Deskripsi Umum
Modul Manusia KB Satu membawa kita untuk menggali dasar tentang siapa
manusia secara teologis. Dasar teologis meletakkan manusia sebagai puncak ciptaan,
dan terpetik citra Allah sebagai Pencipta dalam diri manusia. Melalui pemaparan
pada modul ini, maka Anda diharapkan untuk dapat memahami citra Allah dalam
diri manusia, karakteristik citra Allah dalam diri manusia, bagaimana manusia
bergelut dan tiba pada pertobatan serta upaya mengasah citra Allah dalam diri
manusia.
Capaian Pembelajaran
Mampu mengabstraksi secara teologi siapa manusia yang memiliki citra
Allah dalam dirinya.
Pokok Materi
• Pemahaman citra Allah dalam diri Manusia
1
• Karakteristik citra Allah dalam diri manusia
• Penemuan jalan menuju Allah melalui pertobatan
• Implikasi karakteristik citra Allah dalam diri manusia
2
Uraian Materi:
Bagian lain yaitu Keluaran 20:4 juga penting untuk dilihat serta
pemahaman yang lebih dalam tentang kepentingan Kejadian 1:26-28 (Hill1984
:187). Terdapat larangan untuk menggambar Allah yang harus dihindari Israel,
dengan tujuan untuk tidak menciptakan gambaran yang keliru tentang Allah.
Allah harus dipahami secara benar untuk menghindari penyembahan berhala.
Sebagai manusia kita hanya mencoba menyatakan gambaran kita tentang Allah dan
tanggapan misteri ilahi yang kita jumpai itu.
3
a. Kejadian 1: 26-28 mengatakan bahwa manusia sebagai gambar Allah bukan
mengenai Allah sebagaimana Dia dalam diriNya sendiri, melainkan tentang
relasi Allah kepada kita. Allah untuk manusia sebagaimana manusia untuk
ciptaan lainnya (God is to man as ma to other creatures). Manusia adalah gambar
Allah yang memiliki keunggulan atas cipataan lainnya.
b. Kejadian 1: 27 hendak menyampaikan ajaran dasar tentang kesamaan derajat,
bahwa wanita dan pria adalah gambar Allah.
c. Dalam tradisi Yahwis, laki-laki dan perempuan membangun basis komunitas
manusia, sebuah komunitas yang sederajat, saling memberi dan menerima,
komplementaritas dan cinta. Walaupun bagian ini tidak disampaikan secara
langsung dan secara konkret oleh tradisi P, tetapi dia hendak menyatakan
bahwa manusia dalam realitas sosialnya, laki-laki dan perempuan sebagai
pribadi, secara mendasar sebagai gambar dan representasi Allah, menghadirkan
Allah yang berkata “marilah kita menciptakan manusia”.
Gambar Allah dalam manusia pada Perjanjian Baru menjadi lebih Kristologis
dan Soteriologis. Saat berbicara tentang gambar Allah dalam manusia, Paulus
mengenakan sebutan tersebut kepada Kristus dihubungan langsung dengan
keselamatan. Kolose 1:15 (band. Ibrani 1;13) mengatakan Kristus adalah gambar
Allah par excellence. Roma 8:29 menyatakan “sebab semua orang yang dipilihNya
dari semula, mereka juga ditentukanNya dari semula untuk menjadi serupa
dengan gambaran anakNya, supaya Ia, AnakNya itu, menjadi yang sulung di
antara banyak saudara. Selain berbicara n tentang gambar Allah, Paulus juga
berbicara tentang keserupaan (Kristus mengambil rupa daging yang dikuasai
dosa dan lahir dalam rupa manusia (Filipi 2:7).
5
(nous) adalah emanasi pertama dari yang Satu (Allah). Dalam kedua prinsip
filsafat tersebut manusia dipikirkan dalam term yang bersifat dualistis yaitu jiwa
atau roh dalam tubuh, sehingga orang Kristen pada masa ini menempatkan
gambar Allah dalam pikiran atau akal.
Irenius membedakan antara gambar dan rupa. Gambar itu tetap meskipun
manusia berdosa, sedangkan rupa dapat hilang karena dosa. Manusia adalah
gambar (Yunani: eikon) dari Allah khususnya dalam hakikat kebebasan dan
rasional. Dia adalah gambar dari Logos yang berinkarnasi dalam seluruh
keseluruhan humanitasnya. Kristus telah berinkarnasi dalam kepenuhan waktu
dan Dia membangun kembali rupa manusia (homoiousios) kepada Allah dengan
mengasimilasi manusia kepada Allah yang tidak terlihat melalui Sabda yang
terlihat itu.
Klemens dari Alexandria mengatakan bahwa gambar sejati adalah Logos yang
tidak kelihatan, yang adalah gambar sempurna dari Allah. Gambar adalah jiwa
manusia, tidak kelihatan dan rohani. Melalui inkarnasi Logos membawa gambar
sejati dan memberi dia martabatnya yang sejati (original dignity). Gambar ini
nampak dalam pikiran manusia (kemampuan untuk mengetahui) dan kebebasan
yang bertanggung jawab. Kebebasan memungkinkan manusia untuk menyerupai
model atau gambar sejati melalui “keutamaan dan imitasi” akan Logos.
Karenanya, tubuh hanya sebuah gambar. Dapat dicatat juga bahwa Bapa Gereja
memandang gambar Allah dalam manusia sebagai dinamika secara langsung
dihubungkan dengan keselamatan. Bahkan eikon dilihat sebagai dinamika dan
dapat berkembang. Eikon adalah the origin state, homoiousios is the final state or the
way to the final state (Hontiveros, 1998:82). Bahkan eikon dilihat sebagai karunia
ilahi.
Dengan menempatkan gambar ilahi dalam pikiran atau akal manusia tidak serta
merta merendahkan keadaan hidup nafsu, afektif, sensual, emosi dan tubuh
manusia sebagai dalam relasi dengan Allah. Untuk mengatakan pikiran manusia
sebagai gambar Allah, tidak hendak berkata dengan lengan manusia misalnya,
tidak menampakkan ciri ilahi. Menempatkan gambar Allah dalam pikiran manusia
adalah sebuah tradisi teologi Kristen Helenistis. Manusia dilihat sebagai binatang
rasional, tubuh manusia berarti tubuh rasional (being human means being rational).
Artinya hanya dengan aktivitas rasional dari inteligensi pikiran yang membuat
laki-laki dan perempuan dapat secara khusus merepresentasikan Allah dan
merealisasikan gambarNya dalam diri mereka sendiri.
6
Gambar ilahi adalah sesuatu yang direalisakan. Itu akan dinyatakan melalui
penggunaan atau aktivitas pikiran secara benar, inteligensi atau akal kita.
Seberapa pun tingkat inteligensi kita, jenius atau tidak, kita dapat menggunakan
inteligensi kita secara baik ataupun buruk. Dan hanya ketika kita
menggunakannya dengan tindakan yang menyenangkan, melayani dengan kasih,
atau cita sejati, kita merealisasikan gambar ilahi dalam diri kita. Tidak heran
Edmund Hill (1984:206) berkata: siapapun kita, penari atau pemain bola dll,
dipanggil sebagai manusia yang merepresentasikan Allah dalam tindakan itu, dan kita
melakukan dengan mengaplikasikan secara benar dari pikiran kita, keseluruhan pikiran
kita. Dalam term Kristiani, kita menyerupai Kristus. Kita dipanggil untuk menjadikan
diri kita model Kristus, berusaha dan berpikir serta bertindak seperti Dia, karena Dia
adalah gambar yang sempurna dan komplit dari Allah. Jika gambar Allah direalisasikan
di dalam kita lewat tindakan menyerupai Kristus (gambar sempurna), itu dilihat sebagai
hal yang menggambarkan bahwa kita bertindak dalam gambar khusus dari Allah, karena
Kristus adalah Anak Allah yang menjadi manusia, Sabda yang berinkarnasi.
Gambar 1.2.
7
3. Perkembangan Pemahaman dalam Tradisi Abad Pertengahan dan
Reformasi
Menurut St. Agustinus, jiwa dilihat sebagai gambar Allah sejauh jiwa itu capax Dei
melalui memori, intelek, dan kehendak. Kristus adalah gambar Allah sebagai
manusia, bukan sebagai Allah Putera, bahwa ini adalah seorang manusia.
Konteks pembicaraan St. Agustinus tentang manusia sebagai gambar Allah adalah
“eksplorasinya akan misteri trinitas” dalam De Trinitate. Ulasan pada buku itu
pada akhirnya mengantar dia pada kesadaran bahwa “dia sepenuhnya tidak
memahami apa artinya atau maknanya saat berbicara tentang Allah sebagai Bapa,
Putra dan Roh Kudus, dia belum mengerti mengapa Allah harus menjadi satu
dari tiga pribadi, dengan Putera sebagai yang berasal dari Bapa dan Roh Kudus
keluar dari Bapa dan Putera sebagai Karunia. Dia yakin bahwa tidak ada manusia
yang dapat melihat Allah. Untuk mengerti Allah kita harus berangkat dari refleksi
pada gambar-Nya yaitu manusia. Kitab Suci berkata bahwa manusia diciptakan
dalam gambar dan keserupaan dengan Allah; iman kita juga mengajarkan bahwa
Allah itu adalah kesatuan dari tiga pribadi.
St, Agustinus berpendapat bahwa manusia belajar mengenai seperti apakah Allah.
Dia mengetahui secara a priori, bahwa Allah adalah tritunggal dari Bapa, Putera
dan Roh Kudus. Hanya dalam pikiran, kita berharap menemukan gambar
trinitarian itu. Oleh karena itu, St. Agustinus melihat bahwa gambar Allah
ditemukan dalam pikiran, dan itu ditemukan dalam tiga tindakan khusus yaitu
tindakan pikiran untuk mengingat, memahami dan menghendaki Allah. Manusia
yang sempurna adalah manusia yang melampaui dirinya sendiri yaitu menjadi
satu dengan Penciptanya yakni Allah. Inilah yang Edmund Hill sebut sebagai the
transcendent image.
Gambaran ilahi dalam diri manusia adalah sesuatu yang harus dicapai dan
diusahakan dan pencapaiannya bergantung pada Allah. Allah ditemukan
dalam diri. Dia selalui bergantung pada Allah. Gambar itu adalah sesuatu yang
harus dicapai atau direalisasikan. Manusia adalah sesuatu yang menjadi, menjadi
apa sebenarnya kita, atau sebaliknya kemungkinan yang mengerikan, menjadi apa
yang bukan kita atau dosa.
Menjadi gambar sempurna yang melekat pada Allah, terjadi lewat “mengingat Dia,
mengenai Dia dan menghendaki Dia”. Dengan demikian dosa berarti berpaling
dari Allah. Konsekuensi melupakan Allah adalah keutamaan untuk mengetahui
dan mencintai yang mengarah ke jurusan yang salah. Ini akan diatasi jika manusia
menemukan kembali Allah itu. Dalam Galatia 4;4-5 Paulus mengatakan: “… tetapi
8
setelah waktunya, maka Allah mengutus AnakNya, yang lahir dari seorang perempuan
dan takluk kepada Hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada
hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak”. Setelah Yesus datang ke dunia, kita
semua diubah karena rahmat Allah, kembali ke hadapan Nya sehingga kita dapat
mencerminkan citra-Nya. Ini terjadi berkat íman akan manusia Yesus Kristus, yang
lahir dari seorang perawan, íman akan Sabda yang berinkarnasi. Melalui kematian
dan kebangkitan tubuh jasmaniNya, Dia menebus kita.
Gambar 1.3.
Relasi manusia dengan dunia tidak dapat dipisahkan dari kisah penciptaan
dalam kejadian 1 (sumber P) ataupun Kejadian 2 (sumber Y). Dua kisah penciptaan
dari dua tradisi yang berbeda memberikan dua cara pandang yang berbeda
berkenaan dengan relasi manusia dengan dunia (dalam bentuk relasi subyek-
subyek dan relasi subyek-obyek).
10
Gambar 1.4.
11
rasionalitas, kebebasan, dan kapasitas untuk berelasi interpersonal dengan Allah.
Manusia adalah mahkluk yang sejak awal dikehendaki Allah pada dirinya sendiri.
Sebagai gambar Allah, sang Intelek dan kehendak tertinggi, manusia memiliki
intelek dan kehendak. Dengan intelek itu manusia dapat mengetahui kebenaran
dan dengan kehendaknya ia menginginkan kebenaran itu sebagai kebaikannya.
Dengan intelek dan kehendak itu hubungan dengan kebenaran dan kebaikan,
manusia adalah bebas. Dalam kebebasan itu manusia dapat mencari, mengetahui,
menginginkan, dan mengejar tujuan terakhir hidupnya, kebaikan tertingginya.
Dalam pandangan Thomas Aquinas tujuan terakhir manusia adalah kebahagiaan
sempurna. Kebahagiaan sempurna dimiliki oleh orang yang menemukan
kebaikan tertinggi. Kebahagiaan semacam itu hanya ada pada Allah sebagai
kebaikan tertinggi.
12
Gambar 1.5.
Semua yang dijadikan Allah dilihat Allah sebagai baik, termasuk manusia
(Kejadian 1;31, I Timotius 4:4-5). Kebaikan di sini berarti kepenuhan dan
keberadaan. Kepenuhan ini tidak serta merta langsung dimiliki oleh pribadi
manusia sejak awal keberadaannya, tetapi berkembang secara individual di mana
manusia menanggapi panggilan Allah untuk mencapai kepenuhan seperti yang
diletakkan oleh Allah. Bila kebaikan itu dilihat sebagai pemenuhan potensi-
potensi yang membawa pada suatu keberadaan yang sempurna, maka kepenuhan
manusia, sebagaimana direncanakan dan dipanggil oleh Allah itulah, yang
merupakan kebaikan manusia. Sebaliknya, apa yang membatasi, menghalangi,
merusak kemungkinan-kemungkinan bagi realisasi potensialitas manusia hingga
kepenuhannya merupakan keburukan atau kejahatan (Grisez, 115-117). Seperti
yang dikatakan Thomas Aquinas, keburukan merupakan kekurangan dari sesuatu
yang seharusnya ada dan sempurna, kekurangan sesuatu yang yang sebenarnya
diinginkan oleh Allah dilakukan. Kebebasan manusia lahir dari gerak
kecenderungan manusia menghendaki kebaikan ini. Dari kebebasan dalam relasi
dengan kebaikan ini disusun moralitas manusia sehingga apa yang membuat
seorang pribadi manusia itu baik adalah kesesuain dengan apa yang membuatnya
penuh sebagai manusia. Apa yang membuat penuh dalam diri manusia bukan
terletak pada apa yang dimilikinya, melainkan aspek pribadinya yang dicari dan
ditemukan pada dirinya sendiri.
13
sesuai kodrat manusia disembuhkan, dipulihkan, disempurnakan oleh rahmat
Roh Kudus yang dikaruniakan oleh Allah dalam Yesus Kristus. Kepenuhan
manusia terwujud secara sempurna di surga. Hidup di dunia merupakan proses
melalui hidup moral sampai pada kepenuhan itu.
Untuk sampai pada Allah adalah harus ada pengetahuan tentang Allah. Ini
merupakan pengetahuan tentang kebenaran Allah, apa yang bernilai di mata
Allah. Ini merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai Ilahi yang menyusun nilai
dasar. Nilai dasar ini akan melandasi berbagai jenis nilai untuk kemudian
direalisasikan dengan pilihan-pilihan tindakan bebas. Pengetahuan manusia akan
Allah dan kebenaranNya ini merupakan partisipasi manusia yang dimungkinkan
oleh martabat manusia sebagai ciptaan yang dicipta menurut rupa dan gambar
Allah. Manusia dapat serupa dengan Allah termasuk dalam mengetahui apa
yang diketahui oleh Allah, walaupun pengetahuan itu partisipasi, suatu sharing
akal budi manusia pada Akal Budi Ilahi. Menurut Haering (1964) pengetahuan
ini merupakan pengetahuan religious moral yang merupakan partisipasi dan
asimilasi pada Allah yang membuat manusia memiliki keserupaan ilahi.
Semakin besar pengetahuan manusia akan nilai-nilai ilahi, semakin manusia
tidak dapat menghindar dari tanggung jawab yang muncul dari pengetahuannya
itu. Bertambahnya pengetahuan ini diikuti dengan semakin besarnya tanggung
jawab manusia di hadapan Allah (Yohannes 15:22, 9:41). Di hadapan
kecemerlangan nilai ilahi yang ditangkap oleh intelek manusia, semestinya
kehendak manusia menginginkan merealisasikannya. Itulah sebabnya, semakin
seseorang mengetahui nilai-nilai ilahi, semakin ia melakukan perbuatan baik
sesuai dengan pengetahuannya itu. Semua nilai yang dituju dengan tindakan-
tindakan manusia didasarkan pada nilai dasar ini. Moralitas seseorang dibangun
di atas pengetahuan akan nilai-nilai ilahi dan dinilai menurut kesesuaian
dengannya.
14
mengetahui kebenaran ini dan kehendaknya menggerakkannya untuk
melakukannya, makin ia mengenal Allah, dan sebagai hasilnya, semakin hidupnya
mewujudkan nilai-nilai yang berasal dari pengetahuannya itu (band. 1 Yohanes
4:7). Tanda dari pengetahuan akan Allah adalah mematuhi perintah Allah di sini
adalah mengetahui dalam cinta sehingga yang keluar dari pengetahuan semacam
ini adalah tindakan-tindakan yang melakukan kehendak Allah (Yohanes 15:9-17,
band. Yohanes 7:17).
Mengetahui Allah dengan segala nilai yang ada padaNya tidak menjamin
bahwa hidup moral seseorang akan bersesuaian dengan pengetahuan itu. Menurut
Haering (1964:125), pengetahuan intuitif abstrak-konseptual yang kering akan
sesuatu sebagai baik dan mengapa ia baik tidak akan membawa pada tindakan-
tindakan moral yang sesuai dengan pengetahuan itu jika tidak manusia sampai
pada kegaguman-keterpesonaan akan kecemerlangan gemilang, keindahan dan
15
kesucian akan kebenaran kepada Allah dan nilai-nilai Ilahi. Hanya dengan
kekaguman-keterpesonaan karena berhadapan dengan kecemerlangan gemilang
dan kesucian nilai-nilai ilahi itulah yang dapat menggerakkan kehendak manusia
untuk merealisasikan nilai-nilai ilahi itu. Pandangan akan kecemerlangan dan
kesucian ini menuntut adanya kepekaan moral (sense of value). Sense of value inilah
yang selanjutnya membedakan moralitas orang yang satu dengan yang lain sebab
bisa jadi moral seorang petani buta huruf yang beriman dapat lebih baik daripada
seorang ilmuwan yang acuh terhadap iman.
Dosa asal membuat pengenalan akal budi manusia akan kebenaran ilahi
menjadi kabur dan kehendaknya sering menginginkan yang bertentangan dengan
kebenaran itu karena manusia berada dalam situasi keterpecahan dan konflik
yang tidak teratur. Yesus Kristus menyembuhkan kodrat manusia yang luka itu,
menuntun manusia pada kebenaran. Dia adalah pewahyuan Allah yang
sempurna. Ia jalan, kebenaran dan kehidupan sebagaimana disampaikan dalam
Yohanes 14:6). Ia memberikan Roh Kebenaran yang mengajarkan kebenaran
dariNya. Paulus dalam Filipi 2:5 mengajak untuk mengenakan pikiran seperti
yang ada pada Kristus Yesus. Walaupun demikian dari pihak manusia tetap
dituntut sikap waspada, kerendahan hati, kemurnian, dan bertobat.
Realitas dosa asal mengajarkan kita bahwa meskipun sebagai manusia kita
terus melakukan keputusan-keputusan salah, namun Allah tidak pernah menyerah
dengan kita, dan Allah mencari cara dan jalan baru untuk menunjukkan kepada
17
kita kesia-siaan hidup yang berpusat pada diri sendiri dan kembali pada relasi
denganNya.
Allah menjadi sumber segala sesuatu. Allah adalah pencipta awal tetapi
sekaligus tujuan dari segala ciptaan, sebagaimana St. Agustinus menyebutkan “
Allah memberi bentuk keindahan kepada semua hal dan dengan hukumNya Ia
mengatur semua hal. Segala sesatu yang telah Allah diciptakan berasal dariNya.
Dalam kehidupan ciptaan Allah, ciptaan saling bersinergi untuk tiba atau menuju
Allah. Dalam kecintaan Allah menciptakan manusia juga ciptaan lainnya
menganugerahkan cinta bagi manusia dan sesama. Semua nilai kebaikan,
kebenaran juga keindahan bersumber dari Allah Pencipta. Kehadiran Allah
merupakan bentuk dan rencana Allah yang penuh cinta dengan rahmat yang
melimpah. Tentu Allah menginginkan bahwa ciptaanNya khususnya manusia
memandang Allah dalam kecintaan yang sama dari diriNya kepada manusia.
Namun disadari bahwa cinta Allah kepada ciptaanNya adalah jauh lebih besar,
terutama dalam diri kita manusia.
Manusia diciptakan oleh Allah dan dalam prosesnya dihembuskan roh oleh
Allah sehingga menjadi hidup. Dalam kehidupan manusia, hembusan nafas
kehidupan Allah itu pun dapat menjadi sumber untuk menghidupkan sesamanya.
Kehidupan manusia dimungkinkan hanya karena Allah masih memberikan nafas
kepadanya atau karena Allah masih berkenaan kepadanya (bandingkan paparan
yang pada bagian berikutnya tentang mahkluk jasmani dan rohani).
Dalam kesatuan tubuh, jiwa dan roh yang dianugerahkan Allah (selain
dengan kebaikan, kebenaran dan keindahan) terwujud dalam komunikasi dengan
yang lain, karena manusia tidak ada untuk dirinya sendiri tetapi juga bagi yang
lain. Dalam hubungan dengan yang lain itu jugalah manusia akan mampu
memancarkan kebaikan, kebenaran dan keindahan. Namun, dalam
kehidupannya, manusia menghadapi berbagai macam persoalan yang
menuntutnya untuk mempertahankan martabatnya sebagai mahkluk Allah yang
memiliki citra Allah dalam dirinya. Keindahan yang dianugerahkan Allah
memudar karena kejatuhan ke dalam dosa. Dosa memudarkan kualitas manusia
sebagai ciptaan Allah karena kodrat manusia yakni sebagai ciptaan yang senantiasa
harus mampu memancarkan keindahan Ilahi yang sejati.
Keindahan dalam diri manusia akan muncul pada saat dirinya mampu
menyelaraskan seluruh kehidupannya dengan kehendak Allah. Sebagai ciptaan
18
Allah, manusia sudah seharusnya menyelaraskan antara kehendak dan pikirannya
dengan kehendak dan pikiran Allah. Proses penyelarasan kehendak dan pikiran
manusia dengan kehendak dan pikiran Allah memang bukanlah hal yang mudah.
Manusia terus menghadapi banyak tantangan dalam proses penyelarasan tersebut.
Tantangan dalam penyelarasan tersebut pun kita temukan dalam kitab Kejadian
tentang manusia yang awalnya adalah Imago Dei jatuh ke dalam dosa. Kisah
kejatuhan (Kejadian 3:4-5) menggambarkan bahwa pikiran dan kehendak manusia
yang tidak sejalan atau selaras menjadikan gambaran Allah dalam diri manusia
menjadi bias. Manusia ingin menjadi Allah bahkan jika mungkin melebihi Allah.
Manusia ingin melepaskan dirinya dari Allah, menjadi pribadi yang mandiri lepas
dari Penciptanya sekaligus tujuan penciptaan. Manusia mengikuti gambaran diri
sendiri dan bukan seturut gambaran Allah (John Navone, 2011, 20).
Sebagai pencipta, Allah telah lebih dulu mencintai ciptaan daripada ciptaan
yang mencintai Allah. Kehadiran ciptaan merupakan bentuk dari rencana Allah
yang penuh cinta, Allah menghendaki supaya semua ciptaan menerima rahmat
yang berlimpah dalam kesatuan denganNya. Allah ingin ciptaanNya dapat
memandang wajahNya sebagai bentuk kasih Allah terhadap ciptaanNya. Cinta
Allah terhadap ciptaan selalu lebih besar daripada cinta ciptaan terhadap Allah.
Allah tidak hanya mencintai ciptaan dengan menciptakan ciptaan lainnya tetapi Ia
sendiri turun dan menjadi serupa dengan ciptaanNya.
Tindakan yang mengembalikan manusia sebagai Imago Dei, yakni serupa dan
segambar dengan Allah yang telah ditunjukkan oleh Yesus saat menjadi bagian
dari dunia ini. Kehadiran Yesus tidak hanya untuk sekedar mengangkat keadaan
yang hina dari manusia tetapi juga sekaligus mengembalikan cara pandang
manusia. Cara pandang yang Yesus inginkan terhadap manusia bahwa sesama
manusia itu memiliki citra yang sama, yakni tidak ada penguasa dan tidak ada
yang dikuasai (Matius 18:10, Yohanes 8:7). Tindakan yesus mengembalikan
manusia kepada martabat dan citra sejatinya menjadi manusia kembali serupa
dengan Allah.
Hidup serupa dengan Allah ditunjukkan lewat cara hidup manusia, hidup
secara manusiawi yang dalam pandangan Y.B. Mangunwijaya (2003: 21): ”setiap
manusia sejatinya sipanggil untuk menjadi manusia yang baik, manusia yang
manusiawi, karena dengan kemanusiawian itulah manusia dapat menemukan
21
Tuhan”. Manusia yang manusiawi artinya manusia yang kembali kepada
identitasnya sebagai ciptaan Allah yang adalah Imago Dei.
Relasi yang baik antara manusia dengan Allah terwujud tidak hanya secara
vertikal tetapi juga horizontal secara seimbang. Keseimbangan dalam relasi
membawa manusia untuk melihat Yesus sebagai teladan dalam hal ini, yang
memberi cara pandang baru untuk tidak hanya berfokus kepada Allah tetapi lupa
akan manusia. Yesus menunjukkan bahwa cinta kepada Allah harus dinyatakan
lewat cinta kepada manusia. Yesus telah mengangkat martabat manusia yang hina
dan menderita dan membutuhkan pertolongan menjadi pribadi yang merdeka
(Y.B.Mangunwijaya, 2003: 15). Tindakan Yesus didedikasi bagi mereka yang
berdosa, tersisih dan tersingkirkan. karyaNya ditujukan bukan demi diriNya
semata. Melalui Yesus kasih Allah dinyatakan kepada manusia. DiriNya menjadi
perantara Allah dan manusia (Lukas 4:43). Yesus sendiri sangat menyadari bahwa
peran diriNya adalah membawa Allah kepada manusia dan membawa manusia
kembali kepada Allah.
Dalam karyaNya, Yesus tidak pernah memilih lari dari tugas yang
diberikan Allah Bapa atau mengambil kesempatan untuk memuliakan diriNya
sendiri. Ini pun menjadi teladan bagi manusia untuk tidak lari dan menjauh dari
Allah ketika Allah hendak membangun kemitraan dengan manusia. Walaupun
seperti yang dikatakan St. Agustinus (Confession, 443). bahwa sikap lari dari
manusia menjadi kesempatan bagi dunia untuk menyergap manusia, dan saat
itulah manusia bisa lupa akan keberadaan rahmat Allah dalam dirinya. Melalui
kehadiran yesus, manusia disadarkan tentang dirinya yang memiliki rahmat Allah
yang begitu besar dan dalam perjalanan kehidupannya manusia cenderung lupa
dan mengabaikan rahmat Allah tersebut.
22
perbuatan ataupun pikirannya salah. Tanpa kesadaran tersebut, seseorang tidak
akan mampu sampai pada pertobatan yang sejati.
Kesadaran dihasilkan dari sebuah proses refleksi atau introspeksi diri. Saat
manusia mengalami kesadaran untuk bertobat, terdapat dua sikap yang dapat
ditunjukkan. Pertama, seseorang akan membenahi dirinya sehingga kembali pada
sesuatu yang benar. Kedua, seseorang hanya berhenti pada tahap kesadaran,
sehingga mereka tetap mempertahankan hidupnya yang sudah digeluti tersebut.
Pembenahan diri menjadi proses untuk belajar lebih lanjut sehingga diri manusia
disediakan secara penuh kepada Allah. Proses ini adalah proses yang tidak pernah
berhenti karena godaan yang bersifat manusiawi juga tidak akan pernah berakhir
hingga penziarahan hidup sebagai manusia itu selesai. Pertobatan selalu berkaitan
dengan aspek religius dan moral. Pertobatan menyangkut sikap atau pendirian
seseorang terhadap Injil Kristus dan penerimaan kabar gembira keselamatan. Sikap
seseorang yang bertobat tampak dalam perubahan atau pembaharuan spiritual
secara mendasar dan menyeluruh sehingga menunjukkan pembaharuan hidup
secara total. Pertobatan sebagai pembaharuan hidup membutuhkan proses secara
terus-menerus dan melewati langkah-langkah yang tepat melalui penyesalan,
pengakuan dan akhirnya perbaikan atas hidup (Aman, 2016:182).
Penyesalan adalah sikap yang lahir dari kesadaran akan dosa dan
keterbukaan kepada rahmat pengampunan. Sikap penyesalan tidak hanya sadar
dan terbuka akan pengampunan Allah, tetapi juga dorongan dari hati terdalam
untuk membalas kasih Allah dalam pengakuan dosa kita. Allah menerima kita
yang berdosa untuk bertobat dan mengampuni karena ada penyesalan dan
pengakuan dari kita yang melakukan dosa. Mengampuni tidak sebatas melupakan
tetapi memampukan orang yang telah bertobat memperbaiki dan mengatasi
kelemahannya. Perbaikan atas dosa dan kesalahan yang kita lakukan dibarengi
dengan niat serta kesungguhan untuk tidak mengulangi kesalahan dan dosa yang
sama yang akan merusak relasi dengan Allah dan hidup seturut dengan firman-
Nya.
23
Dalam Perjanjian Lama, pertobatan mengandung aspek yang berkaitan
dengan kultus dan batin serta sikap hidup atau perbuatan (Martasudjita, 2003:
313). Beberapa tindakan yang melambangkan pertobatan dalam Perjanjian Lama
misalnya berpuasa dan menyampaikan korban bakaran (Imamat 16), berkumpul
dan mengaku dosa (Ezra 9:1-15) atau menaruh abu di atas kepala (Yeremia 6:26).
Sementara pertobatan dalam hubungan dengan sikap batin misalnya yang ada
dalam kitab Yoel (Yoel 2:12, 13), yang menunjukkan bahwa ritual keagamaan
tetap dilakukan tetapi tidak cukup sampai di situ karena pertobatan juga perlu
diwujudkan melalui tindakan yang nyata yang berdimensi sosial, misalnya
yang digambarkan Yesaya 58:6-7 (membuka belenggu kelaliman,
memerdekakan orang yang teraniaya, memecah-mecah roti bagi yang lapar,
memberi tumpangan pada yang miskin dan tidak punya rumah serta memberi
pakaian bagi yang telanjang).
Istilah yang sering digunakan dalam Perjanjian Lama adalah shub yang
artinya berubah haluan, datang lagi, kembali kepada langkah-langkahnya,
berputar arah meninggalkan yang jahat menuju Tuhan (Brueggmann, 2012, 266).
Jadi, pertobatan adalah perubahan hidup, berbalik dari hidup yang lama dan
tidak benar ke hidup baru yang benar. Berbalik kepada Allah merupakan
gambaran pertobatan dalam konteks relasi dengan Allah, berkaitan dengan
disposisi batin terhadap Allah yang dilakukan dengan segenap hati dan segenap
jiwa dengan iman. Dengan berbalik pada Allah maka itu berjalan dengan
berbalik dari tingkah laku yang jahat atau perubahan tingkah laku sehari-hari.
Gambaran ini menonjolkan aspek relasional baik dengan Allah secara vertikal
dan sesama secara horizontal.
24
Pertobatan tidak hanya digambarkan sebagai usaha atau tindakan
manusia belaka. Pertobatan juga digambarkan sebagai anugerah Allah. Yang
mengalami pertobatan adalah manusia tetapi Allah memungkinkan manusia
untuk bertobat. Pada saat manusia berdosa Allah tidak pernah menutup pinta
perdamaian dengan manusia. Allah memberi kesempatan sehingga pertobatan
sangat mungkin untuk dilakukan (bandingkan misalnya pada pelanggaran
yang dilakukan Israel sebagai yang keras kepala dan tegar hati, Allah
menggerakkan mereka untuk bertobat dengan memberi hati yang baru, roh yang
baru di dalam batin serta menjauhkan hati yang keras, dalam Yeheskiel 36:26).
Jadi, pertobatan tidak melulu dilihat sebagai prestasi manusia atas kesadaran,
inisiatif dan keberanian manusia, tetapi Allah memegang peranan besar di
dalamnya. Allah menggerakkan hati manusia untuk bertobat, dan membuka
pintu pengampunan bagi manusia yang bertobat. Ini sekaligus menunjukkan
aspek kerja sama antara Allah dan manusia dalam pertobatan.
25
tidak menghakimi. Artinya Yesus tidak mendasarkan tindakanNya pada hukum
tetapi kasih Allah.
Moralitas berakar pada karunia kehidupan, akal budi dan kehendak bebas
(penciptaan) dan terlebih berakar pada suatu tawaran akan relasi yang istimewa
dan intim antara manusia dan Allah dan seluruh ciptaan. Jadi, moralitas dapat
ditempatkan bukan pertama-tama sebagai tanggapan manusia tetapi
penyingkapan rencana dan karunia Allah. Moralitas menjadi konsekuensi atas
pengalaman manusiawi atas kasih karunia Allah meskipun sesungguhnya manusia
tidak pantas mendapatkannya.
26
iblis dan manusia menghancurkan apa yang baik yang Allah buat dalam dirinya.
Ketidakmampuan untuk hidup menurut apa yang telah Tuhan sediakan dan
menerima apa adanya dalam kemurahan mengakibatkan manusia hancur di
hadapan Allah. Allah sendiri memulihkan kembali kedudukan manusia dengan
memberi perjanjian kepada manusia untuk setia pada ALlah (Kel 20:3) tetapi juga
mengusahakan shalom badi sesama (Amsal 5:21-24). Hukum menjadi penting di
sini (hukum Taurat dan sepuluh Perintah Allah) karena manusia yang terus
melakukan pelanggaran.
Dalam bagian lain, Khotbah di bukit (Matius 5-7) terdapat ajaran moral
Kristiani, di mana Yesus meletakkan dasar-dasar moralitas sebagai perbuatan yang
bergantung pada disposisi hati, bukan sekedar penampilan luar. Matius 5:48
menunjukkan penetapan standar yang ditetapkan dalam hidup Kristiani, yaitu
“Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapa-Mu di surga adalah sempurna”.
Khotbah di bukit menjadi jalan (hodos) yang mengarahkan manusia mencapai
kebahagiaan sejati. Jalan yang harus dilalui pun tidak sekedar memperoleh
berkat-berkat material dalam hidup, tetapi juga jalan salib dan penderitaan antara
lain miskin, berduka cita, lapar dan haus akan kebenaran, pejuang perdamaian, dll.
Berkat yang akan menjadi bagian untuk manusia adalah berkat spiritual.
27
28
2. Yesus sebagai Teladan Moral
Roh Kudus membimbing dan mengajarkan kita dengan cinta. Roh itu
memampukan kita bukan untuk memaksakan kebenaran itu pada diri kita atau
orang lain, tapi untuk membaca dari dalam kebenaran itu, menyelaminya dalam
kasih dan melaksanakannya dalam kasih. Dalam hidup yang dibimbing Roh
29
Kudus maka hidup kita diubah untuk menjadi semakin serupa dengan Allah,
mengarahkan diri pada kebaikan dan memilih untuk melakukan yang dan yang
berkenaan pada Allah. Bernard Haring menyebutnya sebagai “mata kasih yang
selalu waspada, mata yang mengenali apa yang dituntut oleh kasih dan apa yang
dengan benar mengungkapkan, atau apa yang mengkhianatinya”.
Karakter moral sebuah perbuatan bergantung juga pada intensi atau tujuan
pelaku perbuatan. Kita terhubung dengan pembahasan di atas mengenai tujuan
hidup manusia. Intensi ini memiliki daya gerak tinggi karena semua perbuatan
kita pasti mempunyai tujuan tertentu, entah baik entah jahat. Intensi pelaku
sangat berpengaruh pada karakter moral perbuatan. Intensi misanya dapat
menambah atau mengurangi kebaikan suatu perbuatan, bahkan bisa mengubahnya
menjadi buruk. Intensi tidak pernah mengubah sebuah perbuatan buruk menjadi
30
baik. Bandingkan dengan pepatah yang mengatakan “the end does not justify the
means” atau tujuan tidak menghalalkan segala macam cara.
Salah satu prinsip moral yang penting adalah tujuan baik tidak
menghalalkan segala cara. Akan tetapi, kekompleksan hidup manusia
memosisikan bahwa hidup tidak sekedar hitam atau putih karena terkadang kita
menemukan situasi di mana perbuatan yang kita rencanakan untuk lakukan
akan menghasilkan efek baik, tetapi sekaligus dengan konsekuensi atau akibat
yang buruk. Ini adalah situasi dilematik sehingga manusia bimbang apakah
melakukan yang baik atau buruk. Pada posisi ini, manusia membutuhkan hati
nurani nya sehingga mampu memutuskan apa yang harus dilakukan.
3. Hati Nurani
31
Hati nurani adalah kemampuan akal budi yang memiliki dua fungsi dan
saling berkaitan dalam gerakan dinamis dan harmonis. Fungsi tersebut adalah
syndresis (tanggap akan nilai yang bersifat transenden dan umum) dan syneidesis
(membuat keputusan moral menurut arahan akal budi praktis. Dalam pemahaman
Bohr (1999:188), syderesis merupakan suatu ketertarikan akan nilai yang bersifat
spontan dan intuitif, sehingga termasuk di dalamnya kemuakkan akan hal yang
bertentangan dengan nilai. Hati nurani adalah keputusan akal budi di mana
manusia mengerti apakah satu perbuatan konkret yang ia rencanakan, sedang
laksanakan, atau sudah laksanakan itu secara moral baik atau buruk. Syneidesis
berkaitan dengan perbuatan konkret yang terjadi di sini dan sekarang. Pada
pemahaman ini, moralitas dihubungkan dengan tanggung jawab dan tanggung
jawab bukan lahir dari paksaan tetapi kesadaran.
Hati nurani yang salah dan mengarahkan seseorang untuk bertindak yang
salah juga dimungkinkan jika manusia memutuskan untuk tidak menuruti
bimbingan Allah di dalam nuraninya dan mendengarkan suara serta pemikirannya
sendiri. Paul Wadell (2916:187) menyatakan bahwa hati nurani manusia
merupakan sesuatu yang hidup, dan seperti semua mahkluk hidup ia bertumbuh
kembang, dapat mengalami stagnasi, melemah bahkan mati, karena itu hati nurani
harus dijaga, diperhatikan dan ditumbuh kembangkan. Orang tua, para pendeta,
majelis, teolog, katekisan, pengasuh, dll dapat menjadi penjaga hati nurani umat
agar tetap terjaga dan melakukan yang benar melalui pelayanan yang dilakukan.
Gereja, keluarga, kebaktian-kebaktian dapat menjadi penyembuh lidah yang hidup
untuk menjaga hati nurani umat pada tempat yang seharusnya.
Forum Diskusi
1. Tahun 2022 lalu, Eropa dikecam dengan perang Rusian dan Ukraina. Konflik antara
Rusia dan Ukarina ini menjalar ke seluruh negara Uni Eropa bahkan seluruh dunia.
Yang paling dekat dengan kehidupan kita secara langsung adalah, kebijakan pemerintah
Indonesia untuk menyesuaikan harga minyak sesuai dengan harga pasar dunia.
Akibatnya terjadi kenaikan harga minyak bahkan sempat terjadi kelangkaan minyak
yang beredar di masyarakat. Diperlukan antrean yang panjang untuk memperoleh
minyak demi kebutuhan rumah tangga dan transportasi. Ada beragam dampak negatif
yang muncul dan kehidupan masyarakat yang semakin banyak mengalami penderitaan
secara terus-menerus. Masyarakat terjebak dalam rantai kemiskinan sehingga bisa
dengan mudah terjebak ke dalam pelacuran dan perdagangan manusia. Mengapa ini
semua terjadi? Mengapa manusia melakukan kejahatan kepada manusia lainnya? Ada
apa dengan manusia?
2. Dalam kehidupan kita, ternyata ada manusia yang mengalami keterbatasan fisiknya atau
manusia disabilitas yang mengalami kecacatan tertentu. Apakah mereka juga adalah
imago Dei, ataukah seperti apa? Untuk menyampaikan argument ibu bapak maka, link
dapat dikunjungi dengan judul “The Biblical Perspective on Disability” untuk ditelaah
lebih lanjut.
understanding-people-with-disabilities-within-the-biblical-
concepts-of-imago-dei-and-imitatio-
christi_1602664715.pdf (wwjmrd.com)
33
3. Masih sejalan dengan tema di atas, silahkan link berikut diunggah dan dianalisa tentang
“Keindahan dalam Disabilitas”.
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=
&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwik_OKf8uz8AhXVzzgGHaZmBj0QFn
oECBcQAQ&url=https%3A%2F%2Fmedia.neliti.com%2Fmedia%2Fpu
blications%2F318102-keindahan-dalam-disabilitas-sebuah-konst-
039ba88b.pdf&usg=AOvVaw2JKAj55c0mki1sZ8nIZzKi
https://youtu.be/YsgdQY6hPfg
5. Silahkan menonton link youtube berikut ini, dan berilah tanggapan tentang
bagaimana hati nurani bekerja dalam kehidupan kita untuk berlaku atas hidup:
https://youtu.be/cCkBXBia-SM
34
Daftar Pustaka
Agustinus, Confession, diterj. Winarsih Arifin dan Th. Can den End, Pengakuan-
pengakuan, Yogyakarta, Kanisius, 2009).
Aman Peter C., Moral dasar: Prinsip-prinsip Hidup Kristiani, Jakarta, Obor, 2016.
Bohr, David, In Christ A New Creation, Catholic Moral Tradition, Huntington, 1999.
Brueggemann, Walter and Tod Linafelt, An Introduction to the Old Testament: The
Canon and Christian Imagination, Louisville: Westminster, John Knox Press, 2012.
Guthrie Donald, The New Bible Commentary, Terj. Harun Hadiwijono, Tafsiran
Alkitab Masa Kini, Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih OMF, 1983.
Haering, Bernard, Law of Christ, Vol. I, The Newman Press, Westminster, 1964.
Sloyan Gerald S., New Testament Reading Guide, The Gospel of St. Mark, Collegeville,
Minnesota, The Liturgical Press, Terj. Lembaga Biblika Indoensia, Tafsir Injil
Markus, Yaogyakarta, kanisius, 1982.
Wadell, Paul, Happiness and the Christian Moral Life: An Introduction to Christian
Ethics, Lanham, 2016.
35
Glosarium:
Alienasi yaitu keterasingan atau terlepas dan terpisah dari sesuatu.
Moralitas yaitu nilai yang berhubungan dengan baik dan buruk, tepat dan tidak
tepat.
Hati Nurani yaitu proses kognitif yang menghasilkan rasionalisasi atas pandangan
moral atau sistem nilai yang dimiliki seseorang.
36