Anda di halaman 1dari 2

Perkawinan merupakan pembentukan somah baru, baik secara ekonomi maupun

tempat tinggal. Bagi orang Jawa, orang tua lah yang mencarikan jodoh dan memutuskan
hari perkawinan, terutama pada perkawinan pertama. Untuk anak perempuan, perkawinan
pertama persiapkan segera sesudah haidnya yang pertama. Berbeda dengan perempuan,
anak laki-laki biasanya menikah hingga benar-benar dewasa dan layak untuk menyangga
keluarga. Pemilihan jodoh berdasarkan pada faktor; jenjang sosial, kelas dan wawasan
keagamaan. Dahulu umur juga menjadi masalah, namun sekarang tidak.

Terdapat tiga tahapan pada pola pinangan menurut kejawen. Pertama, perundingan
perjajakan si pemuda. Kedua, kunjungan resmi si pemuda ke rumah si gadis (jamuan basa-
basi). Ketiga, pinangan resmi, yaitu orangtua si pemuda berkunjung ke orangtua si gadis
dengan maksud untuk menjadi besan dari orangtua si gadis tersebut. Masa pertunangan
tidaklah lama, biasanya hanya sekitar 2 hari-seminggu. Jika persetujuan sudah tercapai, si
pemuda memberikan hadiah bagi pemudinya sebagai tanda jadi.

Upacara perkawinan dalam adat Jawa ada beberapa tahapan, seperti halnya
pinangan. Pertama kali adalah pendaftaran perkawinan di kantor pejabat agama kecamatan
(naib). Kemudian upacara makan bersama secara keagamaan (selametan). Yang ketiga
adalah upacara perjumpaan. Upacara “temon” diselenggarakan dirumah pengantin
perempuan dimana pengantin perempuan menunggu si lelaki datang ke rumah untuk
menjemputnya.

“Aku emoh suami sekedar seorang tukang kayu seperti dadi,kalau emak
mencarikan suami untukku,carikan orang yang bergaji misalnya tentara”.(hildred
greetz,keluarga jawa,61)

Kutipan diatas menunjukkan bahwa kelas sosial dalam pernikahan menjadi hal yang
sangat penting padahal mobilitas di pedesaan yang cenderung rendah masih memandang
status sosial dan pada umumnya perkawinan anak perempuan dinilai sangat mahal, karena
pada perkawinan pertama dilangsungkan sepenuhnya oleh orangtua dan disertai hadiah
pertunangan yang mahal.

“seorang anak laki-laki pegawai negeri Yang terhormat itu jatuh cinta Pada
seorang pembantu dan keduanya menikah tanpa diketahui kedua orang tua
anak muda itu pada suatu saat orang tuanya tinggal di kota lain mempersiapkan
bagi anak laki-lakinya itu suatu perkawinan megah sebagaimana mestinya untuk
anak pegawai negeri yang berpangkat ketika tiba saatnya untuk
memberitahukan kepada anaknya didapatinya dengan amat kaget bahwa
anaknya telah menikah karena marahnya sang ayah memanggil istri anaknya
sebagai binatang sebutan paling menghina bagi orang Jawa dan dengan
membekalinya sekedar uang ia mengusirnya anak laki-laki itu sekarang
menghadapi situasi berupa konflik Apakah memilih istri dari kelas atas itu
ataukah mengikuti rasa cintanya sesuai dengan nilai-nilai Kejawen dia memilih
gadis kelas atas itu dan selanjutnya Berbahagialah mereka berdua”. ”.(hildred
greetz,keluarga jawa,61)

` Kutipan di atas juga mengutarakan kelas sosial yang terjadi kesetaraan sosial
sangatlah penting antar kaum bawah dengan kaum bawah dan kaum atas dengan kaum atas
apabila hal ini dilanggar terjadi konflik di dalam keluarga.

Bagi perempuan, sekali dia kawin dan kemudian gagal, dia boleh kawin lagi, tetapi
dengan cara yang sederhana dan gampang. Di Jawa perceraian sangat mudah untuk
dilakukan. Suami dan istri hanya tinggal memberitahu pejabat agama desa (modin), dan
kemudian modin yang membawanya ke pejabat urusan agama kecamatan (naib). Tindak
perceraian ini dinakan dengan talak. Namun apabila si suami menyesal dan ingin mengambil
kembali istrinya selama masa idah belum berlalu, keduanya cukup datang kembali ke
pejabat berwenang untuk membatalkan perceraian mereka. Perkawinan kembali ini dinakan
dengan “rujuk”.

Anda mungkin juga menyukai