Anda di halaman 1dari 36

KB SATU

CITRA ALLAH DALAM DIRI MANUSIA

Deskripsi Umum
Modul Manusia KB Satu membawa kita untuk menggali dasar tentang siapa
manusia secara teologis. Dasar teologis meletakkan manusia sebagai puncak ciptaan,
dan terpetik citra Allah sebagai Pencipta dalam diri manusia. Melalui pemaparan
pada modul ini, maka Anda diharapkan untuk dapat memahami citra Allah dalam
diri manusia, karakteristik citra Allah dalam diri manusia, bagaimana manusia
bergelut dan tiba pada pertobatan serta upaya mengasah citra Allah dalam diri
manusia.

Petunjuk Penggunaan Modul / Petunjuk Penugasan


Pemaparan pada KB Satu ini dilengkapi dengan sumber-sumber di mana
Guru Pendidikan Agama Kristen akan dapat mengembangkan diri dengan
mempelajari secara lebih lanjut dan mendalam. Pemahaman atas masing-masing
bagian pada KB Satu akan semakin mendapatkan bentuk dan pemahaman yang baik
jika Guru Pendidikan Agama Kristen dapat melanjutkan dengan penelusuran pada
sumber-sumber baik berupa tulisan pada jurnal yang dapat diakses secara online,
kanal Youtube, juga diskusi-diskusi hangat yang akan menjadi pemantik dalam
menelaah materi KB Satu ini secara kontekstual berdasarkan masalah-masalah
yang memang dihadapi saat ini. Pemahaman atas KB Satu akan semakin bermakna
dan dalam hubungan dengan masalah yang nyata maka Guru Agama Kristen
dapat melanjutkan nya dalam pertemuan dengan peserta didik siap dikayakan
dengan pemahaman yang baik dari Guru Pendidikan Agama Kristen.

Capaian Pembelajaran
Mampu mengabstraksi secara teologi siapa manusia yang memiliki citra
Allah dalam dirinya.

Sub Capaian Pembelajaran:


• Menelaah pemahaman teologis tentang citra Allah dalam diri manusia
• Menguraikan karakteristik citra Allah dalam diri manusia
• Menganalisis pertobatan dalam diri manusia
• Menganalisis implikasi karakteristik citra Allah dalam diri manusia

Pokok Materi
• Pemahaman citra Allah dalam diri Manusia

1
• Karakteristik citra Allah dalam diri manusia
• Penemuan jalan menuju Allah melalui pertobatan
• Implikasi karakteristik citra Allah dalam diri manusia

Pokok Materi dalam Peta Konsep

2
Uraian Materi:

A. PEMAHAMAN CITRA ALLAH DALAM DIRI MANUSIA


1. Dasar dalam Alkitab

Dasar dalam Alkitab, khususnya Perjanjian Lama dalam keluaran 1:26-28


memuat dengan jelas doktrin tentang citra Allah dalam diri manusia
(Hontiveros1988 :79-80). Menurutnya, manusia diciptakan menurut gambar (eikon)
dan rupa (homoiosis) dari Allah. Gambar dan rupa adalah sinonim merupakan
sudut pandang Perjanjian Lama, dan atas dasar itulah manusia yang adalah
gambar Allah diberi mandat untuk menguasai bumi dan mengatur masa depannya.
Posisi serta martabat manusia ini tidak dapat diganggu gugat (lihat Kejadian 9:6).

Bagian lain yaitu Keluaran 20:4 juga penting untuk dilihat serta
pemahaman yang lebih dalam tentang kepentingan Kejadian 1:26-28 (Hill1984
:187). Terdapat larangan untuk menggambar Allah yang harus dihindari Israel,
dengan tujuan untuk tidak menciptakan gambaran yang keliru tentang Allah.
Allah harus dipahami secara benar untuk menghindari penyembahan berhala.
Sebagai manusia kita hanya mencoba menyatakan gambaran kita tentang Allah dan
tanggapan misteri ilahi yang kita jumpai itu.

Gambar 1.1. Imago Dei

Dalam pemahaman menggunakan tradisi atau sumber P, Allah adalah


Pencipta dan menciptakan manusia menurut gambarNya. Allah menciptakan
gambar diriNya sendiri dan yang menyerupai diriNya sendiri, yaitu kita. Laki-
laki dan perempuan diciptakan menurut gambar Allah. Allah menciptakan
semuanya baik adanya, tetapi hanya manusia yang dikatakan bahwa dia adalah
gambar dan rupa Allah. Manusia merupakan representasi Allah dalam dunia
ciptaanNya, dan manusia adalah allah bagi ciptaan-ciptaan yang lain (Dafour,
1989:19). Ada tiga hal penting yang hendak disampaikan tradisi atau sumber P,
yaitu:

3
a. Kejadian 1: 26-28 mengatakan bahwa manusia sebagai gambar Allah bukan
mengenai Allah sebagaimana Dia dalam diriNya sendiri, melainkan tentang
relasi Allah kepada kita. Allah untuk manusia sebagaimana manusia untuk
ciptaan lainnya (God is to man as ma to other creatures). Manusia adalah gambar
Allah yang memiliki keunggulan atas cipataan lainnya.
b. Kejadian 1: 27 hendak menyampaikan ajaran dasar tentang kesamaan derajat,
bahwa wanita dan pria adalah gambar Allah.
c. Dalam tradisi Yahwis, laki-laki dan perempuan membangun basis komunitas
manusia, sebuah komunitas yang sederajat, saling memberi dan menerima,
komplementaritas dan cinta. Walaupun bagian ini tidak disampaikan secara
langsung dan secara konkret oleh tradisi P, tetapi dia hendak menyatakan
bahwa manusia dalam realitas sosialnya, laki-laki dan perempuan sebagai
pribadi, secara mendasar sebagai gambar dan representasi Allah, menghadirkan
Allah yang berkata “marilah kita menciptakan manusia”.

Gambar Allah dalam manusia pada Perjanjian Baru menjadi lebih Kristologis
dan Soteriologis. Saat berbicara tentang gambar Allah dalam manusia, Paulus
mengenakan sebutan tersebut kepada Kristus dihubungan langsung dengan
keselamatan. Kolose 1:15 (band. Ibrani 1;13) mengatakan Kristus adalah gambar
Allah par excellence. Roma 8:29 menyatakan “sebab semua orang yang dipilihNya
dari semula, mereka juga ditentukanNya dari semula untuk menjadi serupa
dengan gambaran anakNya, supaya Ia, AnakNya itu, menjadi yang sulung di
antara banyak saudara. Selain berbicara n tentang gambar Allah, Paulus juga
berbicara tentang keserupaan (Kristus mengambil rupa daging yang dikuasai
dosa dan lahir dalam rupa manusia (Filipi 2:7).

Dalam Perjanjian Baru, kata gambar digunakan dalam tiga pengertian,


yaitu: 1)martabat khusus Kristus dan ke-putra-illahi-anNya; 2)rupa Allah dalam
diri orang-orang percaya lewat imannya akan Kristus; 3)humanitas manusia.
Pengertian kedua menjadi pusat sedangkan pengertian ketiga amat jarang
ditemukan. Gambar Allah tidak ditemukan hanya dalam roh (jiwa) manusia
tetapi juga di dalam tubuhnya. Roma 8:23 menyatakan “penebusan tubuh kita”
dan I Korintus 15:42-44 meyakinkan kita bahwa tubuh kita yang hina akan diubah
menjadi tubuh rohaniah pada hari kebangkitan.

Dalam Perjanjian Baru, menurut Edmund Hill (201-202) tidak mengejutkan


misalnya Paulus berbicara tentang gambar Allah yang kemudian mengacu secara
eksklusif kepada Yesus Kristus. Manusia ini dan hanya manusia inilah yang
disebut Paulus sebagai gambar Allah. Kristus adalah representasi Allah yang
sempurna, yang berbicara kepada kita tentang Allah, dan hubunganNya dengan
4
kita, bukan hanya keunikan pribadiNya, tetapi juga kehidupan sosialNya, dll.
Kekuasaan kristus itu, menjadi semakin jelas oleh Paulus dengan doktrinnya
tentang “Gereja sebagai tubuhNya”. Bagi Paulus, Kristus adalah gambaran
sempurna dari Allah. Dia ada sebelum kita dan kita diundang untuk “dibentuk
untuk menjadi serupa denganNya” (Roma 8:29), mengenakan rupa dari manusia
surgawi (I Kor 15:49), diubah menjadi serupa dengan gambarNya dalam
kemuliaan yang semakin besar (2Kor 3:18), untuk memperoleh pengetahuan yang
benar menurut gambar Sang Khalik (Kolose 3:10).

Dalam pandangan Paulus, Kristus adalah gambar Allah. Kristus adalah


Allah Putera dan itu sama artinya dengan mengatakan, “Anak adalah gambar
sempurna dari Bapa”. Sebagai Anak Allah, Dia adalah satu-satunya gambar yang
sempurna dari Bapa. Lalu bagaimana dengan manusia? Manurut Hill manusia
disebut gambar Allah karena ia mempunyai kemampuan untuk mendekati atau
mempunyai potensi untuk menyerupai gambar Allah. Kesempurnaan yang paling
sempurna dapat dicapai melalui manusia Yesus Kristus, melalui kesatuan yang
personal dengan Anak Allah, yang adalah gambar Allah. Pencapaian ini adalah
rahmat dari manusia Yesus Kristus.

Berilah kesimpulan, menurut Anda, apa


pandangan manusia secara Biblis?

2. Penafsiran Menurut Tradisi Gereja

Berdasarkan tradisi gereja, pandangan Bapa gereja dipengaruhi filsafat


Yunani yang mengagungkan roh (jiwa) dan merendahkan tubuh. Plato misalnya
melihat dunia sebagai gambar dari idea abadi. Plotinos melihat jiwa sebagai
gambar Allah, yang mencerminkan hikmat ilahi. Philo melihat rupa Allah
diturunkan dari Logos kepada manusia. Jiwa rohani merepresentasikan
keberadaan sejati dari manusia, karena jiwa rohani membawa gambar dari
Logos. Edmund Hill (1984) melihat bahwa orang Kristen Yunani yang
dipengaruhi kultur Yunani mempercayai bahwa gambar Ilahi itu: jiwa, inteligensi,
akal, atau jiwa rasional dari manusia. Filsafat yang dominan pada dunia Greco-
Roman abad I-II adalah Stoisme, dan dari abad III adalah Neoplatonisme.
Menurut Stoa, akal itu percikan Ilahi dalam manusia, bagi Neoplatonisme pikiran

5
(nous) adalah emanasi pertama dari yang Satu (Allah). Dalam kedua prinsip
filsafat tersebut manusia dipikirkan dalam term yang bersifat dualistis yaitu jiwa
atau roh dalam tubuh, sehingga orang Kristen pada masa ini menempatkan
gambar Allah dalam pikiran atau akal.

Irenius membedakan antara gambar dan rupa. Gambar itu tetap meskipun
manusia berdosa, sedangkan rupa dapat hilang karena dosa. Manusia adalah
gambar (Yunani: eikon) dari Allah khususnya dalam hakikat kebebasan dan
rasional. Dia adalah gambar dari Logos yang berinkarnasi dalam seluruh
keseluruhan humanitasnya. Kristus telah berinkarnasi dalam kepenuhan waktu
dan Dia membangun kembali rupa manusia (homoiousios) kepada Allah dengan
mengasimilasi manusia kepada Allah yang tidak terlihat melalui Sabda yang
terlihat itu.

Klemens dari Alexandria mengatakan bahwa gambar sejati adalah Logos yang
tidak kelihatan, yang adalah gambar sempurna dari Allah. Gambar adalah jiwa
manusia, tidak kelihatan dan rohani. Melalui inkarnasi Logos membawa gambar
sejati dan memberi dia martabatnya yang sejati (original dignity). Gambar ini
nampak dalam pikiran manusia (kemampuan untuk mengetahui) dan kebebasan
yang bertanggung jawab. Kebebasan memungkinkan manusia untuk menyerupai
model atau gambar sejati melalui “keutamaan dan imitasi” akan Logos.
Karenanya, tubuh hanya sebuah gambar. Dapat dicatat juga bahwa Bapa Gereja
memandang gambar Allah dalam manusia sebagai dinamika secara langsung
dihubungkan dengan keselamatan. Bahkan eikon dilihat sebagai dinamika dan
dapat berkembang. Eikon adalah the origin state, homoiousios is the final state or the
way to the final state (Hontiveros, 1998:82). Bahkan eikon dilihat sebagai karunia
ilahi.

Dengan menempatkan gambar ilahi dalam pikiran atau akal manusia tidak serta
merta merendahkan keadaan hidup nafsu, afektif, sensual, emosi dan tubuh
manusia sebagai dalam relasi dengan Allah. Untuk mengatakan pikiran manusia
sebagai gambar Allah, tidak hendak berkata dengan lengan manusia misalnya,
tidak menampakkan ciri ilahi. Menempatkan gambar Allah dalam pikiran manusia
adalah sebuah tradisi teologi Kristen Helenistis. Manusia dilihat sebagai binatang
rasional, tubuh manusia berarti tubuh rasional (being human means being rational).
Artinya hanya dengan aktivitas rasional dari inteligensi pikiran yang membuat
laki-laki dan perempuan dapat secara khusus merepresentasikan Allah dan
merealisasikan gambarNya dalam diri mereka sendiri.

6
Gambar ilahi adalah sesuatu yang direalisakan. Itu akan dinyatakan melalui
penggunaan atau aktivitas pikiran secara benar, inteligensi atau akal kita.
Seberapa pun tingkat inteligensi kita, jenius atau tidak, kita dapat menggunakan
inteligensi kita secara baik ataupun buruk. Dan hanya ketika kita
menggunakannya dengan tindakan yang menyenangkan, melayani dengan kasih,
atau cita sejati, kita merealisasikan gambar ilahi dalam diri kita. Tidak heran
Edmund Hill (1984:206) berkata: siapapun kita, penari atau pemain bola dll,
dipanggil sebagai manusia yang merepresentasikan Allah dalam tindakan itu, dan kita
melakukan dengan mengaplikasikan secara benar dari pikiran kita, keseluruhan pikiran
kita. Dalam term Kristiani, kita menyerupai Kristus. Kita dipanggil untuk menjadikan
diri kita model Kristus, berusaha dan berpikir serta bertindak seperti Dia, karena Dia
adalah gambar yang sempurna dan komplit dari Allah. Jika gambar Allah direalisasikan
di dalam kita lewat tindakan menyerupai Kristus (gambar sempurna), itu dilihat sebagai
hal yang menggambarkan bahwa kita bertindak dalam gambar khusus dari Allah, karena
Kristus adalah Anak Allah yang menjadi manusia, Sabda yang berinkarnasi.

Irenius dan Tertulianus


membedakan antara gambar dan
rupa. menurut mereka bahwa
gambar terkait dengan tubuh
manusia, sedangkan rupa
berkaitan dengan sifat spiritual
manusia.

Clement dari Alexandria dan


Origenes menolak pengertian
tentang analogi dari tubuh dan
menganggap bahwa kata gambar
menunjukkan ciri-ciri khas manusia
sebagai manusia dan kata rupa
menunjukkan kualitas yang tidak
esensial tetapi dapat
dibudidayakan atau terhilang.

Pelagius melihat bahwa gambar hanya


berarti bahwa manusia diberkati
dengan pikiran, sehingga ia dapat
mengenal Allah. Dengan kehendak
bebasnya, ia dapat memilih dan
melakukan kebaikan dan dengan
kekuatan yang perlu untuk memerintah
ciptaan yang lebih rendah.

Gambar 1.2.

Pandangan para Bapa Gereja

7
3. Perkembangan Pemahaman dalam Tradisi Abad Pertengahan dan
Reformasi

Menurut St. Agustinus, jiwa dilihat sebagai gambar Allah sejauh jiwa itu capax Dei
melalui memori, intelek, dan kehendak. Kristus adalah gambar Allah sebagai
manusia, bukan sebagai Allah Putera, bahwa ini adalah seorang manusia.

Konteks pembicaraan St. Agustinus tentang manusia sebagai gambar Allah adalah
“eksplorasinya akan misteri trinitas” dalam De Trinitate. Ulasan pada buku itu
pada akhirnya mengantar dia pada kesadaran bahwa “dia sepenuhnya tidak
memahami apa artinya atau maknanya saat berbicara tentang Allah sebagai Bapa,
Putra dan Roh Kudus, dia belum mengerti mengapa Allah harus menjadi satu
dari tiga pribadi, dengan Putera sebagai yang berasal dari Bapa dan Roh Kudus
keluar dari Bapa dan Putera sebagai Karunia. Dia yakin bahwa tidak ada manusia
yang dapat melihat Allah. Untuk mengerti Allah kita harus berangkat dari refleksi
pada gambar-Nya yaitu manusia. Kitab Suci berkata bahwa manusia diciptakan
dalam gambar dan keserupaan dengan Allah; iman kita juga mengajarkan bahwa
Allah itu adalah kesatuan dari tiga pribadi.

St, Agustinus berpendapat bahwa manusia belajar mengenai seperti apakah Allah.
Dia mengetahui secara a priori, bahwa Allah adalah tritunggal dari Bapa, Putera
dan Roh Kudus. Hanya dalam pikiran, kita berharap menemukan gambar
trinitarian itu. Oleh karena itu, St. Agustinus melihat bahwa gambar Allah
ditemukan dalam pikiran, dan itu ditemukan dalam tiga tindakan khusus yaitu
tindakan pikiran untuk mengingat, memahami dan menghendaki Allah. Manusia
yang sempurna adalah manusia yang melampaui dirinya sendiri yaitu menjadi
satu dengan Penciptanya yakni Allah. Inilah yang Edmund Hill sebut sebagai the
transcendent image.

Gambaran ilahi dalam diri manusia adalah sesuatu yang harus dicapai dan
diusahakan dan pencapaiannya bergantung pada Allah. Allah ditemukan
dalam diri. Dia selalui bergantung pada Allah. Gambar itu adalah sesuatu yang
harus dicapai atau direalisasikan. Manusia adalah sesuatu yang menjadi, menjadi
apa sebenarnya kita, atau sebaliknya kemungkinan yang mengerikan, menjadi apa
yang bukan kita atau dosa.

Menjadi gambar sempurna yang melekat pada Allah, terjadi lewat “mengingat Dia,
mengenai Dia dan menghendaki Dia”. Dengan demikian dosa berarti berpaling
dari Allah. Konsekuensi melupakan Allah adalah keutamaan untuk mengetahui
dan mencintai yang mengarah ke jurusan yang salah. Ini akan diatasi jika manusia
menemukan kembali Allah itu. Dalam Galatia 4;4-5 Paulus mengatakan: “… tetapi

8
setelah waktunya, maka Allah mengutus AnakNya, yang lahir dari seorang perempuan
dan takluk kepada Hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada
hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak”. Setelah Yesus datang ke dunia, kita
semua diubah karena rahmat Allah, kembali ke hadapan Nya sehingga kita dapat
mencerminkan citra-Nya. Ini terjadi berkat íman akan manusia Yesus Kristus, yang
lahir dari seorang perawan, íman akan Sabda yang berinkarnasi. Melalui kematian
dan kebangkitan tubuh jasmaniNya, Dia menebus kita.

Marthin Luther tidak Johannes Calvin


mencari gambar dan rupa melihat bahwa gambar
Allah dalam penampakan dan rupa Allah
fisik manusia, seperti
misalnya kekuatan mencakup segala
rasional atau moral, tetapi sesuatu di mana sifat
semuanya di dalam dasar manusia
kebenaran asali, dan mengatasi segala sifat
dengan demikian, ia binatang
menganggap semua itu
hilang dalam dosa.

Gambar 1.3.

Pandangan para Reformator

B. KARAKTERISTIK CITRA ALLAH DALAM DIRI MANUSIA


1. Manusia sebagai Citra Allah dalam Hubungan dengan Dunia

Manusia adalah gambar Allah, diciptakan menurut gambar Allah dengan


kemampuan mengetahui dan mencintai Allah penciptaNya. Manusia ditetapkan
untuk menguasai seluruh mahkluk di dunia ini. Manusia menjadi tuan atas segala
yang ada. Manusia menguasai dan menggunakan sambil meluhurkan Allah.
Kenyataannya memang tidak selalu demikian, sebab manusia jatuh ke dalam dosa.
Manusia menyalahi kebebasan yang diberikan Allah dengan melakukan dosa.
Dosa adalah memberontak melawan Allah sebagai sikap yang menunjukkan
bahwa Allah bukan lagi dilihat sebagai dasar hidupnya. Allah tidak lagi dilihat
sebagai pribadi yang harus disembah. Walaupun demikian, Allah adalah Allah
yang baik dan penuh kasih. Kebaikan dan kasih Allah nampak dalam
pengutusan Yesus Kristus. Manusia dibebaskan oleh Yesus Kristus. Yesus Kristus
adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, manusia sempurna. Yesus Kristus
9
mengembalikan kepada anak-anak Adam citra Ilahi yang ternodai sejak manusia
pertama, Adam. Dalam Yesus Kristus, manusia diangkat mencapai martabat yang
luhur dan tinggi.

Melalui akal budi manusia melampaui seluruh alam. Lewat kecerdasan


manusia menyelami alam bendawi dan menemukan kebenaran yang semakin
mendalam. Namun, pribadi manusia tidak terbatas kodrat naluriah semata,
manusia harus disempurnakan lewat sikap kebijaksanaan itu, “manusia diantar
melalui alam yang kelihatan kepada kenyataan yang tidak kelihatan”.
Kebijaksanaan itulah yang membuat segala yang ditemukan manusia akan
menjadikan hidupnya semakin manusiawi. Kebijaksanaan itu akan terwujud
apabila manusia mendengar suara hati. Dalam hatinya manusia menemukan
hukum yang ditulis Allah dan suara hati itulah yang selalu menyerukan
kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik dan menghindari
apa yang jahat. Hati nurani pun dalam kehidupan manusia sering tersesat karena
ketidaktahuan yang tidak teratasi, tanpa kehilangan martabatnya. Manusia di
mana jiwa dan raganya adalah satu, san tidak boleh meremehkan tubuh
jasmaninya, harus memuliakan Allah dalam tubuhnya.

Martabat manusia yang tertinggi adalah relasi dengan Allah, dalam


keberadaannya sebagai gambar Allah. Martabat ini tidak terbatas pada jiwa
manusia, tapi pada seluruh keberadaannya (tubuh dan jiwa). Gambar Allah dan
keunikan martabat manusia ditemukan secara khusus dalam roh, dan oleh
karenanya setiap karya untuk keadilan seharusnya memperjuangkan kebebasan
manusia dari operasi dosa dalam keegoisan diri.

Relasi manusia dengan dunia tidak dapat dipisahkan dari kisah penciptaan
dalam kejadian 1 (sumber P) ataupun Kejadian 2 (sumber Y). Dua kisah penciptaan
dari dua tradisi yang berbeda memberikan dua cara pandang yang berbeda
berkenaan dengan relasi manusia dengan dunia (dalam bentuk relasi subyek-
subyek dan relasi subyek-obyek).

10
Gambar 1.4.

Relasi Subyek Obyek

Relasi subyek-subyek ada dalam sumber Yahwist. Dalam Kejadian 2:15


dikatakan … untuk mengusahakan dan memelihara taman ini…” Manusia dan ciptaan
yang lain dibuat dari bahan yang sama yaitu tanah. Namun demikian, keunggulan
atau puncak ciptaan ada pada manusia dibandingkan dengan ciptaan yang lain.
Kejadian 2:15 mempunyai cara pandang kosmis.

Penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki juga mau menegaskan


lagi adanya relasi antar ciptaan. Juga keberadaan manusia pertama di taman Eden
melambangkan hubungan yang harmonis antar ciptaan yang lain (kosmos).
Dengan menempatkan manusia dalam kebun Eden, manusia ditempatkan dalam
persahabatan dengan Penciptanya dan dalam keselarasan diri sendiri serta dengan
ciptaan yang lain. Dalam pemahaman seperti ini, manusia dipandang sebagai
subyek dan dunia pun dipandang sebagai subyek. Dalam relasi subyek subyek
inilah tugas manusia menjadi jelas yaitu mengusahakan dan memelihara.

Dalam hubungan subyek-subyek, jelaslah bahwa hubungan manusia dengan


dunia begitu kuat. Sehingga, jika manusia berbuat dosa maka akan memberi
pengaruh kepada dunia (Yeremia 7, 20; 9, 10-11; Yesaya 13, 9-11). Juga peristiwa
keselamatan mempengaruhi dunia di mana keselamatan manusia juga dilihat
sebagai langit dan bumi yang baru (Yesaya 65, 17-21; 66,22).

Relasi subyek obyek berasal dari tradisi imamat (sumber P) di mana


manusia dan dunia dilihat dalam kerangka relasi subyek obyek. Pandangan ini
lebih menekankan tanggungjawab manusia atas dunia untuk menguasai dan
menaklukkan. Ayat yang menjadi dasar adalah Kejadian 1:28 (Allah memberkati
mereka, Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyaklah;
taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas
segala binatang di bumi). Dengan demikian menjadi jelas siapa yang menjadi subyek
dan siapa yang menjadi obyek. Manusia adalah subyek sedangkan dunia adalah
obyek. Pandangan antropologis terasa lebih kuat.

2. Allah sebagai Kebaikan Tertinggi dan Manusia Berdosa

Manusia diciptakan seturut rupa dan gambar Allah (Kejadian 1:26).


Diciptakan seturut citra Allah tidak hanya memberi martabat luhur kepada
manusia, tetapi membuka pengertian akan terbukanya partisipasi dan relasi,
bahkan dalam cinta, antara manusia dengan Allah. Manusia diciptakan serupa
dan secitra dengan Allah berarti bahwa pada manusia sejak semula ada

11
rasionalitas, kebebasan, dan kapasitas untuk berelasi interpersonal dengan Allah.
Manusia adalah mahkluk yang sejak awal dikehendaki Allah pada dirinya sendiri.
Sebagai gambar Allah, sang Intelek dan kehendak tertinggi, manusia memiliki
intelek dan kehendak. Dengan intelek itu manusia dapat mengetahui kebenaran
dan dengan kehendaknya ia menginginkan kebenaran itu sebagai kebaikannya.
Dengan intelek dan kehendak itu hubungan dengan kebenaran dan kebaikan,
manusia adalah bebas. Dalam kebebasan itu manusia dapat mencari, mengetahui,
menginginkan, dan mengejar tujuan terakhir hidupnya, kebaikan tertingginya.
Dalam pandangan Thomas Aquinas tujuan terakhir manusia adalah kebahagiaan
sempurna. Kebahagiaan sempurna dimiliki oleh orang yang menemukan
kebaikan tertinggi. Kebahagiaan semacam itu hanya ada pada Allah sebagai
kebaikan tertinggi.

Kejatuhan manusia dalam dosa membuat manusia mengalami keterpecahan


internal yang menghasilkan disharmoni dengan dirinya, sesama, alam, dan Allah.
Manusia teralienasi dari Allah sehingga ia tidak bisa menangkap kebenaran
cemerlang dari gambar Allah pada dirinya itu maupun untuk menghidupinya
secara konsisten akibat kuasa dosa. Manusia terus-menerus terjerembap dalam
konflik antara yang baik dan buruk dalam dirinya karena luka pada kemampuan
akal budi dan kebebasannya. Yesus Kristus datang dan memulihkan gambar
Allah dalam diriNya sebagaimana aslinya. Ia adalah Adam baru (Korintus 4:4).
Dengan kesempurnaan ketaatanNya pada kehendak Allah Ia merekonsiliasi
manusia dengan Allah. Ia memberikan daya penebusan dan memulihkan
keutuhan-keselarasan manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesame, dengan
alam, dan dengan Allah. DariNya mengalir Roh yang mencurahkan rahmat
yang asal seperti ketika manusia belum jauh dari dosa. Roh kudus itu
mentransformasikan manusia dari dalam sehingga manusia lahir kembali dalam
Roh (Yohanes 3:3, 8) menjadi ciptaan baru ( Efesus 4:23; bandingkan Kolose 3:10)
yang menyerupai gambaran Kristus (Roma 8:29, 2 Korintus 3:18), gambar Allah
yang tidak kelihatan (Kolose 1;15). Gambar Allah pada manusia yang dikaburkan
oleh dosa dipulihkan dan dijernihkan kembali oleh Yesus dengan daya Roh
Pencipta. Bukan itu saja, manusia dialihkan (2 Petrus 1:4) dan diangkat menjadi
putra-putri Allah dalam Sang Putera sehingga manusia dapat berelasi dalam cinta
dengan Allah sebagaimana dikehendaki Allah dengan penciptaan menurut gambar
rupaNya.

12
Gambar 1.5.

Allah Menjadikan manusia dengan tanganNya sendiri

Semua yang dijadikan Allah dilihat Allah sebagai baik, termasuk manusia
(Kejadian 1;31, I Timotius 4:4-5). Kebaikan di sini berarti kepenuhan dan
keberadaan. Kepenuhan ini tidak serta merta langsung dimiliki oleh pribadi
manusia sejak awal keberadaannya, tetapi berkembang secara individual di mana
manusia menanggapi panggilan Allah untuk mencapai kepenuhan seperti yang
diletakkan oleh Allah. Bila kebaikan itu dilihat sebagai pemenuhan potensi-
potensi yang membawa pada suatu keberadaan yang sempurna, maka kepenuhan
manusia, sebagaimana direncanakan dan dipanggil oleh Allah itulah, yang
merupakan kebaikan manusia. Sebaliknya, apa yang membatasi, menghalangi,
merusak kemungkinan-kemungkinan bagi realisasi potensialitas manusia hingga
kepenuhannya merupakan keburukan atau kejahatan (Grisez, 115-117). Seperti
yang dikatakan Thomas Aquinas, keburukan merupakan kekurangan dari sesuatu
yang seharusnya ada dan sempurna, kekurangan sesuatu yang yang sebenarnya
diinginkan oleh Allah dilakukan. Kebebasan manusia lahir dari gerak
kecenderungan manusia menghendaki kebaikan ini. Dari kebebasan dalam relasi
dengan kebaikan ini disusun moralitas manusia sehingga apa yang membuat
seorang pribadi manusia itu baik adalah kesesuain dengan apa yang membuatnya
penuh sebagai manusia. Apa yang membuat penuh dalam diri manusia bukan
terletak pada apa yang dimilikinya, melainkan aspek pribadinya yang dicari dan
ditemukan pada dirinya sendiri.

Allah adalah kebaikan tertinggi manusia, itu yang membuatnya menjadi


penuh dalam kemanusiaannya. Dengan demikian, setiap tindakan manusia yang
keluar dari dan mengarah pada Allah adalah baik, dan yang berpaling atau
menjauh dari Allah adalah buruk. Akan tetapi, integrasi diri harmonis dalam
pribadi manusia sehubungan dengan pengetahuan akan Allah sebagai kebaikan
tertinggi hanya dapat diwujudkan manusia sebelum kejatuhan dalam dosa dan

13
sesuai kodrat manusia disembuhkan, dipulihkan, disempurnakan oleh rahmat
Roh Kudus yang dikaruniakan oleh Allah dalam Yesus Kristus. Kepenuhan
manusia terwujud secara sempurna di surga. Hidup di dunia merupakan proses
melalui hidup moral sampai pada kepenuhan itu.

3. Pengetahuan akan Allah sebagai Dasar bagi Nilai

Untuk sampai pada Allah adalah harus ada pengetahuan tentang Allah. Ini
merupakan pengetahuan tentang kebenaran Allah, apa yang bernilai di mata
Allah. Ini merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai Ilahi yang menyusun nilai
dasar. Nilai dasar ini akan melandasi berbagai jenis nilai untuk kemudian
direalisasikan dengan pilihan-pilihan tindakan bebas. Pengetahuan manusia akan
Allah dan kebenaranNya ini merupakan partisipasi manusia yang dimungkinkan
oleh martabat manusia sebagai ciptaan yang dicipta menurut rupa dan gambar
Allah. Manusia dapat serupa dengan Allah termasuk dalam mengetahui apa
yang diketahui oleh Allah, walaupun pengetahuan itu partisipasi, suatu sharing
akal budi manusia pada Akal Budi Ilahi. Menurut Haering (1964) pengetahuan
ini merupakan pengetahuan religious moral yang merupakan partisipasi dan
asimilasi pada Allah yang membuat manusia memiliki keserupaan ilahi.
Semakin besar pengetahuan manusia akan nilai-nilai ilahi, semakin manusia
tidak dapat menghindar dari tanggung jawab yang muncul dari pengetahuannya
itu. Bertambahnya pengetahuan ini diikuti dengan semakin besarnya tanggung
jawab manusia di hadapan Allah (Yohannes 15:22, 9:41). Di hadapan
kecemerlangan nilai ilahi yang ditangkap oleh intelek manusia, semestinya
kehendak manusia menginginkan merealisasikannya. Itulah sebabnya, semakin
seseorang mengetahui nilai-nilai ilahi, semakin ia melakukan perbuatan baik
sesuai dengan pengetahuannya itu. Semua nilai yang dituju dengan tindakan-
tindakan manusia didasarkan pada nilai dasar ini. Moralitas seseorang dibangun
di atas pengetahuan akan nilai-nilai ilahi dan dinilai menurut kesesuaian
dengannya.

Cinta merupakan daya dorong terhadap kebaikan. Ketika dorongan ini


dipandu oleh intelek dan digerakkan oleh kehendak, maka ia bersifat moral.
Manusia dapat mendekati Allah dengan cinta. Makin besar cinta manusia, makin ia
mengenal Allah dan makin mengenal Dia, makin manusia hidup seturut
kebenaranNya, nilaiNya (1 Yohannes 4:8). Manusia dapat mencintai Allah
karena Allah terlebih dahulu mencintai manusia. Terlebih lagi, manusia
diciptakan Allah dengan martabat begitu luhur, yaitu sebagai gambarNya,
karena cinta. Allah adalah cinta. Manusia sejak awal dipanggil untuk
menanggapi cinta Allah dan menjalin relasi cinta dengan Allah. Ketika manusia

14
mengetahui kebenaran ini dan kehendaknya menggerakkannya untuk
melakukannya, makin ia mengenal Allah, dan sebagai hasilnya, semakin hidupnya
mewujudkan nilai-nilai yang berasal dari pengetahuannya itu (band. 1 Yohanes
4:7). Tanda dari pengetahuan akan Allah adalah mematuhi perintah Allah di sini
adalah mengetahui dalam cinta sehingga yang keluar dari pengetahuan semacam
ini adalah tindakan-tindakan yang melakukan kehendak Allah (Yohanes 15:9-17,
band. Yohanes 7:17).

Cinta menghasilkan pengetahuan akan dicintai, yang mana selanjutnya


pengetahuan ini makin menggerakkan untuk melakukan yang dipandang tinggi-
berharga (nilai) oleh yang dicintai itu. Semakin mencintai yang dicintai, dan
semakin besar dan luar biasa tindakan-tindakan untuk merealisasikan
pengetahuannya itu. Pengetahuan akan Allah di sini merupakan pengetahuan
cinta, yang menggerakkan untuk bertindak merealisasikan pengetahuan itu demi
yang dicintai. Makin seseorang digerakkan oleh cinta, makin ia mengenal Allah,
dan makin tindakan-tindakan yang dilakukan sesuai dengan nilai-nilai ilahi, dan
dengan itu makin ia baik secara moral. Pengetahuan tentang Allah menentukan
dan mendasari moralitas.

Manusia sebagai gambar Allah menyusun konnaturalitas manusia dengan


Allah. Dengan konnaturalitas ini manusia memiliki kecondongan pada kebaikan.
Akan tetapi, memang karena dosa asal kecondongan natural ini menjadi tidak
beraturan seiring dengan hilangnya integritas harmonis pada manusia. Itulah
sebabnya, berulang kali dalam sejarah keselamatan Allah mengingatkan dan
mengarahkan manusia pada kebaikan itu dengan memberikan hukum, para
nabi, hingga putraNya sendiri. Yesus adalah gambar Allah yang kelihatan.
padaNya ada integritas harmonis yang sempurna yang mengarahkan secara
sempurna pada kebaikan yang diletakkan oleh Allah sehingga Ia dapat berkata
bahwa makananku adalah melakukan kehendak bapaKu di surga. Hanya dengan
daya penebusan dan pembaharuan manusia oleh Kristus, kecenderungan akan
kebaikan sebagai bentuk konnaturalitas dengan Allah, yang dirusak oleh dosa,
dipulihkan. Yesus memberikan Roh kebenaran yang mengajar manusia untuk
mengetahui kebenaran dari Allah (I Yohanes 2:27, I Yohanes 2:20, 1 Yohanes 4:8).

Mengetahui Allah dengan segala nilai yang ada padaNya tidak menjamin
bahwa hidup moral seseorang akan bersesuaian dengan pengetahuan itu. Menurut
Haering (1964:125), pengetahuan intuitif abstrak-konseptual yang kering akan
sesuatu sebagai baik dan mengapa ia baik tidak akan membawa pada tindakan-
tindakan moral yang sesuai dengan pengetahuan itu jika tidak manusia sampai
pada kegaguman-keterpesonaan akan kecemerlangan gemilang, keindahan dan
15
kesucian akan kebenaran kepada Allah dan nilai-nilai Ilahi. Hanya dengan
kekaguman-keterpesonaan karena berhadapan dengan kecemerlangan gemilang
dan kesucian nilai-nilai ilahi itulah yang dapat menggerakkan kehendak manusia
untuk merealisasikan nilai-nilai ilahi itu. Pandangan akan kecemerlangan dan
kesucian ini menuntut adanya kepekaan moral (sense of value). Sense of value inilah
yang selanjutnya membedakan moralitas orang yang satu dengan yang lain sebab
bisa jadi moral seorang petani buta huruf yang beriman dapat lebih baik daripada
seorang ilmuwan yang acuh terhadap iman.

Manusia dapat tidak melihat nilai-nilai ilahi karena permusuhan dengan


Allah (disebabkan oleh kesombongan manusia yang tidak dapat melihat hubungan
nilai dirinya dengan kebaikan tertinggi) dan ketidakpekaan (disebabkan
pencarian kesenangan sendiri akibat terlalu memanjakan diri sendiri dan menuruti
nafsu-nafsu. Akar kebutaan adalah dosa ataupun kebutaan terhadap nilai yang
dapat diatasi dengan pertobatan dan keterbukaan usaha mengembangkan
wawasan akan nilai serta melakukan perintah-perintah.

Dosa asal membuat pengenalan akal budi manusia akan kebenaran ilahi
menjadi kabur dan kehendaknya sering menginginkan yang bertentangan dengan
kebenaran itu karena manusia berada dalam situasi keterpecahan dan konflik
yang tidak teratur. Yesus Kristus menyembuhkan kodrat manusia yang luka itu,
menuntun manusia pada kebenaran. Dia adalah pewahyuan Allah yang
sempurna. Ia jalan, kebenaran dan kehidupan sebagaimana disampaikan dalam
Yohanes 14:6). Ia memberikan Roh Kebenaran yang mengajarkan kebenaran
dariNya. Paulus dalam Filipi 2:5 mengajak untuk mengenakan pikiran seperti
yang ada pada Kristus Yesus. Walaupun demikian dari pihak manusia tetap
dituntut sikap waspada, kerendahan hati, kemurnian, dan bertobat.

Terminologi dosa asal mengandung dua pemahaman, pertama berhubungan


dengan dosa awal yang dilakukan Adam (peccatum originale originans), dan kedua
berhubungan dengan asal atau sumber keadaan manusia yang lemah, bersalah dan
tidak berdaya yang dipercayai berasal dari dosa Adam (peccatum originale
originatum). Misteri dosa asal dapat dipahami dengan lebih baik jika kita melihatnya
dari perspektif penebusan Kristus bukan melulu dari dosa itu sendiri. Inilah inti
paparan Kritologi Paulus dalam Roma 5:12-21, di mana Paulus pertama-tama ingin
menjelaskan bahwa Yesus Kristus menderita sengsara, wafat disalib dan bangkit
untuk keselamatan kita manusia. Untuk memberi konteks dan latar belakang agar
keselamatan Kristus ini cahayanya semakin jelas terlihat, dengan kontras Paulus
menampilkan Adam sebagai asal masuknya dosa ke dalam dunia yang menjalar
kepada semua orang, Adam bukanlah inti pewartaan, tapi gambaran dari Dia yang
16
akan datang, yaitu Kristus. Kedatangan Kristus telah membenahi, menekan tombol
undo, dan berhasil dengan suskes, sebagai antithesis dari Adam yang sudah
memorak-porandakan, menekan tombol do, dan gagal total. Adam dan Hawa
menjadi representasi manusia yang pada hakikatnya merupakan manusia berdosa,
dan kehadiran Yesus Kristus memulihkan keberdosaan manusia.

Keadaan manusia di bawah belenggu dosa mengerikan dan membawa efek


yang buruk bagi manusia. Dalam pandangan gereja Katolik, kerusakan akibat dosa
adalah aksidental, dosa memang parah tetapi tidak melumpuhkan manusia (kodrat
yang terluka). Sementara gereja Protestan, melihat kerusakan akibat dosa bersifat
substansial pada kodrat, melumpuhkan (kodrat yang rusak). Walaupun cenderung
berbeda, keduanya akan berujung pada hal yang sama yaitu bahwa manusia
membutuhkan rahmat Allah, baik untuk menyembuhkan yang terluka pun yang
rusak. Allah tidak menyerahkan manusia pada kuasa kejahatan, namun Allah
berbelas kasih dengan manusia, mencari dan memulai komunikasi dengan manusia
bahkan menjanjikan penyelamat.

Akibat ulah manusia sendiri, manusia sendirian karena persekutuan yang


mesra dengan Allah telah hilang. Manusia kehilangan kekudusan dan kebenaran
awalnya. Manusia sendiri memutuskan untuk menentang Allah dengan
kebijaksanaan-Nya yang memberi hidup dan memilih mengikuti kebijaksanaan
dunia dalam bentuk ular (padahal dengan demikian manusia perlahan dibelit dan
dicekik sehingga jalan kehidupan tertutup). Keadaan ini merambah dari generasi
ke generasi.

Kitab Kejadian secara implisit telah menyampaikan bagaimana memperoleh


kebijaksanaan sejati yang memberi hidup yaitu dengan mendengarkan sabda Allah.
Ia mengetahui jauh lebih baik dan tepa tapa yang kita perlukan untuk hidup sejati,
bahwa kita terbatas, kita bukan sumber hidup, sehingga rahmat Allah sebagai
sumber hidup diterima dengan murah hati. Inilah juga yang Paulus tampilkan,
dalam kekuatan dosa, kasih karunia Yesus lebih hebat dan mengalahkan dosa.
Roma 5:20-21 mengungkapkan dengan jelas: “di mana dosa bertambah banyak, di
sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah, supaya, sama seperti dosa berkuasa
dalam alam maut, demikian kasih karunia akan berkuasa oleh kebenaran untuk
hidup yang kekal, oleh Yesus Kritus, Tuhan kita”.

Realitas dosa asal mengajarkan kita bahwa meskipun sebagai manusia kita
terus melakukan keputusan-keputusan salah, namun Allah tidak pernah menyerah
dengan kita, dan Allah mencari cara dan jalan baru untuk menunjukkan kepada

17
kita kesia-siaan hidup yang berpusat pada diri sendiri dan kembali pada relasi
denganNya.

C. PENEMUAN JALAN MENUJU ALLAH: PERTOBATAN


1. Cinta Allah pada Manusia

Allah menjadi sumber segala sesuatu. Allah adalah pencipta awal tetapi
sekaligus tujuan dari segala ciptaan, sebagaimana St. Agustinus menyebutkan “
Allah memberi bentuk keindahan kepada semua hal dan dengan hukumNya Ia
mengatur semua hal. Segala sesatu yang telah Allah diciptakan berasal dariNya.
Dalam kehidupan ciptaan Allah, ciptaan saling bersinergi untuk tiba atau menuju
Allah. Dalam kecintaan Allah menciptakan manusia juga ciptaan lainnya
menganugerahkan cinta bagi manusia dan sesama. Semua nilai kebaikan,
kebenaran juga keindahan bersumber dari Allah Pencipta. Kehadiran Allah
merupakan bentuk dan rencana Allah yang penuh cinta dengan rahmat yang
melimpah. Tentu Allah menginginkan bahwa ciptaanNya khususnya manusia
memandang Allah dalam kecintaan yang sama dari diriNya kepada manusia.
Namun disadari bahwa cinta Allah kepada ciptaanNya adalah jauh lebih besar,
terutama dalam diri kita manusia.

Manusia diciptakan oleh Allah dan dalam prosesnya dihembuskan roh oleh
Allah sehingga menjadi hidup. Dalam kehidupan manusia, hembusan nafas
kehidupan Allah itu pun dapat menjadi sumber untuk menghidupkan sesamanya.
Kehidupan manusia dimungkinkan hanya karena Allah masih memberikan nafas
kepadanya atau karena Allah masih berkenaan kepadanya (bandingkan paparan
yang pada bagian berikutnya tentang mahkluk jasmani dan rohani).

Dalam kesatuan tubuh, jiwa dan roh yang dianugerahkan Allah (selain
dengan kebaikan, kebenaran dan keindahan) terwujud dalam komunikasi dengan
yang lain, karena manusia tidak ada untuk dirinya sendiri tetapi juga bagi yang
lain. Dalam hubungan dengan yang lain itu jugalah manusia akan mampu
memancarkan kebaikan, kebenaran dan keindahan. Namun, dalam
kehidupannya, manusia menghadapi berbagai macam persoalan yang
menuntutnya untuk mempertahankan martabatnya sebagai mahkluk Allah yang
memiliki citra Allah dalam dirinya. Keindahan yang dianugerahkan Allah
memudar karena kejatuhan ke dalam dosa. Dosa memudarkan kualitas manusia
sebagai ciptaan Allah karena kodrat manusia yakni sebagai ciptaan yang senantiasa
harus mampu memancarkan keindahan Ilahi yang sejati.

Keindahan dalam diri manusia akan muncul pada saat dirinya mampu
menyelaraskan seluruh kehidupannya dengan kehendak Allah. Sebagai ciptaan

18
Allah, manusia sudah seharusnya menyelaraskan antara kehendak dan pikirannya
dengan kehendak dan pikiran Allah. Proses penyelarasan kehendak dan pikiran
manusia dengan kehendak dan pikiran Allah memang bukanlah hal yang mudah.
Manusia terus menghadapi banyak tantangan dalam proses penyelarasan tersebut.
Tantangan dalam penyelarasan tersebut pun kita temukan dalam kitab Kejadian
tentang manusia yang awalnya adalah Imago Dei jatuh ke dalam dosa. Kisah
kejatuhan (Kejadian 3:4-5) menggambarkan bahwa pikiran dan kehendak manusia
yang tidak sejalan atau selaras menjadikan gambaran Allah dalam diri manusia
menjadi bias. Manusia ingin menjadi Allah bahkan jika mungkin melebihi Allah.
Manusia ingin melepaskan dirinya dari Allah, menjadi pribadi yang mandiri lepas
dari Penciptanya sekaligus tujuan penciptaan. Manusia mengikuti gambaran diri
sendiri dan bukan seturut gambaran Allah (John Navone, 2011, 20).

Manusia haus pada kehormatan dan kejayaan yang ditunjukkan lewat


perbuatannya yang tidak sesuai dengan berusaha melampaui Allah. St. Agustinus
menyebutnya sebagai perbuatan jahat manusia ketika meniru Allah sebagai
kesombongan dan kefasikan (dalam John Navone, 2011, 66). Gambaran manusia
yang fasik terlihat saat manusia ingin melepaskan dirinya dari Allah agar dapat
berkuasa. Berkuasa menjadi salah satu sarana manusia supaya diakui keberadaan
dirinya. Bahkan manusia cenderung suka menganggap dirinya serupa dengan
dewa-dewa. Melalui tindakan dan pikiran untuk berkuasa, manusia ingin lepas
dari Allah. Manusia mencoba mencintai dan mengejar sesuatu yang dirasa
penting, yaitu kekuasaan, namun ternyata manusia tidak menemukan apa-apa.
Mengejar kekuasaan merupakan keinginan daging dan bertentangan dengan
keinginan roh. Apa yang disampaikan Paulus menjadi benar dalam Roma 8:6,
keinginan daging dan keinginan roh saling berlawanan.

Baik keinginan daging dan keinginan roh dapat membawa manusia ke


dalam sukacita, namun sukacita yang dihasilkannya berbeda. Jika manusia melulu
mengikuti keinginan dagingnya, maka ia hanya akan mendapatkan sukacita sesaat
dan semu semata. Roma 13:13-14 mengungkapkan: “Sukacita yang diperoleh
karena menuruti keinginan daging tidaklah selaras dengan kehendak Allah”.
Sukacita tersebut bukan asli dan bukan berasal dari Allah. Karena itulah, manusia
perlu menyadari gerakan Roh Allah dalam dirinya sehingga ia mampu
membedakan antara keinginan daging dan keinginan roh dan tidak puas hanya
dengan pemenuhan keinginan daging yang mendatangkan sukacita semu.

Manusia bisa jatuh ke dalam keinginan daging karena kehendak bebas


dalam dirinya. Kehendak bebas manusia terkadang membawa manusia pada
keinginan daging semata. Kehendak bebas manusia menjadi penghalang untuk
19
manusia tiba pada sukacita yang asli dan bersumber dari Allah. Manusia memiliki
kehendak yang sesuai dengan harapan dan keinginan dirinya, sehingga ukuran
yang dipakai adalah dirinya sendiri dan bukan keselarasan dengan pikiran dan
kehendak Allah (ini merupakan gambaran St. Agustinus dalam Confession, 183).

Keterpisahan manusia dengan Allah disebabkan oleh hukum yang dibuat


oleh manusia sendiri. Citra Allah yang ada dalam diri manusia yang semula adalah
baik dirusak oleh hukum rimba buatan manusia. Hukum rimba menjadi ancaman
bagi manusia karena menekankan bahwa manusia yang kuat adalah manusia yang
berkuasa. Dalam hukum ini, pribadi yang lemah dianggap sebagai orang yang
terbuang dan tidak dihitung. Manusia yang lemah tidak hanya dipandang sebagai
orang-orang yang dieksploitasi bahkan keberadaan mereka tidak dianggap ada.

Dengan hasrat manusia yang berkuasa menjadikan citra manusia yang


indah dan baik luntur, pudar dan bias. Penyebab lunturnya keindahan dalam diri
manusia bisa datang dari diri sendiri juga melalui orang lain. Penyebab personal
ini ditunjukkan lewat tindakan yang menganggap diri sendiri berdiri sebagai
penguasa dan pengatur bagi yang lain. Sementara itu, penyebab yang datang
dari orang lain ditunjukkan pada saat seseorang merasa dikuasai oleh orang lain
ditunjukkan pada saat seseorang merasa dikuasai oleh orang lain dan menjadikan
dirinya sebagai seorang yang tidak berdaya. Kedua penyebab yang melunturkan
citra manusia sebagai kodratnya seperti yang dilakukan oleh Yesus. Dalam proses
mengembalikan citra manusia kembali pada hakikatnya, Yesus adalah contoh
yang baik yang memperbaiki interaksi antara Allah dengan manusia dan manusia
dengan manusia.

Manusia memiliki ruang kehidupan untuk mengekspresikan keindahan dan


kebaikan sebagai ciptaan Allah, namun karena kelemahannya manusia juga tetap
terjatuh dalam ekspresi yang kemudian memmosisikan dirinya dalam hakikat
dirinya sebagai Imago Dei. Ekspresi yang biasa muncul lewat tampilan-tampilan
yang bersifat luaran semata. Tampilan yang luaran tidaklah cukup menandakan
bahwa keindahan semata-mata terpancar lewat itu saja. Sehingga, seunggu keliru
jika manusia hanya berhenti pada tindakan memoles diri tubuh sepantas-
pantasnya supaya orang lain melihatnya indah. Memang, memandang tubuh
manusia sebagai wujud nyata sesuatu yang dapat diindrai tidaklah salah.
Kesalahan terjadi jika seseorang menganggap bahwa dengan memoles tubuh
luaran supaya kelihatan cantik dan tampan menjadi satu-satunya cara
menampilkan keindahan bagi diri lainnya (John Navone, 14). Pengalaman
manusia yang berusaha menampilkan keindahannya bagi yang lain, misalnya
dengan memoles tubuh dirinya supaya terlihat cantik dan tampan, paling tidak
20
hendak menunjukkan bahwa manusia selalu berkreasi dan mencoba untuk
mewujudkan sesuatu, yaitu keindahan itu.

2. Tindakan Yesus mengembalikan Harkat Manusia

Sebagai pencipta, Allah telah lebih dulu mencintai ciptaan daripada ciptaan
yang mencintai Allah. Kehadiran ciptaan merupakan bentuk dari rencana Allah
yang penuh cinta, Allah menghendaki supaya semua ciptaan menerima rahmat
yang berlimpah dalam kesatuan denganNya. Allah ingin ciptaanNya dapat
memandang wajahNya sebagai bentuk kasih Allah terhadap ciptaanNya. Cinta
Allah terhadap ciptaan selalu lebih besar daripada cinta ciptaan terhadap Allah.
Allah tidak hanya mencintai ciptaan dengan menciptakan ciptaan lainnya tetapi Ia
sendiri turun dan menjadi serupa dengan ciptaanNya.

Cinta Allah yang sempurna kepada ciptaanNya dinyatakan saat Allah


mengutus anakNya untuk hadir ke dalam dunia dan menyelamatkan manusia.
Yesus hadir ke dunia tidak hanya sebagai pewahyuan Allah kepada manusia,
tetapi juga pewahyuan antara manusia dengan manusia. Yesus sebagai anak Allah
dan anak manusia merupakan gambaran Allah yang unik dan personal. Yesus
telah menyingkapkan hakikat keindahan dan cinta kepada manusia. Hal ini
Nampak dalam cara Ia merendahkan diriNya sampai wafat di kayu salib.
Kematian Yesus di kayu salib merupakan wujud sempurna dari kasih Allah yang
sempurna kepada seluruh ciptaan. Dalam kerangka ini, salib jangan dipahami
sebagai kebodohan dan batu sandungan, akan tetapi sebagai kekuatan dan
hikmat dari Allah kepada manusia (I Korintus 1:23-24). Salib merupakan jalan
supaya manusia kembali kepada hakikatnya sebagai Imago Dei.

Tindakan yang mengembalikan manusia sebagai Imago Dei, yakni serupa dan
segambar dengan Allah yang telah ditunjukkan oleh Yesus saat menjadi bagian
dari dunia ini. Kehadiran Yesus tidak hanya untuk sekedar mengangkat keadaan
yang hina dari manusia tetapi juga sekaligus mengembalikan cara pandang
manusia. Cara pandang yang Yesus inginkan terhadap manusia bahwa sesama
manusia itu memiliki citra yang sama, yakni tidak ada penguasa dan tidak ada
yang dikuasai (Matius 18:10, Yohanes 8:7). Tindakan yesus mengembalikan
manusia kepada martabat dan citra sejatinya menjadi manusia kembali serupa
dengan Allah.

Hidup serupa dengan Allah ditunjukkan lewat cara hidup manusia, hidup
secara manusiawi yang dalam pandangan Y.B. Mangunwijaya (2003: 21): ”setiap
manusia sejatinya sipanggil untuk menjadi manusia yang baik, manusia yang
manusiawi, karena dengan kemanusiawian itulah manusia dapat menemukan

21
Tuhan”. Manusia yang manusiawi artinya manusia yang kembali kepada
identitasnya sebagai ciptaan Allah yang adalah Imago Dei.

Relasi yang baik antara manusia dengan Allah terwujud tidak hanya secara
vertikal tetapi juga horizontal secara seimbang. Keseimbangan dalam relasi
membawa manusia untuk melihat Yesus sebagai teladan dalam hal ini, yang
memberi cara pandang baru untuk tidak hanya berfokus kepada Allah tetapi lupa
akan manusia. Yesus menunjukkan bahwa cinta kepada Allah harus dinyatakan
lewat cinta kepada manusia. Yesus telah mengangkat martabat manusia yang hina
dan menderita dan membutuhkan pertolongan menjadi pribadi yang merdeka
(Y.B.Mangunwijaya, 2003: 15). Tindakan Yesus didedikasi bagi mereka yang
berdosa, tersisih dan tersingkirkan. karyaNya ditujukan bukan demi diriNya
semata. Melalui Yesus kasih Allah dinyatakan kepada manusia. DiriNya menjadi
perantara Allah dan manusia (Lukas 4:43). Yesus sendiri sangat menyadari bahwa
peran diriNya adalah membawa Allah kepada manusia dan membawa manusia
kembali kepada Allah.

Dalam karyaNya, Yesus tidak pernah memilih lari dari tugas yang
diberikan Allah Bapa atau mengambil kesempatan untuk memuliakan diriNya
sendiri. Ini pun menjadi teladan bagi manusia untuk tidak lari dan menjauh dari
Allah ketika Allah hendak membangun kemitraan dengan manusia. Walaupun
seperti yang dikatakan St. Agustinus (Confession, 443). bahwa sikap lari dari
manusia menjadi kesempatan bagi dunia untuk menyergap manusia, dan saat
itulah manusia bisa lupa akan keberadaan rahmat Allah dalam dirinya. Melalui
kehadiran yesus, manusia disadarkan tentang dirinya yang memiliki rahmat Allah
yang begitu besar dan dalam perjalanan kehidupannya manusia cenderung lupa
dan mengabaikan rahmat Allah tersebut.

3. Kesadaran Manusia menuju Pertobatan

Dalam perjalanan kehidupannya, pada satu titik tertentu manusia akan


mengalami kesadaran untuk bertobat. Pertobatan menjadi cara agar manusia
kembali kepada pengampunan dan rahmat Allah melalui perubahan pikiran dan
kehendaknya. Pikiran dan kehendak manusia yang sebelumnya sempat
mengalami keterputusan relasi dengan Allah dapat dikembalikan dengan
menyelaraskan kembali pikiran dan kehendak manusia pada pikiran dan
kehendak Allah. Cara yang ditempuh untuk itu adalah pertobatan, yang artinya
suatu gerak atau perubahan yang dilakukan seseorang dari yang awalnya tidak
benar atau berdosa menjadi berbalik arah, menjauh dari dosa dan mendekat
kepada Allah. Dalam pertobatan, seseorang mengalami kesadaran bahwa

22
perbuatan ataupun pikirannya salah. Tanpa kesadaran tersebut, seseorang tidak
akan mampu sampai pada pertobatan yang sejati.

Kesadaran dihasilkan dari sebuah proses refleksi atau introspeksi diri. Saat
manusia mengalami kesadaran untuk bertobat, terdapat dua sikap yang dapat
ditunjukkan. Pertama, seseorang akan membenahi dirinya sehingga kembali pada
sesuatu yang benar. Kedua, seseorang hanya berhenti pada tahap kesadaran,
sehingga mereka tetap mempertahankan hidupnya yang sudah digeluti tersebut.
Pembenahan diri menjadi proses untuk belajar lebih lanjut sehingga diri manusia
disediakan secara penuh kepada Allah. Proses ini adalah proses yang tidak pernah
berhenti karena godaan yang bersifat manusiawi juga tidak akan pernah berakhir
hingga penziarahan hidup sebagai manusia itu selesai. Pertobatan selalu berkaitan
dengan aspek religius dan moral. Pertobatan menyangkut sikap atau pendirian
seseorang terhadap Injil Kristus dan penerimaan kabar gembira keselamatan. Sikap
seseorang yang bertobat tampak dalam perubahan atau pembaharuan spiritual
secara mendasar dan menyeluruh sehingga menunjukkan pembaharuan hidup
secara total. Pertobatan sebagai pembaharuan hidup membutuhkan proses secara
terus-menerus dan melewati langkah-langkah yang tepat melalui penyesalan,
pengakuan dan akhirnya perbaikan atas hidup (Aman, 2016:182).

Penyesalan adalah sikap yang lahir dari kesadaran akan dosa dan
keterbukaan kepada rahmat pengampunan. Sikap penyesalan tidak hanya sadar
dan terbuka akan pengampunan Allah, tetapi juga dorongan dari hati terdalam
untuk membalas kasih Allah dalam pengakuan dosa kita. Allah menerima kita
yang berdosa untuk bertobat dan mengampuni karena ada penyesalan dan
pengakuan dari kita yang melakukan dosa. Mengampuni tidak sebatas melupakan
tetapi memampukan orang yang telah bertobat memperbaiki dan mengatasi
kelemahannya. Perbaikan atas dosa dan kesalahan yang kita lakukan dibarengi
dengan niat serta kesungguhan untuk tidak mengulangi kesalahan dan dosa yang
sama yang akan merusak relasi dengan Allah dan hidup seturut dengan firman-
Nya.

Pertobatan dilihat sebagai jawaban manusia atas tawaran kasih karunia


Allah, walaupun jarak antara Allah dan manusia yang berdosa sangat jauh tetapi
melalui pertobatan manusia mampu menyadari betapa besar kebaikan dan kasih
Allah itu. Pertobatan membutuhkan keterbukaan dari manusia dengan rendah hati
dan dengan berani mengakui bahwa Allah adalah sumber kehidupan dan penuh
kasih tanpa batasan.

a.Pertobatan dalam Perjanjian Lama

23
Dalam Perjanjian Lama, pertobatan mengandung aspek yang berkaitan
dengan kultus dan batin serta sikap hidup atau perbuatan (Martasudjita, 2003:
313). Beberapa tindakan yang melambangkan pertobatan dalam Perjanjian Lama
misalnya berpuasa dan menyampaikan korban bakaran (Imamat 16), berkumpul
dan mengaku dosa (Ezra 9:1-15) atau menaruh abu di atas kepala (Yeremia 6:26).
Sementara pertobatan dalam hubungan dengan sikap batin misalnya yang ada
dalam kitab Yoel (Yoel 2:12, 13), yang menunjukkan bahwa ritual keagamaan
tetap dilakukan tetapi tidak cukup sampai di situ karena pertobatan juga perlu
diwujudkan melalui tindakan yang nyata yang berdimensi sosial, misalnya
yang digambarkan Yesaya 58:6-7 (membuka belenggu kelaliman,
memerdekakan orang yang teraniaya, memecah-mecah roti bagi yang lapar,
memberi tumpangan pada yang miskin dan tidak punya rumah serta memberi
pakaian bagi yang telanjang).

Dalam peristiwa pembuangan ke Babel adalah bencana yang berpengaruh


besar dalam kehidupan bangsa Israel. Pengalaman yang tidak membahagiakan
tetapi sekaligus memberi kesadaran bagi Israel bahwa mereka telah
menyimpang dari hukum dan ketetapan Allah. Pertobatan membawa Israel
kembali kepada perjanjian mereka dengan Allah, kepada kembali kepada
ketaatan hukumNya sehingga kembali mendapat berkat dan berada dalam
damai sejahtera. Tindakan kembali kepada perjanjian ini menggambarkan
kesadaran bahwa perjanjian itu bukan sesuatu yang membelenggu Israel sebagai
umat, melainkan sungguh mendapat berkat dan membebaskan mereka dari dosa,
sementara tindakan menyimpang dari perjanjian akan menghasilkan dosa dan
kutuk (bandingan dengan pemahaman berkat dan kutuk dalam Kitab Ulangan,
lihat Brueggemann, 2012: 113-114 dan Martasudjita, 2003: 313).

Istilah yang sering digunakan dalam Perjanjian Lama adalah shub yang
artinya berubah haluan, datang lagi, kembali kepada langkah-langkahnya,
berputar arah meninggalkan yang jahat menuju Tuhan (Brueggmann, 2012, 266).
Jadi, pertobatan adalah perubahan hidup, berbalik dari hidup yang lama dan
tidak benar ke hidup baru yang benar. Berbalik kepada Allah merupakan
gambaran pertobatan dalam konteks relasi dengan Allah, berkaitan dengan
disposisi batin terhadap Allah yang dilakukan dengan segenap hati dan segenap
jiwa dengan iman. Dengan berbalik pada Allah maka itu berjalan dengan
berbalik dari tingkah laku yang jahat atau perubahan tingkah laku sehari-hari.
Gambaran ini menonjolkan aspek relasional baik dengan Allah secara vertikal
dan sesama secara horizontal.

24
Pertobatan tidak hanya digambarkan sebagai usaha atau tindakan
manusia belaka. Pertobatan juga digambarkan sebagai anugerah Allah. Yang
mengalami pertobatan adalah manusia tetapi Allah memungkinkan manusia
untuk bertobat. Pada saat manusia berdosa Allah tidak pernah menutup pinta
perdamaian dengan manusia. Allah memberi kesempatan sehingga pertobatan
sangat mungkin untuk dilakukan (bandingkan misalnya pada pelanggaran
yang dilakukan Israel sebagai yang keras kepala dan tegar hati, Allah
menggerakkan mereka untuk bertobat dengan memberi hati yang baru, roh yang
baru di dalam batin serta menjauhkan hati yang keras, dalam Yeheskiel 36:26).
Jadi, pertobatan tidak melulu dilihat sebagai prestasi manusia atas kesadaran,
inisiatif dan keberanian manusia, tetapi Allah memegang peranan besar di
dalamnya. Allah menggerakkan hati manusia untuk bertobat, dan membuka
pintu pengampunan bagi manusia yang bertobat. Ini sekaligus menunjukkan
aspek kerja sama antara Allah dan manusia dalam pertobatan.

b. Pertobatan dalam Perjanjian Baru

Pertobatan dalam Perjanjian Baru digambarkan sebagai kabar sukacita,


warta keselamatan dari Allah serta pengalaman dikasihi Allah melalui
perjumpaan dengan Yesus. Seruan pertobatan yang didengarkan dalam Markus
1:15 menunjukkan seruan yang bersifat indikatif dan imperatif. Waktunya telah
genap; kerajaan Allah sudah dekat merupakan kalimat indikatif. Telah genap
menyatakan bahwa kerajaan yang sudah lama dinantikan kini sudah datang.
“Sudah dekat” menyatakan bahwa kerajaan Allah masuk ke dalam sejarah
dalam diri Yesus untuk membawa keselamatan. Jawaban yang tepat terhadap
kedatangan kerajaan adalah bertobat dan menerima kabar baik tentang
keselamatan itu. Hal ini dinyatakan dalam kalimat imperative: “bertobatlah dan
percayalah kepada Injil” (Guthrie, 1983, 135; Sloyan, 1982, 25). Warta tentang
kerajaan Allah tidak bisa dipisahkan dari pertobatan. Kabar gembira itu
ditanggapi ditanggapi dengan pertobatan. Motif pertobatan bukanlah ketakutan
akan pengadilan Allah tetapi sebagai rasa syukur dan sukacita atas kebaikan
Allah. Groenen (1979: 110-113) menyebutkan bahwa pertobatan didasari degan
sukacita sekaligus membawa sukacita (Lukas 15: 7.10).

Perjanjian Baru juga menggambarkan pertobatan sebagai hasil dari


perjumpaan dengan Yesus. Hal ini misalnya dilakukan Zakheus ataupun
perempuan yang kedapatan berzina. Perjumpaan Zakheus dan perempuan
tersebut ditanggapi Yesus dengan sapaan yang penuh kasih, perkunjungan dan

25
tidak menghakimi. Artinya Yesus tidak mendasarkan tindakanNya pada hukum
tetapi kasih Allah.

Pengalaman pertobatan lain yang digambarkan dalam Perjanjian Baru


adalah yang dialami Paulus, yang membawa dirinya sendiri untuk mengenal
siapa dia, mengenal siapa sesamanya (menjalin persahabatan erat dengan
sesamanya), tetapi juga pengenalan akan Allah yang mendorongnya menjadi
saksi Kristus (Galatia 2;20).

Pertobatan membentuk dan mengembalikan identitas seseorang sebagai


anak Allah, murid Yesus dan komunitas orang beriman. Identitas sebagai anak
Allah memang bisa hilang dan ternoda karena dosa dapat dipulihkan melalui
pertobatan sehingga terjadi pengenalan akan Allah. Pertobatan membuka
kesempatan bagi manusia yang berdosa bahkan yang sangat hina dalam
pandangan masyarakat (misalnya pemungut cukai). Dalam kerendahannya, dia
merasa membutuhkan Allah dan bertobat.

Pertobatan menjadi tema sentral dalam pewartaan keselamatan yang


dibawa Yesus. Bahwa kesempatan terus diberikan Allah Allah untuk manusia
dapat bertobat. Kesempatan inilah yang diwartakan melalui para nabi,
memuncak dalam Yesus, dilanjutkan para rasul dan tentu gereja sampai saat ini.
Sebagai manusia kita memiliki pilihan untuk menolak atau menerima
kesempatan tersebut. Pertobatan selanjutnya akan membawa pada pembebasan
dan membiarkan diri dibimbing oleh Roh Kudus kea rah yang benar.

D. MENGASAH CITRA ALLAH DALAM DIRI MANUSIA


1. Moralitas sebagai bentuk Kebaikan yang Manusia Lakukan

Moralitas berakar pada karunia kehidupan, akal budi dan kehendak bebas
(penciptaan) dan terlebih berakar pada suatu tawaran akan relasi yang istimewa
dan intim antara manusia dan Allah dan seluruh ciptaan. Jadi, moralitas dapat
ditempatkan bukan pertama-tama sebagai tanggapan manusia tetapi
penyingkapan rencana dan karunia Allah. Moralitas menjadi konsekuensi atas
pengalaman manusiawi atas kasih karunia Allah meskipun sesungguhnya manusia
tidak pantas mendapatkannya.

Kisah penciptaan dalam Kejadian 1 – 5 menjadi dasar antropologi teologis


bagi moralitas Kristiani. Allah adalah pencipta, dan ciptaan adalah ungkapan kasih
Allah dan berpuncak pada imago Dei. Dalam Kejadian 3 hal ini mengalami
perubahan, manusia yang adalah karya Allah yang baik namun jatuh dalam godaan

26
iblis dan manusia menghancurkan apa yang baik yang Allah buat dalam dirinya.
Ketidakmampuan untuk hidup menurut apa yang telah Tuhan sediakan dan
menerima apa adanya dalam kemurahan mengakibatkan manusia hancur di
hadapan Allah. Allah sendiri memulihkan kembali kedudukan manusia dengan
memberi perjanjian kepada manusia untuk setia pada ALlah (Kel 20:3) tetapi juga
mengusahakan shalom badi sesama (Amsal 5:21-24). Hukum menjadi penting di
sini (hukum Taurat dan sepuluh Perintah Allah) karena manusia yang terus
melakukan pelanggaran.

Dalam Perjanjian Baru kita menemukan bagaimana kehadiran Yesus dengan


seruan untuk manusia melakukan pertobatan dan menerima kabar gembira
(Markus 1:14). Kata yang digunakan adalah metanoia, yang artinya mengubah
arah, mengubah cara pikir dan sudut pandang sehingga mempengaruhi perbuatan
nyata. Metanoia sendiri harus ditempatkan sebagai karya Allah yang memberi
undangan dan mendorong manusia untuk dapat menanggapi undangan tersebut.
Lukas 15:11-32 menunjukkan melalui perumpamaan Anak yang hilang.
Gambarannya adalah dinamika antara sikap Allah Bapa dan tanggapan seorang
anak yang berdosa. Kehadiran Yesus Kristus di dunia adalah untuk mengokohkan
undangan tersebut dan manusia dapat memenuhi undangan tersebut. Dalam
metanoia ada rahmat ilahi (pasif) dan panggilan untuk berubah (aktif).

Dalam bagian lain, Khotbah di bukit (Matius 5-7) terdapat ajaran moral
Kristiani, di mana Yesus meletakkan dasar-dasar moralitas sebagai perbuatan yang
bergantung pada disposisi hati, bukan sekedar penampilan luar. Matius 5:48
menunjukkan penetapan standar yang ditetapkan dalam hidup Kristiani, yaitu
“Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapa-Mu di surga adalah sempurna”.
Khotbah di bukit menjadi jalan (hodos) yang mengarahkan manusia mencapai
kebahagiaan sejati. Jalan yang harus dilalui pun tidak sekedar memperoleh
berkat-berkat material dalam hidup, tetapi juga jalan salib dan penderitaan antara
lain miskin, berduka cita, lapar dan haus akan kebenaran, pejuang perdamaian, dll.
Berkat yang akan menjadi bagian untuk manusia adalah berkat spiritual.

Akhirnya, perintah tentang kasih yang disampaikan Yesus ditempatkan


dalam pemahaman bahwa menjadi orang Kristen adalah perjumpaan dengan
sebuah peristiwa, dengan seorang pribadi, yang memberikan hidup cakrawala
yang baru dan arah yang jelas. Melalui Yesus, perintah kasih disatukan antara
perintah kasih kepada Allah dan kepada sesama, dan dalam penyatuan itu
perintah menjadi tanggapan akan karunia kasih yang dengannya Allah menarik
kita untuk mendekat kepadaNya.

27
28
2. Yesus sebagai Teladan Moral

Perjanjian Baru menyaksikan ajaran-ajaran yang Yesus sampaikan selama


hidupNya, tetapi juga memberikan teladan khususnya dalam hubungan sikap
yang ditunjukkanNya kepada para pendosa. Lukas 5:32 dengan jelas disampaikan
yesus bahwa: “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang
berdosa”. Yesus memperhatikan pribadi-pribadi yang berbuat dosa, bukan dosa
itu sendiri, karena itu Ia mengabaikan batas-batas gender, ras, kepercayaan dan
status sosial untuk menyembuhkan pribadi-pribadi yang melakukan dosa tersebut.
Ada pemungut cukai, wanita Samaria, wanita Siro Fenesia, orang Gerasa yang
kerasukan dan wanita yang berzina. Kabar sukacita diberitakan kepada
masyarakat pinggiran dan termarjinalkan.

Posisi Yesus terhadap dosa sangat tegas, misalnya Ia menyatakan bahwa


berzina adalah perbuatan yang salah, bahkan mematikan, tapi tidak sampai di situ
saja karena ada seorang perempuan yang menderita yang perlu dipedulikan
olehNya. Kasih dan kepedulian Yesus terhadap pribadi yang berdosa sehingga
terbangun persahabatan antara diriNya dengan para pendosa.

Keteladanan Yesus terlihat dalam karya-karya yang dilakukan dengan


memihak orang kecil dan terpinggirkan dengan mengasihi para pendosa.
Puncaknya adalah kematian Yesus karena kasihNya kepada semua pendosa.
Kematian Yesus di salib juga menjadi bukti ketaatan kepada Allah. Yesus adalah
puncak personal kebebasan sejati dalam ketaatan total kepada Allah. Tubuh Yesus
yang dilabib menyetakan ikatan antara kebebasan dan kebenaran, seperti juga
kebangkitan-Nya dari kematian merupakan pengangkatan tertinggi dari
keberhasilan dan kekuatan yang menyelamatkan dari kebebasan hidup dalam
kebenaran.

Melalui Roh Kudus, manusia dimampukan untuk membuka diri di hadapan


Allah yang menyelamatkan dan menguduskan. Melalui anugerah rahmat, yang
datang dari Roh Kudus, manusia masuk kepada hidup yang beru. Roh Kudus yang
tinggal dalam diri manusia menggerakkan kita untuk mengikuti teladan yang telah
Yesus lakukan sebelumnya. Perbuatan dan sabda menjadi pedoman dalam
kehidupan manusia, membentuk kesempurnaan (similitudo) dengan Allah dalam
di jiwa, sehingga kita pun mampu untuk mengenal dan mencintai Allah.

Roh Kudus membimbing dan mengajarkan kita dengan cinta. Roh itu
memampukan kita bukan untuk memaksakan kebenaran itu pada diri kita atau
orang lain, tapi untuk membaca dari dalam kebenaran itu, menyelaminya dalam
kasih dan melaksanakannya dalam kasih. Dalam hidup yang dibimbing Roh

29
Kudus maka hidup kita diubah untuk menjadi semakin serupa dengan Allah,
mengarahkan diri pada kebaikan dan memilih untuk melakukan yang dan yang
berkenaan pada Allah. Bernard Haring menyebutnya sebagai “mata kasih yang
selalu waspada, mata yang mengenali apa yang dituntut oleh kasih dan apa yang
dengan benar mengungkapkan, atau apa yang mengkhianatinya”.

Manusia menanggapi wahyu Allah bukan serta merta dimenangkan dengan


inisiatif dari pihaknya sendiri karena sebenarnya akal budi tidak mampu
menangkap wahyu jika kemudian tidak dikuatkan oleh Rahmat. Dengan rahmat
Allah maka manusia mampu dengan akal budinya untuk memahami pewahyuan
Ilahi dalam bentuk atau imajinasi yang dapat dia mengerti sesuai kemampuannya
sebagai manusia. Sasaran atau tujuan iman kita adalah mengenal Allah yang benar
dan mengetahui kebenaran tentang Allah, dan semua mengandaikan sikap percaya
atau beriman.

Kebebasan dalam diri manusia berkaitan dengan bagaimana sebagai


mahkluk berakal budi mencari kebaikan dengan spontan dan kreatif, sehingga
berbeda dari mahkluk ciptaan yang lain. karena kita tahu dan paham tujuan kita
yang adalah mencapai kebaikan, lalu kita mengarahkan dan menentukan
perbuatan kita. Kebaikan akan selalu berhubungan erat dengan tujuan hidup.

Hidup bermoral adalah hidup yang memilih kebaikan, namun manusia


pada dasarnya lemah dan gampang terjatuh, sehingga ia harus berpegang pada
patokan tertentu yang membuat dia terus memilih kebaikan. Patokan itu adalah
hukum dan hukum tertinggi adalah perintah Allah. Hidup manusia mengarah
pada kebaikan dan kebebasan yang dimiliki manusia pun sesungguhnya adalah
yang disebut Pinckaers sebagai freedom for exelence atau kebebasan untuk
menjadi unggul bahkan sempurna. Kebebasan adalah gerak menuju kebaikan,
dengan kebaikan tertinggi sebagai tujuan untuk menjadi sempurna seperti Bapa di
surga (Matius 5:48). Ini menjadi panggilan untuk mengikuti hakikat diri yang
baik dan terbuka pada rahmat Allah yang melimpah.

Karakter moral sebuah perbuatan bergantung juga pada intensi atau tujuan
pelaku perbuatan. Kita terhubung dengan pembahasan di atas mengenai tujuan
hidup manusia. Intensi ini memiliki daya gerak tinggi karena semua perbuatan
kita pasti mempunyai tujuan tertentu, entah baik entah jahat. Intensi pelaku
sangat berpengaruh pada karakter moral perbuatan. Intensi misanya dapat
menambah atau mengurangi kebaikan suatu perbuatan, bahkan bisa mengubahnya
menjadi buruk. Intensi tidak pernah mengubah sebuah perbuatan buruk menjadi

30
baik. Bandingkan dengan pepatah yang mengatakan “the end does not justify the
means” atau tujuan tidak menghalalkan segala macam cara.

Kebaikan yang diberikan Allah tidak menganjurkan kita untuk mengumbar


nafsu dan hidup bebas tanpa aturan atau hukum. Kejahatan tidak dapat berbaur
dengan kebaikan, hidup dalam rahmat tidak dapat berpadu dengan hidup dalam
dosa. Artinya intensi yang baik harus dicapai dengan cara yang baik, sehingga
kebaikan karakter moral suatu perbuatan dapat terjaga.

Salah satu prinsip moral yang penting adalah tujuan baik tidak
menghalalkan segala cara. Akan tetapi, kekompleksan hidup manusia
memosisikan bahwa hidup tidak sekedar hitam atau putih karena terkadang kita
menemukan situasi di mana perbuatan yang kita rencanakan untuk lakukan
akan menghasilkan efek baik, tetapi sekaligus dengan konsekuensi atau akibat
yang buruk. Ini adalah situasi dilematik sehingga manusia bimbang apakah
melakukan yang baik atau buruk. Pada posisi ini, manusia membutuhkan hati
nurani nya sehingga mampu memutuskan apa yang harus dilakukan.

3. Hati Nurani

Pengetahuan akan Allah membawa pengertian akan prinsip moral objektif.


Di samping dari pengetahuan akan Allah tersebut, pada manusia sudah
diletakkan oleh Allah hati nurani sebagai suara yang menyerukan kepada
manusia untuk memenuhi prinsip moral objektif, yaitu memilih yang baik dan
menghindari yang buruk. Karena hakikat dan perannya yang menyerukan secara
normatif itu, maka hati nurani merupakan norma subjektif manusia, bahkan yang
terdalam dan terdekat baginya karena melekat tertanam dalam kodratnya,
sehingga keberadaannya ada pada semua orang. Panggilan untuk mengikuti
Kristus ketika berjumpa dengan hati nurani menjadi isi dari imperatif melakukan
yang baik. Segenap yang terkandung dalam hidup sesuai dengan Kristus
menyusun isi dari apa yang baik yang diperintahkan hati nurani manusia beriman
untuk lakukan. Hidup mengikuti Kristus menjadi kriterium dan acuan dalam
pertimbangan hati nurani,

Hati nurani merupakan pengetahuan reflektif mengenai tindakan dan nilai


moral dari tindakan, yang berperan dalam membuat pertimbangan moral. Hati
nurani merupakan kesadaran seseorang akan kebenaran moral, yaitu tentang apa
yang sungguh benar dan baik dilakukan. Hati nurani merupakan kesadaran akan
nilai-nilai di balik tindakan, baik sebelum, selama dan sesudah bertindak.

31
Hati nurani adalah kemampuan akal budi yang memiliki dua fungsi dan
saling berkaitan dalam gerakan dinamis dan harmonis. Fungsi tersebut adalah
syndresis (tanggap akan nilai yang bersifat transenden dan umum) dan syneidesis
(membuat keputusan moral menurut arahan akal budi praktis. Dalam pemahaman
Bohr (1999:188), syderesis merupakan suatu ketertarikan akan nilai yang bersifat
spontan dan intuitif, sehingga termasuk di dalamnya kemuakkan akan hal yang
bertentangan dengan nilai. Hati nurani adalah keputusan akal budi di mana
manusia mengerti apakah satu perbuatan konkret yang ia rencanakan, sedang
laksanakan, atau sudah laksanakan itu secara moral baik atau buruk. Syneidesis
berkaitan dengan perbuatan konkret yang terjadi di sini dan sekarang. Pada
pemahaman ini, moralitas dihubungkan dengan tanggung jawab dan tanggung
jawab bukan lahir dari paksaan tetapi kesadaran.

Hati nurani yang salah dan mengarahkan seseorang untuk bertindak yang
salah juga dimungkinkan jika manusia memutuskan untuk tidak menuruti
bimbingan Allah di dalam nuraninya dan mendengarkan suara serta pemikirannya
sendiri. Paul Wadell (2916:187) menyatakan bahwa hati nurani manusia
merupakan sesuatu yang hidup, dan seperti semua mahkluk hidup ia bertumbuh
kembang, dapat mengalami stagnasi, melemah bahkan mati, karena itu hati nurani
harus dijaga, diperhatikan dan ditumbuh kembangkan. Orang tua, para pendeta,
majelis, teolog, katekisan, pengasuh, dll dapat menjadi penjaga hati nurani umat
agar tetap terjaga dan melakukan yang benar melalui pelayanan yang dilakukan.
Gereja, keluarga, kebaktian-kebaktian dapat menjadi penyembuh lidah yang hidup
untuk menjaga hati nurani umat pada tempat yang seharusnya.

Hati nurani dianugerahkan Allah pada manusia sebagai sebuah undangan


untuk berkembangan dan maju sebagai manusia yang bermoral baik dan dewasa
dalam hidup kerohaniannya. Perjalanan yang dilalui bukanlah mudah, sering
curam dan berkelok, sehingga membutuhkan keutamaan ketetapan hati. Mother
Teresa dari Avila mengatakan bahwa kita harus terus berlatih untuk memperkokoh
ketetapan hati. Baginya, kita seperti orang yang sedang ada dalam penziarahan,
sehingga kita harus kokoh (determinada determinacioon) untuk mencapai tujuan
akhir penziarahan tersebut. Dengan ketetapan hati kita dapat berjalan ke arah
tujuan yang benar dan melanjutkan perjalanan yang penuh perjuangan.

Dengan terbentuknya karakter moral yang unggul, maka perbuatan baik


tidak menjadi beban bagi manusia dalam melakukannya tetapi dengan penuh
kegembiraan dan kemudahan manusia akan melakukan perbuatan-perbuatan baik,
karena disposisi batinnya baik. Pribadi yang akan tampil dengan baik
merealisasikan kebaikan moral dengan penuh sukacita sampai akhir dalam
32
menghadapi tantangan yang bersifat internal juga eksternal. Moralitas tidak
berminat dengan penampilan luar, tetapi bergerak ke dalam (de internis),
sehingga ketaatan pada hukum dilakukan dengan sepenuh hati dan gembira
karena di dalamnya ditemukan kebaikan, membatinkannya dan melaksanakannya
dengan penuh semangat. Manusia dengan moralitas yang baik akan selalu
memilih dan merangkul kebaikan sehingga membentuk dirinya berkarakter
unggul. Tujuan hidupnya pun jelas karena diarahkan pada kebaikan tertinggi yaitu
Allah.

Berdasarkan paparan di atas maka dapat diletakkan pemahaman bahwa


kebaikan mendahului kebenaran, karena dari manusia berkarakter baik lah muncul
atau lahir perbuatan yang benar, Mazmur 1:1 mengatakan bahwa “Ia seperti pohon,
yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan
yang tidak layu daunnya, apa saja yang diperbuatnya berhasil”. Manusia yang
berkarakter baik akan dengan mudah menentukan tujuan suatu perbuatan dan
cara terbaik apakah yang dapat digunakan untuk mencapainya.

Forum Diskusi
1. Tahun 2022 lalu, Eropa dikecam dengan perang Rusian dan Ukraina. Konflik antara
Rusia dan Ukarina ini menjalar ke seluruh negara Uni Eropa bahkan seluruh dunia.
Yang paling dekat dengan kehidupan kita secara langsung adalah, kebijakan pemerintah
Indonesia untuk menyesuaikan harga minyak sesuai dengan harga pasar dunia.
Akibatnya terjadi kenaikan harga minyak bahkan sempat terjadi kelangkaan minyak
yang beredar di masyarakat. Diperlukan antrean yang panjang untuk memperoleh
minyak demi kebutuhan rumah tangga dan transportasi. Ada beragam dampak negatif
yang muncul dan kehidupan masyarakat yang semakin banyak mengalami penderitaan
secara terus-menerus. Masyarakat terjebak dalam rantai kemiskinan sehingga bisa
dengan mudah terjebak ke dalam pelacuran dan perdagangan manusia. Mengapa ini
semua terjadi? Mengapa manusia melakukan kejahatan kepada manusia lainnya? Ada
apa dengan manusia?
2. Dalam kehidupan kita, ternyata ada manusia yang mengalami keterbatasan fisiknya atau
manusia disabilitas yang mengalami kecacatan tertentu. Apakah mereka juga adalah
imago Dei, ataukah seperti apa? Untuk menyampaikan argument ibu bapak maka, link
dapat dikunjungi dengan judul “The Biblical Perspective on Disability” untuk ditelaah
lebih lanjut.

understanding-people-with-disabilities-within-the-biblical-
concepts-of-imago-dei-and-imitatio-
christi_1602664715.pdf (wwjmrd.com)

33
3. Masih sejalan dengan tema di atas, silahkan link berikut diunggah dan dianalisa tentang
“Keindahan dalam Disabilitas”.

https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=
&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwik_OKf8uz8AhXVzzgGHaZmBj0QFn
oECBcQAQ&url=https%3A%2F%2Fmedia.neliti.com%2Fmedia%2Fpu
blications%2F318102-keindahan-dalam-disabilitas-sebuah-konst-
039ba88b.pdf&usg=AOvVaw2JKAj55c0mki1sZ8nIZzKi

4. Silahkan menonton link youtube berikut ini, dan berilah tanggapan


berhubungan dengan moralitas manusia, dan namakanlah moralitas yang baik
dan akan sangat mungkin dilakukan dalam konteks kehidupan kita masing-
masing:

https://youtu.be/YsgdQY6hPfg

5. Silahkan menonton link youtube berikut ini, dan berilah tanggapan tentang
bagaimana hati nurani bekerja dalam kehidupan kita untuk berlaku atas hidup:

https://youtu.be/cCkBXBia-SM

34
Daftar Pustaka
Agustinus, Confession, diterj. Winarsih Arifin dan Th. Can den End, Pengakuan-
pengakuan, Yogyakarta, Kanisius, 2009).

Aman Peter C., Moral dasar: Prinsip-prinsip Hidup Kristiani, Jakarta, Obor, 2016.

Berkhof, Louis, Teologi Sistematika Volume 2: Doktrin Manusia, Jakarta, gereja


Reformed Injili Indonesia, 1994.

Bohr, David, In Christ A New Creation, Catholic Moral Tradition, Huntington, 1999.

Brueggemann, Walter and Tod Linafelt, An Introduction to the Old Testament: The
Canon and Christian Imagination, Louisville: Westminster, John Knox Press, 2012.

Guthrie Donald, The New Bible Commentary, Terj. Harun Hadiwijono, Tafsiran
Alkitab Masa Kini, Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih OMF, 1983.

Haering, Bernard, Law of Christ, Vol. I, The Newman Press, Westminster, 1964.

Hill Edmund, Being Human: A Biblical Perspective, London, Geofrfrey Chapman,


1984.

Hontiveros, Eduardo, P., SJ. A Textbook in Theological Antropology, Manila: Loyola


School Theology, 1988.

Mangunwijaya, Y.B., Memuliakan Allah Mengangkat Manusia, Yogyakarta, Kanisius,


2003.

Martasudjita, E., Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologi, Liturgis, dan Pastoral,


Yogyakarta, Kanisius, 2003/

Navone, John, Toward a Theology of Beauty, Yogyakarta, kanisius, 2011.

Sloyan Gerald S., New Testament Reading Guide, The Gospel of St. Mark, Collegeville,
Minnesota, The Liturgical Press, Terj. Lembaga Biblika Indoensia, Tafsir Injil
Markus, Yaogyakarta, kanisius, 1982.

Wadell, Paul, Happiness and the Christian Moral Life: An Introduction to Christian
Ethics, Lanham, 2016.

35
Glosarium:
Alienasi yaitu keterasingan atau terlepas dan terpisah dari sesuatu.

Moralitas yaitu nilai yang berhubungan dengan baik dan buruk, tepat dan tidak
tepat.

Hati Nurani yaitu proses kognitif yang menghasilkan rasionalisasi atas pandangan
moral atau sistem nilai yang dimiliki seseorang.

Kesadaran yaitu kemampuan individu dalam mengadakan hubungan dengan


dirinya sendiri dan lingkungannya.

36

Anda mungkin juga menyukai