Anda di halaman 1dari 34

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN BRONCHOPNEMONIA

Disusun Oleh :

Kelompok 8 Reguler A

1. Adelia Dwining Anggraini (P27820122001)


2. Chikmatul Nuril Fadhilah (P27820122013)
3. Desi Kristinawati (P27820122016)

Dosen Pembimbing :
Ibu Enung Mardiyana H, S.Kep.,Ns.,M.Kes

Mata Kuliah :
Keperawatan Anak

TINGKAT 2 SEMESTER 4
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SUTOMO
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SURABAYA
TAHUN AJARAN 2023/2024

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur atas kehadirat Allah SWT. yang telah
memberikan segala restu dan tuntunan-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penulisan makalah " Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Kasus Bronchopnemonia",
untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak dengan dosen pengampu Ibu
Enung Mardiyana H, S.Kep.,Ns.,M.Kes. Tak lupa, salawat serta salam semoga tetap
tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah menunjukkan kita
cahaya keimanan.

Tanpa disadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kesalahan. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun diharapkan agar dapat menyempurnakan
kekurangan-kekurangan yang ada, sehingga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.

Surabaya, 26 Februari 2024

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii

DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii

BAB I.................................................................................................................................1

PENDAHULUAN .............................................................................................................1

1.1 Latar Belakang ....................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah ...............................................................................................4

1.3 Tujuan penulisan .................................................................................................4

1.4 Manfaat penulisan ...............................................................................................5

BAB II ...............................................................................................................................6

PEMBAHASAN................................................................................................................6

1. Definisi ...................................................................................................................6

2. Etiologi ................................................................. Error! Bookmark not defined.

3. Penatalaksanaan ......................................................................................................6

4. Asuhan Keperawatan ............................................................................................13

A. Pengkajian Keperawatan ...................................................................................13

B. Diagnosis Keperawatan ....................................................................................17

C. Perencanaan Keperawatan ................................................................................18

D. Pelaksanaan Keperawatan.................................................................................28

E. Evaluasi Keperawatan .......................................................................................28

BAB III ............................................................................................................................30

PENUTUP .......................................................................................................................30

3.1 Kesimpulan .......................................................................................................30

3.2 Saran .................................................................................................................30

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................31

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sehat adalah suatu keadaan yang sempurna baik fisik, mental dan sosial
serta tidak hanya bebas dari penyakit dan kelemahan yang memiliki ciri
diantaranya memiliki kemampuan merefleksikan perhatian individu sebagai
manusia, memiliki pandangan terhadap sehat dalam konteks lingkungan baik
secara internal maupun eksternal dan memiliki hidup yang kreatif dan produktif
(Yuliastati & Arnis, 2016).

Anak merupakan individu yang berada dalam suatu rentang perubahan dan
perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun), usia bermain atau toddler (1- 3
tahun), pra sekolah (3-5 tahun), usia sekolah (5-11 tahun), hingga remaja (11- 18
tahun). Rentang ini berbeda antara anak satu dengan yang lain mengingat latar
belakang anak berbeda. Pada anak terdapat tentang perubahan pertumbuhan dan
perkembangan yaitu rentang cepat dan lambat. Dalam proses berkembang anak
memiliki ciri fisik, kognitif, konsep diri, pola koping dan perilaku sosial (Yuniarti,
2015).

Menurut Jayani (2018) penyakit penyebab kematian terbanyak yang


terjadi pada anak usia di bawah lima tahun (balita) adalah kombinasi gangguan
neonatal (bayi baru lahir kurang dari 28 hari), asfiksia dan trauma neonatal, cacat
lahir bawaan, diare, malaria, meningtis, kekurangan gizi, hingga infeksi
pernapasan.

Infeksi saluran napas akut (ISPA) merupakan penyebab terpenting


morbiditas dan mortalitas pada anak terutama usia dibawah 5 tahun. Beberapa
faktor dianggap berhubungan dengan ISPA antara lain, jenis kelamin, usia balita,
status gizi, imunisasi, berat lahir balita, suplementasi vitamin A, durasi pemberian
ASI, pendidikan ibu, pendapatan keluarga, pajanan rokok, serta pengetahuan,
sikap, dan perilaku ibu terhadap ISPA. ISPA dapat berlanjut menjadi pneumonia.
Pnemonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli).
Terjadinya pneumonia pada anak sering kali bersamaan dengan terjadinya proses

1
infeksi akut pada bronkus yang disebut dengan bronkopneumonia (Kholisah et al,
2015).

Bronkopneumonia adalah istilah medis yang digunakan untuk menyatakan


peradangan yang terjadi pada dinding bronkiolus dan jaringan paru di sekitarnya.
Brokopeumonia dapat disebut sebagai pneumonia lobularis karena peradangan
yang terjadi pada parenkim paru bersifat terlokalisir pada bronkiolus berserta
alveolus di sekitarnya (Muhlisin, 2017). Insiden penyakit bronkopneumonia pada
negara berkembang termasuk Indonesia hampir 30% terjadi pada anak-anak di
bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi (Kemenkes RI, 2015).

Menurut laporan World Health Organization (WHO), sekitar 800.000


hingga 2 juta anak meninggal dunia tiap tahun akibat bronkopneumonia. Bahkan
United Nations Children’s Fund (UNICEF) dan WHO menyebutkan
bronkopneumonia sebagai kematian tertinggi anak balita, melebihi penyakit-
penyakit lain seperti campak, malaria serta Acquired Immunodeficien Syndrome
(AIDS). Pada tahun 2017 bronkopneumonia setidaknya membunuh 808.694 anak
di bawah usia 5 tahun (WHO, 2019).

Masalah keperawatan yang lazim muncul pada anak yang mengalami


Bronkopneumonia yaitu gangguan pertukaran gas, bersihan jalan napas tidak
efektif, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, intoleransi
aktivitas, dan resiko ketidakseimbangan elektrolit. Apabila tidak segera ditangani
maka akan mengakibatkan komplikasi seperti empiema, otitis media akut,
atelektasis, emfisema, dan meningitis (Nurarif & Kusuma, 2015).

Proses peradangan dari proses penyakit bronkopneumonia menimbulkan


manifestasi klinis yang ada sehingga muncul beberapa masalah dan salah satunya
adalah bersihan jalan napas tidak efektif. Bersihan jalan napas tidak efektif adalah
ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan napas untuk
mempertahankan jalan napas tetap paten. Masalah bersihan jalan nafas ini jika
tidak ditangani secara cepat maka bisa menimbulkan masalah yang lebih berat

2
seperti pasien akan mengalami sesak yang hebat bahkan bisa menimbulkan
kematian (PPNI, 2017).

Menurut Ridha (2014) menyatakan bahwa upaya yang perlu dilakukan


dalam penanganan bronkopneumonia dengan bersihan jalan napas tidak efektif
meliputi terapi farmakologis dan non farmakologis. Terapi farmakologis antara
lain pemberian obat antibiotik, pemberian terapi nebulisasi yang bertujuan untuk
mengurangi sesak akibat penyempitan jalan nafas atau bronkospasme akibat
hipersekresi mucus, sedangkan terapi non farmakologis yaitu fisioterapi dada
seperti clapping dan batuk efektif. Anak yang sudah mendapatkan terapi inhalasi
akan mendapatkan tindakan fisioterapi dada. Fisioterapi dada dilakukan dengan
teknik Tapping dan Clapping. Teknik ini adalah suatu bentuk terapi dengan
menggunakan tangan, dalam posisi telungkup serta dengan gerakan fleksi dan
ekstensi wrist secara ritmis. Teknik ini sering digunakan dengan dua tangan. Pada
anak-anak tapping dan clapping dapat dilakukan dengan dua atau tiga jari. Teknik
dengan satu tangan dapat digunakan sebagai pilihan pada tapping dan clapping
yang dapat dilakukan sendiri (Soemarno et al, 2015).

Intervensi lain yang dilakukan untuk mempercepat perbaikan jalan napas


klien adalah mengatur posisi kepala klien lebih tinggi dari badan. Posisi elevasi
kepala dapat meningkatkan ventilasi klien. Diafragma yang lebih rendah akan
membantu dalam meningkatkan ekspansi dada, pengisian udara, mobilisasi, dan
ekspektorasi dan sekresi. Intervensi lainnya adalah anjuran minum air hangat yang
dapat juga dilakukan modifikasi dengan tetap pemberian ASI dikarenakan
pemberian ASI pada memiliki keefektifan yang sama dengan minum air hangat
(Soemarno, 2015).

Peran perawat dalam melakukan asuhan keperawatan pada anak dengan


bronkopneumonia meliputi usaha promotif yaitu dengan selalu menjaga
kebersihan baik fisik maupun lingkungan seperti tempat sampah, ventilasi, dan
kebersihan lain-lain. Preventif dilakukan dengan cara menjaga pola hidup bersih
dan sehat, upaya kuratif dilakukan dengan cara memberikan obat yang sesuai

3
indikasi yang dianjurkan oleh dokter dan perawat memiliki peran dalam
memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan bronkopneumonia secara
optimal, professional dan komprehensif, sedangkan pada aspek rehabilitatif,
perawat berperan dalam memulihkan kondisi klien dan menganjurkan pada orang
tua klien untuk kontrol ke rumah sakit.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari bronkopneumonia pada anak?
2. Bagaimana etiologi bronkopneumonia?
3. Bagaimana patofisiologi bronkopneumonia?
4. Bagaimana klasifikasi bronkopneumonia?
5. Bagaimana manifestasi klinis bronkopneumonia?
6. Bagaimana komplikasi pada bronkopneumonia?
7. Bagaimana pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada kasus
bronkopneumonia?
8. Bagaimana penatalaksanaan bronkopneumonia pada anak?
9. Bagaimana asuhan keperawatan pada anak dengan kasus bronkopneumonia?

1.3 Tujuan penulisan


1. Untuk mengetahui definisi bronkopneumonia pada anak.
2. Untuk mengetahui etiologi bronkopneumonia.
3. Untuk mengetahui patofisiologi bronkopneumonia.
4. Untuk mengetahui klasifikasi bronkopneumonia
5. Untuk mengetahui manifestasii klinis bronkopneumonia.
6. Untuk mengetahui komplikasi bronkopneumonia.
7. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada kasus
bronkopneumonia.
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan bronkopneumonia pada anak.
9. Utuk mengetahui asuhan keperawatan pada anak dengan kasus
bronkopneumonia.

4
1.4 Manfaat penulisan
1. Bagi Penulis
Memperoleh pengalaman dalam mengetahui tentang Asuhan Keperawatan
pada Anak dengan Kasus Bronkopneumonia.
2. Bagi Masyarakat
Memberi informasi atau pengetahuan bagi masyarakat tentang Asuhan
Keperawatan Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Kasus
Bronkopneumonia.
3. Bagi Instansi
Sebagai bahan kepustakaan dan sumber bacaan untuk meningkatkan
kualitas pendidikan keperawatan khususnya dengan Asuhan Keperawatan
Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Kasus Bronkopneumonia.
4. Bagi Ilmu Pengetahuan
Memberi pengetahuan tentang Asuhan Keperawatan Asuhan Keperawatan
pada Anak dengan Kasus Bronkopneumonia.

5
BAB II

PEMBAHASAN
1. Definisi Bronkopneumonia
Bronkopneumonia adalah istilah medis yang digunakan untuk menyatakan
peradangan yang terjadi pada dinding bronkiolus dan jaringan paru di sekitarnya.
Bronkopeumonia dapat disebut sebagai pneumonia lobularis karena peradangan
yang terjadi pada parenkim paru bersifat terlokalisir pada bronkiolus berserta
alveolus di sekitarnya (Muhlisin, 2017).

Bronkopneumonia adalah peradangan umum dari paru-paru, juga disebut


sebagai pneumonia bronkial, atau pneumonia lobular. Peradangan dimulai dalam
tabung bronkial kecil bronkiolus, dan tidak teratur menyebar ke alveoli
peribronchiolar dan saluran alveolar (PDPI Lampung & Bengkulu, 2017).

2. Etiologi
Menurut Nurarif & Kusuma (2015) secara umum bronkopneumonia
diakibatkan penurunan mekanisme pertahanan tubuh terhadap virulensi
organisme patogen. Orang normal dan sehat memiliki mekanisme pertahanan
tubuh terhadap organ pernafasan yang terdiri atas reflek glotis dan batuk, adanya
lapisan mukus, gerakan silia yang menggerakkan kuman keluar dari organ dan
sekresi humoral setempat.

Timbulnya bronkopneumonia disebabkan oleh bakteri virus dan jamur,


antara lain :

a. Bakteri : Streptococcus, Staphylococcus, H. Influenzae, Klebsiella

b. Virus : Legionella Pneumoniae

c. Jamur : Aspergillus Spesies, Candida Albicans

d. Aspirasi makanan, sekresi orofaringeal atau isi lambung kedalam paru

e. Terjadi karena kongesti paru yang lama

Bronkopneumonia merupakan infeksi sekunder yang biasanya disebabkan


oleh virus penyebab Bronkopneumonia yang masuk ke saluran pernafasan

6
sehingga terjadi peradangan bronkus dan alveolus. Inflamasi bronkus ini ditandai
dengan adanya penumpukan sekret, sehingga terjadi demam, batuk produktif,
ronchi positif dan mual. Bila penyebaran kuman sudah mencapai alveolus maka
komplikasi yang terjadi adalah kolaps alveoli, fibrosis, emfisema dan atelektasis.

Kolaps alveoli akan mengakibatkan penyempitan jalan napas, sesak napas,


dan napas ronchi. Fibrosis bisa menyebabkan penurunan fungsi paru dan
penurunan produksi surfaktan sebagai pelumas yang berpungsi untuk
melembabkan rongga fleura. Emfisema (tertimbunnya cairan atau pus dalam
rongga paru) adalah tindak lanjut dari pembedahan. Atelektasis mengakibatkan
peningkatan frekuensi napas, hipoksemia, acidosis respiratori, pada klien terjadi
sianosis, dispnea dan kelelahan yang akan mengakibatkan terjadinya gagal napas
(PDPI Lampung & Bengkulu, 2017).

3. Patofisiologi
Sebagian besar penyebab dari bronkopneumonia ialah mikroorganisme
(jamur, bakteri, virus) awalnya mikroorganisme masuk melalui percikan ludah
(droplet) invasi ini dapat masuk kesaluran pernafasan atas dan menimbulkan
reaksi imonologis dari tubuh. reaksi ini menyebabkan peradangan, dimana ketika
terjadi peradangan ini tubuh menyesuaikan diri maka timbulah gejala demam pada
penderita.

Reaksi peradangan ini dapat menimbulkan sekret, semakin lama sekret


semakin menumpuk di bronkus maka aliran bronkus menjadi semakin sempit dan
pasien dapat merasa sesak. Tidak hanya terkumpul dibronkus lama-kelamaan
sekret dapat sampai ke alveolus paru dan mengganggu sistem pertukaran gas di
paru.

Tidak hanya menginfeksi saluran nafas, bakteri ini juga dapat menginfeksi
saluran cerna ketika ia terbawa oleh darah. Bakteri ini dapat membuat flora normal
dalam usus menjadi agen patogen sehingga timbul masalah pencernaan.

Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan


mikroorganisme, keadaan ini disebabkan adanya mekanisme pertahanan paru.
Terdapatnya bakteri didalam paru menunjukkan adanya gangguan daya tahan

7
tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan mengakibatkan
timbulnya infeksi penyakit. Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas
dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain inhalasi langsung dari udara,
aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring serta perluasan
langsung dari tempat-tempat lain, penyebaran secara hematogen (Nurarif &
Kusuma, 2015).

Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui


jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan
jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu
proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu (Bradley, 2011):

a. Stadium I/Hiperemia (4-12 jam pertama atau stadium kongesti).


Pada stadium I, disebut hiperemia karena mengacu pada respon
peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi.
Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di
tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator
peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin.

b. Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)

Pada stadium II, disebut hepatitis merah karena terjadi sewaktu alveolus
terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu
(host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi
padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan sehingga
warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini
udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga orang dewasa akan
bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

c. Stadium III/ Hepatisasi Kelabu (3-8 hari berikutnya)


Pada stadium III/hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel- sel darah
putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai di reabsorbsi, lobus masih tetap

8
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan
kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

d. Stadium IV/Resolusi (7-11 hari berikutnya)


Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorpsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

4. Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan,
dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli
telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti
secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan (Bradley, 2011). Berikut
ini klasifikasi pneumonia sebagai berikut :

a. Berdasarkan lokasi lesi di paru yaitu pneumonia lobaris, pneumonia


interstitialis, bronkopneumonia.
b. Berdasarkan asal infeksi yaitu pneumonia yang didapat dari masyarakat
(community acquired pneumonia = CAP). Pneumonia yang didapat dari
rumah sakit (hospital-based pneumonia).
c. Berdasarkan mikroorganisme penyebab yaitu pneumonia bakteri,
pneumonia virus, pneumonia mikoplasma, dan pneumonia jamur.
d. Berdasarkan karakteristik penyakit yaitu pneumonia tipikal dan
pneumonia atipikal.
e. Berdasarkan lama penyakit yaitu Pneumonia akut dan Pneumonia
persisten.

5. Manifestasi Klinis
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian
atas selama beberapa hari. Suhu tubuh dapat naik secara mendadak sampai 37,6-
40°C dan kadang disertai kejang karena demam yang tinggi. Selain itu, anak bisa
menjadi sangat gelisah, pernapasan cepat dan dangkal disertai pernapasan cuping
hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Sedangkan, batuk biasanya tidak

9
dijumpai pada awal penyakit, seorang anak akan mendapat batuk setelah beberapa
hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan :

a. Inspeksi: Pernafasan cuping hidung (+), sianosis sekitar hidung dan


mulut, retraksi sela iga.
b. Palpasi: Stem fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit.
c. Perkusi: Sonor memendek sampai beda.
d. Auskultasi: Suara pernapasan mengeras (vesikuler mengeras) disertai
ronki basah gelembung halus sampai sedang.

Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya


daerah yang terkena. Pada perkusi thoraks sering tidak dijumpai adanya kelainan.
Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai
sedang. Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada
perkusi terdengar suara yang meredup dan suara pernapasan pada auskultasi
terdengar mengeras. Pada stadium resolusi ronki dapat terdengar lagi. Tanpa
pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi antara 2-3 minggu (PDPI
Lampung & Bengkulu, 2017).

6. Komplikasi
Komplikasi bronkopneumonia umumnya lebih sering terjadi pada anak-
anak, orang dewasa yang lebih tua (usia 65 tahun atau lebih), dan orang-orang
dengan kondisi kesehatan tertentu, seperti diabetes (Akbar Asfihan, 2019).
Beberapa komplikasi bronkopneumonia yang mungkin terjadi, termasuk :

a. Infeksi Darah
Kondisi ini terjadi karena bakteri memasuki aliran darah dan menginfeksi
organ lain. Infeksi darah atau sepsis dapat menyebabkan kegagalan organ.
b. Abses Paru-paru
Abses paru-paru dapat terjadi ketika nanah terbentuk di rongga paru-paru.
Kondisi ini biasanya dapat diobati dengan antibiotik. Tetapi kadang-kadang
diperlukan pembedahan untuk menyingkirkannya.

10
c. Efusi Pleura
Efusi pleura adalah suatu kondisi di mana cairan mengisi ruang di sekitar paru-
paru dan rongga dada. Cairan yang terinfeksi biasanya dikeringkan dengan
jarum atau tabung tipis. Dalam beberapa kasus, efusi pleura yang parah
memerlukan intervensi bedah untuk membantu mengeluarkan cairan.
d. Gagal Napas
Kondisi yang disebabkan oleh kerusakan parah pada paru-paru, sehingga
tubuh tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen karena gangguan fungsi
pernapasan. Jika tidak segera diobati, gagal napas dapat menyebabkan organ
tubuh berhenti berfungsi dan berhenti bernapas sama sekali. Dalam hal ini,
orang yang terkena harus menerima bantuan pernapasan melalui mesin
(respirator).

7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Nurarif & Kusuma, 2015) untuk dapat menegakkan diagnosa
keperawatan dapat digunakan cara :

a. Pemeriksaan laboratorium

1) Pemeriksaan darah

Pada kasus bronkopneumonia oleh bakteri akan terjadi leukositosis


(meningkatnya jumlah neutrofil)

2) Pemeriksaan sputum

Bahan pemeriksaan yang terbaik diperoleh dari batuk yang spontan dan
dalam digunakan untuk kultur serta tes sensitifitas untuk mendeteksi
agen infeksius.

3) Analisa gas darah untuk mengevaluasi status oksigenasi dan status asam
basa.

4) Kultur darah untuk mendeteksi bakteremia.

5) Sampel darah, sputum dan urine untuk tes imunologi untuk mendeteksi
antigen mikroba

11
b. Pemeriksaan radiologi

1) Ronthenogram thoraks

Menunujukkan konsolidasi lobar yang seringkali dijumpai pada infeksi


pneumokokal atau klebsiella. Infiltrat multiple seringkali dijumpai pada
infeksi stafilokokus dan haemofilus

2) Laringoskopi/bronskopi

Untuk menentukan apakah jalan nafas tesumbat oleh benda padat

8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada anak dengan
bronkopneumonia yaitu:

a. Pemberian obat antibiotik penisilin ditambah dengan kloramfenikol 50- 70


mg/kg BB/hari atau diberikan antibiotic yang memiliki spectrum luas seperti
ampisilin, pengobatan ini diberikan sampai bebas demam 4-5 hari. Antibiotik
yang direkomendasikan adalah antibiotik spectrum luas seperti kombinasi
beta laktam/klavulanat dengan aminoglikosid atau sefalosporin generasi
ketiga (Ridha, 2014).
b. Pemberian terapi yang diberikan pada pasien adalah terapi O2, terapi cairan
dan, antipiretik. Agen antipiretik yang diberikan kepada pasien adalah
paracetamol. Paracetamol dapat diberikan dengan cara di tetesi (3x0,5 cc
sehari) atau dengan peroral/ sirup. Indikasi pemberian paracetamol adalah
adanya peningkatan suhu mencapai 38ºC serta untuk menjaga kenyamanan
pasien dan mengontrol batuk.
c. Terapi nebulisasi menggunakan salbutamol diberikan pada pasien ini dengan
dosis 1 respul/8 jam. Hal ini sudah sesuai dosis yang dianjurkan yaitu 0,5
mg/kgBB. Terapi nebulisasi bertujuan untuk mengurangi sesak akibat
penyempitan jalan nafas atau bronkospasme akibat hipersekresi mukus.
Salbutamol merupakan suatu obat agonis beta- 2 adrenegik yang selektif
terutama pada otot bronkus. Salbutamol menghambat pelepas mediator dari
pulmonary mast cell 9,11 Namun terapi nebulisasi bukan menjadi gold standar
pengobatan dari bronkopneumonia. Gold standar pengobatan

12
bronkopneumonia adalah penggunaan 2 antibiotik (Alexander & Anggraeni,
2017).

9. Asuhan Keperawatan Anak Dengan Bronchopnemonia


A. Pengkajian Keperawatan
a) Anamsesa :
Pengkajian mengenai nama lengkap, jenis kelamin, tanggal lahir,
tempat lahir, umur (bronkopneumonia sering terjadi pada bayi dan anak.
Kasus terbanyak terjadi pada anak berusia di bawah 3 tahun), asal suku
bangsa, nama orang tua, pekerjaan orang tua, dan penghasilan.

b) Keluhan utama :
Keluhan utama menjelaskan keluhan yang terjadi saat dikaji.
Pada anak dengan Bronkopneumonia adalah sesak nafas dan batuk.
Keluhan utama secara terperinci dengan menggunakan PQRST :

P : Paliativ / Provoaktif (Penyebab yang memperberat dan memperingan)


Q : Quantitas (Dirasakan seperti apa, tapilannya, suaranya, dan berapa
banyak)
R : Region / Radiasi (Lokasi dimana dan penyebarannya)
S : Skala (Itensitasnya, pengaruh terhadap aktivitas)
T : Time (Kapan keluhan tersebut muncul, berapa lama dan bersifat tiba
– tiba, sering dan bertahap)
c) Riwayat penyakit sekarang :
Pada penderita bronkopneumonia biasanya merasakan sulit untuk
bernafas, dan disertai dengan batuk berdahak, terlihat otot bantu
pernafasan, adanya suara nafas tambahan, penderita biasanya juga lemah
dan tidak nafsu makan, kadang disertai diare.
d) Riwayat penyakit dahulu :
Anak sering menderita penyakit saluran pernafasan bagian atas,
memiliki riwayat penyakit campak atau pertussis serta memiliki faktor

13
pemicu bronkopneumonia misalnya riwayat terpapar asap rokok, debu
atau polusi dalam jangka panjang.

e) Pemeriksaan Fisik
1) Kepala
Amati bentuk dan kesimetrisan kepala, fontanel sudah
tertutup atau belum, kebersihan kepala klien, apakah ada
pembesaran kepala, apakah ada lesi pada kepala, Pada klien
bronchopneumonia biasanya akan ditemukan rambut mudah
rontok karena kekurangan nutrisi, rambut tampak kotor dan
lengket akibat peningkatan suhu.
2) Mata
Perhatikan apakah jarak mata lebar atau lebih kecil, amati
kelopak mata terhadap penepatan yang tepat, periksa alis mata
terhadap kesimetrisan dan pertumbuhan rambutnya, amati
distribusi dan kondisi bulu matanya, periksa warna konjungtiva,
dan sklera, pupil isokor atau anisokor, lihat apakah mata tampak
cekung atau tidak serta amati ukuran iris apakah ada peradangan
atau tidak. Pada klien dengan Bronkopneumonia biasanya akan
ditemukan kondisi konjungtiva tampak pucat akibat intake nutrisi
yang tidak adekuat.
3) Telinga
Periksa penempatan dan posisi telinga, amati penonjolan
atau pendataran telinga, periksa struktur telinga luar dan ciri ciri
yang tidak normal, periksa saluran telinga luar terhadap hygiene.
Lakukan penarikan apakah ada nyeri atau tidak dilakukan palpasi
pada tulang yang menonjol di belakang telinga untuk mengetahui
adanya nyeri tekan atau tidak, pada klien Bronkopneumonia
terjadi otitis media.
4) Hidung
Amati ukuran dan bentuk hidung, lakukan uji indra
penciuman dengan menyuruh anak menutup mata dan minta anak

14
untuk mengidentifikasi setiap bau dengan benar, akan nampak
adanya pernapasan cuping hidung, kadang terjadi sianosis pada
ujung hidung, lakukan palpasi setiap sisi hidung untuk menetukan
apakah ada nyeri tekan atau tidak. Pada klien Bronkopneumonia
biasanya ditemukan pernapasan cuping hidung dan produksi
sekret, adanya sianosis.
5) Mulut
Periksa bibir terhadap warna, kesimetrisan, kelembaban,
pembengkakan, lesi, periksa gusi lidah dan palatum terhadap
kelembaban dan perdarahan, amati adanya bau, periksa lidah
terhadap gerakan dan bentuk, periksa gigi terhadap jumlah, jenis
keadaan, insfeksi faring menggunakan spatel lidah dan amati
kualitas suara, refleks sucking dan rooting ada. Pada klien
Bronkopneumonia, sianosis disekeliling mulut, terdapat sputum
yang sulit dikeluarkan.
6) Leher
Inspeksi bentuk leher klien, kaji adanya nyeri menelan,
pergerakan leher, palpasi terhadap adanya nyeri, ada atau
tidaknya pembesaran thyroid dan kelenjar getah bening dan
terhadap adanya masa/pembengkakan.
7) Dada
Amati kesimetrisan dada terhadap retraksi atau tarikan
dinding dada kedalam, amati jenis pernapasan, amati gerakan
pernapasan dan lama inspirasi serta ekspirasi, lakukan perkusi
diatas sela iga, bergerak secara simetris atau tidak dan lakukan
auskultasi lapangan paru, amati apakah ada nyeri di sekitar dada,
suara napas terdengar ronchi, kalau ada pleuritis terdengar suara
gesekan pleura pada tempat lesi, kalau ada efusi pleura suara
napas melemah. Pada klien Bronkopneumonia biasanya akan
ditemukan ronchi atau wheezing dan kemungkinan terdepat
retraksi dinding dada.

15
8) Abdomen
Periksa kontur abdomen ketika sedang berdiri atau
berbaring terlentang, simetris atau tidak, periksa warna dan
keadaan kulit abdomen, amati turgor kulit. Lakukan auskultasi
terhadap bising usus serta perkusi pada semua area abdomen.
Pada klien Bronkopneumonia biasanya akan ditemukan ekspansi
kuman melalui pembuluh darah yang masuk kedalam saluran
pencernaan dan mengakibatkan infeksi sehingga terjadi
peningkatan peristaltic usus dan kekakuan pada dinding
abdomen.
9) Punggung dan bokong
Pada umumnya tidak terjadi kelainan, pada klien
Bronkopneumonia biasanya akan ditemukan bunyi ronchi saat
dilakukan auskultasi pada paru bagian belakang dan ketidak
simetrisan pergerakan thorks saat di palpasi.
10) Genetalia dan anus
Periksa kulit sekitar daerah anus terhadap kemerahan
dan ruam, kaji kebersihan sekitar anus dan genetalia, inspeksi
ukuran penis, inspeksi adanya tanda-tanda pembengkakan, amati
ukuran skrotum, periksa anus terhadap tanda-tanda fisura,
hemoroid dan polip.
11) Ekstermitas
Kaji bentuk kesimetrisan bawah dan atas, kelengkapan
jari, apakah terdapat sainosis pada ujung jari. Adanya atrofi dan
hipertrofi otot, masa otot tidak simetris, tonus otot meningkat,
rentang gerak terbatas, kelemahan otot, gerakan abnormal seperti
tremor distonia, edema, tanda kernig positif (nyeri bila kaki
diangkat dan dilipat), trugor kulit tidak cepat kembali setelah
dicubit kulit kering dan pucat, amati apakah ada klabing pinger.
Pada klien dengan Bronkopneumonia biasanya akan ditemukan
sianosis pada ujung jari, biasanya CRT kembali lebih dari 2 detik.

16
f. Data Penunjang
Semua prosedur diagnostik dan laboratorium yang dijalani klien.
hasil pemeriksaan ditulis termasuk nilai rujukan, pemeriksaan terakhir
secara bertutut-turut, berhubungan dengan kondisi klien.
1. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah menunjukan leukositosis dengan
predominan PMN atau dapat ditemukan leukopenia yang
menandakan prognosis buruk. Dapat ditemukan anemia ringan atau
sedang (Riyadi, 2013).
2. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologis memberikan gambaran bervariasi
yaitu bercak konsolidasi merata pada bronkopneumonia, bercak
konsolidasi satu lobus pada pneumonia lobaris, gambaran
bronkopneumonia difus atau infiltrast pada pneumonia stafilokok
(Riyadi, 2013).

B. Diagnosa Keperawatan
Menurut Wulandari & Erawati (2016), diagnosa keperawatan yang
mungkin muncul pada anak brokopneumonia adalah

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi


dibuktikan dengan batuk tidak efektif, sputum berlebih, adanya
wheezing, gelisah dan sianosis (D.0001).
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane
alveolus kapiler dintandai dengan dispnea, takikardia, adanya bunyi
nafas tambahan (D.0003).
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan proses inflamasi dalam
alveoli dibuktikan dengan pola nafas abnormal,dispnea, dan adanya
pernafasan cuping hidung (D.0005).
4. Resiko ketidakseimbangan cairan ditandai dengan kehilangan cairan
berlebih, penurunan masukan oral.
5. Defisit nutrisi berhubungan dengan peningkatan kebuthan metabolisme
dibuktikan dengan berat demam menurun 10% dibawah rentang
ideal,nafsu makan menurun, dan membrane mukosa pucat

17
C. Perencanaan Keperawatan

Diagnosis Tujuan dan Intervensi Rasionalisasi


Keperawatan
Kriteria Hasil
Bersihan jalan Setelah dilakukan Latihan batuk Observasi
nafas tidak efektif asuhan Efektif (I. 01006) 1. Mengidentifikasi
berhubungan keperawatan Observasi kemampuan batuk
dengan proses diharapkan 1. Identifikasi pasien
infeksi masalah bersihan kemampuan 2. Mengetahui
dibuktikan jalan nafas tidak batuk produksi sputum
dengan batuk efektif dapat 2. Monitor yang berlebihan
tidak efektif, teratasi dengan adanya dapat
sputum berlebih, kriteria hasil : retensi mengakibatkan
adanya 1. Jalan nafas sputum obtruksi jalan nafas
wheezing, efektif dengan Terapeutik
gelisah dan bunyi nafas Terapeutik 3. Mengatur klien
sianosis bersih dan 3. Atur posisi dengan gangguan
(D.0001). jelas. semi fowler pernafasan supaya
2. Frekuensi atau fowler mendapatkan
nafas dalam 4. Buang posisi yang paling
batas normal. secret pada nyaman untuk
tempat bernafas
sputum 4. Membuang secret
pasien pada tempat
Edukasi sputum yang telah
5. Jelaskan disediakan
tujuan dan Edukasi
prosedur 5. Menjelaskan tujuan
batuk dan prosedur
efektif pemantauan agar
6. Anjurkan kondisi klien tetap
tarik nafas terjaga

18
dalam 6. Mengajarkan klien
hingga 3 untuk menarik
kali nafas dalam hingga
3 kali
Kolaborasi Kolaborasi
7. Kolaborasi 7. Mengurangi atau
pemberian mencegah
mukolitik pembentukan
atau sumbatan mukus
espektoran yang kekal di
bronkiolus

Manajemen Jalan Manajemen Jalan


Nafas Nafas
Observasi Observasi
8. Monitor 8.Untuk mengetahui
pola nafas frekuensi nafas
9. Monitor 9.Melakukan monitor
bunyi nafas apakah ada bunyi
10. Monitor tambahan misal
Sputum wheezing atau rongki
Terapeutik 10.Melakukan monitor
11. Pertahankan terhadap sputum misal
kepatenan jumah dan warna
jalan nafas
12. Berikan Terapeutik
minum 11.Pasien dapat
hangat bernafas dengan mudah
13. Lakukan 12.Untuk mengurangi
fisioterapi bronkospasme
dada, jika 13.Untuk
perlu mengeluarkan secret

19
14. Berikan 14.Untuk menjaga
oksigen, saturasi oksigen pasien
jika perlu tetap dalam keadaan
normal
Edukasi Edukasi
15. Anjurkan 15.Cairan dapat
asupan meningkatan distensi
cairan 2000 dan tekanan pada
ml/hari, jika diafragma
tidak
kontraindik
asi

Kolaborasi Kolaborasi
16. Kolaborasi 16.Mengurangi dan
pemberian mencegah sumbatan
bronkodilat mukus yang dikental di
or, bronkiolus
ekspektoran
, mukolitik,
jika perlu

Gangguan Setelah dilakukan Observasi


Pencegahan
pertukaran gas inervensi 1. Untuk
aspirasi (I.01018).
berhubungan keperawatan mengobservasi
dengan diharapkan Observasi lebih lanjut tanda
perubahan Tingkat aspirasi tanda aspirasi
1. Monitor tingkat
membrane menurun dengan 2. Untuk mengetahui
kesadaran,
alveolus kapiler kriteria hasil: status pernafasan
batuk, muntah,
dintandai dengan

20
dispnea, 1. Kemampuan dan kemampuan 3. Untuk memonitor
menelan
takikardia, menelan bunyi napas
meningkat
adanya bunyi 2. Kelemahan 2. Monitor status
otot
nafas tambahan pernapasan
menurun
(D.0003). 3. Monitor bunyi
napas, terutama Terapeutik
setelah 4. Untuk
makan/minum mengurangi
resiko aspirasi
Terapeutik
pada pasien
4. Posisikan 5. Agar pasien dapat
semi fowler bernapas dengan
(30 – 45 lebih lega
derajat) 30 6. Untuk
menit sebelum mengurangi
memberi resiko tersedak
asupan oral dan aspirasi
5. Pertahankan 7. Agar lebih mudah
kepatenan jalan ditelan oleh
napas (mis. pasien
Teknik head-tilt
chin-lift, jaw
thrust, in line)
6. Berikan makanan
dengan ukuran
kecil dan lunak
7. Berikan obat oral
dalam bentuk cair
Edukasi
Edukasi
8. Agar pasien tidak
8.Ajarkan makan tersedak lalu terjadi
secara perlahan aspirasi

21
9.Ajarkan strategi 9. Agar pasien dapat
mencegah aspirasi menerapkan dan
mengurangi resiko
terjadinya aspirasi

Pola nafas tidak Setelah dilakukan Pemantauan respirasi


Pemantauan
efektif inervensi respirasi Observasi
berhubungan keperawatan 1. Memonitor
( I. 01014)
dengan proses diharapkan frekuensi,
Observasi
inflamasi dalam masalah pola irama,
alveoli nafas tidak efektif 1. Monitor kedalaman, dan
dibuktikan dapat teratasi frekuensi, upaya nafas
dengan pola nafas dengan kriteria irama, 2. Untuk
abnormal,dispnea hasil 1. pola nafas kedalaman, mengetahui
, dan adanya dalam rentang dan upaya pola nafas(
pernafasan normal. nafas frekuensi,
cuping hidung 2. Tidak ada kedalaman,
2. Monitor
(D.0005). pernafasan usaha nafas)
pola nafas
cupping idung 3. Memonitor
3. Tidak ada 3. Monitor seberapa tahu
retraksi dinding kemempuan pasien
dada. batuk mengenai batuk

efektif efektif
4. Memantau
4. Auskultasi bunyi nafas
bunyi nafas tambahan
5. Memastikan
5. Monitor
saturasi
saturasi
oksigen pasien
oksigen

22
6. Monitor dalam kondisi
nilai AGD normal
6. Mengetahui
Terapeutik
ketidakseimban

7. Dokumenta g

si hasil an asam basa

pemantauan dalam tubuh


pasien
Edukasi

Terapeutik
8. Jelaskan
7. Melakukan
tujuan dan
pemantauan respirasi
prosedur
pasien supaya tetap
pemantauan
dalam kondisi stabil

Edukasi
8. Melakukan edukasi
kepada pasien terhadap
tujuan dan tatalaksana
pemantauan
Resiko Setelah dilakukan Manajemen cairan
Manajement
ketidakseimbang asuhan Observasi
cairan (I.03098)
an cairan ditandai keperawatan 1. Untuk memantau
dengan diharapkan Observasi status hidrasi
kehilangan cairan masalah pola pasien
1. Monitor
berlebih, nafas tidak efektif 2. Untuk
status
penurunan dapat teratasi menentukan
hidrasi (mis.
masukan oral. dengan kriteria berat badan
frekuensi
hasil: pasien dalam
nadi,
1. Dapat kondisi normal
kekuatan
menunjukkan 3. Untuk
nadi, akral,
memasttikan

23
keseimabanga pengisian berat badan
n cairan. kapiler, dalam kondisi
2. Membrane kelembapan normal
mukosa lembab mukosa, 4. Untuk
turgor kulit turgor kulit, mengetahui hasil
normal,pengisi tekanan lab dan
an kapiler cepat darah) memantau
keadaan pasien
2. Monitor
5. Melakukan
berat badan
monitor
harian
hemodiamik

3. Monitor
berat badan
sebelum
dan sesudah
dialysis

4. Monitor
hasil
pemeriksaa
n
labolatoriu
m (mis.
hematokrit,
Na, K, Cl,
berat jenis
urine, BUN)

5. Monitor
status
hemodinami
k (mis.
MAP, CVP,

24
PAP,
PCWP jika
tersedia)

Terapeutik
Terapeutik

6. Catat 6. Untuk

intake- memastikan

output dan keseimbangan

hitung cairan dalam

balans tubuh pasien

cairan 24 7. Memberikan

jam asupan sesuai


kebutuhan yang
7. Berikan diperlukan
asupan 8. Memberikan
cairan, cairan intravena
sesuai untuk memenuhi
kebutuhan kebutuhan cairan
pasien
8. Berikan
cairan
intravena,
jika perlu

Kolaborasi
Kolaborasi

9. Kolaborasi 9. Mengkolaborasik
pemberian an dengan dokter
diuretic, mengenai
jika perlu pemberian
diuretik

25
Defisit nutrisi Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi
Manajemen
berhubungan asuhan nutrisi (I.03119) Observasi
dengan keperawatan 1. Untuk
Observasi
peningkatan diharapkan mengkaji zat
1. Identifikasi
kebuthan masalah resiko gizi yang
status
metabolisme tinggi terhadap dikonsumsi dan
nutrisi
dibuktikan nutrisi kurang dari suplemen yang
dengan berat kebutuhan tubuh 2. Identifikai diperlukan
demam menurun dapat teratasi alergi dan
10% dibawah dengan kriteria intoleransi 2. Melakukan
rentang hasil : makanan pengecekan
ideal,nafsu 1.Menunjukkan apakah pasien
3. Monitor
makan menurun, peningkatan nafsu mempunyai
berat badan
dan membrane makan alergi
mukosa pucat 2.Mempertahanka
3. Mengukur IMT
n atau
Terapeutik (Indeks Massa
meningkatkan
4. Fasilitasi Tubuh) pasien
kembali
menentukan
Terapeutik
pedoman
4. Untuk
diet (mis.
meningkatkan
piramida
asupan nutrisi
makanan)
yang adekuat
5. Berikan 5. Untuk
makanan memenuhi
tinggi serat kadar protein
untuk tinggi,
mencegah menambah atau
konstipasi mengurangi
kalori, vitamin,
6. Berikan
mineral atau
suplemen
suplemen

26
makanan, 6. Untuk
jika perlu menambah
nafsu makan
Edukasi
pada anak

7. Anjurkan Edukasi

posisi 7. Untuk

duduk, jika mempermudah

mampu kondisi pasien


dalam keadaan
8. Ajarkan diet nyaman saat
yang bernafas
diprogramk 8. Untuk
an mengatur
asupan kalori
Kolaborasi
yang
9. Kolaborasi dibutuhkan
pemberian agar tetap
medikasi seimbang
sebelum Kolaborasi
makan (mis. 9. Untuk
pereda mencegah
nyeri, kekambuhan
antiemetik), saat makan
jika perlu (mis. seperti
obat nyeri)
10. Kolaborasi
10. Melakukan
dengan ahli
kolaborasi
gizi untuk
dengan ahli gizi
menentukan
untuk
jumlah
menentukan
kalori dan
asupan nutrisi
jenis nutrien

27
yang yang cocok
dibutuhkan, bagi pasien
jika perlu

D. Implementasi Keperawatan

Implementasi yaitu melaksanakan berbagai strategi keperawatan yang telah


direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan. baik tindakan mandiri maupun
tindakan kolaborasi. (Doengoes, 2018).

Pada pasien bronkopneumonia dengan bersihan jalan napas tidak efektif, implementasi
yang dilakukan yaitu membina hubungan terapeutik dengan klien dan orang tua,
mengobservasi tanda-tanda vital dan pola nafas, mengauskultasi bunyi nafas tambahan
(ronchi dan wheezing), atur posisi semi fowler atau fowler, buang secret pada tempat
sputum, ajarkan batuk efektif, anjurkan Tarik nappas dalam hingga 3 kali, kolaborasi
pemberian mukolitik atau ekspektoran

E. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi dilakukan dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari
rencana keperawatan tercapai atau tidak (Hidayat, 2009). Evaluasi terdiri dari evaluasi
formatif dan evaluasi somatif :

1. Evaluasi formatif

Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan


intervensi dengan respon segera yang dicatat dalam format implementasi.

2. Evaluasi Somatif

Evaluasi somatif adalah rekapitulasi hasil observasi dan analisis status pasien pada
waktu tertentu berdasarkan tujuan yang direncanakan pada tahap perencanaan. Evaluasi
sebagai alat ukur suatu tujuan yang mempunyai kriteria tertentu yang membuktikan

28
apakah tujuan tercapai, tidak tercapai atau tercapai sebagian. Menurut Rohmah & Walid
(2013) untuk memudahkan perawat mengevaluasi atau memantau perkembangan klien,
digunakan komponen SOAP/SOAPIE/SOAPIER.

S : Data Subjektif

Data keluhan pasien yang dirasakan setelah dilakukan tindakan keperawatan.

O : Data Objektif

Data berdasarkan hasil observasi langsung kepada klien yang dirasakan klien setelah
dilakukan tindakan keperawatan.

A : Assesment

Masalah yang masih terjadi atau masalah baru yang terjadi akibat perubahan status
kesehatan klien yang telah teridentifikasi melalui data subjektif dan data objektif.

P : Planning

Perencanaan keperawatan yang akan dilanjutkan, dhentikan, dimodifikasi, atau


ditambahkan dari rencana tindakan keperawatan yang telah ditentukan sesuai dengan
masalah yang terjadi.

29
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bronkopneumonia adalah merupakan peradangan pada parenkim paru yang
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, ataupun benda asing yang ditandai dengan gejala
panas yang tinggi, gelisah, dispnea, napas cepat dan dangkal, muntah, diare, serta batuk
kering dan produktif. Timbulnya bronkopneumonia disebabkan oleh virus, bakteri, jamur,
protozoa, mikobakteri, mikoplasma, dan riketsia.

3.2 Saran
Dengan adanya laporan tentang bronkopneumonia ini diharapkan pada tenaga
kesehatan dapat menyesuaikan tindakan berdasarkan prinsip pengelolaan
bronkopneumonia. Pada keluarga pasien setelah pulang ke rumah dapat memantau
perkembangan bayinya, terutama penambahan berat badan bayinya.

30
DAFTAR PUSTAKA

Akbar Asfihan (2019) Bronchopneumonia. Available at:


https://adalah.co.id/bronchopneumonia/.
Alexander & Anggraeni (2017) ‘Tatalaksana Terkini Bronkopneumonia pada Anak di
Rumah Sakit Abdul Moeloek’, Jurnal Kedokteran.
Bradley J.S., B. . (2011) ‘The Management of Community-Acquired Pneumonia in
Infants and Children Older than 3 Months of Age’, Clinical Practice Guidelines
by the Pediatric Infections Diseases Society and the Infections Disease Society
of America.
Dwi Hadya Jayani (2018) ‘10 Penyebab Utama Kematian Bayi di Dunia’, in Hari
Widowati (ed.). Jakarta: Katadata. Available at: ourworlddindata.org.
Kemenkes RI (2015) Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kholisah Nasution, M. Azharry Rully Sjahrullah, Kartika Erida Brohet, Krishna Adi
Wibisana, M. Ramdhani Yassien, Lenora Mohd. Ishak, Liza Pratiwi, Corrie
Wawolumaja Endyarni, B. (2015) ‘Infeksi Saluran Napas Akut pada Balita di
Daerah Urban Jakarta’, Sari Pediatri.
Nurarif & Kusuma (2015) APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediaAction.
PDPI Lampung & Bengkulu (2017) Penyakit Bronkopneumonia. Available at:
http://klikpdpi.com/index.php?mod=article&sel=7896.
PPNI (2017) Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik. Jakarta: DPP PPNI.
Ridha, N. (2014) Buku Ajar Keperawatan Anak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soemarno, S., Astuti, & D. (2015) ‘Pengaruh Penambahan Mwd Pada Terapi Inhalasi,
Chest Fisioterapi (Postural Drainage, Huffing, Caughing, Tapping Dan
Clapping) Dalam Meningkatkan Volume Pengeluaran Sputum Pada Penderita
Asma Bronchiale’, Jurnal Fisioterapi Indonusa, 5.
WHO (2019) Pneumonia. Available at: https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/pneumonia.
Yuliastati & Amelia Arnis (2016) Keperawatan Anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Yuniarti Sri (2015) Asuhan Tumbuh Kembang Neonatus Bayi: Balita dan Anak
Prasekolah. Bandung: PT Refika Aditama.

31

Anda mungkin juga menyukai