Anda di halaman 1dari 6

MENCERMATI PERLAKUAN PAJAK MASUKAN ATAS PENYERAHAN PPN

DITANGGUNG PEMERINTAH
Bambang Pratiknyo
Pemerhati Pajak

Pemanfaatan fungsi mengatur (Regulerend) dalam Pajak Pertambahan Nilai (PPN) antara lain
diwujudkan dalam bentuk aturan fasilitas PPN Dibebaskan, dan PPN Tidak Dipungut.
Sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan UU PPN, tujuan diberikannya fasilitas tersebut
adalah untuk keberhasilan sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional,
mendorong perkembangan dunia usaha, memperlancar pembangunan nasional, serta menerapkan
kelaziman internasional. Dasar hukum PPN Dibebaskan dan PPN Tidak Dipungut diatur dalam
Pasal 16B UU PPN.

Bagi Pihak yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP),
adanya PPN Dibebaskan atau PPN Tidak Dipungut mempunyai implikasi yang sama yaitu PPN
tidak perlu dibayar. Namun bagi Pihak yang menyerahkan BKP/JKP implikasinya akan berbeda.
Seperti dinyatakan dalam Pasal 16B ayat (2) dan (3) UU PPN, Pajak Masukan (PM) terkait
dengan penyerahan yang PPN-nya Dibebaskan tidak dapat dikreditkan. Sedangkan, PM terkait
dengan penyerahan yang PPN-nya Tidak Dipungut dapat dikreditkan. Dengan demikian Pihak
yang melakukan penyerahan harus memperhatikan ketentuan ini, karena jika tidak, maka dalam
hal Pihak yang melakukan penyerahan mengkreditkan PM terkait dengan penyerahan yang PPN-
nya Dibebaskan, akan dapat terkena tagihan kurang bayar PPN ditambah sanksi.

Sekalipun berdasarkan UU PPN hanya diatur dua fasilitas tersebut, namun kenyataannya ada
satu lagi fasilitas PPN yang berlaku, yaitu PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP). Dengan
fasilitas ini, Pihak yang menerima penyerahan BKP/JKP juga tidak perlu membayar PPN.
Tujuan fasilitas PPN DTP pada dasarnya sama dengan fasilitas PPN Dibebaskan ataupun PPN
Tidak Dipungut sebagaimana diuraikan di atas. Akan tetapi yang menjadi pembeda adalah
bahwa PPN DTP merupakan PPN yang terutang dan dibayar oleh Pemerintah dengan pagu
anggaran yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 1,
kecuali ditentukan lain dalam UU mengenai APBN. Alasan diberlakukannya PPN DTP pada
awalnya sebagai jalan keluar atau terobosan dari tidak adanya ketentuan Pembebasan PPN pada
UU PPN yang pertama (UU No. 8 Tahun 1983) 2. Sampai dengan diundangkannya UU PPN yang
kedua (UU No. 11 Tahun 1994) PPN DTP merupakan satu-satunya fasilitas PPN. Namun
demikian ternyata fasilitas PPN DTP ini tidak menjadi hilang ketika sudah hadirnya aturan PPN
Dibebaskan dan PPN Tidak Dipungut dalam UU PPN, yaitu sejak UU No. 11 Tahun 1994.
Bahkan sampai dengan tahun ini masih tetap digunakan, antara lain sebagai fasilitas untuk
membantu penanganan Covid-19.

1
Dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1 PMK No.228/PMK.05/2010
2
Dinyatakan pada konsiderans Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1985

1
Suatu persoalan yang ada pada fasilitas PPN DTP adalah ketidakjelasan perlakuan PM terkait
dengan penyerahan yang PPN-nya DTP. Berbeda dengan PPN Dibebaskan dan PPN Tidak
Dipungut yang sudah jelas perlakuan PM-nya sebagaimana di uraikan di atas, perlakuan PM atas
penyerahan yang PPN-nya DTP belum diatur dalam UU PPN. Meskipun pada hakekatnya bahwa
dengan pengertian PPN DTP adalah PPN tetap terutang dan Pemerintah yang membayarnya,
maka seharusnya PM-nya menjadi dapat dikreditkan, akan tetapi bagaimanakah kenyataan pada
peraturan yang ada? Jawaban atas pertanyaan ini menarik dan penting diketahui. Dinyatakan
menarik karena hal ini belum diatur tegas dalam UU PPN, sedangkan dinyatakan penting sebab
sampai sekarang perlakuan PPN DTP masih ada, bahkan fasilitas ini digunakan dalam upaya
membantu penanganan Covid-19 dewasa ini. Jawaban atas pertanyaan tersebut akan diuraikan
di bawah ini berdasarkan pencermatan pada aturan-aturan yang ada. Untuk lebih jelasnya, aturan
yang ada dicermati dengan memilah aturan pada periode sebelum ketentuan PPN Dibebaskan
serta PPN Tidak Dipungut ada di UU PPN, dan periode setelahnya, yaitu setelah UU No. 11
Tahun 1994 diberlakukan.

A. Perlakuan PM atas penyerahan PPN DTP sebelum UU No. 11 Tahun 1994

Sebelum UU No. 11 Tahun 1994 tentu merupakan periode berlakunya UU PPN yang pertama
(UU No. 8 Tahun 1983 yang mulai berlaku sejak April 1985) yang mana ketentuan PPN
Dibebaskan dan PPN Tidak Dipungut belum ada di UU PPN. Di bawah ini disajikan tabel
peraturan-peraturan tentang PPN DTP atas suatu penyerahan pada periode sebelum berlakunya
UU No. 11 Tahun 1994.

2
Dari Tabel di atas di atas terlihat bahwa perlakuan PM untuk penyerahan yang PPN-nya DTP
tidak seragam atau tidak berpola. Ada PM yang tidak bisa dikredtikan dan ada pula yang bisa
dikreditkan. Sampai suatu ketika diterbitkan KMK tentang pedoman pengkreditan PM yaitu
KMK No. 1441b/KMK.04/1989 jo. KMK No.296/KMK.04/1994 yang menegaskan bahwa
perlakuan PM atas Penyerahan yang PPN-nya DTP tidak dapat dikreditkan, kecuali ditetapkan
lain oleh Menteri Keuangan. Dengan penegasan tersebut dapat disimpulkan bahwa perlakuan PM
atas penyerahan yang PPN-nya DTP pada dasarnya tidak dapat dikreditkan, kecuali ditentukan
lain oleh Menteri Keuangan (melalui KMK). Meskipun KMK tersebut telah dicabut, namun
setidaknya dapat diketahui bahwa perlakuan seperti itu pernah dianut oleh Fiskus.

B. Perlakuan PM atas penyerahan PPN DTP sesudah UU No. 11 Tahun 1994

Meskipun pada UU No. 11 Tahun 1994 sudah diatur ketentuan PPN Dibebaskan dan PPN Tidak
Dipungut, namun ketentuan PPN DTP tetap diterbitkan sebagaimana tersaji pada Tabel berikut
ini.

3
Keppres No. 22 Tahun 1997 selanjutnya diubah oleh Keppres-Keppres berikutnya yang isinya
menambah dan mengurangi penyerahan-penyerahan yang PPN-nya DTP, sampai akhirnya atas
penyerahan-penyerahan yang sebelumnya DTP, melalui beberapa Peraturan Pemerintah diubah
menjadi PPN-nya Tidak Dipungut dan PPN-nya dibebaskan.
Perlakuan PPN atas Penyerahan BKP/JKP terkait dengan proyek Pemerintah yg dibiayai Dana
Pinjaman LN oleh Keppres No. 13 Tahun 1995 diganti dari DTP menjadi Tidak Dipungut dan
ditegaskan oleh KMK-191/1995 bahwa PMnya creditable. Mustinya atas dasar Pasal 16B UU
No. 11 Tahun 1994 sudah jelas perlakuan atas penyerahan Tidak Dipungut, sehingga tidak perlu
ditegaskan dalam KMK mengenai PM yang dapat dikreditkan.
PPN DTP atas penyerahan Gandum, Tepung Terigu, Minyak Goreng Sawit, Bahan Bakar
Nabati dan Minyak Goreng Kemasan Sederhana berdasarkan Peraturan tersebut pada Tabel di
atas sifatnya terkait erat dengan APBN tahun yang bersangkutan. Karenanya fasilitas tersebut
hanya berlaku satu tahun sesuai tahun anggarannya.

4
Berdasarkan data peraturan pada tabel di atas dapat disimpulkan sekali lagi bahwa ternyata
setelah berlakunya UU No. 11 Tahun 1994 perlakuan PM atas penyerahan yang PPN-nya DTP
masih tidak berpola untuk tidak dinyatakan belum jelas. Ada yang PM-nya bisa dikreditkan, ada
yang tidak bisa dikreditkan, dan bahkan ada pula yang tidak ditegaskan.
Suatu hal yang menarik adalah bahwa ketika berperkara di Mahkamah Agung (MA) pada tahun
2013 dalam perkara Uji Materi atas Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2007, Pemerintah
menyatakan bahwa fasilitas PPN DTP sejak 1 Januari 2001 diganti dengan PPN Dibebaskan dan
bahwa dari segi pengkreditan PM tidak ada perbedaan antara PPN yang dibebaskan dengan PPN
DTP, yaitu tidak dapat dikreditkan. Pernyataan tersebut diperkuat dengan rujukan kepada
pendapat Untung Sukardji dalam bukunya yang berjudul Sebuah Analisa Konstruktif Perubahan
UU PPN 1984 dengan UU No. 18 Tahun 2000 yang juga menyatakan bahwa sejak 1 Januari
2001 fasilitas PPN DTP diganti dengan PPN Dibebaskan. 3 Dengan demikian perlakuan PM atas
penyerahan yang PPN-nya DTP adalah disamakan dengan PPN Dibebaskan, yaitu tidak dapat
dikreditkan.
Selain itu, pada aturan tentang Kode Faktur Pajak ternyata untuk PPN DTP dan PPN Tidak
Dipungut kode fakturnya sama yaitu 07. Apakah dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
perlakuan PM-nya antara PPN DTP dan PPN Tidak Dipungut menjadi sama? Tentu saja tidak
dapat disimpulkan seperti itu, karena tidak ada peraturan yang mengkonfirmasi simpulan
tersebut.
C. Simpulan dan Saran

Dari data peraturan-peraturan tentang penyerahan yang PPN-nya DTP sebagaimana diuraikan di
atas (baik sebelum dan sesudah adanya ketentuan PPN Dibebaskan dan PPN Tidak Dipungut)
ternyata perlakuan PM-nya tidak jelas. Terkadang ada yang PM-nya bisa dikreditkan, terkadang
ada yang PM-nya tidak dapat dikreditkan, bahkan ada yang tidak diatur atau tidak ditegaskan.
Sekalipun demikian ada kecenderungan bahwa PM atas penyerahan yang PPN-nya DTP tidak
dapat dikreditkan yang mana hal ini diperkuat dengan ketentuan KMK No. 1441b/KMK.04/1989
jo. KMK No.296/KMK.04/1994 dan pernyataan Pemerintah dalam persidangan di MA
sebagaimana diuraikan di atas.

Kondisi ini tentu kurang baik bagi dunia usaha dan fiskus, karena ketidak jelasan perlakuan
pajak menimbulkan ketidakpastian yang pada gilirannya menciptakan kesulitan dalam
administrasi perpajakan. Terlebih lagi, bagi para Pengusaha yang menyerahkan BKP terkait
dengan fasilitas dalam rangka penanganan Covid-19 yang mana cenderung Pengusaha tersebut
beranggapan tidak ada masalah dengan perlakuan PM-nya. Dengan tidak adanya penegasan
perlakuan PM-nya pada PMK No. 28 dan PMK No. 143 Tahun 2020, maka tentu tidak
diharapkan jika ternyata di kemudian hari Pemeriksa Pajak menagih kekurangan PPN akibat PM-
nya yang dikreditkan tidak diakui. Jika hal itu terjadi, maka tujuan pemberian fasilitas dalam
rangka penanganan pandemic Covid-19 sangat terdistorsi.

3
Putusan Mahkamah Agung No.70 P/HUM/2013 halaman 59-61.

5
Oleh karena itu patut disarankan agar Pemerintah segera menerbitkan penegasan tentang
perlakuan PM untuk penyerahan yang PPN-nya DTP, demi terpeliharanya kepastian hukum dan
demi tidak terganggunya upaya penanganan Covid-19 yang sampai saat ini masih mewabah.

__________

Anda mungkin juga menyukai