Anda di halaman 1dari 3

Kalah Pileg, Tidak Perlu Mengumbar

Kebencian Apalagi Rasis


by Ryan Kewet terbit di Kalawai Org pada tanggal 11 March 2024

Pasca pemilihan umum (pemilu) serentak baik presiden (Pilpres) maupun legislatif (Pileg) 14
Februari 2024 dilaksanakan. Kita mulai melihat beragam komentar negatif tentang terlipilihnya
wakil-wakil rakyat Papua di tingkat kota, kabupaten, provinsi maupun yang mewakili Papua di
Senayan, Jakarta. Terutama karena banyak di hiasasi nama-nama orang non Papua. Beragam
komentar yang bernada kesal terhadap proses pileg lebih ramai di Papua ketimbang membahas
terpilihnya Prabowo Subianto menjadi Presiden Indonesia melalui hasil quick count. Kemenangan
seorang yang paling bertanggung jawab pada berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
baik penculikan dan penghilangan aktivis 1998 hingga operasi militer di Mapenduma Papua.
Sepertinya, mau seburuk apapun otoritarianisme yang mungkin di kembalikan oleh mantan
menantu Soeharto ini, sama sekali tidak menarik mereka-mereka di sini.

Marah dan kesal pada proses Pileg di Papua ini dialamatkan kepada oknum-oknum politisi non
Papua yang berhasil meraup suara luas hingga lolos menjadi mewakili Papua di tingkat kota,
Kabupaten, Provinsi, maupun ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) di
Senayan, Jakarta. “ Woi Pencuri, tidak cukup ka kam datang ambil semua sekarang kalian ambil
jatah kami, datang ambil semuanya dan kini mengambil hak keslungan kami sebagai orang Papua,
rakus kekayaan alam dan kini ingin memonopoli jabatan politik yang seharusnya hanya orang
Papua yang isi”. Masih banyak lagi lainnya. Berbagai bentuk sindiran dan kemarahan proses pileg
yang di tujukan kepada politisi non Papua itu dapat kita lihat dalam postingan berbagai platform
media sosial hingga diskusi diberbagai ruang dan di para-para.
Sindiran-sindirian kepada non Papua ini menjadi bias dan menyasar umum. Seolah-olah semua
orang non Papua mimiliki karakter seperti itu, atau kemenangan politisi non Papua di dapil Papua
karena kontribusi suara warga non Papua, tanpa menganilisis faktor-faktor penentu kemenangan
calon tertentu seperti money politic, praktik kolusi, korupsi, dan nipotisme (KKN), hingga
kepentingan negara menempatkan mereka di sana. Sindiran-sindiran itu juga bernada rasis dan
salah alamat, karena warga non Papua bukan warga negara asing yang tidak di izinkan ikut pileg
maupun pilkada, sebab de jure dan de facto Tanah Papua adalah bagian dari Republik Indonesia
saat ini, Papua bukan negara yang proses demokrasinya hanya akan diikuti oleh orang Papua
sendiri. Ini adalah Pileg di bawah konstitusi republik Indonesia yang tidak berlaku batas-batas
suku ras, bahkan agama. Berapapun politik identitas mau dikumandangkan, tidak akan bisa
merubah ketetapan konstitusi yaitu Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang
Pemilu No 7 Tahun 2017, UU kependudukan No 23 Tahun 2006 yang mengikat secara nasional.
Apalagi status otonomi khusus Papua selama ini memang tidak berguna.

Maka jika kalah dalam konstelasi politik perebutan kursi legislatif, akuilah kekalahan itu sebagai
seorang politisi Indonesia asal Papua yang baik. Akuilah bahwa kekalahan tersebut bagian dari
bentuk tidak ada kesiapan anda, Dewi Fortuna tidak memihak anda, sehingga tidak menimbulkan
kekisruhan dengan menyebarkan fitnah, rasis, dan ujaran kebencian, karena hanya akan memupuk
konflik horisontal. Konflik-konflik sosial sesama rakyak kecil sama sekali tidak akan
menguntungkan perjuangan pembebasan di Papua. Kecuali jika secara segaja dan dengan massif
di “mainkan” untuk mengadu domba rakyat kecil di Papua.

Kekalahan siapapun politisi Papua pada pemilu kemarin tentunya dipengaruhi banyak sebab
mendasar, tidak punya kesiapan finansial, tanpa relasi kuasa, massa pendukung, atau mungkin
rakyat sudah terdidik pada semua proses demokrasi ini. Karena siapapun yang akan terpilih di
parlemen tidak akan ada faedahnya bagi kehidupan rakyat sehari-hari. Harga Bahan Bakar Minyak
(BBM) akan melambung tinggi, harga sembako yang terus meroket, biaya pendidikan yang kian
mahal, masyarakat adat akan kehilangan tanah secara cuma-cuma, sedangkan para dewan
terhormat yang sudah terpilih akan tunduk pada koalisi partai yang ikut merancang semua itu.
Dewan Papua dan non Papua di Parlemen tidak akan berguna, keduanya akan menjadi borjuis baru
yang hanya tunduk kepada penguasa kepada partai dan kepada presiden terpilih nanti, yaitu
Prabowo Subianto.

Mau sampai kapan politik identitas terus di goreng di tiap pilkada dan pileg Papua bahwa musuh
orang Papua adalah non Papua. Padahal, setelah pileg berakhir rakyat kecil ini akan kembali ke
jalanan dan di pasar-pasar untuk berjualan, akan kembali bekerja sebagai buruh pabrik, buruh
pertokoan, buruh perkebunan, menjadi buruh bangunan dan bongkar muat di pelabuhan, kembali
kepada rutinas bersama sehari-hari di sekolah, di kampus, di gereja, di masjid dan kantor-kantor
tanpa ada sekat-sekat identitas politik dan kebencian rasialis itu. Karena apa, karena rakyat kecil
itu orang biasa-biasa yang selalu di perdaya setiap momentum politik tertentu.

Sebab itu, kesadaran politik rakyat menjadi sangat penting dalam menyikapi dinamika politik tiap
pilkada dan pileg, yang sengaja di permainkan oleh para politisi yang gagal, atau mungkin di
hembuskan oleh intelejen sebagai kontra revolusi dari gerakan-gerakan pebebasan Papua yang
mulai melihat peran rakyat Indonesia di Papua. Bahwa persatuan rakyat Papua dengan dukungan
luas rakyat Indonesia di Papua akan melemahkan negara dan sistem yang dia bangun selama ini.
Terutama dengan memoblisasi rakyat Indonesia ke Papua sejak 1970 sampai sekarang, hanya
untuk di sebarkan di wilayah-wilayah investasi, menjadikan mereka tenaga kerja murah,
menempatkan penduduk migrasi ke daerah pedalaman yang menjadi basis gerakan bersenjata
secara sengaja agar menjadi korban perang, membangun komunitas masyarakat yang baru sebagai
upaya peleburan berbagai kebudayaan antara suku dengan tujuan menghilangkan akar-akar
kebudayaan masing-masing atau salah satu menjadi dominan terhadap kebudayaan lain. Sama
seperti Papua, mereka tentu tidak ingin terlepas dari akar kebudayaan mereka, kehilangan tanah,
dan mengalami kesulitan-kesulitan hidup hingga terpaksa menerima tawaran-tawaran negara dan
kapitalis ke Papua.

Migrasi penduduk adalah misi dan strategi senyap dari praktik kolonialisme untuk memperluas
ekspansi kapitalisme tanpa tidak dengan cara-cara kotor, seperti pembantaian pribumi lebih
dahulu. Buah dari praktek kolonialisme dan kapitalisme itu sedang kita saksikan sekarang ini.
Bagaimana persaingan dan perebutan kekuasaan oleh para politisi yang sebentar lagi menjadi
cukong-cukong, kelas borjuis, pembantu setia negara dan pemodal untuk terus menyandera rakyat
Papua dalam ketidaktahuan, memelihara politik identitas, jadikan sebagai “bom waktu” untuk
kemudian hari. Sebaliknya juga berlaku bagai para politisi Non Papua yang terpilih mereka tidak
benar-benar mewakli audiensinya warga non Papua tetapi penguasa demi untuk bisnis dan
pengembangannya.

Maka dengan membangun narasi sesat dan kebencian setiap akhir pileg dan pilkada tidak akan
menyelesaikan persoalan-persoalan di Papua. Tidak akan mendorong kesadaran politik rakyat,
tidak membangun solidaritas antara rakyat Papua dan non Papua, justru rakyat menjadi saling
curiga, dan takut untuk bersatu.

***

Anda mungkin juga menyukai