Anda di halaman 1dari 11

Esai#1 - Relasi yang Diprakarsai Allah

(Sebuah perspektif Alkitabiah yang menyemangati umat Allah untuk


membangun relasi dengan Dia)
Ditulis oleh: Pdt. Dr. Naek Sijabat, BBS., MBS., MDiv (c)
______________________________________________________________________________

Pendahuluan

Tulisan ini saya bagi ke dalam lima bagian. Pada bagian pertama, saya akan membahas

mengenai pendekatan yang saya lakukan terhadap kitab-kitab PL untuk mengetahui apakah

kitab-kitab PL berbicara mengenai relasi. Hal ini akan saya bahas dengan ringkas karena

tujuannya adalah untuk dapat melihat konteks umum atau konteks besar mengenai relasi pada

kitab-kitab PL. Masih pada bagian pertama, selain membahas mengenai relasi pada kitab-kitab

PL secara ringkas, saya juga akan membahas mengenai relasi dari kitab-kitab PB. Tujuannya

sama yaitu agar pembaca dapat setidaknya mendapat kesan bahwa memang di dalam kitab-kitab

PB juga terdapat hal-hal atau bagian-bagian yang berbicara mengenai relasi.

Pada bagian kedua dari tulisan ini, saya akan membahas mengenai dimensi relasi pada peristiwa

penciptaan. Relasi yang saya maksud terbatas pada relasi manusia dengan Tuhan; tentang

bagaimana relasi itu tercipta; tentang siapa yang berinisiatif dalam mengadakan relasi itu, dan

hal-hal lainnya pada diri manusia dan Tuhan berkaitan dengan relasi tersebut.

Pada bagian ketiga, saya akan berbicara mengenai relasi manusia dengan Tuhan pada penciptaan.

Di bagian ini saya tidak berbicara lagi mengenai relasi itu diciptakan atau diawali tetapi

bagaimana relasi itu rusak, hancur, atau terputus. Pada bagian ini, para pembaca akan dapat

mengetahui dengan cukup rinci hal-hal apa saja yang mengakibatkan kerusakan atau kehancuran
relasi tersebut, dan apa dampaknya pada substansi diri manusia yaitu mentalitas, karakter, atau

kualitas-kualitas pribadi mereka. Lebih jauh lagi, kerusakan relasi dan substansi pada diri

manusia mengakibatkan kerusakan pada dimensi fungsi termasuk di antaranya adalah dimensi

sosial antara sesama manusia, dan antara manusia dengan ciptaan.

Pada bagian keempat, saya akan berbicara mengenai dimensi relasi pada penebusan yang

dilakukan Tuhan dalam Yesus Kristus. Di bagian ini saya akan menjelaskan kepada pembaca

bahwa Tuhan berinisiatif, bukan saja pada penciptaan, tetapi juga setelah manusia jatuh ke dalam

dosa, Dia ingin menciptakan kembali, dalam hal ini relasi antara manusia dengan Dia.

Pada bagian kelima, saya akan berbicara mengenai kesimpulan dan implikasi praktis.

Sebagaimana tujuan dari paper ini dibuat adalah untuk meyakinkan komunitas Kristiani bahwa

relasi dengan Tuhan sangat esensial dan mutlak dibutuhkan, maka penulis berusaha memberikan

kesimpulan secara ringkas dan implikasi praktis yang dapat mendorong pembaca untuk

mendapatkan berkat dari penjelasan-penjelasan Alkitabiah pada paper ini.

Pendekatan terhadap Kitab-kitab PL dan PB mengenai Relasi Manusia dengan Tuhan

Kalau pembaca cukup sering membaca Alkitab atau mendengarkan khotbah-khotbah Alkitabiah,

maka saya percaya bahwa pembaca akan setuju dengan penulis bahwa Alkitab memang

berbicara mengenai relasi antara manusia dengan Tuhan. Kita mulai saja dengan kitab-kitab PL.

Di sana digambarkan bagaimana Allah berinisiatif untuk memulai relasi dengan manusia. Dia,

pertama-tama, menciptakan manusia dengan nafas-Nya. Setelah itu manusia yang awalnya

dibentuk dari tanah liat, mempunyai kehidupan. Allah kemudian memberikan mereka

kepercayaan untuk mengelola ciptaan-Nya. Bahkan, setelah jatuh ke dalam dosa, Allah masih

berinteraksi dan berkomunikasi dengan manusia. Dia menemui mereka dan mengenakan kepada
mereka pakaian. Dari tokoh-tokoh Alkitab PL, selain Adam dan Hawa, yaitu Henokh, Nuh,

Abraham, Yusuf, Musa, Daud, para nabi, dan tokoh-tokoh lainnya, kita juga dapat melihat

bahwa Tuhan mempunyai relasi dengan mereka; termasuk juga dalam kitab-kitab PL dalam

kategori sastra, kita juga menemukan kitab-kitab, kisah, atau metafora yang menggambarkan

relasi manusia dengan Tuhan seperti kitab Hosea, Kidung Agung, Mazmur, Yehezkiel, Yeremia,

dan lain sebagainya.

Bagaimana dengan kitab-kitab PB? Saya katakan lebih banyak lagi. Kitab-kitab PB lebih banyak

berbicara mengenai relasi manusia dengan Allah. Alasannya, yang pertama, karena Yesus telah

menggenapi kitab Musa, kitab-kitab para nabi, dan kitab-kitab Mazmur, dan PB berbicara

banyak mengenai Yesus Kristus. Di sini saya tidak bermaksud membandingkan kitab-kitab PB

dengan PL dan membuktikan bahwa kitab-kitab PL lebih rendah daripada kitab-kitab PB. Akan

tetapi, saya ingin mengatakan bahwa dalam kitab-kitab PB banyak dijelaskan mengenai realisasi

dari janji-janji Allah, realisasi dari nubuat-nubuat para nabi mengenai lawatan Allah dan

penebusan yang akan Dia lakukan dalam Yesus Kristus. Dalam kitab-kitab PB, Allah

menunjukkan inisiasi besar yang Dia lakukan untuk kedua kalinya yaitu menciptakan kembali

manusia untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya (Rom 8:29-30). Kalau pada bagian

awal atau pertama dari Alkitab digambarkan mengenai penciptaan manusia yang seturut gambar

dan rupa Allah, maka pada yang kedua kali, Dia masih melakukannya, bahkan lebih besar lagi.

Ini menunjukkan bahwa Allah itu maha mengasihi. Kasih-Nya dapat mengimbangi keadilan dan

kekudusan-Nya.

Lebih spesifik tentang perbandingan PL dan PB dalam konteks relasi, jika dalam kitab-kitab PL

terdapat kitab-kitab Musa yang berisi mengenai hukum-hukum ritual, dietary, dan moral, maka

pada kitab-kitab PB dijelaskan mengenai kasih karunia Allah yang dia berikan kepada manusia
agar manusia dapat diselamatkan (Yoh 3:16). Signifikansi mengenai hal ini dapat kita lihat

dengan jelas pada peristiwa monumental dimana para rasul dan penatua berkumpul di Yerusalem

untuk menjelaskan, pertama-tama, kepada diri mereka sendiri, kemudian kepada jemaat-jemaat

di Antiokhia, Siria, dan Kilikia, dan bangsa-bangsa lain, bahwa keselamatan adalah anugerah

Allah oleh iman dalam Yesus Kristus (Kisah 15:1-35; Ef 2:8-9). Untuk menemukan lebih jauh

dan lebih dalam lagi, saya menyemangati pembaca untuk membaca dan menemukan dalam

kitab-kitab PB perihal relasi ini.

Memahami Dimensi Relasi pada Peristiwa Penciptaan

Pada peristiwa penciptaan, dimensi relasi antara manusia dengan Tuhan dapat kita lihat ketika

Tuhan menghembuskan nafas-Nya kepada manusia (Kejadian 2:7). Manusia ketika itu baru

dibentuk dari tanah liat dan belum mempunyai kehidupan. Ketika Tuhan menghembuskan nafas-

Nya kepada manusia, maka manusia mempunyai kehidupan dan kualitas-kualitas Allah yang Dia

bagikan kepada manusia. Kualitas-kualitas tersebut adalah kualitas-kualitas yang dapat Dia

bagikan dan bersifat terbatas karena manusia adalah ciptaan. Ini dalam ilmu teologi disebut

dengan communicable-attributes.1 Salah satu dari sekian banyak communicable-attributes yang

dimiliki oleh manusia dari Allah adalah mengasihi. Adam mengasihi Hawa, dan begitu juga

Hawa mengasihi Adam. Keduanya adalah pasangan pernikahan yang baik, yang pertama kali ada

di dunia.

Hal yang barusan saya gambarkan ini adalah disebut sebagai penciptaan manusia seturut dengan

gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26). Erickson, dalam bukunya Introducing Christian

Doctrine, menjelaskan tiga pendapat mengenai citra Allah. Pendapat pertama mengatakan bahwa

1
“Attributes of God: Communicable (Part 1),” Biblical Training, accessed March 15, 2021,
https://www.biblicaltraining.org/learn/institute/th503-systematic-theology-i/th503-18-attributes-of-god-
communicable-part-1#class--transcript
citra Allah adalah relasi manusia dengan Allah; pendapat kedua mengatakan bahwa citra Allah

yang dimaksud oleh Alkitab tersebut adalah substansi pada diri manusia itu yaitu karakter-

karakter yang ada pada diri mereka, dan pendapat yang ketiga mengatakan bahwa citra Allah

adalah fungsi yang dimiliki oleh manusia dari Allah, bahwa mereka dapat mengelola ciptaan-

Nya.2

Tiga pendapat ini menginspirasi saya untuk mencari tahu yang mana dari ketiganya yang paling

tepat. Saya terdorong untuk mempelajarinya lebih jauh dan kemudian menjelaskannya pada

paper ini. Erickson, dengan berbagai hal yang luar biasa dalam bukunya tersebut, telah

menjelaskan ketiga pendapat tadi, dan mengatakan bahwa ketiganya mengandung kebenaran,

tetapi tidak memberikan keputusan mengenai yang mana dari teori-teori itu yang paling tepat,

apakah relasional, substansial, atau fungsional?

Menurut saya, yang paling tepat adalah, pertama-tama adalah relasional, kemudian diikuti

dengan substansial, dan selanjutnya diikuti dengan fungsional. Dalam urutan logis, manusia tidak

mungkin mempunyai substansi tanpa Allah lebih dahulu membangun relasi dengan cara

menghembuskan nafas-Nya kepada manusia. Manusia juga tidak mungkin dapat berfungsi tanpa

mereka lebih dahulu mempunyai substansi pada diri mereka yang mereka peroleh dari Allah.

Dengan substansi yang mereka miliki dari Allah, maka mereka akan dapat mengelola ciptaan-

Nya.

Yesus, dalam Injil Yohanes, mengatakan, “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-

rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di

luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa (Yoh 15:5).” Perkataan Yesus ini mungkin berkenaan

2
Erickson, Millard J, Introducing Christian Doctrine, 2nd edition (Grand Rapids: Baker Academics,
2001), 166-172.
dengan penciptaan kedua yaitu yang mengacu kepada pemulihan dan pembaharuan setelah

kejatuhan. Akan tetapi, secara prinsip, hal ini dapat digunakan dalam memahami penciptaan

pertama. Atau, kalau perkataan Yesus ini tidak berkaitan dengan keduanya secara langsung, ini

tetap benar dan tepat dalam mengatakan bahwa Yesus adalah sumber dari substansi dan fungsi

yang ada pada diri manusia, dan itu dimulai dengan inisiatif Allah untuk membangun relasi

dengan cara menghembuskan nafas-Nya kepada manusia. Dia, ketika membangun relasi itu, juga

membagikan dimensi atau elemen immaterial ke dalam diri manusia.

Memahami Dimensi Relasi pada Peristiwa Kejatuhan

Manusia, pada peristiwa kejatuhan, mengalami kerusakan pada dimensi relasi mereka dengan

Allah. Itu diawali dengan munculnya ketidakpercayaan terhadap Allah atau terhadap apa yang

Dia katakan. Allah berkata kepada manusia bahwa mereka jangan sekali-kali makan buah dari

pohon pengetahuan yang baik dan jahat, karena pada hari mereka memakannya, maka mereka

pasti akan mati (Kej 2:16-17). Ketidak percayaan itu mungkin diawali dengan keraguan atau

lebih jauh diawali dengan keinginan untuk menjadi independen terhadap Tuhan. Akan tetapi,

ketidakpercayaan dan independensi itu merupakan bagian dari kerusakan dimensi relasi dengan

Tuhan. Manusia tidak dapat mempunyai relasi yang lengkap dengan Tuhan dan pada waktu yang

sama tidak percaya kepada Dia, dan independen terhadap Dia. Itu bukanlah model relasi awal

yang diciptakan oleh Allah pada manusia. Allah, ketika melihat manusia dan relasi Dia dengan

mereka sebagai hal yang sungguh amat baik, adalah ketika mereka percaya dan tidak independen

terhadap Dia (Kej 1:31).


Kerusakan relasi antara manusia dengan Tuhan kemudian diikuti dengan kerusakan substansi.

Dalam ilmu teologi, ini disebut dengan total-depravity.3 Kerusakan total ini membuat manusia,

pada diri mereka, tidak lengkap seperti sebelumnya. Saya menggunakan kata “lengkap” agar

lebih mudah dipahami daripada mengatakan “sempurna”. Tidak lengkap yang saya maksudkan

adalah adanya kekurangan atau kerusakan pada elemen atau dimensi dari diri manusia tersebut

yaitu, pertama-tama, relasi mereka dengan Allah, dan kemudian diikuti dengan substansi mereka,

dan kemudian diikuti dengan fungsi mereka. Inilah yang membuat manusia tidak berkenan di

hadapan Allah, karena mereka tidak lagi baik seperti pada awalnya Dia memandang mereka di

waktu penciptaan. Implikasinya, adalah kekeliruan yang besar apabila manusia berusaha untuk

berkenan kepada Allah dengan cara mencoba untuk berbuat baik atau mengadakan berbagai

ritual. Meskipun upaya itu patut diapresiasi, tetapi itu tidak akan berhasil. Keberhasilan hanya

akan dapat dicapai dengan penciptaan kembali oleh Allah, oleh inisiatif Allah, dengan cara

memulihkan relasi manusia dengan Allah. Inilah yang akan saya jelaskan pada bagian

selanjutnya yaitu dimensi relasi pada peristiwa penebusan.

Sebelum berbicara mengenai bagian itu, saya juga ingin membandingkan pemahaman mengenai

relasi ini dengan teori federal-headship, dan natural-headship yang digagas oleh St. Augustine,

secara ringkas.4 Berdasarkan penjelasan saya sebelumnya di atas, maka dapat kita menyimpulkan

bahwa dosa turunan bukanlah kerusakan substansi yang kemudian diturunkan kepada keturunan

manusia sebagaimana yang dipercaya oleh teori federal-headship versi traducian atau creationist;

bukan juga memahami bahwa itu sebagai dosa bersama yang kita tanggung dengan Adam seolah

kita bersama dengan dia saat kejatuhan seperti yang dipercaya oleh St. Augustine dalam teori

natural-headship. Sebaliknya, yang tepat menurut saya adalah, bahwa kerusakan dimensi relasi

3
Ibid., 196-200.
4
Ibid., 202.
pada diri manusia memposisikan mereka independen terhadap Allah. Ini juga yang akan saya

jelaskan pada bagian berikutnya ketika menjelaskan tentang anugerah pendamaian yang

diinisiasi oleh Allah yang diakses oleh iman sehingga relasi manusia dengan Allah dipulihkan.

Memahami Dimensi Relasi pada Peristiwa Penebusan

Untuk memahami bagian ini, pembaca dapat membandingkannya dengan penciptaan pertama

oleh Allah terhadap manusia. Pembaca dapat memperhatikan elemen atau prinsip-prinsip yang

terdapat di sana yaitu inisiatif Allah, dan relasi Allah dengan manusia, yang mempengaruhi

substansi dan fungsi pada diri manusia. Ini semua dapat kita lihat dan temukan ketika Tuhan

menghembuskan nafas-Nya kepada manusia.

Pada penciptaan kedua, prinsip dan elemen-elemennya sama. Bahwa Allah berinisiatif untuk

memulihkan relasi, yang kemudian akan mempengaruhi substansi manusia, sehingga mereka

akan dapat berfungsi dengan baik. Hal ini, secara substansi dan fungsi, akan mengalami

kemajuan secara progresif atau incremental, atau biasa disebut dengan tahap atau proses

pengudusan. Akan tetapi, secara relasional dan posisional, Tuhan telah menyelesaikannya dalam

Yesus Kristus ketika Dia menebus kita dari atas kayu salib. Pada penebusan itu, Dia

mendamaikan kita dengan Allah. Dia mengimputasi kebenaran-Nya pada diri kita, dan dosa-dosa

kita, kita imputasikan kepada Dia. Dengan cara itu, kita dibenarkan bukan karena perbuatan kita

tetapi karena pekerjaan Dia (Kej 3:15; Yes 53:4-5; Rom 3:24-26; 5:6-10,15-21; 1 Cor 15:3; 2

Cor 5:21; Ef 5:2; Ibr 9:12-15; 10:10,14; 1 Pet 3:18). Dengan kata lain, kita menjadi berkenan di

hadapan Allah karena pekerjaan Kristus yang mendamaikan kita dan memulihkan relasi kita

dengan Bapa. Substansi dan fungsi mengikuti kemudian sehingga kita menjadi semakin serupa

dengan gambaran Anak-Nya, Yesus Kristus (Rom 8:29-30).


Hal ini, dari tulisan-tulisan Erickson mengenai doktrin keselamatan, dapat diurutkan secara logis

yakni sebagai berikut: foreordain, predestination, election, regeneration, repentance and faith,

double imputation, justification, adoption, unity in Christ, sanctification, dan glorification.5 Dari

empat tahap pertama yaitu foreordain, predestination, election, dan regeneration, kita bisa

melihat inisiatif Allah untuk memulihkan relasi kita dengan Allah dan membenarkan secara

posisional. Pada tiga tahap selanjutnya, pembaca mungkin memberi argumen bahwa manusia

berperan atau berpartisipasi karena mereka bertobat, beriman, dan mengimputasi dosa kepada

Kristus, sehingga mereka dibenarkan, meski hal itu debatable dan bisa dijelaskan lebih jauh di

kesempatan lain. Pada empat tahap terakhir, kembali kita dapat melihat inisiatif Allah dan

pemulihan relasi oleh Allah. Kita bukan saja dibenarkan oleh Dia, tetapi juga diadopsi menjadi

anak-anak-Nya, menjadi anggota keluarga Allah, dan menjadi satu dalam Dia bersama dengan

orang-orang pilihan Allah. Kita kemudian dikuduskan oleh Allah di sepanjang kehidupan kita,

dan kita, pada akhirnya, akan dimuliakan oleh Dia (Ef 2; Rom 8:29-30).

Kesimpulan dan Implikasi Praktis

Bagian ini saya buat untuk mengingatkan kembali secara ringkas mengenai intisari dari

penjelasan-penjelasan saya di atas. Bahwa hubungan antara manusia dengan Allah diinisiasi oleh

Allah, baik pada penciptaan pertama maupun pada penciptaan kedua yaitu penebusan, dan

seterusnya, tahapan-tahapan dalam urutan logis keselamatan. Bahwa hubungan antara manusia

dengan Allah menentukan substansi dan fungsi pada diri manusia. Apabila hubungan manusia

dengan Allah dalam keadaan lengkap, tidak rusak, sebagaimana pada awal penciptaan, maka

substansi dan fungsi manusia pun akan mengikutinya. Manusia pada waktu itu berkenan di

hadapan Allah. Sebaliknya, bila hubungan manusia dengan Allah rusak, tidak lengkap, seperti

5
Ibid., 280-317.
ketika dan setelah kejatuhan, maka itu akan menentukan substansi dan fungsi manusia. Mereka

tidak berkenan di hadapan Allah, dan dosa-dosa mereka yaitu kerusakan-kerusakan pada

substansi diri mereka, juga mempengaruhi dan bahkan merusak fungsi mereka sehingga mereka

tidak dapat berperan dengan benar sebagaimana mestinya yang didesain Allah sejak awal di

waktu penciptaan. Dengan kata lain, spiritualitas (relasi) mereka, mempengaruhi mentalitas dan

karakter (substansi) mereka, yang kemudian mempengaruhi lingkungan dan komunitas (fungsi)

mereka.

Sebagai implikasi praktis dan refleksi spiritual ringkas dari saya, inilah yang saya pikirkan dan

putuskan untuk lakukan terhadap diri saya, dan terhadap pelayanan dan misi saya. Bahwa saya

akan mengutamakan dan menyemangati diri saya dan orang-orang lain untuk membangun relasi

dengan Tuhan, dan terus meningkatkannya, sebagaimana itu telah diinisiasi oleh Allah untuk

saya. Karena itu patutlah bagi saya untuk bersyukur, menghargai relasi itu, dan menikmatinya,

sehingga saya bersukacita senantiasa dalam menjalani hidup, dan bergairah melakukan yang

terbaik dalam pelayanan dan misi saya untuk memuliakan nama Dia. Saya, dengan modal utama

tersebut, juga akan mengasihi anggota-anggota keluarga Allah, baik lokal maupun universal, dan

saya juga akan mengasihi sesama dengan kasih yang telah diberikan Allah kepada saya. Betapa

pentingnya relasi dengan Allah ini, dan betapa dia menentukan dimensi-dimensi yang lain.

Kemuliaan bagi Tuhan.


BIBLIOGRAFI

Biblical Training. “Attributes of God: Communicable (Part 1).” Accessed March 15, 2021.
https://www.biblicaltraining.org/learn/institute/th503-systematic-theology-i/th503-18-
attributes-of-god-communicable-part-1#class--transcript
Erickson, Millard J. Introducing Christian Doctrine, 2nd edition. Grand Rapids: Baker
Academics, 2001.

Anda mungkin juga menyukai