Anda di halaman 1dari 22

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dari Reliability Centered Maintenance (RCM)

Menurut Jardine (2001), Reliability Centered Maintenance (RCM) merupakan

sebuah proses teknik logika untuk menentukan tugas-tugas pemeliharaan yang akan

menjamin sebuah perancangan sistem keandalan dengan kondisi pengoperasian yang

spesifik pada sebuah lingkungan pengoperasian yang khusus. Penekanan terbesar pada

Reliability Centered Maintenance (RCM) adalah menyadari bahwa konsekuensi atau

resiko dari kegagalan adalah jauh lebih penting dari pada karakteristik teknik itu sendiri.

Pada kenyataannya perawatan proaktif tidak hanya menghindari kegagalan tetapi lebih

cenderung untuk menghindari resiko atau mengurangi kegagalan (Moubray; 1997).

Reliability Centered Maintenance (RCM) merupakan sebuah proses teknik logika

untuk menentukan tugas-tugas pemeliharaan yang akan menjamin sebuah perancangan

sistem keandalan dengan kondisi pengoperasian yang spesifik pada sebuah lingkungan

pengoperasian yang khusus. Penekanan terbesar pada Reliability Centered Maintenance

(RCM) adalah menyadari bahwa konsekuensi atau resiko dari kegagalan adalah jauh

lebih penting dari pada karakteristik teknik itu sendiri. RCM dapat didefinisikan sebagai

sebuah proses yang digunakan untuk menentukan apa yang harus dilakukan untuk
menjamin bahwa beberapa aset fisik dapat berjalan secara normal melakukan fungsi yang

diinginkan penggunanya dalam konteks operasi sekarang (present operating).

Reliability Centered Maintenance adalah sebuah proses yang digunakan dalam

menentukan apa yang harus dilaksanakan dalam memastikan bahwa semua fasilitas selalu

dalam kondisi optimal saat digunakan dalam menjalankan fungsinya pada saat

beroperasi. RCM lebih berfokus dalam jenis perawatan preventive maintenance (PM)

terhadap kerusakan yang terjadi.

B. Tujuan Reliability Centered Maintenance (RCM)

Beberapa tujuan penting dari penerapan RCM adalah:

1. Membentuk desain yang berhubungan supaya dapat memfasilitasi preventive

maintenance (PM).

2. Mendapatkan informasi yang berguna untuk meningkatkan desain produk atau

mesin yang ternyata tidak memuaskan, yang berhubungan dengan kehandalan.

3. Membentuk PM dan tugas yang berhubungan yang dapat menegembalikan

kehandalan dan keamanan pada levelnya semula pada saaat terjadinya penurunan

kondisi peralatan atai system.

4. Untuk mengembangkan prioritas hubungan desain yang dapat mempersiapkan

preventive maintenance untuk sub-assembly rem.


5. Untuk mendapatkan informasi yang berguna dalam pengembangan desain dari

item terutama yang berhubungan dengan konsumen, berdasarkan reliability.

6. Untuk mengembangkan Preventive Maintenance related task yang dapat

menerima reliability lagi dan tingkat keamanan berdasarkan pada system

deterioration.

C. Step Proses Reliability Centered Maintenance (RCM)

Berikut ini merupakan Step Proses Reliability Centered Maintenance (RCM) :

1. Identifikasi equipment yang penting untuk di-maintain, biasanya digunakan metode

failure; mode; effect; critacality analysis (FMECA) dan fault tree analysis (FTA).

2. Menentukan penyebab terjadinya kegagalan, tujuannya untuk memperoleh

probabilitas kegagalan dan menentukan komponen kritisyang rawan terhadap

kegagalan. Untuk melakukan hal ini maka diperlukandata yang histori yang lengkap.

3. Mengembangkan kegiatan analisis FTA, seperti : menentukan prioritas equipment

yang perlu di maintain.

4. Mengklasifikasikan kebutuhan tingkatan maintenance.

5. Mengimplementasikan keputusan berdasar RCM.


6. Melakukan evaluasi, ketika sebuah equipment dioperasikan maka datasecara real-life

mulai direcord, tindakan dari RCM perlu direevaluasi setiapsaat agar terjadi proses

penyempurnaan.

D. Prinsip - Prinsip Reliability Centered Maintenance (RCM)

Ada beberapa Prinsip RCM seperti yang diberikan di bawah ini :

1. Berorientasi Fungsi

RCM adalah program yang berorientasi pada fungsi yaitu memusatkan perhatian

pada fungsi sistem atau peralatan. RCM hanya menganalisis dan mengevaluasi fungsi

dan kemungkinan kegagalan untuk aset yang dipilih. Daripada berfokus pada

pelestarian aset, analisis ini membantu seseorang untuk fokus pada pelestarian fungsi

sistem.

2. Berfokus pada Sistem

RCM adalah program yang berfokus pada sistem yaitu tidak hanya berfokus pada

aset individu tetapi lebih berfokus pada sistem secara keseluruhan. Tujuan utama

RCM adalah untuk melindungi keseluruhan sistem dari kegagalan yang paling kritis.

Dengan berfokus pada sistem, RCM menjaga fungsionalitas dari setiap bagian sistem

yang akan membantu peningkatan produksi dan kepuasan pelanggan.


3. Reliability Centered

RCM berpusat pada reliabilitas. Sasaran utama RCM adalah menjaga kehandalan

sistem yaitu membuatnya bekerja dengan baik secara konsisten tanpa adanya

gangguan dan kegagalan. Ini hanya mengidentifikasi aset sistem yang paling kritis

dan kemudian berfokus pada strategi pemeliharaannya untuk mengurangi kegagalan

sistem. Ini akan membantu dalam meningkatkan keandalan sistem atau aset serta

ketersediaannya.

4. Mengakui Keterbatasan Desain

RCM umumnya mengakui dan mengakui keterbatasan desain sistem. Lebih baik

bagi seseorang untuk mengidentifikasi dan mengakui keterbatasan desain daripada

menunjukkannya oleh orang lain yang akan menurunkan kualitas karena sepertinya

seseorang mengabaikannya. Tidak peduli seberapa baik perawatannya, seseorang

tidak dapat menutupi dan mengatasi desain sistem yang buruk.

5. Keselamatan, Keamanan, dan Ekonomi

RCM umumnya didorong oleh keselamatan, keamanan, dan ekonomi. RCM

adalah sebuah proses yang didorong untuk pertama-tama menjaga keselamatan dan

kemudian menjaga ekonomi karena keselamatan adalah yang utama. Keamanan harus

dijaga dengan cara apa pun.


6. Unsatisfactory condition

RCM umumnya mendefinisikan setiap kegagalan sebagai unsatisfactory condition

yaitu tidak memuaskan atau memenuhi permintaan seseorang. Kegagalan adalah

sesuatu yang dapat mengakibatkan hilangnya fungsi atau hilangnya kualitas yang

tidak dapat diterima oleh siapapun. Ini dianggap sebagai bahaya tinggi. Oleh karena

itu, kegagalan didefinisikan sebagai kondisi yang tidak memuaskan yang harus

ditangani dengan hati-hati untuk menghilangkannya secara permanen.

7. Menggunakan Pohon Logis

RCM umumnya membutuhkan bantuan pohon logika untuk memantau semua

tugas pemeliharaan. Pohon logika adalah teknik analisis yang digunakan untuk

memilih tugas pemeliharaan yang sesuai. Ini adalah cara terbaik untuk mengatasi dan

menangani masalah apa pun.

8. Berlaku dan Efektif

RCM adalah proses yang hanya memastikan bahwa sistem terus berjalan sesuai

kebutuhan pengguna. Hanya implementasi RCM yang berhasil yang akan mengarah

pada efektivitas biaya. RCM juga membahas apa yang dapat dilakukan jika tugas

pemeliharaan yang dipilih tidak dapat diterapkan dan efektif. Tugas pemeliharaan

yang dipilih harus mampu mengurangi kemungkinan kegagalan dan juga hemat

biaya.
9. Pendekatan sistematis

RCM menggunakan pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi dan

menganalisis potensi mode kegagalan peralatan dan sistem. Ini melibatkan proses

terstruktur yang mencakup pengumpulan data, analisis, dan pengambilan keputusan.

10. Fokus pada peralatan kritis

RCM berfokus pada identifikasi dan penanganan potensi mode kegagalan

peralatan kritis, yang dapat berdampak signifikan pada keselamatan, produktivitas,

dan biaya.

11. Pemeliharaan proaktif

RCM mempromosikan strategi pemeliharaan proaktif untuk mencegah kegagalan

peralatan daripada strategi reaktif yang menangani kegagalan setelah terjadi. Ini

melibatkan pengembangan rencana perawatan yang membahas mode kegagalan

potensial sebelum terjadi.

12. Analisis berbasis fungsi

RCM menggunakan pendekatan analisis berbasis fungsi untuk mengidentifikasi

mode kegagalan potensial. Ini melibatkan analisis fungsi peralatan dan

mengidentifikasi mode kegagalan potensial yang dapat mencegah fungsi tersebut

dilakukan.
13. Standar kinerja

RCM menggunakan standar kinerja untuk menentukan strategi perawatan yang

tepat untuk peralatan. Ini melibatkan penentuan tingkat kinerja yang diperlukan untuk

peralatan dan mengembangkan rencana perawatan yang mempertahankan tingkat

kinerja tersebut.

14. Peningkatan berkelanjutan

RCM adalah proses berulang yang melibatkan peningkatan berkelanjutan. Ini

melibatkan peninjauan dan pemutakhiran rencana pemeliharaan secara teratur

berdasarkan perubahan kinerja peralatan dan kondisi pengoperasian.

E. Komponen Reliability Centered Maintenance (RCM)

Dalam Reliability Centered Maintenance (RCM) terdapat empat komponen, empat

komponen tersebut adalah sebagai berikut (Aileen,2010) :

1. Reactive Maintenance.

Reactive Maintenance merupakan Maintenanceyang berprinsip pada

pengoperasian sampai dengan rusak atau perbaiki ketika rusak. Maintenancejenis ini

hanya dilakukan ketika proses deteriorasi sudah menghasilkan kerusakan.


2. Preventive Maintenance

Preventive Maintenance sering disebut juga dengan time based

maintenance.Maintenance jenis ini sedah dapat mengurangi frekuensi kegagalan

ketika diterapkan bila dibandingkan dengan Reactive Maintenance.Preventive

Maintenance dilakukantanpa mempertimbangkan kondisi komponen. Kegiatan antara

lain terdiri dari pemeriksaan, penggantian komponen, kalibrasi, pelumasan, dan

pembersihan, Tetapi Preventive Maintenance masih masih memiliki kekurangan juga

seperti kurang efektif dan efisien dari segi biaya ketika diterapkan sebagai

satusatunya metode Maintenance dalam sebuah perencanaan.

3. Predictive Testing and Inspection

Predictive Testing and Inspection digunakan untuk menentukan kondisi suatu

komponen terhadp umurnya. Metode ini merupakan yang paling baik diantara yang

lainnya dalam menentukan jadwal Maintenance. Banyak metode yang kurang valid

oleh karena itu adanya informasi mengenai agereliability characteristic.

4. Proactive Maintenance.

Proactive Maintenanceini akan menuntun pada desain, workmanship, instalasi,

prosedur, dan scheduling maintenance yang lebih baik. Karakteristik dari

Maintenanceini adalah continous improvement dan menggunakan feedback serta

komunikasi untuk memastikan bahwa usaha improvementyang dilakukan membawa


hasil yang positif. Analisis rootcause failure dan predictive analysis diterapkan untuk

mendapatkan Maintenance yang efektif, menyusun interval kegiatan maintenance,

dan memperoleh life cycle.

F. Pengerttian dari Total Productive Maintenance (TPM)

Total Productive Maintenance (TPM) merupakan suatu aktivitas perawatan yang

mengikut sertakan semua elemen dari perusahaan, yang bertujuan untuk menciptakan

suasana kritis (critical mass) dalam lingkungan industri guna mencapai zero defect dan

zero accident. TPM adalah suatu metode yang bertujuan untuk memaksimalkan efeisiensi

penggunaan peralatan, dan memantapkan sistem perawatan preventif yang dirancang

untuk keseluruhan peralatan dengan mengimplementasikan suatu aturan dan memberikan

motivasi kepada seluruh bagian yang berada dalam suatu perusahaan tersebut, melalui

peningkatan kompenenisipasi dari seluruh anggota yang terlibat mulai dari manejemen

puncak sampai kepada level bawah.

Total Productive Maintenance (TPM) adalah program perawatan yang melibatkan

sebuah konsep untuk perawatan pabrik dan peralatan. Tujuan dari program TPM adalah

untuk meningkatkan produksi secara nyata, sementara tujuan yang lain yaitu

meningkatkan semangat kerja dan kepuasan kerja.


TPM mempunyai pemikiran yaitu pemeliharaan adalah hal yang sangat penting

dan perlu menjadi focus dalam unit bisnis. Sebagai contoh, waktu yang digunakan untuk

maintenance atau pemeliharaan akan dijadwalkan sebagai bagian dari kegiatan

manufaktur. Dalam beberapa kasus, hal ini dianggap sebagai restrukturisasi dari proses

manufaktur. Tujuannya adalah untuk meminimalkan perawatan darurat dan tidak

terjadwal atau biasa dikenal sebagai unplanned maintenance.

G. Asal – Usul Total Productive Maintenance (TPM)

TPM berevolusi dari Total Quality Management (TQM), yangberkembang

sebagai dampak langsung dari pengaruh Dr. W. Edwards Demingpada industri Jepang.

Dr. Deming memulai karyanya di Jepang tak lama setelahPerang Dunia II. Sebagai ahli

statistik, Dr. Deming awalnya mulaimenunjukkan kepada orang Jepang bagaimana

menggunakan analisis statistikdalam manufaktur dan bagaimana menggunakan data

yang dihasilkan untukmengontrol kualitas selama manufaktur. Prosedur statistik

awal dan konsep kontrol kualitas yang dihasilkan didorong oleh etos kerja Jepang

segeramenjadi cara hidup bagi industri Jepang. Konsep manufaktur yang baru

inikemudian dikenal sebagai Total Quality Management atau TQM.

Ketika masalah pemeliharaan pabrik diperiksa sebagai bagian dariprogram

TQM, beberapa konsep umum tampaknya tidak bekerja dengan baikdi lingkungan
pemeliharaan. Prosedur pemeliharaan preventif atau Preventative Maintenance (PM)

sudah ada selama beberapa waktu dan PM inidipraktikkan di kebanyakan pabrik.

Dengan menggunakan teknik PM, jadwalperawatan yang dirancang untuk menjaga

mesin tetap beroperasidikembangkan. Namun, teknik ini sering mengakibatkan

mesin diperbaikisecara berlebihan dalam upaya untuk meningkatkan produksi.

Pemikirannyasering kali berupa “jika sedikit minyak saja baik, banyak harusnya lebih

baik.”Jadwal perawatan pabrikan harus diikuti sesuai dengan surat dengan sedikit

perhatian tentang persyaratan realistis darimesin. Sedikit atau bahkan tidak ada

keterlibatan operator mesin dalamprogram pemeliharaan dan personel pemeliharaan

memiliki sedikit pelatihan diluar apa yang terkandung di dalam manual pemeliharaan

yang seringkali tidak memadai.

Kebutuhan untuk melangkah lebih jauh dari sekadar menjadwalkan

pemeliharaan sesuai dengan rekomendasi pabrikan sebagai metode

untukmeningkatkan produktivitas dan kualitas produk dengan cepat diakui

olehperusahaan-perusahaan yang berkomitmen pada program TQM. Untukmengatasi

masalah ini dan tetap berpegang pada konsep TQM, modifikasidilakukan pada

konsep TQM yang asli. Modifikasi ini meningkatkanpemeliharaan ke status menjadi

bagian integral dari program kualitas secarakeseluruhan.Asal-usul istilah "Total

Productive Maintenance" masih diperdebatkan.Ada yang mengatakan bahwa istilah


tersebut pertama kali diciptakan olehprodusen Amerika lebih dari empat puluh tahun

yang lalu. Sedangkan yanglainnya mengkontribusikan asalnya untuk program

pemeliharaan yangdigunakan pada akhir 1960-an oleh Nippondenso, produsen suku

cadang listrikotomotif Jepang. Seiichi Nakajima, seorang petugas di Institut

PemeliharaanTanaman di Jepang dipuji karena mendefinisikan konsep TPM dan

melihatnyaditerapkan di ratusan pabrik di Jepang.

H. Tujuan Dan Manfaat dari Total Productive Maintenance (TPM)

Tujuan utama dari metode TPM adalah untuk meningkatkan produktivitas serta

mengurangi downtime. Penerapan program ini dapat mempengaruhi efektivitas peralatan

perusahaan secara keseluruhan atau OEE (overall equipment effectiveness) dari waktu ke

waktu.

Program TPM juga membantu menghilangkan mentalitas “memperbaiki alat saat

rusak” dan mengubahnya dengan menjadikan mesin fokus penting dalam operasional.

Adapun manfaat langsung dari penggunaan metode Total Productive Maintenance atau

TPM adalah:

1. Lebih sedikit downtime, yang dapat meningkatkan OEE.

2. Meminimalisir kecelakaan kerja.

3. Mengurangi keluhan dari konsumen.


4. Mengurangi biaya produksi.

5. Meningkatkan kualitas produk.

6. Meningkatkan produktivitas pabrik dan peralatan.

I. Tujuan Penerapan dari Total Productive Maintenance (TPM)

Tujuan daripada TPM (Total Productive Maintenance) adalah untuk

meningkatkan produktivitas pada perlengkapan dan peralatan produksi dengan Investasi

perawatan yang seperlunya sehingga mencegah terjadi 6 kerugian besar (Six Big Losses)

yaitu :

1. Startup Loss, dikategorikan sebagai quality loss karena adanya scrap/reject saat

startup produksi yang disebabkan oleh kekeliruan setup mesin, proses warmup yang

kurang, dan sebagainya.

2. Setup/Adjustment Loss, dikategorikan sebagai downtime loss karena adanya waktu

yang “tercuri” akibat waktu setup yang lama yang disebabkan oleh changeover

produk, tidak adanya material (material shortages), tidak adanya operator (operator

shortages), adjustment mesin, warm-up time, dan sebagainya.

3. Cycle Time Loss, dikategorikan sebagai speed loss karena adanya penurunan

kecepatan proses yang disebabkan oleh beberapa hal, misal: mesin sudah aus, di
bawah kapasitas yang tertulis pada nameplate-nya, di bawah kapasitas yang

diharapkan, ketidakefisienan operator, dan sebagainya.

4. Chokotei Loss, dikategorikan sebagai speed loss karena adanya minor stoppage yaitu

mesin berhenti cukup sering dengan durasi tidak lama biasanya tidak lebih dari lima

menit dan tidak membutuhkan personel maintenance. Ini dikarenakan mesin hang

sehingga harus reset,adanya pembersihan/pengecekan, terhalangnya sensor,

terhalangnya pengiriman, dan sebagainya.

5. Breakdown Loss, dikategorikan sebagai downtime loss karena adanya kerusakan

mesin dan peralatan, perawatan tidak terjadwal, dan sebagainya.

6. Defect Loss, dikategorikan sebagai quality loss karena adanya reject selama produksi

berjalan.

Dari keenam kerugian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga jenis kerugian

terkait dengan proses produksi yang harus diantisipasi, yaitu: Downtime loss yang

mempengaruhi Availability Rate,Speed loss yang mempengaruhi Performance Rate,

dan Quality loss yang mempengaruhi Quality Rate atau disebut juga FTT (first time

through).
J. Pilar Utama Total Productive Maintenance (TPM)

Untuk menerapkan konsep TPM (Total Productive Maintenance) dalam sebuah

perusahaan manufakturing, diperlukan pondasi yang kuat dan pilar yang kokoh. Pondasi

TPM adalah 5S, sedangkan pilar utama TPM terdiri dari 8 pilar atau biasanya disebut

dengan 8 Pilar TPM (Eight Pillar of Total Productive Maintenance). 8 pilar TPM

sebagian besar difokuskan pada pada teknik proaktif dan preventif untuk meningkatkan

kehandalan Mesin dan peralatan produksi.

1. Autonomous Maintenance atau Jishu Hozen memberikan tanggung jawab perawatan

rutin kepada operator seperti pembersihan mesin, pemberian lubrikasi/minyak dan

inspeksi mesin. Dengan demikian, operator atau pekerja yang bersangkutan memiliki

rasa kepemilikan yang tinggi, meningkatan Total Productive Maintenance

pengetahuan pekerja terhadap peralatan yang digunakannya. Dengan Pilar

Autonomous Maintenance, Mesin atau peralatan produksi dapat dipastikan bersih

dan terlubrikasi dengan baik serta dapat mengidentifikasikan potensi kerusakan

sebelum terjadinya kerusakan yang lebih parah.

2. Membentuk kelompok kerja untuk secara proaktif mengidentifikasikan

mesin/peralatan kerja yang bermasalah dan memberikan solusi atau usulan-usulan

perbaikan. Kelompok kerja dalam melakukan Focused Improvement juga bias


mendapatkan karyawan-karyawan yang bertalenta dalam mendukung kinerja

perusahaan untuk mencapai targetnya.

3. Pilar Planned Maintenance menjadwalkan tugas perawatan berdasarkan tingkat rasio

kerusakan yang pernah terjadi dan/atau tingkat kerusakan yang diprediksikan.

Dengan Planned Maintenance, kita dapat mengurangi kerusakan yang terjadi secara

mendadak serta dapat lebih baik mengendalikan tingkat kerusakan komponen..

4. Pilar Quality Maintenance membahas tentang masalah kualitas dengan memastikan

peralatan atau mesin produksi dapat mendeteksi dan mencegah kesalahan selama

produksi berlangsung. Dengan kemampuan mendeteksi kesalahan ini, proses

produksi menjadi cukup handal dalam menghasilkan produk sesuai dengan

spesifikasi pada pertama kalinya. Dengan demikian, tingkat kegagalan produk akan

terkendali dan biaya produksi pun menjadi semakin rendah.

5. Pilar Training dan Education ini diperlukan untuk mengisi kesenjangan pengetahuan

saat menerapkan TPM (Total Productive Maintenance). Kurangnya pengetahuan

terhadap alat atau mesin yang dipakainya dapat menimbulkan kerusakan pada

peralatan tersebut dan menyebabkan rendahnya produktivitas kerja yang akhirnya

merugikan perusahaan. Dengan pelatihan yang cukup, kemampuan operator dapat

ditingkatkan sehingga dapat melakukan kegiatan perawatan dasar sedangkan Teknisi

dapat dilatih dalam hal meningkatkan kemampuannya untuk melakukan perawatan


pencegahan dan kemampuan dalam menganalisis kerusakan mesin atau peralatan

kerja. Pelatihan pada level Manajerial juga dapat meningkatkan kemampuan Manajer

dalam membimbing dan mendidik tenaga kerjanya (mentoring dan Coaching skills)

dalam penerapan TPM.

6. Para Pekerja harus dapat bekerja dan mampu menjalankan fungsinya dalam

lingkungan yang aman dan sehat. Dalam Pilar ini, Perusahaan diwajibkan untuk

menyediakan Lingkungan yang aman dan sehat serta bebas dari kondisi berbahaya.

Tujuan Pilar ini adalah mencapai target Tempat kerja yang “Accident Free” (Tempat

Kerja yang bebas dari segala kecelakaan).

7. Early Equipment Management termasuk dalam offiice TPM merupakan pilar TPM

(Total Productive Maintenance) menggunakan kumpulan pengalaman dari kegiatan

perawatan dan perbaikan sebelumnya untuk memastikan mesin baru dapat mencapai

kinerja yang optimal. Dengan demikian, tujuan dari pilar ini agar peralatan atau

mesin produksi baru dapat mencapai kinerja yang optimal pada waktu yang

sesingkat-singkatnya.

8. Selanjutnya Pilar dalam TPM (Total Productive Maintenance) adalah menyebarkan

konsep TPM (Total Productive Maintenance) ke dalam fungsi Administrasi. Dengan

demikian, tujuan pilar TPM (Total Productive Maintenance) ini agar semua pihak
dalam organisasi (perusahaan) memiliki konsep dan persepsi yang sama termasuk

staff administrasi (perencanaan, pembelian, dan keuangan).

K. Pengukuran Keberhasilan Total Productive Maintenance

Total Productive Maintenance (TPM) adalah salah satu metode yang

dikembangkan di Jepang yang dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas dan

efisiensi produksi perusahaan dengan menggunakan mesin atau peralatan secara efektif.

Tidak hanya itu, TPM juga bisa diartikan sebagai sistem perawatan mesin yang

melibatkan operator produksi dan semua departemen, termasuk produksi, pengembangan

produk, pemasaran dan administrasi. Operator tidak hanya bertugas menjalankan mesin,

tetapi juga merawat mesin sebelum dan sesudah pemakaian. Keberhasilan sistem

perawatan dengan TPM ini dapat diukur dengan menggunakan Overall Equipment

Effectiveness (OEE). OEE akan menunjukkan seberapa mampu suatu mesin untuk

menghasilkan produk yang berkualitas dibandingkan dengan yang semestinya.

 Perhitungan nilai Availability Ratio (%)

Avaibility ratio adalah rasio yang menggambarkan pemanfaatan waktu yang

tersdia untuk kegiatan operasi mesin atau peralatan. Perbandingan waktu operasi

dengan waktu loading, dimana waktu operasi diperoleh dari pengurangan waktu
loading dengan waktu downtime peralatan. Rumus yang digunakan untuk

pengukuran Availbility ratio adalah:

operating time
Availability = x 100%
loading time

loadingtime−down time
= x 100%
loading time

Keterangan : Operating time merupakan lama dari waktu peralatan yang

beroperasi. Loading time merupakan waktu yang tersedia untuk produksi (per

periode)

 Perhitungan Performance Ratio(%)

Performance ratio adalah rasio kualitas produk yang dihasilkan dikalikan

dengan waktu siklus idealnya terhadap waktu yang tersedia (operation

time). Rumus yang digunakan untuk pengukuran performance ratio

adalah :

output x idealcycle time


Performance Efficiency (%) = x 100%
opperating time

Keterangan:

Output adalah total jumlah produk yang dapat diproses oleh mesin. Ideal

cycle time adalah waktu siklus ideal atau teoritis produksi. Operating

time adalah lama waktu peralatan beroperasi.


 PerhitunganQuality Ratio (%)

Quality ratio merupakan suatu rasio yang menggambarkan

kemampuan peralatan dalam menghasilkan produk yang sesuai dengan

standar. Formula yang digunakan untuk pengukuran quality rate

adalah :

product a mout−defect amout


𝑄𝑢𝑎𝑙𝑖𝑡𝑦 𝑅𝑎𝑡𝑒 = x 100%
product amout

Keterangan: Product amout adalah jumlah produk yang akan diproduksi.

Defect amout adalah banyaknya produk cacat dalam system produksi.

PerhitunganOverall Equipment Effectiveness (OEE) Overall

Equipment Effectiveness(OEE) diperoleh dengan mengalikan rasio

utama tersebut, hal ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas

penggunaan mesin.

Nilai OEE dapat diketahui dengan rumus.

OEE (%) = Availability(%) x Performance Rate (%) x Quality Rate (%)

Analisis OEE didapatkan dari perhitungan ketersediaan, efektifites

produksi, dan tingkat kualitas yang dibandingkan dengan standar TPM

untuk mengetahui tingkat efektifitas mesin. Adapun Standar JIMP untuk

TPM Indeks yang ideal, adalah:


1. Ketersediaan (AV) ≥ 90%

2. Efektifitas Produksi (PE) ≥ 95%

3. Tingkat Kualitas (RQ) ≥ 99%

4. Efektifitas keseluruhan peralatan dan mesin, (OEE) ≥ 85 % (OEE

Ideal: (0,90 x 0,95 x 0,99) x 100% = 85%)

Dalam penelitian ini responden diwakili oleh sejumlah sampel dengan

teknik pengambilan secara nonprobability sampling (penarikan sampel

secara tidak acak), dengan dua metode yaitu:

1. Insidental sampling, yakni siapa saja yang secara kebetulan

bertemudengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila

dipandang orang yang tersebut cocok sebagai sumber data. Artinya

dalam pengambilan sampel, peneliti mengambil responden dari setiap

pelanggan yang datang ke lokasi tempat pelayanan berlangsung pada

saat penyebaran kuesioner.

2. Convinience sampling, yaitu dengan menyebarkan kuesioner

kepadapelanggan yang sedang melakukan transaksi di dealer.

Anda mungkin juga menyukai