Esai 1 - Relasi Yang Diprakarsai Oleh Allah
Esai 1 - Relasi Yang Diprakarsai Oleh Allah
Pendahuluan
Tulisan ini saya bagi ke dalam lima bagian. Pada bagian pertama, saya akan membahas
mengenai pendekatan yang saya lakukan terhadap kitab-kitab PL untuk mengetahui apakah
kitab-kitab PL berbicara mengenai relasi. Hal ini akan saya bahas dengan ringkas karena
tujuannya adalah untuk dapat melihat konteks umum atau konteks besar mengenai relasi pada
kitab-kitab PL. Masih pada bagian pertama, selain membahas mengenai relasi pada kitab-kitab
PL secara ringkas, saya juga akan membahas mengenai relasi dari kitab-kitab PB. Tujuannya
sama yaitu agar pembaca dapat setidaknya mendapat kesan bahwa memang di dalam kitab-kitab
Pada bagian kedua dari tulisan ini, saya akan membahas mengenai dimensi relasi pada peristiwa
penciptaan. Relasi yang saya maksud terbatas pada relasi manusia dengan Tuhan; tentang
bagaimana relasi itu tercipta; tentang siapa yang berinisiatif dalam mengadakan relasi itu, dan
hal-hal lainnya pada diri manusia dan Tuhan berkaitan dengan relasi tersebut.
Pada bagian ketiga, saya akan berbicara mengenai relasi manusia dengan Tuhan pada penciptaan.
Di bagian ini saya tidak berbicara lagi mengenai relasi itu diciptakan atau diawali tetapi
bagaimana relasi itu rusak, hancur, atau terputus. Pada bagian ini, para pembaca akan dapat
mengetahui dengan cukup rinci hal-hal apa saja yang mengakibatkan kerusakan atau kehancuran
relasi tersebut, dan apa dampaknya pada substansi diri manusia yaitu mentalitas, karakter, atau
kualitas-kualitas pribadi mereka. Lebih jauh lagi, kerusakan relasi dan substansi pada diri
manusia mengakibatkan kerusakan pada dimensi fungsi termasuk di antaranya adalah dimensi
Pada bagian keempat, saya akan berbicara mengenai dimensi relasi pada penebusan yang
dilakukan Tuhan dalam Yesus Kristus. Di bagian ini saya akan menjelaskan kepada pembaca
bahwa Tuhan berinisiatif, bukan saja pada penciptaan, tetapi juga setelah manusia jatuh ke dalam
dosa, Dia ingin menciptakan kembali, dalam hal ini relasi antara manusia dengan Dia.
Pada bagian kelima, saya akan berbicara mengenai kesimpulan dan implikasi praktis.
Sebagaimana tujuan dari paper ini dibuat adalah untuk meyakinkan komunitas Kristiani bahwa
relasi dengan Tuhan sangat esensial dan mutlak dibutuhkan, maka penulis berusaha memberikan
kesimpulan secara ringkas dan implikasi praktis yang dapat mendorong pembaca untuk
Kalau pembaca cukup sering membaca Alkitab atau mendengarkan khotbah-khotbah Alkitabiah,
maka saya percaya bahwa pembaca akan setuju dengan penulis bahwa Alkitab memang
berbicara mengenai relasi antara manusia dengan Tuhan. Kita mulai saja dengan kitab-kitab PL.
Di sana digambarkan bagaimana Allah berinisiatif untuk memulai relasi dengan manusia. Dia,
pertama-tama, menciptakan manusia dengan nafas-Nya. Setelah itu manusia yang awalnya
dibentuk dari tanah liat, mempunyai kehidupan. Allah kemudian memberikan mereka
kepercayaan untuk mengelola ciptaan-Nya. Bahkan, setelah jatuh ke dalam dosa, Allah masih
berinteraksi dan berkomunikasi dengan manusia. Dia menemui mereka dan mengenakan kepada
mereka pakaian. Dari tokoh-tokoh Alkitab PL, selain Adam dan Hawa, yaitu Henokh, Nuh,
Abraham, Yusuf, Musa, Daud, para nabi, dan tokoh-tokoh lainnya, kita juga dapat melihat
bahwa Tuhan mempunyai relasi dengan mereka; termasuk juga dalam kitab-kitab PL dalam
kategori sastra, kita juga menemukan kitab-kitab, kisah, atau metafora yang menggambarkan
relasi manusia dengan Tuhan seperti kitab Hosea, Kidung Agung, Mazmur, Yehezkiel, Yeremia,
Bagaimana dengan kitab-kitab PB? Saya katakan lebih banyak lagi. Kitab-kitab PB lebih banyak
berbicara mengenai relasi manusia dengan Allah. Alasannya, yang pertama, karena Yesus telah
menggenapi kitab Musa, kitab-kitab para nabi, dan kitab-kitab Mazmur, dan PB berbicara
banyak mengenai Yesus Kristus. Di sini saya tidak bermaksud membandingkan kitab-kitab PB
dengan PL dan membuktikan bahwa kitab-kitab PL lebih rendah daripada kitab-kitab PB. Akan
tetapi, saya ingin mengatakan bahwa dalam kitab-kitab PB banyak dijelaskan mengenai realisasi
dari janji-janji Allah, realisasi dari nubuat-nubuat para nabi mengenai lawatan Allah dan
penebusan yang akan Dia lakukan dalam Yesus Kristus. Dalam kitab-kitab PB, Allah
menunjukkan inisiasi besar yang Dia lakukan untuk kedua kalinya yaitu menciptakan kembali
manusia untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya (Rom 8:29-30). Kalau pada bagian
awal atau pertama dari Alkitab digambarkan mengenai penciptaan manusia yang seturut gambar
dan rupa Allah, maka pada yang kedua kali, Dia masih melakukannya, bahkan lebih besar lagi.
Ini menunjukkan bahwa Allah itu maha mengasihi. Kasih-Nya dapat mengimbangi keadilan dan
kekudusan-Nya.
Lebih spesifik tentang perbandingan PL dan PB dalam konteks relasi, jika dalam kitab-kitab PL
terdapat kitab-kitab Musa yang berisi mengenai hukum-hukum ritual, dietary, dan moral, maka
pada kitab-kitab PB dijelaskan mengenai kasih karunia Allah yang dia berikan kepada manusia
agar manusia dapat diselamatkan (Yoh 3:16). Signifikansi mengenai hal ini dapat kita lihat
dengan jelas pada peristiwa monumental dimana para rasul dan penatua berkumpul di Yerusalem
untuk menjelaskan, pertama-tama, kepada diri mereka sendiri, kemudian kepada jemaat-jemaat
di Antiokhia, Siria, dan Kilikia, dan bangsa-bangsa lain, bahwa keselamatan adalah anugerah
Allah oleh iman dalam Yesus Kristus (Kisah 15:1-35; Ef 2:8-9). Untuk menemukan lebih jauh
dan lebih dalam lagi, saya menyemangati pembaca untuk membaca dan menemukan dalam
Pada peristiwa penciptaan, dimensi relasi antara manusia dengan Tuhan dapat kita lihat ketika
Tuhan menghembuskan nafas-Nya kepada manusia (Kejadian 2:7). Manusia ketika itu baru
dibentuk dari tanah liat dan belum mempunyai kehidupan. Ketika Tuhan menghembuskan nafas-
Nya kepada manusia, maka manusia mempunyai kehidupan dan kualitas-kualitas Allah yang Dia
bagikan kepada manusia. Kualitas-kualitas tersebut adalah kualitas-kualitas yang dapat Dia
bagikan dan bersifat terbatas karena manusia adalah ciptaan. Ini dalam ilmu teologi disebut
dimiliki oleh manusia dari Allah adalah mengasihi. Adam mengasihi Hawa, dan begitu juga
Hawa mengasihi Adam. Keduanya adalah pasangan pernikahan yang baik, yang pertama kali ada
di dunia.
Hal yang barusan saya gambarkan ini adalah disebut sebagai penciptaan manusia seturut dengan
gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26). Erickson, dalam bukunya Introducing Christian
Doctrine, menjelaskan tiga pendapat mengenai citra Allah. Pendapat pertama mengatakan bahwa
1
“Attributes of God: Communicable (Part 1),” Biblical Training, accessed March 15, 2021,
https://www.biblicaltraining.org/learn/institute/th503-systematic-theology-i/th503-18-attributes-of-god-
communicable-part-1#class--transcript
citra Allah adalah relasi manusia dengan Allah; pendapat kedua mengatakan bahwa citra Allah
yang dimaksud oleh Alkitab tersebut adalah substansi pada diri manusia itu yaitu karakter-
karakter yang ada pada diri mereka, dan pendapat yang ketiga mengatakan bahwa citra Allah
adalah fungsi yang dimiliki oleh manusia dari Allah, bahwa mereka dapat mengelola ciptaan-
Nya.2
Tiga pendapat ini menginspirasi saya untuk mencari tahu yang mana dari ketiganya yang paling
tepat. Saya terdorong untuk mempelajarinya lebih jauh dan kemudian menjelaskannya pada
paper ini. Erickson, dengan berbagai hal yang luar biasa dalam bukunya tersebut, telah
menjelaskan ketiga pendapat tadi, dan mengatakan bahwa ketiganya mengandung kebenaran,
tetapi tidak memberikan keputusan mengenai yang mana dari teori-teori itu yang paling tepat,
Menurut saya, yang paling tepat adalah, pertama-tama adalah relasional, kemudian diikuti
dengan substansial, dan selanjutnya diikuti dengan fungsional. Dalam urutan logis, manusia tidak
mungkin mempunyai substansi tanpa Allah lebih dahulu membangun relasi dengan cara
menghembuskan nafas-Nya kepada manusia. Manusia juga tidak mungkin dapat berfungsi tanpa
mereka lebih dahulu mempunyai substansi pada diri mereka yang mereka peroleh dari Allah.
Dengan substansi yang mereka miliki dari Allah, maka mereka akan dapat mengelola ciptaan-
Nya.
Yesus, dalam Injil Yohanes, mengatakan, “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-
rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di
luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa (Yoh 15:5).” Perkataan Yesus ini mungkin berkenaan
2
Erickson, Millard J, Introducing Christian Doctrine, 2nd edition (Grand Rapids: Baker Academics,
2001), 166-172.
dengan penciptaan kedua yaitu yang mengacu kepada pemulihan dan pembaharuan setelah
kejatuhan. Akan tetapi, secara prinsip, hal ini dapat digunakan dalam memahami penciptaan
pertama. Atau, kalau perkataan Yesus ini tidak berkaitan dengan keduanya secara langsung, ini
tetap benar dan tepat dalam mengatakan bahwa Yesus adalah sumber dari substansi dan fungsi
yang ada pada diri manusia, dan itu dimulai dengan inisiatif Allah untuk membangun relasi
dengan cara menghembuskan nafas-Nya kepada manusia. Dia, ketika membangun relasi itu, juga
Manusia, pada peristiwa kejatuhan, mengalami kerusakan pada dimensi relasi mereka dengan
Allah. Itu diawali dengan munculnya ketidakpercayaan terhadap Allah atau terhadap apa yang
Dia katakan. Allah berkata kepada manusia bahwa mereka jangan sekali-kali makan buah dari
pohon pengetahuan yang baik dan jahat, karena pada hari mereka memakannya, maka mereka
pasti akan mati (Kej 2:16-17). Ketidak percayaan itu mungkin diawali dengan keraguan atau
lebih jauh diawali dengan keinginan untuk menjadi independen terhadap Tuhan. Akan tetapi,
ketidakpercayaan dan independensi itu merupakan bagian dari kerusakan dimensi relasi dengan
Tuhan. Manusia tidak dapat mempunyai relasi yang lengkap dengan Tuhan dan pada waktu yang
sama tidak percaya kepada Dia, dan independen terhadap Dia. Itu bukanlah model relasi awal
yang diciptakan oleh Allah pada manusia. Allah, ketika melihat manusia dan relasi Dia dengan
mereka sebagai hal yang sungguh amat baik, adalah ketika mereka percaya dan tidak independen
Dalam ilmu teologi, ini disebut dengan total-depravity.3 Kerusakan total ini membuat manusia,
pada diri mereka, tidak lengkap seperti sebelumnya. Saya menggunakan kata “lengkap” agar
lebih mudah dipahami daripada mengatakan “sempurna”. Tidak lengkap yang saya maksudkan
adalah adanya kekurangan atau kerusakan pada elemen atau dimensi dari diri manusia tersebut
yaitu, pertama-tama, relasi mereka dengan Allah, dan kemudian diikuti dengan substansi mereka,
dan kemudian diikuti dengan fungsi mereka. Inilah yang membuat manusia tidak berkenan di
hadapan Allah, karena mereka tidak lagi baik seperti pada awalnya Dia memandang mereka di
waktu penciptaan. Implikasinya, adalah kekeliruan yang besar apabila manusia berusaha untuk
berkenan kepada Allah dengan cara mencoba untuk berbuat baik atau mengadakan berbagai
ritual. Meskipun upaya itu patut diapresiasi, tetapi itu tidak akan berhasil. Keberhasilan hanya
akan dapat dicapai dengan penciptaan kembali oleh Allah, oleh inisiatif Allah, dengan cara
memulihkan relasi manusia dengan Allah. Inilah yang akan saya jelaskan pada bagian
Sebelum berbicara mengenai bagian itu, saya juga ingin membandingkan pemahaman mengenai
relasi ini dengan teori federal-headship, dan natural-headship yang digagas oleh St. Augustine,
secara ringkas.4 Berdasarkan penjelasan saya sebelumnya di atas, maka dapat kita menyimpulkan
bahwa dosa turunan bukanlah kerusakan substansi yang kemudian diturunkan kepada keturunan
manusia sebagaimana yang dipercaya oleh teori federal-headship versi traducian atau creationist;
bukan juga memahami bahwa itu sebagai dosa bersama yang kita tanggung dengan Adam seolah
kita bersama dengan dia saat kejatuhan seperti yang dipercaya oleh St. Augustine dalam teori
natural-headship. Sebaliknya, yang tepat menurut saya adalah, bahwa kerusakan dimensi relasi
3
Ibid., 196-200.
4
Ibid., 202.
pada diri manusia memposisikan mereka independen terhadap Allah. Ini juga yang akan saya
jelaskan pada bagian berikutnya ketika menjelaskan tentang anugerah pendamaian yang
diinisiasi oleh Allah yang diakses oleh iman sehingga relasi manusia dengan Allah dipulihkan.
Untuk memahami bagian ini, pembaca dapat membandingkannya dengan penciptaan pertama
oleh Allah terhadap manusia. Pembaca dapat memperhatikan elemen atau prinsip-prinsip yang
terdapat di sana yaitu inisiatif Allah, dan relasi Allah dengan manusia, yang mempengaruhi
substansi dan fungsi pada diri manusia. Ini semua dapat kita lihat dan temukan ketika Tuhan
Pada penciptaan kedua, prinsip dan elemen-elemennya sama. Bahwa Allah berinisiatif untuk
memulihkan relasi, yang kemudian akan mempengaruhi substansi manusia, sehingga mereka
akan dapat berfungsi dengan baik. Hal ini, secara substansi dan fungsi, akan mengalami
kemajuan secara progresif atau incremental, atau biasa disebut dengan tahap atau proses
pengudusan. Akan tetapi, secara relasional dan posisional, Tuhan telah menyelesaikannya dalam
Yesus Kristus ketika Dia menebus kita dari atas kayu salib. Pada penebusan itu, Dia
mendamaikan kita dengan Allah. Dia mengimputasi kebenaran-Nya pada diri kita, dan dosa-dosa
kita, kita imputasikan kepada Dia. Dengan cara itu, kita dibenarkan bukan karena perbuatan kita
tetapi karena pekerjaan Dia (Kej 3:15; Yes 53:4-5; Rom 3:24-26; 5:6-10,15-21; 1 Cor 15:3; 2
Cor 5:21; Ef 5:2; Ibr 9:12-15; 10:10,14; 1 Pet 3:18). Dengan kata lain, kita menjadi berkenan di
hadapan Allah karena pekerjaan Kristus yang mendamaikan kita dan memulihkan relasi kita
dengan Bapa. Substansi dan fungsi mengikuti kemudian sehingga kita menjadi semakin serupa
yakni sebagai berikut: foreordain, predestination, election, regeneration, repentance and faith,
double imputation, justification, adoption, unity in Christ, sanctification, dan glorification.5 Dari
empat tahap pertama yaitu foreordain, predestination, election, dan regeneration, kita bisa
melihat inisiatif Allah untuk memulihkan relasi kita dengan Allah dan membenarkan secara
posisional. Pada tiga tahap selanjutnya, pembaca mungkin memberi argumen bahwa manusia
berperan atau berpartisipasi karena mereka bertobat, beriman, dan mengimputasi dosa kepada
Kristus, sehingga mereka dibenarkan, meski hal itu debatable dan bisa dijelaskan lebih jauh di
kesempatan lain. Pada empat tahap terakhir, kembali kita dapat melihat inisiatif Allah dan
pemulihan relasi oleh Allah. Kita bukan saja dibenarkan oleh Dia, tetapi juga diadopsi menjadi
anak-anak-Nya, menjadi anggota keluarga Allah, dan menjadi satu dalam Dia bersama dengan
orang-orang pilihan Allah. Kita kemudian dikuduskan oleh Allah di sepanjang kehidupan kita,
dan kita, pada akhirnya, akan dimuliakan oleh Dia (Ef 2; Rom 8:29-30).
Bagian ini saya buat untuk mengingatkan kembali secara ringkas mengenai intisari dari
penjelasan-penjelasan saya di atas. Bahwa hubungan antara manusia dengan Allah diinisiasi oleh
Allah, baik pada penciptaan pertama maupun pada penciptaan kedua yaitu penebusan, dan
seterusnya, tahapan-tahapan dalam urutan logis keselamatan. Bahwa hubungan antara manusia
dengan Allah menentukan substansi dan fungsi pada diri manusia. Apabila hubungan manusia
dengan Allah dalam keadaan lengkap, tidak rusak, sebagaimana pada awal penciptaan, maka
substansi dan fungsi manusia pun akan mengikutinya. Manusia pada waktu itu berkenan di
hadapan Allah. Sebaliknya, bila hubungan manusia dengan Allah rusak, tidak lengkap, seperti
5
Ibid., 280-317.
ketika dan setelah kejatuhan, maka itu akan menentukan substansi dan fungsi manusia. Mereka
tidak berkenan di hadapan Allah, dan dosa-dosa mereka yaitu kerusakan-kerusakan pada
substansi diri mereka, juga mempengaruhi dan bahkan merusak fungsi mereka sehingga mereka
tidak dapat berperan dengan benar sebagaimana mestinya yang didesain Allah sejak awal di
waktu penciptaan. Dengan kata lain, spiritualitas (relasi) mereka, mempengaruhi mentalitas dan
karakter (substansi) mereka, yang kemudian mempengaruhi lingkungan dan komunitas (fungsi)
mereka.
Sebagai implikasi praktis dan refleksi spiritual ringkas dari saya, inilah yang saya pikirkan dan
putuskan untuk lakukan terhadap diri saya, dan terhadap pelayanan dan misi saya. Bahwa saya
akan mengutamakan dan menyemangati diri saya dan orang-orang lain untuk membangun relasi
dengan Tuhan, dan terus meningkatkannya, sebagaimana itu telah diinisiasi oleh Allah untuk
saya. Karena itu patutlah bagi saya untuk bersyukur, menghargai relasi itu, dan menikmatinya,
sehingga saya bersukacita senantiasa dalam menjalani hidup, dan bergairah melakukan yang
terbaik dalam pelayanan dan misi saya untuk memuliakan nama Dia. Saya, dengan modal utama
tersebut, juga akan mengasihi anggota-anggota keluarga Allah, baik lokal maupun universal, dan
saya juga akan mengasihi sesama dengan kasih yang telah diberikan Allah kepada saya. Betapa
pentingnya relasi dengan Allah ini, dan betapa dia menentukan dimensi-dimensi yang lain.
Biblical Training. “Attributes of God: Communicable (Part 1).” Accessed March 15, 2021.
https://www.biblicaltraining.org/learn/institute/th503-systematic-theology-i/th503-18-
attributes-of-god-communicable-part-1#class--transcript
Erickson, Millard J. Introducing Christian Doctrine, 2nd edition. Grand Rapids: Baker
Academics, 2001.