Anda di halaman 1dari 8

UAS PENTATEUKH – ANDY SETIABUDI

‫ַצ ְלמנּו ְדמּותנ‬

Manusia, apakah sebuah misteri? Pertanyaan ini menggugah saya dalam memahami
sebenarnya siapa manusia. Louis Leahy bahkan menyatakan bahwa membentuk dan mengerjakan
suatu filsafat tentang manusia merupakan suatu usaha berat, yang pada zaman kita ini mungkin
akan tampak tak berguna atau bahkan tak mungkin.

Memang kini semakin lama semakin timbul ilmu-ilmu tertentu yang masing-masing dari
suatu sudut pandangan khusus membahas manusia: asal-usulnya, corak bentuknya, tindak-
tanduknya, realisasi-realisasinya terhadap lingkungan sekelilingnya, penyakit-penyakit dan
keanehan-keanehannya serta kemungkinan-kemungkinannya. Di samping semua disiplin yang
beraneka ini, kita juga, untuk memperkaya dan memperdalam pengetahuan kita tentang manusia,
masih memiliki sejarah, seni dan sastra, sandiwara dan sinema, termasuk teologi. Setelah
mendapatkan sebegitu banyak ragam sumber keterangan tentang manusia, dapatkah kita menjawab
siapakah sebenarnya manusia? Untuk itu, artikel ini mencoba menjawab segala pertanyaan
sekaligus yang menjadi keraguan setiap kita, siapa manusia yang ditinjau secara teologis terkait
manusia adalah gambar dan rupa Allah, imago dei.

Merujuk kepada Kejadian 1:26, kata yang diterjemahkan sebagai manusia dalam ayat ini

berasal dari kata Ibrani adam ‫אדם‬. Kata ini kadang dipakai sebagai nama diri, Adam seperti yang

tercatat di Kejadian 5:1 (“Inilah daftar keturunan Adam”). Dalam pengertian ini, kata tersebut
memiliki makna yang sama dengan kata Jerman Mensch: bukan laki-laki dalam keberbedaannya
dengan perempuan, melainkan manusia dalam keberbedaannya dari ciptaan yang non manusia,
yaitu manusia laki-laki atau perempuan, atau manusia sebagai laki-laki dan perempuan. Dalam
pengertian inilah kata tersebut dipakai di dalam Kejadian 1:26 dan 27.

Kata penting lainnya yang harus dipahami adalah “menurut gambar dan rupa Allah”. Kata

yang diterjemahkan sebagai gambar adalah tselem ‫ ַצ ְלמנּו‬, dan yang diterjemahkan sebagai rupa

Halaman 1 dari 8
adalah demuth ‫ ְדמּותנ‬. Di dalam bahasa Ibrani tak ada kata sambung di antara kedua ungkapan

tersebut; teks Ibrani hanya berbunyi “marilah kita menjadikan manusia menurut gambar rupa
Kita”. Baik Septuaginta maupun Vulgata memasukkan kata “dan”, sehingga memberi kesan bahwa
“gambar” dan “rupa” mengacu kepada dua hal yang berbeda. Pertanyaannya adalah apakah
berbeda atau sinonim atau penguatan makna satu dengan yang lain?

Anthony A. Hoekema menyatakan teks bahasa Ibrani memperjelas bahwa tak ada
perbedaan yang esensial di antara keduanya: “menurut gambar Allah” hanyalah suatu cara lain
untuk mengatakan “menurut rupa Allah”. Hal ini dapat dibuktikan dengan menelaah pemakaian
kedua kata ini di bagian ini dan di dua bagian kitab Kejadian lainnya. Dalam Kejadian 1:26, kata
gambar maupun rupa dipakai; dalam Kejadian 1:27 hanya kata gambar yang dipakai. Dalam
Kejadian 5:3 kedua kata dipakai, tetapi kali ini dengan urutan yang berbeda menurut rupa dan
gambar (Adam). Dan sekali lagi dalam Kejadian 9:6 hanya kata gambar yang dipakai. Jika kata-
kata ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan aspek-aspek manusia yang berbeda, maka keduanya
takkan dipakai dengan cara seperti yang baru kita lihat, yaitu bisa dipertukarkan.

Tetapi, meski kedua kata ini biasa dipakai sebagai sinonim, kita bisa menemukan sedikit
perbedaan di antara keduanya. Kata Ibrani untuk gambar, tselem, diturunkan dari akar kata yang
bermakna “mengukir” atau “memotong”. Maka kata ini bisa dipakai untuk mendeskripsikan ukiran
berbentuk binatang atau manusia. Ketika diaplikasikan pada penciptaan manusia di dalam
Kejadian 1, kata ini mengindikasikan bahwa manusia menggambarkan Allah, artinya manusia
merupakan suatu representasi Allah. Kata Ibrani untuk rupa, demuth di dalam Kejadian 1
bermakna “menyerupai”. Jadi, orang bisa berkata bahwa demuth di dalam Kejadian 1
mengindikasikan bahwa gambar tersebut juga merupakan keserupaan, “gambar yang menyerupai
Allah”. Kedua kata itu memberi tahu kita bahwa manusia merepresentasikan Allah dan
menyerupai Dia dalam hal-hal tertentu.

Dalam kaitannya esensi manusia dalam cakupan gambar dan rupa Allah, Berkhof
mengungkapkan inilah bagian dari manusia adalah berbeda dengan semua makhluk ciptaan yang
lain dan menjadi yang tertinggi sebagai mahkota ciptaan Allah atas seluruh ciptaan. Alkitab juga
mengakui bahwa manusia adalah pembawa gambar Allah (1 Kor. 11:7, 15:49). Berkoff
menambahkan bahwa “gambar” dan “rupa” memang dibedakan dalam beberapa hal. Sebagian

Halaman 2 dari 8
orang berpendapat bahwa “gambar” menunjuk tubuh dan “rupa” berkenaan jiwa. Berbeda lagi
dengan Agustinus yang berpendapat bahwa “gambar” menunjukkan intelektual, dan “rupa”
menunjukkan kualitas jiwa. Bellarmin juga menyatakan perbedaan kedua kata tersebut, “gambar”
sebagai istilah yang menunjukkan karunia-karunia alamiah pada manusia, dan “rupa” adalah
penunjuk dari apa yang secara supra-natural ditambahkan pada manusia. Pendapat lain
mengatakan bahwa “gambar” menunjukkan keserupaan dengan Allah yang dibawa sejak lahir dan
“rupa” adalah keserupaan yang diperoleh belakangan.

Bagi penulis apapun perbedaan yang ada menguatkan bahwa penggunaan keduanya
merujuk kepada manusia adalah sungguh-sungguh merupakan gambar Allah. Kedua kata ini
menyatakan kualitas yang menjadikan manusia istimewa dalam hubungannya dengan Allah.
Kenyataan bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah menjadikan manusia berbeda dengan
binatang dan dengan semua makhluk yang lain.

Pertanyaan lain yang timbul adalah keistimewaan dalam kesamaan apa yang dimiliki oleh
manusia dari Allah. Henry C. Thiessen mengatakan bahwa kesamaan itu bukan terletak pada
kesamaan jasmaniah, sebab Tuhan Allah adalah roh (tidak bertubuh) dan tubuh manusia dibentuk
dari debu tanah. Kesamaan yang pertama adalah kesamaan mental. Hal ini tersirat dalam perintah
untuk mengusahakan taman Eden serta memeliharannya (Kejadian 2:15), juga perintah untuk
menguasai bumi beserta segala isinya (Kejadian 1:26, 28) dan dalam pernyataan bahwa manusia
memberi nama kepada segala binatang di bumi (Kejadian 2:19-20). Hal ini diperkuat oleh Hodge
yang menyatakan bahwa kesamaan ini menjadi sangat penting bagi manusia untuk memiliki
kapasitas mengenal Allah, jika tidak memiliki kesamaan dengan Allah bagaimana manusia bisa
bersekutu dengan Penciptanya.

Kesamaan yang kedua adalah kesamaan moral. Hal ini tersirat di dalam pembaharuan
manusia baru yang “diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang
sesungguhnya” (Efesus 4:24), maka pastilah tepat untuk menyimpulkan bahwa pada mulanya
manusia memilik baik kebenaran maupun kekudusan. Berkhof mengatakannya dengan “kebenaran
asali” atau secara lebih khusus pengetahuan yang benar akan kebenaran dan kesucian. Karena
kesamaan moral inilah yang menjadikan manusia dapat bertindak benar atau bertindak salah. Kitab
Kejadian 1:31 membuktikan hal ini, yaitu “Allah menciptakan manusia sungguh amat baik” dan
“benar” (Pengkhotbah 7:29).

Halaman 3 dari 8
Kesamaan yang ketiga adalah kesamaan sosial. Hal ini tersirat di dalam sifat manusia yang
senantiasa mencari sahabat untuk bersekutu dengannya. Persahabatan itu pertama didapati oleh
manusia dengan Allah sendiri. Manusia “mendengar bunyi langkah Tuhan yang berjalan-jalan
dalam taman itu pada waktu hari sejuk” (Kejadian 3:8). Hal ini secara tidak langsung menyatakan
bahwa manusia berkomunikasi dengan Allah Penciptanya. Allah telah menciptakan manusia untuk
dirinya sendiri dan manusia menemukan kepuasan tertinggi dalam persekutuan dengan Tuhannya.

Di samping itu, Allah juga menganugerahkan persahabatan manusiawi kepada manusia,


yaitu dengan menciptakan wanita (Kejadian 2:18) sebagai penolong baginya, yang sepadan
dengannya. Jelaslah bahwa manusia diciptakan dengan sifat sosial, sebagaimana Allah mempunyai
sifat sosial. Kasih dan perhatian sosial manusia bersumber dari unsur ini dalam waktak manusia.

Sedikit kembali ke Kejadian 5:1-3 di mana kata “gambar” dan “rupa” juga dipakai saat
Adam memperanakkan seorang anak laki-laki menurut gambar dan rupanya, yaitu Set. Yang
menarik perhatian di sini adalah tidak dikatakan bahwa anak Adam diciptakan dalam gambar dan
rupa Allah, melainkan dikatakan Adam memperanakkan Set dalam rupa dan gambarnya. Jika
Adam masih merupakan gambar Allah maka dapat kita katakan bahwa Set anaknya juga adalah
gambaran Allah. Pertanyaannya adalah apakah benar demikian, apakah gambar Allah masih
melekat dan dimiliki oleh manusia setelah manusia jatuh ke dalam dosa. Atau karena teks itu
terjadi setelah kejatuhan manusia, makanya Set tidak disebutkan seturut gambar dan rupa Allah.
Sekali lagi kita harus mempertanyakan hal tersebut.

Untuk menjawab pergumulan ini, penulis mengacu apa yang disampaikan oleh Calvin.
Letak gambar Allah pada manusia ialah terutama di dalam jiwanya. Namun meskipun demikian
tempat utama dari gambar Ilahi pada manusia adalah terletak di dalam hati dan pikiran, atau di
dalam jiwa dan kuasanya, dan tidak ada satu bagian pun dalam tubuh manusia yang tidak
memancarkan gambar Allah.

Berdasarkan Kolose 3:10; Efesus 4:21-24, Calvin menyimpulkan bahwa gambar Allah
pada manusia mula-mula mencakup pengenalan yang benar, kebenaran dan kekudusan. Karunia-
karunia supranatural yang dimiliki manusia sejak semula, seperti iman, kasih akan Allah,
kemurahan kepada sesama, giat dalam kekudusan dan kebenaran, telah hilang oleh karena
kejatuhannya. Sebelum kejatuhannya, manusia memiliki gambar Allah secara sempurna.
Kejatuhan telah mengakibatkan kehancuran pada gambar Allah tersebut.

Halaman 4 dari 8
Setelah kejatuhan manusia, gambar Allah tidak hilang sama sekali tetapi kondisinya telah
hancur oleh dosa (Roma 3:10, 12, 23), lenyap oleh kejatuhan, tersapu atau hilang oleh dosa,
tertahan, ternoda oleh dosa Adam, sama sekali rusak oleh dosa. Pendapat ini sekaligus sebagai
sanggahan Calvin terhadap argumentasi Aquinas dan hampir semua teolog Scholastic, yang
mengartikan bahwa kejatuhan ialah hilangnya bagian tambahan pada natur manusia.

Gambar Allah pada manusia yang telah jatuh ini terlihat “masih ada tanda gambar Allah,
yang membedakan seluruh umat manusia dengan ciptaan-ciptaan yang lain”. Di bagian lain,
Calvin menyebut hal ini sebagai sisa-sisa gambar Allah. Dalam tafsirannya mengenai Mazmur 8,
Calvin mengatakan bahwa manusia yang telah jatuh dalam dosa masih ada bekas-bekas gambar
Allah.

Dosa telah merusak gambar Allah, akan tetapi manusia yang jatuh itu tetap dalam gambar
Allah, tetapi tidak lagi dalam kondisi yang sama. Dan atas dasar itu manusia tetap patut dihargai,
dihormati dan dikasihi. Calvin tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa kejatuhan
manusia menyebabkan hilangnya rupa Allah dan tersisanya gambar Allah, sebab Calvin tidak
melihat adanya perbedaan yang mendasar antara dua istilah “gambar” dan “rupa”. Setelah manusia
jatuh ke dalam dosa, gambar Allah telah rusak secara total, tidak berbentuk telah ternoda
semuanya. Ada cacat dalam gambar Allah dalam manusia. Dari ujung rambut sampai ujung kaki,
dosa sudah berpenetrasi, sudah merambat, menembus dan menguasai, sehingga dalam seluruh
aspek, emosi, jiwa, kemauan, raga, tidak ada satu sedikitpun dianggap beres oleh Allah. Itulah
kerusakan total, sehingga kesalahan manusia adalah kain kotor bagi Allah (Yesaya 64:6). Calvin
menegaskan bahwa dosa telah merusak dan menodai semua natur manusia dan semua karunianya
sehingga manusia telah mati secara rohani.

Jika memang sudah rusak total, bagaimana manusia bisa mendapatkan kesempatan untuk
memperbaruinya. Ini pertanyaan lanjutan untuk menjawab seputar misteri manusia. Berbicara
tentang bagaimana pembaharuan gambar Allah, Calvin menjawabnya dari dua sudut pandang. Dari
sudut pandang Allah, dapat dikatakan bahwa pembaharuan gambar Allah dilakukan oleh Roh
Kudus dengan sarana Firman Tuhan. Dan bagaimana manusia sampai menjawab Anugerah Allah
itu merupakan pekerjaan Roh Kudus, yang membentuk manusia baru melalui Firman, dan
membuatnya berpengetahuan bahwa ia adalah anak Bapa. Pembaharuan gambar Allah bukanlah
oleh usaha kita sendiri tetapi oleh anugerah, khususnya oleh Roh Kudus melalui Firman-Nya.

Halaman 5 dari 8
Dipandang dari sudut manusia, pembaharuan gambar Allah disempurnakan dengan iman.
Iman adalah respon manusia kepada Firman Allah yang hanya dapat terjadi oleh pekerjaan Roh
Kudus di dalam hati kita. Dan oleh Firman itu manusia dapat menjadi serupa dengan Allah, yakni
memiliki gambar Allah. Dengan demikian, pemahaman Calvin tentang pembaharuan gambara
Allah, ada dua faktor. Pertama-tama adalah tindakan Allah yang anugerah, tetapi selain itu adalah
tanggung jawab manusia untuk bertindak dan keduanya berjalan seiring di dalam doktrin gambar
Allah. Pembaharuan itu bertahap bukan bersifat statis melainkan dinamis, berlangsung terus
menerus. Setiap hari kita diubah terus menerus hingga kemudian (pada saat kebangkitan) akan
dipulihkan secara menyeluruh, baik tubuh maupun jiwa. Pembaharuan gambar Allah mencapai
kesempurnaan sampai datangnya kehidupan yang akan datang.

Manusia dengan gambar dan rupa Allah, Yesus adalah manusia – artinya Yesus adalah
gambar dan rupanya Allah juga. Dalam Perjanjian Baru kita ketahui bahwa Yesus Kristus adalah
gambar Allah yang sempurna. Rasul Paulus dalam II Korintus 4:4, menulis tentang orang-orang
yang “…tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus, yang adalah gambar Allah”. Kata
“gambar: di sini adalah terjemahan dari Yunani “eikon” yang sama artinya dengan kata Ibrani
“tselem”. Maksud Paulus dengan mengidentifikasi Kristus sebagai gambar Allah pada ayat 6
adalah untuk menyatakan bahwa di dalam memandang wajah Kristus berarti kita memandang
Allah. Hal yang sama juga dikatakan oleh Paulus dalam Kolose 1:15. Walaupun Allah tidak
kelihatan, tetapi melalui Kristus Allah yang tidak kelihatan itu dapat dilihat; seseorang yang
melihat Kristus berarti melihat Allah.

Ide yang sejajar juga terdapat dalam Ibrani 1:3, “Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan
gambar wujud Allah”. Dengan perkataan lain, penulis surat Ibrani ingin mengungkapkan, cahaya
kemuliaan yang memancar dari Kristus bukanlah cahaya kemuliaan-Nya sendiri melainkan cahaya
kemuliaan Allah Bapa. Dengan demikian, maka cara terbaik dalam kita mempelajari tentang
gambar Allah pada manusia bukanlah dengan membandingkan kelebihan kualitas, kemampuan
serta karunia yang manusia miliki yang membedakannya dari hewan, melainkan kita harus
mempelajarinya di dalam dan melalui Kristus. Pusat gambar Allah bukanlah ciri khusus seperti
kemampuan berakal budi atau kemampuan membuat keputusan, melainkan pusat kehidupan
Kristus adalah mengasihi Allah dan mengasihi sesama. Kemampuan-kemampuan itu lebih tepat
dibanding sebagai fungsi gambar Allah.

Halaman 6 dari 8
Untuk itu, orang Kristen tidak hanya harus memahami siapa dirinya manusia yang
diciptakan gambar dan rupa Allah, tetapi setiap dari mereka dipanggil untuk semakin bertumbuh
menyerupai Allah dan Kristus Sang Gambar Allah yang sempurna. Hal ini merupakan bagian dari
tanggung jawab orang Kristen. Suatu tanggung jawab yang hanya mungkin terlaksana atas
pertolongan Allah, namun tetap merupakan tanggung jawab orang Kristen. Diungkapkan dalam
perspektif eskatologis, bahwa tujuan akhir dari penebusan kita adalah menjadi gambar Allah yang
utuh dan sempurna. Suatu contoh di I Korintus 15:49, yang konteks sebelumnya dikontraskan
antara Adam pertama dan Adam terakhir. Adam pertama berasal dari debu tanah (ayat 47);
sedangkan Adam terakhir berasal dari sorgawi. Adam yang terakhir jelas Yesus Kristus. Paulus
mengajarkan, sebagaimana kita telah mengenalkan gambar manusia yang asalnya debu atau
manusia duniawi, demikian juga kita harus mengenakan gambar manusia yang asalnya dari sorga.
Sebenarnya inti pembahasan pasal ini adalah tentang kebangkitan tubuh.

Akhirnya, kembali kepada pertanyaan semula siapa manusia? Apakah manusia adalah sebuah
misteri yang tiada berujung? Kiranya melalui paparan teologis di atas, kita memahami dan meyakini
sepenuhnya bahwa kita manusia adalah sungguh-sungguh gambaran Allah yang seharusnya berproses
hari demi hari untuk serupa dengan Allah. Sama seperti halnya Kristus yang terlahir sebagai manusia,
terlahir sebagai gambar dan rupa Allah dan menjadi gambaran kesempurnaan Allah sendiri. Dosa telah
merusak gambar dan rupa tersebut, tetapi kesempurnaan penebusan yang dilakukan oleh Yesus
menjadikan manusia diperbarui dan bisa bersekutu dengan Sang Penciptanya.

Referensi:

Berkhof, Louis, Teologi Sistematika Doktrin Manusia, Surabaya: Penerbit Momentum, 2016.

Hadiwijono, Harun, Iman Kristen, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2013.

Hodge, Charles. Systematic Theology II, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company,
1940.

Hoekema, Anthony A, Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah, Surabaya: Penerbit Momentum,
2015.

Leahy, Louis, Manusia, Sebuah Misteri, Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993.

Halaman 7 dari 8
Ryrie, Charles C, Teologi Dasar 1, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2014.

Plaisier, Arie Jan, Manusia Gambar Allah, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1999.

Powlison, David, Memandang dengan Perspektif Baru, Surabaya: Penerbit Momentum, 2011.

Thiessen, Henry C, Lectures in Systematic Theology, Michigan: William B. Eerdmans Publishing


Company, 1979.

Halaman 8 dari 8

Anda mungkin juga menyukai