Anda di halaman 1dari 10

Strategi Menghadapi Temuan Pemeriksa tentang Konfirmasi PPN yang Dinyatakan

Tidak Ada
Saat melakukan pemeriksaan, seringkali pemeriksa pajak (fiskus) mengoreksi Pajak
Masukan saat konfirmasi terhadap Pajak Masukan tersebut mendapat jawaban Tidak Ada dari
kantor pajak lain. Asumsinya, jika jawabannya Tidak Ada, maka Faktur Pajak dari Pajak
Masukan tersebut dapat dianggap fiktif oleh fiskus. Dirjen telah menerbitkan aturan khusus
bernomor KEP-754/PJ./2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak Dengan
Aplikasi Sistem Informasi Perpajakan tanggal 26 Desember 2001. Pada butir 1.4.1.3. dalam
penjelasan Lampiran I KEP-754/PJ./2001 ditegaskan bahwa apabila jawaban klarifikasi dari KPP
tempat PKP dikukuhkan menyatakan:
1. Ada dan Sesuai dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak tersebut belum direkam KPP
domisili PKP penjual atau Faktur Pajak tersebut terlambat dilaporkan oleh PKP penjual,
maka Faktur Pajak tersebut dapat diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan;
2. Tidak Ada dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak tersebut belum dilaporkan oleh PKP
penjual dan KPP domisili PKP penjual telah menerbitkan SKP-KB atau SKP-KBT atas
Faktur Pajak yang belum dilaporkan tersebut, maka Faktur Pajak tersebut dapat
diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
3. Tidak Ada dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak tersebut tidak sah karena pengusaha
yang
menerbitkan belum dikukuhkan sebagai PKP, atau PKP penjual tidak pernah melakukan
penyerahan BKP/JKP kepada PKP pembeli yang bersangkutan, maka Faktur Pajak
tersebut tidak dapat diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan; dan
4. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal dikirimkan jawaban klarifikasi
belum/tidak diterima dan apabila berdasarkan hasil pengujian arus barang dan atau arus
uang dapat dibuktikan bahwa Faktur Pajak tersebut sah adanya, maka Faktur Pajak yang
dimintakan klarifikasi tersebut dapat diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan.
Jika jawaban klarifikasi dari KPP yang dimintai klarifikasi hanya menjawab
Tidak Ada tanpa mencantumkan penjelasan atau keterangan apapun seperti yang diminta oleh
poin 1, 2 dan 3 di atas, maka pemeriksa pajak akan langsung mengoreksi Pajak Masukan dan
dianggap tidak dapat dikreditkan.

Strategi menghadapi temuan pemeriksa tentang konfirmasi PPN yang dinyatakan tidak
ada adalah :
1. WP harus menyiapkan arus uang (maupun arus barang apabila Faktur Pajak terkait
dengan BKP) dan menunjukkannya pada waktu pemeriksaan
2. WP harus menyiapkan photocopy pelaporan SPT Masa PPN dari PKP penjual yang
menjadi lawan transaksinya dan menunjukkannya pada waktu pemeriksaan.
3. Dalam pemeriksa pajak tidak bersedia mengubah koreksinya tersebut, WP terpaksa harus
menempuh jalur hukum dan keberatan dan banding yang harus ditempuh WP selama
lebih dari 24 (dua puluh empat) bulan atau sekitar 2 (dua) tahunan lebih. WP yang
mengajukan Banding harus menyiapkan bukti transaksi dan Faktur Pajak secara lengkap
dan detail untuk ditunjukkan kepada Majelis Hakim, jika WP tersebut bisa membuktikan
bahwa transaksi dan Faktur Pajak yang dikreditkannya di SPT Masa PPN tidak fiktif,
maka koreksi pemeriksa pajak akan dibatalkan oleh Majelis Hakim. Permohonan
Banding WP terkait dengan Faktur Pajak tersebut umumnya bisa dikabulkan.
Rekonsiliasi DPP PPN dengan Peredaran Usaha dalam SPT PPh Badan
Apabila suatu perusahaan non Pengusaha Kena Pajak membeli Barang Kena Pajak dari
Pengusaha Kena Pajak, hal tersebut merupakan objek Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
pada SPT PPh Badannya. Sedangkan pada saat menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada
pengusaha yang juga non-Pengusaha Kena Pajak bukan merupakan objek Pajak Keluaran.
Apabila perusahaan dalam kondisi laba dan berstatus sebagai non-Pengusaha Kena Pajak. Pajak
Masukan-nya dapat dikreditkan yang mengakibatkan PPh Badannya kecil.
Contoh lainnya yang dapat berpotensi menimbulkan perbedaan jumlah omset antara SPT
Masa PPN dan SPT Tahunan PPh Badan sehingga perlu dilakukan rekonsiliasi adalah :

Kasus Tax Planning atas PPN


Upaya-upaya efisiensi pada PPN:
1. Memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau non-PKP pada
pengusaha kecil.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 197/PMK.03/2013 (Perubahan PMK No.
68/PMK.03/2010) tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai, yang dimaksud
sebagai Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau
penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 4.800.000.000,00 (Empat Miliar Delapan Ratus Juta
Rupiah). Dengan kata lain, sebagai pengusaha kecil dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai
PKP atau tidak.

Pemilihan sebagai PKP atau tidak, dapat dilihat melalui transaksi yang ia lakukan. Bagi
WP yang hanya bertransaksi dengan konsumen retail atau Pengusaha Non PKP, maka menjadi
Non PKP sangat menguntungkan untuk WP tersebut karena konsumen akan mendapatkan harga
yang murah dan WP akan bebas dari kewajiban-kewajiban sebagai WP seperti melapor SPT
Masa PPN dan sebagainya. Namun bagi WP yang menjadi PKP akan menguntungkan bila
transaksi selalu dilakukan dengan Pihak yang merupakan PKP juga dan image perusahaan akan
baik dimata rekan perusahaan lainnya.
2. Mendahulukan

penerbitan

performa

invoice

sebelum

menerbitkan

invoice.
Performa Invoice merupakan faktur ringkasan atau perkiraan yang dikirim oleh penjual
kepada pembeli (biasanya perusahaan jasa) sebelum pengiriman dan pengiriman barang.
Mengenai catatan jenis dan jumlah barang, nilai, dan informasi penting lainnya seperti beban
berat dan transportasi.
Faktur proforma biasanya digunakan sebagai faktur awal dengan kutipan, atau untuk
keperluan pabean dalam importasi. Mereka berbeda dengan faktur normal tidak digunakan untuk
permintaan atau permintaan untuk membayar. Dalam hal efisiensi PPN penerbitan performa
invoice diperhatikan terlebih dahulu kapan terhutang PPN. Dalam UU no 42. Tahun 2009
dikatakan bahwa terhutangnya PPN saat pemanfaatan jasa kena pajak namun dalam hal
pembayaran diterima sebelum penyerahan maka saat terutang pajaklah saat pembayaran.
Penerbitan performa invoice penting dilakukan karena sering terjadi invoice sudah keluar namun
belum dilakukan pembayaran.
3. Melakukan pengelolaan faktur pajak dengan baik.
Pengelolaan faktur pajak dapat dilakukan dengan cara memastikan atau menjaga Faktur
Pajak tidak cacat. Jika melakukan pembelian barang atau pemakaian jasa maka terdapat Pajak
Masukan, sehingga menerima Faktur Pajak. Faktur Pajak yang diterima tersebut harus diteliti,
apabila cacat maka faktur pajak masukan tersebut tidak dapat dikreditkan. Apabila menerima
faktur pajak yang cacat, sesegera mungkin untuk dikembalikan agar dapat diganti dengan faktur
pajak yang tidak cacat. Dalam hal pembeli Barang Kena Pajak atau pengguna Jasa Kena Pajak
diketahui FP yang telah diterima dari pihak lain ternyata cacat segera dikembalikan kepada pihak

pemberi FP. Dalam hal penjual Barang Kena Pajak atau pemberi Jasa Kena Pajak ternyata telah
menerbitkan FP cacat apabila belum dilaporkan segera melakukan penggantian FP. Dasar Hukum
Faktur Pajak ada di UU PPN No.42 Tahun 2009, Pasal 13 ayat 5.
4. Mengurangi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dengan potongan harga.
Yang menjadi dasar pengenaan pajak menurut UU PPN 1984 pasal 1 angka 17 salah
satunya adalah Harga jual dan juga penggantian. Dalam angka 18 dijelaskan bahwa harga jual
adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut berdasarkan UU ini dan
potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak. Penggantian adalah nilai berupa uang
termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena
penyerahan JKP, ekspor JKP, atau ekspor BKP tidak berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang
dipungut berdasarkan UU ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak.
5. Melakukan pemusatan pajak terutang.
Sekarang dikenal adanya prinsip desentralisasi pengukuhan PKP. Artinya, antara
perusahaan pusat dan cabang-cabangnya diperlakukan sebagai unit-unit yang berbeda dalam hal
pengukuhan PKP. Baik pusat maupun cabang masing-masing dikukuhkan sebagai PKP oleh
Kantor Pelayanan Pajak Setempat. Setiap penyerahan BKP dari pusat ke cabang dan atau antar
cabang akan dikenai PPN. Namun, ketentuan mengenai desentralisasi pengukuhan PKP menjadi
hilang jika entitas yang bersangkutan memperoleh izin pemusatan tempat pajak terutang.
Keuntungan yang diperoleh adalah setiap cabang tidak perlu lapor ke DJP mengenai penyerahan
BKP antar cabang sehingga compliance cost perusahaan dapat semakin ditekan. Karena itu,
sebaiknya suatu entitas yang mempunyai banyak cabang meminta izin untuk melakukan
pemusatan pajak terutang. Dasar Hukum ada di UU No.42 Tahun 2009 Pasal 12 ayat 2.
6. Memaksimalkan PPN masukan yang dapat dikreditkan.
Perusahaan sebaiknya memperoleh Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP)
dari Pengusaha Kena Pajak (PKP), agar pajak masukannya dapat dikreditkan (UU No. 42 Tahun
2009 pasal 9 ayat 2b). Dalam hal penjualan BKP/JKP yang pembayarannya belum diterima,

pembuatan faktur pajak bisa ditunda sampai akhir bulan berikutnya setelah penyerahan Barang
Kena Pajak/Jasa Kena Pajak.
7. Memaksimalkan kompensasi dan restitusi PPN.
Apabila di akhir bulan PPN Masukan lebih besar daripada Keluaran, maka terjadi
kelebihan bayar PPN. Lebih bayar PPN dapat dilaporkan dalam SPT Masa PPN sebagai berikut:
a. Kelebihan pembayaran PPN dapat diminta kembali.
b. Kelebihan pembayaran PPN dapat dikompensasi/diperhitungkan dengan PPN kurang
bayar bulan berikutnya.
Cara Pengajuan Permohonan Pengembalian
a. PKP

dapat

mengajukan

permohonan

pengembalian

kelebihan

Pajak

dengan

menggunakan :
SPT Masa PPN, dengan cara mengisi (memberi tanda silang) pada kolom

"Dikembalikan (restitusi)"; atau


Surat permohonan tersendiri, apabila kolom "Dikembalikan (restitusi)" dalam
SPT Masa PPN tidak diisi atau tidak mencantumkan tanda permohonan

pengembalian kelebihan Pajak.


b. Permohonan pengembalian kelebihan Pajak diajukan kepada KPP di tempat PKP
dikukuhkan. Permohonan pengembalian kelebihan Pajak ditentukan 1 (satu) permohonan
untuk 1 (satu) Masa Pajak.
Hal ini sesuai undang-undang No. 42 Tahun 2009 di pasal 9 ayat 4. Namun, lebih baik
melakukan kompensasi di bulan berikutnya daripada meminta PPN kembali, karena akan ada
pemeriksaan jika meminta pengembalian uang yang mungkin akan menyita waktu.
8. Melakukan Impor Inden pada Importir yang telah memiliki NPWP
Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan No: 539/KMK.04/1990 menjelaskan apabila impor
dilakukan atas dasar inden maka indentor yang bertanggung jawab atas semua biaya maupun
pajak yang berhubungan dengan impor, sedangkan importir memperoleh komisi atau "handling
fee" dari indentor. Berdasarkan ketentuan tersebut, PPN impor dibebankan kepada indentor,
sehingga apabila indentor adalah PKP, maka PPN impor tersebut merupakan Pajak Masukan bagi
indentor, yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluarannya sepanjang BKP yang di impor
dengan dasar inden tersebut mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dalam jalur

produksi maupun distribusi. Impor inden akan menguntungkan perusahaan karena dapat
meminimalkan jumlah Pajak Pertambahan Nilai terutangnya, dan perusahaan juga dapat
mengkreditkan komisi yang diberikan kepada Importir.
9. Membuat faktur pajak dengan lengkap serta melaporkannya tepat waktu.
Seorang pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP tetapi tidak membuat faktur
pajak dengan lengkap dan melaporkannya dengan tepat waktu, maka akan dikenai sanksi sebesar
2% dari Dasar Pengenaan Pajak (UU KUP No. 14 ayat 3). Hal ini akan merugikan perusahaan
karena akan menambah beban pajaknya.
10. Lebih banyak melakukan Ekspor daripada penjualan ke dalam negeri.
Sesuai dengan UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 7 PPN atas kegiatan ekspor adalah sebesar
0%. Maka terdapat opsi bagi WP yang akan memasarkan produknya. Yaitu dengan cara membeli
produk / bahan produk dari dalam negeri dan menjual output produk tersebut ke luar negeri.
Selain mengurangi PPN terutang, hal ini juga bisa membuat produk lebih mahal dijual ke luar
negeri.

Namun

harus

memperhatikan

ketentuan

dari

Menteri

Perdagangan

44/M-

DAG/PER/7/2012 tentang Barang Larangan Ekspor.


Contoh kasus :
PT Magetan Aman adalah PKP yang bergerak dalam industry baja. Selain melakukan penyerahan
hasil industrinya di dalam negeri, PT Magetan Aman juga melakukan ekspor hasil produksinya.
Pada masa pajak Januari 2012 mempunyai pajak masukan yang dapat dikreditkan sebesar 100
juta dan juga melakukan ekspor ke Negara Palestina sebesar 2 M. Berapakah jumlah PPN yang
harus dibayar PT MagetanAman pada masa pajak januari 2012?
Jawab:
Pajak keluaran atas ekspor BKP : 0% x 2 M = 0
Pajak masukan yang dapat dikreditkan = 100 juta
Pajak keluaran Pajak masukan = 0 100 juta = lebih bayar 100 juta
Mari kita andaikan jika penyerahan sebesar 2 M itu dilakukan dalam negeri (bukan ekspor),
maka:
Pajak keluaran atas penyerahan BKP : 10% x 2 M = 200 juta

Pajak keluaran Pajak masukan = 200 jua 100 juta = kurang bayar 100 juta
Jadi, berdasarkan contoh di atas terlihat bahwa ekspor BKP/JKP sangat menguntungkan pihak
WP.
11. Memanfaatkan fasilitas di bidang PPN
Fasilitas PPN sesuai Pasal 16B UU PPN 2009 dapat ditetapkan bahwa pajak terutang
tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, dan atau ditetapkan dari pengenaan pajak, baik untuk
sementara waktu atau selamanya, untuk:
a.
b.
c.
d.

Kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;


Penyerahan BKP tertentu atau penyerahan JKP tertentu;
Impor Barang Kena Pajak tertentu;
Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di

dalam Daerah Pabean;


e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean.
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan
Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dapat
dikreditkan. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau
perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.
12. PPN Atas Kegiatan Membangun Sendiri

PMK Nomor 163/PMK.03/2012 tentang batasan dan Tata Cara Pengenaan PPN:

Terdapat Opsi mengenai PPN atas Kegiatan membangun sendiri pada Pasal 2 ayat 4
tentang bangunan yang terutang PPN adalah paling sedikit 200m2 dan tidak dalan

kegiatan usaha yang dicantumkan di ayat 3.


Jika lebih dari 200m2, maka pajak terutang adalah sebesar 10% X 20% X DPP (tidak
termasuk

harga

perolehan

tanah)

dan

harus

dibayarkan

setiap

bulannya.

Saat terutangnya adalah pada saat dibangun hingga proyek selesai. WP OP/Badan dapat

memanfaatkan Peraturan ini dengan tidak membangun bangunan lebih dari 200m2.
Peraturan ini dapat dimanfaatkan WP yang membangun rumah besar, dikarenakan
peraturan sebelumnya pada PMK Nomor 39/PMK.03/2010 yang menetapkan PPN
sebesar 10% X 40% X DPP.

Dalam Pasal 4 ayat 2, tertulis bahwa bangunan dikatakan satu kesatuan jika tahapan
pembangunan dilakukan tidak lebih dari 2 tahun. Maka WP yang telah PKP dapat
memanfaatkannya dengan memperluas bangunan tersebut 2 tahun kemudian.

13. PKP yang memiliki usaha jual motor atau mobil bekas secara eceran sebaiknya

menghindari pajak
PMK No.79/PMK.03/2010 mengenai PPN atas kegiatan usaha tertentu yaitu pengusaha
kendaraan bermotor bekas yang menjual secara eceran yang telah menjadi PKP wajib membayar
PPN sebesar 1% dari harga jual kendaraan bermotor. Jika beralih kepada mekanisme
pengkreditan PK dan PM, syaratnya harus memiliki omzet di atas 1.800.000.000,- (Satu Miliar
Delapan Ratus Juta Rupiah) per tahun. PKP mungkin dapat menghindari kegiatan seperti ini jika
memiliki omzet setahun kurang dari Rp 1.800.000.000,-. Atau WP yang akan melakukan
kegiatan ini dapat memilih untuk dicabut PKP-nya.
Simpulan
Perencanaan pajak secara umum merujuk kepada proses rekayasa usaha dan transaksi WP
supaya utang pajak berada dalam jumlah minimal, tetapi masih dalam bingkai peraturan. Di sisi
lain, perencanaan pajak dapat juga berkonotasi positif sebagai perencanaan pemenuhan
kewajiban perpajakan secara lengkap, benar, dan tepat waktu, sehingga dapat menghindari
pemborosan sumber daya secara optimal. Perencanaan pajak adalah langkah awal dalam
manajemen pajak, diikuti dengan pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax implementation) dan
pengendalian pajak (tax control). Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan pajak dan
pengendalian atas pajak pertambahan nilai adalah kapan wajib pajak harus mendaftar sebagai
PKP, pengendalian atas faktur pajak keluaran maupun faktur pajak masukan agar memenuhi
syarat formil dan materil, Tax planning pemilihan tempat pajak terutang, strategi menghadapi
temuan pemeriksa tentang konfirmasi PPN yang dinyatakan tidak ada serta Rekonsiliasi DPP PPN
dengan peredaran usaha dalam SPT PPh Badan.

Daftar Pustaka
Abdul Rahman. 2013. Perencanaan Pajak, Perlukah? Kajian Praktis Menuju Administrasi
Perpajakan yang Efisien. Working paper.

https://prezi.com/lxqzybpbaxt0/copy-of-pkp/
http://www.mitrakonsultindo.co.id/akuntansi-perpajakan/konsultan-pajak
http://www.rumahpajak.com

Anda mungkin juga menyukai