Langkah ke 1
Langkah ke 2
Penjelasan :
Langkah ke 3
Langkah ke 4
Langkah ke 5
Langkah ke 6
A. INTRODUCTION
Pembangunan kesejahteraan sosial sangat diperlukan bagi masyarakat Indonesia
untuk mencapai taraf kesejahteraan sosial yang layak dan bermartabat. Sasaran
pembangunan kesejahteraan sosial adalah seluruh masyarkat dan bangsa
Indonesia termasuk warga masyarakat yang menyandang masalah kesejahteraan
sosial. Menurut Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kriteria
Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS), salah satu PPKS yang menjadi
sasaran pembangunan kesejahteraan sosial yaitu penyandang disabilitas.
Hal ini sesuai dengan pemaparan Suharto (2009:4) yang menyatakan bahwa ciri
utama pembangunan kesejahteraan sosial adalah komprehensif, dalam arti setiap
pelayanan sosial yang diberikan senantiasa menempatkan penerima pelayanan
sebagai manusia, baik dalam arti individu maupun kolektifitas, yang tidak terlepas
dari sistem lingkungan sosiokulturalnya. Sasaran pembangunan kesejahteraan
sosial adalah seluruh masyarakat dari berbagai golongan dan kelas sosial. Namun
prioritas utama pekerja sosial adalah kelompok yang kurang beruntung,
khususnya yang terkait dengan masalah kemiskinan. sasaran pembangunan
kesejahteraan sosial biasanya dikenal dengan nama Pemerlu Pelayanan
Kesejahteraan Sosial (PPKS).
Istilah untuk penyandang disabilitas baru muncul pada tahun 2013, sebelumnya
penyandang disabilitas disebut juga dengan penyandang cacat atau Tuna Daksa.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menjelaskan
bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik
dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Penyandang
disabilitas diklasifikasikan dalam disabilitas fisik, disabilitas mental, serta cacat
fisik dan mental (ganda). Kedisabilitasan menyebabkan seseorang mengalami
keterbatasan yang mempengaruhi aktifitas fisik, kepercayaan dan harga diri,
hubungan antar manusia dalam lingkungan sosialnya.
Masalah kedisabilitasan juga terkait dengan masalah sosial lainnya yang dihadapi
penyandang disabilitas, seperti ketelantaran, kemiskinan, ketidak berdayaan,
tindak kekerasan dan sebagainya. Kondisi seperti ini, apabila tidak mendapatkan
penanganan secara tepat dan menyeluruh, akan menyebabkan hak tumbuh
kembang dan kreatifitas penyandang cacat tidak dapat terpenuhi.
Menurut Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN) Kementrian Sosial RI Tahun
2011, jumlah penyandang disabilitas sebanyak 1.541.942 orang. Mereka perlu
memiliki sarana dan prasarana pelayanan sosial dan kesehatan serta pelayanan
lainnya termasuk aksesibilitas terhadap pelayanan umum yang dapat
mempermudah kehidupan penyandang disabilitas, dan lapangan kerja bagi
mereka.
Berbagai peraturan perundang-undangan di bidang kedisabilitasan telah telah
dikeluarkan oleh berbagai kementrian atau lembaga pemerintah yang terkait
dengan penanganan kedisabilitasan diberbagai bidang pelayanan antara lain
meliputi sosial, kesehatan pendidikan, ketenagakerjaan, keolahragaan dan
kemiskinan. Selain itu terdapat kebijakan pemerintah berkenaan dengan
aksesibilitas penyandang disabilitas pada sarana dan prasarana umum meliputi
aksesibilitas pada bangunan umum, jalan umum, pertamanan dan pemakaman
umum, serta angkutan umum (perkereta apian, pelayaran, penerbangan dan lalu
lintas angkutan jalan).
Pada kenyataannya, pelayanan kepada penyandang disabilitas baik yang
berpotensi maupun yang terlantar, masih sangat terbatas. Pelayanan penyandang
disabilitas yang dijalankan pemerintah di tingkat pusat, provinsi dan
kabupaten/kota, lebih berbasis institusi dengan memiliki berbagai keterbatasan
baik dari aspek jumlah sasaran pelayanan maupun fasilitas pelayanan yang
diberikan. Institusi-institusi pelayanan bagi disabilitas juga terbatas dan tidak
merata di setiap daerah.
Berdasarkan hal tersebut, upaya penanganan yang lebih serius, bersifat
multisektor dan dijalankan secara terkoordinir dan terintgrasi, sangat penting
untuk menjamin pemenuhan dan perlindungan kebutuhan dan hak para
penyandang disabilitas. Upaya penanganan ini dimaksudkan agar penyandang
disabilitas memperoleh perlindungan dan jaminan sosial yang lebih baik, sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
A. INTRODUCTION
Pembangunan kesejahteraan sosial sangat diperlukan bagi masyarakat Indonesia
untuk mencapai taraf kesejahteraan sosial yang layak dan bermartabat. Sasaran
pembangunan kesejahteraan sosial adalah seluruh masyarkat dan bangsa
Indonesia termasuk warga masyarakat yang menyandang masalah kesejahteraan
sosial. Menurut Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kriteria
Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS), salah satu PPKS yang menjadi
sasaran pembangunan kesejahteraan sosial yaitu penyandang disabilitas.
Hal ini sesuai dengan pemaparan Suharto (2009:4) yang menyatakan bahwa ciri
utama pembangunan kesejahteraan sosial adalah komprehensif, dalam arti setiap
pelayanan sosial yang diberikan senantiasa menempatkan penerima pelayanan
sebagai manusia, baik dalam arti individu maupun kolektifitas, yang tidak terlepas
dari sistem lingkungan sosiokulturalnya. Sasaran pembangunan kesejahteraan
sosial adalah seluruh masyarakat dari berbagai golongan dan kelas sosial. Namun
prioritas utama pekerja sosial adalah kelompok yang kurang beruntung,
khususnya yang terkait dengan masalah kemiskinan. sasaran pembangunan
kesejahteraan sosial biasanya dikenal dengan nama Pemerlu Pelayanan
Kesejahteraan Sosial (PPKS).
Istilah untuk penyandang disabilitas baru muncul pada tahun 2013, sebelumnya
penyandang disabilitas disebut juga dengan penyandang cacat atau Tuna Daksa.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menjelaskan
bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik
dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Penyandang
disabilitas diklasifikasikan dalam disabilitas fisik, disabilitas mental, serta cacat
fisik dan mental (ganda). Kedisabilitasan menyebabkan seseorang mengalami
keterbatasan yang mempengaruhi aktifitas fisik, kepercayaan dan harga diri,
hubungan antar manusia dalam lingkungan sosialnya.
Masalah kedisabilitasan juga terkait dengan masalah sosial lainnya yang dihadapi
penyandang disabilitas, seperti ketelantaran, kemiskinan, ketidak berdayaan,
tindak kekerasan dan sebagainya. Kondisi seperti ini, apabila tidak mendapatkan
penanganan secara tepat dan menyeluruh, akan menyebabkan hak tumbuh
kembang dan kreatifitas penyandang cacat tidak dapat terpenuhi.
Menurut Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN) Kementrian Sosial RI Tahun
2011, jumlah penyandang disabilitas sebanyak 1.541.942 orang. Mereka perlu
memiliki sarana dan prasarana pelayanan sosial dan kesehatan serta pelayanan
lainnya termasuk aksesibilitas terhadap pelayanan umum yang dapat
mempermudah kehidupan penyandang disabilitas, dan lapangan kerja bagi
mereka.
Berbagai peraturan perundang-undangan di bidang kedisabilitasan telah telah
dikeluarkan oleh berbagai kementrian atau lembaga pemerintah yang terkait
dengan penanganan kedisabilitasan diberbagai bidang pelayanan antara lain
meliputi sosial, kesehatan pendidikan, ketenagakerjaan, keolahragaan dan
kemiskinan. Selain itu terdapat kebijakan pemerintah berkenaan dengan
aksesibilitas penyandang disabilitas pada sarana dan prasarana umum meliputi
aksesibilitas pada bangunan umum, jalan umum, pertamanan dan pemakaman
umum, serta angkutan umum (perkereta apian, pelayaran, penerbangan dan lalu
lintas angkutan jalan).
Pada kenyataannya, pelayanan kepada penyandang disabilitas baik yang
berpotensi maupun yang terlantar, masih sangat terbatas. Pelayanan penyandang
disabilitas yang dijalankan pemerintah di tingkat pusat, provinsi dan
kabupaten/kota, lebih berbasis institusi dengan memiliki berbagai keterbatasan
baik dari aspek jumlah sasaran pelayanan maupun fasilitas pelayanan yang
diberikan. Institusi-institusi pelayanan bagi disabilitas juga terbatas dan tidak
merata di setiap daerah.
Berdasarkan hal tersebut, upaya penanganan yang lebih serius, bersifat
multisektor dan dijalankan secara terkoordinir dan terintgrasi, sangat penting
untuk menjamin pemenuhan dan perlindungan kebutuhan dan hak para
penyandang disabilitas. Upaya penanganan ini dimaksudkan agar penyandang
disabilitas memperoleh perlindungan dan jaminan sosial yang lebih baik, sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
Kebijakan Pembangunan
Kesejahteraan Sosial Bagi
Penyandang Disabilitas di Indonesia
A. INTRODUCTION
Pembangunan kesejahteraan sosial sangat diperlukan bagi masyarakat Indonesia
untuk mencapai taraf kesejahteraan sosial yang layak dan bermartabat. Sasaran
pembangunan kesejahteraan sosial adalah seluruh masyarkat dan bangsa
Indonesia termasuk warga masyarakat yang menyandang masalah kesejahteraan
sosial. Menurut Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kriteria
Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS), salah satu PPKS yang menjadi
sasaran pembangunan kesejahteraan sosial yaitu penyandang disabilitas.
Hal ini sesuai dengan pemaparan Suharto (2009:4) yang menyatakan bahwa ciri
utama pembangunan kesejahteraan sosial adalah komprehensif, dalam arti setiap
pelayanan sosial yang diberikan senantiasa menempatkan penerima pelayanan
sebagai manusia, baik dalam arti individu maupun kolektifitas, yang tidak terlepas
dari sistem lingkungan sosiokulturalnya. Sasaran pembangunan kesejahteraan
sosial adalah seluruh masyarakat dari berbagai golongan dan kelas sosial. Namun
prioritas utama pekerja sosial adalah kelompok yang kurang beruntung,
khususnya yang terkait dengan masalah kemiskinan. sasaran pembangunan
kesejahteraan sosial biasanya dikenal dengan nama Pemerlu Pelayanan
Kesejahteraan Sosial (PPKS).
Istilah untuk penyandang disabilitas baru muncul pada tahun 2013, sebelumnya
penyandang disabilitas disebut juga dengan penyandang cacat atau Tuna Daksa.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menjelaskan
bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik
dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Penyandang
disabilitas diklasifikasikan dalam disabilitas fisik, disabilitas mental, serta cacat
fisik dan mental (ganda). Kedisabilitasan menyebabkan seseorang mengalami
keterbatasan yang mempengaruhi aktifitas fisik, kepercayaan dan harga diri,
hubungan antar manusia dalam lingkungan sosialnya.
Masalah kedisabilitasan juga terkait dengan masalah sosial lainnya yang dihadapi
penyandang disabilitas, seperti ketelantaran, kemiskinan, ketidak berdayaan,
tindak kekerasan dan sebagainya. Kondisi seperti ini, apabila tidak mendapatkan
penanganan secara tepat dan menyeluruh, akan menyebabkan hak tumbuh
kembang dan kreatifitas penyandang cacat tidak dapat terpenuhi.
Menurut Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN) Kementrian Sosial RI Tahun
2011, jumlah penyandang disabilitas sebanyak 1.541.942 orang. Mereka perlu
memiliki sarana dan prasarana pelayanan sosial dan kesehatan serta pelayanan
lainnya termasuk aksesibilitas terhadap pelayanan umum yang dapat
mempermudah kehidupan penyandang disabilitas, dan lapangan kerja bagi
mereka.
Berbagai peraturan perundang-undangan di bidang kedisabilitasan telah telah
dikeluarkan oleh berbagai kementrian atau lembaga pemerintah yang terkait
dengan penanganan kedisabilitasan diberbagai bidang pelayanan antara lain
meliputi sosial, kesehatan pendidikan, ketenagakerjaan, keolahragaan dan
kemiskinan. Selain itu terdapat kebijakan pemerintah berkenaan dengan
aksesibilitas penyandang disabilitas pada sarana dan prasarana umum meliputi
aksesibilitas pada bangunan umum, jalan umum, pertamanan dan pemakaman
umum, serta angkutan umum (perkereta apian, pelayaran, penerbangan dan lalu
lintas angkutan jalan).
Pada kenyataannya, pelayanan kepada penyandang disabilitas baik yang
berpotensi maupun yang terlantar, masih sangat terbatas. Pelayanan penyandang
disabilitas yang dijalankan pemerintah di tingkat pusat, provinsi dan
kabupaten/kota, lebih berbasis institusi dengan memiliki berbagai keterbatasan
baik dari aspek jumlah sasaran pelayanan maupun fasilitas pelayanan yang
diberikan. Institusi-institusi pelayanan bagi disabilitas juga terbatas dan tidak
merata di setiap daerah.
Berdasarkan hal tersebut, upaya penanganan yang lebih serius, bersifat
multisektor dan dijalankan secara terkoordinir dan terintgrasi, sangat penting
untuk menjamin pemenuhan dan perlindungan kebutuhan dan hak para
penyandang disabilitas. Upaya penanganan ini dimaksudkan agar penyandang
disabilitas memperoleh perlindungan dan jaminan sosial yang lebih baik, sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
Kesejahteraan Sosial
Kedua, model institusional yang dianut oleh Jerman dan Austria. Seperti model
pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi
kontribusi terhadap berbagai jaminan sosial berasal dari tiga pihak, yaitu
pemerintah, dunia usaha, dan pekerja.
Ketiga, model residual yang dianut oleh AS, Inggris, Australia dan Selandia
Baru. Jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah,
seperti orang miskin, cacat dan penganggur. Pemerintah menyerahkan sebagian
perannya kepada organisasi sosial dan LSM melalui pemberian subsidi bagi
pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial “swasta”.
Keempat, model minimal yang dianut oleh negara-negara seperti Perancis, Spanyol,
Yunani, Portugis, Itali, Chile, Brazil dan negara-negara Asia seperti Korea Selatan,
Filipina, Srilanka. Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10
persen dari total pengeluaran negara. Jaminan sosial dari pemerintah diberikan secara
temporer dan minimal yang umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri dan
swasta.
Related Posts:
3.
Melalui penelitian yang dilakukan pada ibu bekerja dengan anak usia prasekolah
di Kabupaten Sleman, DIY diharapkan dapat memberikan gambaran model
kesejahteraan subjektif yang memiliki anak usia prasekolah di Indonesia.
Hasilnya, diketahui model kesejahteraan subjektif secara langsung dipenagruhi
optimisme, harga diri (self esteem) dan dukungan sosial orang tua.
PS
PELAYANAN