a Ontologi
Secara filsafat, pandangan ini yang paling penting. Pernyataan klasik yang diberikan
Anselmus (1033-1109) terdiri dari dua tahap:
* Allah adalah oknum yang tidak bisa dibayangkan bahwa ada yang lebih besar (atau lebih
sempurna) daripada Dia; dan
* sesuatu yang hanya berada dalam pikiran berbeda dengan sesuatu yang berada dalam
pikiran dan sekaligus juga dalam kenyataan.
Kalau kedua tahap itu digabung, berarti kalau Allah hanya berada dalam pikiran dan tidak
dalam kenyataan, maka dapat dibayangkan oknum yang lebih sempurna yaitu yang berada
dalam pikiran dan juga dalam kenyataan. Tetapi Allah adalah oknum yang tidak bisa
dibayangkan bahwa ada yang lebih sempurna daripada Dia, jadi Allah tidak berada hanya
dalam pikiran saja. Karena itu harus diterima alternatifnya: oknum yang paling sempurna
berada dalam kenyataan dan dalam pikiran.
Pandangan ontologis ini sangat dikritik oleh filsuf Jerman, Kant (1724-1804). Ia
menunjukkan bahwa argumentasi ini hanya membuktikan bahwa jika ada oknum yang
tertinggi, maka ia harus ada. Sifat ada saja tidak menambahkan apa-apa kepada suatu konsep.
Contohnya, menurut pendapat ini, Rp. 1000,- yang nyata tidak bernilai lebih tinggi dari Rp
1000,- yang dibayangkan saja.
Akhir-akhir ini pandangan ontologis ini mengalami semacam kebangkitan kembali. Beberapa
filsuf keagamaan masa kini percaya bahwa, jika diakui bahwa suatu oknum yang tertinggi
adalah mungkin, maka Ia harus berada dalam kenyataan (lihat Plantinga 1974; Ross 1980).
b Kosmologi
Pandangan ini, yang pernyataan klasiknya diberikan oleh Aquinas (kira-kira 1225-74),
menegaskan bahwa keberadaan dunia memerlukan oknum tertinggi yang menyebabkan
keberadaannya itu. Perhatian ditujukan pada fakta kausalitas yang berarti setiap kejadian ada
sebabnya, yang pada gilirannya juga mempunyai sebab, dan seterusnya sampai pada sebab
pertama, yaitu Allah.
Para kritikus menyatakan bahwa pandangan ini tidak dapat menghadapi alternatifnya, yaitu
bahwa mungkin tidak ada "sumber" atau asal pertama. "Alam semesta ada, dan tak ada yang
lain yang dapat dikatakan" (Russell). Tetapi para pembelanya yakin bahwa pandangan ini
tidak boleh dikesampingkan begitu saja. Akhir-akhir ini pandangan ini sering dirumuskan
dengan memakai istilah "kemungkinan" (Ing. contingency). Segala sesuatu bersifat
"mungkin" (= ada walaupun tidak harus ada) ataupun "perlu" (= harus ada). Adanya
kenyataan-kenyataan tertentu yang mungkin, dapat dijelaskan pada tingkat tertentu dengan
mengacu pada sebab-sebab terdahulu yang juga mungkin. Tetapi terjadinya dan kelanjutan
segala sesuatu yang mungkin, dianggap sebagai keseluruhan, hanya dapat dijelaskan jika ada
sesuatu yang harus ada, yaitu Allah (bnd. Geisler 1976; Mascall 1943; Farrer 1943).
c Teleologi
Pandangan purba ini masuk ke dalam pikiran dunia barat melalui percakapan Plato, Timaeus.
Dikatakan, bukti-bukti perencanaan dan tujuan dalam alam semesta mengharuskan adanya
Perencana umum, yaitu Allah. Pernyataan klasik diberikan oleh Paley (1743-1805). Dalam
karyanya Natural Theology (1802), ia menggunakan analogi suatu jam tangan yang masih
jalan, yang ditemukan di atas tanah. Secara teoretis, keberadaannya dapat dijelaskan sebagai
hasil pertemuan secara kebetulan dari kekuatan-kekuatan alam, seperti angin, hujan, panas
dan sebagainya. Tetapi ini jelas kurang masuk akal dibandingkan dengan dugaan bahwa ada
seorang ahli pintar yang membuat jam tangan tersebut. Begitu pula semesta alam yang
memperlihatkan perencanaan menunjukkan adanya suatu Perencana Agung.
Kritikan terpenting terhadap pandangan ini dirumuskan oleh filsuf Skotlandia, Hume (1711-
76). Menurut pandangan Hume, dalam waktu yang tak terhingga, suatu semesta alam seperti
yang kita tempati ini dapat muncul karena probabilitas saja. Lagi pula semesta alam yang
berada karena probabilitas saja itu tidak dapat tidak menunjukkan bukti "perencanaan,"
karena perlu ada penyesuaian antara faktor yang satu dengan yang lain jika alam semesta itu
dapat berada dan berkesinambungan. Pandangan teleologis juga harus mempertimbangkan
hal adanya disteleologi, yaitu proses-proses dalam alam semesta yang kelihatannya tanpa
tujuan atau perencanaan, sepanjang pengetahuan kita.
Seorang ahli hukum Amerika, Horigan, berusaha untuk merehabilitasi pandangan teleologis
dengan pendapat bahwa Darwinisme yang anti-agama tidak memperhitungkan fakta bahwa
alam yang tak hidup bersifat harmonis dengan evolusi organik. Ditegaskannya pula, bahwa
teori evolusi tidak dapat menjelaskan munculnya otak besar secara cepat dalam rumpun
manusia yang sedang berkembang. Sudah tentu, banyak orang kalau diperhadapkan pada
perencanaan dalam alam semesta dari jarak dekat, misalnya kalau menyaksikan keajaiban
bayi yang baru lahir, atau melihat kecanggihan yang menakjubkan dari sel-sel mata manusia,
menganggap keberatan-keberatan Hume agak teoretis. Namun, secara filsafat keberatan ini
harus dipertimbangkan.
d Moral
Pandangan ini mengatakan bahwa pengalaman universal manusia mengenai kewajiban moral,
atau pengertian tentang "apa yang seharusnya dibuat," serta kegagalannya memenuhi tuntutan
moral itu dari hati nuraninya, tidak dapat diterangkan secara memadai baik sebagai
kepentingan diri sendiri saja, ataupun sebagai hasil penyesuaian sosial. Keberadaan nilai-nilai
moral objektif ini menunjukkan keberadaan suatu dasar nilai-nilai yang transenden, yaitu
Allah. Pernyataan klasik dari pandangan ini diberikan oleh Kant, yang mengatakan bahwa
Allah (dan kebebasan dan kekekalan) adalah "landasan" kehidupan moral, yaitu kepercayaan
dahulu yang mengakibatkan perasaan akan kewajiban moral tanpa syarat.
Penganut pandangan ini dituduh justru mengandaikan kebenaran yang hendak dibuktikannya,
yakni bahwa pengalaman moral hanya dapat dijelaskan secara memuaskan dalam
hubungannya dengan agama. Ia juga harus menghadapi bukti-bukti bahwa orang-orang
mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang apa yang dimaksudkan dengan "baik"
serta adanya dilema-dilema moral. Agar dapat dipertahankan, pandangan ini harus juga
menunjukkan bahwa penjelasan-penjelasan lain (yang sosio-psikologis) tentang timbulnya
serta berlanjutnya perasaan moral ini tidak memuaskan. Beberapa filsuf moral dan pembela
Kristen berpendapat bahwa kesulitan-kesulitan ini dapat diatasi (lihat Owen 1965; Lewis
1952).
e Akal budi
f Kristologi
Pandangan ini mengacu pada kriteria dari probabilitas sejarah untuk menunjukkan bahwa
Yesus Kristus hanya dapat dijelaskan secara memuaskan jika diperkirakan bahwa Allah hadir
dan berkarya di dalam Dia. Para pendukung pandangan ini menunjukkan sifat pribadi-Nya
yang tak bernoda, pernyataan-Nya yang mengherankan tentang diri-Nya dan misi-Nya, dan
khususnya bukti kebangkitan-Nya. Dalam hal terakhir ini, perhatian khususnya ditujukan
pada kesulitan yang dialami untuk memberikan penjelasan lain yang lebih memadai tentang
munculnya gereja Kristen dengan begitu cepat sesudah kematian Yesus, jika Ia tidak bangkit.