Anda di halaman 1dari 60

KEMISKINAN DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI :

Sebuah Kajian Pemodelan

Model Kesejahteraan Penduduk


Bambang Subagio, dkk. Makalah
Makalah Kelompok VI
Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor
April 2001
Model pembangunan Indonesia mengikuti model
pembangunan Rostow.
Tahapan model pembangunan Rostow jelas terlihat
dalam tahapan tahapan pelita di Indonesia.
Tahap pertama adalah mengubah pola traditional
economy yang berbasis pertanian tradisional (pangan, low
added value crops) menuju pola indsustrial economy, di
mana kegiatan ekonomi bertumpu pada industri. Ciri utama
adalah, pertama self sustaining dalam bidang pangan.
Yang kedua, sektor industri menjadi sektor utama untuk
penyerapan tambahan tenaga kerja. Ketiga, pertumbuhan
ekonomi bertumpu pada industri.
Tahap kedua adalah precondition untuk take-off,
mempunyai beberapa indikator. Yang pertama, perbaikan
infrastruktur, terutama jalan raya, pelabuhan, rel kerat api,
lapangan terbang. Pada tahap ini pertumbuhan pendapatan
tinggi dan diikuti dengan menurunnya tingkat
pertumbuhan penduduk. Pada tahapan ini, tingkat
pendapatan dan pertumbuhan ekonomi meningkat tajam,
capital-labor ratio semakin meningkat, share industri dalam
pertumbuhan ekonomi semakin besar (bahkan mulai
menggeser peranan sektor pertanian).
Tahap ketiga adalah initiating take-off, di mana
dalam tahap ini peran pemerintah mulai berkurang. Porsi
pembangunan mulai diserahkan kepada swasta.
Pemerintah lebih bersifat pendorong, melalui peraturan dan
kestabilan politik. Beberapa indikator utama dalam tahap
ini adalah yang pertama, terjadinya perubahan teknologi
dalam pengelolaan baik sektor industri maupun pertanian.
Ratio capital to labor semakin meningkat. Yang kedua,
peran penanaman modal asing dalam pembangunan
ekonomi semakin tinggi, bahkan jauh lebih tinggi dari
peran swasta domestik maupun negara. Selanjutnya,
growth model bertumpu pada akumulasi kapital melalui
pasar modal. Ini berarti peran rakyat dalam pembangunan
mulai diaktifkan, terutama dalam akumulasi modal melalui
transaksi di pasar modal.
Tahap keempat adalah take-off. Pada tahap ini peran
pemerintah pada pembangunan ekonomi hanyalah sebagai
fasilitator, bukan lagi inisiator. Peran swasta sangat tinggi
dalam pembangunan. Market mechanism mulai
diperkenalkan. Local currency memasuki international
trading.
Dengan berakhirnya tahapan I pelita (tahun 1997),
Indonesia sudah mulai tahap take-off atau tahap tinggal
landas. Dan tahap kedua Pelita memang secara implisit
diarahkan untuk memulai tahap take-off.
Growth model dari Rostow menekankan pada
penggeseran aggregate supply, yaitu melalui peningkatan
produksi, terutama produksi per effektip tenaga kerja (y).
Dan y tergantung dari kapital per efektip tenaga kerja.
Atau secara matematis ditulis sebagai berikut:
y = f(k)
sedang k sangat tergantung pada tingkat investasi
dan jumlah penduduk.
Jadi masalah pertumbuhan adalah masalah bagaimana
memupuk modal sebanyak mungkin. Inilah yang mendasari
pemerintah Indonesia berusaha memupuk modal dan
menekan jumlah penduduk. Kunci utama pertumbuhan
adalah jumlah modal per kapita.
Kesimpulan
Dengan mengasumsikan bahwa negara bertanggung
jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya, maka menjadi
kewajiban negara untuk menekan angka kemiskinan. Atau
lebih tepatnya, negara bertanggung jawab akan
kesejahteraan penduduknya. Kesejahteraan haruslah
menjadi ukuran yang utama, jauh lebih baik hanya sekedar
meningkatkan pendapatan penduduk. Ini berarti negara
harus memperhatikan faktor faktor lainnya selain faktor
keuangan. Dengan meningkatnya kesejahteraan maka
negara akan banyak mendapatkan manfaat yang banyak.
Baik dari segi keuangan (pendapatan pajak meningkat)
atau faktor non keuangan, misalkan keamanan lebih
terjamin, kebanggaan berbangsa meningkat dan lain lain.
Skema Koperasi Sebagai pmbangunan perekonomian dan peingkatan kesejahteraan
sosial

Penjelasannya, membangun kesadaran masyarakat untuk berkoperasi dengan


memberikan wawasan perkoperasian dan melakukan kegiatan pendidikan
perkoperasian (inti). Lalu mengadaptasi azas, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip
koperasi serta menanamkannya kepada masyarakat sehingga budaya yang ada di
masyarakat dapat selaras dan sejalan dengan koperasinya. Terutama anggotanya
dalam bermasyarakat tanpa merusak budaya yang sebelumnya sudah ada.

Langkah selanjutnya, membangun koperasi dengan berangkat dari kebutuhan


anggotanya (masyarakat). Kemudian memetakan usaha-usaha yang dapat
dijalankan oleh koperasi dan usaha-usaha apa saja yang sudah ada di masyarakat
untuk secara perlahan bergabung menjadi koperasi. Jika sudah kita bisa
mengintegrasikan usaha-usaha koperasi tersebut menjadi saling terhubung saling
mendukung satu sama lainnya (kolaborasi). Setelah itu baru mengembangkan
potensi-potensi (sumber daya alam dan kearifan lokal) yang ada di wilayah
tersebut.

Untuk memperjelas, berikut contoh Roadmap pengembangan perekonomian


masyarakat daerah:

Langkah ke 1

Membangun kesadaran masyarakat untuk menjalankan ekonomi kerakyatan


(koperasi) yang berdasarkan undang-undang dengan partisipasi masyarakat
(people base) sebagai pondasi utamanya. Bentuklah cara pandang membangun
perekonomian bersama-sama (bersama-sama saling membangun) sehingga
terbentuknya kolektifitas mindset (colaboration not competition). Hingga menjadi
one vision & one mission dan sadar akan nilai-nilai dalam koperasi itu sendiri
(share value) seperti self help, demokratis dan gotong-royong.

Langkah ke 2

Membangun koperasi dengan usaha-usaha yang berlatarbelakang kebutuhan-


kebutuhan masyarakat khususnya anggota koperasi tersebut dengan saling
terintegrasi dari satu usaha ke usaha lainnya.

Gambar Skema proses pengintegrasian. Sumber; Penulis

Penjelasan :

Koperasi diharapkan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer, sekunder,


kebutuhan penunjang, dan kebutuhan pelengkap yang dibutuhkan oleh
anggotanya. Sekaligus dalam menjalankan usaha-usaha koperasi tersebut adalah
usaha yang dibangun usaha yang saling mendukung usaha lainnya mulai dari
proses pengadaan, penyediaan, pemasaran, dan pendistribusian barang atau jasa
dari usaha koperasi.

Langkah ke 3

Mengembangkan usaha-usaha koperasi yang mengacu pada potensi-potensi


wilayah koperasi tersebut. Seperti memaksimalkan pemanfaatan (pengolahan,
Pendistribusian, Pemasaran) sumber daya alam yang tersedia, mulai dari
pariwisata, makanan khas, budaya dan pernak pernik (kearifan lokal) daerah
tersebut.

Langkah ke 4

Mendirikan institusi pendidikan

Tujuannya untuk mengelola (menjaga) dan mengembangkan sumber daya


manusia (masyarakat) koperasi. Agar menghasilkan kerja-kerja kreatif dan
inovatif pada koperasinya, yang berfokus pada pengembangan skala usaha,
peningkatan volume barang dan jasa, peningkatan kualitas barang dan jasa,
memperluas jangkauan usaha, dan perluasan manfaat koperasi. Harus juga
diimbangi pembangunan sarana institusi pendidikan perkoperasian sebagai
lembaga riset dan pengembangan koperasi tersebut yang diperuntukkan kepada
pengurus, pengawas, dan anggota koperasi pada khususnya serta masyarakat pada
umumnya. Yang nantinya menjadi inti utama dari koperasi dan usaha koperasinya
tersebut.

Langkah ke 5

Meningkatkan skala koperasi tersebut menjadi skala nasional yang saling


terintegrasi dengan koperasi sejenis di bawah koordinasi pemerintah lewat
kementerian koperasi. Sementara usaha kecil menengah didampingi oleh
kementerian koordinator perekonomian sebagai jembatan penghubung bagi
persaingan usaha lainnya selain koperasi di negara ini (Indonesia).

Langkah ke 6

Menyebarkan manfaat koperasi dengan masyarakat sekitar koperasi agar


meningkatkan kesejahteraan sosial dengan bekerja sama dengan pemerintah
maupun dengan program-program sosial dari koperasi tersebut.

Dengan demikian perekonomian dan kesejahteraan masyarakat akan terbangun


dengan mandiri oleh masyarakat itu sendiri.

Bravo koperasi Indonesia. Dirgahayu kemerdekaan Indonesia yang ke-72

Bravo koperasi mahasiswa.


Menggagas Alternatif Model
Kebijakan Pembangunan
Kesejahteraan Sosial Bagi
Penyandang Disabilitas di Indonesia

A. INTRODUCTION
Pembangunan kesejahteraan sosial sangat diperlukan bagi masyarakat Indonesia
untuk mencapai taraf kesejahteraan sosial yang layak dan bermartabat. Sasaran
pembangunan kesejahteraan sosial adalah seluruh masyarkat dan bangsa
Indonesia termasuk warga masyarakat yang menyandang masalah kesejahteraan
sosial. Menurut Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kriteria
Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS), salah satu PPKS yang menjadi
sasaran pembangunan kesejahteraan sosial yaitu penyandang disabilitas.
Hal ini sesuai dengan pemaparan Suharto (2009:4) yang menyatakan bahwa ciri
utama pembangunan kesejahteraan sosial adalah komprehensif, dalam arti setiap
pelayanan sosial yang diberikan senantiasa menempatkan penerima pelayanan
sebagai manusia, baik dalam arti individu maupun kolektifitas, yang tidak terlepas
dari sistem lingkungan sosiokulturalnya. Sasaran pembangunan kesejahteraan
sosial adalah seluruh masyarakat dari berbagai golongan dan kelas sosial. Namun
prioritas utama pekerja sosial adalah kelompok yang kurang beruntung,
khususnya yang terkait dengan masalah kemiskinan. sasaran pembangunan
kesejahteraan sosial biasanya dikenal dengan nama Pemerlu Pelayanan
Kesejahteraan Sosial (PPKS).
Istilah untuk penyandang disabilitas baru muncul pada tahun 2013, sebelumnya
penyandang disabilitas disebut juga dengan penyandang cacat atau Tuna Daksa.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menjelaskan
bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik
dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Penyandang
disabilitas diklasifikasikan dalam disabilitas fisik, disabilitas mental, serta cacat
fisik dan mental (ganda). Kedisabilitasan menyebabkan seseorang mengalami
keterbatasan yang mempengaruhi aktifitas fisik, kepercayaan dan harga diri,
hubungan antar manusia dalam lingkungan sosialnya.
Masalah kedisabilitasan juga terkait dengan masalah sosial lainnya yang dihadapi
penyandang disabilitas, seperti ketelantaran, kemiskinan, ketidak berdayaan,
tindak kekerasan dan sebagainya. Kondisi seperti ini, apabila tidak mendapatkan
penanganan secara tepat dan menyeluruh, akan menyebabkan hak tumbuh
kembang dan kreatifitas penyandang cacat tidak dapat terpenuhi.
Menurut Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN) Kementrian Sosial RI Tahun
2011, jumlah penyandang disabilitas sebanyak 1.541.942 orang. Mereka perlu
memiliki sarana dan prasarana pelayanan sosial dan kesehatan serta pelayanan
lainnya termasuk aksesibilitas terhadap pelayanan umum yang dapat
mempermudah kehidupan penyandang disabilitas, dan lapangan kerja bagi
mereka.
Berbagai peraturan perundang-undangan di bidang kedisabilitasan telah telah
dikeluarkan oleh berbagai kementrian atau lembaga pemerintah yang terkait
dengan penanganan kedisabilitasan diberbagai bidang pelayanan antara lain
meliputi sosial, kesehatan pendidikan, ketenagakerjaan, keolahragaan dan
kemiskinan. Selain itu terdapat kebijakan pemerintah berkenaan dengan
aksesibilitas penyandang disabilitas pada sarana dan prasarana umum meliputi
aksesibilitas pada bangunan umum, jalan umum, pertamanan dan pemakaman
umum, serta angkutan umum (perkereta apian, pelayaran, penerbangan dan lalu
lintas angkutan jalan).
Pada kenyataannya, pelayanan kepada penyandang disabilitas baik yang
berpotensi maupun yang terlantar, masih sangat terbatas. Pelayanan penyandang
disabilitas yang dijalankan pemerintah di tingkat pusat, provinsi dan
kabupaten/kota, lebih berbasis institusi dengan memiliki berbagai keterbatasan
baik dari aspek jumlah sasaran pelayanan maupun fasilitas pelayanan yang
diberikan. Institusi-institusi pelayanan bagi disabilitas juga terbatas dan tidak
merata di setiap daerah.
Berdasarkan hal tersebut, upaya penanganan yang lebih serius, bersifat
multisektor dan dijalankan secara terkoordinir dan terintgrasi, sangat penting
untuk menjamin pemenuhan dan perlindungan kebutuhan dan hak para
penyandang disabilitas. Upaya penanganan ini dimaksudkan agar penyandang
disabilitas memperoleh perlindungan dan jaminan sosial yang lebih baik, sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan.

B. PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL (SUATU TEORI


APLIKATIF)
1. Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Tujuannya
Pembangunan kesejahteraan sosial adalah serangkaian aktifitas yang terencana
dan melembaga yang ditujukan untuk meningkatkan standar dan kualitas
kehidupan manusia (Suharto 2011:106). Sedangkan dalam Suharto (2009:4)
pembangunan kesejahteraan sosial adalah usaha yang terencana yang meliputi
berbagai bentuk intervensi sosial dan pelayanan sosial untuk memenuhi
kebutuhan manusia, mencegah dan mengatasi masalah sosial, serta memperkuat
institusi-institusi sosial. Selanjutnya Suharto menyatakan tujuan pembangunan
kesejahteraan sosial secara menyeluruh mencakup:
a. Peningkatan standar hidup, melalui seperangkat pelayanan dan jaminan sosial
segenap lapisan masyarakat, terutama kelompok-kelompok masyarakat yang
kurang beruntung dan rentan yang sangat memerlukan perlindungan sosial.
b. Peningkatan keberdayaan melalui penetapan sistem dan kelembagaan ekonomi,
sosial dan politik yang menjunjung harga diri dan martabat kemanusiaan.
Penyempernaan kebebasan melalui perluasan aksesibilitas dan pilihan-pilihan
kesempatan sesuai dengan aspirasi, kemampuan dan standar kemanusiaan.
2. Fokus Pembangunan Kesejahteraan Sosial
Meskipun pembangunan kesejahteraan sosial dirancang guna memenuhi
kebutuhan publik yang luas, target utamanya yaitu para Pemerlu Pelayanan
Kesejahteraan Sosial (PPKS), yakni mereka yang termasuk kelompok kurang
beruntung seperti orang miskin, anak jalanan dan sebagainya. Pemberdayaan
masyarakat, rehabilitas sosial, bantuan sosial, asuransi sosial, jejaring pengaman
sosial, dan penguatan kapasitas kelompok marjinal adalah beberapa contoh
program pembangunan kesejahteraan sosial.
Menurut Suharto (2009:9) pembangunan kesejahteraan sosial memfokuskan
kegiatannya pada tiga bidang, yaitu: pelayanan sosial (social services/provisions),
perlindungan sosial (social protection), dan pemberdayaan masyarakat
(community/social empowerment).
3. Isu-isu Pembangunan Kesejahteraan Sosial
Menurut Suharto (2009:16) beberapa isu pembangunan kesejahteraan di
Indonesia, yaitu:
a. Lemahnya Visi
Terdapat kesan kuat bahwa para politisi dan pembuat keputusan di Indonesia
masih belum memiliki visi pembangunan kesejahteraan sosial yang kuat. Hal ini
bisa disebabkan oleh berbagai hal.
Pertama, pandangan mengenai pentingnya pembangunan kesejahteraan sosial
sering terjegal oleh mainstream pemikiran ekonomi kapitalistik. Indikator-
indikator ekonomi makro seperti pertumbuhan GNP, investasi, dan perluasan
kesempatan kerja dijadikan parameter utama dan citra keberhasilan pembangunan.
Kondisi sejahtera kemudian direduksi menjadi sekedar kemakmuran ekonomi.
Kesejahteraan dianggap akan tercipta dengan sendirinya jika pertumbuhan
ekonomi dipacu setinggi mungkin.
Kedua, komitmen terhadap pembangunan seringkali masih bersifat jangka pendek
bedasrkan kalkulasi ekonomi sedehana. Kegiatan pembangunan hanya dilihat dari
seberapa besar kontribusinya terhadap APBN. Karena pembangunan
kesejahteraan sosial tidak dapat menghasilkan keuntungan ekonomi bagi negara
dalam waktu singkat, maka tidak mengherankan jika sebagian besar pengusaha
tidak mau mengurus masalah ini. Sayangnya pandangan ini telah masuk ke para
politisi dan pembuat keputusan di daerah.
Ketiga, PPKS yang menjadi sarana pembangunan kesejahteraan sosial adalah
kelompok masyarakat yang memiliki bargaining position yang rendah. Mereka
tidak memiliki sumber dan akses yang dapat menyuarakan aspirasi politiknya.
b. Program Strategis
Secara konseptual, parameter untuk menentukan strategisan pembangunan
kesejahteraan sosial dapat diringkas dalam akronim “FIT-V” yang merupakan
singkatan dari faktor, impact, trend, value.
1) Factor (faktor): apakah program pembangunan kesejahteraan sosial causally
accountable? Artinya apakah program pembangunan kesejahteraan sosial
merupakan faktor penentu yang mampu mengatasi masalah public yang
menyangkut orang banyak.
2) Impact (dampak): apakah program pembangunan kesejahteraan sosial socially and
economically profitable? Apakah program pembangunan kesejahteraan sosial
bermanfaat atau berdampak pada peningkatan kesejahteraan public.
3) Trend (kecenderungan): apakah program pembangunan kesejahteraan sosial
globally and nationally visible? Apakah program pembangunan kesejahteraan
sosial sejalan dengan kecenderungan global dan nasional
4) Value (nilai): apakah program pembangunan kesejahteraan sosial culturally
acceptable?. Apakah program pembangunan kesejahteraan sosial sesuai dengan
nilai-nilai dan harapan-harapan cultural yang berkembang pada masyarkat.
Bagan 2: Parameter Program
Pembangunan Kesejahteraan Sosial Strategis

Menggagas Alternatif Model


Kebijakan Pembangunan
Kesejahteraan Sosial Bagi
Penyandang Disabilitas di Indonesia

A. INTRODUCTION
Pembangunan kesejahteraan sosial sangat diperlukan bagi masyarakat Indonesia
untuk mencapai taraf kesejahteraan sosial yang layak dan bermartabat. Sasaran
pembangunan kesejahteraan sosial adalah seluruh masyarkat dan bangsa
Indonesia termasuk warga masyarakat yang menyandang masalah kesejahteraan
sosial. Menurut Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kriteria
Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS), salah satu PPKS yang menjadi
sasaran pembangunan kesejahteraan sosial yaitu penyandang disabilitas.
Hal ini sesuai dengan pemaparan Suharto (2009:4) yang menyatakan bahwa ciri
utama pembangunan kesejahteraan sosial adalah komprehensif, dalam arti setiap
pelayanan sosial yang diberikan senantiasa menempatkan penerima pelayanan
sebagai manusia, baik dalam arti individu maupun kolektifitas, yang tidak terlepas
dari sistem lingkungan sosiokulturalnya. Sasaran pembangunan kesejahteraan
sosial adalah seluruh masyarakat dari berbagai golongan dan kelas sosial. Namun
prioritas utama pekerja sosial adalah kelompok yang kurang beruntung,
khususnya yang terkait dengan masalah kemiskinan. sasaran pembangunan
kesejahteraan sosial biasanya dikenal dengan nama Pemerlu Pelayanan
Kesejahteraan Sosial (PPKS).
Istilah untuk penyandang disabilitas baru muncul pada tahun 2013, sebelumnya
penyandang disabilitas disebut juga dengan penyandang cacat atau Tuna Daksa.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menjelaskan
bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik
dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Penyandang
disabilitas diklasifikasikan dalam disabilitas fisik, disabilitas mental, serta cacat
fisik dan mental (ganda). Kedisabilitasan menyebabkan seseorang mengalami
keterbatasan yang mempengaruhi aktifitas fisik, kepercayaan dan harga diri,
hubungan antar manusia dalam lingkungan sosialnya.
Masalah kedisabilitasan juga terkait dengan masalah sosial lainnya yang dihadapi
penyandang disabilitas, seperti ketelantaran, kemiskinan, ketidak berdayaan,
tindak kekerasan dan sebagainya. Kondisi seperti ini, apabila tidak mendapatkan
penanganan secara tepat dan menyeluruh, akan menyebabkan hak tumbuh
kembang dan kreatifitas penyandang cacat tidak dapat terpenuhi.
Menurut Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN) Kementrian Sosial RI Tahun
2011, jumlah penyandang disabilitas sebanyak 1.541.942 orang. Mereka perlu
memiliki sarana dan prasarana pelayanan sosial dan kesehatan serta pelayanan
lainnya termasuk aksesibilitas terhadap pelayanan umum yang dapat
mempermudah kehidupan penyandang disabilitas, dan lapangan kerja bagi
mereka.
Berbagai peraturan perundang-undangan di bidang kedisabilitasan telah telah
dikeluarkan oleh berbagai kementrian atau lembaga pemerintah yang terkait
dengan penanganan kedisabilitasan diberbagai bidang pelayanan antara lain
meliputi sosial, kesehatan pendidikan, ketenagakerjaan, keolahragaan dan
kemiskinan. Selain itu terdapat kebijakan pemerintah berkenaan dengan
aksesibilitas penyandang disabilitas pada sarana dan prasarana umum meliputi
aksesibilitas pada bangunan umum, jalan umum, pertamanan dan pemakaman
umum, serta angkutan umum (perkereta apian, pelayaran, penerbangan dan lalu
lintas angkutan jalan).
Pada kenyataannya, pelayanan kepada penyandang disabilitas baik yang
berpotensi maupun yang terlantar, masih sangat terbatas. Pelayanan penyandang
disabilitas yang dijalankan pemerintah di tingkat pusat, provinsi dan
kabupaten/kota, lebih berbasis institusi dengan memiliki berbagai keterbatasan
baik dari aspek jumlah sasaran pelayanan maupun fasilitas pelayanan yang
diberikan. Institusi-institusi pelayanan bagi disabilitas juga terbatas dan tidak
merata di setiap daerah.
Berdasarkan hal tersebut, upaya penanganan yang lebih serius, bersifat
multisektor dan dijalankan secara terkoordinir dan terintgrasi, sangat penting
untuk menjamin pemenuhan dan perlindungan kebutuhan dan hak para
penyandang disabilitas. Upaya penanganan ini dimaksudkan agar penyandang
disabilitas memperoleh perlindungan dan jaminan sosial yang lebih baik, sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan.

B. PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL (SUATU TEORI


APLIKATIF)
1. Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Tujuannya
Pembangunan kesejahteraan sosial adalah serangkaian aktifitas yang terencana
dan melembaga yang ditujukan untuk meningkatkan standar dan kualitas
kehidupan manusia (Suharto 2011:106). Sedangkan dalam Suharto (2009:4)
pembangunan kesejahteraan sosial adalah usaha yang terencana yang meliputi
berbagai bentuk intervensi sosial dan pelayanan sosial untuk memenuhi
kebutuhan manusia, mencegah dan mengatasi masalah sosial, serta memperkuat
institusi-institusi sosial. Selanjutnya Suharto menyatakan tujuan pembangunan
kesejahteraan sosial secara menyeluruh mencakup:
a. Peningkatan standar hidup, melalui seperangkat pelayanan dan jaminan sosial
segenap lapisan masyarakat, terutama kelompok-kelompok masyarakat yang
kurang beruntung dan rentan yang sangat memerlukan perlindungan sosial.
b. Peningkatan keberdayaan melalui penetapan sistem dan kelembagaan ekonomi,
sosial dan politik yang menjunjung harga diri dan martabat kemanusiaan.
Penyempernaan kebebasan melalui perluasan aksesibilitas dan pilihan-pilihan
kesempatan sesuai dengan aspirasi, kemampuan dan standar kemanusiaan.
2. Fokus Pembangunan Kesejahteraan Sosial
Meskipun pembangunan kesejahteraan sosial dirancang guna memenuhi
kebutuhan publik yang luas, target utamanya yaitu para Pemerlu Pelayanan
Kesejahteraan Sosial (PPKS), yakni mereka yang termasuk kelompok kurang
beruntung seperti orang miskin, anak jalanan dan sebagainya. Pemberdayaan
masyarakat, rehabilitas sosial, bantuan sosial, asuransi sosial, jejaring pengaman
sosial, dan penguatan kapasitas kelompok marjinal adalah beberapa contoh
program pembangunan kesejahteraan sosial.
Menurut Suharto (2009:9) pembangunan kesejahteraan sosial memfokuskan
kegiatannya pada tiga bidang, yaitu: pelayanan sosial (social services/provisions),
perlindungan sosial (social protection), dan pemberdayaan masyarakat
(community/social empowerment).

3. Isu-isu Pembangunan Kesejahteraan Sosial


Menurut Suharto (2009:16) beberapa isu pembangunan kesejahteraan di
Indonesia, yaitu:
a. Lemahnya Visi
Terdapat kesan kuat bahwa para politisi dan pembuat keputusan di Indonesia
masih belum memiliki visi pembangunan kesejahteraan sosial yang kuat. Hal ini
bisa disebabkan oleh berbagai hal.
Pertama, pandangan mengenai pentingnya pembangunan kesejahteraan sosial
sering terjegal oleh mainstream pemikiran ekonomi kapitalistik. Indikator-
indikator ekonomi makro seperti pertumbuhan GNP, investasi, dan perluasan
kesempatan kerja dijadikan parameter utama dan citra keberhasilan pembangunan.
Kondisi sejahtera kemudian direduksi menjadi sekedar kemakmuran ekonomi.
Kesejahteraan dianggap akan tercipta dengan sendirinya jika pertumbuhan
ekonomi dipacu setinggi mungkin.
Kedua, komitmen terhadap pembangunan seringkali masih bersifat jangka pendek
bedasrkan kalkulasi ekonomi sedehana. Kegiatan pembangunan hanya dilihat dari
seberapa besar kontribusinya terhadap APBN. Karena pembangunan
kesejahteraan sosial tidak dapat menghasilkan keuntungan ekonomi bagi negara
dalam waktu singkat, maka tidak mengherankan jika sebagian besar pengusaha
tidak mau mengurus masalah ini. Sayangnya pandangan ini telah masuk ke para
politisi dan pembuat keputusan di daerah.
Ketiga, PPKS yang menjadi sarana pembangunan kesejahteraan sosial adalah
kelompok masyarakat yang memiliki bargaining position yang rendah. Mereka
tidak memiliki sumber dan akses yang dapat menyuarakan aspirasi politiknya.
b. Program Strategis
Secara konseptual, parameter untuk menentukan strategisan pembangunan
kesejahteraan sosial dapat diringkas dalam akronim “FIT-V” yang merupakan
singkatan dari faktor, impact, trend, value.
1) Factor (faktor): apakah program pembangunan kesejahteraan sosial causally
accountable? Artinya apakah program pembangunan kesejahteraan sosial
merupakan faktor penentu yang mampu mengatasi masalah public yang
menyangkut orang banyak.
2) Impact (dampak): apakah program pembangunan kesejahteraan sosial socially and
economically profitable? Apakah program pembangunan kesejahteraan sosial
bermanfaat atau berdampak pada peningkatan kesejahteraan public.
3) Trend (kecenderungan): apakah program pembangunan kesejahteraan sosial
globally and nationally visible? Apakah program pembangunan kesejahteraan
sosial sejalan dengan kecenderungan global dan nasional
4) Value (nilai): apakah program pembangunan kesejahteraan sosial culturally
acceptable?. Apakah program pembangunan kesejahteraan sosial sesuai dengan
nilai-nilai dan harapan-harapan cultural yang berkembang pada masyarkat.
Bagan 2: Parameter Program
Pembangunan Kesejahteraan Sosial Strategis

C. MASALAH, KEBUTUHAN DAN HAK PENYANDANG DISABILITAS


Karakteristik dari ketiga jenis penyandang disabilitas sebagaimana yang telah
disampaikan sebelumnya sangat bervariasi, sehingga permasalahan dan kebutuhan
mereka pun berbeda pula sesuai dengan jenis kecacatannya. Dalam kapasitas
sebagai warga negara, mereka mempunyai hak-hak dan kesempatan yang
selayaknya warga negara lain yang tidak disabilitas.
1. Permasalahan Penyandang Disabilitas
Penyandang disabilitas mengalami berbagai permasalahan atau hambatan karena
faktor internal maupun eksternal. Permasalahan yang sering dialami oleh
penyandang disabilitas dapat dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu internal
dan eksternal. Permasalahan internal adalah masalah pribadi, menyangkut
masalah kelengkapan dan fungsi fisik, psikologis dan pendidikan.
Masalah fisik berkaitan dengan gangguan pada kemampuan mobilitas tertentu
dalam melaksanakan aktifitas harian. Beberapa diantaranya rentan terhadap
penyakit, keterbatasan kemampuan fisik karena kedisabilitasan, keterbatasan
aksesibilitas, keterbatasan orientasi dan mobilitas, dan Activity Dailing Living
(ADL). Masalah psikologis berkaitan dengan perasaan menyangkut martabat dan
harga diri penyandang disabilitas. Kedisabilitasan kerapkali menimbulkan
perasaan cemas, pesimistik, putus asa, temperamental, sensitive bahkan agresif.
Masalah pendidikan, keterbatasan dan ketidak mampuan mengakses berbagai
sumber pelayanan yang ada.
Penyandang disabilitas juga mengalami permasalahan dalam melaksanakan fungsi
sosialnya, antara lain keterbatasan aksesibilitas sosial dasar (pendidikan dan
kesehatan), keterbatasan mendapatkan pekerjaan, fasilitas penyandang disabilitas,
sarana dan prasarana yang kurang memadai bagi penyandang disabilitas.
Permasalahan sosial yang terkait dengan keberfungsian sosialnya apabila tidak
ditangani akan menghambat aktifitas sehari-hari, beberapa diantaranya adalah
gangguan fisik mobilitas, gangguan mental psikologis, gangguan pendidikan,
gangguan produktifitas, gangguan sosial ekonomi, dan gangguan fungsi sosial.
Selain bergelut dengan persoalan internal, penyandang disabilitas juga
mempunyai permasalahan yang bersifat eksternal baik di lingkungan keluarga,
tetangga, sejawat, dan masyarakat pada umumnya.
Permasalah yang kerap dialami oleh penyandang disabilitas yaitu:
a. Diskriminasi, eksploitasi, stigma/labeling. Kebijakan dan program yang tidak
berpihak bagi penyandang disabilitas, terbatasnya kesempatan, kemudahan,
pekerjaan dan jabatan bagi penyandang disabilitas, lingkungan fisik yang tidak
ramah bagi penyandang disabilitas, ketidaktahuan keluarga dan masyarakat dalam
memperlakukan penyandang disabilitas, stakeholder yang tidak berpihak bagi
penyandang disabilitas, dan keterbatasan aksesibilitas informasi tentang sumber
pelayanan bagi penyandang disabilitas.
b. Masalah keluarga terkait dengan sikap dan perlakuan orang tua atau anggota
keluarga lain. Keluarga cenderung over proactive terhadap anggota keluarga yang
cacat dalam bentuk tidak boleh bergaul, tidak disekolahkan bahkan perlakukan
diskriminatif disbanding anggota keluaga lainnya.
c. Masalah sosial kemasyarakat, terkait dengan ketidakmampuan penyandang
disabilitas dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya
serta masih adanya stigma dan handicap masyarkaat terhadap penyandang
disabilitas.
2. Kebutuhan Penyandang Disabilitas
Setiap jenis kedisabilitasan mempunyai karakteristik, permasalahan, dan
kebutuhan yang sama namun juga berbeda sesuai jenisnya.
a. Perlakuan khusus yang berkaitan dengan jenis kedisabilitasan
Setiap penyandang disabilitas mempunyai kebutuhan yang sama dan juga
berbeda. Persamaan kebutuhan mereka terletak pada kebutuhan fisik, psikologis,
sosial dan spiritual. Perbedaanya kebutuhan penyandang disabilitas sesuai dengan
karakteristik kedisabilitasannya masing-masing.
Kebutuhan penyandang disabilitas fisik berkaitan dengan fungsi motorik,
penyandang disabilitas netra berkaitan dengan keterbatasan fungsi penglihatan,
penyandang rungu wicara berkaitan dengan fungsi pendengaran dan bicara dan
sebagainya. Oleh sebab itu, perlakuan terhadap mereka harus disesuaikan dengan
jenis kedisabilitasan agar mereka mampu melaksanakan fungsi sosialnya serta
mengurangi ketergantungan terhadap orang lain.
b. Kebutuhan Pendidikan
Penyandang disabilitas juga mempunyai kebutuhan akan pendidikan formal
maupun informal dan nonformal agar dapat mengurangi ketergantungan terhadap
orang lain. Dalam bidang pendidikan, dikenal sistem pendidikan segregasi, yaitu
pendidikan khusus yang terpisah dari pendidikan anak normal.
Kemudian muncul konsep special education (PLB/Pendidikan Khusus) dan dalam
sistem pendidikan segregasi, anak penyandang disabilitas dilihat dari aspek
karakteristik kedisabilitasannya, sebagai dasar dalam memberikan layanan
pendidikan. Sehingga setiap kedisabilitasan harus diberikan layanan pendidikan
yang khusus yang berbeda dari kedisabilitasan lainnya (Sekolah Luar Biasa untuk
anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa).
c. Kebutuhan Ketenagakerjaan
Setiap penyandang disabilitas mempunyai kesempatan yang sama dalam
memperoleh pekerjaan selayaknya warga negara lainnya. Peraturan perundang-
undangan mengharuskan bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan 100
orang berkewajiban mempekerjakan satu orang penyandang disabilitas. Lapangan
pekerjaan menjadi permasalahan bagi mereka yang sudah lulus dari lembaga
pelayanan, maupun yang tidak masuk ke lembaga pelayanan.
d. Rehabilitasi
Pada seting lembaga, pelayanan ini didapatkan penyandang disabilitas yang
mengikuti program kegiatan lembaga pelayanan (menjadi klien, penerima
manfaat, benevisioris), sementara di masyarakat sudah ada Rehabilitas Berbasis
Masyarakat (RBM) meskipun masih dipertanyakan kejelasannya.
e. Bantuan Sosial
Bagi penyandang disabilitas potensial memerlukan bantuan ketrampilan,
permodalan, dan pengembangan usaha. Sedangkan bagi penyandang disabilitas
berat memerlukan bantuan kebutuhan pokok.
f. Aksesibilitas
Penyandang disabilitas membutuhkan sarana dan prasarana umum yang dapat
menunjang penyandang disabilitas sehari-harinya. penyandang disabilitas
memerlukan berbagai fasilitas publik dan fasilitas sosial kemudahan untuk
menjangkau dalam melakasanakan fungsi sosialnya.
g. Pemeliharaan kesejahteraan sosial (jaminan sosial)
Jaminan sosial penyandang disabilitas berat merupakan taraf kesejahteraan sosial
yang mempertahankan hidup penyandang disabilitas berat. ASODK (Asistensi
Sosial Orang Dengan Kedisabiltasan) merupakan salah satu program yang
dicanangkan pemerintah kepada penyandang disabilitas berat. Kepada mereka
diberikan uang tunai sebesar Rp. 300.000 setiap bulan bagi setiap penyandang
disabilitas berat. Meskipun demikian program ini masih dipertanyakan
kejelasannya. Perlu dicatat bahwa hanya sebagian kecil daerah yang
mengimplementasikan program ini. Sebagian besar tidak mendapatkannya,
bahkan tidak tahu menahu tentang program ini.
h. Kerjasama lintas sector dalam penanganan penyandang disabilitas
Penanganan kedisabilitasan tidak mutlak menjadi urusan beberapa kementrian
saja, namun kebijakan dan program di bidang kedisabilitasan harus diintegrasikan
ke dalam kebijakan dan program kementrian lainnya, sehingga permasalahan
kedisabilitasan dapat ditangani secara lintas sector dan komprehensif. Disisi yang
berbeda, pelayanan yang terfokus juga akan memberikan pelayanan yang lebih
efektif. Sehingga kementrian sosial yang patutnya memberikan pelayanan kepada
penyandang disabilitas saja.
i. Mobilitas dan teknologi adaptif bagi penyandang disabilitas sesuai dengan
kedisabilitasannya (pelayanan, alat bantu dan sarana prasarana)
Hal ini sejalan dengan pemikiran social models yang menurutnya bahwa
penyandang disabilitas dapat hidup mandiri dengan didukung berbagai teknologi
yang sesuai dengan jenis dan derajat kedisabilitasannya, sehingga aktifitas dan
mobilitas mereka tidak terganggu. Teknologi komputer bicara, hp bicara
merupakan teknologi salah satu yang membantu para penyandang disabilitas
netra.

3. Hak Penyandang Disabilitas


Penyandang disabilitas sebagaimana warga negara lainnya mempunyai kewajiban
dan juga hak yang sama dalam semua aspek kehidupan. Penyandang disabilitas
berhak untuk melaksanakan hak sipil, politik, sosial, ekonomi dan hak-hak budaya
atas dasar yang sama dengan orang lain. Diantara para penyandang disabilitas, ada
pada kelompok yang rentan menghadapi diskriminasi yang didasarkan pada
jender dank arena ketidakmampuan mereka atau penyandang disabilitas
mengalami diskriminasi berdasarkan prasangka masyarakat dan kebodohan.
Selain itu, penyandang disabilitas sering sekali tidak menikmati kesempatan yang
sama dengan orang lain karena kurangnya akses terhadap berbagai macam
pelayanan penting. Menurut Hukum Hak Asasi Internasional, penyandang
disabilitas mempunyai:
a. Hak kesetaraan di hadapan umum;
b. Hak untuk non-diskriminatif;
c. Hak untuk kesempatan yang sama;
d. Hak untuk hidup mandiri;
e. Hak untuk integrasi penuh;
f. Hak untuk jaminan (perlindungan sosial, bantuan sosial dan jaminan sosial).

D. KEBIJAKAN PENANGANAN PENYANDANG DISABILITAS


1. Perundang-undangan Penyandang Disabilitas di Berbagai Negara
Menelusuri berbagai perundang-undangan yang diberlakukan di berbagai negara
maju seperti di Inggris, Kanada, Singapura, Jepang, Pakistan dan Amerika Serikat
di dalamnya terkandung makna bahwa untuk memberdayakan penyandang
disabilitas perlu adanya aturan tersurat dan pelaksanaan secara konkrit bagi
penerima manfaat dari kebijakan. Dalam pelaksanaannya dari kebijakan tersebut
mengatur hak penyandang disabilitas. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada
tabel berikut:
Bagan 3:
Undang-Undang Kecacatan di Berbagai Negara
NEGARA UU KECACATAN KETERANGAN
Inggris  Disability Inggris memiliki UU yang
Discrimination Act pelaksanaan dan pengawasannya
1995 sangat serius. Ada kementrian
 Special Educational khusus yang menangani masalah
Needsand Disability penyandang disabilitas, Ministry of
Act 2001 Disable People. Bahkan di Kabinet
Tony Blair, terdapat seorang menteri
 Disability penyandang tunanetra David
Discrimination Act Blunkett, Menteri Urusan
2005 Perumahan dan Perkantoran
Kanada Meski mengacu pada DDA Inggris,
ODA juga dipengaruhi UU
penyandang disabilitas Prancis.
Selain lebih lengkap, juga ketat
dalam implementasi
Singapura Meski mengacu pada DDA Inggris,
ODA juga dipengaruhi UU
penyandang disabilitas Prancis.
Selain lebih lengkap, juga ketat
dalam implementasi
Jepang Tidak ada Undang-Undang khusus
karena UUD Jepang sudah
menjamin hak penyandang cacat. Di
Jepang pula, terdapat pantai pertama
yang aksesibel bagi Meski mengacu
pada DDA Inggris, ODA juga
dipengaruhi UU penyandang
disabilitas Prancis. Selain lebih
lengkap, juga ketat dalam
implementasi untuk sunbathing.
Pakistan National Policy for Meski tergolong baru, UU Pakistan
Persons With sanggup menampung aspirasi warga
Disability 2002 penyandang disabilitas terutama soal
aksesibilitas ke tempat ibadah.
Amerika American with Memasukan batasan kesehatan
Serikat Disabilites seperti HIV/AIDS, autis, drugs
abuse, parkinson sampai dyslexia,
phobia dan transsexuality sebagai
penyakit yang penderitanya masuk
dalam golongan penyandang
disabilitas. UU ini memicu
kontroversi karena implikasi yang
luas.
Australia Disability Mengacu pada DDA Inggris tapi
Discrimination Act dipengaruhi ADA Amerika. DDA
1992 Australia dikenal karena sangat rinci
mengatur hak penyandang
disabilitas.
Sumber:Buku Analisis Kebijakan Menko Kesra (2012:22)
2. Perundang-Undangan tentang Penyandang Disabilitas di Indonesia
Dalam upaya melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hak-hak
penyandang disabilitas, pemerintah Indonesia telah membentuk berbagai
peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap penyandang
disabilitas. Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
c. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
e. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
f. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
g. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
h. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional
i. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
j. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
k. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
l. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
m. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
n. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
o. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
p. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin
q. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The
Rights of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang
Disabilitas)
Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas, menguraikan berbagai hak
penyandang disabilitas dan kewajiban pemerintah untuk memberikan pelayanan,
perlindungan dan penegakan hak penyandang disabilitas.

E. PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG


DISABILITAS YANG TELAH DILAKSANAKAN
1. Pelayanan Yang Sudah Ada
Jumlah penyandang disabilitas cenderung mengalami peningkatan. Misalnya saja,
hasil data SUSENAS 2003, terdapat 1.478.667 penyandang disabilitas dan tahun
2004 menjadi 1.847.692 orang. Peningkatan jumlah ini berpengaruh terhadap
kompleksitas masalah yang dihadapi penyandang disabilitas, sehingga semakin
memerlukan pemberdayaan dan perlindungan sosial agar dapat melaksanakan
fungsi sosialnya dengan baik.
Beberapa pelayanan yang sudah ada baik yang sudah dilaksanakan oleh lembaga
yang khusus bergerak dalam kedisabilitasan, maupun lembaga lain yang
mengintegrasikan dalam kebijakan, program dan kegiatannya yang responsive
penyandang disabilitas, yaitu:
a. Deteksi Dini
Deteksi dini merupakan upaya-upaya untuk mengetahui ada tidaknya
kelainan/kerusakan fisik atau gangguan perkembangan mental atau perilaku anak
yang menyebabkan kedisabilitasan secara dini dengan menggunakan metode
perkembangan anak. Deteksi dini dilakukan terhadap berbagai kemungkinan
adanya gangguan pada tumbuh kembang anak.
b. Pendidikan
Dalam bidang pendidikan bagi penyandang disabilitas sudah dilakukan
pendidikan melalui jalur pendidikan luar biasa (Sekolah Luar Biasa/SLB) untuk
berbagai jenis kecacatan baik yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta.
Selain itu, terdapat pula pendidikan inklusi yaitu mengintegrasikan proses belajar
mengajar bagi penyandang disabilitas berbaur bersama siswa/mahasiswa yang
tidak disabilitas.
c. Kesehatan
Penyediaan tenaga medis dan paramedis bagi peningkatan kesehatan penyandang
disabilitas dianggap sudah memadai. Demikian pula fasilitas kesehatan berupa
klinik hingga rumah sakit pemerintah maupun swasta, tersedia dan dapat diakses
melalui berbagai kemudahan Jaminan Kesehatan Pemerintah (Jamkesmas,
Jamkesda) dan asuransi kesehatan lainnya.
d. Pelatihan Ketrampilan Kerja
Pada umumnya pelatihan kerja bagi penyandang disabilitas ini diintegrasikan ke
dalam pelayanan panti sosial. Beberapa diantaranya di PSBN (Panti Sosial Bina
Netra), diselenggarakan pelatihan pijat message dan siatsu, pelatihan anyaman,
music, dan sebagainya.
e. Pemberian Modal Usaha
Selepas penyandang disabilitas mengikuti pendidikan di lembaga-lembaga
pelayanan, mereka membuka jasa layanan misalnya massage dan jasa lainnya.
Mereka memerlukan dukungan pembinaan ketrampilan dan bantuan permodalan
dari pemerintah, perusahaan (CSR), maupun dari lembaga pemberi pinjaman
keuangan agar usaha mereka berkembanga dan dapat berkontribusi pada
kemandirian kehidupan mereka membuka.
f. Bantuan Alat dan Badan Usaha
Bagi penyandang disabilitas yang membuka usaha produksi dan layanan jasa,
pemerintah dan pihak perusahaan swasta memberikan bantuan peralatan dan
bahan baku produksi. Dikembangkan pula pola asuh bagi perusahaan BUMN atau
swasta bagi penyandang disabilitas.
g. Pembinaan Mental dan Spiritual
Hal ini dilakukan dip anti-panti sosial juga di lingkungan masyarakat agar mereka
mempunyai kualitas keimanan dan ketaqwaan.
2. Kendala dalam Pelayanan
Pelayanan dalam bidang kedisabilitasan ini mengalam berbagai kendala,
diantaranya:
a. Data tentang penyandang disabilitas belum valid. Kementrian sosial dan juga
lembaga lain menyantuni, memberdayakan, bantuan sosial; namun hal ini
tentunya tidak akan efektif jika tidak ada data yang valid mengenai penyandang
disabilitas. Permasalahan ini sudah menjadi hal yang tidak terbantahkan di
Indonesia. Banyak program yang tidak tepat sasaran. Orang miskin dan mengaku
bermasalah semakin banyak ketika bantuan, pelayanan ada. Pemerintah harus
segera mencari solusi dari permasalahan ini.
b. Keterbatasan lembaga-lembaga pelayanan baik dalam jumlah maupun
ketersediaan dalam setiap wilayah. Pendirian lembaga pelayanan bagi penyandag
disabilitas belum merata di seluruh wilayah tanah air. Hal ini tentunya
menimbulkan banyak permasalahan dan pertanyaan kepada pemberi pelayanan
(pemerintah) akan komitmen dalam memberikan pelayanan yang merata kepada
seluruh warga negara Indonesia. Kebijakan otonomi daerah juga turut
mempengaruhi kondisi ini, karena setiap daerah mempunyai arah pelaksanaan
operasional sesuai situasi, kondisi dan kemampuan daerah masing-masing.
Dengan otonomi daerah, pelayanan kepada PPKS di tingkat daerah tidak sinkron
dengan kebutuhan negara. Hal ini tentunya tidak bermasalah jika daerah yang
bersangkutan memang memiliki komitmen yang kuat dan pasti dalam
memberikan pelayanan yang baik kepada para penyandan disabilitas di daerahnya
masing-masing.
c. Sikronisasi atau keterpaduan pelayanan terhadap penyandang disabilitas dari
berbagai instansi terkait belum optimalnya, sehingga ada keterbatasan informasi
tentang data penyandang disabilitas yang telah mendapat pelayanan. Pemerintah
harus mencari formula agar pemberi pelayanan sosial dapat terpusat dan tidak
saling tumpang tindih sehingga pelayanan lebih terfokus dan efektif.
d. Keberhasilan dalam pencapaian tujuan pelayanan belum terukur. Pelaksanaan
pelayanan kedisabilitasan masih belum mempunyai parameter atau tolak ukur
yang terstandar, sehingga setiap pihak masih menggunakan parameter masing.
e. Keterbatasan anggaran bisa menjadi kendala dalam memberikan pelayanan yang
di inginkan bagi penyandang disabilitas. dukungan pendanaan terhadap berbagai
program dan pelayanan penyandang disabilitas belum optimal baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah.

F. HARAPAN PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL


PENYANDANG DISABILITAS KE DEPAN
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, penyandang disabilitas setiap
tahunnya mengalami pengingkatan yang signifikan. Tahun 2014 PUSDATIN
mendata bahwa jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sekitar 30 juta orang
dan akan terus meningkat. Penyandang disabilitas tidak hanya menghadapi
hambatan fisik tetapi juga sosial, hambatan ekonomi dan sikap. Hal ini diperparah
dengan keadaan para penyandang disabilitas yang sebagian besar mereka hidup
dibawah garis kemiskinan.
Keadaan demikian, haruslah mendapat perhatian dari berbagai pihak terlebih dari
pemerintah. Pemerintah harus memiliki komitmen dan ketulusan dalam
memberikan pelayanan kepada penyandang disabilitas. Peraturan perundang-
udangan yang dibuat haruslah dilaksanakan jangan hanya sebatas tulisan.
Pemerintah juga harus bisa memainkan fungsi pengawasan (controlling) dalam
pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang telah dibuat. Peraturan
perundang-undangan terhadap disabilitas bagusnya disertai dengan sanksi bagi
pihak-pihak yang tidak melaksanakannya.
Progaram-program yang dibuat juga harusnya dilaksanakan dengan sebaiknya-
baiknya. Pengawasan juga penting dalam upaya memberikan program yang tepat
sasaran dan efektif. Pemerataan perhatian pemerintah di seluruh daerah Indonesia
juga menjadi catatan penting bagi pemerintah Indonesia jika memang memiliki
komitmen dalam memberikan pelayanan yang berkesinambungan kepada para
panyandang disabilitas.
Kedepan, bangsa Indonesia akan diperhadapkan dengan masalah-masalah sosial
khususnya permasalahan disabilitas yang semakin banyak secara kuantitas dan
juga dengan permasalahan yang akan semakin kompleks. Pemerintah harus bisa
menjawab seluruh tantangan tersebut melalui kebijakan dan program yang sesuai
dengan tuntutan zaman. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melakukan
pembangunan kesejahteraan sosial bagi penyandang disabilitas, sehingga mereka
dapat hidup selayaknya.
Berdasarkan Bagan 1, bahwa pembangunan kesejahteraan sosial bagi penyandang
disabilitas dapat dilakukan dengan pelayanan sosial, pemberdayaan, dan
perlindungan sosial. Pembangunan kesejahteraan sosial bagi penyandang
disabilitas ini dapat dilakukan dengan 3 strategi yaitu pencegahan.
Selain itu, dari Bagan 2 juga terlihat bagaimana sebuah program yang dibuat
dalam menangani kedisabilitasan dapat strategis. Program yang dibuat dapat
memperhatikan value, tren, impact, dan factor. Dengan memperhatikan bagian
pembangunan kesejahteraan sosial ini, maka penulis yakin bahwa kebijakan
penanganan penyandang disabilitas efektif dan sesuai dengan kebutuhan
penyandang disabilitas.
1. Harapan akan kebijakan program pelayanan penyandang cacat kedepan
a. Pemerataan pelayanan bagi penyandang disabilitas di seluruh Indonesia
b. Kejelasan akan program yang dibuat (misalnya RBM dan ASODK) yang sepintas
hanya berlaku di beberapa daerah
c. Perlunya pelatihan ketrampilan bagi penyandang disabilitas terutama penyandang
disabilitas ringan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya sehingga
mampu berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
d. Melakukan kerjasama dengan badan usaha/perusahaan jasa, baik milik
pemerintah maupun swasta untuk penyaluran tenaga kerja penyandang disabilitas
sesuai dengan ketentuan yang berlaku
e. Bagi penyandang disabilitas yang memiliki kemampuan berusaha secara mandiri
(wirausaha) perlu dukungan modal sesuai dengan jenis dan skala usahanya, serta
dibekali dengan pelatihan ketrampilan berwirausaha
f. Penyandang disabilitas netra memerlukan perluasan lapangan pekerjaan selain pijat,
misalnya bidang broadcasting (penyiaran radio dan sejenisnya) atau bidang
pekerjaan lain sesuai kemampuannya
g. Pembinaan mental spiritual penyandang disabilitas secara periodik sangat
dibutuhkan oleh penyandang disabilitas
h. Penyandang disabilitas memerlukan pelayanan informasi agar dapat mengakses
sumber-sumber yang dibutuhkan, misalnya informasi bursa kerja, lembaga-
lembaga pelayanan dan sebagainya
i. Undang-Undang dan kebijakan yang berkaitan dengan pelayanan terhadap
penyandang disabilitas dapat diaplikasikan sebagaimana mestinya. Untuk
mewujudkan itu, diperlukan kontrol dari pemerintah dan pemberian sanksi yang
tegas kepada pihak-pihak yang tidak melaksanakan dan mematuhinya. Penulis
merasa bahwa Undang-Undang harus disertai dengan sanksi bagi yang tidak
melaksanakannya
2. Harapan Perlindungan Sosial bagi Penyandang Disabilitas
a. Secara kuantitas dan kualitas sarana transportasi dan fasilitas publik lainnya belum
memihak kepada kepentingan penyandang disabilitas. oleh karena itu perlu di
tingkatkan agar menjamin keamanan dan keselamatan penyandang disabilitas.
b. Penyandang disabilitas membutuhkan adanya jaminan mendapatkan pekerjaan
yang layak dan bermartabat serta adanya jaminan kesehatan dan keselamatan dari
resiko pekerjaan yang dilakukannya.
c. Penyandang disabilitas miskin selayaknya mendapatkan prioritas jaminan
kesehatan dan jaminan lainnya dari pemerintah
d. Penyandang disabilitas yang terlibat dengan masalah hukum perlu mendapatkan
advokasi dari lembaga hukum secara cuma-cuma dalam menyelesaikan
perkaranya
e. Masyarakat perlu diberikan sosialisasi tentang penyandang disabilitas, agar pada
saat masyarakat berhadapan dengan mereka dapat mengenal dengan mudah dan
melakukan tindakan yang sewajarnya.
f. Perlu dipersiapkan panti jompo bagi penyandang disabilitas netra lanjut usia yang
terlantar
g. Pendidikan gratis perlu diberikan kepada penyandang disabilitas yang berusia
sekolah.

C. MASALAH, KEBUTUHAN DAN HAK PENYANDANG DISABILITAS


Karakteristik dari ketiga jenis penyandang disabilitas sebagaimana yang telah
disampaikan sebelumnya sangat bervariasi, sehingga permasalahan dan kebutuhan
mereka pun berbeda pula sesuai dengan jenis kecacatannya. Dalam kapasitas
sebagai warga negara, mereka mempunyai hak-hak dan kesempatan yang
selayaknya warga negara lain yang tidak disabilitas.
1. Permasalahan Penyandang Disabilitas
Penyandang disabilitas mengalami berbagai permasalahan atau hambatan karena
faktor internal maupun eksternal. Permasalahan yang sering dialami oleh
penyandang disabilitas dapat dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu internal
dan eksternal. Permasalahan internal adalah masalah pribadi, menyangkut
masalah kelengkapan dan fungsi fisik, psikologis dan pendidikan.
Masalah fisik berkaitan dengan gangguan pada kemampuan mobilitas tertentu
dalam melaksanakan aktifitas harian. Beberapa diantaranya rentan terhadap
penyakit, keterbatasan kemampuan fisik karena kedisabilitasan, keterbatasan
aksesibilitas, keterbatasan orientasi dan mobilitas, dan Activity Dailing Living
(ADL). Masalah psikologis berkaitan dengan perasaan menyangkut martabat dan
harga diri penyandang disabilitas. Kedisabilitasan kerapkali menimbulkan
perasaan cemas, pesimistik, putus asa, temperamental, sensitive bahkan agresif.
Masalah pendidikan, keterbatasan dan ketidak mampuan mengakses berbagai
sumber pelayanan yang ada.
Penyandang disabilitas juga mengalami permasalahan dalam melaksanakan fungsi
sosialnya, antara lain keterbatasan aksesibilitas sosial dasar (pendidikan dan
kesehatan), keterbatasan mendapatkan pekerjaan, fasilitas penyandang disabilitas,
sarana dan prasarana yang kurang memadai bagi penyandang disabilitas.
Permasalahan sosial yang terkait dengan keberfungsian sosialnya apabila tidak
ditangani akan menghambat aktifitas sehari-hari, beberapa diantaranya adalah
gangguan fisik mobilitas, gangguan mental psikologis, gangguan pendidikan,
gangguan produktifitas, gangguan sosial ekonomi, dan gangguan fungsi sosial.
Selain bergelut dengan persoalan internal, penyandang disabilitas juga
mempunyai permasalahan yang bersifat eksternal baik di lingkungan keluarga,
tetangga, sejawat, dan masyarakat pada umumnya.
Permasalah yang kerap dialami oleh penyandang disabilitas yaitu:
a. Diskriminasi, eksploitasi, stigma/labeling. Kebijakan dan program yang tidak
berpihak bagi penyandang disabilitas, terbatasnya kesempatan, kemudahan,
pekerjaan dan jabatan bagi penyandang disabilitas, lingkungan fisik yang tidak
ramah bagi penyandang disabilitas, ketidaktahuan keluarga dan masyarakat dalam
memperlakukan penyandang disabilitas, stakeholder yang tidak berpihak bagi
penyandang disabilitas, dan keterbatasan aksesibilitas informasi tentang sumber
pelayanan bagi penyandang disabilitas.
b. Masalah keluarga terkait dengan sikap dan perlakuan orang tua atau anggota
keluarga lain. Keluarga cenderung over proactive terhadap anggota keluarga yang
cacat dalam bentuk tidak boleh bergaul, tidak disekolahkan bahkan perlakukan
diskriminatif disbanding anggota keluaga lainnya.
c. Masalah sosial kemasyarakat, terkait dengan ketidakmampuan penyandang
disabilitas dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya
serta masih adanya stigma dan handicap masyarkaat terhadap penyandang
disabilitas.
2. Kebutuhan Penyandang Disabilitas
Setiap jenis kedisabilitasan mempunyai karakteristik, permasalahan, dan
kebutuhan yang sama namun juga berbeda sesuai jenisnya.
a. Perlakuan khusus yang berkaitan dengan jenis kedisabilitasan
Setiap penyandang disabilitas mempunyai kebutuhan yang sama dan juga
berbeda. Persamaan kebutuhan mereka terletak pada kebutuhan fisik, psikologis,
sosial dan spiritual. Perbedaanya kebutuhan penyandang disabilitas sesuai dengan
karakteristik kedisabilitasannya masing-masing.
Kebutuhan penyandang disabilitas fisik berkaitan dengan fungsi motorik,
penyandang disabilitas netra berkaitan dengan keterbatasan fungsi penglihatan,
penyandang rungu wicara berkaitan dengan fungsi pendengaran dan bicara dan
sebagainya. Oleh sebab itu, perlakuan terhadap mereka harus disesuaikan dengan
jenis kedisabilitasan agar mereka mampu melaksanakan fungsi sosialnya serta
mengurangi ketergantungan terhadap orang lain.
b. Kebutuhan Pendidikan
Penyandang disabilitas juga mempunyai kebutuhan akan pendidikan formal
maupun informal dan nonformal agar dapat mengurangi ketergantungan terhadap
orang lain. Dalam bidang pendidikan, dikenal sistem pendidikan segregasi, yaitu
pendidikan khusus yang terpisah dari pendidikan anak normal.
Kemudian muncul konsep special education (PLB/Pendidikan Khusus) dan dalam
sistem pendidikan segregasi, anak penyandang disabilitas dilihat dari aspek
karakteristik kedisabilitasannya, sebagai dasar dalam memberikan layanan
pendidikan. Sehingga setiap kedisabilitasan harus diberikan layanan pendidikan
yang khusus yang berbeda dari kedisabilitasan lainnya (Sekolah Luar Biasa untuk
anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa).
c. Kebutuhan Ketenagakerjaan
Setiap penyandang disabilitas mempunyai kesempatan yang sama dalam
memperoleh pekerjaan selayaknya warga negara lainnya. Peraturan perundang-
undangan mengharuskan bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan 100
orang berkewajiban mempekerjakan satu orang penyandang disabilitas. Lapangan
pekerjaan menjadi permasalahan bagi mereka yang sudah lulus dari lembaga
pelayanan, maupun yang tidak masuk ke lembaga pelayanan.
d. Rehabilitasi
Pada seting lembaga, pelayanan ini didapatkan penyandang disabilitas yang
mengikuti program kegiatan lembaga pelayanan (menjadi klien, penerima
manfaat, benevisioris), sementara di masyarakat sudah ada Rehabilitas Berbasis
Masyarakat (RBM) meskipun masih dipertanyakan kejelasannya.
e. Bantuan Sosial
Bagi penyandang disabilitas potensial memerlukan bantuan ketrampilan,
permodalan, dan pengembangan usaha. Sedangkan bagi penyandang disabilitas
berat memerlukan bantuan kebutuhan pokok.
f. Aksesibilitas
Penyandang disabilitas membutuhkan sarana dan prasarana umum yang dapat
menunjang penyandang disabilitas sehari-harinya. penyandang disabilitas
memerlukan berbagai fasilitas publik dan fasilitas sosial kemudahan untuk
menjangkau dalam melakasanakan fungsi sosialnya.
g. Pemeliharaan kesejahteraan sosial (jaminan sosial)
Jaminan sosial penyandang disabilitas berat merupakan taraf kesejahteraan sosial
yang mempertahankan hidup penyandang disabilitas berat. ASODK (Asistensi
Sosial Orang Dengan Kedisabiltasan) merupakan salah satu program yang
dicanangkan pemerintah kepada penyandang disabilitas berat. Kepada mereka
diberikan uang tunai sebesar Rp. 300.000 setiap bulan bagi setiap penyandang
disabilitas berat. Meskipun demikian program ini masih dipertanyakan
kejelasannya. Perlu dicatat bahwa hanya sebagian kecil daerah yang
mengimplementasikan program ini. Sebagian besar tidak mendapatkannya,
bahkan tidak tahu menahu tentang program ini.
h. Kerjasama lintas sector dalam penanganan penyandang disabilitas
Penanganan kedisabilitasan tidak mutlak menjadi urusan beberapa kementrian
saja, namun kebijakan dan program di bidang kedisabilitasan harus diintegrasikan
ke dalam kebijakan dan program kementrian lainnya, sehingga permasalahan
kedisabilitasan dapat ditangani secara lintas sector dan komprehensif. Disisi yang
berbeda, pelayanan yang terfokus juga akan memberikan pelayanan yang lebih
efektif. Sehingga kementrian sosial yang patutnya memberikan pelayanan kepada
penyandang disabilitas saja.
i. Mobilitas dan teknologi adaptif bagi penyandang disabilitas sesuai dengan
kedisabilitasannya (pelayanan, alat bantu dan sarana prasarana)
Hal ini sejalan dengan pemikiran social models yang menurutnya bahwa
penyandang disabilitas dapat hidup mandiri dengan didukung berbagai teknologi
yang sesuai dengan jenis dan derajat kedisabilitasannya, sehingga aktifitas dan
mobilitas mereka tidak terganggu. Teknologi komputer bicara, hp bicara
merupakan teknologi salah satu yang membantu para penyandang disabilitas
netra.

3. Hak Penyandang Disabilitas


Penyandang disabilitas sebagaimana warga negara lainnya mempunyai kewajiban
dan juga hak yang sama dalam semua aspek kehidupan. Penyandang disabilitas
berhak untuk melaksanakan hak sipil, politik, sosial, ekonomi dan hak-hak budaya
atas dasar yang sama dengan orang lain. Diantara para penyandang disabilitas, ada
pada kelompok yang rentan menghadapi diskriminasi yang didasarkan pada
jender dank arena ketidakmampuan mereka atau penyandang disabilitas
mengalami diskriminasi berdasarkan prasangka masyarakat dan kebodohan.
Selain itu, penyandang disabilitas sering sekali tidak menikmati kesempatan yang
sama dengan orang lain karena kurangnya akses terhadap berbagai macam
pelayanan penting. Menurut Hukum Hak Asasi Internasional, penyandang
disabilitas mempunyai:
a. Hak kesetaraan di hadapan umum;
b. Hak untuk non-diskriminatif;
c. Hak untuk kesempatan yang sama;
d. Hak untuk hidup mandiri;
e. Hak untuk integrasi penuh;
f. Hak untuk jaminan (perlindungan sosial, bantuan sosial dan jaminan sosial).

D. KEBIJAKAN PENANGANAN PENYANDANG DISABILITAS


1. Perundang-undangan Penyandang Disabilitas di Berbagai Negara
Menelusuri berbagai perundang-undangan yang diberlakukan di berbagai negara
maju seperti di Inggris, Kanada, Singapura, Jepang, Pakistan dan Amerika Serikat
di dalamnya terkandung makna bahwa untuk memberdayakan penyandang
disabilitas perlu adanya aturan tersurat dan pelaksanaan secara konkrit bagi
penerima manfaat dari kebijakan. Dalam pelaksanaannya dari kebijakan tersebut
mengatur hak penyandang disabilitas. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada
tabel berikut:
Bagan 3:
Undang-Undang Kecacatan di Berbagai Negara
NEGARA UU KETERANGAN
KECACATAN
Inggris  Disability Inggris memiliki UU
Discrimination yang pelaksanaan dan
Act 1995 pengawasannya sangat
 Special serius. Ada kementrian
Educational khusus yang
Needsand menangani masalah
Disability Act penyandang
2001 disabilitas, Ministry of
Disable People.
 Disability Bahkan di Kabinet
Discrimination Tony Blair, terdapat
Act 2005 seorang menteri
penyandang tunanetra
David Blunkett,
Menteri Urusan
Perumahan dan
Perkantoran
Kanada Meski mengacu pada
DDA Inggris, ODA
juga dipengaruhi UU
penyandang disabilitas
Prancis. Selain lebih
lengkap, juga ketat
dalam implementasi
Singapura Meski mengacu pada
DDA Inggris, ODA
juga dipengaruhi UU
penyandang disabilitas
Prancis. Selain lebih
lengkap, juga ketat
dalam implementasi
Jepang Tidak ada Undang-
Undang khusus karena
UUD Jepang sudah
menjamin hak
penyandang cacat. Di
Jepang pula, terdapat
pantai pertama yang
aksesibel bagi Meski
mengacu pada DDA
Inggris, ODA juga
dipengaruhi UU
penyandang disabilitas
Prancis. Selain lebih
lengkap, juga ketat
dalam implementasi
untuk sunbathing.
Pakistan National Policy Meski tergolong baru,
for Persons With UU Pakistan sanggup
Disability 2002 menampung aspirasi
warga penyandang
disabilitas terutama
soal aksesibilitas ke
tempat ibadah.
Amerika American with Memasukan batasan
Serikat Disabilites kesehatan seperti
HIV/AIDS, autis,
drugs abuse, parkinson
sampai dyslexia,
phobia dan
transsexuality sebagai
penyakit yang
penderitanya masuk
dalam golongan
penyandang
disabilitas. UU ini
memicu kontroversi
karena implikasi yang
luas.
Australia Disability Mengacu pada DDA
Discrimination Inggris tapi
Act 1992 dipengaruhi ADA
Amerika. DDA
Australia dikenal
karena sangat rinci
mengatur hak
penyandang
disabilitas.
Sumber:Buku Analisis Kebijakan Menko Kesra (2012:22)
2. Perundang-Undangan tentang Penyandang Disabilitas di Indonesia
Dalam upaya melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hak-hak
penyandang disabilitas, pemerintah Indonesia telah membentuk berbagai
peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap penyandang
disabilitas. Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
c. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
e. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
f. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
g. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
h. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional
i. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
j. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
k. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
l. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
m. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
n. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
o. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
p. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin
q. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The
Rights of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang
Disabilitas)
Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas, menguraikan berbagai hak
penyandang disabilitas dan kewajiban pemerintah untuk memberikan pelayanan,
perlindungan dan penegakan hak penyandang disabilitas.

E. PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG


DISABILITAS YANG TELAH DILAKSANAKAN
1. Pelayanan Yang Sudah Ada
Jumlah penyandang disabilitas cenderung mengalami peningkatan. Misalnya saja,
hasil data SUSENAS 2003, terdapat 1.478.667 penyandang disabilitas dan tahun
2004 menjadi 1.847.692 orang. Peningkatan jumlah ini berpengaruh terhadap
kompleksitas masalah yang dihadapi penyandang disabilitas, sehingga semakin
memerlukan pemberdayaan dan perlindungan sosial agar dapat melaksanakan
fungsi sosialnya dengan baik.
Beberapa pelayanan yang sudah ada baik yang sudah dilaksanakan oleh lembaga
yang khusus bergerak dalam kedisabilitasan, maupun lembaga lain yang
mengintegrasikan dalam kebijakan, program dan kegiatannya yang responsive
penyandang disabilitas, yaitu:
a. Deteksi Dini
Deteksi dini merupakan upaya-upaya untuk mengetahui ada tidaknya
kelainan/kerusakan fisik atau gangguan perkembangan mental atau perilaku anak
yang menyebabkan kedisabilitasan secara dini dengan menggunakan metode
perkembangan anak. Deteksi dini dilakukan terhadap berbagai kemungkinan
adanya gangguan pada tumbuh kembang anak.
b. Pendidikan
Dalam bidang pendidikan bagi penyandang disabilitas sudah dilakukan
pendidikan melalui jalur pendidikan luar biasa (Sekolah Luar Biasa/SLB) untuk
berbagai jenis kecacatan baik yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta.
Selain itu, terdapat pula pendidikan inklusi yaitu mengintegrasikan proses belajar
mengajar bagi penyandang disabilitas berbaur bersama siswa/mahasiswa yang
tidak disabilitas.
c. Kesehatan
Penyediaan tenaga medis dan paramedis bagi peningkatan kesehatan penyandang
disabilitas dianggap sudah memadai. Demikian pula fasilitas kesehatan berupa
klinik hingga rumah sakit pemerintah maupun swasta, tersedia dan dapat diakses
melalui berbagai kemudahan Jaminan Kesehatan Pemerintah (Jamkesmas,
Jamkesda) dan asuransi kesehatan lainnya.
d. Pelatihan Ketrampilan Kerja
Pada umumnya pelatihan kerja bagi penyandang disabilitas ini diintegrasikan ke
dalam pelayanan panti sosial. Beberapa diantaranya di PSBN (Panti Sosial Bina
Netra), diselenggarakan pelatihan pijat message dan siatsu, pelatihan anyaman,
music, dan sebagainya.
e. Pemberian Modal Usaha
Selepas penyandang disabilitas mengikuti pendidikan di lembaga-lembaga
pelayanan, mereka membuka jasa layanan misalnya massage dan jasa lainnya.
Mereka memerlukan dukungan pembinaan ketrampilan dan bantuan permodalan
dari pemerintah, perusahaan (CSR), maupun dari lembaga pemberi pinjaman
keuangan agar usaha mereka berkembanga dan dapat berkontribusi pada
kemandirian kehidupan mereka membuka.
f. Bantuan Alat dan Badan Usaha
Bagi penyandang disabilitas yang membuka usaha produksi dan layanan jasa,
pemerintah dan pihak perusahaan swasta memberikan bantuan peralatan dan
bahan baku produksi. Dikembangkan pula pola asuh bagi perusahaan BUMN atau
swasta bagi penyandang disabilitas.
g. Pembinaan Mental dan Spiritual
Hal ini dilakukan dip anti-panti sosial juga di lingkungan masyarakat agar mereka
mempunyai kualitas keimanan dan ketaqwaan.
2. Kendala dalam Pelayanan
Pelayanan dalam bidang kedisabilitasan ini mengalam berbagai kendala,
diantaranya:
a. Data tentang penyandang disabilitas belum valid. Kementrian sosial dan juga
lembaga lain menyantuni, memberdayakan, bantuan sosial; namun hal ini
tentunya tidak akan efektif jika tidak ada data yang valid mengenai penyandang
disabilitas. Permasalahan ini sudah menjadi hal yang tidak terbantahkan di
Indonesia. Banyak program yang tidak tepat sasaran. Orang miskin dan mengaku
bermasalah semakin banyak ketika bantuan, pelayanan ada. Pemerintah harus
segera mencari solusi dari permasalahan ini.
b. Keterbatasan lembaga-lembaga pelayanan baik dalam jumlah maupun
ketersediaan dalam setiap wilayah. Pendirian lembaga pelayanan bagi penyandag
disabilitas belum merata di seluruh wilayah tanah air. Hal ini tentunya
menimbulkan banyak permasalahan dan pertanyaan kepada pemberi pelayanan
(pemerintah) akan komitmen dalam memberikan pelayanan yang merata kepada
seluruh warga negara Indonesia. Kebijakan otonomi daerah juga turut
mempengaruhi kondisi ini, karena setiap daerah mempunyai arah pelaksanaan
operasional sesuai situasi, kondisi dan kemampuan daerah masing-masing.
Dengan otonomi daerah, pelayanan kepada PPKS di tingkat daerah tidak sinkron
dengan kebutuhan negara. Hal ini tentunya tidak bermasalah jika daerah yang
bersangkutan memang memiliki komitmen yang kuat dan pasti dalam
memberikan pelayanan yang baik kepada para penyandan disabilitas di daerahnya
masing-masing.
c. Sikronisasi atau keterpaduan pelayanan terhadap penyandang disabilitas dari
berbagai instansi terkait belum optimalnya, sehingga ada keterbatasan informasi
tentang data penyandang disabilitas yang telah mendapat pelayanan. Pemerintah
harus mencari formula agar pemberi pelayanan sosial dapat terpusat dan tidak
saling tumpang tindih sehingga pelayanan lebih terfokus dan efektif.
d. Keberhasilan dalam pencapaian tujuan pelayanan belum terukur. Pelaksanaan
pelayanan kedisabilitasan masih belum mempunyai parameter atau tolak ukur
yang terstandar, sehingga setiap pihak masih menggunakan parameter masing.
e. Keterbatasan anggaran bisa menjadi kendala dalam memberikan pelayanan yang
di inginkan bagi penyandang disabilitas. dukungan pendanaan terhadap berbagai
program dan pelayanan penyandang disabilitas belum optimal baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah.

F. HARAPAN PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL


PENYANDANG DISABILITAS KE DEPAN
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, penyandang disabilitas setiap
tahunnya mengalami pengingkatan yang signifikan. Tahun 2014 PUSDATIN
mendata bahwa jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sekitar 30 juta orang
dan akan terus meningkat. Penyandang disabilitas tidak hanya menghadapi
hambatan fisik tetapi juga sosial, hambatan ekonomi dan sikap. Hal ini diperparah
dengan keadaan para penyandang disabilitas yang sebagian besar mereka hidup
dibawah garis kemiskinan.
Keadaan demikian, haruslah mendapat perhatian dari berbagai pihak terlebih dari
pemerintah. Pemerintah harus memiliki komitmen dan ketulusan dalam
memberikan pelayanan kepada penyandang disabilitas. Peraturan perundang-
udangan yang dibuat haruslah dilaksanakan jangan hanya sebatas tulisan.
Pemerintah juga harus bisa memainkan fungsi pengawasan (controlling) dalam
pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang telah dibuat. Peraturan
perundang-undangan terhadap disabilitas bagusnya disertai dengan sanksi bagi
pihak-pihak yang tidak melaksanakannya.
Progaram-program yang dibuat juga harusnya dilaksanakan dengan sebaiknya-
baiknya. Pengawasan juga penting dalam upaya memberikan program yang tepat
sasaran dan efektif. Pemerataan perhatian pemerintah di seluruh daerah Indonesia
juga menjadi catatan penting bagi pemerintah Indonesia jika memang memiliki
komitmen dalam memberikan pelayanan yang berkesinambungan kepada para
panyandang disabilitas.
Kedepan, bangsa Indonesia akan diperhadapkan dengan masalah-masalah sosial
khususnya permasalahan disabilitas yang semakin banyak secara kuantitas dan
juga dengan permasalahan yang akan semakin kompleks. Pemerintah harus bisa
menjawab seluruh tantangan tersebut melalui kebijakan dan program yang sesuai
dengan tuntutan zaman. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melakukan
pembangunan kesejahteraan sosial bagi penyandang disabilitas, sehingga mereka
dapat hidup selayaknya.
Berdasarkan Bagan 1, bahwa pembangunan kesejahteraan sosial bagi penyandang
disabilitas dapat dilakukan dengan pelayanan sosial, pemberdayaan, dan
perlindungan sosial. Pembangunan kesejahteraan sosial bagi penyandang
disabilitas ini dapat dilakukan dengan 3 strategi yaitu pencegahan.
Selain itu, dari Bagan 2 juga terlihat bagaimana sebuah program yang dibuat
dalam menangani kedisabilitasan dapat strategis. Program yang dibuat dapat
memperhatikan value, tren, impact, dan factor. Dengan memperhatikan bagian
pembangunan kesejahteraan sosial ini, maka penulis yakin bahwa kebijakan
penanganan penyandang disabilitas efektif dan sesuai dengan kebutuhan
penyandang disabilitas.
1. Harapan akan kebijakan program pelayanan penyandang cacat kedepan
a. Pemerataan pelayanan bagi penyandang disabilitas di seluruh Indonesia
b. Kejelasan akan program yang dibuat (misalnya RBM dan ASODK) yang sepintas
hanya berlaku di beberapa daerah
c. Perlunya pelatihan ketrampilan bagi penyandang disabilitas terutama penyandang
disabilitas ringan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya sehingga
mampu berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
d. Melakukan kerjasama dengan badan usaha/perusahaan jasa, baik milik
pemerintah maupun swasta untuk penyaluran tenaga kerja penyandang disabilitas
sesuai dengan ketentuan yang berlaku
e. Bagi penyandang disabilitas yang memiliki kemampuan berusaha secara mandiri
(wirausaha) perlu dukungan modal sesuai dengan jenis dan skala usahanya, serta
dibekali dengan pelatihan ketrampilan berwirausaha
f. Penyandang disabilitas netra memerlukan perluasan lapangan pekerjaan selain pijat,
misalnya bidang broadcasting (penyiaran radio dan sejenisnya) atau bidang
pekerjaan lain sesuai kemampuannya
g. Pembinaan mental spiritual penyandang disabilitas secara periodik sangat
dibutuhkan oleh penyandang disabilitas
h. Penyandang disabilitas memerlukan pelayanan informasi agar dapat mengakses
sumber-sumber yang dibutuhkan, misalnya informasi bursa kerja, lembaga-
lembaga pelayanan dan sebagainya
i. Undang-Undang dan kebijakan yang berkaitan dengan pelayanan terhadap
penyandang disabilitas dapat diaplikasikan sebagaimana mestinya. Untuk
mewujudkan itu, diperlukan kontrol dari pemerintah dan pemberian sanksi yang
tegas kepada pihak-pihak yang tidak melaksanakan dan mematuhinya. Penulis
merasa bahwa Undang-Undang harus disertai dengan sanksi bagi yang tidak
melaksanakannya
2. Harapan Perlindungan Sosial bagi Penyandang Disabilitas
a. Secara kuantitas dan kualitas sarana transportasi dan fasilitas publik lainnya belum
memihak kepada kepentingan penyandang disabilitas. oleh karena itu perlu di
tingkatkan agar menjamin keamanan dan keselamatan penyandang disabilitas.
b. Penyandang disabilitas membutuhkan adanya jaminan mendapatkan pekerjaan
yang layak dan bermartabat serta adanya jaminan kesehatan dan keselamatan dari
resiko pekerjaan yang dilakukannya.
c. Penyandang disabilitas miskin selayaknya mendapatkan prioritas jaminan
kesehatan dan jaminan lainnya dari pemerintah
d. Penyandang disabilitas yang terlibat dengan masalah hukum perlu mendapatkan
advokasi dari lembaga hukum secara cuma-cuma dalam menyelesaikan
perkaranya
e. Masyarakat perlu diberikan sosialisasi tentang penyandang disabilitas, agar pada
saat masyarakat berhadapan dengan mereka dapat mengenal dengan mudah dan
melakukan tindakan yang sewajarnya.
f. Perlu dipersiapkan panti jompo bagi penyandang disabilitas netra lanjut usia yang
terlantar

g. Pendidikan gratis perlu diberikan kepada penyandang disabilitas yang

Menggagas Alternatif Model


berusia sekolah.

Kebijakan Pembangunan
Kesejahteraan Sosial Bagi
Penyandang Disabilitas di Indonesia
A. INTRODUCTION
Pembangunan kesejahteraan sosial sangat diperlukan bagi masyarakat Indonesia
untuk mencapai taraf kesejahteraan sosial yang layak dan bermartabat. Sasaran
pembangunan kesejahteraan sosial adalah seluruh masyarkat dan bangsa
Indonesia termasuk warga masyarakat yang menyandang masalah kesejahteraan
sosial. Menurut Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kriteria
Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS), salah satu PPKS yang menjadi
sasaran pembangunan kesejahteraan sosial yaitu penyandang disabilitas.
Hal ini sesuai dengan pemaparan Suharto (2009:4) yang menyatakan bahwa ciri
utama pembangunan kesejahteraan sosial adalah komprehensif, dalam arti setiap
pelayanan sosial yang diberikan senantiasa menempatkan penerima pelayanan
sebagai manusia, baik dalam arti individu maupun kolektifitas, yang tidak terlepas
dari sistem lingkungan sosiokulturalnya. Sasaran pembangunan kesejahteraan
sosial adalah seluruh masyarakat dari berbagai golongan dan kelas sosial. Namun
prioritas utama pekerja sosial adalah kelompok yang kurang beruntung,
khususnya yang terkait dengan masalah kemiskinan. sasaran pembangunan
kesejahteraan sosial biasanya dikenal dengan nama Pemerlu Pelayanan
Kesejahteraan Sosial (PPKS).
Istilah untuk penyandang disabilitas baru muncul pada tahun 2013, sebelumnya
penyandang disabilitas disebut juga dengan penyandang cacat atau Tuna Daksa.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menjelaskan
bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik
dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Penyandang
disabilitas diklasifikasikan dalam disabilitas fisik, disabilitas mental, serta cacat
fisik dan mental (ganda). Kedisabilitasan menyebabkan seseorang mengalami
keterbatasan yang mempengaruhi aktifitas fisik, kepercayaan dan harga diri,
hubungan antar manusia dalam lingkungan sosialnya.
Masalah kedisabilitasan juga terkait dengan masalah sosial lainnya yang dihadapi
penyandang disabilitas, seperti ketelantaran, kemiskinan, ketidak berdayaan,
tindak kekerasan dan sebagainya. Kondisi seperti ini, apabila tidak mendapatkan
penanganan secara tepat dan menyeluruh, akan menyebabkan hak tumbuh
kembang dan kreatifitas penyandang cacat tidak dapat terpenuhi.
Menurut Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN) Kementrian Sosial RI Tahun
2011, jumlah penyandang disabilitas sebanyak 1.541.942 orang. Mereka perlu
memiliki sarana dan prasarana pelayanan sosial dan kesehatan serta pelayanan
lainnya termasuk aksesibilitas terhadap pelayanan umum yang dapat
mempermudah kehidupan penyandang disabilitas, dan lapangan kerja bagi
mereka.
Berbagai peraturan perundang-undangan di bidang kedisabilitasan telah telah
dikeluarkan oleh berbagai kementrian atau lembaga pemerintah yang terkait
dengan penanganan kedisabilitasan diberbagai bidang pelayanan antara lain
meliputi sosial, kesehatan pendidikan, ketenagakerjaan, keolahragaan dan
kemiskinan. Selain itu terdapat kebijakan pemerintah berkenaan dengan
aksesibilitas penyandang disabilitas pada sarana dan prasarana umum meliputi
aksesibilitas pada bangunan umum, jalan umum, pertamanan dan pemakaman
umum, serta angkutan umum (perkereta apian, pelayaran, penerbangan dan lalu
lintas angkutan jalan).
Pada kenyataannya, pelayanan kepada penyandang disabilitas baik yang
berpotensi maupun yang terlantar, masih sangat terbatas. Pelayanan penyandang
disabilitas yang dijalankan pemerintah di tingkat pusat, provinsi dan
kabupaten/kota, lebih berbasis institusi dengan memiliki berbagai keterbatasan
baik dari aspek jumlah sasaran pelayanan maupun fasilitas pelayanan yang
diberikan. Institusi-institusi pelayanan bagi disabilitas juga terbatas dan tidak
merata di setiap daerah.
Berdasarkan hal tersebut, upaya penanganan yang lebih serius, bersifat
multisektor dan dijalankan secara terkoordinir dan terintgrasi, sangat penting
untuk menjamin pemenuhan dan perlindungan kebutuhan dan hak para
penyandang disabilitas. Upaya penanganan ini dimaksudkan agar penyandang
disabilitas memperoleh perlindungan dan jaminan sosial yang lebih baik, sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan.

B. PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL (SUATU TEORI


APLIKATIF)
1. Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Tujuannya
Pembangunan kesejahteraan sosial adalah serangkaian aktifitas yang terencana
dan melembaga yang ditujukan untuk meningkatkan standar dan kualitas
kehidupan manusia (Suharto 2011:106). Sedangkan dalam Suharto (2009:4)
pembangunan kesejahteraan sosial adalah usaha yang terencana yang meliputi
berbagai bentuk intervensi sosial dan pelayanan sosial untuk memenuhi
kebutuhan manusia, mencegah dan mengatasi masalah sosial, serta memperkuat
institusi-institusi sosial. Selanjutnya Suharto menyatakan tujuan pembangunan
kesejahteraan sosial secara menyeluruh mencakup:
a. Peningkatan standar hidup, melalui seperangkat pelayanan dan jaminan sosial
segenap lapisan masyarakat, terutama kelompok-kelompok masyarakat yang
kurang beruntung dan rentan yang sangat memerlukan perlindungan sosial.
b. Peningkatan keberdayaan melalui penetapan sistem dan kelembagaan ekonomi,
sosial dan politik yang menjunjung harga diri dan martabat kemanusiaan.
Penyempernaan kebebasan melalui perluasan aksesibilitas dan pilihan-pilihan
kesempatan sesuai dengan aspirasi, kemampuan dan standar kemanusiaan.
2. Fokus Pembangunan Kesejahteraan Sosial
Meskipun pembangunan kesejahteraan sosial dirancang guna memenuhi
kebutuhan publik yang luas, target utamanya yaitu para Pemerlu Pelayanan
Kesejahteraan Sosial (PPKS), yakni mereka yang termasuk kelompok kurang
beruntung seperti orang miskin, anak jalanan dan sebagainya. Pemberdayaan
masyarakat, rehabilitas sosial, bantuan sosial, asuransi sosial, jejaring pengaman
sosial, dan penguatan kapasitas kelompok marjinal adalah beberapa contoh
program pembangunan kesejahteraan sosial.
Menurut Suharto (2009:9) pembangunan kesejahteraan sosial memfokuskan
kegiatannya pada tiga bidang, yaitu: pelayanan sosial (social services/provisions),
perlindungan sosial (social protection), dan pemberdayaan masyarakat
(community/social empowerment).

3. Isu-isu Pembangunan Kesejahteraan Sosial


Menurut Suharto (2009:16) beberapa isu pembangunan kesejahteraan di
Indonesia, yaitu:
a. Lemahnya Visi
Terdapat kesan kuat bahwa para politisi dan pembuat keputusan di Indonesia
masih belum memiliki visi pembangunan kesejahteraan sosial yang kuat. Hal ini
bisa disebabkan oleh berbagai hal.
Pertama, pandangan mengenai pentingnya pembangunan kesejahteraan sosial
sering terjegal oleh mainstream pemikiran ekonomi kapitalistik. Indikator-
indikator ekonomi makro seperti pertumbuhan GNP, investasi, dan perluasan
kesempatan kerja dijadikan parameter utama dan citra keberhasilan pembangunan.
Kondisi sejahtera kemudian direduksi menjadi sekedar kemakmuran ekonomi.
Kesejahteraan dianggap akan tercipta dengan sendirinya jika pertumbuhan
ekonomi dipacu setinggi mungkin.
Kedua, komitmen terhadap pembangunan seringkali masih bersifat jangka pendek
bedasrkan kalkulasi ekonomi sedehana. Kegiatan pembangunan hanya dilihat dari
seberapa besar kontribusinya terhadap APBN. Karena pembangunan
kesejahteraan sosial tidak dapat menghasilkan keuntungan ekonomi bagi negara
dalam waktu singkat, maka tidak mengherankan jika sebagian besar pengusaha
tidak mau mengurus masalah ini. Sayangnya pandangan ini telah masuk ke para
politisi dan pembuat keputusan di daerah.
Ketiga, PPKS yang menjadi sarana pembangunan kesejahteraan sosial adalah
kelompok masyarakat yang memiliki bargaining position yang rendah. Mereka
tidak memiliki sumber dan akses yang dapat menyuarakan aspirasi politiknya.
b. Program Strategis
Secara konseptual, parameter untuk menentukan strategisan pembangunan
kesejahteraan sosial dapat diringkas dalam akronim “FIT-V” yang merupakan
singkatan dari faktor, impact, trend, value.
1) Factor (faktor): apakah program pembangunan kesejahteraan sosial causally
accountable? Artinya apakah program pembangunan kesejahteraan sosial
merupakan faktor penentu yang mampu mengatasi masalah public yang
menyangkut orang banyak.
2) Impact (dampak): apakah program pembangunan kesejahteraan sosial socially and
economically profitable? Apakah program pembangunan kesejahteraan sosial
bermanfaat atau berdampak pada peningkatan kesejahteraan public.
3) Trend (kecenderungan): apakah program pembangunan kesejahteraan sosial
globally and nationally visible? Apakah program pembangunan kesejahteraan
sosial sejalan dengan kecenderungan global dan nasional
4) Value (nilai): apakah program pembangunan kesejahteraan sosial culturally
acceptable?. Apakah program pembangunan kesejahteraan sosial sesuai dengan
nilai-nilai dan harapan-harapan cultural yang berkembang pada masyarkat.
Bagan 2: Parameter Program
Pembangunan Kesejahteraan Sosial Strategis

C. MASALAH, KEBUTUHAN DAN HAK PENYANDANG DISABILITAS


Karakteristik dari ketiga jenis penyandang disabilitas sebagaimana yang telah
disampaikan sebelumnya sangat bervariasi, sehingga permasalahan dan kebutuhan
mereka pun berbeda pula sesuai dengan jenis kecacatannya. Dalam kapasitas
sebagai warga negara, mereka mempunyai hak-hak dan kesempatan yang
selayaknya warga negara lain yang tidak disabilitas.
1. Permasalahan Penyandang Disabilitas
Penyandang disabilitas mengalami berbagai permasalahan atau hambatan karena
faktor internal maupun eksternal. Permasalahan yang sering dialami oleh
penyandang disabilitas dapat dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu internal
dan eksternal. Permasalahan internal adalah masalah pribadi, menyangkut
masalah kelengkapan dan fungsi fisik, psikologis dan pendidikan.
Masalah fisik berkaitan dengan gangguan pada kemampuan mobilitas tertentu
dalam melaksanakan aktifitas harian. Beberapa diantaranya rentan terhadap
penyakit, keterbatasan kemampuan fisik karena kedisabilitasan, keterbatasan
aksesibilitas, keterbatasan orientasi dan mobilitas, dan Activity Dailing Living
(ADL). Masalah psikologis berkaitan dengan perasaan menyangkut martabat dan
harga diri penyandang disabilitas. Kedisabilitasan kerapkali menimbulkan
perasaan cemas, pesimistik, putus asa, temperamental, sensitive bahkan agresif.
Masalah pendidikan, keterbatasan dan ketidak mampuan mengakses berbagai
sumber pelayanan yang ada.
Penyandang disabilitas juga mengalami permasalahan dalam melaksanakan fungsi
sosialnya, antara lain keterbatasan aksesibilitas sosial dasar (pendidikan dan
kesehatan), keterbatasan mendapatkan pekerjaan, fasilitas penyandang disabilitas,
sarana dan prasarana yang kurang memadai bagi penyandang disabilitas.
Permasalahan sosial yang terkait dengan keberfungsian sosialnya apabila tidak
ditangani akan menghambat aktifitas sehari-hari, beberapa diantaranya adalah
gangguan fisik mobilitas, gangguan mental psikologis, gangguan pendidikan,
gangguan produktifitas, gangguan sosial ekonomi, dan gangguan fungsi sosial.
Selain bergelut dengan persoalan internal, penyandang disabilitas juga
mempunyai permasalahan yang bersifat eksternal baik di lingkungan keluarga,
tetangga, sejawat, dan masyarakat pada umumnya.
Permasalah yang kerap dialami oleh penyandang disabilitas yaitu:
a. Diskriminasi, eksploitasi, stigma/labeling. Kebijakan dan program yang tidak
berpihak bagi penyandang disabilitas, terbatasnya kesempatan, kemudahan,
pekerjaan dan jabatan bagi penyandang disabilitas, lingkungan fisik yang tidak
ramah bagi penyandang disabilitas, ketidaktahuan keluarga dan masyarakat dalam
memperlakukan penyandang disabilitas, stakeholder yang tidak berpihak bagi
penyandang disabilitas, dan keterbatasan aksesibilitas informasi tentang sumber
pelayanan bagi penyandang disabilitas.
b. Masalah keluarga terkait dengan sikap dan perlakuan orang tua atau anggota
keluarga lain. Keluarga cenderung over proactive terhadap anggota keluarga yang
cacat dalam bentuk tidak boleh bergaul, tidak disekolahkan bahkan perlakukan
diskriminatif disbanding anggota keluaga lainnya.
c. Masalah sosial kemasyarakat, terkait dengan ketidakmampuan penyandang
disabilitas dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya
serta masih adanya stigma dan handicap masyarkaat terhadap penyandang
disabilitas.
2. Kebutuhan Penyandang Disabilitas
Setiap jenis kedisabilitasan mempunyai karakteristik, permasalahan, dan
kebutuhan yang sama namun juga berbeda sesuai jenisnya.
a. Perlakuan khusus yang berkaitan dengan jenis kedisabilitasan
Setiap penyandang disabilitas mempunyai kebutuhan yang sama dan juga
berbeda. Persamaan kebutuhan mereka terletak pada kebutuhan fisik, psikologis,
sosial dan spiritual. Perbedaanya kebutuhan penyandang disabilitas sesuai dengan
karakteristik kedisabilitasannya masing-masing.
Kebutuhan penyandang disabilitas fisik berkaitan dengan fungsi motorik,
penyandang disabilitas netra berkaitan dengan keterbatasan fungsi penglihatan,
penyandang rungu wicara berkaitan dengan fungsi pendengaran dan bicara dan
sebagainya. Oleh sebab itu, perlakuan terhadap mereka harus disesuaikan dengan
jenis kedisabilitasan agar mereka mampu melaksanakan fungsi sosialnya serta
mengurangi ketergantungan terhadap orang lain.
b. Kebutuhan Pendidikan
Penyandang disabilitas juga mempunyai kebutuhan akan pendidikan formal
maupun informal dan nonformal agar dapat mengurangi ketergantungan terhadap
orang lain. Dalam bidang pendidikan, dikenal sistem pendidikan segregasi, yaitu
pendidikan khusus yang terpisah dari pendidikan anak normal.
Kemudian muncul konsep special education (PLB/Pendidikan Khusus) dan dalam
sistem pendidikan segregasi, anak penyandang disabilitas dilihat dari aspek
karakteristik kedisabilitasannya, sebagai dasar dalam memberikan layanan
pendidikan. Sehingga setiap kedisabilitasan harus diberikan layanan pendidikan
yang khusus yang berbeda dari kedisabilitasan lainnya (Sekolah Luar Biasa untuk
anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa).
c. Kebutuhan Ketenagakerjaan
Setiap penyandang disabilitas mempunyai kesempatan yang sama dalam
memperoleh pekerjaan selayaknya warga negara lainnya. Peraturan perundang-
undangan mengharuskan bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan 100
orang berkewajiban mempekerjakan satu orang penyandang disabilitas. Lapangan
pekerjaan menjadi permasalahan bagi mereka yang sudah lulus dari lembaga
pelayanan, maupun yang tidak masuk ke lembaga pelayanan.
d. Rehabilitasi
Pada seting lembaga, pelayanan ini didapatkan penyandang disabilitas yang
mengikuti program kegiatan lembaga pelayanan (menjadi klien, penerima
manfaat, benevisioris), sementara di masyarakat sudah ada Rehabilitas Berbasis
Masyarakat (RBM) meskipun masih dipertanyakan kejelasannya.
e. Bantuan Sosial
Bagi penyandang disabilitas potensial memerlukan bantuan ketrampilan,
permodalan, dan pengembangan usaha. Sedangkan bagi penyandang disabilitas
berat memerlukan bantuan kebutuhan pokok.
f. Aksesibilitas
Penyandang disabilitas membutuhkan sarana dan prasarana umum yang dapat
menunjang penyandang disabilitas sehari-harinya. penyandang disabilitas
memerlukan berbagai fasilitas publik dan fasilitas sosial kemudahan untuk
menjangkau dalam melakasanakan fungsi sosialnya.
g. Pemeliharaan kesejahteraan sosial (jaminan sosial)
Jaminan sosial penyandang disabilitas berat merupakan taraf kesejahteraan sosial
yang mempertahankan hidup penyandang disabilitas berat. ASODK (Asistensi
Sosial Orang Dengan Kedisabiltasan) merupakan salah satu program yang
dicanangkan pemerintah kepada penyandang disabilitas berat. Kepada mereka
diberikan uang tunai sebesar Rp. 300.000 setiap bulan bagi setiap penyandang
disabilitas berat. Meskipun demikian program ini masih dipertanyakan
kejelasannya. Perlu dicatat bahwa hanya sebagian kecil daerah yang
mengimplementasikan program ini. Sebagian besar tidak mendapatkannya,
bahkan tidak tahu menahu tentang program ini.
h. Kerjasama lintas sector dalam penanganan penyandang disabilitas
Penanganan kedisabilitasan tidak mutlak menjadi urusan beberapa kementrian
saja, namun kebijakan dan program di bidang kedisabilitasan harus diintegrasikan
ke dalam kebijakan dan program kementrian lainnya, sehingga permasalahan
kedisabilitasan dapat ditangani secara lintas sector dan komprehensif. Disisi yang
berbeda, pelayanan yang terfokus juga akan memberikan pelayanan yang lebih
efektif. Sehingga kementrian sosial yang patutnya memberikan pelayanan kepada
penyandang disabilitas saja.
i. Mobilitas dan teknologi adaptif bagi penyandang disabilitas sesuai dengan
kedisabilitasannya (pelayanan, alat bantu dan sarana prasarana)
Hal ini sejalan dengan pemikiran social models yang menurutnya bahwa
penyandang disabilitas dapat hidup mandiri dengan didukung berbagai teknologi
yang sesuai dengan jenis dan derajat kedisabilitasannya, sehingga aktifitas dan
mobilitas mereka tidak terganggu. Teknologi komputer bicara, hp bicara
merupakan teknologi salah satu yang membantu para penyandang disabilitas
netra.

3. Hak Penyandang Disabilitas


Penyandang disabilitas sebagaimana warga negara lainnya mempunyai kewajiban
dan juga hak yang sama dalam semua aspek kehidupan. Penyandang disabilitas
berhak untuk melaksanakan hak sipil, politik, sosial, ekonomi dan hak-hak budaya
atas dasar yang sama dengan orang lain. Diantara para penyandang disabilitas, ada
pada kelompok yang rentan menghadapi diskriminasi yang didasarkan pada
jender dank arena ketidakmampuan mereka atau penyandang disabilitas
mengalami diskriminasi berdasarkan prasangka masyarakat dan kebodohan.
Selain itu, penyandang disabilitas sering sekali tidak menikmati kesempatan yang
sama dengan orang lain karena kurangnya akses terhadap berbagai macam
pelayanan penting. Menurut Hukum Hak Asasi Internasional, penyandang
disabilitas mempunyai:
a. Hak kesetaraan di hadapan umum;
b. Hak untuk non-diskriminatif;
c. Hak untuk kesempatan yang sama;
d. Hak untuk hidup mandiri;
e. Hak untuk integrasi penuh;
f. Hak untuk jaminan (perlindungan sosial, bantuan sosial dan jaminan sosial).

D. KEBIJAKAN PENANGANAN PENYANDANG DISABILITAS


1. Perundang-undangan Penyandang Disabilitas di Berbagai Negara
Menelusuri berbagai perundang-undangan yang diberlakukan di berbagai negara
maju seperti di Inggris, Kanada, Singapura, Jepang, Pakistan dan Amerika Serikat
di dalamnya terkandung makna bahwa untuk memberdayakan penyandang
disabilitas perlu adanya aturan tersurat dan pelaksanaan secara konkrit bagi
penerima manfaat dari kebijakan. Dalam pelaksanaannya dari kebijakan tersebut
mengatur hak penyandang disabilitas. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada
tabel berikut:
Bagan 3:
Undang-Undang Kecacatan di Berbagai Negara
NEGARA UU KECACATAN KETERANGAN
Inggris  Disability Inggris memiliki UU yang
Discrimination Act pelaksanaan dan pengawasannya
1995 sangat serius. Ada kementrian
 Special Educational khusus yang menangani masalah
Needsand Disability penyandang disabilitas, Ministry of
Act 2001 Disable People. Bahkan di Kabinet
Tony Blair, terdapat seorang menteri
 Disability penyandang tunanetra David
Discrimination Act Blunkett, Menteri Urusan
2005 Perumahan dan Perkantoran
Kanada Meski mengacu pada DDA Inggris,
ODA juga dipengaruhi UU
penyandang disabilitas Prancis.
Selain lebih lengkap, juga ketat
dalam implementasi
Singapura Meski mengacu pada DDA Inggris,
ODA juga dipengaruhi UU
penyandang disabilitas Prancis.
Selain lebih lengkap, juga ketat
dalam implementasi
Jepang Tidak ada Undang-Undang khusus
karena UUD Jepang sudah
menjamin hak penyandang cacat. Di
Jepang pula, terdapat pantai pertama
yang aksesibel bagi Meski mengacu
pada DDA Inggris, ODA juga
dipengaruhi UU penyandang
disabilitas Prancis. Selain lebih
lengkap, juga ketat dalam
implementasi untuk sunbathing.
Pakistan National Policy for Meski tergolong baru, UU Pakistan
Persons With sanggup menampung aspirasi warga
Disability 2002 penyandang disabilitas terutama soal
aksesibilitas ke tempat ibadah.
Amerika American with Memasukan batasan kesehatan
Serikat Disabilites seperti HIV/AIDS, autis, drugs
abuse, parkinson sampai dyslexia,
phobia dan transsexuality sebagai
penyakit yang penderitanya masuk
dalam golongan penyandang
disabilitas. UU ini memicu
kontroversi karena implikasi yang
luas.
Australia Disability Mengacu pada DDA Inggris tapi
Discrimination Act dipengaruhi ADA Amerika. DDA
1992 Australia dikenal karena sangat rinci
mengatur hak penyandang
disabilitas.
Sumber:Buku Analisis Kebijakan Menko Kesra (2012:22)
2. Perundang-Undangan tentang Penyandang Disabilitas di Indonesia
Dalam upaya melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hak-hak
penyandang disabilitas, pemerintah Indonesia telah membentuk berbagai
peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap penyandang
disabilitas. Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
c. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
e. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
f. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
g. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
h. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional
i. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
j. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
k. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
l. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
m. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
n. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
o. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
p. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin
q. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The
Rights of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang
Disabilitas)
Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas, menguraikan berbagai hak
penyandang disabilitas dan kewajiban pemerintah untuk memberikan pelayanan,
perlindungan dan penegakan hak penyandang disabilitas.

E. PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG


DISABILITAS YANG TELAH DILAKSANAKAN
1. Pelayanan Yang Sudah Ada
Jumlah penyandang disabilitas cenderung mengalami peningkatan. Misalnya saja,
hasil data SUSENAS 2003, terdapat 1.478.667 penyandang disabilitas dan tahun
2004 menjadi 1.847.692 orang. Peningkatan jumlah ini berpengaruh terhadap
kompleksitas masalah yang dihadapi penyandang disabilitas, sehingga semakin
memerlukan pemberdayaan dan perlindungan sosial agar dapat melaksanakan
fungsi sosialnya dengan baik.
Beberapa pelayanan yang sudah ada baik yang sudah dilaksanakan oleh lembaga
yang khusus bergerak dalam kedisabilitasan, maupun lembaga lain yang
mengintegrasikan dalam kebijakan, program dan kegiatannya yang responsive
penyandang disabilitas, yaitu:
a. Deteksi Dini
Deteksi dini merupakan upaya-upaya untuk mengetahui ada tidaknya
kelainan/kerusakan fisik atau gangguan perkembangan mental atau perilaku anak
yang menyebabkan kedisabilitasan secara dini dengan menggunakan metode
perkembangan anak. Deteksi dini dilakukan terhadap berbagai kemungkinan
adanya gangguan pada tumbuh kembang anak.
b. Pendidikan
Dalam bidang pendidikan bagi penyandang disabilitas sudah dilakukan
pendidikan melalui jalur pendidikan luar biasa (Sekolah Luar Biasa/SLB) untuk
berbagai jenis kecacatan baik yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta.
Selain itu, terdapat pula pendidikan inklusi yaitu mengintegrasikan proses belajar
mengajar bagi penyandang disabilitas berbaur bersama siswa/mahasiswa yang
tidak disabilitas.
c. Kesehatan
Penyediaan tenaga medis dan paramedis bagi peningkatan kesehatan penyandang
disabilitas dianggap sudah memadai. Demikian pula fasilitas kesehatan berupa
klinik hingga rumah sakit pemerintah maupun swasta, tersedia dan dapat diakses
melalui berbagai kemudahan Jaminan Kesehatan Pemerintah (Jamkesmas,
Jamkesda) dan asuransi kesehatan lainnya.
d. Pelatihan Ketrampilan Kerja
Pada umumnya pelatihan kerja bagi penyandang disabilitas ini diintegrasikan ke
dalam pelayanan panti sosial. Beberapa diantaranya di PSBN (Panti Sosial Bina
Netra), diselenggarakan pelatihan pijat message dan siatsu, pelatihan anyaman,
music, dan sebagainya.
e. Pemberian Modal Usaha
Selepas penyandang disabilitas mengikuti pendidikan di lembaga-lembaga
pelayanan, mereka membuka jasa layanan misalnya massage dan jasa lainnya.
Mereka memerlukan dukungan pembinaan ketrampilan dan bantuan permodalan
dari pemerintah, perusahaan (CSR), maupun dari lembaga pemberi pinjaman
keuangan agar usaha mereka berkembanga dan dapat berkontribusi pada
kemandirian kehidupan mereka membuka.
f. Bantuan Alat dan Badan Usaha
Bagi penyandang disabilitas yang membuka usaha produksi dan layanan jasa,
pemerintah dan pihak perusahaan swasta memberikan bantuan peralatan dan
bahan baku produksi. Dikembangkan pula pola asuh bagi perusahaan BUMN atau
swasta bagi penyandang disabilitas.
g. Pembinaan Mental dan Spiritual
Hal ini dilakukan dip anti-panti sosial juga di lingkungan masyarakat agar mereka
mempunyai kualitas keimanan dan ketaqwaan.
2. Kendala dalam Pelayanan
Pelayanan dalam bidang kedisabilitasan ini mengalam berbagai kendala,
diantaranya:
a. Data tentang penyandang disabilitas belum valid. Kementrian sosial dan juga
lembaga lain menyantuni, memberdayakan, bantuan sosial; namun hal ini
tentunya tidak akan efektif jika tidak ada data yang valid mengenai penyandang
disabilitas. Permasalahan ini sudah menjadi hal yang tidak terbantahkan di
Indonesia. Banyak program yang tidak tepat sasaran. Orang miskin dan mengaku
bermasalah semakin banyak ketika bantuan, pelayanan ada. Pemerintah harus
segera mencari solusi dari permasalahan ini.
b. Keterbatasan lembaga-lembaga pelayanan baik dalam jumlah maupun
ketersediaan dalam setiap wilayah. Pendirian lembaga pelayanan bagi penyandag
disabilitas belum merata di seluruh wilayah tanah air. Hal ini tentunya
menimbulkan banyak permasalahan dan pertanyaan kepada pemberi pelayanan
(pemerintah) akan komitmen dalam memberikan pelayanan yang merata kepada
seluruh warga negara Indonesia. Kebijakan otonomi daerah juga turut
mempengaruhi kondisi ini, karena setiap daerah mempunyai arah pelaksanaan
operasional sesuai situasi, kondisi dan kemampuan daerah masing-masing.
Dengan otonomi daerah, pelayanan kepada PPKS di tingkat daerah tidak sinkron
dengan kebutuhan negara. Hal ini tentunya tidak bermasalah jika daerah yang
bersangkutan memang memiliki komitmen yang kuat dan pasti dalam
memberikan pelayanan yang baik kepada para penyandan disabilitas di daerahnya
masing-masing.
c. Sikronisasi atau keterpaduan pelayanan terhadap penyandang disabilitas dari
berbagai instansi terkait belum optimalnya, sehingga ada keterbatasan informasi
tentang data penyandang disabilitas yang telah mendapat pelayanan. Pemerintah
harus mencari formula agar pemberi pelayanan sosial dapat terpusat dan tidak
saling tumpang tindih sehingga pelayanan lebih terfokus dan efektif.
d. Keberhasilan dalam pencapaian tujuan pelayanan belum terukur. Pelaksanaan
pelayanan kedisabilitasan masih belum mempunyai parameter atau tolak ukur
yang terstandar, sehingga setiap pihak masih menggunakan parameter masing.
e. Keterbatasan anggaran bisa menjadi kendala dalam memberikan pelayanan yang
di inginkan bagi penyandang disabilitas. dukungan pendanaan terhadap berbagai
program dan pelayanan penyandang disabilitas belum optimal baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah.

F. HARAPAN PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL


PENYANDANG DISABILITAS KE DEPAN
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, penyandang disabilitas setiap
tahunnya mengalami pengingkatan yang signifikan. Tahun 2014 PUSDATIN
mendata bahwa jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sekitar 30 juta orang
dan akan terus meningkat. Penyandang disabilitas tidak hanya menghadapi
hambatan fisik tetapi juga sosial, hambatan ekonomi dan sikap. Hal ini diperparah
dengan keadaan para penyandang disabilitas yang sebagian besar mereka hidup
dibawah garis kemiskinan.
Keadaan demikian, haruslah mendapat perhatian dari berbagai pihak terlebih dari
pemerintah. Pemerintah harus memiliki komitmen dan ketulusan dalam
memberikan pelayanan kepada penyandang disabilitas. Peraturan perundang-
udangan yang dibuat haruslah dilaksanakan jangan hanya sebatas tulisan.
Pemerintah juga harus bisa memainkan fungsi pengawasan (controlling) dalam
pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang telah dibuat. Peraturan
perundang-undangan terhadap disabilitas bagusnya disertai dengan sanksi bagi
pihak-pihak yang tidak melaksanakannya.
Progaram-program yang dibuat juga harusnya dilaksanakan dengan sebaiknya-
baiknya. Pengawasan juga penting dalam upaya memberikan program yang tepat
sasaran dan efektif. Pemerataan perhatian pemerintah di seluruh daerah Indonesia
juga menjadi catatan penting bagi pemerintah Indonesia jika memang memiliki
komitmen dalam memberikan pelayanan yang berkesinambungan kepada para
panyandang disabilitas.
Kedepan, bangsa Indonesia akan diperhadapkan dengan masalah-masalah sosial
khususnya permasalahan disabilitas yang semakin banyak secara kuantitas dan
juga dengan permasalahan yang akan semakin kompleks. Pemerintah harus bisa
menjawab seluruh tantangan tersebut melalui kebijakan dan program yang sesuai
dengan tuntutan zaman. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melakukan
pembangunan kesejahteraan sosial bagi penyandang disabilitas, sehingga mereka
dapat hidup selayaknya.
Berdasarkan Bagan 1, bahwa pembangunan kesejahteraan sosial bagi penyandang
disabilitas dapat dilakukan dengan pelayanan sosial, pemberdayaan, dan
perlindungan sosial. Pembangunan kesejahteraan sosial bagi penyandang
disabilitas ini dapat dilakukan dengan 3 strategi yaitu pencegahan.
Selain itu, dari Bagan 2 juga terlihat bagaimana sebuah program yang dibuat
dalam menangani kedisabilitasan dapat strategis. Program yang dibuat dapat
memperhatikan value, tren, impact, dan factor. Dengan memperhatikan bagian
pembangunan kesejahteraan sosial ini, maka penulis yakin bahwa kebijakan
penanganan penyandang disabilitas efektif dan sesuai dengan kebutuhan
penyandang disabilitas.
1. Harapan akan kebijakan program pelayanan penyandang cacat kedepan
a. Pemerataan pelayanan bagi penyandang disabilitas di seluruh Indonesia
b. Kejelasan akan program yang dibuat (misalnya RBM dan ASODK) yang sepintas
hanya berlaku di beberapa daerah
c. Perlunya pelatihan ketrampilan bagi penyandang disabilitas terutama penyandang
disabilitas ringan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya sehingga
mampu berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
d. Melakukan kerjasama dengan badan usaha/perusahaan jasa, baik milik
pemerintah maupun swasta untuk penyaluran tenaga kerja penyandang disabilitas
sesuai dengan ketentuan yang berlaku
e. Bagi penyandang disabilitas yang memiliki kemampuan berusaha secara mandiri
(wirausaha) perlu dukungan modal sesuai dengan jenis dan skala usahanya, serta
dibekali dengan pelatihan ketrampilan berwirausaha
f. Penyandang disabilitas netra memerlukan perluasan lapangan pekerjaan selain pijat,
misalnya bidang broadcasting (penyiaran radio dan sejenisnya) atau bidang
pekerjaan lain sesuai kemampuannya
g. Pembinaan mental spiritual penyandang disabilitas secara periodik sangat
dibutuhkan oleh penyandang disabilitas
h. Penyandang disabilitas memerlukan pelayanan informasi agar dapat mengakses
sumber-sumber yang dibutuhkan, misalnya informasi bursa kerja, lembaga-
lembaga pelayanan dan sebagainya
i. Undang-Undang dan kebijakan yang berkaitan dengan pelayanan terhadap
penyandang disabilitas dapat diaplikasikan sebagaimana mestinya. Untuk
mewujudkan itu, diperlukan kontrol dari pemerintah dan pemberian sanksi yang
tegas kepada pihak-pihak yang tidak melaksanakan dan mematuhinya. Penulis
merasa bahwa Undang-Undang harus disertai dengan sanksi bagi yang tidak
melaksanakannya
2. Harapan Perlindungan Sosial bagi Penyandang Disabilitas
a. Secara kuantitas dan kualitas sarana transportasi dan fasilitas publik lainnya belum
memihak kepada kepentingan penyandang disabilitas. oleh karena itu perlu di
tingkatkan agar menjamin keamanan dan keselamatan penyandang disabilitas.
b. Penyandang disabilitas membutuhkan adanya jaminan mendapatkan pekerjaan
yang layak dan bermartabat serta adanya jaminan kesehatan dan keselamatan dari
resiko pekerjaan yang dilakukannya.
c. Penyandang disabilitas miskin selayaknya mendapatkan prioritas jaminan
kesehatan dan jaminan lainnya dari pemerintah
d. Penyandang disabilitas yang terlibat dengan masalah hukum perlu mendapatkan
advokasi dari lembaga hukum secara cuma-cuma dalam menyelesaikan
perkaranya
e. Masyarakat perlu diberikan sosialisasi tentang penyandang disabilitas, agar pada
saat masyarakat berhadapan dengan mereka dapat mengenal dengan mudah dan
melakukan tindakan yang sewajarnya.
f. Perlu dipersiapkan panti jompo bagi penyandang disabilitas netra lanjut usia yang
terlantar
g. Pendidikan gratis perlu diberikan kepada penyandang disabilitas yang berusia
sekolah.
Desember 31, 2015Artikel, PublicNo comments

Model Negara Kesejahteraan


Share This: Facebook Twitter Google+

Kesejahteraan Sosial

Dalam strategi pembangunan yang bertumpu pada mekanisme pasar, orang


miskin dan PMKS adalah kelompok yang sering tidak tersentuh. Kelompok
rentan ini, karena hambatan fisiknya (cacat), kulturalnya (suku terasing) maupun
strukturalnya (penganggur), tidak mampu merespon secepat perubahan sosial di
sekitarnya, yang kemudian dengan terpaksa harus terpinggirkan dalam proses
pembangunan yang tidak adil.

Ketidaksempurnaan mekanisme pasar ini merupakan salah satu hal yang


menjadi dasar tindakan negara-negara maju untuk berusaha mengurangi
kesenjangan yang ada dengan menerapkan konsep welfare state (negara
kesejahteraan).

Tiga kunci utama dalam memahami Negara Kesejahteraan

Intervensi yang dilakukan oleh negara

Menjamin kesejahteraan warganya

Kesejahteraan harus dikembangkan berdasarkan kebutuhan masyarakat.

Kesejahteraan adalah hak dari setiap warga negara.

Dalam konsep negara kesejahteraan, pemecahan masalah kesejahteraan sosial,


seperti kemiskinan, pengangguran, ketimpangan, dan terlantarnya masyarakat
tidak dilakukan melalui proyek-proyek sosial yang berjangka pendek. Melainkan
diatasi secara terpusat oleh program-program jaminan sosial, seperti pelayanan
sosial, rehabilitasi sosial, serta berbagai tunjangan pendidikan, kesehatan, hari
tua, dan pengangguran

Model Negara Kesejahteraan

Pertama, model universal yang dianut oleh negara-negara Skandinavia, seperti


Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Dalam model ini, pemerintah
menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga
dan merata. Anggaran negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60%
dari total belanja negara

Kedua, model institusional yang dianut oleh Jerman dan Austria. Seperti model
pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi
kontribusi terhadap berbagai jaminan sosial berasal dari tiga pihak, yaitu
pemerintah, dunia usaha, dan pekerja.

Ketiga, model residual yang dianut oleh AS, Inggris, Australia dan Selandia
Baru. Jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah,
seperti orang miskin, cacat dan penganggur. Pemerintah menyerahkan sebagian
perannya kepada organisasi sosial dan LSM melalui pemberian subsidi bagi
pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial “swasta”.

Keempat, model minimal yang dianut oleh negara-negara seperti Perancis, Spanyol,
Yunani, Portugis, Itali, Chile, Brazil dan negara-negara Asia seperti Korea Selatan,
Filipina, Srilanka. Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10
persen dari total pengeluaran negara. Jaminan sosial dari pemerintah diberikan secara
temporer dan minimal yang umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri dan
swasta.

Related Posts:

 We Used to Change Bukan masa depan yang menentukan kita, tapi


kita yang menentukan masa depan… Pernahkah kita mendengarkan kata-kata
yang bersangkutan seperti di atas… Read More
 Plan, Plant, Plane Mungkin kamu bisa ikuti beberapa tips buat
nentuin masa depan kamu di bawah ini nih,,,, Spirit! Di mana spirit kita? Yup,
buat saya, spirit harus… Read More

 Contoh Dilema, Paradox, dan Skizofrenia Dilema: ..terkait dengan


Pasal 103 yang berbunyi petani yang mengalihfungsikan lahan pertanian
menjadi lahan non-pertanian sebagaimana dimaksud … Read More

 Berapa banyak wawancara kualitatif cukup? Berapa banyak


wawancara kualitatif cukup? Jawabannya adalah bahwa tidak ada aturan
praktis. Dalam pekerjaan saya sendiri jumlah kasus Saya telah mem… Read More

 Difference of Positivism, Interpretative Social Science and Critical


Social Science Positivism Interpretative Social Science Critical Social Science 1.
Reason for research To discover natural laws … Read More
1. Model Kesejahteraan Tingkat Tinggi (Dunn, 1977), berorientasi ada cara
memaksimalkan potensi sehat pada individu melalui perubahan
perilaku.
2. Model seht – sakit, sehat dalam suatu rentang kesejahteraan klien pada
waktu tertentu, yang terdapat dalam rentang dan kondisi sejahtera yang
optimal dengan energy yang paling maksimum, sampai kondisi kematian
yang menandakan habisnya energy total (Neumann, 1990)

3.

Model Agen-Penjamu-Lingkungan (Leave, et all), sehat dan sakit


individutau kelompok ditentukan oleh hubungan dinamis antara agen
penjamu dan lingkungan
Pimpinan Lembaga Pelangi Indonesia, Yeni Triwahyuningsih berhasil meraih
gelar doktor dari UGM usai menjalani ujian terbuka program doktor Ilmu
Psikologi di Fakultas Psikologi UGM, Jum’at (29/12).

Yeni dinyatakan lulus usai mempertahankan disertasi berjudul Model


Kesejahteraan Subjektif Pada Ibu Bekerja Yang memiliki Anak Usia Prasekolah.

Penelitian tersebut didasarkan pada minimnya penelitian terkait kesejahteraan ibu


bekerja yang memiliki anak usia prasekolah. Sebagian besar penelitian yang ada
mengacu pada konsep dan aspek kesejahteraan subjektif yang berasal dari negara-
negara Barat.

“Masih sedikit konsep kesejahteraan dan aspek-aspek kesejahteraan subjektif


yang dieksplorasi dari negara Timur, termasuk Indonesia,” jelasnya.

Menurutnya, konsep kesejahteraan subjektif dari negara Barat maupun Timur


sangat dipengaruhi latar belakang budaya masing-masing. Budaya Barat yang
individualistik akan berbeda dengan budaya Timur yang kolektivistik sehingga
akan berdampak pada konsep kesejahteraan subjektif.

Melalui penelitian yang dilakukan pada ibu bekerja dengan anak usia prasekolah
di Kabupaten Sleman, DIY diharapkan dapat memberikan gambaran model
kesejahteraan subjektif yang memiliki anak usia prasekolah di Indonesia.
Hasilnya, diketahui model kesejahteraan subjektif secara langsung dipenagruhi
optimisme, harga diri (self esteem) dan dukungan sosial orang tua.

“Self esteem memiliki pengaruh terbesar pada kesejahteraan subjektif,”


ungkapnya.

Temuan lain menunjukkan bahwa optimisme berpengaruh terhadap kesejahteraan


subjektif. Selain itu juga, optimisme juga berfungsi sebagai mediator rasa syukur
terhadap kesejahteraan subjektif. (Humas UGM/Ika)

Model Peningkatan Kesejahteraan Pendidik dan Tenaga Kependidikan PAUDNI (Model


Hipotetik yang Direkomendasikan) Oleh Ade Kusmiadi, Pusat Pengembangan PAUDNI
Regional 2 di Semarang. Disampaikan pada Forum Ilmiah PTK PAUDNI Bekasi 11 s.d.13
Juli 2012
SARANA

PS

PELAYANAN

Anda mungkin juga menyukai