Anda di halaman 1dari 99

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/378012780

Prinsip dan Praktik Hewan Percobaan Mencit (Mus musculus) 01302024

Book · January 2024

CITATIONS READS

0 923

3 authors, including:

Syafruddin Ilyas Yurnadi Hanafi Midoen


University of Sumatera Utara University of Indonesia
193 PUBLICATIONS 990 CITATIONS 64 PUBLICATIONS 127 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Yurnadi Hanafi Midoen on 07 February 2024.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PRINSIP DAN PRAKTIK
HEWAN PERCOBAAN
MENCIT (Mus musculus)

Dina Khairani
Syafruddin Ilyas
Yurnadi

2024
i
USU Press
Art Design, Publishing & Printing
Universitas Sumatera Utara, Jl. Pancasila, Padang Bulan,
Kec. Medan Baru, Kota Medan, Sumatera Utara 20155

Telp. 0811-6263-737

usupress.usu.ac.id

© USU Press 2024

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak menyalin,


merekam sebagian atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk
apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

ISBN 978-602-465-555-6

Khairani, Dina
Prinsip dan Praktik Hewan Percobaan Mencit (Mus musculus)/Dina Khairani;
Syafruddin Ilyas; Yurnadi – Medan: USU Press 2024

ii, 93 p; ilus : 25 cm

Bibliografi
ISBN: 978-602-465-555-6

Dicetak di Medan, Indonesia


PRAKATA

Seiiring dengan pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang


semakin maju dengan berbagai inovasi di segala bidang termasuk biologi,
farmakologi, kedokteran, genetika, histologi, patologi dan bidang lainnya.
Sehingga sangat dibutuhkan hewan-hewan uji seperti mencit, tikus, kelinci dan
monyet agar penelitian dapat berlangsung dengan baik dan menghasilkan
pengetahuan yang bermanfaat. Penggunaan hewan-hewan uji ini tentu harus
sesuai dengan etik yang sudah disepakati, sehingga diperlukannya pengetahuan
mengenai prinsip kerja saat melakukan penelitian mulai dari awal sampai akhir
proses penelitian.
Penjelasan mengenai berbagai macam teknik pengendalian hewan uji
ditampilkan dalam buku ini dari cara memegang mencit sampai teknik
pembedahan mencit diakhir penelitian. Dengan adanya buku ini penulis berharap
dapat menambah ilmu pendukung dalam proses pelaksanaan penelitian
menggunakan hewan coba dengan judul “PRINSIP DAN PRAKTIK HEWAN
PERCOBAAN MENCIT (Mus musculus)”. Harapan penulis dengan terbitnya
buku ini menjadi acuan serta kajian rinci dan mempermudah praktik pada saat
melakukan penelitian dengan hewan uji.
Buku ini merupakan kompilasi dari beberapa jurnal, buku, informasi
ilmiah dan beberapa teori yang dikumpulkan oleh penulis serta sebagai luaran
dari Indonesian Collaborative Research Assignment Agreement 16 PTHBH
Nomor Kontak : NKB-1065/UN2.RST/HKP.05.00/2023 Universitas Indonesia
(UI) Tahun 2023 dan juga Research of Talenta, Universitas Sumatera Utara,
Indonesian Collaborative Research Program (RKI) Nomor Kontrak:
1/UN.2.3.1/PPM/KP-RKI/2023 Tahun 2023. Oleh karena itu penulis terbuka
untuk sharing dengan pemerhati ilmu ini untuk kesempurnaan penulisan buku
ini.

Medan, Januari 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

PRAKATA ........................................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB 1 DEFENISI MENCIT .............................................................................. 1
1.1 Filogenetik Mencit ............................................................................... 2
1.2 Filogenetik Mencit dan Hubungannya dengan Manusia ...................... 4
BAB 2 PEMELIHARAAN MENCIT ................................................................. 8
2.1 Pakan Mencit ........................................................................................ 8
2.2 Kandang Mencit ................................................................................. 10
2.3 Penyakit pada Mencit ......................................................................... 12
BAB 3 PENGGUNAAN MENCIT SEBAGAI HEWAN UJI COBA
LABORATORIUM .............................................................................. 15
3.1 Cara memegang mencit ...................................................................... 15
3.2 Cara penandaan mencit (Tagging) ..................................................... 17
3.3 Cara pemberian simplisia ................................................................... 18
3.4 Cara Euthanasia Pada Hewan Percobaan ........................................... 24
BAB 4 KOMPOSISI DARAH .......................................................................... 27
BAB 5 TEKNIK PENGAMBILAN DARAH MENCIT .................................. 33
BAB 6 TEKNIK PEMBEDAHAN PADA MENCIT ....................................... 37
BAB 7 PERATURAN PENGGUNAAN HEWAN COBA (ANIMAL
ETHICS) ............................................................................................... 40
BAB 8 SISTEM PENCERNAAN DAN SISTEM PERNAPASAN PADA
MENCIT ............................................................................................... 43
8.1 Sistem Pencernaan .............................................................................. 43
8.2 Sistem Pernapasan .............................................................................. 47
BAB 9 SISTEM REPRODUKSI JANTAN PADA MENCIT ......................... 50
BAB 10 SISTEM REPRODUKSI BETINA PADA MENCIT ........................ 59
BAB 11 ANTI-INFLAMASI PADA MENCIT ................................................ 67
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 81
GLOSARIUM ................................................................................................... 87

ii
BAB 1
DEFENISI MENCIT

Mus musculus atau yang biasa disebut mencit adalah hewan kecil dari
kelas mamalia yang umum digunakan pada saat melakukan penelitian.
Penggunaan mencit dilaboratorium berkisar 40% - 80% sebagai model hewan
coba. Penggunaan mencit ini sering digunakan dalam penelitian ilmiah terutama
dalam penelitian biologi, genetika, toksikologi, patologi, histopatologi dan
bidang lainnya. Mencit memiliki ciri-ciri khusus seperti ukuran yang relative
kecil dengan panjang tubuh 7 hingga 10 sentimeter, tidak termasuk panjang ekor.
Mencit adalah hewan yang dapat ditemukan diseluruh dunia dan dapat hidup
diberbagai habitat, memiliki siklus hidup yang cepat dengan masa hidup relatif
singkat, dapat bereproduksi dengan cepat dan memiliki jumlah keturunan yang
banyak dan merupakan hewan omnivora yang dapat mengonsumsi segala jenis
makanan termasuk biji-bijian, buah-buahan, serangga dan makanan lainnya
(Muliani, 2011). Berdasarkan klasifikasinya mencit dapat dilihat :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Genus : Mus
Spesies : Mus musculus

Gambar 1. Mus musculus (Permatasari, 2019)

1
Mencit memiliki kemampuan untuk bertahan hidup selama 1 hingga 3
tahun, dengan masa kebuntingan yang singkat, yakni sekitar 18-21 hari, dan
memiliki masa aktivitas reproduksi yang relatif lama, berkisar antara 2 hingga
14 bulan sepanjang hidupnya. Mencit dianggap dewasa pada usia 35 hari, dan
mereka sudah dapat berkawin ketika mencapai usia sekitar 18 minggu baik untuk
jantan maupun betina. Siklus reproduksi mencit bersifat poliestrus, yang berarti
masa estrus atau birahi dapat terjadi selama 5 hari dengan rentang waktu birahi
sekitar 12-14 jam.
Berat mencit jantan dewasa bisa mencapai 20-40 gram, sementara betina
memiliki berat antara 18-35 gram. Mencit dapat hidup pada suhu sekitar 30oC.
Mencit termasuk hewan yang relatif mudah dipelihara, terutama jika dipelihara
dalam jumlah yang banyak. Pemeliharaan mencit tidak memerlukan biaya yang
besar dan penanganannya tidak sulit. Mencit termasuk dalam kelompok hewan
rodentia atau pengerat, yang memiliki variasi genetik yang luas dan karakteristik
anatomis serta fisiologis yang sangat khas (Smith and Mangkowidjojo, 1988)
(Riskana, 1999).

1.1 Filogenetik Mencit


Filogenetik mencit adalah suatu studi mengenai hubungan evolusioner
antara berbagai spesies mencit yang bermacam-macam.

Gambar 2. Hubungan filogentik spesies rodentia yang mewakili 14 subfamili


Muridae (Hedrich, 2012)

2
Jumlah hubungan filogenetik dalam genus (subfamily Muridae).
Subgenus Mus terdiri dari beberapa spesies yang memiliki ciri-ciri yang sangat
mirip dalam segi bentuk dan ukuran tetapi jarang berhibridisasi di alam liar. Di
Asia ada beberapa spesies yang dapat membentuk kelompok seperti Mus
cervicolor, Mus cookie dan Mus caroli. Beberapa spesies yang dapat membentuk
kelompok selanjutnya terdiri dari Mus terricolor dengan Mus famulus dari India
beserta Mus fragilicauda dari Thailand dan Mus nitidulus dari Laos.

Gambar 3. Filogenetik genus Mus (Hedrich, 2012)

Gambar 4. Terdapat 6 spesies mencit yang memiliki ciri fisik yang mirip tetapi
mempunyai hubungan kekerabatan yang jauh. (A) M. m. domesticusi, (B) M.
m castaneus, (C) M. spretus, (D) M. cypria, (E) M. caroli, (F) Coelomys pahari
(Hedrich, 2012)

3
1.2 Filogenetik Mencit dan Hubungannya dengan Manusia
Hubungan filogenetik antara mencit dan manusia dapat berkaitan dengan
evolusi dan pewarisan genetic dari nenek moyang bersama yang hidup sekitar
80 juta tahun yang lalu. Meskipun mencit dan manusia memiliki perbedaan
secara morfologis dan fisiologis, keduanya memiliki kesamaan genetik yang
sangat signifikan. Lebih dari 90% gen manusia ditemukan dalam genom mencit
dan sebagian besar fungsi dari gen tersebut sangat mirip di kedua spesies.
Walaupun mencit dan manusia memiliki banyak kesamaan genetik, tetap
perlu diketahui bahwa terdapat perbedaan antara kedua spesies tersebut.
Beberapa perbedaan itu dapat dilihat pada Tabel 1. untuk mempermudah agar
peneliti berhati-hati dalam pengenalan terhadap perbedaan biologis dan
fisiologis pada kedua spesies.

Tabel 1. Gambaran representative dan perbedaan mencit dan manusia


Parameter Mencit Manusia
Kelas Mamalia Mamalia
Ordo Rodentia Primata
Famili Muridae Homonidae
Spesies Mus musculus Homo sapiens
Waktu Matang seksual 5-6 minggu 10-15 tahun
BB jantan dewasa 20-40 gr 87 kg
BB betina dewasa 18-35 gr 75 kg
2
Total permukaan tubuh 0.03-0.06 cm 1.6-1.9 m2
Masa hidup 1-3 tahun Rata-rata 67 tahun
Masa hidup paling lama
4 tahun 122 tahun
yang dilaporkan
Jumlah keturunan 5-11, tergantung strain Rata-rata 1-2 keturunan
Jumlah kaki/tungkai 4 2
Jumlah tangan 0 2
Rumus vertebrae C7 YT13 L6 S4 Cd28 C7 T12 L5 S5 Cd4
Integument Kulit didominasi oleh Didominasi oleh kulit
rambut bersisik
Kelenjar keringat Ekrin saja Ekrin dan Apokrin
Ada 10 yang terletak
Kelenjar mamae Ada 2, terletak di dada
di area servik, paru-

4
Parameter Mencit Manusia
paru, perut, dada dan
perut bagian bawah
Puting susu jantan Tidak ada Ada
Kelenjar lakrimal
exorbital Ada Tidak ada
kelenjar herderian Ada Tidak ada
Lobus paru-paru 4 kanan, 1 kiri 3 kanan, 2 kiri
Cerebral giry dan sulci Tidak ada Ada
Lobus hati 4 : kanan, kiri, median 4 : kanan, kiri, caudate,
dan caudate quadrate
Dibatasi dengan jelas
Letaknya relative
antara lobus kanan dan
Pankreas menyebar di area
kiri serta saling
mesenterium
berhubungan
Vesikula seminalis Ada, sangat menonjol Ada
Prostat Ada, 6 lobus Ada, 4 lobus
Kelenjar klitoris Ada Tidak ada
Kelenjar preputial Ada Tidak ada
Kelenjar klitoris Ada Tidak ada
Tonsil Tidak ada Ada
Hubungan nasal-kelenjar
Ada Tidak ada
lymphoid
Hubungan bronkus-
Variable Ada
kelenjar lymphoid
Os klitoris Ada Tidak ada
Os penis Ada Tidak ada
Organ vomerulonasal Ada Kontroversi
Sumber : (Treuting, Dintzis and Montine, 2012)

Mencit memiliki kemiripan genetik yang sangat dekat dengan manusia


dibandingkan hewan-hewan mamalia lainnya. Dengan memahami properti dan
perilaku mencit, para peneliti dapat mengeksplorasi mekanisme biologi dasar
dan mengembangkan pengetahuan yang dapat diterapkan pada pemahaman dan
penanganan berbagai kondisi medis pada manusia. Sehingga banyak penelitian

5
dalam bidang rekayasa gen dan manipulasi gen yang menggunakan mencit
sebagai hewan percobaan.

Gambar 5. Perbandingan anatomi manusia dengan mencit (Treuting and


Dintzis, 2012)

Gambar 6. Skleton mencit

6
Gambar 7. Subcutis ventral dan perut mencit

Terkait dengan parameter-parameter data yang akan diambil, kita juga


harus mengetahui teknik pemberian sediaan dan simplisia dan teknik pemberian
perlakuan serta pengamatan yang baik agar seluruh aspek parameter yang akan
diambil didapatkan dengan baik. Apabila saat penelitian selesai dan mencit
dikorbankan (di bedah), maka perlu juga mengetahui teknik anestesi hingga
teknik membedah mencit agar tidak merusak data penelitian yang akan kita
ambil. Seluruh teknik yang dimulai dari pemeliharaan sampai pembedahan harus
menggunakan teknik yang baik dan benar agar tidak merusak dan berdampak
pada tidak sahihnya data penelitian yang akan diambil (Nugroho, 2018).
Pemilihan hewan percobaan yang tepat untuk penelitian biasanya dilakukan
berdasarkan kemiripan anatomi, fisiologi, dan kebiasaan hidup dengan manusia.
Mencit dianggap sebagai pilihan yang cocok karena merupakan mamalia yang
memiliki tingkat kemiripan yang tinggi dengan manusia, terutama dalam sistem
reproduksi, sistem peredaran darah, dan sistem pernapasan (Handajani, 2021).
Berdasarkan kemiripan yang dimiliki mencit dan manusia menjadikan
mencit banyak digunakan dalam hewan uji coba di laboratorium untuk
penelitian. Hal-hal yang ingin diamati terhadap suatu perlakuan dapat kita
hasilkan dengan perlakuan terhadap mencit. Dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan, penggunaan mencit sebagai hewan uji tentu semakin dibutuhkan.
Oleh karena itu, penggunaan mencit harus memenuhi seluruh pedoman etika
hewan (animal ethics) agar tidak menyakiti hewan coba yang dipakai tersebut.

7
BAB 2
PEMELIHARAAN MENCIT

2.1 Pakan Mencit


Pakan adalah hal yang harus diperhatikan dalam pemeliharaan hewan
coba. Memperhatikan nutrisi pakan adalah perihal utama memenuhi standar
kesejahtaraan bagi hewan coba. Menurut (Nugroho, 2018) pembuatan pakan
untuk mencit harus memperhatikan kandungan gizi yang lengkap, termasuk
protein, lemak, karbohidrat, dan nutrisi lainnya. Standar nutrisi yang disarankan
meliputi komposisi 20-25% protein, 45-55% pati, 10-12% lemak, 4% serat
kasar, dan 5-6% abu.
Selain itu, pakan untuk mencit juga sebaiknya mengandung vitamin
dalam jumlah yang cukup, seperti 15.000-20.000 IU/kg vitamin A, 5000 IU/kg
vitamin D, 50 mg/kg alfa tokoferol, 15-20 mg/kg timin, 20 mg/kg pantotenat, 5-
10 g/kg asam linoleat, 8 mg/kg riboflavin, 30 UG/kg vitamin B12, 80-200 UG/kg
biotin, 5 mg/kg piridoksin, 10-1000 mg/kg intisol, dan 20 h/kg kolin. Selain nilai
gizi, penting juga memperhatikan tekstur pakan yang diberikan. Pakan mencit
sebaiknya mudah dicerna, tidak terlalu keras, dan tidak terlalu lembek, sehingga
mencit dengan senang hati mengonsumsinya. Hal ini akan memastikan bahwa
mencit dapat dengan mudah dan dengan sukarela mengonsumsi pakan yang
diberikan. Sedangkan (Hasanah, 2009) mengatakan kandungan dalam pakan
mencit harus memenuhi komposisi 10% protein, 3% lemak, 8% serat dan 12%
kadar air. Pakan dalam bentuk pelet lebih efisien dipakai karena dapat
mengurangi perubahan komposisi dan sangat susuai untuk membuat aus gigi
mencit sebagai hewan pengerat. Suhu 15-16oC merupakan suhu yang cocok
untuk penyimpanan pakan dan pakan yang disediakan dapat bertahan selama 4-
6 minggu setelah kemasan dibuka. Menurut (Wahyuni, 2015) makanan yang
paling banyak dimakan oleh mencit ekor putih untuk memenuhi kebutuhan
pakannya adalah papaya dan pisang sedangkan untuk memenuhi pakan hewani
mencit paling menyukai pelet ayam petelur dan serangga. Pada penelitian
(Gaston and Spicer, 1998) mencit diberikan pakan pur dan jagung.
Mencit biasanya diberi makan pelet dengan campuran jagung dengan
tekstur pakan medium yaitu tidak terlalu keras dan juga tidak terlalu lunak.

8
Pemberian pakan pada mencit ini harus memperhatikan kebutuhan nutrisi yang
diperlukan mencit karena kebutuhan nutrisi mencit itu bervariasi sesuai usia,
reproduksi dan status kesehatan. Standar kebutuhan makan mencit dewasa yaitu
3-5gr dan minum 15-30 mL per hari. Pakan mencit biasanya dimasukkan
kedalam baskom kecil dengan ukuran yang dapat disesuaikan dengan luas
kandang yang disediakan serta jumlah mencit didalam kandang. Sedangkan
untuk minum dapat menggunakan tempat minum hamster atau dapat membuat
sendiri menggunakan botol bekas yang dimodifikasi sehingga mirip dengan
tempat minum hamster. Hal-hal seperti tempat makan, tempat minum dan nutrisi
yang diperlukan mencit harus benar-benar diperhatikan dikarenakan dapat
berpengaruh terhadap kesehatan dan tingkat stress pada mencit yang akan
dijadikan sebagai hewan percobaan laboratorium.

Gambar 8. Pakan mencit (Afrillia, 2022)

Gambar 9. Tempat minum mencit

9
2.2 Kandang Mencit
Kandang yang digunakan untuk mencit dilaboratorium dapat
menggunakan box dengan ukuran setidaknya 40cm x 30cm x 18 cm (panjang,
lebar dan tinggi) untuk 5-7 ekor mencit di dalam box. Bahan kandang yang
digunakan dapat berupa plastik atau bahan yang tahan karat agar tidak cepat
rusak serta dapat juga menggunakan model akuarium dengan bahan pembuatan
kaca. Penutup dari kandang yang digunakan bisa terbuat dari kayu yang
kemudian dipasang kawat agar sirkulasi udara kedalam kandang lancar.
Kandang yang digunakan harus memenuhi kriteria seperti mudah dibersihkan,
disterilkan, tidak mudah di kerat oleh mencit serta tahan lama. Kandang yang
sudah disediakan kemudian harus diberi alas agar dapat menyerap kotoran
mencit sehingga tidak mengotori kandang. Alas kandang harus rutin diganti
karena dapat menimbulkan bibit penyakit dan mengganggu proses penelitian
yang sedang dilakukan. Pembersihan kandang dengan cara mengganti alas harus
memperhatikan jumlah populasi mencit didalam kandang, semakin banyak
jumlah mencit maka harus semakin sering diersihkan. Pembersihan kandang
minimal harus dilakukan satu kali dalam seminggu.
Bahan yang dapat dipakai sebagai alas kandang mencit dapat berupa
sekam kayu, sisaan gergaji, sekam padi dan sobekan kertas. Bahan-bahan ini
tentu memiliki kelebihan dan kekurangan saat digunakan sebagai alas kandang
dalam pemeliharaan mencit. Menurut (Yusuf et al., 2022) keuntungan dan
kerugian pemakaian alas kandang mencit yaitu :
 Sekam kayu/sisaan gergaji
Sekam kayu atau sisaan gergaji mudah didapatkan dengan harga yang
terjangkau. Penggunaannya cepat lembab sehingga harus diganti dengan rentang
waktu yang singkat. Serutan yang digunakan harus kering dan harus
diperhatikan tekstur dari serutan kayunya, dikarenakan serutan kayu yang kasar
dapat melukai mencit.
 Sekam padi
Sekam padi mudah diperoleh diwaktu tertentu dengan harga yang
terjangkau. Penggunaannya kurang efektif karena kurang dapat menyerap air
sehingga harus sering diganti. Sebelum digunakan, sekam padi juga harus
dikeringkan terlebih dahulu

10
 Sobekan Kertas
Murah, mudah didapatkan, mampu menyerap air namun mudah kotor
dan dapat membuat kandang menjadi becek sehingga alas kandang harus sering
diganti.

Gambar 10. Kandang mencit

Selain dari memperhatikan kebersihan dan kenyamanan kandang mencit,


kita juga harus memperhatikan lingkungan disekitar kandang. Rasa
ketidaknyaman dapat dipengaruhi karena faktor lingkungan dari tempat
peletakan kandang yang meliputi sirkulasi udara, suhu, kelembapan dan
pencahayaan. Pencahayaan dapat berpengaruh terhadap kondisi fisiologis,
morfologis dan tingkah laku hewan (Ridwan, 2013). Menurut (Huet et al., 2013)
hewan percobaan harus mendapatkan pencahayaan alami 1:1 yaitu dengan
keadaan terang selama 12 jam dan keadaan gelap selama 12 jam juga. Potensial
penyebab stress pada hewan percobaan dapat disebabkan oleh fotoperiod,
intensitas cahaya dan kualitas spectral cahaya yang tidak sesuai (Guillen, 2017).
Sirkulasi udara juga merupakan hal yang harus diperhatikan untuk
menghindari terjadinya stress pada hewan percobaan. Kandang didalam ruangan
harus dengan fasilitas ventilasi yang sesuai untuk penyediaan udara dan oksigen
yang memadai. Selain itu suhu dilingkungan kandang juga harus diperhatikan,
suhu normal untuk area kandang mencit berkisar 18-26oC (Nugroho, 2018).
Suhu yang melebihi dari batas normal dapat menyebabkan dehidrasi dan
meningkatkan stress pada mencit (Garber et al., 2011).

11
Oleh karena itu sebelum memulai perlakuan terhadap hewan coba harus
dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu. Hal ini berfungsi untuk adaptasi terhadap
lingkungan baru oleh hewan coba. Masa aklimatisasi hewan coba tidak memiliki
batasan, dapat dimulai dari 3-14 hari. Namun kebanyakan aklimatisasi hewan uji
dilakukan peneliti selama tujuh hari sebelum penelitian dimulai. Pemilihan ini
sudah dianggap aman untuk penyesuain hewan coba dengan lingkungan barunya
(Veterinus et al., 2021).

2.3 Penyakit pada Mencit


Pemeliharaan mencit yang tidak sesuai dapat menyebabkan stress dan
penyakit pada mencit. Ketidaksesuaian gizi pada pakan dan faktor lingkungan
seperti pencahayaan, sirkulasi udara dan kelembapan dapat mengakibatkan
penyakit pada mencit. Menurut (Nugroho, 2018) penyakit pada mencit dapat
disebabkan oleh dua faktor yaitu penyakit yang disebabkan oleh infeksi dan non
infeksi. Penyakit-penyakit yang bisa menyerang mencit adalah :
 Salmonellosis
Penyebab dari penyakit ini adalah Salmonella typhimurium. Gejala awal
yang timbul saat terserang penyakit ini adalah diare, berat badan turun drastic,
postur tubuh membungkuk dan pada mencit ditandai dengan adanya pewarnaan
porfirin pada nares luar. Diagnostik pada penyakit ini dapat dilakukan melalui
sampel dari feses atau melalui isi usu. Serotype Salmonella dapat dibedakan
menggunakan reaksi PCR DNA yang disubmit pada ribosom atau reaksi
biokimia. Adapun pencegahan dan pengendalian yang dapat dilakukan adalah
dengan membinasakan mencit yang sudah tertular dengan cara dikubur
kemudian mensterilkan area kandang serta alat makan dan minum yang dipakai
oleh mencit (Palmer and Slauch, 2019).
 Cacar mencit
Cacar pada mencit atau yang biasa disebut dengan Ectromelia
merupakan penyakit yang diidentifikasi pertama kali pada tahun 1930 pada saat
mencit pertama kali diperkenalkan sebagai hewan percobaan dilaboratorium.
Virus ectromelia ini merupakan virus dari famili Poxviridae dan genus
Orthopoxvirus. Penyakit ini ditandai dengan keadaan kronis tidak sehat dengan
ciri adanya pembengkakan pada kaki dan ekor, permukaan kulit melepuh serta
terdapatnya infeksi pada rongga mulut. Penelitian di laboratorium menunjukkan
bahwa virus cacar tikus ini sangat membahayakan dan sangat mirip dengan

12
dengan cacar yang disebabkan oleh virus variola yang terjadi pada manusia dan
memiliki kisaran inang yang sempit.

Gambar 11. Mencit yang terkena cacar mencit (Stewart, Cameron and Howie,
1948)

Virus Ectromelia ini dapat menular dikarenakan kontak langsung atau


melalui fomites. Infeksi alami yang disebabkan oleh virus ini melalui trauma
kulit. Lesi pada permukaan kulit muncul setelah 7-11 hari setelah adanya infeksi
pada strain yang rentan dan namun baru dapat diidentifikasi setelah 3 minggu.
Virus ini dapat ditemukan di keropeng dan feses selama 16 minggu pasca infeksi.
Adapun pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan membatasi dan
mengatur penyebaran virus ectromelia dari mencit yang dicurigai terkena
paparan virus dan kemudian melakukan pembersihan terhadap kandang serta
lingkungan tempat mencit diletakkan (Parker et al., 2010)(Sakala et al., 2015).
 Tyzzer
Penyakit tyzzer merupakan penyakit berbahaya yang dapat menular.
Penyakit ini disebabkan oleh Bacillus piliformis yang merupakan bakteri
intraseluler obligat yang bersifat pleomorfik, gram negative, pembentuk spora
dan mempunyai flagellate sehingga bersifat motil. Bakteri penyebab penyakit ini
dapat menyebabkan diare akut dan kematian mendadak pada tahap akut dan
fibrosis usus, stenosis dan nekrosis hati pada kasus kronis. Penyakit ini biasanya
terjadi pada kelinci usia 6-12 minggu dan dapat juga terjadi pada semua usia
yang dipengaruhi stress. Gejala yang ditimbulkan yaitu mencret, anoreksia, berat
badan menurun.

13
Gambar 12. Mencit yang terkena penyakit tyzzer (Clifford, 2012)

Kemajuan terkini dalam kultur jaringan telah mengarah pada


pengembangan tes diagnostik dan tes serologis yang dapat dilakukan dibeberapa
negara. Adanya antibodi pada hewan yang tampak sehat menunjukkan adanya
infeksi laten pada saluran pencernaan. Stress merupakan faktor utama pemicu
penyakit ini pada hewan. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan
memusnahkan mencit-mencit yang terinfeksi dengan cara dikubur agar tidak
menularkan ke populasi mencit yang lain (Brown, 2002).
 Pseudotuberkulosis
Penyebab dari penyakit ini adalah Corynebacterium pseudotuberculosis
dengan gejala mudah lemas dan frekuensi nafas yang tinggi. Gejala lain adalah
dengan turunnya berat badan dan bulu yang rontoh serta acak-acakan. Diagnosis
awalnya dilakukan dengan mengamati jaringan yang terpapar secara
mikroskopis menggunakan apusan jaringan dengan pewarnaan gram dapat
menunjukkan kluster basil didalam lesi, walaupun bakteri didalam lesi mungkin
sulit untuk ditemukan.
Cara lain dapat dilakukan menggunakan metode diagnostik yaitu PCR
tetapi tidak secara luas dan tersedia secara komersil. Ciri yang dapat diamati
yaitu adanya abses pada ginjal, jantung dan hati. Adapun pencegahan yang dapat
dilakukan adalah dengan antimikroba untuk mengobati penyakit namun
pengobatan ini tidak akan menghilangkan bakteri yang sudah tersebar didalam
kandang. Hal lain yang harus dilakukan adalah memusnahkan mencit yang
sudah terpapar kemudian membersihkan kandang secara keseluruhan untuk
mengantisipasi adanya penyebaran lanjutan.

14
BAB 3
PENGGUNAAN MENCIT SEBAGAI HEWAN
UJI COBA LABORATORIUM

Mencit sering dijumpai dalam riset di laboratorium dikarenakan


kemiripan dari struktur anatomi dan fisiologis dengan manusia. Ada berbagai
bidang yang berkaitan seperti fisiologi, biokimia, patologi, histopatologi,
toksikologi, embriologi, zoology dan farmakologi. Sebagai keperluan diagnostic
mencit sering dipakai dalam bidang kedokteran dan untuk pengamatan tingkah
laku mencit sering dipakai dalam bidang psikologi. Mencit yang dapat dipakai
sebagai hewan uji coba tentunya harus sehat tanpa cacat sedikitpun, berusia 1-3
bulan dan sudah mencapai berat badan normal berkisar 20-40 gram. Memiliki
mata yang bersih dan bulu yang sehat (tidak rontok) serta berat badan yang
normal. Mencit merupakan hewan berkelompok yang sedikit penakut dan
cenderung menghindari cahaya yang terlalu terang (fotophobia), mencit juga
dikategorikan hewan nocturnal dan butuh ketenangan disekitar area
pemeliharaannya dan jarang menggigit.
Pemberian makan, minum serta kandang juga harus diperhatikan untuk
menghindari mencit dari stress yang dapat menyebabkan terganggunya data
penelitian. Makan dengan nutrisi yang cukup serta minum yang harus diberikan
secara adlibitum. Kandang yang juga harus diperhatikan bahan pembuatan box
serta alas yang digunakan harus dapat menyerap agar kandang tidak becek dan
bau. Lingkungan sekitar peletakan kandang juga harus memiliki suhu, intensitas
cahaya dan kelembapan yang sesuai. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut
akan mengurangi resiko stress pada mencit yang akan dipakai sebagai hewan
percobaan.

3.1 Cara memegang mencit


Mencit dipegang dengan cara meletakkan mencit pada penutup kandang
dengan tangan kiri memegang ekor mencit. Kemudian ketika mencit sudah
mencengkram bagian penutup kandang, jepit kulit disekitar tengkuk mencit
dengan jari jempol dan telunjuk tangan kanan sehingga mencit tidak dapat
bergerak leluasa, kemudian balikkan badan mencit sehingga permukaan perut

15
menghadap ke pemegang mencit. Setelah posisi seperti ini, kita dapat
memberikan perlakuan seperti pemberian simplisia, injeksi dan pengecekan
keselurahan data yang kita butuhkan untuk penelitian. Handling yang tidak
sesuai dapat menyebabkan rasa tidak nyaman hingga nyeri pada mencit sehingga
dapat membahayakan pemegang dari ancaman gigitan mencit (Munggaran and
Sajuthi, 2018)(Surati, 2012).

Gambar 13. Cara memegang mencit

16
3.2 Cara penandaan mencit (Tagging)
Penandaan pada hewan uji merupakan salah satu cara untuk mengetahui
perbedaan pada setiap kelompok perlakuan yang diberikan saat penelitian
berlangsung. Hal ini dikarenakan faktor yang paling berpotensi merusak
penelitian adalah kemungkinan kesalahan identifikasi sehingga sangat
berpengaruh terhadap nilai statistik yang akan diperoleh. Beberapa cara
penandaan pada hewan yang biasa dilakukan adalah dengan pemberian tanda
pada telinga atau yang biasa disebut ear tag (anting bernomor), dapat juga
berupa penandaan pada ekor hingga penandaan pada telinga dengan cara
melubangi daun telinga atau penandaan elektronik dengan suntikan dibawah
tulang rawan telinga. Pilihan terakhir dalam penandaan dapat menggunakan
penandaan paling modern yaitu dengan menggunakan michochip seper
JAXTagTM yang dilengkapi dengan software yang dapat memudahkan dalam
pengumpulan data (Roughan and Sevenoaks, 2019).
Penandaan sederhana dapat dilakukan dengan cara memberikan tanda
dengan spidol permanent pada ekor mencit dan memberikan pewarnaan pada
bagian bulu mencit seperti pada kepala dan badan. Namun hal ini hanya dapat
bertahan 2-3 hari sehingga harus dilakukan berulang kali selama proses
penelitian.

Gambar 14. Cara penandaan pada ekor mencit

Menurut (Dahlborn et al., 2007) penandaan menggunakan spidol akan


lebih mudah membuat mencit stress dikarenakan hal yang terus dilakukan secara

17
berulang-ulang. Sedangkan penandaan menggunakan ear tag mungkin tidak
menimbulkan rasa sakit yang signifikan tetapi tag dapat lepas dan robek jika
tersangkut pada peralatan atau terlibat perkelahian dengan mencit lainnya. Selain
itu, perkelahian juga dapat menyebabkan takik telinga menjadi tidak jelas atau
robek, hal ini tentu saja akan menambah resiko cedera tambahan dan juga
mengurangi akurasi dalam identifikasi.

Gambar 15. Hasil penandaan mencit menggunakan spidol dibagian ekor

3.3 Cara pemberian simplisia


Ada beberapa teknik yang bisa dipakai untuk memberikan simplisia
kepada hewan uji. Teknik-teknik ini dipakai tergantung tujuan penelitian yang
kita inginkan, teknik pemberian obat atau simplisia dapat dibedakan menjadi :
a. Pemberian secara oral
Pemberian obat secara oral kepada mencit, tikus atau hewan pengerat
lainnya yang digunakan dalam uji coba merupakan prosedur paling umum dalam
penelitian biomedis dan dalam perawatan hewan percobaan. Pemberian obat
dengan cara ini dilakukan karena relative murah, praktis dan mudah. Teknik
pemberian secara oral dapat dilakukan dengan cara :
 Mencit atau hewan percobaan dipegang dengan posisi yang sesuai
dengan prosedur yang sudah dijelaskan sebelumnya
 Siapakan alat berupa gavage yang biasa dipakai untuk memasukkan obat
 Posisi oral (kanul) dimasukkan ke dalam mulut sampai esophagus
perlahan-lahan

18
 Posisi kanul harus dalam posisi tegak lurus
 Setelah dirasa posisi sudah sesuai, dorong secara perlahan larutan obat
hingga habis sampai ke esophagus

Gambar 16. Pemberian secara oral

Pemberian simplisia secara oral pada mencit dapat dilakukan dalam


konteks penelitian atau pengkajian praklinis untuk mengevaluasi efek biologis
dari bahan alam tertentu. Pemberian secara oral ini dapat digunakan apabila
ingin melakukan pengujian herbal atau ekstrak, studi kesehatan gastrointestinal,
penelitian yang berhubungan dengan imunologi, studi nutrasetikal, pengujian
toksisitas atau efek samping dan juga mengevaluasi efek pada perilaku, aktivitas
saraf atau fungsi otak.

b. Subkutan
Pemberian obat atau simplisia dapat dilakukan melalui subkutan dalam
berbagai situasi pada saat melakukan penelitian, terutama jika penelitian tersebut
memerlukan pemberian bahan secara langsung tepat dibagian bawah kulit area
tengkuk atau lipatan kulit punggung dengan cara :
 Mencit atau hewan percobaan dipegang dengan cara sedikit menekan
bagian kepala dan memegang bagian ekornya
 Kemudian bagian kulit daerah tengkuk dicubit agar tidak mengenai
tulang kepala

19
 Obat atau simplisia disuntikkan dengan sudut 45 derajat
 Jatum suntik yang digunakan adalah jarum berukuran 1 ml

Gambar 17. Injeksi subkutan

Pemberian simplisia secara subkutan pada mencit dapat dilakukan saat


ingin melakukan pengujian efek lokal atau regional dari suatu senyawa atau
tumbuhan tertentu, dapat juga dilakukan jika ingin mengevaluasi efek pada
respon inflamasi atau peradangan dilokasi yang spesifik, menguji efek toksisitas
atau iritasi dari sutau bahan dengan cara menyimulasikan paparan lokal dan
pemantauan terhadap respons kulit dan jaringan disekitarnya.

c. Intravena
Pemberian obat atau simplisia secara intravena dapat melalui dua bagian
yaitu vena penis dan vena ekor, namun beberapa penelitian menyebutkan bahwa
untuk hewan coba mencit lebih mudah menggunakan vena ekor (Ridconi, Satoto
and Budiono, 2011) dengan cara :
 Ekor mencit yang akan diberi perlakuan di masukkan kedalam air hangat
agar vena mengembang dan memudahkan pemberian obat atau sediaan
 Ekor kemudian di bersihkan menggunakan alkohol
 Obat atau sediaan disuntikkan pada vena ekor menggunakan jarum
ukuran 1 ml

20
 Setelah selesai disuntik, bagian vena bekas suntikan ditekan
menggunakan kapas agar darah berhenti keluar

Gambar 18. Injeksi intravena

Pemberian simplisia malalui intravena biasanya dilakukan dalam


konteks penelitian yang memerlukan pengujian langsung ke dalam aliran darah.
Hal ini disebabkan karena pemberian simplisia secara intravena dapat
memberikan efek cepat dan langsung ke seluruh tubuh mencit.
Pemberian simplisia melalui intravena memungkinkan penelitian lebih
mendalam mengenai farmakokinetik dari suatu zat atau senyawa yang
memerlukan pemantauan kadar dalam darah pada interval waktu tertentu setelah
pemberian. Dapat juga dilakukan dalam pengujian efek sistemik, untuk menilai
efek terapeutik dari sutau bahan dan juga pengujian yang terfokus pada pengaruh
substansi pada fungsi organ spesifik seperti jantung, paru-paru atau ginjal.

d. Intraperitoneal
Pemberian obat atau simplisia secara intraperitoneal adalah teknik yang
paling umum digunakan saat melakukan penelitian. Teknik ini menghasilkan
penyerapan yang lebih cepat dan lebih lengkap dibandingkan dengan teknik oral,
intramuscular dan subkutan (Shoyaib, Archie and Karamyan, 2020). Pada injeksi
melalui intraperitoneal ini dilakukan dengan cara :
 Tikus dipegang dengan cara baik dan bener seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya

21
 Saat penyuntikan posisi tikus dipegang telentang dengan abdomen
berada lebih tinggi daripada kepalanya
 Kemudian kulit luar bagian abdomen sedikit dicubit
 Jarum dimasukkan dengan posisi membentuk sudut 46 derajat kearah
abdomen
 Penyuntikan harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menusuk organ
dalam hewan uji
 Jarum yang digunakan adalah jarum 1 ml atau dapat disesuaikan dengan
kebutuhan

Gambar 19. Injeksi intraperitoneal

Pemberian simplisia melalui intraperitoneal pada mencit dilakukan saat


konteks penelitian atau pengujian yang dilakukan memerlukan administrasi
langsung ke dalam rongga peritoneum yang merupakan ruang di dalam perut
mencit. Penggunaan cara ini dapat dilakukan pada saat melakukan uji
farmakokinetik yang digunakan untuk mengevaluasi penyerapan dan distribusi
di dalam rongga peritoneum, eksplorasi pengaruh pada organ-organ abdominal
seperti usus, hati dan ginjal.

e. Intramuscular
Pemberian obat atau sediaan secara intramuscular adalah dengan cara
memasukkan obat atau sediaan kedalam otot yang dipiih secara spesifik. Otot
yang dipilih adalah otot yang besar dan mempunyai vaskularisasi yang baik, oleh

22
karena itu obat atau sediaan yang disuntikkan dapat dengan cepat mencapai
sirkulasi dan sampai ke wilayah kerja spesifiknya (Nicoll and Hesby, 2002).
Injeksi intramuscular ini biasanya dilakukan pada otot paha namun pada hewan
uji dapat juga dilakukan pada bagian Bicep femoris. Adapun cara untuk
melakukan injeksi intramuscular ini adalah dengan :
 Tikus dipegang dengan cara yang baik dan benar seperti yang sudah
dijelaskan pada bab sebelumnya
 Tangan kiri menarik satu kaki agar memudahkan penyuntikan
 Penyuntikan dilakukan pada jaringan otot, biasanya pada otot paha
 Penyuntikan dilakukan dengan 45 derajat secara perlahan
 Jarum yang digunakan adalah jarum 1 ml atau dapat disesuaikan dengan
kebutuhan

Gambar 20. Injeksi intramuscular

Pemberian simplisia melalui intramuscular pada mencit umumnya


diakukan pada penelitian yang pengujiannya memerlukan administrasi langsung
ke dalam otot mencit. Pada intramuscular dapat digunakan untuk mengevaluasi
farmakokinetik suatu zat atau senyawa termasuk dalam penyerapan, distribusi
dan eliminasi dari otot, pengujian keamanan atau toksisitas lokal melalui respons
otot terhadap substansi tertentu dan juga dapat digunakan untuk pemberian
vaksin atau senyawa imunisasi lainnya untuk merangsang respons kekebalan
dari otot.

23
3.4 Cara Euthanasia Pada Hewan Percobaan
Euthanasia adalah cara untuk mematikan atau membunuh tanpa rasa
sakit yang dapat membuat hewan coba menderita yaitu menggunakan teknik
mati tanpa rasa sakit. Teknik-teknik euthanasia dapat disesuaikan dengan
penelitian dan jumlah hewan uji yang dipakai. Cara kerja euthanasia adalah
dengan mansyaratkan rasa depresi atau stress akut pada syaraf pusat sehingga
pada saat dimatikan dapat mengurangi kepekaan terhadap rasa sakit. Kriteria-
kriteria seperti tidak adanya sifat panik dan stress yang ditunjukkan hewan uji
serta kondisi hewan uji yang sudah tidak sadar (apabila masih sadar dapat
diulang proses euthanasinya), murah dan mudah, tidak menyebabkan gangguan
terhadap lingkungan tempat dilakukannya euthanasia dan tidak membahayakan
bagi yang mengerjakan euthanasinya harus dipenuhi pada saat melakukan
euthanasia baik secara individu maupun massal.
Pemilihan metode euthanasia bergantung pada spesies hewan yang terlibat
dalam penelitian, tujuan prosedur dan keterampilan yang mengerjakan
euthanasia. Pengendalian fisik, rasa takut dan stress dari hewan uji harus
dikendalikan sebelum dilakukan euthanasia untuk menghindari adanya respon
meronta, melarikan diri, menggigit, mengeluarkan air liur, buang air kecil, buang
air besar, pupil yang membesar, gemetar dan kejang (Hidayat and Wulandari,
2021). Ada berbagai macam teknik euthanasia menurut (Isbagio, 1992) yaitu
euthanasia secara fisik, euthanasia farmakologik yang non-inhalan, euthanasia
dengan zat inhalan, euthanasia dengan gas non anastetik serta euthanasia zat-zat
tertentu.

Euthanasia Fisik
Euthanasia fisik meliputi dislokasi leher (Cervical dislocation),
tembakan, Captive bolt, pemenggalan kepala, sengatan listrik, penyinaran
gelombang mikro sinar terfokus, maserasi, pemingsanan dan piting. Euthanasia
secara fisik dapat dengan cepat membuat rasa takut dan kecemasan tinggi
sehingga tidak menimbulkan rasa sakit, manusiawi dan praktis jika
dibandingkan dengan bentuk euthanasia lainnya. Jika dilakukan dengan benar
serta menggunakan peralatan yang baik, metode ini merupakan pilihan yang
paling tepat untuk euthanasia dan menghilangkan rasa sakit dan penderitaan
dengan cepat (Allen-worthington et al., 2015).

24
 Euthanasia farmakologik non-inhalan
Euthanasia menggunakan metode ini dengan cara diberikan suntikan
secara intravena, intrakardial yang tepat mengenai jantung. Senyawa-senyawa
yang digunakan pada metode ini yaitu asam barbiturate, campuran barbiturate,
sodiumpantobarbital atau magnesium sulfat. Akan tetapi penggunaan metode ini
dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang dapat membuat sampel tertentu
tidak dapat digunakan seperti sperma, oosit dan sel untuk kultur. Agen kimia
seperti senyawa-senyawa yang dipakai pada euthanasia ini dapat mengurangi
kualitas pada bagian histologi (Shomer et al., 2020).

 Euthasia dengan zat anestetik inhalan


Teknik euthanasia ini menggunakan kloroform, eter, halothane,
metoksifluran dan nitous oksida. Penggunaan metode harus dilakukan dengan
hati-hati karena reagen yang digunakan dapat meledak dan mudah terbakar
sehingga ketika sedang melakukan euthanasia agar tidak menggangu lingkungan
wadah untuk euthanasianya harus ditutup rapat agar uap reagen tidak menyebar
ke lingkungan sekitar. Jumlah reagen harus disesuaikan dengan jumlah individu
yang akan di euthanasia agar tidak terjadi pemakaian reagen secara berlebihan.
Ada beberapa jenis reagen yang tidak disarankan untuk dipakai apabila sampel
yang diambil pada saat pembedahan berhubungan dengan system reproduksi,
system urinaria dan hati. Contohnya adalah kloroform yang dapat bersifat toksik
terhadap organ-organ dalam system organ tersebut.

 Euthanasia dengan gas non anestetik


Teknik euthanasia ini dapat menggunakan gas-gas seperti CO; CO2; N;
Sianida. Senyawa CO yang dipakai harus dengan perhitungan yang sesuai dan
hati-hati agar tidak mudah terbakar dan meledak. Senyawa CO biasanya dipakai
dalam beberapa produk reagen yang berfungsi untuk membius hewan-hewan
yang digunakan untuk percobaan. Ruangan yang digunakan pada saat
melakukan euthanasia menggunakan gas-gas ini seharusnya memiliki saluran
udara yang baik karena dapat bersifat racun apabila terhirup dalam jumlah yang
banyak dan lama oleh peneliti.

 Euthanasia dengan zat-zat transkuiliser


Teknik euthanasia ini termasuk mudah dijumpai di pasaran namun
harganya tergolong mahal sehingga kurang efisien digunakan. Zat-zat yang

25
tergolong dalam transkuiler dapat berupa valium, librium, miltown, atarax, serax
dan equamil. Zat ini pada mampu bekerja dengan cara menghambat kecepatan
detak jantung dan kecepatan pernapasan serta memacu syaraf pusat sehingga
meningkatkan depresi dan mengurangi aktivitas simpatis.

 Anestesi
Anastesi yang artinya kehilangan kesadaran sementara, defenisi
kehilangan kesadaran ini bersifat reversible atau kesadarannya dapat kembali
setelah dosis yang diberikan telah habis. Pada saat penelitian ada beberapa
perlakuan yang dapat menimbulkan rasa sakit terhadap hewan coba sehingga
mengakibatkan jaringan dan organ mengalami reaksi fisiologis yang dapat
berpengaruh terhadap hasil akhir penelitian. Oleh karena itu, penggunaan
anastesi sangat diperlukan dalam proses penelitian dengan tujuan
menghilangkan rasa sakit dan penderitaan pada hewan saat diberikan perlakuan
(Krissanti, Hanifa and Dwiwina, 2023)(Liu and Fan, 2018).
Ada beberapa variable yang harus diketahui dalam pemilihan metode
anestesi yaitu :
1. Faktor Hewan
Hal ini meliputi umur, komposisi tubuh, kesehatan dan keadaan
tempramen mencit serta jenis kelamin sangat berpengaruh terhadap respon
anestesi yang akan dilakukan pada hewan uji
2. Prosedur
Setelah anestesi dilakukan perlu diperhatikan prosedur pengerjaan
penelitian yang akan dikerjakan selanjutkan. Setelah melakukan anestesi,
peneliti harus mempertimbangkan jangka waktu perlakuan pada saat mencit
masih dalam keadaan teranastesi dengan sesudah mencit dalam keadaan tidak
teranastesi
3. Keadaan laboratorium
Saat akan melakukan anastesi, proses ini harus dikerjakan di dalam
laboratorium dengan penggunaan alat yang steril dan peneliti yang memiliki
keahlian melakukan anestesi dengan baik. Proses anastesi yang dilakukan harus
sesuai aturan sehingga penelitian dapat berljalan dengan hasil sesuai dengan
yang diharapkan

26
BAB 4
KOMPOSISI DARAH

Darah adalah bagian dari jaringan ikat yang komponen penyusunnya


terdiri dari sel-sel darah dan plasma darah. Penyusun plasma darah dapat berupa
ion dan protein yang dapat berfungsi sebagai pengatur regulasi osmotik,
melakukan transport dan sebagai pertahanan tubuh.
Darah memiliki beberapa fungsi seperti dapat menyalurkan seluruh sari
makanan ke seluruh tubuh, membawa O2 dari paru-paru dan mengedarkannya
keseluruh tubuh dan mengangkut CO2 dan membawanya kembali ke paru-paru.
Sel darah terbagi atas sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan
keping darah (trombosit) yang mempunyai fungsi dan tugas yang sangat penting
dalam tubuh (Ilyas and Situmorang, 2019).
 Eritrosit
Sel darah yang paling banyak didalam tubuh adalah sel darah merah
dengan jumlah 4,2 – 5,4 juta per µL pada orang dewasa. Eritrosit merupakan
cakram kecil yang memiliki diameter 7-8 µm dengan bentuk bikonkaf dengan
bagian tengah lebih tipis dibandingkan bagian tepinya. Dengan bentuk seperti
ini, eritrosit dapat dengan mudah meningkatkan laju difusi O2 untuk melintasi
membrane-membran plasmanya dengan memperbesar area permukaan. Eritrosit
pada mamalia tidak ditemui inti sel sehingga tersedia ruang lebih luas dalam sel
untuk hemoglobin (Campbell and Reece, 2018).

Gambar 21. Sel darah merah normal (Setiawan and Kunci, 2014)

27
 Leukosit
Fungsi dari sel darah putih adalah memerangi infeksi atau yang biasa
disebut dengan antibody. Leukosit bersifat fagositik yang artinya dapat
mencerna mikroorganisme-mikroorganisme maupun sisa dari sel-sel tubuh yang
sudah tidak berfungsi lagi. Leukosit juga disebut sebagai limfosit yang dapat
berkembang menjadi sel-sel B dan sel-sel T terspesialisasi yang dapat
memberikan respon kekebalan dan menghalangi masuknya zat asing.

Gambar 22. Output gambaran sel darah putih (Caraka, Sumbdo and
Candradewi, 2017)

Trombosit
Trombosit merupakan fragmen sitoplasma yang dihasilkan dari sel yang
mengalami spesialisasi pada sumsum tulang belakang. Ukuran trombosit sekitar
2-3 µm dan terdapat nucleus serta berperan dalam proses penggumpan darah.

 Protrombin
Protrombin merupakan protein globulin yang dapat membentuk antibodi
untuk menjaga kekebalan tubuh dan menghalangi benda asing yang masuk
(antigen). Setiap antibodi memiliki sifat yang spesifik terhadap antigennya. Jenis
antibodi dapat dibagi menjadi 3 berdasarkan cara kerjanya, yaitu :
1. Presipitin yang berfungsi menggumpalkan darah pada antigen
2. Lisin yang berfungsi untuk mengurai antigen
3. Antitoksin yang berfungsi untuk menawarkan racun
Dikarenakan pentingnya peranan darah dalam tubuh, maka parameter
darah merupakan data yang sangat penting saat melakukan penelitian.

28
Pengambilan darah dapat memberikan data-data mengenai perhitungan dan
pengukuran hematologi hewan yang berupa perhitungan total eritrosit, leukosit,
hemoglobin dan hematokrit.

a. Cara menghitung eritrosit


Perhitungan eritrosit atau yang dikenal juga dengan eritrositosis adalah
suatu prosedur di laboratorium medis yang bertujuan untuk mengukur jumlah
sel darah merah (eritrosit) dalam volume darah tertentu. Penghitungan eritrosit
terbagi menjadi 2 metode yaitu dengan cara perhitungan manual dan perhitungan
otomatis. Perhitungan dengan cara manual dilakukan menggunakan kamar
hitung dengan mengencerkan darah dengan larutan fisiologis kemudian
menggunakan reagen dengan kriteria isotonik, anti hemolisi, anti krenasi,
antikoagulan, anti agresi agar memperlihatkan bentuk eritrosit dengan jelas.

Gambar 23. Kamar hitung yang berisi layout perhitungan sel darah merah
(Nugroho, 2018)

Ada beberapa reagen pengencer yang sering dipakai seperti larutan


hayem, gowers, saline, formal sitrat, toisson dan rees ecker. Setelah dilakukan
berdasarkan langkah-langkah tersebut kemudian dilakukan penghitungan sel
darah merah didalam kamar hitung. Sedangkan penghitungan secara otomotis
yaitu menggunakan alat penghitung otomatis seperti Hematology Analyzer
(Gandasoebrata, 2010)(Garini et al., 2019).

29
Perhitungan jumlah eritrosit dapat digunakan untuk beberapa tujuan
seperti evaluasi kesehatan dari pemeriksaan darah rutin, diagnosis anemia atau
polisitemia, evaluasi fungsi sumsum tulang, penyaringan golongan darah,
pemantauan kesehatan kronis dan evaluasi kesehatan jantung dan paru-paru.

Gambar 24. Merupakan gambar pipet leukosit serta layout kamar hitung sel
darah putih dan sel darah merah (Nugroho, 2018)

b. Hitung leukosit
Perhitungan leukosit juga dikenal dengan leukositas yang merupakan
prosedur laboratorium yang bertujuan untuk mengukur jumlah sel darah putih
(leukosit) dalam volume darah tertentu.
Menurut (Tahan et al., 2019) jumlah leukosit dapat dihitung
menggunakan metode direct counting yaitu dengan cara :
Hal pertama yang dilakukan adalah menghisap darah sampai batas 0,5
pada pipet leukosit kemudian memasukkan ujung pipet kedalam larutan Turk
dengan menahan darah pada batas garis. Angkat pipet lalu tutup ujung pipet
dengan jari dan kocok pipet selama 15-30 menit. Kemudian siapkan kamar
hitung dan penutupnya pada area yang datar, buang cairan yang ada didalam pipa
kapiler lalu letakkan ujung pipet dengan sudut 30º pada permukaan kamar hitung
secara perlahan-lahan. Biarkan selama 2-3 menit agar leukosit mengendap.
Setelah itu gunakan lensa objektif dengan perbesaran 10x dan letakkan
kamar hitung tersebut dibawah lensa objektif. Hitung semua leukosit yang
terdapat dalam keempat sudut seluruh permukaan yang dimulai dari sudut kiri
atas, lalu ke kanan dan kemudian turun kebawah, lalu ke kiri dan kebawah lagi.
Setelah itu dilakukan penjumlahan total leukosit.

30
Tujuan dilakukannya perhitungan jumlah leukosit adalah untuk evaluasi
terhadap respon imun yang ditandai dengan apabila terjadi peningkatan jumlah
leukosit dapat disebabkan adanya infeksi atau peradangan dalam tubuh, dapat
juga untuk melakukan diagnosis infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus atau
mikroorganisme lainnya. Dengan mengetahui jumlah leukosit juga dapat
dilakukan pemantauan efek pengobatan terutama dalam terapi kanker atau
pengobatan autoimun, dapat juga untuk deteksi kondisi darah seperti leukemia
atau limfoma yang dapat menyebabkan perubahan dalam jumlah dan jenis
leukosit.

Gambar 25. Hematology analyzer

c. Hitung hemoglobin
Penghitungan hemoglobin dengan mudah dan praktis menggunakan
metode Sahli dengan cara :
Tabung hemoglobin yang sudah disediakan diisi dengan HCl 0.1 N
sampai tanda 2 gr%, setelah itu darah diambil menggunakan pipet sebanyak 20
mm3 dan diteteskan secara perlahan kedalam tabung hemometer, setelah itu
ditunggu selama 10 menit sampai terbentuk hematin. Kemudian campuran
tersebut ditambahkan dengan aquadest dan diaduk sampai terebntuk warna
coklat yang sesuai dengan warna pada tabung standar.
Hemoglobin adalah protein dalam sel darah merah yang berfungsi
membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh dan membawa karbon
dioksida kembali ke paru-paru untuk dikeluarkan. Pengukuran hemoglobin
sering dilakukan bersamaan dengan pengukuran parameter darah lainnya seperti
jumlah eritrosit, jumlah leukosit dan evaluasi sel darah lainnya.

31
Gambar 26. Haemometer Sahli (Nugroho, 2018)

Gambar 27. Mikrohematokrit; Microsentrifuge (Nugroho, 2018)

32
BAB 5
TEKNIK PENGAMBILAN DARAH MENCIT

Pada akhir penelitian menggunakan hewan uji pasti akan ada beberapa
spesimen yang akan diambil untuk mendapatkan data mengenai suatu perlakuan.
Salah satu spesimen yang biasa diambil adalah darah. Pengumpulan specimen
darah dapat dilakukan dengan metode yang berhubungan dengan jumlah total
volume darah yang diperlukan untuk uji data tujuan penelitian. Total volume
darah pada tikus berkisar 6-7% dari berat badan normalnya. Berikut adalah
beberapa teknik pengambilan sampel darah yang biasa dilakukan :
 Pengambilan darah melalui Sinus Retro Orbital
Pengambilan darah dengan metode ini harus dilakukan anestesi umum
atau anestesi lokal terlebih dahulu. Letak sinus orbital tepat berada dibelakang
mata dan pengambilan darah dari area ini dapat memberikan sampel darah yang
relative besar dan mudah diakses. Pada saat pengambilan darah dilakukan harus
secara perlahan agar tidak mengenai dan menggores korna mata hewan coba.
Darah diambil menggunakan tabung hematokrit dan ditampung ke dalam wadah
mikrotube yang sudah berisi heparin dengan konsentrasi 0,1% agar darah tidak
lisis. Selanjutnya microtube yang telah berisi heparin digoyang perlahan
membentuk angka delapan dan segera dimasukkan kedalam termos pendingin
agar darah tidak menggumpal (Rosidah et al., 2020)(Parasuraman, Raveendran
and Kesavan, 2010).

Gambar 28. Pengambilan spesimen darah melalui sinus orbitalis (Hernando


and Barbosa, 2022)

33
 Pengambilan darah pada Vena Lateralis Ekor
Metode pengambilan darah ini dilakukan dengan cara meletakkan hewan
uji pada penutup kandang untuk menahan pergerakan hewan, kemudian
dilakukan pengambil darah pada vena lateralis ekor dengan cara memotong
sedikit ujung pada bagian ekor dan ditampung ke dalam mikrotube. Pengambilan
darah menggunakan metode ini harus dengan sterilisasi agar tidak membuat ekor
hewan yang di potong menjadi busuk dan menghitam. Pada saat pengambilan
darah, tikus tidak dianestesi karena akan memudahkan pengambilan darah
ketimbang tikus dianastesi. Sebagai konsekuensinya tikus harus nyaman, tidak
stress dan minumun rasa sakit. Pada saat ekor sudah mengeluarkan darah jangan
meremas ekor karena dapat mengakibatkan kontaminasi cairan pada jaringan
(Wongso and Halimah, 2014).

Gambar 29. Pengambilan spesimen darah melalui vena lateralis ekor

 Pengambilan darah melalui Vena Marginalis Telinga dan Arteri


Aurikularis
Metode ini sering digunakan pada hewan uji kelinci yang dapat terlihat
dengan jelas vena marginalis pada bagian telinga. Sebelum melakukan
pengambilan darah terlebih dahulu rambut-rambut pada area telinga di bersihkan
menggunakan cream pembesih rambut agar tidak melukai area telinga. Setelah
itu bagian telinga diusap menggunakan alcohol yang sudah dituang kedalam
kapas untuk mempermudah melihat vena kecil menjadi besar sehingga
mempermudah dalam pengambilan darah. Setelah itu, dimasukkan spuit 1 ml

34
untuk mengambil darah dan dimasukkan kedalam tabung vacutainer (Latif and
Usman, 2014).

Gambar 30. Pengambilan darah pada vena marginalis telinga dan arteri
aurikularis (Handajani, 2021)

 Pengambilan darah dari jantung


Pengambilan darah dari jantung mencit merupakan prosedur yang
spesifik dan memerlukan keterampilan karena melibatkan akases langsng ke
organ vital mencit. Prosedur ini umumnya dilakukan dalam konteks penelitian
atau pengujian tertentu yang memerlukan sampel darah.

Gambar 31. Pengambilan darah dari jantung

Pengambilan darah dengan metode ini biasanya dilakukan saat penelitian


sudah selesai dan dilanjutkan dengan tahap pembedahan. Metode ini dilakukan

35
dengan terlebih dahulu membius mencit kemudian setelah tidak sadarkan diri
mencit dibedah dan darah diambil secara perlahan dari jantung sebanyak yang
dibutuhkan menggunakan spuit 1 ml dan setelah darah didapatkan, darah
dimasukkan kedalam tabung edta yang berisi heparin dan dimasukkan kedalam
kotak es agar tidak terjadi pembekuan darah. Pengambilan darah dengan metode
merupakan yang paling mudah dikarenakan kita bisa mendapatkan banyak darah
dikarenakan pengambilannya yang langsung dari jantung, metode ini hanya
dapat dilakukan apabila semua proses penelitian telah selesai karena saat darah
diambil otomatis hewan uji akan mati (Setyawati et al., 2019; Kress et al., 2022).

Gambar 32. Kumpulan darah yang dimasukkan kedalam tabung EDTA agar
tidak lisis

36
BAB 6
TEKNIK PEMBEDAHAN PADA MENCIT

Pada saat melakukan penelitian eksperimental menggunakan hewan coba


bukan hanya mengambil spesimen darah untuk pengumpulan data tetapi
memerlukan analisis organ-organ dari hewan yang di uji coba. Pengambilan
organ ini bertujuan untuk pemeriksaan suatu variable penelitian. Pada saat
melakukan pembedahan peneliti harus memiliki keterampilan dalam
pengambilan organ dengan cara mempelajari anatomi hewan percobaan yang
digunakan.
Pada bagian dada mencit organ yang dapat diambil adalah jantung, paru-
paru dan timus. Pada bagian abdomen dapat diambil organ yang berperan dalam
sistem pencernaan seperti lambung, usus halus, usus besar, sekum, hati, limpa
dan pancreas. Dapat juga mengambil organ yang berperan dalam system urinaria
seperti ginjal dan kantung empedu. Kemudian organ yang berperan dalam
system reproduksi jantan dan betina seperti ovarium, uterus, testis, epididimis
dan kelenjar preputsium (Parkinson et al., 2011). Alat yang digunakan pada saat
pembedahan juga harus bersih dan steril. Alat dan bahan harus dipersiapkan
sebaik mungkin untuk mendukung kelancaran pada saat melakukan
pembedahan. Alat dan bahan yang digunakan pada saat pembedahan
menyesuaikan dengan organ-organ serta parameter yang akan kita lakukan
seperti bak bedah, gunting bedah, pinset bedah, tempat peletakan organ, NaCl,
alcohol 70%, formalin dll.
Setelah proses pengambilan organ selesai, organ kemudian dibersihkan
dan ditimbang untuk mengetahui berat dan volumenya. Apabila di variable
penelitian ada morfologi maka diamati warna, tekstur dan penampakan organ
pada saat dibedah. Organ kemudian dicuci menggunakan alcohol dan
dimasukkan kedalam formalin agar tidak busuk dan merusak anatomi dan
fisiologis organ. Kemudian organ dapat disimpan dalam lemari pendingin atau
langsung dilanjutkan proses pembuatan prepapat untuk pemeriksaan
histopatologinya.
Pengamatan histopatologi dilakukan untuk mengetahui kerusakan-
kerusakan yang disebabkan oleh perlakuan yang dilakukan pada saat penelitian.
Biasanya hewan uji diinjeksi menggunakan suatu reagen yang menjadi pemicu

37
munculnya penyakit, kemudian diobati menggunakan sediaan yang ingin kita
ketahui manfaatnya. Setelah itu, kita dapat memeriksa preparat organ untuk
mengetahui tingkat kerusakan sel dan tingkat penyembuhan yang dihasilkan dari
sediaan yang ingin kita amati.

Gambar 33. Pembedahan mencit

D H
B F

A G I
E
C

Gambar 34. Beberapa organ yang diambil saat pembedahan. (A) Paru-paru; (B)
Pangkreas; (C) Hati; (D) Lambung; (E) Uterus; (F) Jantung; (G) Ginjal; (H)
Testis; (I) Limpa.

38
Gambar 35. Contoh gambaran histopatologi hati mencit. (A) sel hepar normal;
(B) degenerasi parenkimatosa; (C) degenerasi hidropik sel hepar; (D) nekrosis
sel hepar (Utomo et al., 2012)

Gambar 36. Bahan saat pembedahan

Gambar 37. Alat bedah yang sering digunakan

39
BAB 7
PERATURAN PENGGUNAAN HEWAN COBA
(ANIMAL ETHICS)

Aturan penggunaan hewan coba atau yang lebih dikenal dengan etika
hewan (animal ethics) memiliki tujuan untuk memberi batasan kepada peneliti
terhadap hewan coba yang mereka gunakan. Hal ini menyangkut semua hal
mengenai pemeliharaan dan perlakuaan saat uji coba. Pedoman ini juga
membahas segala aspek mulai dari transportasi hewan uji dari tempat asal
sampai ketempat penelitian akan berlangsung, kandang, pakan, lingkungan dan
banyak hal lainnya. Kode etik ini digunakan untuk mencegah adanya
penyalahgunaan dengan menyiksa hewan uji secara semena-mena dalam
penggunaannya. Semua pedoman etik yang sudah dibuat dan di sahkan oleh
KEPK. Hasil dari telaah yang sudah dibuat bertujuan untuk menjaga hewan uji
dan memastikan bahwa peneliti sudah melakukan prinsip dan praktik yang
sesuai dengan pedoman penelitian yang universal dan telah disepakati bersama
(Susilawati, Cahyanto and Sudarmaji, 2022).
Menurut pedoman etika hewan, penilaian terhadap hewan coba tidak
dapat menggunakan nilai absolut tetapi dapat menggunakan skala seperti lebih
baik, pantas, kurang baik dan tidak dapat diterima. Kelayakan etik penelitian
harus memperhatikan 7 standar agar mendapatkan kesejahteraan hewan coba
yaitu meliputi nilai social/klinis, nilai ilmiah, beban dan manfaat, potensi
manfaat dan resiko, bujukan eksploitasi, rahasia dan privacy, serta persetujuan
setelah penjelasan. Setelah itu menurut pedoman yang sudah disetujui, sebelum
dipakai untuk penelitian harus dilakukan beberapa hal dengan memperhatikan
replacement, reduction, and refinement (3R).
Penelitian menggunakan hewan coba harus dimulai dari yang paling
rendah tingkatannya. Dapat menggunakan metode in-vitro apabila
memungkinkan sehingga tidak perlu menggunkan hewan coba dan hanya
memerlukan biakan sel ataupun jaringan. Hal ini sudah dapat dikatakan dengan
replacement. Apabila tidak memungkinkan menggunkan metode in-vitro,
sebelum melakukan metode in-vivo perlu diperhatikan jumlah hewan uji yang
diperlukan dalam penelitian sesuai dengan teori perhitungan tanpa mengurangi
keshahihan hasil penelitian. Proses ini merupakan bagian dari reduction.

40
Selanjutnya adalah refinement dimana setiap perlakuan terhadap hewan uji
diperhatikan dalam segala aspek. Perlakuan terhadap hewan uji harus memenuhi
azas kesejahteraan hewan (animal walfare) yaitu freedom from hunger and
thirst, freedom from pain, freedom from distress, freedom from discomfort,
freedom from injury and disease dan freedom to express their normal behavior
(Trace and Kolstoe, 2017).
Pada deklarasi Helsinki saat siding kesehatan dunia ke-16 di Finlandia
tahun 1964 telah disebutkan bahwa hewan uji coba dalam bidang biomedik dan
farmakologi ditetapkan sebagai pengganti manusia dalam kaidah penelitian.
Dalam hal ini penggunaan manusia dalam riset harus diganti menggunakan
hewan uji yang sudah memenuhi kaidah penelitian yang ada meliputi 3 aspek
yaitu : respect, beneficiary dan justice. Dalam hal ini aspek respect mencakup
hak dan martabat hewan coba sebagai makhluk hidup sehingga memiliki
kebebasan terhadap dirinya sendiri (mencit atau hewan coba. Aspek beneficiary
yang berarti nilai manfaat bagi manusia yang harus sebanding serta aspek justice
yang berarti harus bersikap adil dan bijak terhadap penggunaan hewan
percobaan (Nugroho, 2018). Oleh karena itu, dalam setiap penelitian yang
menggunaan hewan uji baik itu mencit, tikus, kelinci, monyet dll harus
memenuhi segala aspek dalam etika hewan (animal ethics).
Beberapa prinsip umum dan peraturan yang sering diterapkan dalam
etika penelitian hewan :
 Persetujuan Etika Penelitian Hewan
Sebagian besar Negara memiliki komite etika penelitian hewan yang
bertugas menilai dan memberikan persetujuan untuk proyek penelitian yang
melibatkan hewan. Setiap penelitian harus melalui proses evaluasi etika sebelum
dimulai
 Prinsip 3R
Prinsip 3R adalah suatu pedoman utama dalam penelitian hewan yang
bertujuan untuk mengurangi jumlah hewan yang digunakan, meminimalkan
penderitaan hewan dan menggunakan alternative non-hewan sejauh mungkin.
Prinsip ini mengacu pada Replace (ganti), Reduce (kurangi) dan Refine
(tunjukkan etika yang baik)
 Kesejahteraan Hewan
Penelitian harus dirancang dan dilakukan dengan memperhatikan
kesejahteraan hewan. Ini mencakup aspek-aspek seperti perawatan yang baik,

41
pengelolaan stress, pembiusan atau anestesi saat diperlukan dan pemantauan
kesehatan hewan
 Pemantauan Kesehatan
Pemantauan kesehatan hewan selama dan setelah penelitian harus
dilakukan secara ketat. Jika hewan menunjukkan tanda-tanda ketidaknyamanan
atau penyakit, harus dilakukan tindakan yang sesuai
 Pemeliharaan Lingkungan
Penelitian hewan harus dilakukan dalam lingkungan yang sesuai dan
memenuhi kebutuhan fisiologis alamiah hewan.ini mencakup aspek-aspek
seperti suhu yang nyaman, pencahayaan yang memadai dan perawatan
lingkungan yang bersih
 Pelatihan Peneliti
Peneliti yang terlibat dalam penggunaan hewan coba harus memiliki
pelatihan dan pengetahuan yang memadai dalam etika penelitian hewan serta
taknik-teknik yang benar dalam penanganan dan pemeliharaan hewan
 Pencatatan dan Pelaporan
Setiap aspek dari penelitian hewan, termasuk perawatan, penggunaan
dan hasilnya, harus dicatat dan dilaporkan dengan rinci. Ini membantu dalam
evaluasi kembali dan memastikan transparanasi dalam penelitian.

42
BAB 8
SISTEM PENCERNAAN DAN SISTEM
PERNAPASAN PADA MENCIT

8.1 Sistem Pencernaan


Sistem pencernaan pada mencit dimulai dari rongga mulut, faring,
esofagus, lambung, usus halus, usus besar, dan anus. Bagian mulut pada mencit
terdiri dari dua bagian, yaitu bagian internal dan bagian eksternal. Bagian
internal atau yang biasa disebut dengan rongga mulut berbatasan langsung
dengan tulang maksilaris, palatum dan mandibularis yang berhubungan
langsung dengan faring. Sedangkan bagian eksternal merupakan ruang sempit
yang terdiri atas gusi, gigi, bibir dan pipi.
Pencernaan pada mulut mencit melibatkan dua proses utama, yaitu
pencernaan mekanik dan pencernaan kimiawi. Pencernaan mekanik dilakukan
oleh gigi, sedangkan untuk pencernaan kimiawi, beberapa enzim seperti amilase,
ptialin, dan maltase turut berperan dalam proses tersebut. Setelah itu makanan
akan masuk kedalam faring yang merupakan persimpangan antara saluran
respirasi dan saluran makanan, didalam faring ditemukan banyak limfosit yang
berfungsi sebagai antibody. Makanan kemudian melewati esophagus yang
berfungsi sebagai saluran yang membawa makanan langsung menuju lambung
dengan gerak peristaltik. Setelah sampai di lambung, makanan akan dicerna
secara kimiawi oleh enzim dan asam lambung dengan cara mengolah makanan
menjadi partikel-partikel yang lebih kecil. Lambung pada mencit dibagi menjadi
3 bagian yaitu kardiak, fundus dan pylorus.
a. Kardiak merupakan bagian lambung paling atas yang berbatasan
langsung dengan esophagus yang memiliki fungsi untuk menahan
makanan yang sudah masuk ke lambung agar tidak kembali naik ke
esophagus. Pada kardiak terdapat sfingter berupa cincin yang tugas
utamanya menahan asam lambung dan makanan agar tidak naik lagi ke
esophagus
b. Fundus merupakan bagian lambung tempat makanan mulai dicerna
dengan cara dicampurkan dengan enzim. Pada fundus dihasilkan zat
pepsinogen yang berfungsi untuk mengubah enzim pepsin agar protein
didalam makanan dapat dicerna dengan baik dan sempurna

43
c. Pilorus merupakan bagian akhir lambung yang berhubungan langsung
dengan usus halus, lebih tepatnya dengan duodenum, pada pylorus ini
terdapat katup yang berfungsi menahan makanan yang sudah dicerna
agar tidak masuk kembali kedalam lambung dan tertahan pada usus dua
belas jari.
Fungsi lambung dalam system pencernaan adalah menampung makanan,
memecah makanan dan membunuh mikroorganisme yang mungkin terdapat
dalam makanan yang dicerna dengan berbagai macam enzim, setelah itu
mendorong makanan masuk kedalam usus untuk diproses lebih lanjut didalam
usus.

Gambar 38. System pencernaan pada mencit (Maghna, 2020)

Setelah itu didalam usus makanan akan dicerna lagi dengan cara
memecah dan menyerap nutrisi dan sari-sari makanan dari yang kita konsumsi
dan sudah melewati proses pencernaan terlebih dahulu. Nutrisi yang diserap
akan berfungsi sebagai sumber tenaga serta pembentukan dan memperbaiki sel-
sel didalam tubuh. Usus halus dibagi menjadi 3 yaitu usus dua belas jari
(duodenum), usus kosong (jejenum) dan usus penyerapan (ileum).

44
Gambar 39. Usus halus (Indriyana, 2022)

a. Usus dua belas jari (duodenum)


Letak usus dua belas jari tepat berada dibawah lambung, ukurannya
berkisar 20-25 cm dengan bentuk melengkung karena dikelilingi oleh pancreas.
Fungsi utama dari usus dua belas jari ini adalah sebagai tempat penyerapan zat
gizi yang diperlukan oleh tubuh. Pada usus dua belas jari terjadi penguraian
lemak, protein dan karbohidrat menjadi bentuk yang paling sederhana.
Hal ini dikarenakan pada saat makanan yang dicerna selesai diproses di
lambung maka makanan tersebut akan menjadi kimus (makanan yang sudah
diproses menjadi bentuk bubur halus) yang bersifat asam, sehingga pada saat di
usus dua belas jari akan dihasilkan bikarbonat untuk menetralkan pH kimus
sehingga zat-zat gizi yang terdapat didalam makanan tersebut bisa diserap. Pada
umumnya penyerapan nutrisi dan sari-sari makanan dimulai dari usus dua belas
jari sampai sepanjang usus halus, namun hal utama dalam usus dua belas jari
adalah berperan sangat besar dalam penyerapan zat besi (Tim Medis Siloam
Hospitals, 2023).

b. Usus kosong (jejenum)


Usus kosong merupakan bagian dari usus halus yang fungsinya sebagai
pusat penyerapan sari-sari makanan dan nutrisi. Pada usus kosong terjadi
penyerapan gula, asam amino dan asam lemak. Ukuran dari usus kosong ini
sekiar 2,5 meter dengan banyak lipatan yang disebut dengan vili (jonjot usus)
yang fungsinya memperluas permukaan usus sehingga penyerapan nutrisi
semkin maksimal (Tim Medis Siloam Hospitals, 2023)

45
c. Usus penyerapan (ileum)
Bagian terakhir dari usus dua belas jari adalah usus penyerapan atau yang
biasa disebut dengan ileum. Pada usus ini terjadi penyerapan zat-zat gizi yang
tidak diserap baik oleh duodenum dan ileum sehingga penyerapan terhadap sari-
sari makanan lebih maksimal lagi. Ukuran dari usus penyerapan ini adalah 3
meter dan terhubung langsung dengan sekum (bagian awal usus besar) (Tim
Medis Siloam Hospitals, 2023).
Setelah makanan mengalami proses pencernaan di dalam usus halus,
langkah selanjutnya adalah pencernaan di dalam usus besar, yang sering disebut
sebagai kolon. Fungsi utama usus besar adalah menyerap sisa-sisa air yang
masih terdapat pada residu makanan yang telah mengalami pencernaan
sebelumnya. Bagian akhir dari usus besar disebut sebagai rektum, memiliki
panjang sekitar 12 cm, dan secara langsung terhubung dengan anus. Anus
berfungsi sebagai lubang akhir dalam sistem pencernaan, tempat keluarnya feses
dari tubuh (Runtulalu et al., 2020).

Gambar 40. Persamaan system pencernaan manusia dan mencit (Tamam, 2016)

Dalam system pencernaan, manusia dan mencit memiliki kemiripan


dengan saluran pencernaan dari awal sampai akhir yang sama sehingga mencit
sering kali digunakan untuk hewan percobaan di laboratorium yang meneliti
mengenai sisem pencernaan (Aisyah et al., 2023). Organ-organ pencernaan pada

46
mencit memiliki fungsi fisiologis dan struktur anatomi yang sama dengan
manusia sehingga lebih mudah saat melakukan uji coba untuk melihat normal
atau tidaknya organ tersebut setelah diberikan perlakuan sesuai dengan metode
peneliti.

8.2 Sistem Pernapasan


Sistem pernapasan pada mencit memiliki alur dan menggunakan organ
yang sama juga dengan manusia. Organ utama yang berperan dalam system
pernapasan yaitu paru-paru. Letak paru-paru tepat berada disebelah kanan dan
kiri jantung. Sebelum sampai pada organ paru-paru, pernapasan pada mencit
dimulai dengan dihirupnya udara atau masuknya oksigen dari hidung dan mulut
yang kemudian melewati trakea yang merupakan penghubung langsung dengan
paru-paru.
Setelah itu udara masuk ke percabangan paru-paru pertama yaitu bronkus
kanan dan kiri dan setelah itu masuk ke bronkiolus yang ukurannya lebih kecil
hingga akhirnya sampai pada alveoli yang merupakan percabangan paru-paru
terkecil yang tertutupi oleh pembuluh darah kapiler tempat terjadinya pertukaran
O2 dengan CO2. Darah yang tinggi kandungan O2 dari paru-paru akan dialurkan
kembali ke jantung dan di pompa keseluruh tubuh sedangan CO2 akan
dikeluarkan dari paru-paru.
Organ-organ yang berperan dalam system pernapasan adalah :
a. Rongga hidung
Udara masuk pertama kali melalui rongga hidung, didalam rongga
hidung udara yang masuk disaring untuk memisahkan benda-benda asing yang
masuk kedalam saluran pernapasan. Hal ini bisa terjadi karena didalam rongga
hidung terdapat selaput serta adanya kelenjar minyak, kelenjar keringat serta
terdapat rambut-rambut kecil yang fungsi utamanya adalah untuk menyaring
kotoran dari udara yang kita hirup. Di dalam rongga hidung juga terjadi
penghangatan udara dingin yang akan masuk ke dalam tubuh yang dilakukan
oleh konka.

47
b. Faring atau tenggorokan
Setelah udara memasuki hidung, langkah selanjutnya adalah udara
melewati tenggorokan. Tenggorokan memiliki dua jalur, yakni satu jalur untuk
saluran pencernaan dan satu jalur untuk saluran pernapasan.

c. Trakea atau batang tenggorokan


Organ pernapasan dengan bentuk pipa ini merupakan penghubung antara
tenggorokan dengan rongga dada. Pada trakea terdapat dua cabang, cabang dari
trakea ini kemudian memiliki cabang-cabang lagi yang berada didalam paru-
paru yang disebut bronkiolus. Pada bronkiolus ini akan terdapat cabang yang
berbentuk gelembung-gelembung yang disebut alveoli.

d. Laring atau pangkal tenggorokan


Laring merupakan organ pernapasan yang dikelilingi oleh tulang rawan.
Pada laring ini terdapat tulang rawan yang disebut epiglotis. Pada laring juga
terdapat jaringan epitel berlapis yang berfungsi untuk menahan getaran suara
yang dikeluarkan pada saat berbicara. Laring memiliki fungsi utama sebagai
tempat keluar masuknya udara dan juga sebagai tempat penghasil suara serta
katup epiglotis yang berfungsi membuka dan menutup pangkal tenggorakan saat
bernapas sehingga saat kita makan, makanan yang kita konsumsi tidak salah
masuk kedalam saluran pernapasan

e. Bronkus
Bronkus merupakan cabang dari batang tenggorokan yang berfungsi
sebagai saluran udara yang memungkinkan masuk dan keluarnya udara dari dan
ke paru-paru. Cabang ini terdiri dari dua bagian, yaitu cabang sebelah kanan dan
kiri dari batang tenggorokan, yang mengarah secara langsung menuju paru-paru.
Setelah itu, terdapat cabang-cabang kecil yang bercabang masuk ke dalam paru-
paru, yang disebut alveoli. Di dalam alveoli ini, terdapat kapiler darah yang
membawa oksigen ke dalam aliran darah.

48
Gambar 41. Sistem pernapasan pada manusia (Tamam, 2016)

49
BAB 9
SISTEM REPRODUKSI JANTAN PADA
MENCIT

Sistem reproduksi pada mencit memiliki anatomi dan fisiologi yang


mirip dengan manusia, oleh karena itu mencit banyak digunakan sebagai hewan
uji coba dilaboratorium terutama mengenai penelitian yang berhubungan dengan
fertilitas, infertilitas dan segala hal yang berkaitan dengan system reproduksi
lainnya.

Gambar 42. Perbedaan mencit jantan dan betina

Sistem reproduksi mencit jantan terbagi menjadi kelenjar kelamin


(testis), saluran reproduksi serta kelenjar asesori. Masing-masing organ dari
system reproduksi ini berjumlah sepasang kecuali uretra dan penis. Testis pada
mencit jantan memiliki fungsi memproduksi hormone testosterone yang
berfungsi untuk menstimulasi tahap akhir spermatogenesis dan berperan dalam
pertumbuhan dan perkembangan organ-organ reproduksi mencit jantan. Testis
pada mencit jantan memiliki fungsi sebagai penghasil sel sperma yang terdiri
dari tubulus seminiferous dan jaringan stroma.
Pada tubulus seminiferus dapat ditemukan sel germinatif dan sel sertoli.
Sedangkan pada jaringan stroma dapat ditemukan pembuluh darah, limfe, sel
saraf, sel makrofag dan sel leydig. Hormon testosterone dihasilkan di sel leydig
dengan bantuan hormone gonadotropin.

50
Gambar 43. Sistem reproduksi mencit jantan (Wallis, 1974)

Saluran reproduksi mencit jantan terdiri dari vas eferens, epididimis, vas
deferens, duktus ejakulatris dan uretra. Saluran-saluran ini memiliki fungsi-
fungsi yang berperan dalam system reproduksi yaitu vas eferens yag merupakan
saluran yang memiliki bentuk berliku-liku dengan lumen yang dikelilingi oleh
sel epitel bersilia. Epididimis yang strukturnya terdiri dari kaput, korpus dan
kauda sebagai tempat penyimpanan sperma sementara. Setelah itu spermatozoa
yang berada didalam epididimis akan disalurkan ke vas deferens. Lumen pada
vas deferens terdiri dari sel epitel berlapis semu, kemudian bagian dalam dan
luarnya dibungkus oleh lapisan longitudinal.
Fungsi vas deferens ini adalah sebagai saluran yang membawa
spermatozoa dari epididimis ke saluran uretra. Ductus ejakulatori terdapat otot-
otot yang berperan dalam proses ejakulasi yang kemudian saluran ini akan
bermuara di uretra. Uretra merupakan organ yang terdapat banyak pembuluh
darah serta dilapisi oleh otot lurik yang tebal. Pada uretra juga terdapat jaringan
epitel transisional dan terdiri dari jaringan ikat longgar.
Kelenjar seks asesori terbagi menjadi bagian-bagian vesikula seminaris,
kelenjar koagulasi, ampula, bulbouretra dan kelenjar preputalis. Fungsi dari
kelenjar seks asori ini adalah untuk mengeluarkan secret berupa cairan plasma
yang berfungsi untuk pelarut dan sebagai pengaktif sperma dikarenakan
memiliki kandungan natrium, kalium klorida, nitrogen, asam sitrat, asam
karbonat, inositor, fruktosa dan fosfotase. Organ yang terakhir adalah penis yang

51
merupakan organ eksternal dari system reproduksi jantan yang berfungsi sebagai
penyalur sperma ke dalam saluran reproduksi betina.
Penelitian-penelitian yang menggunakan organ-organ reproduksi jantan
dapat mengamati hal-hal yang bersangkutan dengan system reproduksi itu
sendiri seperti pengamatan spermatogenesis, spermatozoa, menghitung motilitas
spermatozoa, mengamati morfologi spermatozoa, mengamati histologi testis dll.

a. Spermatogenesis
Spermatogenesis merupakan perkembangan spermatogonia menjadi
spermatozoa yang matang atau yang lebih dikenal dengan sperma yang terjadi
didalam testis. Pada tahapan ini ada 3 tahapan yaitu, spermasitogenesis, meiosis
dan spirmiogenesis. Pada saat spermasitogenesis, spermatogenia akan
mengalami pembelahan dan menghasilkan sel spermatosit.
Spermatogonium pada tahap awal akan mengalami pembelahan,
menghasilkan dua spermatosit primer. Selanjutnya, spermatosit primer akan
mengalami pembelahan melalui meiosis, menghasilkan dua spermatosit
sekunder yang bersifat haploid. Proses ini kemudian diikuti oleh pembelahan
meiosis kedua, menghasilkan empat spermatid haploid. Pada spermatogenesis
mencit, proses ini berlangsung selama sekitar 35 hari, terbagi menjadi beberapa
tahap. Selama 8 hari, terjadi perubahan dari sel spermatogonia menjadi
spermatosit primer. Proses meiosis pada spermatosit primer dan sekunder
memakan waktu 12 hari, sementara fase spermatid memerlukan waktu 9 hari.
Tahap pematangan spermatid memerlukan waktu 5,5 hari.
Proses pembentukan sperma ini meliputi proses yang kompleks, proses
pembelahan mitosis berperan dalam perbanyakan sel dan pembelahan meiosis
berperan dalam terjadinya reduksi kromosom. Rangkaian akhir dari
spermatogenesis ini adalah terbentuknya spermatozoa yang memiliki bentuk
dengan memiliki kepala, leher dan ekor. Untuk proses fertilisasi, spermatozoa
yang dihasilkan harus memiliki kualitas yang baik agar berfungsi saat terjadinya
proses reproduksi pada hewan tersebut (Johnson and Everitt, 1995)(WHO,
1999).

52
Gambar 44. Proses spermatogenesis (Linn et al., 2021)

Hormon memiliki peran yang penting dalam proses spermatogenesis,


hormon-hormon yang bekerja pada saat proses spermatogenesis adalah
Luteining Hormone (LH), Folikel Stimulating Hormon (FSH), Prolaktin,
Androgen dan hormone-hormon lainnya. Hormone ini memiliki fungsi masing-
masing, berdasarkan penelitian didapatkan hasil bahwa hormone LH bekerja
pada sel leydig dalam membantu proses pembentukan sel gamet dengan
menghasilkan hormone testosterone dan memacu aktivitas steroidogenesis.
Sedangkan FSH berperan dalam pembelahan sel germinal dan spermiogenesis
dari sel sertoli untuk meningkatkan metabolisme androgen pada organ jantan
(Susilawati, 2011).

b. Spermatozoa
Spermatozoa merupakan sel tunggal dan padat yang tidak dapat
bertumbuh dan membelah dan terdiri dari beberapa bagian seperti kepala, leher
dan ekor. Peran utama dari spermatozoa adalah proses dalam fertilisasi atau yang
biasa dikenal dengan proses pembuahan didalam sel telur. Spermatozoa
dihasilkan didalam testis dari hasil proses spermatogenesis.

53
Gambar 45. Struktur spermatozoa mencit (Albrechtová et al., 2014)

Ukuran dari spermatozoa adalah 55-65 µm. keseluruhan bagian


spermatozoa dibungkus oleh sitoplasma. Bagian kepala dari spermatozoa
mengandung inti sel dan bagian anterior terdapat semacam topi tebal yang
dikenal dengan akrosom. Pembentuk utama dari akrosom ini adalah badan golgi
berisi enzim yang berfungsi untuk memudahkan sperma masuk kedalam sel
telur. Sedangkan ekor memiliki apparatus yang berfungsi untuk pergerakan.
Pada mencit ukuran spermatozoa sekitar 1,225 µm dengan kepala sperma
berbentuk kait. Spermatozoa yang sudah matang akan dibawa dari tubulus
seminiferous melalui saluran epididimis menuju vas deferens yang kemudian
akan dibawa hingga ke akhir saluran dan bercampur dengan secret vesika
seminalis, kelenjar prostat dan kelenjar cowper.
Pada penelitian yang mengamati sperma dapat dilakukan dengan
membedah mencit yang telah diberikan perlakuan sesuai dengan pengujian yang
diperlukan oleh peneliti. Setelah itu, spermatozoa diambil pada bagian kauda
epididimis untuk diperiksa spermanya. Ditambahkan larutan NaCl untuk
mempertahankan spermatozoa dalam keadaan homogen, memberikan sifat
buffer dan mempertahankan pH dalam suhu kamar. Pengamatan harus dilakukan
sesegera mungkin dengan konsentrasi pengamatan meliputi jumlah sperma dan
motilitas sperma yang dilakukan menggunakan mikroskop perbesaran 400x
(Fauziyah et al., 2013).

c. Morfologi Sperma
Pengamatan morfologi sperma bertujuan untuk mengetahui ada atau
tidaknya penyimpangan dari spermatozoa yang dihasilkan. Abnormalitas yag

54
terjadi pada spermatozoa dapat dibagi menjadi abnormalitas primer dan
sekunder. Abnormalitas primer ditandai dengan adanya satu atau lebih jumlah
bagian yang meliputi kepala, midpiece, ekor melingkar, kepala kecil, ekor
double) dan hasilnya akan dinyatakan dalam bentuk persen. Sedangkan untuk
abnormalitas sekunder dilihat dari nilai persen yang berada dibawah 40%.
Morfologi spermatozoa yang abnormal disebut dengan teratozoospermia.

Gambar 46. Morfologi Sperma (A) spermatozoa normal; (B)


spermatozoa abnormal (tidak memiliki kepala); (C) spermatozoa abnormal
yang hanya memilki kepala tanpa leher dan ekor; (D) spermatozoa abnormal
yang menggulung dibagian tengah; (E) spermatozoa yang mempunyai kepala
dua (Sudatri et al., 2019)

d. Motilitas Sperma
Tujuan dari pengamatan motilitas sperma dalam penelitian adalah untuk
mengevaluasi kualitas pergerakan spermatozoa, yang mencakup tipe pergerakan
dan kecepatan pergerakan. Evaluasi motilitas mencakup kriteria di mana
spermatozoa dianggap "motil" jika bergerak cepat secara lurus ke depan,
bergerak secara lambat dan tidak lurus, atau bergerak di tempat. Motilitas
dianggap tidak baik atau infertil jika nilai persentase motilitas kurang dari 40%,
yang juga dikenal sebagai astenozoospermia. Sperma yang dapat dinilai
motilitasnya adalah sperma yang telah berada di epididimis selama 18-24 jam.
Motilitas sperma dikelompokkan menjadi dua jenis utama yaitu :
 Motilitas total
Motilitas total mengukur persentase semua sperma yang dapat bergerak,
termasuk yang bergerak secara progresif dan yang bergerak tanpa arah tertentu.
Ini memberikan gambaran umum tentang seberapa banyak sperma yang aktif
 Motilitas yang bergerak secara progresif
Motilitas yang bergerak secara progresif mengukur persentase sperma
yang bergerak maju dengan arah yang jelas menuju sel telur. Ini dianggap

55
sebagai parameter yang lebih penting dalam menilai kemampuan sperma untuk
mencapai dan membuahi sel telur

e. Kelainan pada system reproduksi jantan


Dalam penelitian medis dan ilmu biologi, mencit sering digunakan
sebagai hewan percobaan untuk memahami berbagai aspek biologi dan
kesehatan. Beberapa penyakit atau kondisi yang sering di uji coba pada system
reproduksi mencit jantan yaitu :
 Infertilitas dan Disfungsi Reproduksi
Percobaan yang melibatkan gangguan pada spermatogenesis atau fungsi
reproduksi jantan. Studi ini dapat mencakup berbagai faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kualitas sperma, disfungsi ereksi atau gangguan hormonal yang
mempengaruhi system reproduksi jantan. Masalah umum yang dapat menjadi
penyebab masalah ini pada mencit adalah seperti adanya gangguan struktur atau
anomaly anatomis, adanya masalah hormonal, terjadinya infeksi, stress dan
faktor lingkungan serta varikokel.
Beberapa hal yang diamati dalam penelitian dengan topik infetilitas dan
disfungsi reproduksi ini adalah jumlah sperma, motilitas sperma, morfologi
sperma, kadar hormon reproduksi, ukuran dan berat testis, histologi testis,
pengamatan terhadap dampak paparan terhadap zat beracun, pemeriksaan
prostat, analisis kromosom dan pewarisan genetika.
 Prostatis
Percobaan yang berhubungan dengan peradangan pada kelenjar prostat
yang dapat diinduksi pada mencit jantan untuk dapat mengetahui mekanisme
peradangan dan memungkinkan untuk pengembangan terapi baru serta dalam
proses menemukan obat baru. Penelitian ini tentunya akan memeriksa beberapa
parameter yang mencakup fungsi prostat, peradangan dan respons imun.
Beberapa hal yang biasanya diamati pada penelitian yang menggunakan hewan
coba ini adalah pemeriksaan histologi pada jaringan prostat seperti pengamatan
sel-sel inflamasi dan perubahan struktur jaringan lainnya, pengukuran tingkat
mediator inflamasi seperti sitokin, interleukin dan faktor nuclear kappa B (NF-
kB) sebagai tolak ukur tingkat peradangan prostat, pengukuran berat prostat,
analisis spermatogenesis, pemeriksaan mikroorganisme yang dapat menjadi
penyebab infeksi pada prostat, analisis imunohistokimia yang menilai respon
system kekebalan terhadap peradangan serta pengukuran tingkat antibody dalam

56
darah. Selain itu dapat juga melakukan analisis genetik sepeti pengamatan
ekspresi gen dan analisis hormonal, pengamatan perilaku dan melakukan
evaluasi terhadap respon terapi yang diberikan.
 Kanker testis
Penelitian ini bertujuan untuk pengembangan model kanker testis yang
dapat dilakukan dengan hewan percobaan seperti mencit jantan untuk dapat
memahami lebih lanjut mengenai pathogenesis, faktor resiko dan opsi
pengobatan. Menciptakan model kanker testis yang sesuai pada hewan coba
bertujuan untuk mencapai hasil yang relevan dan dapat diaplikasikan pada
pemahaman dan pengobatan penyakit kanker tentis pada manusia.
Beberapa hal yang biasanya diamati pada hewan coba kanker testis
adalah pengukuran tumor secara teratur dan pengamatan bentuk dan struktur
mikroskopis tumor. Pemeriksaan penyebaran metastasis yaitu penyebaran sel
kanker ke organ-organ lain di dalam tubuh, pemeriksaan genetika dan molekuler
yang bertujuan untuk mengamati perkembangan dan pertumbuhan kanker testis,
pengamatan analisis fungsi system imun, pengamatan spermatogenesis,
pengamatan fungsi hormonal, analisis apoptosis, evaluasi respons terhadap
tarapi yang diberikan, pengamatan histologi dan pengamatan perilaku dan
kesejahteraan hewan coba.
 Hipogonadisme
Penelitian ini bertujuan untuk memahami pengaruh hipogonadisme
(produksi hormone seks yang rendah) pada system reproduksi mencit dan
mungkin dalam pengembangan terapi hormonal. Beberapa pengamatan dan
analisis yang dapat dilakukan untuk memahami mekanisme hipogonadisme pada
system reproduksi dapat dilakukan dengan cara pengukuran hormone seksual
seperti kadar hormone testoteron, FSH, LH, pengukuran berat testis,
pemeriksaan histologis, analisis spermatogenesis, pemeriksaan organ reproduksi
seperti vesikula seminalis dan prostat, analisis ekspresi gen, pengujian mutasi
genetik dan pengamatan dampak dari hipogonadisme pada kesehatan mencit
seperti dampaknya pada tulang, otot, lemak tubuh dan aspek-aspek kesehatan
lainnya.
 Kesejahteraan Hewan dan Etika Penelitian
Penelitian terkait dengan kesejahteraan hewan dan etika penelitian yang
mencakup pengembangan model penelitian yang memastikan perlakuan etis
pada mencit selama percobaan dilakukan. Beberapa pengamatan yang dapat

57
dilakukan pada model hewan coba mengenai kesejahteraan hewan adalah
pengamatan perilaku alami, pengamatan tanda-tanda stress, pengamatan kondisi
fisik, pengamatan fungsi organ, pengamatan kualitas lingkungan termasuk suhu,
kelembapan, pencahayaan dan ventilasi, pengelolaan stress, evaluasi kebutuhan
nutrisi pengamatan etika penelitian yang sesuai dengan standar etika penelitian
dan perundang-undangan yang berlaku.

58
BAB 10
SISTEM REPRODUKSI BETINA PADA
MENCIT

Sistem reproduksi pada mencit betina juga memiliki struktur anatomi dan
fisiologi yang mirip dengan manusia yang tersusun atas sepasang ovarium,
oviduct atau yang biasa disebut dengan saluran tuba fallopi, uterus, vagina dan
vulva yang merupakan bagian luar system reproduksi betina. Bagian-bagian ini
memiliki fungsi yang berbeda-beda, sesuai dengan alur reproduksi pada
manusia. Vulva merupakan bagian terluar dari system reproduksi betina yang
mencakup beberapa struktur eksternal seperti bibir vulva, klitoris dan lubang
uretra. Vulva berfungsi sebagai pelindung organ reproduksi internal karena
dapat mencegah kontaminasi dan cedera pada organ-organ vital. Lubang uretra
pada vulva dapat berfungsi sebagai jalur untuk pengeluaran urin dari kandung
kemih mencit dan perubahan fisiologis pada vulva dapat menjadi pertanda fase
estrus pada betina dengan ciri seperti adanya pembengkakan dan perubahan
warna. Klitoris yang merupakan bagian dari vulva memiliki banyak syaraf
sensorik dan dapat berfungsi sebagai sumber kenikmatan seksual bagi mencit
(Arma, Nelly and Yanti, 2015).
Vagina merupakan bagian dari system reproduksi betina yang memiliki
fungsi sebagai tempat penyatuan sel telur dan sperma yang masuk melalui penis
selama aktivitas seksual, kemudian sperma didepositkan dalam vagina dan
bergerak menuju saluran tuba fallopi untuk mencapai sel telur dan
memungkinkan pembuahan. Vagina juga berfungsi mengeluarkan lendir atau
cairan pelumas yang dapat membantu pergerakan sperma selama kopulasi dan
melindungi reproduksi betina. Uterus atau yang biasa dikenal dengan rahim
merupakan system reproduksi yang fungsi utamanya merupakan tempat
perkembangan dan pertumbuhan embrio selama kehamilan.
Setelah proses fertilisasi berhasil, embrio akan berkembang di dalam
rahim sebelum mencit betina memasuki fase kehamilan. Didalam rahim embrio
akan berkembang menjadi fetus dan membentuk plasenta yang berperan sebagai
penyedia nutrisi dan oksigen untuk pertumbuhan dan perkembangan janin.
Selama proses persalinan, uterus akan berkontraksi untuk membantu dorongan
janin ke saluran persalinan. Apabila kehamilan tidak terjadi, uterus akan

59
mengalami proses pembongkaran dan pembuangan endometrium selama
menstruasi. Ini merupakan bagian dari siklus menstruasi normal pada mencit dan
beberapa mamalia.
Tuba fallopi merupakan system reproduksi betina yang fungsi utamanya
menghubungkan ovarium dengan uterus dan berfungsi sebagai jalur tempat
pembuahan sel telur oleh sperma. Tuba fallopi akan menyediakan lingkungan
yang optimal untuk pembuahan dan awal perkembangan embrio. Di dalam tuba
fallopi terjadi gerakan peristaltic yaitu gerakan berulang yang dapat
mengarahkan sel telur dan embrio menuju rahim, jika pembuahan terjadi di
dalam tuba fallopi dan zigot tidak berhasil mencapai rahim, maka hal ini akan
mengakibatkan kehamilan ektopik (hamil diluar rahim) sehingga tuba fallopi
dapat berkontraksi untuk mencegah atau mengarahkan zigot keluar dari tuba
fallopi.
Organ reproduksi betina yang paling akhir adalah ovarium yang fungsi
utamanya adalah menghasilkan sel telur (ovum) dan hormon-hormon reproduksi
yang penting untuk mengatur siklus menstruasi dan mendukung kehamilan.
Setiap siklus menstruasi, satu folikel atau lebih folikel ovarium melepaskan sel
telur yang siap untuk pembuahan. Selain itu, ovarium juga berfungsi
menghasilkan hormon-hormon reproduksi wanita yaitu estrogen dan
progesterone. Dimana fungsi hormone estrogen ini adalah bertanggung jawab
untuk regulasi siklus menstruasi, pertumbuhan dan perkembangan organ
reproduksi serta mengkarakteristik seksual sekunder. Sedangkan hormone
progesterone adalah hormon yang diproduksi setelah terjadinya ovulasi yang
berfungsi untuk mempersiapkan rahim untuk penerimaan embrio dan
mendukung kehamilan jika terjadi pembuahan.
Peran ovarium sangat penting dalam pengaturan dan penyeimbang
hormonal di dalam tubuh. Hormon-hormon yang dihasilkan sangat
mempengaruhi banyak aspek terutama dalam hal kesehatan dan fungsi tubuh
selain reproduksi, termasuk kesehatan tulang, berperan dalam metabolisme dan
kulit (Rahayu, Susilawati and Suwando, 2020).

60
Gambar 47. Sistem Reproduksi Mencit Betina (Krinke, 2000)

a. Siklus Reproduksi Betina


Siklus reproduksi pada mencit betina berhubungan dengan serangkaian
proses seperti terjadinya perubahan hormonal dalam jangka waktu tertentu.
Siklus dikenal dengan siklus estrus atau yang biasa disebut dengan siklus birahi,
dimana pada saat ini mencit betina dalam keadaan reproduktif siap untuk
kopulasi dan pembuahan. Proestrus merupakan fase utama yang akan dialami
ketika memasuki siklus reproduksi, dimana pada fase ini mencit betina akan
menunjukkan gejala fisik dan perilaku yang menjadi pertanda bahwa betina
memasuki siklus birahi.
Bagian vulva mencit betina akan berubah menjadi berwarna merah dan
membengkak sebagai cara untuk menarik perhatian mencit jantan serta postur
tubuh yang berubah dengan cara mengangkat panggul dan menyelipkan ekor ke
samping untuk memudahkan akses bagi pejantan. Betina juga cendrung
menunjukkan perilaku kesiapan untuk kopulasi seperti adanya peningkatan
kegiatan bermain dengan jantan dengan cara menggesek-gesekkan tubuh pada
pejantan. Kemudian masuklah ke puncak siklus reproduksi yang disebut dengan
siklus estrus, pada siklus ini terjadi ovulasi yaitu pelepasan sel telur dan mencit
betina siap untuk kopulasi. Pada saat ini kemungkinan mengalami kehamilan
sangat tinggi karena sel telur siap untuk dibuahi. Setelah itu mencit betina akan
memasuki fase metestrus atau yang biasa disebut dengan fase diestrus, pada fase

61
ini apabila tidak terjadi pembuahan maka hormone estrogen akan mengalmi
penurunan dan hormone progesterone akan mengalami peningkatan, mencit
betina akan kembali ke fase anesterus (istirahat) dari aktivasi birahi dan kembali
melakukan aktivitas normal. Vulva juga akan kembali keukuran semula dan
warnanya juga akan berubah ke warna normal.
Umumnya siklus estrus dapat berlangsung selama 4-5 hari. Proses ini
dapat berubah disebabkan oleh faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik dari mencit
itu sendiri seperti jenis mencit, kondisi lingkungan dan faktor genetic.
Pemahaman mengenai siklus reproduksi mencit sangat penting untuk diketahui
untuk mengelola reproduksi hewan secara efektif dan untuk memaksimalkan
peluang keberhasilan reproduksi. Nutrisi dan kesehatan umum mencit dapat
mempengaruhi siklus reproduksi dan kesuburan sehingga dapat terjadi gangguan
sehingga untuk usaha pengoptimalan kesuburan diperlukan langkah-langkah
yang tepat untuk memastikan kesejahteraan hewan secara keseluruhan (Fatmala
and Zulkifli, 2022).

b. Oogenesis
Proses oogenesis merupakan pembentukan sel telur (ovum) yang terjadi
didalam ovarium yang merupakan bagian dari proses system reproduksi betina.

Gambar 48. Proses Oogenesis (Campbell and Reece, 2018)

62
Proses ini merupakan produksi dan kesiapan sel telur untuk pembuahan
dan pengembangan embrio jika terjadi pembuahan. Hal ini meliputi beberapa
tahapan seperti pembentukan oogonia, proses oogonia menjadi oosit primer,
tahap meiosis I, ovulasi dan tahap meiosis II, proses pembuahan (jika berhasil),
pembentukan korpus luteum dan pembuangan oosit dan siklus menstruasi.
Pembentukan oogonia terjadi pada saat embrio berkembang dan
memasuki tahap awal kehidupannya. Pada proses ini, oogonia terbentuk melalui
pembelahan mitosis dan berkembang menjadi sel-sel yang disebut oosit primer
yang merupakan sel yang belum mengalmi pembelahan meiosis. Pada saat
perempuan lahir, ovariumnya akan berisi jumlah oosit primer yang akan
digunakan sepanjang hidupnya. Setelah itu tahap meiosis I yang pada masa
pubertas seiring dengan perkembangan siklus menstruasi, beberapa oosit primer
mulai melewati tahap meiosis I yang kemudian akan menghasilkan oosit
sekunder dan satu bagian kecil yang biasa disebut dengan polar body. Tahapan
pembelahan meiosis I ini akan dimulai sebelum ovulasi dan selesai jika hanya
oosit disertai oleh sperma dan terjadi pembuahan.
Selanjutnya adalah tahap ovulasi dan pembelahan meiosis II yang setiap
bulannya, satu oosit sekunder akan dilepaskan selama ovulasi dari ovarium. Jika
terjadi pembuahan, oosit akan melewati tahap meiosis II yang akan
menghasilkan satu sel telur matang dan satu polar body lagi. Proses ini selesai
hanya jika sperma berhasil membuahi oosit. Saat pembuahan terjadi, sel sperma
akan memasuki oosit dan melepaskan materi genetiknya dan menyatukannya
dengan materi genetik milik oosit. Hal ini akan menghasilkan zigot yang akan
berkembang menjadi embrio. Setelah ovulasi, sel-sel yang tersisa di folikel
ovarium akan membentuk struktur yang disebut dengan korpus luteum. Korpus
luteum ini akan memproduksi hormone progesterone yang berfungsi
mempersiapkan endometrium dalam rahim untuk menerima embrio jika
pembuahan terjadi. Namun jika pembuahan tidak terjadi, oosit dan korpus
luteum akan luruh selama menstruasi berlangsung. Siklus ini akan berulang
setiap bulan dan jumlah oosit yang mengalmi ovulasi akan lebih rendah daripada
jumlah oosit primer yang ada pada saat kelahiran (Wardiyah et al., 2022).

c. Kelainan pada system reproduksi betina


Beberapa kelainan atau kondisi pada system reproduksi betina sering
diuji coba pada mencit dalam penelitian biomedis. Mencit adalah pilihan paling

63
umum sebagau model ghewan percobaan karena reproduksinya yang relative
cepat, memiliki biaya perawatan yang rendah dan memiliki system reproduksi
yag sama dengan manusia dalam beberapa aspek. Beberapa kelainan yang sering
di uji menggunakan mencit betina adalah :
 Kanker Ovarium
Penelitian kanker ovarium menggunakan hewan coba mencit bertujuan
untuk memahami perkembangan tumor, respons terhadap terapi dan
pengembangan strategi pengobatan baru. Beberapa hal yang dapat diamati pada
hewan coba mencit dengan model kanker ovarium adalah pengukuran ukuran
dan pertumbuhan tumor ovarium untuk memahami perkembangan dan
agresivitasnya, pemeriksaan mikroskopis jaringan tumor untuk dapat menilai
tingkat keganasan, struktur histologis dan perubahan patologis pada sel,
pengamatan berdasarkan penyebaran metastasis, pengamatan fisiologis dan
morfologis, pengamatan fungsi reproduksi untuk memahami dampak kanker
ovarium terhadap system reproduksi betina, analisi imunohistokimia,
pengamatan respons terhadap terapi yang diberikan dan dapat juga melakukan
analisis angiogenesis yaitu pembentukan pembuluh darah baru pada kanker yang
berdampak pada pertumbuhan dan penyebaran kanker serta analisis hormonal.

Gambar 49. Kanker ovarium pada mencit (Orsulic et al., 2002)

 Preklampsia
Penelitian preklampsia merupakan suatu kondisi dimana selama masa
kehamilan terjadi peningkatan tekanan darah dan kerusakan organ, terutama
pada ginjal dan hati. Beberapa pengamatan yang dapat diamati pada hewan coba
mencit dengan model preklampsia adalah pengukuran tekanan darah secara

64
teratur untuk membantu perkembangan hipertensi yang merupakan salah satu
ciri utama preklampsia, pengujian urin untuk mendeteksi adanya protein sebagai
penanda proteinuria, pengamatan perkembangan edema atau pembengkakan
terutama pada kaki dan wajah, analisis hematologi, analisis hormonal,
pengamatan perubahan morfologis dan histologis, analisis genetik dan
molekuler dan analysis respons terhadap terapi yang diberikan

Gambar 50. Skema alur perkembangan preklampsia (Taylor and George, 2022)

 Infertilitas
Penelitian menggunakan hewan coba mencit dapat digunakan untuk
memahami faktor-faktor yang berkontribusi pada infertilitas betina, baik yang
disebabkan olh gangguan hormone, disfungsi ovarium atau kelainan lainnya.
Beberapa pengamatan yang dapat diamati dalam kasus model hewan coba
infertilitas adalah pengamatan perilaku kawin atau perilaku reproduksi untuk
menilai keberhasilan kawin dan apakah ada hambatan dalam interaksi
reproduksi, pengamatan morfologi dan histologi organ-organ reproduksi seperti
ovarium, uterus dan tuba fallopi untuk menilai struktur dan fungsi normalnya,

65
analisi hormonal, pengukuran hormone tiroid, analisis genetik dan molekuler
serta pengamatan terhadap terapi yang diberikan.

 Abortus spontan
Model mencit dalam penelitian dapat digunakan untuk memahami
penyebab dan mekanisme yang dapat menyebabkan keguguran atau abortus
spontan serta untuk menguji potensi intervensi atau perlakuan. Beberapa
pengamatan yang dapat diamati pada model hewa percobaan dengan abortus
spontan adalah dengan cara pengamatan siklus reproduksi untuk
mengidentifikasi tahap-tahap kritis selama kehamilan, pemantauan tingkat
hormone reproduksi, pengamatan dan pengukuran kesehatan mencit termasuk
berat badan, asupan makanan dan tanda-tanda stress, analisis histopatologi
plasenta dan ovum untuk mengidentifikasi struktur dan morfologi yang dapat
mempengaruhi perkembangan kehamilan, analisis genetik dan molekuler,
pemeriksaan sitotoksisitas, pengamatan histologis dan morfologis organ
reproduksi dan pengamatan perilaku dan aktivitas mencit selama masa
kehamilan.

66
BAB 11
ANTI-INFLAMASI PADA MENCIT

Inflamasi atau peradangan dipandang sebagai respon perlindungan lokal


terhadap kerusakan jaringan atau invasi mikroba yang berfungsi untuk
mengisolasi dan menghancurkan agen yang dapat merugikan akibat luka dan
bagian dari system pertahanan alami tubuh penyembuhan luka. Nilai respon
inflamasi secara keseluruhan menunjukkan bahwa peradangan adalah proses
fisiologis yang penting. Dalam kebanyakan kasus, reaksi inflamasi dapat
menghasilkan respon protektif yang diinginkan. Namun, dalam beberapa kasus
inflamasi yang berlebihan atau berkepanjangan juga dapat menyebabkan
kerusakan jaringan yang semakin luas, disfungsi organ dan kematian.
Peran penting inflamasi yang beragam pada beberapa penyakit seperti
aterosklerosis, diabetes, kanker dan penyakit Alzheimer. Oleh sebab itu banyak
sekali penelitian yang diarahkan untuk memahami mekanisme yang memulai
dan mengatur respons inflamasi. Padahal proses molekuler dan seluler yang
berkontribusi terhadap inflamasi masih kurang dipahami sehingga kemajuan
dalam bidang penelitian medis banyak memberikan fasilitas mengenai
pencegahan, pengendalian dan penyembuhan berbagai penyakit yang
berhubungan dengan inflamasi. Ada banyak hal yang dilakukan untuk
pengembangan terapi baru untuk penyakit inflamasi ini seperti jalur pensinyalan,
mediator kimia dan populasi sel dalam respon inflamasi. Sirkulasi mikro dapat
menjadi faktor utama yang berperan dalam genesis dalam respon inflamasi.
Mikrovaskulatur mengalami berbagai jenis perubahan secara fungsional
dan structural selama terjadinya inflamasi. Perubahan ini meliputi berkurangnya
kapasitas arteriol untuk melebar, terjadinya gangguan pada perfusi kapiler,
adanya adhesi leukosit dan trombosit yang terjadi didalam venula, terjadinya
peningkatan koagulasi dan trombogenesis yaitu suatu keadaan dimana terjadinya
pembentukan thrombus secara tidak normal sehingga mengakibatkan gumpalan
darah yang terbentuk didalam pembuluh darah dan terjadinya proses pembekuan
darah yang tidak normal didalam tubuh, serta penigkatan permeabilitas
pembuluh darah dan pembuluh limfatik.

67
Gambar 51. Menunjukkan beragam respon arteri, kapiler dan vena terhadap
inflamasi. (A) menunjukkan bagaimana sitokin inflamasi berpeluang dalam
pembentukan superoksida (O2-). (B) menunjukkan bagaimana leukosit yang
diaktifkan dapat menghalangi lumen kapiler dan mengurangi perfusi kapiler.
(C) menunjukkan bagaimana sel endothelium venuler diaktifkan dapat
mempromosikan adhesi leukosit ke dinding pembuluh darah

Semua pembuluh darah yaitu arteri, kapiler dan vena dapat dipengaruhi
dan berkontribusi terhadap respon inflamasi. Aktivasi sel endotel dalam seluruh
pembuluh darah dapat disebabkan oleh produk bakteri atau mediator yang
dilepaskan secara lokal sehingga memungkinkan respon mikrosirkulasi yang
disengaja atau terkoordinasi terhadap inflamasi. Selain seluruh pembuluh darah,
terdapat juga otot polos serta sel-sel lain seperti makrofag dan sel mast yang juga
berkontribusi terhadap respons inflamasi dan berfungsi untuk menginduksi atau
memperkuat dalam proses aktivasi sel endotel (Granger and Granger, 2010).

68
Gambar 52. Perubahan awal pada venula yang mengalami inflamasi

Inflamasi melibatkan beberapa perubahan fisiologis dan kimia dalam


tubuh, meliputi :
 Vasodilatasi
Vasodilatasi merupakan pelebaran pembuluh darah untuk meningkatkan
aliran darah ke area yang terkena dan meningkatkan permeabilitas pembuluh
darah sehingga sel-sel darah dan zat-zat kekebalan dapat masuk ke jaringan yang
terinfeksi atau terluka. Vasodilatasi memberikan respon terhadap berbagai
rangsangan atau sinyal yang dapat merangsang relaksasi otot polos
 Akumulasi leukosit
Suatu keadaan terjadinya peningkatan jumlah sel darah putih di suatu
area tertentu di dalam tubuh sebagai respon terhadap infeksi, peradangan atau
cedera. Proses akumulasi leukosit ini memerlukan beberapa langkah yaitu
leukosit dapat melekat pada dinding pembuluh darah dan bergerak melalui
dinding pembuluh darah menuju area yang mengalami infeksi atau peradangan.
Leukosit dapat memberikan respon sinyal kimia yang dihasilkan oleh
sel-sel yang terinfeksi sehingga lokasi infeksi dapat terjangkau. Leukosit dapat
menembus dinding pembuluh darah untuk mencapai jaringan yang terkena
dengan cara melewati celah diantara sel-sel endotel. Setelah sampai pada area

69
yang terluka atau terinfeksi, leukosit akan menjalankan fungsinya sebagai
fagositosis yaitu menelan dan mencerna mikroorganisme, sel mati atau zat asing
lainnya
 Pembengkakan (Edema)
Kondisi terjadinya penumpukan cairan ekstraseluler di dalam jaringan
tubuh yang dapat menyebabkan pembengkakan atau peningkatan volume pada
jaringan tersebut. Cairan ekstraseluler ini dapat meliputi air, elektrolit dan
protein yang keluar dari pembuluh darah ke jaringan disekitarnya. Ada beberapa
hal yang dapat menyebabkan terjadinya pembengkakan yaitu adanya
peningkatan retensi garam dan air di dalam tubuh.
Kondisi ini dapat terjadi pada pasien yang mengalami gagal jantung,
penyakit ginjal atau penyakit hati. Adanya kerusakan system limfatik, adanya
peradangan yang memungkinkan cairan keluar dari pembuluh darah dan adanya
tekanan vena yang terlalu tinggi sehingga mengakibatkan cairan bocor ke
jaringan disekitarnya yang dapat terjadi pada kondisi gagal jantung. Edema dapat
terjadi dibeberapa bagian tubuh seperti kaki, pergelangan kaki, tangan,wajah
atau bahkan di dalam organ-organ tubuh seperti paru-paru atau abdomen.
 Peningkatan aktivitas sel kekebalan
Makrofag, neutrophil dan limfosit dapat bekerja untuk menghancurkan
dan menghilangkan benda asing, sel-sel yang rusak atau mikroorganisme
penyebab infeksi. Peningkatan aktivitas sel kekebalan selama terjadinya
inflamasi adalah bagian dari upaya tubuh untuk menghilangkan faktor penyebab
inflamasi dan memulihkan jaringan yang rusak. Namun, pada kondisi inflamasi
yang berlebihan atau kronis dapat menyebabkan masalah kesehatan yang lebih
serius. Sehingga, pengaturan respon inflamasi oleh tubuh menjadi kunci untuk
menjaga keseimbangan yang sehat.
 Rasa nyeri dan panas
Rasa nyeri dan panas yang disebabkan oleh pembuluh darah yang
melebar dan pelepasan zat-zat kimia khusus pada area yang terkena infeksi. Rasa
nyeri muncul sebagai hasil dari pelepasan zat kimia seperti prostaglandin,
bradikinin dan histimin yang merangsang ujung saraf di daerah yang
terpengaruh. Sedangkan rasa panas dipicu oleh pelepasan zat kimia seperti
prostaglandin dan histamine yang memicu perluasan pembuluh darah di area
tersebut (vasodilatasi) yang dapat meningkatkan alian darah ke yang terkena.

70
Sel kekebalan atau sel imun berperan sangat penting dalam respons
inflamasi yang merupakan mekanisme pertahanan alami tubuh untuk melawan
infeksi, cedera atau ancaman lainnya. Beberapa jenis sel kekebalan tubuh yang
terlibat dalam respon inflamasi adalah :
1. Neutrofil yang merupakan jenis sel darah putih yang pertama kali tiba di
bagian yang terkena infeksi atau cedera. Neutrophil berperan dalam fagositosis
yaitu menelan dan mencerna mikroorganisme pathogen dan sel mati

Gambar 53. Neutrofil (Kusumastuti et al., 2014)

2. Makrofag merupakan sel yang memiliki kemampuan fagositosis yang


berperan dalam membersihkan sisa-sisa sel dan materi asing. Makrofag juga
dapat berfungsi sebagai antigen-prsenting cells (APCs) yang mempresentasikan
fragmen pathogen kepada sel-sel T untuk merangsanga respon imun adaptif

Gambar 54. Sel Makrofag

71
 Sel dentritik merupakan sel kekebalan yang berperan dalam menyajikan
antigen kepada sel-sel T. Sel dentritik berada diantara sel-sel pertama yang
mendeteksi pathogen dan memulai respon imun adaptif
 Limfosit meruapak kelompok yang melibatkan sel-sel T dan sel-sel B. Sel
T berperan dalam merespon antigen spesifik. Sel T sitotoksik yang dapat
membunuh sel-sel yang terinfeksi, sedangkan sel T membantu
mengkoordinasikan respon kekebalan tubuh

Gambar 55. Limfosit T (Putu et al., 2014)

Sel B berperan dalam memperoduksi antibody (immunoglobulin) yang


dapat mengikat dan menghilangkan patogen atau zat asing dari sirkulasi
darah

Gambar 56. Limfosit B (Putu et al., 2014)

72
 Sel natural killer (NK) merupakan jenis sel kekebalan yang berperan dalam
melawan sel-sel yang terinfeksi virus atau sel kanker. NK dapat mengenali
dan menghancurkan sel-sel yang tidak normal

Gambar 57. Sel natural killer (Soemanadi et al., 2014)

Proses inflamasi melibatkan aktivasi dan koordinasi antara sel-sel


kekebalan ini. Sinyal kimia, seperti sitokin dan faktor pertumbuhan dapat dilihat
selama proses inflamasi untuk mengarahkan pergerakan dan aktivasi sel
kekebalan. Selian itu, sel kekebalan juga dapat memproduksi mediator inflamasi
seperti histamine, prostaglandin dan leukotriene yang dapat berkontribusi pada
manisfestasi fisik inflamasi seperti pembengkakan, kemerahan dan nyeri.
Sel kekebalan berkomunikasi selama proses inflamasi melalui sejumlah
langkah koordinasi yang kompleks. Proses ini melibatkan sinyal-sinyal kimia
dan interaksi langsung antara berbagai jenis sel kekebalan yang bekerja sama
untuk mendeteksi dan merespon ancaman terhadap tubuh. Mekanisme
komunikasi selama proses inflamasi melalui sinyal kimia (sitokin) yang terbagi
menjadi 2 yaitu sinyal proinflamasi dan sinyal anti-inflamasi, adhesi seluler dan
migrasi, sinyal melalui reseptor yang dapat melalui reseptor pattern recognition
(PRR) dan reseptor sitokin, komunikasi antara sel-sel T dan B, fagositosis dan
presentasi antigen dan sel-sel efektor.
Berdasarkan lamanya waktu yang dibutuhkan agar inflamasi dapat
teratasi, inflamasi dibagi menjadi 3 kelompok yaitu :
 Inflamasi akut yang dimulai dengan cepat dan gejalanya berlangsung
selama beberapa hari
 Inflamasi sub-akut yang berlangsung selama 2-6 minggu

73
 Inflamasi kronis (CI) yang berlangsung dalam jangku waktu yang lama dan
bahkan dapat bertahan seumur hidup

Gambar 58. Perbandingan antara inflamasi akut, sub-akut dan kronis.


Peradangan sub-akut merupakan keadaan antara akut dan kronis

Gambar 59. Inflamasi dapat menyebabkan beberapa penyakit karena kerusakan


terkait (Rafiyan et al., 2023)

74
a. Respon terhadap inflamasi akut
Respon inflamasi akut didefenisikan sebagai rangkaian respon jaringan
yang dapat terjadi dalam beberapa jam pertama setelah cedera. Respon inflamasi
sangat cepat dalam beberapa jam pertama dan setelah beberapa waktu kemudian
akan menurun secara bertahap.
Ketika cedera jaringan terjadi berbagai organ, respon inflmasi dapat
beresolusi sampai batas tertentu melibatkan regenerasi dimana organ dapat
dengan cepat menggantikan sel-sel yang rusak atau hancur dengan bentuk yang
menyerupai jaringan asli yang tidak terluka. Contohnya adalah cedera inflamasi
akut pada hati dimana respon inflamasi dapat sembuh melalui regenerasi sel hati
(hepatosit, sel endotel, dll) yang dapat menyusun kembali hati yang rusak atau
hancur dengan hasil akhir yang identik dengan jaringan sebelum cedera.

Tabel 2. Regulasi respon inflamasi akut : natural faktor anti-inflamantory


Faktor Target
Sitokin IL-4, IL-10, IL-12  Stabilisasi IκB dan
mengurangi aktivasi NF-κB
Inhibitor protease SLPI, TIMP-1, α1PI, etc.  Penghambatan protease
serin dan protease nonserin
Enzim inhibitor Superoxide dismutase,  Mengubah O2 menjadi H2O
Catalase, Gluthathione  Menghancurkan H2O2
peroxidase  Mengkatalisis pemecahan
H2O2 menjadi H2O
Lipoxin
Glucocorticoid  Beragam
Kinase Hidrolisis kinin  Bradykinin
Phosphatase Penghilangan phosphatase  Faktor trankripsional
dari protein
Faktor STAT3, SOCS3  Blokade aktivasi gen untuk
transkripsional prontlammatary mediator

Sitokin seperti IL-4, IL-10 dan IL-12 dalam konsentrasi yang sangat
rendah dapat diinduksi dan merupakan faktor anti-inflamasi yang kuat dan
mengandung respon inflamasi akut dengan menstabilkan IκBα yang dapat
memblokir aktivitas NF-κB. Akibatnya sitokin pengatur akan sangat mengurangi
produksi mediator proinflamasi dan mengurangi jumlah PMN yang terakumulasi
dalam jaringan. Ada beberapa inhibitor protease yang juga mengandung respon

75
dengan menghambat protease serine, banyak diantaranya dilepaskan dari sel
fagositik. Inhibitor protease leukosit yang disekresikan dan digambarkan sebagai
inhibitor trypsin.
Enzim antioksidan seperti seperoxidase dismutase, katalase, dan
gluthathione peroxidase dapat ditemukan dalam jumlah banyak didalam
berbagai jaringandan dapat diatur dalam perjalanan respon inflamasi seperti
yang terjadi setelah hiperoksida, infeksi bakteri, ischemia-reperfusion dan dalam
berbagai situasi lainnya. Peningkatan regulasi enzim antioksidan dapat
didokumentasikan dengan baik di dalam paru-paru pada kasus bakteri Gram-
Negatif.
Hidrolisis protein IκB diperlukan untuk aktivasi NF-κB. selain itu, ada
inhibitor protease nonserin seperti inhibitor metalloprotease (MMP). MMP3 dan
MMP9 adalah MMP yang paling penting dengan targetnya adalah elastin,
kolagen dan kolagen yang berubah karena adanya danaturasi. Penghambat
jaringan MMP2 (TIMP-2) adalah TIMP yng umum dan dapat diinduksi dan
memiliki aktivitas penghambat yang luas untuk MMP. α1 inhibitor protease
banyak hadir dalam plasma dan paru-paru. Ini merupakan penghambat serin
protease yang kuat dan mirip dengan tripsin. Jika α1PI tidak ada secara
fungsional, hal ini dapat dikaitkan dengan adanya perkembangan emfisema pada
paru-paru dan seringkali berakibat fatal pada manusia.

Gambar 60. Mekanisme respons inflamasi akut menampilkan kejadian


intravascular awal yang mengarah pada peningkatan perubahan permeabilitas,

76
aktivitas sel endotel (peningkatan ekspresi molekul adhesi untuk neutrophil
(PMN)), adhesi PMN ke permukaan endotel dan aktivasi trombosit
(menghasilkan agregasi dan adhesi satu sama lain serta ke permukaan endotel).
Trombosit sering berada di area deposisi fibrin. Respons jaringan (dalam
kompartemen ekstravaskuler) menampilkan edema, transmigrasi PMN,
deposisi fibrin dan perdarahan jika integritas structural penghalang vascular
telah dikompromikan

Gambar 61. Mekanisme peradangan kronik dengan adhesi limfosit dan monosit
ke endothelium aktif, dan transmigrasi oventual sel-sel ini ke ruang
ekstravaskuler. Sel endotel yang diaktifkan mengekspresikan molekul adhesi
(seperti VCAM-1) yang dapat memfasilitasi adhesi limfosit dan monosit ke
permukaan endotel, dan diikuti oleh transmigrasi. Dalam perbandingan
ekstravaskuler, limfosit dan makrofag mengeluarkan faktor-faktor yang
meragsang pembentukan kolagen ekstraseluler dan mempertahankan respon
inflamasi. Transmigrasi monosit menjadi makrofag. Sel plasma dapat
mengeluarkan antibody (Serhan, Ward and Gilroy, 2010)

b. Metode pada penelitian inflamasi menggunakan mencit


Penelitian yang menguji efek anti-inflamasi dapat memanfaatkan metode
Winter dengan cara menyuntikkan larutan karagenan secara subplantar pada
hewan uji. Selanjutnya, dilakukan pengukuran volume edema pada telapak kaki
hewan tersebut menggunakan Pletismometer, sebuah alat yang beroperasi
berdasarkan prinsip hukum Archimedes. Kemampuan obat atau ekstrak yang
diuji dievaluasi berdasarkan kemampuannya mengurangi pembengkakan yang

77
disebabkan oleh induksi karagenan pada telapak kaki hewan uji. Setelah
melaksanakan semua langkah eksperimen, perhitungan persentase
penghambatan edema dapat dilakukan dengan menghitung rata-rata yang terjadi
pada setiap kelompok uji menggunakan rumus yang sesuai. (Nurjanah et al.,
2020).
𝑎−𝑥
Persen penghambatan udem = ( 1 – 𝑏−𝑦 ) x 100
Keterangan :
a : volume rata-rata kaki tikus setelah diinduksi pada tikus yang diberi bahan uji
x : volume rata-rata kaki tikus sebelum diinduksi pada tikus yang diberi bahan
uji
b : volume rata-rata kaki tikus setelah diinduksi pada tikus yang tidak diberi
bahan uji (kontrol negative)
y : volume rata-rata kaki tikus sebelum diinduksi pada tikus yang tidak diberi
bahan uji (kontrol negative)

Untuk menguji efek anti-inflamasinya dapat dilakukan menggunakan


beberapa metode dan uji dalam konteks penelitian dan pengembangan obat.
Beberapa metode tersebut melibatkan system biologis atau model hewan untuk
mengevaluasi dampak anti-inflamasi, yaitu :
1. Tes In Vitro (dalam tabung uji)
 Sel Kuntur : Penggunaan sel-sel yang dipertahankan dilaboratorium
dapat memberikan wawasan tentang cara zat tertentu berinteraksi dengan
sel-sel yang terlibat dalam respon inflamasi
 Pengukuran Marka Inflamasi : Pengukuran produksi sitokin, mediator
inflamasi atau protein seperti CRP dapat memberikan indikasi efek anti-
inflamasi
2. Tes pada Hewan (In Vivo)
 Tes Peradangan Akut : Model hewan dapat digunakan untuk menilai efek
anti-inflamasi dengan menyebabkan peradangan akut dan kemudian
mengukur respons terhadap pengobatan
 Tes Peradangan Kronis : Model hewan juga dapat digunakan untuk
mengevaluasi efek jangka panjang atau peradangan kronis

78
3. Uji Klinis pada Manusia
 Uji Klinis Fase I, II dan III : Jika senyawa atau zat telah menunjukkan
potensi anti-inflamasi dalam uji praklinis, uji klinis manusia dapat
dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas, keamanan dan dosis
optimalnya.
 Pengukuran Marka Inflamasi dalam Darah : Pengukuran parameter
inflamasi dalam darah peserta uji klinis, seperti CRP, interleukin atau
faktor pertumbuhan vascular (VEGF) dapat memberikan wawasan
tentang dampak anti-inflamasi
4. Pengukuran Ekspresi Gen : Analisis ekspresi gen pada sel-sel atau
jaringan yang terlibat dalam respons inflamasi dapat memberikan
informasi tentang dampak anti-inflamasi sutau zat atau senyawa
5. Tes Imunohistokimia : Analisis imunohistokimia pada jaringan biopsi
dapat memberikan wawasan tentang perubahan inflamasi setelah
pengobatan
6. Pengukuran Parameter Fisiologis : Beberapa parameter fisiologis, seperti
suhu tubuh, detak jantung atau tekanan darah dapat diukur untuk
mengevaluasi efek anti-inflamasi secara keseluruhan pada organ atau
system tubuh

c. Gambar penelitian inflamasi pada mencit

79
Gambar 58. Kaki mencit yang mengalami inflamasi

80
DAFTAR PUSTAKA

Afrillia, D. (2022) Ini Alasan Mengapa Hewan Tikus Sering Dipakai Dalam
Penelitian. Available at:
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2022/04/03/ini-alasan-
mengapa-tikus-sering-jadi-hewan-percobaan-dalam-penelitian
(Accessed: 3 April 2022).
Aisyah, S. et al. (2023) ‘Identifikasi Karakteristik Hewan Vertebrata Mamalia
Tikus Putih ( Rattus norvegicus ) Berdasarkan Morfologi dan
Anatominya Identification of Mammals Vertebrate Animal
Characteristics of White Rat ( Rattus norvegicus ) Based on Their
Morphology and Anatomy’, pp. 484–493.
Albrechtová, J. et al. (2014) ‘Sperm morphology in two house mouse
subspecies: Do wild-derived strains and wild mice tell the same story?’,
PLoS ONE, 9(12). Available at:
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0115669.
Allen-worthington, K.H. et al. (2015) ‘Intraperitoneal Injection of Ethanol for
the Euthanasia of Laboratory Mice ( Mus musculus ) and Rats ( Rattus
norvegicus )’, 54(6), pp. 31–33.
Arma, N., Nelly, K. and Yanti, E. (2015) Obstetri Fisiology. Yogyakarta:
Deepublish.
Brown, F.H. (2002) Texbook of Rabbit Medicine. Britania Raya: Butterworth
Heinemann. Available at: https://doi.org/https://doi.org/10.1016/B978-
0-7506-4002-2.X5001-2.
Campbell, N.A. and Reece, J.B. (2018) BIOLOGI. Eight Edit. Jakarta: Erlangga.
Caraka, B., Sumbdo, B.A.A. and Candradewi, I. (2017) ‘Klasifikasi Sel Darah
Putih Menggunakan Metode Support Vector Machine (SVM) Berbasis
Pengolahan Citra Digital’, 7(1), pp. 25–36.
Clifford, C.B. (2012) The Laboratory Mouse. United Kingdom: Elsevier.
Available at: https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-12-
382008-2.00020-9.
Dahlborn, K. et al. (2007) ‘Working Party Report Report of the Federation of
European Laboratory Animal Science Associations Working Group on
animal identification’, (Id), pp. 2–11. Available at:
https://doi.org/10.1177/002367712473290.
Fatmala, Y. and Zulkifli, L. (2022) ‘Jurnal Biologi Tropis Estrogenic Effects of
Tapak Dara ( Catharantus roseus ) Leaf Methanol Extract on The Estrus
Cycle of Adult Female Mice ( Mus musculus ) Balb / C’, 22, pp. 803–
808.
Fauziyah, A. et al. (2013) ‘Pengaruh Radiasi Sinar X Terhadap Motilitas Sperma
Pada Tikus Mencit (Mus muculus)’, Unnes Physics Journal, 2(2), pp. 1–

81
5. Available at: http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/upj.
Gandasoebrata, R. (2010) Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta: Dian Rakyat.
Garber, J.C. et al. (2011) Guide for The Care and Use of Laboratory Animals.
Eighth Edi. Washington DC: National Academies Press.
Garini, A. et al. (2019) ‘Perbandingan Hasil Hitung Jumlah Eritrosit Dengan
Menggunakan Larutan Hayem, Larutan Saline dan Larutan Rees Ecker’,
Riset Kesehatan, 8(1), pp. 35–40. Available at:
https://doi.org/10.31983/jrk.v8i1.4107.
Gaston, K.. and Spicer, J.. (1998) Biodiversity: An Introduction. Paris: Blackwell
Science.
Granger, D.N. and Granger, J. (2010) Inflammation and The Microcirculation.
Louisiana: Morgan and Claypool.
Guillen, J. (2017) Loboratory Animals : Regulations and Recommendations for
the Care and Use of Animals in Research. Second Edi. Britania Raya:
Academic Press.
Handajani, F. (2021) Metode Pemilihan dan Pembuatan Hewan Model
Beberapa Penyakit Pada Penelitian Eksperimental. Sidoarjo: Zifatama
Jawara.
Hedrich, H.J. (2012) The Laboratory Mouse. Second Edi. United Kingdom:
Academic Press.
Hernando, H. and Barbosa, G. (2022) ‘Dengue Virus’, Human Press [Preprint],
(January). Available at: https://doi.org/10.1007/978-1-0716-1879-0.
Hidayat, R. and Wulandari, P. (2021) ‘Bioscientia Medicina : Journal of
Biomedicine & Translational Research Euthanasia Procedure of Animal
Model in Biomedical Research’, Journal of Biomedicine and
Translational Research, 3, pp. 540–544.
Huet, O. et al. (2013) ‘Ensueing Animal Welfare While Meeting Scientific Aims
Using A Murine Pneumonia Model Of Septic Shock’, Shock Society,
39(6), pp. 488–494. Available at:
https://doi.org/10.1097/SHK.0b013e3182939831.
Ilyas, S. and Situmorang, P.C. (2019) Fisiologi Hewan. Medan: USUPRESS.
Indriyana (2022) Fungsi Usus Halus dalam Pencernaan Manusia. Available at:
https://health.indozone.id/news/481246049/5-fungsi-usus-halus-dalam-
sistem-pencernaan-manusia (Accessed: 12 November 2022).
Isbagio, D.W. (1992) ‘Euthanasia Pada Hewan Percobaan’, Media Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, 3(2).
Johnson, M.. and Everitt, B.J. (1995) Essential Reproduction. Third Edit.
Oxford: Blackwell Science.
Kress, A.P.A. et al. (2022) ‘A Comparison of Blood Collection Techniques in
Mice and their Effects on Welfare’, 61(3). Available at:
https://doi.org/10.30802/AALAS-JAALAS-21-000129.
Krinke, G.J. (2000) The Laboratory Rat. United Kingdom: Academic Press.

82
Krissanti, I., Hanifa, R. and Dwiwina, R.G. (2023) ‘Efektivitas dan Pengaruh
Kombinasi Anestesi Ketamine-Xylazine pada Tikus ( Rattus norvegicus
)’, 18, pp. 245–252.
Kusumastuti, E. et al. (2014) ‘Ekspresi COX-2 dan Jumlah Neutrofil Fase
Inflamasi pada Proses Penyembuhan Luka Setelah Pemberian Sistemik
Ekstrak Etanolik Rosela (Hibiscus sabdariffa) (studi in vivo pada Tikus
Wistar)’, 21(1), pp. 13–19.
Latif, U.T.A. and Usman, S. (2014) ‘Efek Hepatotoksisitas Ekstrak Etanol Herba
Kompri ( Symphytum officinale L .) Terhadap Hewan Uji Kelinci (
Oryctolagus cuniculus ) Dengan Parameter SGOT dan SGPT’, 2(1), pp.
11–15.
Linn, E. et al. (2021) ‘Genes Regulating Spermatogenesis and Sperm Function
Associated With Rare Disorders’, 9(February), pp. 1–17. Available at:
https://doi.org/10.3389/fcell.2021.634536.
Liu, E. and Fan, J. (2018) Fundamental of Laboratory Animal Science. First Edit.
Boca Raton: CRC PRESS. Available at: https://doi.org/9781315368993.
Maghna, G. (2020) Digestive System of Rattus Norvegicus (With Diagram) |
Zoology, Zoology Notes. Available at:
https://www.notesonzoology.com/mammalia/digestive-system-of-
rattus-norvegicus-with-diagram-zoology/3880 (Accessed: 12 November
2023).
Muliani, H. (2011) ‘Pertumbuhan Mencit ( Mus Musculus L .) Setelah
Pemberian Biji Jarak Pagar ( Jatropha curcas L . )’, Buletin Anatomi dan
Fisiologi, XIX(1), pp. 44–54.
Munggaran, F.A. and Sajuthi, D. (2018) ‘Teknik Penanganan Kendali Hewan
Sesuai Kaidah Kesejahteraan Hewan Meningkatkan Akurasi Pengukuran
Profil Hemodinamika Tikus Laboratorium’, 19(36), pp. 208–214.
Available at: https://doi.org/10.19087/jveteriner.2018.19.2.208.
Nicoll, L.H. and Hesby, A. (2002) ‘Guideline for Evidence-Based Practice’,
16(2), pp. 149–162. Available at:
https://doi.org/10.1053/apnr.2002.34142.
Nugroho, R.A. (2018) Mengenal Mencit Sebagai Hewan Laboratorium.
Samarinda: Mulawarman University Press.
Nurjanah, F. et al. (2020) ‘Aktivitas Antiinflamasi Berbagai Tumbuhan Yang
Diinduksi Oleh Karagenan’, Farmaka, 17(1), pp. 135–146.
Orsulic, S. et al. (2002) ‘Induction of ovarian cancer by defined multiple genetic
changes in a mouse model system’, Cancer Cell, 1(February), pp. 53–62.
Palmer, A.D. and Slauch, J.M. (2019) ‘Mechanisms of Salmonella pathogenesis
in animal models’, 23(8), pp. 1877–1892. Available at:
https://doi.org/10.1080/10807039.2017.1353903.Mechanisms.
Parasuraman, S., Raveendran, R. and Kesavan, R. (2010) ‘Blood sample
collection in small laboratory animals’, 1(2), pp. 87–93. Available at:

83
https://doi.org/10.4103/0976-500X.72350.
Parker, S. et al. (2010) ‘Ectromelia Virus Infections of Mice as a Model to
Support the Licensure of Anti-Orthopoxvirus Therapeutics’, pp. 1918–
1932. Available at: https://doi.org/10.3390/v2091918.
Parkinson, C. et al. (2011) ‘Diagnostic Metode Pemilihan dan Pembuatan
Hewan Model Beberapa Penyakit Pada 89 Penelitian Eksperimental
necropsy and selected tissue and sample collection in rats and mice’,
Journal of Visualized Experiments, 54, pp. 1–6.
Permatasari, A. (2019) Mengapa Tikus Putih Dipilih sebagai Hewan Percobaan.
Available at: https://www.dictio.id/t/mengapa-tikus-putih-dipilih-
sebagai-hewan-percobaan-pada-penelitian/121027.
Putu, N. et al. (2014) ‘Respon Limfosit T Sitotoksik Pada Gingivitis Setelah
Pemberian Kurkumin ( Citotoxic T Lymphocytes Response in Gingivitis
After Curcumin Given )’, Pustaka Kesehatan, 2(1), pp. 42–49.
Rafiyan, M. et al. (2023) ‘Experimental Animal Models of Chronic
Inflammation’, Current Research in Immunology, 4(May), p. 100063.
Available at: https://doi.org/10.1016/j.crimmu.2023.100063.
Rahayu, S., Susilawati, T. and Suwando, A. (2020) Biologi Reproduksi. Malang:
UB Press.
Ridconi, A., Satoto, H. and Budiono, U. (2011) ‘Midazolam Intravena Dosis
Rendah Tidak Mempengaruhi Nitric Oxide Intraperitoneal Mencit
Balb/C Yang Terpapar Lipopolisakarida’, Jurnal Anestesiologi
Indonesia, 3(2).
Ridwan, E. (2013) ‘Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian
Kesehatan’.
Riskana, T. (1999) Pengaruh Kafein Terhadap Peningkatan kadar Asam Urat
Pada Darah Mencit. Universitas Brawijaya.
Rosidah, I. et al. (2020) ‘Profil Hematologi Tikus (Rattus norvegicus) Galur
Sprague-Dawley Jantan Umur 7 dan 10 Minggu’, Bioteknologi dan
Biosains Indonesia, 7(August), pp. 136–145.
Roughan, J. V and Sevenoaks, T. (2019) ‘Welfare and Scientific Considerations
of Tattooing and Ear Tagging for Mouse Identification’, 58(2). Available
at: https://doi.org/10.30802/AALAS-JAALAS-18-000057.
Runtulalu, D. et al. (2020) ‘Media Interaktif Pembelajaran Sistem Pencernaan’,
(031).
Sakala, I.G. et al. (2015) ‘Evidence for Persistence of Ectromelia Virus in Inbred
Mice , Recrudescence Following Immunosuppression and Transmission
to Na ï ve Mice’, pp. 1–26. Available at:
https://doi.org/10.1371/journal.ppat.1005342.
Serhan, C.N., Ward, P.A. and Gilroy, D.W. (2010) Fundamentals of
Inflammation. USA: Cambridge University Press.
Setiawan, A. and Kunci, K. (2014) ‘Segmentasi Citra Sel Darah Merah

84
Berdasarkan Morfologi Sel Untuk Mendeteksi Anemia Defisiensi Besi’,
3(1), pp. 1–8.
Setyawati, I. et al. (2019) ‘Biokimia Darah Tikus (Rattus norvegicus) Betina
Ovariektomi Setelah Perlakuan Ekstrak Daun Kaliandra Merah
(Calliandra calothyrsus Meissn.)’, Simbiosis, 7(1), pp. 1–3.
Shomer, N.H. et al. (2020) ‘Review of Rodent Euthanasia Methods’, Journal of
the America Association for Laboratory Animal Science, 59(3).
Available at: https://doi.org/10.30802/AALAS-JAALAS-19-000084.
Shoyaib, A. Al, Archie, S.R. and Karamyan, V.T. (2020) ‘Intraperitoneal Route
of Drug Administration : Should it Be Used in Experimental Animal
Studies ?’, 37(1), pp. 1–30. Available at: https://doi.org/10.1007/s11095-
019-2745-x.Intraperitoneal.
Smith, J.B. and Mangkowidjojo, S. (1988) Pemeliharaan, Pembiakan dan
Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: UI-Press.
Soemanadi, M. et al. (2014) ‘Factors Which Influenced on Two Years
REcurrence of Epithelial Ovarian Cancer Patients After Surgery and
Platinum Based Chemotherapy’, Indonesian Journal of Cancer, 8(4).
Stewart, M.., Cameron, G.. and Howie, J.. (1948) ‘Pathology and Bacteriology’,
Pathology Journal of the Pathological Society of Great Britain and
Ireland, 60, p. 1948.
Sudatri, N.W. et al. (2019) ‘Journal of Biological Sciences’, 6(1), pp. 7–13.
Surati, S. (2012) Pengaruh ekstrak daun salam (Syzygium polyanthum) terhadap
aktivitas makrofag pada mencit Balb/C yang diinfeksi Salmonella
typhimurium. Universitas Diponorogo.
Susilawati, T. (2011) SPERMATOLOGY. Malang: UB Press.
Susilawati, T.N., Cahyanto, E.B. and Sudarmaji, U. (2022) ‘Digitalisasi Layanan
Kaji Etik : Sebuah Studi Tata Kelola Komite Etik Penelitian’, (March).
Available at: https://doi.org/10.26880/jeki.v5i2.58.
Tahan, B. et al. (2019) ‘Pemeriksaan Jumlah Leukosit, Laju Endap Darah dan
Bakteri Tahan Asam (BTA) Pada Pasien Penyakit Tuberculosis Paru di
RSUD Langsa’, 1(2), pp. 6–15.
Tamam, B. (2016) ‘Anatomi, Morfologi dan Klasifikasi Mencit (Mus
musculus)’. Available at: https://generasibiologi.com/2016/12/anatomi-
morfologi-fisiologi-klasifikasi-nama-ilmiah-latin-mencit-mus-
musculus.html.
Taylor, E.B. and George, E.M. (2022) ‘Animal Models of Preeclampsia :
Mechanistic Insights and Promising Therapeutics’, Endocrinology,
(June), pp. 1–12.
Tim Medis Siloam Hospitals (2023) ‘Fungsi Usus Dua Belas Jari Beserta
Anatomi dan Fungsinya’. Available at:
https://www.siloamhospitals.com/informasi-siloam/artikel/fungsi-usus-
dua-belas-jari.

85
Trace, S. and Kolstoe, S. (2017) ‘Measuring inconsistency in research ethics
committee review’, BMC Med Ethics, 18(1).
Treuting, P., Dintzis, S.. and Montine, K.. (2012) Comparative Pathology:
Closing A Gap. Comparative Anatomy and Histology A Mouse and
Human Atlas. UK: Oxford Academic Press.
Treuting, P.M. and Dintzis, S.M. (2012) Comparative Anatomy and Histology.
Firts Edit. USA: Elsevier.
Utomo, Y. et al. (2012) ‘Studi Histopatologi Hati Mencit (Mus musculus L.)
Yang Diinduksi Pemanis Buatan’, Jurnal MIPA, 35(0215), pp. 122–129.
Veterinus, I.M. et al. (2021) ‘Kajian Pustaka : Penggunaan Mencit Sebagai
Hewan Coba di Laboratorium yang Mengacu pada Prinsip Kesejahteraan
Hewan’, 10(1), pp. 134–145. Available at:
https://doi.org/10.19087/imv.2020.10.1.134.
Wahyuni, I. (2015) Tingkah Laku, Reproduksi, dan Karakteristik Daging Tikus
Ekor Putih (Maxomys hellwandii). Institut Pertanian Bogor.
Wallis, C.. (1974) Practical zoology: For advanced level and intermediate
students. Sixth Edit. Butterworth-Heinemann: Oxford.
Wardiyah, A. et al. (2022) ‘Penyuluhan Kesehatan Tentang Pentingnya Menjaga
Kesehatan Alat Reproduksi’, Public Health Concern, 2(1).
WHO (1999) Laboratory Manual for the examination of human semen and
sperm- cervical mucus interaction. Fourth Edi. United Kingdom:
Cambridge University Press.
Wongso, H. and Halimah, L. (2014) ‘Prinsip Uji Praklinis dan Klinis dalam
Pengembangan Radiofarmaka Penyidik Kanker’, Jurnal Forum Nuklir,
8(1).
Yusuf, M. et al. (2022) PERCOBAAN Memahami Perawatan Dan
Kesejahteraan Hewan Percobaan. Makassar: Jurusan Biologi FMIPA
UNM.

86
GLOSARIUM

A.
Anatomi; Cabang ilmu pengetahuan tekait dengan struktur penyusun makhluk
hidup
Anastesi lokal; Obat yang menyebabkan tidak adanya sensasi nyeri
Animal Ethics; Cabang etika yang mengkaji hubungan manusia-hewan,
pertimbangan moral hewan dan bagaimana hewan bukan manusia
seharusnya diperlakukan
Aklimatisasi; Proses adaptasi makhluk hidup yang disebabkan perpindahan
lingkungan
Anoreksia; Gangguan mental yang memengaruhi pola atau cara makan penderita
Apusan; Metode dalam mikroteknik yang digunakan untuk membuat preparat
Antimikroba; Zat yang dapat menghambat atau mematikan infeksi mikroba pada
makhluk hidup
Adlibitum; Pemberian makan dan minum secara teratur dan terukur
Akurasi; Nilai yang mendekati dari hasil pengukuran dengan nilai sebenarnya
Abdomen; Bagian tubuh antara dada dan panggul, pada manusia dan vertebrata
lainnya
Antigen; Molekul bagian partikel asing atau allergen yang dapat menghasilkan
antibodi yang spesifik
Antitoksin; Sebuah antibodi dengan fungsi untuk menetralisir racun
Agresi; Tindakan memberontak saat disakiti, dapat disebabkan rasa sakit
Absolut; Mutlak
Akut; Kondisi atau penyakit yang bersifat mendadak

B.
Biologi; Cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai makhluk hidup
dan kehidupannya yang lebih kompleks
Bakteri; Mikroorganisme yang mempunyai satu sel pada tingkat domainnya
Biokimia; Cabang ilmu pengetahuan mengenai proses kimia yang terjadi
didalam tubuh
Biomedis; Jenis pengobatan dengan menangani gejala penyakit menggunakan
obat, radiasi atau pembedahan

87
D.
Dehidrasi; Kekurangan cairan didalam tubuh
Diagnosis; Identifikasi mengenai sesuatu
Difusi; Perpindahan zat pelarut dari konsentrasi tinggi ke zat terlarut konsentrasi
rendah
Diafragma; Otot yang terletak diantara rongga perut dan rongga dada
Degenerasi; Penurunan efisiensi fungsi sel, jaringan atau organ

E.
Embriologi; Cabang ilmu pengetahuan mengenai perkembangan embrio
Euthanasia; Tindakan mengakhiri hidup makhluk hidup secara sengaja untuk
menghilangkan penderitaannya
Eter; Suatu senyawa organik yang digunakan untuk euthanasia hewan coba
Eritrosit; Sel darah merah yang berfungsi untuk oksidasi jaringan-jaringan tubuh
EDTA; Obat yang digunakan dalam pengelolaan dan pengobatan toksisitas
logam berat
Eksploitasi; Penggunaan secara berlebihan dan tanpa aturan

F.
Fagositosis; Proses sel-sel khusus menelan atau memakan partikel asing
Fisiologis; Cabang ilmu pengetahuan mengenai zat hidup dalam tubuh
Filum; Tingkat klasifikasi dibawah kingdom
Famili; Tingkat klasifikasi yang tersusun dari beberapa genus
Fotoperiod; Reaksi fisiologis organisme terhadap lamanya malam atau periode
gelap. Hal terjadi pada tumbuhan dan hewan
Fomites; Benda mati yang dapat membawa dan menyebarkan penyakit dan agen
penular
Feses; Produk limbah akhir yang dihasilkan oleh sistem pencernaan
Flagellata; Protista mirip hewan
Fibrosis; Penyembuhan luka dengan adanya pembentukan jaringan permanen
Farmakologi; Cabang ilmu pengetahuan mengenai obat secara biologis
Fragmen; Terbagi-bagi dalam satu keseluruhan
Formalin; Senyawa kimia yang berbau menyengat dan tidak berwarna, dipakai
dalam pengawetan

88
G.
Genetika; Cabang ilmu pengetahuan mengenai pewarisan sifat
Gejala; Ciri-ciri yang menunjukkan adanya gangguan kesehatan
Gram; Teknik pewarnaan pada identifikasi bakteri
Gavage; Pemasukan bahan ke dalam lambung melalui selang

H.
Histopatologi; Cabang ilmu pengetahuan mengenai fungsi jaringan
Handling; Menggambarkan bagaimana manusia merespons dan berinteraksi
dengan hewan
Halothane; Cairan bening, berat, dan tidak berwarna dengan bau manis dan tidak
menyebabkan iritasi
Hormon; Senyawa kimia yang diproduksi oleh sistem endokrin yang terdiri dari
beberapa kelenjar dalam tubuh
Hemoglobin; Protein yang berperan dalam penyaluran oksigen dalam darah
Hematologi; Studi kesehatan yang khusus mempelajari mengenai darah beserta
gangguannya
Hematokrit; Pengukuran persentase volume darah
Hemolisis; Kerusakan sel darah merah akibat komponen intraselulernya
Heparine; Obat dan glikosaminoglikan alami

I.
Infeksi; Penyakit pada jaringan dikarenakan mikroorganisme
Infertilitas; Kondisi dimana pasangan tidak dapat mencapai kehamilan
Inflamasi; Respon biologis kompleks terhadap cedera atau iritasi pada jaringan
tubuh
Identifikasi; proses pengenalan, menempatkan objek atau individu dalam sebuah
kelas sesuai dengan karakteristik tertentu
Injeksi; Salah satu tindakan medis yang dilakukan dengan menusukkan jarum ke
dalam pembuluh darah
In-vitro; Eksperimen atau prosedur yang dilakukan di luar tubuh atau lingkungan
alami organisme
In-vivo; Eksperimen atau penelitian yang dilakukan di dalam tubuh organisme
hidup atau lingkungan alaminya
Intravena; Pemberian obat melalui pembuluh darah

89
Intraperitonial; Cara pemberian terapi dan obat-obatan melalui jalur peritoneum
(rongga tubuh)
Intramuscular; Pemberian obat ke kedalaman otot yang dipilih secara khusus
Imunohistokimia; Metode yang digunakan untuk identifikasi dan mengamati
lokasi serta distribusi antigen dalam jaringan biologis menggunakan
pewarnaan

J.
Jaringan; Kumpulan beberapa sel yang memiliki bentuk yang sama dan fungsi
yang sama agar dapat bekerja dengan baik

K.
Klasifikasi; Penyusunan kelompok berdasarkan kaidah
Kingdom; Kerajaan suatu makhluk hidup
Karbohidrat; Golongan besar senyawa organi yang terdiri dari karbon, oksigen
dan hidrogen
Kelembapan; Kandungan uap air yang ada di udara
Kronis; Penyakit yang diderita dalam kurun waktu lama
Kultur jaringan; Metode yang bertujuan mengisolasi suatu bagian dari jaringan
Komersil; Suatu yang memiliki nilai jual-beli
Kelenjar; Organ tubuh yang mensintesis suatu zat untuk dikeluarkan
Kloroform; Sering digunakan sebagai bahan pembius, namun dapat merusak
ginjal dan liver
Krenasi; Proses menyusutnya sel karena berada dalam larutan hipertonik
Kronis; Kondisi atau penyakit yang bersifat jangka panjang dan berkembang
secara perlahan-lahan
Kapiler; Pembuluh darah terkecil didalam tubuh
Kontaminasi; Keadaan yang dapat merusak suatu objek sehingga tidak murni
lagi

L.
Lemak; nutrisi penting yang berfungsi sebagai sumber energi, melindungi organ
tubuh dan membantu penyerapan vitamin
Laten; Bakteri yang masuk kedalam tubuh dalam keadaan dorman

90
Leukosit; Salah satu komponen sel darah yang mengandung sedikit hemoglobin,
sehingga warnanya lebih pucat, berfungsi sebagai antibody
Lesi; Keadaan jaringan yang abnormal pada tubuh

M.
Mamalia; Kelompok hewan menyusui yang memiliki beragam spesies dan
tersebar luas di muka bumi
Manipulasi genetic; Perubahan materi genetik organisme hidup dengan
memasukkan, mengganti, atau menghapus sekuens DNA
Mineral; Padatan senyawa kimia yang terbentuk secara alami
Modifikasi; Suatu proses perubahan
Morfologi; Ilmu tentang bentuk, baik itu hewan, tumbuhan dll
Motil; Kemampuan untuk bergerak
Mikroskopis; Ukuran yang sangat kecil
Maserasi; Proses perendaman sampel menggunakan pelarut organik
Membran; Selaput yang berfungsi sebagai pemisah

N.
Nutrisi; Kandungan gizi dari bahan pangan yang dikonsumsi
Nekrosis; Kematian suatu sel dan jaringan disebabkan oleh penyakit
Nokturnal; Hewan yang aktif pada malam hari
Nukleus; Inti sel

O.
Omnivora; Hewan pemakan segala
Ordo; Suatu tingkat atau takson antara kelas dan famili
Obligat; Organisme yang menumpang hidup pada inangnya
Oral; memasukkan obat menggunakan gavage langsung ke esophagus
Osmotik; Perpindahan zat pelarut dari konsentrasi rendah ke zat pelarut dengan
konsentrasi tinggi

P.
Patologi; Cabang ilmu pengetahuan mengenai proses terjadinya penyakit
Peristaltik; Serangkaian kontraksi dan relaksasi otot yang terjadi pada dinding
organ tubular

91
Poliestrus; Proses siklus estrus yang lebih dari satu kali
Protein; Salah satu nutrisi penting yang bekerja untuk mendukung pertumbuhan
sel
Pengerat; Hewan mamalia yang memiliki karakteristik utama menggerogoti atau
mengunyah tanpa henti
Populasi; Kumpulan individu ditempat yang sama
Psikologi; Cabang ilmu pengetahuan mengenai tingkah laku
Pupil; Bagian mata berwarna bulat hitam

R.
Reproduksi; Proses makhluk hidup menghasilkan keturunan
Rodentia; Hewan pengerat yang dicirikan oleh sepasang gigi seri yang terus
tumbuh
Rekayasa gen; Pengubahan susunan genetic makhluk hidup
Representatif; Perbuatan yang mewakili, ataupun keadaan yang bersifat
mewakili
Reagen; Bahan yang digunakan dalam praktikum untuk segala reaksi kimia
Reversibel; reaksi kimia yang dapat kembali kebentuk semula setelah reaksi
selesai

S.
Siklus estrus; Perubahan fisiologis yang terjadi pada organ reproduksi betina
Spesies; Suatu peringkat klasifikasi untuk satu individu
Simplisia; Bahan alami yang digunakan untuk obat dan belum mengalami
perubahan proses apapun
Stress; perasaan ketegangan emosional atau fisik
Steril; Tidak dapat menghasilkan keturunan
Suhu; Ukuran kuantitatif dari temperatur, panas atau dingin, dan diukur
menggunakan thermometer
Sub-akut; Kondisi atau penyakit yang berada diantara akut dan kronis dalam hal
onset dan durasi
Stenosis: Tekanan pada sumsum tulang belakang ke otot
Serologis; Hal-hal yang berkaitan dengan reaksi antigen-antibodi secara in vitro
Serotype; Variasi diantara sel-sel individu yang berbeda
Subkutan; Penyuntikkan obat ke lapisan lemak di antara kulit dan otot

92
Sentrifuge; Alat laboratorium yang digunakan untuk memisahkan partikel
tersuspensi dalam cairan menurut ukuran partikel dan kepadatan,
viskositas medium serta kecepatan rotor

T.
Toksikologi; Cabang ilmu pengetahuan mengenai efek bahaya suatu zat
terhadap tubuh dan lingkungan
Trombosit; Bagian darah yang berfungsi dalam pembekuan darah
Turk; Larutan yang dipakai untuk pengencer darah pada saat perhitungan sel
darah putih (leukosit)

V.
Vitamin; Molekul organic yang penting bagi suatu organisme dalam jumlah
kecil untuk fungsi metabolisme yang tepat
Virus; Mikroorganisme yang tidak dapat bereproduksi sendiri
Vena; pembuluh darah yang berada dekat dengan permukaan tubuh, sehingga
bisa terlihat dari permukaan kulit berupa garis bercabang
Vaskularisasi; pembentukan pembuluh darah secara abnormal atau berlebihan

Z.
Zoologi; cabang keilmuan biologi yang mempelajari tentang hewan

93

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai