Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak bebas gizi buruk termasuk komitmen Bersama dunia, termasuk


Indonesia. Komitmen dunia Internasional, tertuang dalam Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (Sustanaible Development Goals) butir kedua yang menegaskan
pentingnya “Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan perbaikan gizi
serta menggalakkan pertanian yang berkelanjutan”. Ditingkat nasional hal ini sejalan
dengan, nawacita dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Untuk
mencapai hal tersebut , penanggulangan masalah kekurangan gizi , termasuk gizi
buruk perlu ditindak lanjuti. Balita dengan gizi buruk mempunyai dampak jangka
pendek dan panjang, berupa gangguan tumbuh kembang, termasuk gangguan fungsi
kognitif, kesakitan, penyakit degenaratif dikemudian hari, bahkan kematian.
Wilayah dengan stunting tertinggi berada di kawasan tengah dan timur
Indonesia seperti Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua. Studi Status Gizi
Indonesia (SSGI) di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota pada 153.228 balita, angka
stunting secara nasional mengalami penurunan sebesar 1,6 persen per tahun dari 27,7
persen tahun 2019 menjadi 24,4 persen tahun 2021. Hanya 5 provinsi yang
menunjukkan kenaikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa implementasi dari
kebijakan pemerintah mendorong percepatan penurunan stunting di Indonesia telah
memberi hasil yang cukup baik. Saat ini, prevalensi stunting di Indonesia lebih baik
dibandingkan Myanmar (35%), tetapi masih lebih tinggi dari Vietnam (23%),
Malaysia (17%), Thailand (16%) dan Singapura (4%)
Upaya pengelolaan gizi buruk terintegrasi perlu diperluas untuk
meningkatkan cakupan dan kualitas layanan penanganan balita dengan gizi buruk di
Indonesia. Rumah Sakit sebagai salah satu pelayanan Kesehatan menjadi rujukan
penanganan balita gizi buruk.oleh karena itu Rumah Sakit Kristen Lende Moripa
Menyusun Pedoman Pencegahan dan Tatalaksana Gizi Buruk Pada Balita.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tersedianya Pedoman Pencegahan dan Tatalaksana Gizi Buruk pada Balita
dalam rangka menurunkan privalensi gizi buruk.
2. Tujuan Khusus
a. Tersedianya informasi tentang factor penyebab dan dampak gizi buruk
pada balita oleh keluarga, masyarakat, dan pemegang kepentingan
b. Tersedianya pedoman yang mengandung unsur pencegahan, deteksi
dini, tata laksana dan rehabilitasi gizi buruk pada balita melalui rawat
jalan dan rawat inap dengan melibatkan peran serta keluarga, dan
masyarakat.
c. Tersedianya acuan tentang factor pendukung, termasuk obat-obatan
dalam tatalaksana gizi buruk pada balita dalam pencegahan, diagnosis,
pengobatan, dan rehabilitasi.
d. Tersedianya acuan pengelolaan upaya pernanggulangan gizi buruk
pada balita yang komprehensif dan integratif sejak proses
perencanaan, pelaksanaan dengan kerja sama lintas program/sector
dan keterlibatan keluarga/masyarakat serta pemantauannya.

C. Ruang Lingkup Pelayanan


1. Standar asuhan medis yang diberikan untuk pasien stunting dan wasting
2. Standar asuhan keperawatan dan gizi yanf diberikan untuk pasien stunting
3. Pelayanan pada pasien bayi usia 6 bulan dengan gizi buruk dengan/tanpa
komplikasi dan balita 6-59 bulan dengan komplikasi
4. Sumber daya manusia dan pengembangan staf yang terdiri dari dokter
spesialos anak, perawat, ahli gizi dan apoteker.
5. Fasilitas dan sarana prasarana berupa alat antropometri (untuk mengukur
berat badan dan tinggi/panjang badan) dan form pemantauan balita dengan
stunting/wasting.

D. Batasan Operasional
Dibawah ini defenisi operasional dari sejumlah istilah yang digunakan dalam
pedoman ini.
1. Drop Out : istilah yang digunakan untuk balita gizi kurang/buruk yang tidak
melanjutkan rawat jalan/pengobatan yang ditandai dengan absen 2 kali berturut-turut.
2. Edema : pembengkakan yang disebabkan oleh penimbunan cairan tubuh dibawah
kulit akibat kekurangan protein, yang biasanya terjadi pada punggung kaki(edema
minimal), punggung tangan dan bila berat ditemukan diseluruh badan.
3. F-75 :formula makanan cair terbuat dari susu, gula, minyak dan mineral fix yang
mengandung 75 kkal(kilo kalori)/100 ml, diberikan pada balita gizi buruk pada awal
rawat inap.
4. F-100 :formula makanan cair terbuat dari susu, gula, minyak dan mineral fix yang
mengandung 100 kkal(kilo kalori)/100 ml, diberikan pada balita gizi buruk.
5. Gizi buruk :keadan gizi balita yang ditandai dengan salah satu atau lebih tanda dibah
ini:
a. Edema, minimal pada punggung kaki
b. BB/PB atau BB/TB kurang dari 3 standar deviasi
c. Lingkar lengan atas(LILA) < 11,5 cm pada balita usia 6-59 bulan
6. Gizi kurang : keadan gizi balita yang oleh sa lah satu atau lebih tanda berikut:
a. BB/TB berada di -3 sampai kurang dari -2 standar devisiasi
b. Lingkar lengan atas(LILA) < 12,5 cm sampai 11,5 cm pada balita usia 6-59
bulan
7. Kejadian luar biasa gizi buruk: peningkatan kejadian gizi buruk dalam kurun waktu
tertentu dua kali atau lebih bila dibandingkan periode sebelumnya
8. LILA ; digunakan ebagai indicator untuk gizi buruk, diperoleh dengan cara
mengukur lingkar lengan atas
9. MTBM : Manajemen Terpadu bayi Muda(0-2 bulan), merupakan bagian dari MTBS,
suatu pendekatan terpadu dalam tatalaksana bayi muda sehat dan sakit
10. MTBS : Manajemen Terpadu Balita sakit, yaitu pendekatan terpadu dalam
tatalaksana balita sakit di fasilitas Kesehatan tingkat pelayanan dasar terhadap
penyakit pneumonia, diare, campak, malaria, infeksi telinga, malnutrisi, dan upaya
promotive dan preventif( imunisasi, pemberian vitamin A, dan konseling pemberian
makan)yang bertujuan menurunkan angka kematian dan kesakitan bayi dan balita.
11. Pelacakan bayi kurang gizi : kegiatan penelusuran factor resiko kasus kekurangan
gizi pada balita disuatu wilayah, dan penemuan kasus lainnya diwilayah tersebut.
12. Pendampingan balita gizi kurang/buruk : kegiatan penyuluhan/konseling melalui
kunjungan rumah oleh kader terlatih/petugas gizi kepada keluarga yang mempunyai
balita gizi kurang/buruk.
13. Prevelensi balita gizi buruk : presentase balita dengan gizi buruk terhadap seluruh
balita di suatu wilayah dalam periode waktu tertentu
14. RUFT (Ready to Use theurapeutic Food) : pangan untuk keperluan medis khusus
berupa makanan padat gizi yang diperkaya dengan zat gizi mikro untuk terapi balita
gizi buruk sesuai standar WHO
15. TPG (Tenaga Pelaksana Gizi) : setiap orang yang memberikan pelayanan gizi berupa
upaya untuk memperbaiki atau meningkatkan makanan, dietetic masyarakat,
kelompok atau klien merupakan suatu rangkaian kegiatan meliputi: pengumpulan,
pengelolaan, analisis, simpulan, anjuran, implementasi, dan evaluasi gizi, makanan
dan dietic dalam rangka mencapai status Kesehatan optimal dalam kondisi sehat atau
sakit
16. TFC (Terapeutic Feeding Care : tempat pemulihan/rehabilitasi gizi, untuk
memperbaiki status gizi balita melalui pemberian makanan khusus padat gizi selama
periode waktu tertentu.
E. Landasan Hukum
1. Undang-Undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
2. Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2021tentang Percepatan Penurunan Stunting
3. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 78 tahun 2013 tentang………………….
4. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 29 tahun 2019 tentang Penanggulangan Msalah
Gizi Bagi Anak Akibat Penyakit.
5. Peraturan Menteri Kesehatan nomor nomor 2 tahun 2022 tentang Standar
Antropometri Anak
6. Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
7. Undang-Undang nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
8. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 41 tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang
9. Peraturan Menteri Kesehatannomor 43 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Minimal Bidang Kesehatan Kabupaten/Kota
10. Peraturan Kepala BPOM nomor 1 tahun 2018 tentang Pengawasan Pangan untuk
Keperluan Gizi Buruk
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. Kualifikasi Sumber Daya Manusia


Di Rumah Sakit Kristen Lende Moripa, balita dengan gizi buruk dirawat pada
bangsal Anak dirawat oleh dokter spesialis anak juga oleh beberapa tenaga
professional seperti bidan, perawat, ahli gizi dan apoteker.
Berdasarkan buku Pedoman Penyelenggaraan Program Penurunan Prevalensi
Stunting dan Prevalensi Wasting , maka standar tenaga di Rumah Sakit Kristen
Lende Moripa dijabarkan sebagai berikut.

KUALIFIKASI
NAMA JABATAN
FORMAL NON FORMAL

Staf Medis dokter spesialis anak, dokter Pelatihan Penanganan Pencegahan


Stunting
umum

Staf Keperawatan Perawat dan bidan Pelatihan Penanganan Pencegahan


Stunting

Staf Instalasi Farmasi Apoteker, Asisten Apoteker Pelatihan Penanganan Pencegahan


Stunting

Staf Instalasi Gizi Ahli Gizi Pelatihan Penanganan Pencegahan


Stunting

B. Distribusi Ketenagaan
Organisasi pelaksana program terdiri dari tenaga kesehatan yang kompeten dari
unsur staf medis, staf keperawatan, instalasi farmasi, dan instalasi gizi yang mana
program ini dipimpin oleh dokter spesialis anak. Untuk menjamin dilaksanakannya
pelayanan yang telah ditentukan, dapat dijabarkan sebagai berikut:
PROFESI TUGAS
Dokter spesialis anak Bertanggung jawab dalam pelayanan gizi, menentukan diet
awal pasien, menentukan diet definitive Bersama ahli gizi,
merujuk pasien yang membutuhkan asuhan gizi, atau
konseling gizi dan melakukan pemantauan serta evaluasi
pelayanan gizi buruk bersama tenaga profesi lainnya.
Perawat/bidan Melakukan skrining gizi awal, merujuk pasien gizi buruk ke
ahli gizi, memantau asupan makan, tanda klinois pasien, dan
hasil pengukuran antropometri.
Ahli Gizi Mengkaji hasil skrining awal perawat/bidan dan diet awal dari
dokter, melakukan asuhan gizi dan melakukan kolaborasi
dengan profesi lain.
apoteker Menyiapkan obat dan suplemen gizi seperti vitamin, mineral
dan nutrisi parenteral, membantu dalam pengawasan
penggunaan obat,dan nutrisi parenteral bersama
perawat/bidan, dan juga bekerja sama dengan ahli gizi dalam
memberikan edukasi tentang interaksi obat, dan makanan pada
pasien.

C. Jadwal Pelayanan
Shift jaga petugas dalam Tim diatur sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di Rumah
Sakit Kristen Lende Moripa.
BAB III
STANDAR FASILITAS
A. Denah Ruang
(Ada pada lampiran)
Ruangan yang berhubungan dengan penanganan stunting yang optimal dan
berkelanjutan di Rumah Sakit Kristen Lende Moripa, meliputi:

1. Tenda Skrining/Pendaftaran
2. UGD
3. Poli Anak
4. BKIA
5. Bangsal Bersalin/Ruang Bayi
6. Bangsal Anak
7. Instalasi Gizi
8. Instalasi Farmasi

Guna untuk membantu program pemerintah dalam menurunkan prevalensi stunting


dan wasting di Sumba, Rumah Sakit Kristen Lende Moripa juga melakukan
pelayanan diluar Rumah Sakit yang bergerak pada pelayanan sosial (kegiatan PPA).
B. Standar Fasilitas
Alat antropometri untuk menentukan status gizi berupa :
1. Timbangan badan untuk bayi dan anak
2. Mikrotoa
3. Infantometer
4. Pita LILA
5. Table Z-score sederhana
6. Kartu MTBS ( Manajemen Terpadu Bayi Sakit )
BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN
Upaya Pengelolaan Gizi Buruk Terintegrasi menekankan pentingnya peran serta aktif
keluarga dan masyarakat serta lintas sector terkait dalam upaya penanggulangan gizi buruk
pada balita. Upaya ini juga menganjurkan rawat jalan untuk balita usia 6-59 bulan dengan
gizi buruk tanpa komplikasi. Bila ada komplikasi maka balita perlu menjalani rawat inap
sampai komplikasi teratasi dan selanjutnya diperbolehkan rawat jalan sampai masa
pemulihan. Untuk bayi kurang dari 6 bulan, dengan gizi buruk dianjurkan rawat inap
walaupun tidak ada komplikasi. Upaya diatas dapat meningkatkan: deteksi dini jumlah balita
gizi buruk, cakupan penanganan kasus, tingkat kepatuhan/drop out balita rawat inap/rawat
jalan, dan proporsi kasus dapat ditangani.
Keuntungan balita rawat jalan sebagai berikut:
1. Balita tetap dirumah
2. Orang tua tetap dirumah dan dapat melakukan rutinitasnya sambal mengurus anaknya
3. Mengurangi bebab rawat inapdi Rumah Sakit
4. Menghindari infeksi silang(nosocomial)
Tatalaksana balita gizi buruk dengan pemberian terapi gizi yaitu makanan padat gizi
berupa pangan untuk keperluan medis khusus (PKMK), konseling pemberian makan balita
sesuai umur, dan pencegahan penyakit.
A. Pelayanan Rawat Inap
Ada 2 protokol rawat inap balita gizi buruk
1. Balita gizi buruk usia 6-59 bulan dengan tanda berikut:
a. Edema pada seluruh tubuh(edema derajat +3)
b. Skor Z BB /PB atau BB/TB < -3 SD
c. Berat kurang dari 4 kg
d. LILA , 11,5 cm
e. Ada komplikasi : anoreksia, dehidrasi berat (muntahterus menerus, diare),
letargi (penurunan kesadaran), demam tinggi, pneumonia berat (sulit
bernafas/nafas cepat), anemia berat,
Rawat Inap Pada Balita 6-59 Bulan Gizi Buruk
Tujuan rawat inap bagi balita dengan komplikasi dan bayindiatas 6 bulan dengan berat
badan kurang dari 4 kg sebagai berikut:
a. Mengupayakan stabilitasi kondisi balitadengan mengembalikan metabolism
untuk keseimbangan elektrolit, normalisasi metabolism dan mengembalikan
fungsi organ
b. Menangani komplikasi yaitu penyakit infeksi dan komplikasi lain
c. Memberikan makanan bergizi untuk mengejar pertumbuhan yang dilakukan
secara perlahan dan ditingkatkan dengan hati-hati agar tidak membebani
system.
d. Memberikan layanan rehabilitasi gizi lengkap
e. Memberikan layanan rujukan rawat inap kepada balita gizi buruk yang semula
menjalani rawat jalan.
Penilaian Ketika Masuk ke Pelayanan Rawat Inap
Penilaian awal difokuskan pada hal-hal berikut:
a. Penegakan diagnose komplikasi/penyakit penyerta yang mengncam jiwa dan
segera lakukan layanan darurat untuk mengatasinya.
b. Konfirmasi status gizi buruk dengan pengukuran BB/PB atau TB dan LILA
sebagai data awal untuk pemantauan selanjutnya. Setelah itu dilakuakan
anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap serta Tindakan lainnya berdasarkan
10 langkah tatalaksana gizi buruk.
c. Hasil pemeriksaan dicatat dalam rekam medis pasien dan formular rawat inap.
Tiga Fase Dalam Terapi Rawat Inap
a. Fase stabilisasi
b. Fase Transisi
c. Fase Rehabilisasi
Dalam ketiga fase ini terdapat 10 tindakan pelayanan rawat inap yang perlu
dilakukan:
No TINDAKAN FASE FASE FASE FASE
PELAYANAN STABILISASI TRANSISI REHABILITASI TINDAK
LANJUT
Hari 1-2 Hari 3-7 Minggu 2-6 Minggu 7-26

1. Mencegah dan
mengatasi
hipoglikemi

2. Mencegah dan
mengatasi
hipotermi

3. Mencegah dan
mengatasi
dehidrasi

4. Memperbaiki
gangguan
keseimbangan
elektrolit
5. Mengatasi infeksi

6. Memperbaiki
kekurangan zat
gizi mikro

7. Memberi makanan
untuk fase
stabilisasi dan
transisi
8. Memberi makanan
untuk fase

9. Memberikan
stimulasi untuk
tumbuh kembang

10. Mempersiapkan
untuk tindak
lanjut dirumah

Fase Stabilisasi
Diprioritaskan pada layanan kegawatdaruratan yang mengancam jiwa, seperti:
a) Hipoglikemia
Semua balita gizi buruk beresiko mengalami hipoglikemia (kadar gula darah
<3 mmol/L atau < 54 mg/dl) sehingga setiap balita gizi buruk diberi makan
atau larutan glukosa 10% segera setelah rawat inap. Pemberian makan yang
sering (tiap 2 jam) sangat penting diberikan pada anak gizi buruk.
Penanganan gizi buruk sebagai berikut:
 Berikan 50 ml larutan glukosa 10% ( 1 sendok the gula pasir ditambah
air 50 ml) secara oral/NGT segera dilanjutkan dengan pemberian
formula 75 (F-75)
 F-75 yang pertama, atau modifikasinya diberikan tiap 2 jam sekali
dalam 24 jam pertama , dilanjutkan tiap 2-3 jam, siang dan malam
selama minimal 2-3 hari.
 Teruskan pemberian ASI diluar dari pemberian F-75(jika masih ASI)
 Jika anak tidak sadar/letargi, berikan larutan glucose 10% secara
intravena(bolus) sebanyak 5 ml/kg BB atau larutan glukosa/gula pasir
50 ml/NGT.
 Hipoglikemia dan hipotermi biasanya menjasi tanda infeksi berat
Pemantauan :
Bila kadar gula darah awal rendah, lakukan pemeriksaan ulang setelah 30
menit
 Jika kadar gula darah dibawah 3 mmol/L(< 54 mg/dl) ulangi
pemberian larutan
 Jika suhu aksilar< 360 C, atau bila kesadaran memburuk curigai
hipoglikemia disebabkan oleh hipotermi, ulangi pemeriksaan gula
darah dan tangani masalah hipoglikemia dan hipotermi secara tepat.
Pencegahan :
 Beri F-75 sesegera mungkin, berikan setiap 2 jam selama 24 jam
pertama. Bila ada dehidrasi lakukan rehidrasi terlebih
dahulu.p0emberian makan harus teratur 2-3 jam sekali siang dan
malam.
 Periksa adanya dystensi abdominal.
 Minta keluarga untuk melaporkan keadaan balita

b) Hipotermia
Hipotermia sering terjadi pada balita gizi buruk. Jika ditemukan Bersama
hipoglikemia menandakan infeksi berat
Cadangan energi sangat sedikit sehingga tidak mampu memproduksi panas
untuk mempertahankan suhu tubuh.
Tatalaksana :
 Hangatkan tubuh balita
 Dapat menggunakan alat bantu penghangat atau dengan Teknik
metode kanguru.
Pemantauan:
 Ukur suhu aksila setiap 2 jam sampai suhu meningkat
 Pastikan anak selalu menggunakan selimut dan penutup kepala
terutama malam hari
 Periksa kadar gula darah jika ditemukan tanda hipotermia
Pencegahan :
 Hangatkan balita
 Pasikan pakaian dan seprei anak kering
 Biarkan anak tidur dipelukan orang tuanya terutama dimalam hari
 Beri makan F-75 sesegera mungkin setiap 2 jam sepanjang hari siang
dan malam
c) Dehidrasi dan Gangguan Keseimbangan Elektrolit
Diagnose dan derajat dehidrasi pada balita gizi buruk agak sulit ditegakkan
secara akurat dengan tanda/gejala klinis saja. Semua balita dengan gizi buruk
dengan diare /penurunan jumlah urine dianggap mengalami dehidrasi ringan .
hypovolemia dapat terjadi bersamaan dengan adanya edema.
Tatalaksana : tergantung kondisi gawatdarurat
 Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dengan
dehidrasi berat dan syok
 Beri ReSoMal 13 secara oral atau NGT lakukan perlahan
Beri 5 ml/kg BB setiap 30 menit sampai 2 jam pertama
Selanjutnya, 5-10 ml /kg BB/jam selang-seling F-75 dengan jumlah
yang sama tiap jam sampai 10 jam.
 Jika masih diare berikan RiSoMal setiap kali diare. Untuk usia < 2
tahun 50:100 ml tiap kali BAB, usia ≥ 2 tahun 100:200 ml tiap BAB.
Cara membuat cairan RiSoMal
BAHAN JUMLAH
ORALIT WHO 1 sachet(200ml)
Gula pasir 10 g
Larutan mineral mix 8 ml
Air Total seluruh menjadi 400 ml

Cara membuat larutan mineral mix:


1 sachet mineral mix(8 gr) ditambahkan air matang menjadi larutan elektrolit
20 ml
Cara membuat larutan mineral mix ( jika tidak ada)
BAHAN JUMLAH
ORALIT 1 sachet (200ml)
Gula pasir 10 g
Bubuk KCL 0,8 g
Air Total seluruh menjadi 400 ml

Jika balita gizi buruk mengalami dehidrasi beart atau syoktapi tidak
memungkinkan untuk diberikan rehidrasi oral/NGT maka diberikan melalui
infus cairan Ringer Lactat dan dextrose atau glukosa 10% dengan
perbandingan 1:1 . jumlah cairan yang diberikan sebanyak 15 ml/kg BB
selama 1 jam atau 5 tetes/menit/kg BB( infuset makro 20 ml/menit). Setiap
sachet mineral mix
(8 gr) mengandung:
Kalium klorida 1,792 g
Trikalium Sitrat(1H2O) 0,648 g
Magnesium Klorida(6H2O) 0,608 g
Seng Asesat(2H2O) 0,066 g
Tembaga Sulfat 0,011 g
Bahan tambahan secukupnya

Karena larutan pengganti tidak mengandung Mg, Zn, dan Cu maka, dapat
diberikan makanan dari sumber mineral tersebut. Dapat pula diberikan
MgSO4 40% IM 1 kali dengan dosis 0,3 ml/kg BB maksimum 2 ml/hari.
Larutan ini digunakan untuk pembuatan F-75, F-100 dan RiSoMal. Jika tidak
tersedia larutan mineral mix siap pakai maka buatlah dengan bahan berikut:
BAHAN JUMLAH
Kalium Clorida(KCl) 89,5 g
Tripottasium Citrate 32,4 g
Magnesium Klorida(MgCl2, 6H2O) 30,5 g
Seng Acetat(Zn asetat, 2H2O) 3,3 g
Tembaga Sulfat(CuSO4, 5H2O) 0,56 g
Air Ditotal menjadi 1000 ml

Pemantauan:
Pantau kemajuan rehidrasi dan perbaikan keadaan klinis setiap 30 menit pada
2 jam pertama, kemudian tiap jam sampai 10 jam berikutnya. Waspada
terhadap gejala kelebihan cairan yang sangat berbahaya dan bisa
mengakibatkan gagal jantung dan kematian.
Lakukan pemeriksaan:
 Frekuensi nafas dan nadi
 Frekuensi BAK dan jumlah urine
 Frekuensi BAB dan muntah
Selama proses rehidrasi , frekuensio nadi dan nafas agak berkurang dan mulai
ada diuresis.
Tanda membaiknya hidrasi antara lain: kembalinya air mata, mulut basah,
cekung mata dan fontanel berkurang dan turgor kulit membaik. Namun pada
balita gizi buruk tanda tersebut tidak ada walaupun rehidrasi telah terpenuhi,
oleh karena itu perlu dipantau berat badan.
Pencegahan:
 Jika masih ASI berikan lebih sering
 Berikan F-75 sesegera mungkin. Berikan RiSoMal 50:100 tiap BAB
encer. Anak dengan dehidrasi juga sering kali mengalami gangguan
keseimbangan elektrolit seperti defesiensi kalium dn magnesium.
 Anak gizi buruk yang mengalami defisiensi kalium dan magnesium
mungkin membutuhkan waktu perbaikan 2 minggu atau lebih.
Terdapat kelebihan natrium total dalam tubuh , walaupun serumnya
rendah dan dapat terjadi edema. Jangan obati edema dengan diuretika
karena dapat menyebabkan kematian.
Tatalaksana:
 Untuk mengatasi gangguan elektrolit diberikan Klaium dan
Magnesium yang sudah ada pada mineral mix, yang ditambahkan
pada F-75, F-100 atau ReSoMal
 Gunakan larutan ReSoMal untuk rehidrasi
d) Infeksi
Semua balita gizi buruk dianggap beresiko infeksi pada saat dating ke Rumah
Saki dan segera diberikan antibiotic. Hipoglikemia dan hipotermi seringkali
merupakan tanda infeksi berat.
Tatalaksana:
 Berikan antibiotic dengan spektrum luas
Bila tanpa komplikasi amoxicillin 15 mg/kg /oral setiap 8 jam selama
5 hari.
 Pada balita dengan komplikasi( hipoglikemia, hipotermi, penurunan
kesadaran/letargi, atau terlihat sakit) berikan antibiotika parenteral
IM/IV.
Ampicillin (50 mg/kg IM/IV setiap 6 jam selama 2 hari, selanjutnya
amoxicillin oral (25-40 mg/kg) setiap 8 jam selama 5 hari ditambah
gentamicin 7,5 mg/kg IM/IV sehari sekali selama 7 hari
 Berikan terapi untuk penyakit infeksi sesuai standar terapi yang
berlaku seperti malaria, meningitis, TB dan HIV.
Pemantauan :
Jika terjadi anoreksia setelah pemberian antibiotic, terus lanjutkan sampai hari
ke 10. Jika setelah dipantau masih ada keluhan yang sama lakukan penilaian
ulang pada balita.
Terapi untuk balita dengan cacingan:
Terapi antihelmintik diberikan setelah balita berada pada fase rehabilitasi.
Berikan pyrantel pamoat single dose atau albendazole single dose. Bisa juga
diberikan Mebendazole 100 mg/0ral 2 kali sehari selama 3 hari. Sementara
pada balita tanpa diagnose cacingan tetap minum obat mebendazole sampai
hari ke7 setelah rawat inap.
e) Defesiensi Gizi Mikro
Semua anak dengan gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral.
Meskipun sering ditemukan anemia. Zat besi tidak boleh diberikan pada fase
awal dan baru diberikan setelah anak mempunyai nafsu makan yang baik dan
mulai bertambah berat badannya (biasanya pada minggu kedua, mulai fase
rehabilitasi). Zat besi dapat berpengaruh infeksi jika diberikan terlalu dini.
Jika diberikan F-75 dan F-100 yang dibuat sendiri maka perlu hati-hati karena
reaksi fisiologis tidak normal misalnya:
 Fungsi hati dan ginjal yang abnormal
 Perubahan kemampuan menghasilkan enzim untuk proses
pengolahan/pembuangan obat, penyerapan kembali yang berlebihan
obat yang dibuang kedalam empedu.
 Penurunan lemak tubuh yang mengakibatkan penumpukan obat larut
dalam lemak.
 Pada balita dengan kwarsiorkor mungkin juga terjadi kerusakan saraf
otak
Pemberian Makan pada Fase Stabilisasi
Pemberian terapi gizi diberikan pada balita gizi buruk yang tidak memerlukan
tindakan kegawatdaruratan dan pada balita gizi buruk dengan dehidrasi, hipotermi
dan renjatan sepsis. Pemberian terapi gizi ini dilakukan secara bertahap. Pada fase
stabilisasi , balita gizi buruk diberikan formula terapeutik F-75, yang merupakan
formula rendah protein( pada fase ini protein tinggi meningkatkan resiko kematian),
rendah laktosa, mengandung zat gizi makro dan mikro seimbang untuk memastikan
kondisi stabil pada balita. F-75 mengandung 75 kkal/100 ml dan menormalkan
kekurangan mikronutrien serta gangguan fisiologis. F-75 dalam kemasan sudah
mengandung semua mikronutrien yang dibutuhkan untuk stabilisasi, sehingga
tambahan mikronutrien tidak dibutuhkan lagi. Jika tidak tersedia F-75 kemasan maka
dapat dibuat sendiri.
Resep Formula WHO F-75 dan F-100
BAHAN MAKANAN /1000 F-75 F-75 F-100
ML (+SEREAL)
Susu skim bubuk Gr 25 25 85
Gula pasir Gr 100 70 50
Tepung beras/maizena Gr - 35 -
Minyak sayur Gr 27 27 60
Larutan elektrolit ml 20 20 20
Tambahan air ml 1000 1000 1000
NILAI GIZI/1000 ml

Energi kkal 750 750 1000


Protein Gr 9 11 29
Laktosa Gr 13 13 42
Kalium mMol 40 42 63
Natrium mMol 6 6 19
Magnesium mMol 4,3 4,6 7,3
Seng mg 20 20 23
Tembaga mg 2,5 2,5 2,5
%energi protein - 5 6 12
%energi lemak - 32 32 53
Osmolaritas mOsm/l 413 334 419

Resep Formula Modifikasi


FASE STABILISASI REHABILITASI
BAHAN MAKANAN F-75 F-75 F-75 F-100
I I1 III
Susu skim bubuk(g) 25 - - -
Susu full cream(g) - 35 - 110
Susu sapi (ml) - - 300 -
Gula pasir(g) 70 70 70 50
Tepung beras(g) 35 35 35 -
Minyak sayur(g) 27 17 17 30
Margarin(g) - - - -
Larutan elektrolit(ml) 20 20 20 20
Air(sampai dengan 1000ml) 1000 1000 1000 1000

Tatalaksana :
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemberian makanan pada fase stabiloitas
adalah:
 Makanan rendah osmolaritas, rendah laktosa diberikan dalam jumlah sedikit
tapi sering
 Makanan diberikan melalui oral atau perNGT dengan jumlah dan frekuensi
yang sesuai. Pemberian makanan parenteral dihindari. Pemberian makan
dengan NGT dilakukan jika balita menghabiskan F-75 80% dari jumlah yang
diberikan dalam 2 kali pemberian makanan.
 Jumlah energi/kalori 100 kkal/kg BB/hari dari protein 1-1,5 g/kgBB/hari.
 Cairan 130 ml/kgBB/hari (bila ada edema berat maka diberi 100
ml/kgBB/hari.
 Bila anak masih mendapatkan ASI berikan terus tetapi pastikan balita
menghabiskan F-75 sesuai dengan jumlah yang ditentukan.
 Gunakan cangkir untuk memberikan makan balita. Pada balita gizi buruk
yang dalam keadaan lemah, gunakan sendok, semprit, atau syringe.
Peningkatan jumlah dan frekuensi pemberian F-75 diberikan bertahap jika makanan
dapat dihabiskan dan tidak ada reaksi muntah atau diare, jumlah F-75 yang diberikan
disesuaikan dengan perubahan berat badan.
Bila jumlah petugas terbatas, prioritas diberikan untuk pemberian makan setiap 2 jam
hanya pada kasus yang klinisnya paling berat , dan bila terpaksa diupayakan agak
paling tidak tiap 3 jam pada fase permulaan. Ajari orang tua/penunggu pasien.
Pemberian makan sepanjang malam hari sangat penting agar anak tidak terlalu lama
tanpa pemberian makanan(puasa dapat meningkatkan resiko kematian). Bila
pemberian makan peroral pada fase awal tidak mencapai kebutuhan minimal (80
kkal/kgBB/hari) berikan sisanya melalui NGT. Pemberian makan pada fase awal ini
tidak boleh melewati 100kkak/kgBb/hari.
Pada cuaca yang sangat panas, dan balita banyak berkeringat maka balita perlu
mendapatkan air/cairan ekstra. Pada balita gizi buruk dengan diare persisten akan
lebih baik diberikan F-75 yang berbahan serealia. Sebagian gula diganti dengan
tepung beras atau maizena, sehingga osmolaritasnya lebih rendah. Pembuatan F-75
berbahan serealia perlu dimasak terlebih dahulu.
Pemantauan :
Pemantauan dilakukan dengan mencatat setiap hari:
 Jumlah makanan yang diberikan dan dihabiskan
 Jumlah dan frekuensi muntah
 Frekuensi defekasi dan konsistensi feses
 Berat badan
Fase Transisi
Fase ini ditandai oleh transisi dari kondisi stabil kekondisi yang memenuhi sarat
untuk menjalani rawat jalan. Fase transisi dimulai Ketika:
a. Komplikasi medis teratasi
b. Tidak ada hipoglikemia
c. Nafsu makan pulih
d. Edema berkurang
Pengelolaan fase transisi mempunyai 2 pendekatan sebagai berikut:
a. Transaksi kelayanan rawat jalan, bila tersedia.
b. Transaksi kelayanan rawat inap fase rehabilitasi bila layanan rawat jalan tidak
tersedia.

a. Transisi layanan Rawat Jalan


Tujuan :
 Mempersiapkan rehabilitasi gizi pada balita dengan gizi buruk agar
dapat menjalani rawat jalan dan mengkonsumsi RUTF atau F-100
dalam jumlah cukup untuk meningkatkan berat badan dan
kesembuhan.
 Memastikan balita tersebut untuk meperoleh kebutuhan gizi yang
dibutuhkan, yang dilakukan dengan memperkenalkan dan
meningkatkan proporsi harian pemberian RUFT atau F-100 secara
bertahap.
Perlu diperhatikan bahwa lingkungan RS/tempat rawat inap beresiko
mengakibatkan infeksi nosocomial yang dapat menyebabkan
kematian. Disamping itu, rawat inap yang terlalu lama bisa
mengganggu kehidupan keluarga, tertama keluarga yang mempunyai
banyak anak. Meskipun pemulihan mungkin berjalan lebih lambat
pada layanan rawat jalan, namun pilihan ini lebih baik. Dalam proses
pemulihan, balita sebaiknya dipindahkan secepatnya kelayanan rawat
jalan dan mulai diajak bermain dengan bahan-bahan yang ada untuk
stimulasi tumbuh kembang.
b. Transisi Layanan Rawat Inap
Bila tidak tersedia layanan rawat jalan, balita dirawat dan dipulihkan
sepenuhnya dilayanan rawat inap. Bila setidaknya 80% dari jatah F-100 yang
resepkan berhasil diminum habis lewat mulut dan tidak ada masalah lain yang
ditemukan dalam pemantauan, balita dinilai siap melanjutkan ke fase
rehabilitasi.

Tatalaksana :
Transisi dilakukan secara bertahap dari F-75 ke F-100 atau RUFT sealama 2-
3 hari, sesuai dengan kondisi balita.
 Formula F-75 diganti menjadi F-100 dalam volume yang sama seperti
pemberian F-75 yang terakhir selama 2 hari. Berikan formula tumbuh
kejar (F-100 atau RUFT) yang mengandung 100 kkal/100ml dan 2,9 g
protein/100ml.
 Pada hari ketiga:
Bila menggunakan F-100, jumlah F-100 dinaikkan sebanyak 10
ml/kali pemberian sampai balita tidak mampu menghabiskan/tersisa
sedikit. Biasanya hal ini terjadi Ketika pemberian formula mencapai
200ml/kgBBhari. Setelah transisi bertahap, berikan dalam frekuensi
yang sering, engan jumlah kalori 150-220 kal/kgBB/hari dan protein
4-6 g/kgBB/hari.
Pemberian RUFT dimulai dengan porsi kecil tapi teratur. Balita dibujuk agar
bisa makan RUFT (8 kali/hari dan kemudian dapat menjadi 5-6 kali/hari).
Bila balita tidak dapat menghabiskan porsi RUFT yang diberikan pada fase
transisi ini maka ditambahkan F-75 sehingga mencapai kebutuhan balita /hari.
Bila balita tidak dapat menghabiskan sedikitnya setengah dari jumlah RUFT
yang dibutuhkan dalam 12 jam maka, pemberian RUFT dihentikan dan
diberikan F-75 lagi. Setelah itu pemberian RUFT diberikan 1-2 hari sampai
balita mampu menghabiskan jumlah RUFT yang diberikan.
Prosedur Pengenalan RUFT:
 Persiapkan dosis RUFT yang diberikan, F-75 dengan jumlah tepat dan
segelas air minum.
 Pengasuh diingatkan agar mencuci tangannya sendiri, serta tangan dan
wajah balita.
 Minta pengasuh menawarkannya pada balita( lihat cara pemberian
RUFT-test nafsu makan)
 Amati balita saat makan RUFT.
 Tiap selesai memberikan suapan penuh, balita harus ditawari ASI/air
minum.
 Jika tidak mampu mengkonsumsi RUFT yang diberikan, anak harus
ditawari F-75 untuk diminum sebagai pelengkap RUFT yang sudah
dimakan. Waktu yang dibutuhkan untuk konsumsi RUFT dan F-
75(jika diperlukan) sebaiknya tidak lebih dari 1 jam.
 Catat jumlah F-75 dan RUFT yang dihabiskan pada kartu perawatan
pasien.
 Setiap kali selesai memberikan RUFT harus disimpan ditempat yang
sejuk, kering, bebas dari serangga agar dapat digunakan kembalipada
pemberian jadwal makan berikutnya.
 Proses menawarkan RUFT dan F-75 dilanjutkan sampai balita mampu
menghabiskan jumlah yang dibutuhkan dalam waktu 24 jam.
 Bila balita masih ASI, maka pemberian ASI dilanjutkan dengan
memastikan bahwa balita terlebih dahulu menghabiskan F-100 atau
RUFT sesuai jumlah yang telah ditentukan.
Fase Rehabilitasi
Setelah fase transisi, balita mendapatkan perawatan lanjutan ke fase rehabilitasi
dilayanan rawat jalan, atau tetap dilayanan rawat inap bila tidak tersedia layanan
rawat jalan.
Tatalaksana :
 Kebutuhan zat gizi pada fase rehabilitasi adalah:
Energi : 150-220 kkal/kgBB/hari
Protein : 4-6 g/kgBB/hari
 Bila menggunakan RUFT, sama seperti pemberian RUFT rawat jalan.
Pemantauan :
Hal yang perlu dihindari pada fase ini adalah terjadinya gagal jantung. Tanda dini
gagal jantung yaitu nadi dan nafas cepat. Bila pernafasan naik 5x/menit dan nadi 25
x/menit yang menetap selama 2 kali pemeriksaan masing-masing dengan jarak 4 jam
berturut-turut, maka ini merupakan tanda bahaya yang perlu dicari penyebabnya.
Yang perlu dilakukan jika terjadi gagal jantung :
 Volume makanan dikurangi menjadi 100 ml/kgBB/hari diberikan tiap 2 jam.
 Selanjutnya volume makanan ditingkatkan perlahan-lahan sebagai berikut:
115 ml/kgBB/hari selama 24 jam berikutnya
130 ml/kgBB/hari selama 48 jam berikutnya
Selanjutnya tingkatkan setiap kali makan dengan 10 ml
 Penyebab ditelusuri dan kemudian diatasi.
Penilaian Kemajuan :
Kemajuan terapi dinilai dari kecepatan kenaikan berat badansetelah fase transisi dan
mendapat F-100 atau RUFT.
 Timbang dan catat bearat badan setiap pagi sebelum diberi makan. Hitung
dan catat kenaikan berat badan setiap 3 hari dalam gram/kgBB/hari.
 Bila kenaikan berat badan:
Kurang : kenaikan berat badan kurang dari 5 g/kgBB/hari, balita
membutuhkan penilaian ulang lengkap.
Sedang : bila kenaikan berat badan 5-10 g/kgBB/hari, perlu diperiksa
apakah target asupan terpenuhi, atau mungkin ada infeksi yang tidak
terdeteksi.
Baik : bila kenaikan berat badan lebih dari 10g/kgBB/hari
ATAU
 Kurang : bila kenaikan berat badan kurang dari 50g/kgBB/perminggu,
maka balita membutuhkan penilaian ulang lengkap.
 Baik : bila kenaikan berat badan ≥ 50 g/kgBB/perminggu.

Bila tatalaksana gagal, dilakukan analisis kegagalan terapi sebagai berikut:


 Apakah F-100 atau RUFT diberikan dengan benar.
 Apakah frekuensi pemberian makanan tersebut benar(8 kali/hari)
 Apakah F-100/RUFT yang diberikan dapat dihabiskan.
 Apakah anak sakit.

Stimulasi sensorik dan emosional


Stimulasi sensorik dan emosional merupakan bagian dari stimulasi perkembangan
balita. Hal yang perlu dilakukan sebagai berikut:
 Ungkapan kasih saying dan lingkungan yang ceria
 Terapi bermain terstruktur selama 15-30 menit/hari.
 Aktivitas fisik segera setelah balita cukup sehat.
 Keterlibatan ibu dan anggota keluarga atau pengasuh sesering mungkin
( misalnya menghibur, memandikan, bermain, memberi makan ).
 Pengasuh diajari berinteraksi positif dengan balita agar nafsu makannya
meningkat.
Kriteria pulang dari layanan rawat inap dan pindah kelayanan rawat jalan:
 Tidak ada komplikasi medis
 Edema berkurang
 Nafsu makan membaik
 Secara klinis baik
Kriteria pindah dari layanan rawat inap kelayanan rawat jalan TIDAK berdasarkan
kriteria antropometri tapi berdasarkan kondisi klinis.
Kriteria sembuh untuk balita gizi buruk (selama 2 minggu berturut-turut)
 LILA ≥ 12,5 cm (hijau) dan atau
 Skor -Z BB/PB ( atau BB/TB ) ≥ - 2 SD
 Tidak ada edema secara klinis baik
Indicator antropometri yang digunakan untuk menyatakan balita gizi buruk sembuh
adalah sama dengan indicator yang digunakan untuk memasukkan balita gizi buruk
dalam perawatan.
Bila balita gizi buruk masuk dengan bilateral edema, maka kriteria sembuh
adalah:
 LILA ≥ 12,5 cm (hijau) dan atau
 Skor -Z BB/PB ( atau BB/TB ) ≥ - 2 SD
 Tidak ada edema secara klinis baik
Presentase kenaikan berat badan TIDAK BOLEH digunakan untuk kriteria sembuh
atau keluar dari perawatan balita gizi buruk.
2. Bayi dibawah 6 bulan dengan ketentuan salah satu dibawah ini:
a. Skor Z BB/PB < -3 SD (jika Panjang > 45 cm)
b. Ada edema
c. Terlalu lemah untuk menyusu
d. Berat badan tidak naik atau turun
e. Terdapat atau tidak tanda-tanda komplikasi medis
Bayi berusia kurang dari 6 bulan dengan gizi buruk harus mendapat layanan rawat
inap. Tatalaksananya perlu perhatian khusus, karena:
a. Seringkali ada penyebab organic, misalnya adanya penyakit atau gangguan
yang terjadi sejak didalam kandungan, kelahiran premature atau proses
persalinan yang menimbulkan gangguan Kesehatan bayi baru lahir disamping
adanya masalah asupan gizi.
b. Fisiologi berbeda dari anak balita, sehingga F-100 harus diencerkan untuk
fase rehabilitasi.
c. Menyusu merupakan bagian terpenting untuk rehabilitasi dan sebagai
penunjang kelangsungan hidup, karena itu Kesehatan ibu merupakan hal yang
sangat penting.
d. Rehabilitasi membutuhkan tenaga terampil dan supervisi yang lebih intensif.
Tatalaksana bayi kurang dari 6 bulan dengan gizi buruk berdasarkan status
pemberian ASI:
a. Ada kemungkinan pemberian ASI:
 Bayi masih mendapat ASI tapi kurang gizi
 Bayi sudah tidak mendapat ASI tapi ibu masih ingin menyusui
 Bayi sudah berhenti menyusu (misalnya ibu meninggal)tetapi ada ibu
pesusuan yang dapat memberikan ASI
b. Tidak ada kemungkinan pemberian ASI
 Bayi tidak pernah mendapat ASI dan ibu tidak mau mencoba relaktasi
 Bayi sudah berhenti menyusu dan ibu tidak mau relaktasi, tidak ada
ibu pesusuan.
 Tidak ada ibu dan ibu pesusuan
Bayi < 6 Bulan dengan Gizi Buruk dan Ada Kemungkinan Pemberian ASI
Berikut adalah tatlaksana pada tiap fase dengan kemungkinan pemberian ASI
a. Fase Stabilisasi
 Atasi komplikasi dengan protocol umum. Bayi < 6 bulan sangat rawan
terhadap hipoglikemia dan hipotermi.
 Mulai refeeding dengan susu formula pengganti
- Beri formula dengan jumlah tetap (130 ml/kgBB/hari )
- Segera berikan F-75/F-100 yang diencerkan atau bila keduanya
tidak ada, berikan formula dan teruskan pemberian tiap 2-3 jam.
- Berikan terapi gizi dengan menggunakan cangkir, atau
supplementer( bila bayi mampu menghisap ) atau dengan Teknik
drip-drop atau NGT.
 Dukungan pemberian ASI yang bertujuan meningkatkan produksi ASI
dan menerapkan kembali ASI eksklusif sehingga bayi dipulangkan
hanya dengan ASI.
 Bila ASI masih ada dan bayi masih kuat menghisap, 1 jam sebelum
pemberian F-75/F-100 yang diencerkan atau formula, berikan ASI
selama lebih kurang 20 menit, lakukan siang dan malam.
 Selama ini F-75/F-100 yang diencerkan / formula merupakan
makanan utama sedangkan ASI merupakan makanan tambahan.
 Awasi pemberian ASI dan catat pemberian ASI pada tabet atau
catatan khusus agar orang tua tahu pentingnya ASI.
 Bila ASI masih ada tapi bayi tidak mampu menyusu:
- Bantu ibu perah ASI minimal 8x/hari selama 20-30 menit
(walaupun ASI yang didapat sedikit)
- Berikan ASIP pada bayi dengan Teknik drip-drop/cangkir/NGT.
- Bila bayi sudah cukup kuat menghisap ASI, bantu ibu untuk
meningkatkan pemerahan ASI
 Bila ASI tidak ada/menyusu telah dihentikan, maka ibu dianjurkan
menyusui kembali:
- Bantu ibu melakukan relaktasi
- Berikan F-75/F-100 Yng diencerkan atau formula dengan
supplementer.
b. Fase Transisi
Pada fase transisi, formula yang digunakan tetap sama. Transisi yang terjadi
adalah mengupayakan agar bayi semakin banyak mendapatkan ASI dan
secara bertahap diharapkan bayi hanya mendapatkan ASI Ketika pulang.
c. Fase Rehabilitasi
Tujuan yang ingin dicapai pada fase ini adalah:
 Menurunkan jumlah formula yang diberikan
 Mempertahankan kenaikan berat badan
 Melanjutkan pemberian ASI
Kemajuan klinis pada bayi dinilai dari kenaikan berat badan setiap hari:
a. Bila berat badan tidak naik/turun selama 3 hari berturut-turut tetapi bayi
tampak lapar dan menghabiskan semua formula yang diberikan, tambahkan 5
ml setiap pemberian formula.
b. Biasanya suplementasi formula tidak bertambah selama perawatan tetapi
berat badan naik, yang berarti produksi ASI terus meningkat.
c. Bila setelah beberapa hari bayi tidak lagi menghabiskan jatah formulanya tapi
BB tetap naik, berarti asupan ASI meningkat dan bayi mendapat cukup
asupan untuk memenuhi kebutuhan .
d. Bayi ditimbang setiap hari dengan timbangan yang mempunyai ketelitian
sampai 10 g.

Ketika bayi menunjukkan kenaikan BB 20 g/hari, (kenaikan absolut) maka:


a. Pemberian F-100 yang diencerkan dikurangi jumlahnya. Pada awalnya
dikurangi 1/4 dari porsi seharusnya kemudian secara bertahap hingga 1/2 porsi.
Dengan demikian bayi akan lebih banyak mendapatkan ASI.
b. Bila kenaikan berat badan tetap terjaga (10g/hari tanpa melihat BB sekarang)
F-100 yang diencerkan dapat dihentikan sama sekali.
c. Tetapi bila tidak terjadi kenaikan berat badan, maka pemberian formula
kembali ditambah hingga 75% (atau ¾ jatah) selama 2-3 hari. Bila kenaikan
BB sudah stabil, selanjutnya pemberian F-100 yang diencerkan dapat
dikurangi dan dihentikan.
d. Dianjurkan untuk merawat bayi beberapa hari berikutnya dengan hanya
mendapat ASI untuk memastikan berat badan tetap naik, barulah bayi
dipulangkan tanpa melihat berapa berat badannya ataupun indeks BB/PB.
Kriteria Pulang:
a. Keberhasilan relaktasi dengan menghisap efektif, kenaikan BB minimal
20g/hari selama 5 hari berturut-turut (hanya mengkonsumsi ASI).
b. Tidak ada edema bilateral selama 2 minggu.
c. Kondisi klinis baik, bayi sadar dan tidak ada masalah medis.
d. Ibu sudah mendapat konseling cukup dan suplementasi zat gizi mikro yang
dibutuhkan selama tinggal ditempat perawatan dan diteruskan dirumah.
Perawatan Bagi Ibu:
Ibu menyusui membutuhkan dukungan terutama bila mengalami stress. Fokuskan
pada:
a. Kondisi lingkungan yang mendukung dan dapat meningkatkan pemberian
ASI misalnya: konseling perorangan, dukungan antar ibu menyusui, ruang
laktasi yang aman dan nyaman.
b. Ibu yang mengalami trauma dan depresi perlu mendapat dukungan emosional
dan mental agar ibu Kembali bergairah dan lebih percaya diriuntuk menyusui.
c. Penilaian status gizi ibu
d. Sadarkan ibu tentang resiko hamil/mempunyai anak lagi pada situasi ini.
Gizi adekuat dan suplementasi bagi ibu menyusu
Ibu menyusui perlu energi ekstra sebesar 450 kkal/hari. Zat gizi mikro esensial yang
terkandung dalam ASI berasal dari diet dan suplementasi zat gizi mikro yang
diberikan pada ibu. Karena itu sangat penting untuk memenuhi kebutuhan energi dan
zat gizi ibu dengan mengonsumsi minimal 2500 kkal/hari dan sesuai dengan
program, ibu nifas mendapat 2 kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 SI). Ibu
dianjurkan minum minimal 2 liter/hari karena dehidrasi dapat mengurangi produksi
ASI.
Bayi < 6 Bulan dengan Gizi Buruk dan TIDAK Ada Kemungkinan Pemberian
ASI
Mengingat bahwa ASI tidak mungkin diberikan, maka tujuan tatalaksana pada
keadaan ini adalah bayi gizi buruk mendapat makanan pengganti yang aman dan
sesuai dengan rehabilitasi gizi.
Bayi dipulangkan dengan diberikan formula dan pengasuh memahami cara
pemberian yang aman. Fase yang dilalui menuju pemulihan sama dengan bayi < 6
bulan dengan kemungkinan pemberian ASI. Berikut ini tatalaksana dengan 3 fase:
a. Fase Stabilisasi
Bayi diberi obat rutin dan suplemen
 Antibiotica: Amoxicilin, 15 mg/kgBB/kali setiap 8 jam selama 5 hari
sedangkan untuk bayi dengan berat badan < 3 kg diberikan seiap 12
jam
Clorampenicol tidak diberikan pada bayi muda.
 Vitamin A 50.000 SI dosis tunggal pada hari pertama.
 Asam folat 2,5 mg dosis tunggal
 Sulfas ferosus diberikan segera setelah bayi dapat menyusu dengan
baik dan ada kenaikan BB.
Terapi Dietetik
 Pada fase stabilisasi, harus diberikan F-75 atau F-100 yang
diencerkan. F-100 tidak boleh diberikan dengan konsentrasi penuh.
 Bayi kurang dari 6 bulan dengan edema harus selalu diberi F-75 pada
fase stabilisasi.
 Berikan formula dengan cangkir, atau melalui NGT (jika tidak dapat
diberikan melalui oral).
 Terapkan pemberian makan yang tepat agar asupan makanan adekuat.
Kriteria Peralihan dari fase Stabilisasi ke Fase Transisi
 Kembalinya nafsu makan
 Mulai menghilangnya edema pada bayi
Bayi dengan edema berat (+3) harus tetap difase stabilisasi sampai
edema berkurang (+2).
b. Fase Transisi
Terapi Dietetik
 Yang dapat diberikan F-100 yang diencerkan
 Jumlah F-100 yang diberikan di naikkan 1/3 dari jumlah yang diberikan
pada fase stabilisasi.
Kriteria Peralihan dari Fase Transisi ke Rehabilitasi
 Nafsu makan baik: bayi menghabiskan minimal 90% formula
terapeutik yang diberikan pada fase transisi
 Edema hilang pada bayi yang mulanya edema
 Minimal 2 hari berada pada fase transisi
 Tidak ada masalah medis
c. Fase Rehabilitasi
Terapi Dietetik
 Yang dapat diberikan F-100 yang diencerkan
 Selama fase rehabilitasi bayi mendapat formula terapeutik F-100 yang
diencerkan sebanyak 2 kali jumlah yang diberikan pada fase
stabilisasi.
Pemantauan
Parameter yang harus dipantau dan dicatat pada lembar rekam medis pasien:
 Berat badan
 Derajat edema ( 0 sampai + 3 )
 Suhu tubuh ( diukur 2 kali sehari )
 Gejala klinis : batuk, muntah, defekasi, dehidrasi, pernafasan, ukuran
organ hati.
 Hal lain yang perlu dicatat misalnya menolak makan, rute asupan
makanan (oral, NGT, parenteral), transfuse.
Kriteria Sembuh / Selesai Perawatan
 Z-skor BB/PB ≥ -2 SD selama 3 hari berturut-turut.
 Tidak ada edma selama 2 minggu
 Kondisi klinis baik, anak sadar dan tidak ada masalah medis
 Saat dipulangkan F-100 yng diencerkan dan diganti dengan formula
bayi standar.
Kriteria Pindah ke Layanan Rawat Jalan
 Kondisi klinis baik, bayi ssdsr dsn tidak ada masalah medis
 Tidak ada edema
 Bayi dapat menyusu dengan baik atau mendapatkan asupan yang
cukup
 Kenaikan BB cukup (> 5 g/kgBB/hari) selama 3 hari berturut-turut
Kriteria Bayi < 6 Bulan Bisa Keluar dari Semua Layanan Gizi Buruk
 Kenaikan BB yang yang cukup
 Z- skor BB/PB ≥ - 2 SD
BAB V
LOGISTIK
A. Perencanaan

4.1 PELAYANAN RAWAT JALAN

Anda mungkin juga menyukai