal simbolik).

2. Modal budaya Modal budaya yang didefinisikan


sebagai selera bernilai budaya dan pola-pola
konsumsi. Modal budaya dapat mencakup
tantangan luas properti, seperti seni, pendidikan
dan bentuk-bentuk bahasa. Bagi Bourdieu modal
berperan sebagai relasi sosial yang terdapat
didalam sistem pertukaran, dan istilah ini diperluas
pada segala bentuk barang-baik materi maupun
simbol, tanpa perbedaan-yang mempresentasikan
dirinya sebagai suatu yang jarang dan layak untuk
dicari dalam sebuah formasi sosial tertentu.
3. Modal simbolik Modal simbolik mengacu pada
drajat akumulasi prestise, ketersohoran,
konsekrasi atau kehormatan, dan di bangun di atas
dialektika pengetahuan dan pengenalan modal
simbolik tidak terlepas dari kekuasaan simbolik,
yaitu kekuasaan yang memungkinkan untuk
mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh
melalui kekuasaan fisik dan ekonomi, berkat akibat
khusus suatu mobilisasi. Modal simbolik bisa
berupa kantor yang luas di daerah mahal, mobil
dengan sepionnya, namun bisa juga
petunjukpetunjuk yang tidak mencolok mata yang
menunjukkan status tinggi pemiliknya.

65
4. Modal sosial Modal sosial termanifestasikan
melalui hubungan- hubungan dan jaringan
hubungan-hubungan yang merupakan sumber
daya yang berguna dalam penentuan dan
reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Modal
sosial atau jaringan sosialini dimiliki pelaku dalam
hubungannya dengan pihak lain yang memiliki
kuasa.

2.6.3. Arena
Arena adalah jaringan relasi antarposisi objektif di
dalamnya

66
keberadaan relasi-relasi ini terpisah dari kesadaran dan
kehendak individu relasi tersebut bukan interaksi atau
ikatan intersubjektif antara individu. Yang menduduki
posisi bisa jadi merupakan agen atau institusi, dan
mereka dihambat oleh struktur arena. Ada sejumlah
arena semi otonom di dunia sosial (misalnya artistik,
religius,perguruan tinggi), yang kesemuanya memiliki
logika sepesifik tersendiri dan semuanya membangun
keyakinan dikalangan aktor tentang hal- hal yang mereka
pertaruhkan di suatu arena.5 Bourdieu juga melihat
arena, menurut definisinya, sebagai, sebagai arena
pertempuran arenajuga merupakan arena perjuangan
struktur arena yang menopang dan mengarahkan
strategi yang digunakan oleh orang-orang yang
menduduki posisi ini untuk berupaya, baik individu atau
kolektif, mngamankan atau mengingatkan posisi
mereka, dan menerapkan prinsip hierarkisasi yang
paling cocok untuk produk mereka, arena adalah sejenis
pasar kompetitif yang di dalamnya berbagai jenis modal
digunakan dan dimanfaatkan, namun, arena kekuasaan
yang paling penting hierarki hubungan kekuasaan
dalam arena politik berfungsi menstrukturkan semua
arena lain.

2.6.4. Praktik
Bourdieu menyatakan teori praktik sosial
mempunyai rumusan generatife yang berbunyi: (Habitus
X Modal) + Ranah = Praktik . Teori praktek merupakan

67
salah satu dari rangkayang pemikiran Bourdieu untuk
meracik formula dalam menganalisi praktek
sosial,sebagai mana pemikiran Bourdieu. Habitus
menjadi pondasi awal dalam perkembangan menuju
praktek sosial, setelah benturan Habitus terjadi maka
diperlukan formula kedua adalah modal sebgai kaki dan
tangan untuk merealisasikan sebuah gesekan Habitus
tersebut.Tentunya diperlukan Ranah sebagai tempat
untuk mengeksekusi dari pola ataupun hasil dari
benturan Habitus dan bantuan dari Modal
untukmenempati Ranah, setelah hal ini terjadi

68
makan terahir adalah peraktek sebgai kongklusi akhir
dari pemikiran Bourdieu sehingga menghasilkan sebuah
praktek sosial.

Pemikiran Bourdiu mengenai Modal


menghatarkan jalan pemikirannya pada jembatan
praktek sebagai rumusan hasil akhir yang lebih luas,
sehingga dapat di konseptualisasikan dengan
kerangkaindividu. Model formulasi generatifnya
Bourdieu sebagai hasil timbal balik antara struktur
objektif dan subjektif, sebgai sebuah benturan
dialektika.

Adapun formulasi Bourdieu dalam generatifnya


mampu memodifikasi indikasi dalam ranah yang
berbeda, sehingga berimbas pada hasil akhir yaitu
praktek sosial tanpa disadari oleh para agenindividu.

69
Berdasarkan kerangka penelitian di atas, guna
menganalisis dan mengidentifikasi aktor politik dalam
pemilihan kepala desa. Selain itu juga guna
menganalisis peran habitus aktor dalam kontestasi
politik. Penelitian ini menggunakan teori Boordieu
tentang

70
habitus, dan arena untuk menjelaskan kontestasi aktor
dalam perebutan kekuasaan antara So’a/ Nuru Naini,
So’a/ Nuru Huhuni, So’a/ Nuru Na’ani, So’a/ Nuru Ola,
dan So’a/ Nuru Eti.
Habitus adalah sikap, mentalitas, dan pandangan
seorang tentang dunianya. Melalui habitus seseorang
menilai, memutuskan danmengevaluasi realitas yang
dihadapinya (Raedeke et al 2003). Ringkasnya, habitus
merupakan kebiasaan, yang menuntun manusia;
misalnya berjalan, berfikir, berbicara yang dilakukan
berulang-ulang (Bourdieu 2010; Reay 2004; Adams
2006; Banos 2017). Arena adalah ruang relasi yang
menghubungkan individu dan kelompok untuk mencapai
tujuan tertentu. Habitus berada dalam individu (internal)
sedangkan arena berada di luar (external) individu yang
saling berdialektika mempertaruhkan modal ekonomi,
sosial budaya dan simbolik.

71

Anda mungkin juga menyukai