Anda di halaman 1dari 5

A.

DASAR-DASARNYA

Dalam Alkitab, menurut pendefinisian diri Allah dalam Keluaran 33 14, Allah memperkenalkan diri
sebagai yang selalu akan ada, tetapi sebagai yang selalu akan ada dalam bentuk yang Ia pilih sendiri
dari waktu ke waktu, yaitu: Allah tidak membatasi diri dengan bentuk wahyu tertentu. Oleh sebab
banyaknya pernyataan-pernyataan Alkitab tentang Allah agak sulit menunjuk secara singkat pada
nats-nats yang paling penting, maka berikut ini diringkaskan secara sederhana beberapa pernyataan
pokok: dalam Perjanjian Lama Allah tidak mau mengikat diri, dalam Perjanjian Ba

ru Ia mengikat diri dalam Yesus Kristus. Dalam Perjanjian Lama Allah dimengerti sebagai yang bebas
menurut hakikat-Nya, dalam Perjanjian Baru sebagai yang cukup bebas untuk mengambil bentuk
tertentu dalam Yesus Kristus. Dalam Perjanjian Lama Allah diartikan sebagai yang hakikat-Nya kudus
(Yesaya dan Yehezkiel), dalam Perjanjian Baru sebagai yang hakikat-Nya mengasihi (1 Yoh 4:8,16).
Menurut Perjanjian Lama Allah pada dasarnya adalah Tuhan, menurut Perjanjian Baru pada
dasarnya Dia adalah Bapa (abba). Dalam Perjanjian Lama Ia adalah yang betul-betul asing, dalam
Perjanjian Baru Ia adalah yang betul-betul menyerahkan diri kepada kita. Dalam Perjanjian Lama Ia
bukanlah manusia (Bil 23:19), dalam Perjanjian Baru ia menjadi manusia. Dalam Perjanjian Lama
tekanannya diberikan pada transendensi Allah, dalam Perjanjian Baru pada imanensiNya, meskipun
keduanya tidak dapat terbagi-bagi secara sempurna pada kedua perjanjian. Dalam Perjanjian Lama
terdapat pula pernyataan-pernyataan imanensi, misalnya dalam bentuk-bentuk pewahyuan Allah
berupa pesuruh, tabut, wajah, cahaya, nama, Firman, hukum dll. Sebaliknya dalam Perjanjian Baru
terdapat juga pernyataan transendensi, di mana Perjanjian Baru berbicara tentang paradoks, bahwa
justru Allah yang murka, dalam Kristus menjadi Allah yang menyelamatkan, bahwa Allah yang betul-
betul berbeda dari manusia, dalam Kristus benar-benar mempersatukan din' dengan-Nya, bahwa
Allah yang sama sekali bukan manusia toh menjadi manusia. Dalam bab tentang penyataan di atas
sudah dikatakan bahwa menurut Perjanjian Baru orang bukan-Kristen juga dapat mengenal Allah.
Tetapi berdasarkan Roma 1:18 dst., pengenalan itu hanya sampai pada perbatasan amarah Allah,
sedangkan anugerah-Nya hanya dinyatakan dalam diri Yesus Kristus saja.

Berbeda dengan Alkitab yang terutama mengartikan Allah secara historis, dalam Helenisme Allah
dimengerti sebagai hakikat yang transhistoris, tanpa waktu dan tidak bergerak. Pengertian Helenis
itu mempengaruhi ajaran tentang Allah dalam Gereja Purba. Augustinus misalnya di bawah
pengaruh Neoplatonisme menyebut Allah sebagai ”kebaikan yang murni belaka” (bonum solum
simplex) atau sebagai ”kebaikan yang paling tinggi” (sum/mun bonum).

Ungkapan tentang Allah yang Helenis itu, memberi warna pada ajaran trinitas Gereja Purba.
Menurut Konsili Nicea (325), Yesus adalah ”schakikat dengan Bapa” (homoousios to putri). Bapa-
bapa Kappadokia mendukung ke-Allah-an Roh Kudus dan berbicara tentang ketiga cara keberadaan
(hupostasis) Allah. Menurut Gregon'us Nazianzus, ciri-ciri khas dari
ketiga pribadi trinitas didapati dalam: ketidaklahiran (agenesia) Bapa, kelahiran (genesis) Anak dan
kemunculan (ekporeusis) Roh Kudus. Dalam Perjanjian Baru sendiri masih terdapat penekanan pada
trinitas yang bersifat ekonomis-historis (Gal 4:4 dst.). Dan rumusan-rumusannya yang triadis dapat
dimengerti hanya melalui pengertian ini (1 Kor 12:4 dst.; 2 Kor 13: 13; Mat 28:19). Sejak Bapa-bapa
Kappadokia aksen dalam teologi dipindahkan ke trinitas hakikat atau trinitas yang imanen.
Pengembangan ajaran trinitas Gereja Purba mendapat penyelesaian melalui pengakuan
NicaenoConstantinopolitanum dari Konsili Konstantinopel (381) yang menetapkan bahwa Bapa,
Anak dan Roh Kudus adalah tiga persona yang berbeda, namun toh sehakikat.

Sejak Abad Pertengahan khususnya ajaran tentang Allah dari Thomas Aquinas menjadi penunjuk
arah; ajaran ini turut dirumuskan oleh pengertian Allah yang bersifat Yunani-Helenis. Di sini Allah
diartikan sebagai:

penyebab pertama (causa prima)

realitas murni tanpa campuran suatu potensi (actus punts)

-keberadaan belaka, keberadaan yang paling sempurna, di mana esensi dan eksistensi tidak berbeda
(ipsum esse).

Oleh karena itu keberadaan Allah dapat dibuktikan bagi manusia kodrati dengan lima cara berikut: 1.
berdasarkan gerak (ex parte motus), 2. berdasarkan penyebab (ex ratione causae ejj'icientis), 3.
berdasarkan yang perlu dan tidak perlu (ex possibili et necessario), 4. berdasarkan tingkattingkat
keberadaan yang terdapat dalam hal-hal yang bereksistensi (ex gradibus, qui in rebus inveniuntur),
5. berdasarkan pengendalian segala hal (ex gubematione rerum).

Berdasarkan Alkitab M. Luther memberi penekanan lagi akan kesejarahan Allah. Ia memulihkan
ajaran tentang Allah dari abad-abad pertama dan Abad Pertengahan dengan mengurangi pandangan
akan Allah yang berada bagi diri-Nya sendiri dan mengutarakan pandangan tentang Allah sebagai
yang bertindak, yaitu yang bertindak di dalam murka dan anugerah. Allah adalah ”Allah yang
tersembunyi” (deus absconditus) dalam kemarahan-Nya dan ”Allah yang menampakkan diri” (deus
revelatus) di da' lam anugerah-Nya. Murka Allah tidaklah dianggap sebagai hakikat Allah. melainkan
sebaliknya penyembunyian hakikat-Nya. Hakikat Allah hanyalah kasih semata dan amarah bukanlah
bagian dari hakikat-Nya. Luther berkata, ”Allah adalah suatu tungku membara yang penuh dengan
kasih“
Menurut salah satu tulisan Reformasi, yaitu buku Apologia ada ”dua karya pokok Allah”, yakni
”mengejutkan dan membenarkan serta menghidupkan orang~orang yang terkejut” (Ap. XII). Yang
pertama, yaitu hukum Taurat adalah ”karya-Nya yang asing dan bukan yang sesungguhnya" (opus
alienum); yang kedua, yaitu Injil adalah ”karya-Nya yang tersendiri dan yang sesungguhnya” (opus
proprium). Dengan demikian murka bukantah hakikat Allah yang kedua, melainkan hanya bayang-
bayang dari hakikat-Nya yang sebenarnya terdapat di dalam kasih. Namun bayang-bayang itu perlu,
sebab hanya dengan latar belakang itulah terang anugerah-Nya bercahaya.

Para reformator mengambil alih ajaran trinitas dari Gereja Purba. Konfesi Augsburg menerangkan:
”1. Kami berpegang teguh serta mengajarkan, sesuai dengan Konsili Nicea; 2. bahwa ada satu ujud
ilahi, yang disebut dan sesungguhnya Allah, dan ada tiga oknum di dalam satu ujud ilahi, setara
dalam kuasa dan sama-sama kekal; 3. Allah Bapa, Allah Anak, Allah Roh Kudus.” Sesuai dengan
tradisi juga diformulasikan bahwa Allah itu mempunyai ciri-ciri khas seperti berikut: ”kekal”, ”tidak
terpisahpisah”, ”mahakuasa”, ”mahaarif” dan ”mahabaik” (KA I).

Pada zaman Ortodoksi ajaran tradisional dari pengajaran tentang Allah, tentang hakikat serta ciri-ciri
khas-Nya dan mengenai ketritunggalan diringkas dalam beberapa rumusan. Secara mendasar J.
Gerhard membedakan antara pengenalan Allah yang alamiah (notitia Dei naturalis) dan pengenalan
Allah yang dinyatakan (notitia Dei revelata) yang berdasarkan Alkitab. Mengenai pengenalan Allah
yang alamiah diperlihatkan pula dua sumber yang berbeda. Di satu pihak pengenalan Allah yang
kodrati muncul-dari hati nurani dan dianggap sebagai milik manusia sejak lahir atau tertanam di
dalam dirinya (notitia Dei naturalis innata seu insita). Di pihak lain pengenalan Allah yang kodrati itu
berasal dari karya-karya penCiptaan Allah dan dianggap dapat diperoleh manusia sendiri (notitia Dei
nancralis acquisita).

_ Menurut Hollaz, Allah dan ciri-ciri khas-Nya sesuai dengan tradisi (DIOnisius Areopagus) dapat
diperkenalkan dengan tiga cara:

1via eminentia (melalui ”peninggian” dunia, misalnya Allah adalah mahakuasa),

2‘ via negationis (melalui "peniadaan” dunia, misalnya Allah adalah

tidak terbatas, tidak badani),

3Via causalitatis (melalui hubungan sebab-akibat, yaitu dengan me. nyimpulkan sebab ilahi dari
suatu akibat tertentu, misalnya Allah adalah asal kebaikan, asal hikmat dll.).

Allah sendiri berdasarkan I Yohanes 4:8 didefinisikan sebagai ”ka. sih” (caritas), namun juga sebagai
”hakikat rohani yang tak terbatas" (essentia spn'tualis infmita). Ciri-ciri khas Allah oleh Hollaz dan
Quenstedt dibagi sebagai berikut:
1. Ciri-ciri khas yang terpisah dari dunia dan menetap pada Allah (arm‘buta immanentia). Termasuk
di antaranya: kesempurnaan (perfectio), keagungan (majestas), kebahagiaan (beatitudo), kesatuan
(unitas), kesahajaan (simplicitas), kerohanian (spiritualitas), ketidaknampakan (invisibilitias),
kebenaran (varitas), kebaikan (bonitas), ketidaktergantungan (independenlia), kekekalan
(aetemitas), tak terukur (immensitas), tak berubah (immutabilitas) dan yang tak terbayangkan
(incomprehensibilitas) dari Allah.

2. Ciri-ciri khas yang aktif dan terarah kepada dunia (attributa operativa). Termasuk di antaranya:
kehidupan (vita), keabadian (immortalitas), berdaya pikir (intellectus), kemauan (voluntas),
mahatahu (omniscientia), mahaarif (onmisapientia), kebebasan (libertas), kebaikan (benignitas),
kasih (amor), anugerah (gratia), kemurahan (misericordia), kesabaran (patientia), kekudusan
(sanctitas), keadilan (justitia), kekuasaan (potentia), kesungguhan (veracitas) dari Allah.

Ortodoksi menerima pandangan yang tradisional bahwa Allah mempunyai satu hakikat dan tiga
persona. ”Trinitas hakikat” dan ”trinitas penyataan“ dibedakan antara yang satu dengan yang lain
melalui ajaran ten

tang perbuatan ”ke dalam” dan ”ke luar”. Chemnitz menyebut karya-karya Allah ke dalam dan ke
luar sebagai berikut:

1. Opera ad intra (karya-karya ke dalam, yaitu karya-karya dalam trinitas sendiri):

a. Generatio (memperanakkan, karya dari Bapa kepada Anak). b. Spiratio (hembusan, karya dari
Bapa dan Anak kepada Roh).

2Opera ad extra (karya-karya ke luar, yaitu karya-karya ke luar trinitas sendiri): a. Creatio
(penciptaan, karya Bapa ke luar).

b. Redemptio (penyelamatan, karya Anak ke luar). (:. Sanclijicatio (pengudusan, karya Roh ke luar).

Karya ke dalam terbagi pada ketiga persona masing-masing, di mana ketiga persona tersebut tidak
bekerja sekaligus (opera ad intra sunt divisa). Karya-karya ke luar tidak terbagi, karya-karya itu
dikerjakan sekaligus oleh ketiga persona itu. Ciptaan misalnya bukanlah karya Bapa saja, melainkan
juga karya Anak dan Roh, dan sebagainya (opera ad extra sunt indivisa).
Pada zaman Modem bukti-bukti mengenai Allah mengalami penilaian yang berbeda. Di satu pihak
konsep pemikiran itu sangat dihargai da1am rangka suatu teologi naturalis, di pihak lain bukti-bukti
Allah ditolak, misalnya oleh 1. Kant yang menjelaskan bahwa akal budi kita hanya dapat menangkap
dunia fenomen-fenomen dan bukannya apa yang melampauinya. Kant hanya menerima ”bukti Allah
yang moralis”, di mana eksistensi Allah disimpulkan ke luar dari tuntutan rasio praktis.

Ajaran Trinitas yang sejak konsili-konsili Gereja Purba tidak mendapat banyak perhatian dan pada
Abad Pertengahan seolah-olah dijaga sebagai warisan magis, hampir dikesampingkan pada Abad
Pencerahan. Dan dalam Neoprotestantisme gagasan itu semakin berkurang pentingnya dan sering
hanya dibatasi pada trinitas penyataan atau ekonomis saja.

Perhatian baru yang dipusatkan pada trinitas terkuak dalam filsafat G.W.F. Hegel yang merumuskan
bahwa Allah bukanlah suatu hakikat agung yang abstrak, melainkan Ia mengkongkretisasikan diri-
Nya sebagai Allah tritunggal. Allah diartikan sebagai berikut: ”Allah yang menjadikan diri-Nya obyek
dari diri-Nya sendiri menjadi Anak, lalu menetap dalam obyek itu dan di dalam keberbedaan dari
diri-Nya sendiri itu dengan seka' ligus menghilangkan keberbedaan itu dan di dalamnya mengasihi
diri-Nya sendiri, yaitu menjadi identik dengan diri-Nya sendiri dan dalam kasih-Nya itu
mempersatukan diri. Dengan demikianlah Allah terwujud sebagai Roh.” Jadi ketritunggalan berarti:
Allah memisahkan dan mempersatukan diri-Nya, Dia menghilangkan diri-Nya untuk memenangkan
diri-Nya, Dia siuman dengan menyerahkan diri-Nya. Ajaran tentang trinitas yang tradisional berjasa
dan bermaksud untuk memandang bersama-sama kedua pernyataan Alkitab berikut yang saling
bertentangan: a. Kristus dan Roh Kudus adalah Allah juga, b. Allah adalah Allah yang esa. Selain itu
ajaran tentang trinitas memperjelas ketegangan antara transendensi dan kondesendensi. Dalam
Yesus Allah telah menjadi daging, namun tetap sebagai Roh; dalam Yesus Allah menjadi manusia,
namun tetap tidak kehilangan ke-Allahan-Nya; dalam Yesus Allah sama sekali berpihak kepada
manusia, namun Ia tetap lain sama sekali.

Dalam Perjanjian Baru gagasan trinitas imanen tidak diformulasikan secara harfiah, namun gagasan
itu dilegitimasikan secara teologis oleh prinsip, bahwa kita tidak boleh memisahkan perbuatan Allah
dari keberadaan-Nya. Kalau Allah bertindak dengan kasih, maka Dia juga adalah kasih. Tindakan
kasih-Nya bukanlah secara kebetulan. Kalau Allah sebagai Bapa dalam Anak melalu: Roh menyatakan
kaSih-Nya, maka Dia sebagai

Bapa terhadap Anak melalui Roh-Nya adalah kasih di dala ' ' diri. Trinitas ekonomis mengisyaratkan
trinitas imanem.

Anda mungkin juga menyukai