Anda di halaman 1dari 9

Cendekiawan dan

Pengkhianatan
Intelektual Kampus
Oleh: Emilianus Yakob Sese Tolo

5 November 2017

Kategori: Kritik

4
Puluhan warga dari Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati menggeruduk ke Universitas Gajah Mada (UGM) guna mendemo dua
akademisinya yang memberi keterangan palsu dalam dokumen AMDAL yang memihak pabrik semen. Sumber: mongabay.com

1031
Berbagi
FacebookTwitter
Puluhan warga dari Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati menggeruduk ke Universitas Gajah
Mada (UGM) guna mendemo dua akademisinya yang memberi keterangan palsu dalam
dokumen AMDAL yang memihak pabrik semen. Sumber: mongabay.com
Dalam sejarah umat manusia, kiprah para cendekiawan telah terbukti sangat determinitik
terhadap eksistensi sebuah peradaban. Sebab, ide-ide yang menetes dari kerja intelektual dan
kreativitas berpikirnya, cepat atau lambat berpotensi membawa ekses yang mendua: mengangkat
atau mengguncang-guncang suatu peradaban. Tidak jarang kerja intelektual bisa berkontribusi
positif terhadap sebuah peradaban, namun tak jarang pula lebih banyak membawa mudarat
daripada manfaat.

Pada abad ke-18, peradaban kapitalisme di Eropa, misalnya, bergerak lebih “gesit” setelah
mendapat legitimasi intelektual Adam Smith. Melalui bukunya, The Wealth of Nation (1776),
Adam Smith menegaskan bahwa keserakahan, sebagai hakikat asali manusia, memiliki manfaat
sosial. Tetapi, hal ini tidak terbukti. Karena itu, pada abad ke-19, muncul sosok lain, Karl Marx,
yang mendepak kepitalisme dan menawarkan bentuk peradaban lain, yakni sosialisme dan
komunisme.[1]
Melawan Smith, Karl Marx mendaku bahwa keserakahan bukanlah hakikat asali manusia, tetapi
hanyalah suatu produk sejarah, dan oleh karena itu, bisa diubah dengan menanggalkan sistem
kepemilikian pribadi. Prediksi Karl Marx bersama Friedrich Engels dalam Manifesto Komunis
(1847) bahwa “ada hantu berkeliaran di Eropa, hantu Komunisme” benar-benar menjadi
kepercayaan baru dalam peradaban Eropa abad ke-19, yang kemudian memuncak sampai akhir
tahun 1980an, lalu meredup, dan kini mulai dibaca dan dihidupkan kembali akibat dari krisis
kapitalisme yang terus berulang.[2]
Pertanyaannya, siapa itu cendekiawan? Apakah cendikiawan haruslah sosok seperti Smith dan
Marx di atas?

Dalam ilmu sosial, definisi cendekiawan sendiri masih diperdebatkan. Ada yang mengatakan
bahwa cendekiawan adalah mereka yang mendapatkan surat krendesial berupa ijazah dari
perguruan tinggi. Namun, tidak semua sepakat dengan definisi ini.[3] Sebab, dalam kenyataan,
tidak otomatis seorang yang memiliki ijazah akan memainkan peran kecendekiaan. Sebaliknya,
yang tidak berijazah justru bisa berperan sebagai cendekiawan. Dalam konteks Indonesia,
sastrawan terbesar Indonesia tak tepermanai, Pramoedya Ananta Toer, bisa menjadi contoh yang
tepat.[4]
Dalam sejarah, Rusia pada masa Tsar pernah memberikan gelar intelligentsia kepada mereka
yang dikirim ke Barat untuk mempelajari secara khusus ‘penguasan dasar-dasar peradaban
Barat’. Di Italia, Antonio Gramsci mendefinisikan mereka yang mengartikulasikan pandangan
dunia, kepentingan, tujuan, dan kemampuan kelas tertentu sebagai “intelektual organik”.
Sementara di Prancis, Julian Benda, dalam bukunya La Trahision des Clercs (1927), menamakan
mereka yang mencari kegirangan hidupnya dalam dunia kesenian, ilmu pengetahuan, dan
metafisika sebagai les clrecs alias kaum intelektual. Les clrecs adalah nama yang diberikan
Julian Benda untuk mereka yang memainkan peran sebagai moralis yang tidak partisan ala
Gramscian, yang melawan segala bentuk egoisme manusiawi, dan tidak tanggung-tanggung
“membaptis” diri seperti seorang klerus yang percaya bahwa: “kerajaanku bukan dari dunia ini”.
[5]
Semua definisi tadi, menurut penulis, tidak bisa dikatakan bahwa yang satu lebih berdaulat atas
yang lain. Jika demikian, timbul soal baru di sini: definisi mana yang mesti dirujuk? Definisi di
atas, masing-masing memiliki keterbatasan. Sebab, sepak terjang kecendekiawaan dibatasi oleh
kondisi struktural dan kultural yang dihadapinya. Dengan demikian, cendekiawan selalu
terdefinisikan berdasar konteks yang mengintarinya. Dengan demikian, definisi atasnya selalu
hadir dalam pengertian yang terbatas.

Karena keterbatasan ini, Daniel Dhakidae (2003),dalam buku Cendikiawan dan Kekuasaan
dalam Negara Orde Baru menghadirkan sebuah wacana baru, bahwa sejatinya cendekiawan
tidak memiliki definisi, sebab cendekiawan bukanlah sekelompok orang atau benda, melainkan
relasi. Baginya,
“cedekiawan, kecendekiaan, kaum cendekiawaan adalah relasi, bukan
definisi, yang keluar sebagai akibat dari hubungan modal, kekuasaan, dan
kebudayaan. …[C]endekiawaan adalah relasai dalam satu medan-–medan
sosial, medan ekonomi, medan sastra, medan politik–-dengan titik berat
diberikan pada produksi wacana, pertikaian wacana, pergantian wacana,
dan kembali kepada formasi wacana baru lagi.”[6]
Berdasarkan beberapa definisi di atas, cendekiawan merangkum banyak pihak, baik itu
masyarakat akademis maupun non-akademis. Dalam tulisan ini, penulis lebih menyoroti
cendekiawan dalam dunia akademis, terutama para pendidik, dosen, dan peneliti di perguruan
tinggi.

Tugas seorang cendekiawaan (kampus) dalam dunia akademisi adalah bergelut dalam bidang
“produksi wacana, pertikaian wacana, pergantian wacana, dan kembali kepada formasi wacana
baru lagi.” Cendekiawan adalah seperti seorang “tukang” yang selalu memproduksi pengetahuan.
Sebagai tukang, diharapkan bahwa yang diproduksi bukan ilmu untuk ilmu, seperti seruan Julian
Benda, tetapi ilmu untuk Rakyat. Atau, ilmu yang berpihak pada kelompok tertentu, terutama
bagi pembebasan kaum tertindas seperti harapan Antonio Gramsci.[7]
Pertanyaannya selanjutnya adalah, apakah cendekiawan Indonesia sudah menjalankan tugasnya
sebagai produksi pengetahuan bermutu untuk Rakyat dan kaum tertindas?

Pada tahun 2009, di antara negara ASEAN saja, cedekiawan Indonesia hanya menghasilkan
7,1% publikasi internasional, sementara cendekiawan Singapura memproduksi 53,5%, Brunei
(53,7%), Malaysia (25,1%), Filipina (24,1%) dan Thailand (18,8%). Artinya, satu juta penduduk
Indonesia hanya mampu menghasilkan kira-kira 0,87% publikasi internasional, sebuah angka
yang sangat kecil jika dikomparasi dengan Malaysia (21.30%) dan India (12,00%). Fakta ini
mengafirmasi pernyataan Antony Reid (2011) bahwa 90% publikasi internasional tentang
Indonesia ditulis oleh akademisi yang tinggal di luar Indonesia.[8]
Bertolak dari data di atas, harus diakui bahwa dunia akademisi Indonesia mengalami kelesuan
intelektual. Memproduksi pengetahuan saja cedekiawan Indonesia masih setengah hati. Apalagi,
harus memproduksi pengetahuan yang berpihak kepada Rakyat dan kaum tertindas.
Pembangunan peradaban Indonesia belum bisa diletakkan begitu saja pada tangan para
cendekiawan seperti ini.

Pertanyaan lanjutannya adalah, apa kira-kira penyebab kelesuan ini? Untuk menjawab
pertanyaan ini, kita harus melihatnya secara ekonomi-politik dengan mencermati modal dan
kekuasaan yang membingkai dunia akademisi Indonesia, seperti yang sudah pernah diingatkan
oleh Daniel Dhakidae (2003).

Untuk menganalisis peran para cedekiawan Indonesia, posisi mereka harus diletakan dalam
konteks ekonomi-politik yang menyata dalam kekuatan modal dan kekuasaan. Sebab, sikap dan
kesadaran intelektual cendekiawan sangat ditentukan oleh relasinya dengan modal dan
kekuasaan. Dengan demikian, fenomena kelesuan intelektual ini tidak terlepas dari cengkeraman
modal dan kekuasaan yang mengitarinya.[9]
Di Indonesia, sejak Orde Baru, sepak terjang para cendekiawaan selalu menjadi alat negara. Para
cendekiawan menjadi sarana untuk melegitimasi kekuasaan dan memperlancar derap-langkah
modal. Dengan demikian, para cendekiawan menjadi semacam entitas sosial pemberhala modal
dan kekuasaan Orde Baru. Sayangnya, hal yang sama juga masih terus berlanjut hingga pasca
Orde Baru. Bahkan menurut Heru Nugroro (2006), tendensinya lebih menanjak, terutama di
universitas negeri yang telah menjadi Badan Hukum Milik Negara seperti UI, UGM, ITB dan
IPB.[10] Universitas-universitas baik negeri maupun swasta di daerah, seperti di NTT misalnya,
[11] juga memiliki watak yang kurang lebih sama dengan yang terjadi pada level nasional.[12]
Jika corak dunia akademisi Indonesia sudah demikian adanya, maka tidak heran bila kerja
intelektual dan proyek penelitian para cendekiawan kampus hanyalah “titipan” pihak-pihak yang
berkepentingan dengan sirkulasi modal dan kekuasaan tertentu, baik dalam bidang ekonomi,
birokrasi maupun politik. Kita, Rakyat Indonesia, tidak bisa berharap banyak pada para
cendekiawan “penyembah” modal dan kekuasaan seperti ini untuk memproduksi pengetahuan
bermutu untuk Rakyat, selevel mutu publikasi internasional misalnya.[13] Atau lebih jauh,
mereka tidak lagi melihat dunia akademisinya sebagai “medan perjuangan politik”, ala Antonio
Gramsci, guna memperjuangkan nasib Rakyat. Karena itu, mereka, entah sadar atau pun tidak,
telah mentransformasikan dirinya dan masyarakat akademis terpandang menjadi segerombolan
“pengkhianat intelektual”, seperti kata Julian Benda.[14]
Dengan demikian, kita, Rakyat Indonesia, mestinya terus waspada dan bersikap kritis. Sebab,
dewasa ini tidak sedikit gerombolan “pengkhianatan intelektual” ini sedang bergentayangan di
lembaga akademik di Indonesia. Mereka adalah “segerembolan massa” penyebar demagogi
pengetahuan, sehingga menimbulkan kebodohan, kemiskinan, kemandegan pembangunan, dan
kelunglaian peradaban di Indonesia. Namun, mereka biasanya tanpa malu-malu bersembunyi di
balik kemegahan gedung sekolah dan perguruan tinggi, kelincahan berdialektika dan kemewahan
hidup. Karena itu, jangan salahkan siapa-siapa bilamana satu saat Rakyat Indonesia mengganas,
mengangkat tangan, lalu menghujamkan jari telunjuknya ke muka Anda sekalian sambil
berteriak: “pengkhianat intelektual.”

[1]Arief Budiman, Sistem Perekonomian Pancasila dan Ideologi Ilmu Sosial (Jakarta: Penerbit
Gramedia Pustaka, 1990), pp. 11-13.
[2]Ibid., p. 16
Baca Juga:

No Content Available

[3]Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru. Jakarta:
Gramedia, 2003.
[4]Ariel Heryanto, “Pendidikan Untuk Perubahan” dalam Jurnal IndoPROGRESS
Online, diakses 11 April 2017. URL: https://indoprogress.com/2012/04/pendidikan-untuk-
perubahan/
[5]Dhakidae, op.cit., pp. 11-12. Lihat juga: Antonio Gramsci, Selection from the Prison
Notebooks (New
York: International Publisher, 1971).

[6]Dhakidae, op.cit., pp. xxxvii, xxxi.


[7]Ibid.
[8] Heryanto, op.cit.
[9]Ibid.
[10]Heru Nugroho, “Ekonomi Politik Pendidikan Tinggi”, dalam Vedi R. Hadiz dan Daniel
Dhakidae, Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia (Jakarta: Equinox, 2006).
[11]Penelitian penulis di NTT tahun 2014 juga membenarkan hal ini. Dunia kampus di NTT juga
tak lepas dari intervensi modal dan politik. Modal dan kekuasaan membutuhkan legitimasi,
sementara cendekiawan mengharapkan kenyamanan finansial, karir politik dan birokrasi dan,
mungkin juga, kemewahan hidup. Karena itu, riset, penelitian dan evaluasi program-program
pemerintah dibuat asal-asal oleh para cendekiawan agar membuat “bapak senang.” Misalnya,
evaluasi program Anggur Merah gubernur Frans Leburaya oleh para cendekiawan NTT hampir
tanpa catatan kritis untuk pembangunan di NTT. Namun, penelitian penulis di NTT juga
menemukan beberapa birokrat, terutama yang baru pulang studi dan belum memahami watak
politik NTT, yang mencoba bersikap kritis terhadap program-program pemerintah, tetapi sayang
mereka digeser dari posisi strategis dan bekerja, misalnya, sebagai penjaga perpustakaan yang
tidak sesuai dengan kualitas dan kepakaran mereka. Tidak sedikit juga birokrat yang kritis diteror
melalui “wejangan” pemimpin di apel pagi, dan terkadang dipindahtugaskan dari satu institusi ke
institusi yang lain. Dengan “teror” seperti ini, banyak cendekiawan yang potential melakukan
fungsi korektif terhadap modal dan kekuasaan menarik diri dan memilih diam dari hinggar
binggar ekonomi politik pembangunan di NTT.
[12]Vedi R. Hadiz dan Daniel Dakidae (eds.), Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta:
PT Equinox Publishing Indonesia, 2006.
[13]Emilianus Yakob Sese Tolo, “Akumulasi Melalui Perampasan, Buruh Migran, dan Peran
Cendekiawanan: Studi Kasus di Nusa Tenggara Timur,” dalam Agus Pramusinto dan Yuyun
Purbokusumo, Indonesia Bergerak 2: Mozaik Kebijakan Publik di Indonesia 2016 (Yogyakarta:
Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) MAP UGM, 2016)
[14]Dhakidae, op.cit.

Anda mungkin juga menyukai