KARTODIKROMO
ABSTRAK
Kata Kunci: Pesan Moral, Realisme Sosial, Revolusi, Sistem Borjuis, Sosiologi Sastra.
1. LATAR BELAKANG
Karya sastra merupakan salah satu hasil dari cipta, rasa dan karsa dari buah benih
pikiran manusia. Untaian kata-kata terangkai dalam jajaran kalimat membentuk suatu
penggambaran akan sebuah estetika, seni dan keindahan imajinasi jiwa manusia. Karya sastra
merupakan refleksi sastrawan atas sebuah realitas kehidupan manusia. Realitas tersebut dapat
mewakili motif dan pergumulan perasaan sang penulis, keadaan umum masyarakat, serta
menyampaikan keburukan sisi lain suatu peradaban. Sastra bukanlah sebuah entitas yang
memiliki kegunaan teknis macam ilmu nujum, ilmu pertukangan dan ilmu terapan lainnya.
Namun, sastra dapat memberikan pengaruh perubahan pada keadaan sosial dan sastra
memiliki kapasitas tertentu, yakni membentuk homo yang human : manusia yang berjiwa
halus dan berbudaya. Setidaknya, itulah ulasan singkat untuk menghantarkan pikiran kita
terhadap maksud dari tulisan ini kepada pembaca. Ungkapan paragraf diatas bukanlah hanya
semata kata bualan dan layak mendapat isapan jempol belaka. Paragraf diatas merefleksikan
bahwa karya sastra baik yang berupa bentuk naskah maupun karya lain mampu membuat
perubahan setidaknya dalam ranah individu untuk berbuat sesuatu dalam menanggapi
paparan fenomena yang tertuang dalam sebuah goresan. Melihat uraian karya sastra tidak
jarang dijadikan sebagai media atau alat perjuangan kaum tertindas terhadap sebuah
kelaliman. Sejarah merupakan cerita yang sangat berharga, sehingga perlunya sebuah
cerminan sejarah dengan sebuah cerita, dan dalam perkembangan sastra pada zaman
penjajahan Mas Marco Kartodikromo melakukan hal itu. Yang menarik dari buku ini adalah
bagaimana proses terbentuknya sebuah novel yang berjudul Student Hidjo ini. Pada awalnya
kisah Student Hidjo ini adalah sebuah cerita bersambung di Harian Sinar Hindia, untuk
selanjutnya dibukukan pada tahun 1919. Dalam novel yang berjudul Student Hidjo karya Mas
Marco Kartodikromo menarik untuk dibahas karena menceritakan bagaimana keadaan pada
zaman pergerakan kemerdekaan terutama berkembang dan terpengaruhnya budaya Indonesia
dalam kehidupan masyarakat khususnya para priyayi. Indonesia yang merasakan pedihnya
masa kolonial selama 3,5 abad pada akhirnya memunculkan pergerakan perlawanan dari
kalangan pribumi, mulai dari mereka yang menempuh “jalan pedang” hingga “jalan pena”.
Mereka yang memilih “Jalan Pena” sebagai media perjuangan dan perlawanan tidaklah
banyak, namun mereka dapat membuat gatal hati para kaum penjajah. Pada masa pergerakan,
terdapat sederet nama seperti Tan Malaka, Chairil Anwar, bahkan Sang Proklamator kita
sendiri Soekarno dan Hatta tak jarang menggunakan mata pena sebagai sarana perlawanan.
Salah satu tokoh perjuangan bangsa yang memilih “jalan pena” tersebut adalah Mas Marco
Kartodikromo, lewat tulisan yang terangkai apik dalam Student Hidjo. Student Hidjo adalah
salah satu karya perlawanan anak bangsa yang berbahaya dan memiliki pengaruh terhadap
pergerakan kaum intelektual Indonesia kala itu.
Berangkat dari hal itu dapat kita simak kembali sinopsis yang ada dalam novel, semua
diawali dari keinginan ayah Hidjo, Raden Potronojo yang berencana menyekolahkan Hidjo
ke negeri Belanda. Ayah Hidjo berharap dengan menyekolahkan Hidjo ke Belanda akan
dapat mengangkat derajat dan martabat keluarga, yang pada dasarnya adalah keluarga dari
golongan pedagang dan bukan dari bangsawan keturunan. Walaupun hanya saudagar, namun
kehidupan keluarga Hidjo dapat menyamai kehidupan para priyayi murni dari garis keturunan
pada waktu itu, namun tidak lantas dapat dipandang setara dengan kaum priyayi asli,
khusunya kaum priyayi yang dekat dengan guovernement (Bupati). Namun berbeda dengan
ibu Hidjo, Raden Nganten Potronojo yang tidak merelakan Hidjo bersekolah ke Negeri
Belanda. Ibu Hidjo khawatir nantinya Hidjo akan terbawa budayanya hidup yang bebas
”pergaulan bebas”. Namun akhirnya Hidjo pun tetap pergi dan meninggalkan keluarga dan
kekasihnya Raden Ajeng Biroe beberapa tahun untuk menjadi seorang ingenieur (insinyur).
Ketika Hidjo sudah berada di Belanda, mata Hidjo terbuka melihat kenyataan yang tidak
sesuai dengan apa yang dibayangkan selama berada di Hindia Belanda. Setelah beberapa
tahun lamanya ia pergi ke negeri Belanda, akhirnya ia kembali dengan predikat seorang
insinyur seperti yang didambakan, dan beberapa tahun kemudian menikah dengan R. A
Woengoe setelah melalui proses yang panjang dalam kehidupan asmaranya selama di Hindia
Belanda.
2. METODE DAN TEORI