Anda di halaman 1dari 6

1.

BUKTI-BUKTI ADANYA ALLAH


Apabila kamu mau mengetahui siapa Allah dan bagaimana Dia, lihatlah kepada Yesus
Kristus. Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada
dipangkuan Bapa, Dialah yang telah menyatakan-Nya (Yoh 1:18). Allah hanya dapat dikenal
melalui dan dengan perantaraan Allah sendiri. Tetapi Allah sudah menyatakan Diri dalam
kedatangan Yesus Kristus; dan oleh Roh Kudus Ia membuat kita mengenal Dia. Dengan kata
lain : sesunguhnya kita dapat mengenal Allah, sebab Ia menyatakan diri.
“Penyataan” adalah perbuatan Allah. Di dalamnya tersimpul jawaban atas bukti-bukti
adanya Allah. Allah bukan hanya “berada” saja, Ia bukanlah suatu “keberadaan yang bugil”,
yang tidak bergerak. Ia adalah Allah yang bertindak, Allah yang berfirman : dan firman-Nya
serentak merupakan perbuatan-Nya. Sebagai Allah yang Tritunggal Ia telah mendatangi
manusia dan berkenan juga mendatangi kita, sehingga di dalam percaya sungguh kita alami
perbuatan-Nya. Itulah sebabnya di dalam Alkitab sering kita baca ungkapan “Allah yang
hidup”.1
2. BUKTI-BUKTI ADANYA ALLAH MENURUT ALKITAB2
Dalam Alkitab, menurut pendefinisian diri Allah dalam Keluaran 3:14, Allah
memperkenalkan diri sebagai yang selalu ada, tetapi sebagai yang selalu akan ada dalam
bentuk yang Ia pilih sendiri dari waktu ke waktu, yaitu Allah tidak membatasi diri dengan
bentuk wahyu tertentu. Dibawah ini ada beberapa bukti tentang adanya Allah menurut
Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yaitu:
PERJANJIAN LAMA PERJANJIAN BARU
Allah tidak mau mengikat diri Allah mengikat diri dalam Yesus Kristus
Allah dimengerti sebagai yang bebas Allah yang cukup bebas untuk mengambil
menurut hakikat-Nya bentuk tertentu dalam Yesus Kristus
Allah yang hakikat-Nya kudus Allah yang hakikat-Nya mengasihi (1 Yoh
4 : 8, 16)
Allah pada dasarnya adalah Tuhan Dia adalah Bapa (abba)
Ia adalah yang betul-betul asing Ia adalah yang betul-betul menyerahkan
diri kepada kita
Ia bukanlah manusia (Bil 23:19) Ia menjadi manusia
Transendensi Allah Imanensi Allah

3. BUKTI-BUKTI ADANYA ALLAH MENURUT PARA FILSAFAT


1
G. C. Van Niftrik dan B. J. Boland, Dogmatika Masa Kini, (Jakarta : BPK-GM, 2001), 74-82
2
Theol Dieter Becker, Pedoman Dogmatika, (Jakarta : BPK-GM, 2012), 52-53
Pemikir-pemikir Kristen sepanjang masa sudah berusaha untuk membuktikan keberadaan
Allah dari unsur-unsur dalam dunia ini. Usaha ini disebut "teologi alami" dan didasarkan
pada hukum-hukum logika, kenyataan dunia ini dan beberapa gagasan filsafat. Ada versi
kuat, yang berargumentasi bahwa keberadaan Allah secara logis dibutuhkan. Ada juga versi
lemah, yakni bahwa keberadaan Allah adalah mungkin, atau bahwa argumen-argumen bahwa
Ia tidak ada kurang kuat, atau bahwa hal percaya akan keberadaan Allah bukan hal yang tidak
masuk akal. Pandangan-pandangan utama yang dikemukakan akan diuraikan di bawah ini.

a Ontologi

Secara filsafat, pandangan ini yang paling penting. Pernyataan klasik yang diberikan
Anselmus (1033-1109) terdiri dari dua tahap:

* Allah adalah oknum yang tidak bisa dibayangkan bahwa ada yang lebih besar (atau lebih
sempurna) daripada Dia; dan

* sesuatu yang hanya berada dalam pikiran berbeda dengan sesuatu yang berada dalam
pikiran dan sekaligus juga dalam kenyataan.

Kalau kedua tahap itu digabung, berarti kalau Allah hanya berada dalam pikiran dan tidak
dalam kenyataan, maka dapat dibayangkan oknum yang lebih sempurna yaitu yang berada
dalam pikiran dan juga dalam kenyataan. Tetapi Allah adalah oknum yang tidak bisa
dibayangkan bahwa ada yang lebih sempurna daripada Dia, jadi Allah tidak berada hanya
dalam pikiran saja. Karena itu harus diterima alternatifnya: oknum yang paling sempurna
berada dalam kenyataan dan dalam pikiran.
Pandangan ontologis ini sangat dikritik oleh filsuf Jerman, Kant (1724-1804). Ia
menunjukkan bahwa argumentasi ini hanya membuktikan bahwa jika ada oknum yang
tertinggi, maka ia harus ada. Sifat ada saja tidak menambahkan apa-apa kepada suatu konsep.
Contohnya, menurut pendapat ini, Rp. 1000,- yang nyata tidak bernilai lebih tinggi dari Rp
1000,- yang dibayangkan saja.
Akhir-akhir ini pandangan ontologis ini mengalami semacam kebangkitan kembali. Beberapa
filsuf keagamaan masa kini percaya bahwa, jika diakui bahwa suatu oknum yang tertinggi
adalah mungkin, maka Ia harus berada dalam kenyataan (lihat Plantinga 1974; Ross 1980).

b Kosmologi

Pandangan ini, yang pernyataan klasiknya diberikan oleh Aquinas (kira-kira 1225-74),
menegaskan bahwa keberadaan dunia memerlukan oknum tertinggi yang menyebabkan
keberadaannya itu. Perhatian ditujukan pada fakta kausalitas yang berarti setiap kejadian ada
sebabnya, yang pada gilirannya juga mempunyai sebab, dan seterusnya sampai pada sebab
pertama, yaitu Allah.

Para kritikus menyatakan bahwa pandangan ini tidak dapat menghadapi alternatifnya, yaitu
bahwa mungkin tidak ada "sumber" atau asal pertama. "Alam semesta ada, dan tak ada yang
lain yang dapat dikatakan" (Russell). Tetapi para pembelanya yakin bahwa pandangan ini
tidak boleh dikesampingkan begitu saja. Akhir-akhir ini pandangan ini sering dirumuskan
dengan memakai istilah "kemungkinan" (Ing. contingency). Segala sesuatu bersifat
"mungkin" (= ada walaupun tidak harus ada) ataupun "perlu" (= harus ada). Adanya
kenyataan-kenyataan tertentu yang mungkin, dapat dijelaskan pada tingkat tertentu dengan
mengacu pada sebab-sebab terdahulu yang juga mungkin. Tetapi terjadinya dan kelanjutan
segala sesuatu yang mungkin, dianggap sebagai keseluruhan, hanya dapat dijelaskan jika ada
sesuatu yang harus ada, yaitu Allah (bnd. Geisler 1976; Mascall 1943; Farrer 1943).
c Teleologi

Pandangan purba ini masuk ke dalam pikiran dunia barat melalui percakapan Plato, Timaeus.
Dikatakan, bukti-bukti perencanaan dan tujuan dalam alam semesta mengharuskan adanya
Perencana umum, yaitu Allah. Pernyataan klasik diberikan oleh Paley (1743-1805). Dalam
karyanya Natural Theology (1802), ia menggunakan analogi suatu jam tangan yang masih
jalan, yang ditemukan di atas tanah. Secara teoretis, keberadaannya dapat dijelaskan sebagai
hasil pertemuan secara kebetulan dari kekuatan-kekuatan alam, seperti angin, hujan, panas
dan sebagainya. Tetapi ini jelas kurang masuk akal dibandingkan dengan dugaan bahwa ada
seorang ahli pintar yang membuat jam tangan tersebut. Begitu pula semesta alam yang
memperlihatkan perencanaan menunjukkan adanya suatu Perencana Agung.
Kritikan terpenting terhadap pandangan ini dirumuskan oleh filsuf Skotlandia, Hume (1711-
76). Menurut pandangan Hume, dalam waktu yang tak terhingga, suatu semesta alam seperti
yang kita tempati ini dapat muncul karena probabilitas saja. Lagi pula semesta alam yang
berada karena probabilitas saja itu tidak dapat tidak menunjukkan bukti "perencanaan,"
karena perlu ada penyesuaian antara faktor yang satu dengan yang lain jika alam semesta itu
dapat berada dan berkesinambungan. Pandangan teleologis juga harus mempertimbangkan
hal adanya disteleologi, yaitu proses-proses dalam alam semesta yang kelihatannya tanpa
tujuan atau perencanaan, sepanjang pengetahuan kita.

Seorang ahli hukum Amerika, Horigan, berusaha untuk merehabilitasi pandangan teleologis
dengan pendapat bahwa Darwinisme yang anti-agama tidak memperhitungkan fakta bahwa
alam yang tak hidup bersifat harmonis dengan evolusi organik. Ditegaskannya pula, bahwa
teori evolusi tidak dapat menjelaskan munculnya otak besar secara cepat dalam rumpun
manusia yang sedang berkembang. Sudah tentu, banyak orang kalau diperhadapkan pada
perencanaan dalam alam semesta dari jarak dekat, misalnya kalau menyaksikan keajaiban
bayi yang baru lahir, atau melihat kecanggihan yang menakjubkan dari sel-sel mata manusia,
menganggap keberatan-keberatan Hume agak teoretis. Namun, secara filsafat keberatan ini
harus dipertimbangkan.
d Moral

Pandangan ini mengatakan bahwa pengalaman universal manusia mengenai kewajiban moral,
atau pengertian tentang "apa yang seharusnya dibuat," serta kegagalannya memenuhi tuntutan
moral itu dari hati nuraninya, tidak dapat diterangkan secara memadai baik sebagai
kepentingan diri sendiri saja, ataupun sebagai hasil penyesuaian sosial. Keberadaan nilai-nilai
moral objektif ini menunjukkan keberadaan suatu dasar nilai-nilai yang transenden, yaitu
Allah. Pernyataan klasik dari pandangan ini diberikan oleh Kant, yang mengatakan bahwa
Allah (dan kebebasan dan kekekalan) adalah "landasan" kehidupan moral, yaitu kepercayaan
dahulu yang mengakibatkan perasaan akan kewajiban moral tanpa syarat.

Penganut pandangan ini dituduh justru mengandaikan kebenaran yang hendak dibuktikannya,
yakni bahwa pengalaman moral hanya dapat dijelaskan secara memuaskan dalam
hubungannya dengan agama. Ia juga harus menghadapi bukti-bukti bahwa orang-orang
mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang apa yang dimaksudkan dengan "baik"
serta adanya dilema-dilema moral. Agar dapat dipertahankan, pandangan ini harus juga
menunjukkan bahwa penjelasan-penjelasan lain (yang sosio-psikologis) tentang timbulnya
serta berlanjutnya perasaan moral ini tidak memuaskan. Beberapa filsuf moral dan pembela
Kristen berpendapat bahwa kesulitan-kesulitan ini dapat diatasi (lihat Owen 1965; Lewis
1952).
e Akal budi

Pandangan ini mengemukakan bahwa materialisme murni tidak dapat menerangkan


kemampuan pikiran manusia untuk mengambil kesimpulan dari dasar-dasar pikiran. Operasi
intelek manusia dengan efektif, dan sifat-sifat lain dari pikiran dan bayangan, hanya dapat
diterangkan atas dasar adanya pikiran supra-alami, yaitu Allah. Seandainya tidak ada
intelegensi ilahi, bagaimana orang dapat mengharapkan bahwa pemikirannya benar dan oleh
sebab itu, apa alasannya sehingga argumen-argumen yang dikemukakan untuk mendukung
ateisme dapat diterima? Lewis (1947) merupakan pendukung utama pandangan ini dan akhir-
akhir ini didampingi oleh filsuf agama kebangsaan Amerika, Plantinga (1967), walaupun
melalui jalan yang berbeda.

f Kristologi

Pandangan ini mengacu pada kriteria dari probabilitas sejarah untuk menunjukkan bahwa
Yesus Kristus hanya dapat dijelaskan secara memuaskan jika diperkirakan bahwa Allah hadir
dan berkarya di dalam Dia. Para pendukung pandangan ini menunjukkan sifat pribadi-Nya
yang tak bernoda, pernyataan-Nya yang mengherankan tentang diri-Nya dan misi-Nya, dan
khususnya bukti kebangkitan-Nya. Dalam hal terakhir ini, perhatian khususnya ditujukan
pada kesulitan yang dialami untuk memberikan penjelasan lain yang lebih memadai tentang
munculnya gereja Kristen dengan begitu cepat sesudah kematian Yesus, jika Ia tidak bangkit.

Pandangan ini harus menghadapi pertanyaan mengenai keterandalan historis tulisan


Perjanjian Baru dan kesulitan filosofis yang ditimbulkan oleh mujizat-mujizat Yesus. Akhir-
akhir ini ada ahli-ahli yang bergabung dengan para pembela Kristen populer dalam
pernyataan bahwa keberatan-keberatan ini dapat diatasi dan pertimbangan-pertimbangan
yang historis semata-mata membawa orang dekat kepada kepercayaan.

Anda mungkin juga menyukai