Anda di halaman 1dari 9

187

Prinsip Non-Interference
Asean dan Problem Efektivitas
Asean Agreement on
Transboundary Haze Pollution
Sidiq Ahmadi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta
Ringroad Barat Tamantirto, Kasihan, Bantul 55183
Email: sidiqahmadi@umy.ac.id

Abstract
This paper examines the ineffectiveness ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP). A question that’s been trying to be
explained on this paper is Why ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution can’t run effectively. All this time, the explanation being used
that ineffectiveness of AATHP implementation caused by Indonesia who not ratified yet its agreement. It considered as logic because Indonesia is
the primary cause of smog that will be tackled by AATHP.
The writer’s main argument is ineffectiveness of AATHP influenced by non-interference principle on ASEAN, which really strong and reflected in
the content of the agreement which made AATHP legalization is low (soft law). Therefore, with the weak legally binding, even Indonesia ratified the
agreement, still the prospect implementation of the effectiveness is low.
Keywords: ASEAN, haze pollution, non-interference, Special economic zone, soft law.

Abstrak
Tulisan ini membahas masalah ketidakefektifan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP). Pertanyaan yang coba dijelaskan
dalam tulisan ini adalah mengapa ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution tidak mampu berjalan secara efektif. Selama ini penjelasan
yang sering dikemukakan bahwa ketidak efektifan implementasi AATHP disebabkan oleh belum meratifikasinya Indonesia terhadap perjanjian
tersebut. Hal ini dianggap logis karena Indonesia adalah penyebab utama bencana kabut asap yang akan ditanggulangi dalam AATHP.
Argumen utama penulis adalah ketidakefektifan AATHP dipengaruhi oleh prinsip non-interference dalam ASEAN yang sangat kuat tecermin dalam
isi perjanjian yang menjadikan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution memiliki legalisasi lemah (soft law). Maka dengan sifat mengikat
secara hukum yang lemah dalam perjanjian ini, seandainyapun Indonesia meratifikasinya tetap saja prospek efektivitas implementasinya rendah.
Kata Kunci: ASEAN, polusi asap. Non-intervensi, zona ekonomi khusus, soft law.

PENDAHULUAN
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh ASEAN ASEAN adalah kebakaran hutan yang terjadi hampir
sebagai organisasi kerja sama regional di Asia Tenggara setiap tahun. Kebakaran hutan menimbulkan kabut
adalah isu keamanan non-tradisional. Isu keamanan asap yang menyelimuti beberapa negara dan
non-tradisional adalah perluasan makna dari keamanan mengakibatkan kerugian baik ekologis, ekonomi
tradisional yang mencakup keamanan lingkungan yang maupun kesehatan.
berkaitan erat dengan kerusakan lingkungan,kelangkaan Periode kebakaran hutan yang terbesar terjadi
sumber daya dan konfllik (Collin dalam Cipto, 2006: disepanjang tahun 1997- 19981. Hampir 10 juta
223). Isu yang paling menjadi perhatian negara-negara hektar hutan hangus terbakar, kurang lebih 20 juta
188 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
VOL. 1 NO. 2 / OKTOBER 2012

orang di Asia Tenggara menghirup gas berbahaya yang ikut menyelesaikan masalah polusi asap di kawasan
terkandung dalam asap akibat pembakaran hutan. Asia Tenggara yang sebagian besar akibat kebakaran
Perhitungan secara ekonomi menunjukkan dampak hutan di Indonesia. Komitmen tersebut termasuk
kebakaran hutan tahun 1997 dan 1998 menunjukkan komitmen asistensi teknis penanggulangan kebakaran
kisaran angka US$4,5 milyar (EEPSEA, 1997 and hutan dan bantuan dana. Perjanjian tersebut berlaku
WWF, 1997) hingga US$ 9,3 milyar (BAPPENAS, efektif sejak 25 November 2003 setelah Thailand-
1999 and Asian Development bank, 1999). Kerugian sebagai negara keenam- menandatangani perjanjian
tersebut muncul akibat kerusakan sumber daya dari tersebut . Enam negara merupakan syarat minimum
pertanian dan kehutanan, penurunan aktivitas bagi perjanjian tersebut untuk dapat berlaku efektif.
pariwisata, dan investasi asing, serta kerugian dari Negara-negara ASEAN yang telah menandatangani
sektor kesehatan masyarakat. Kerugian jangka panjang perjanjian tersebut adalah Malaysia, Singapura, Brunei
masih sulit diprediksi, seperti hilangnya aspek Darussalam, Myanmar, Vietnam dan Thailand. Hingga
keragaman hayati dan penurunan produktivitas tahun 2006 telah 7 negara yang meratifikasi perjanjian
pertanian dan kehutanan. Jika dirinci, kerugian ini tersebut , setelah Laos meratifikasinya pada tahun
termasuk nilai kayu yang musnah sebesar 494 juta 2004. Sementara Indonesia sebagai pihak yang paling
dollar AS, hilangnya hasil pertanian senilai 470 juta banyak menjadi target dari banyak pasal dalam AATHP
dollar AS, kerugian 1,8 miliar dollar AS yang setara sampai sekarang belum meratifikasinya.
dengan lenyapnya fungsi hutan sebagai penyedia Namun perjanjian tersebut seolah tidak bermakna,
makanan, obat-obatan, air, pencegah erosi, dan karena pada tahun tahun berikutnya kebakaran dan
pengendali badai, serta 272 juta dollar AS untuk bencana asap masih saja terjadi. Pada tahun 2005,
estimasi kerusakan ekonomi guna kontribusi 2006 dan 2007 bencana kabut asap ini kembali
pemanasan global (Kompas, 2003). memicu persoalan.Kebutuhan dasar masyarakat
Menurut situs WWF Indonesia, Dalam kebakaran Malaysia sebagai manusia terganggu oleh udara yang
besar tahun 1997 – 1998 lebih dari 10 juta hektare mereka hirup tercemari oleh kabut asap dan bahkan
lahan terbakar. Kerugian Indonesia tercatat 3 milyar mengakibatkan kematian bagi masyarakat Malaysia.
dollar Amerika. Indonesia kebakaran tersebut Dalam beberapa kasus Indeks Polusi Udara (air pollu-
menghasilkan Emisi Gas Rumah Kaca sebanyak 0,81 - tion index/API) Kamis, 11 Agustus 2005 mencapai
2,57 giga ton karbon. Jumlah itu setara dengan 13 % 529 di Port Klang, pusat perkapalan penting di
– 40 % total emisi karbon dunia yang dihasilkan oleh Malaysia, dan 531 di Kuala Selangor. Tingkat API
bahan bakar fosil per tahunnya. Hal ini berarti berada di atas 300 dapat dikategorikan berbahaya
berkontribusi cukup signifikan terhadap pemanasan sementara 500 dapat memicu keadaan darurat. Jumat,
global. Namun dampak paling besar dialami oleh 12 Agustus 2005 kabut asap agak bersih di pantai
negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara yang barat, tetapi di Kuala Lumpur API meningkat dari 321
menerima kiriman asap dari Indonesia. Dampak asap menjadi 365 (Pikiran Rakyat, 2005).
ini dirasakan oleh setidaknya 70 juta orang di enam Departemen Lingkungan Malaysia mengatakan
negara ASEAN (WWF). bahwa kualitas udara akibat kabut asap yang terjadi
Dalam rangka untuk menyelesaikan masalah polusi pada tahun 2006 lebih buruk untuk kesehatan
asap ini, Negara-negara ASEAN telah melakukan manusia dibandingkan akibat kabut asap pada tahun
beberapa upaya dan akhirnya pada tahun 2002 Asean 1997. Kualitas udara yang buruk ini tersebar di 32
menyepakati sebuah komitmen bersama yang disebut wilayah Malaysia. Oleh karena itu, pemerintah Malay-
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution sia menyatakan keadaan darurat di daerah sekitar Kuala
(Weatherbee, 2005:273-274). Dalam agreement ini Lumpur, setelah kabut asap tebal menyelimuti
setiap negara yang meratifikasi berkomitmen untuk kawasan itu. Malaysia mengumumkan langkah-langkah
Sidiq Ahmadi
Prinsip Non-Interference Asean dan Problem Efektivitas Asean Agreement on Transboundary Haze Pollution 189

darurat termasuk menutup sekolah-sekolah dan mengangkat isu kabut asap Indonesia dalam Sidang
meminta warga untuk mengenakan masker (BBC). Di Umum PBB pada tanggal 20 Oktober 2006. Hal ini
sisi lain, kabut asap mengakibatkan banyaknya para mendapat protes dari pemerintah Indonesia, sehingga
investor asing takut untuk berinvestasi di Indonesia, mengakibatkan adanya hubungan yang kurang
Malaysia dan Singapura. Karena dengan adanya kabut harmonis antara Indonesia-Singapura. Sebagai sebuah
asap mengakibatkan banyaknya biaya dan resiko yang bentuk protes dari Indonesia, Menteri Perdagangan
harus mereka tanggung. Indonesia, Fahmi Idris memboykot pertemuan antara
Bagi Indonesia kebakaran hutan telah Indonesia-Singapura mengenai Special Economic Zones
mengakibatkan kerugian ekonomi dari degradasi dan di Batam. Menurut kantor berita Antara, Fahmi Idris
deforestasi hutan di Indonesia berkisar antara 1,62-2,7 mengatakan bahwa “saya tidak akan menghadiri
miliar dollar AS (Haze Online) dan jumlah ini bisa pertemuan sebagai bentuk protes terhadap langkah
lebih tinggi jika dihitung hilangnya flasma nutfah dan Singapura yang membawa masalah kabut asap ke
keragaman hayati yang dimiliki hutan. tingkat Sidang Umum PBB, sedangkan Singapura
Secara tidak langsung, kabut asap yang terjadi sebelumnya telah setuju untuk mengatasi masalah ini
mempengaruhi hubungan antara Indonesia, Malaysia pada tingkat ASEAN” (Jeffooi, 2006).
dan Singapura. Hubungan yang terjadi akibat kabut Salah satu yang sering dijadikan alasan mengapa
asap bisa saja menghasilkan sebuah bentuk kerjasama perjanjian ini tidak efektif adalah belum
dan bahkan terjadinya perselisihan di antara negara- meratifikasinya Indonesia dalam ASEAN Agreement on
negara yang menderita akibat kabut asap. Kabut asap Transboundary Haze Pollution ini. Indonesia adalah
yang melanda Malaysia dan kawasan Asia Tenggara penyebab utama bencana kabut asap ini karena 70%
lainnya telah mengakibatkan meningkatnya konstelasi kebakaran hutan terjadi di Indonesia. Secara sekilas
politik di kawasan tersebut. Di Malaysia Partai oposisi penjelasan ketidak efektifan ASEAN Agreement on
terbesar di Malaysia, Parti Tindakan Demokratis, Transboundary Haze Pollution disebabkan oleh belum
(DAP) berdemonstrasi di luar kedutaan Indonesia di meratifikasinya Indonesia bisa diterima. Namun
Kuala Lumpur. Partai itu mengatakan kabut asap ini dengan menggunakan cara berfikir counter factual
merupakan ancaman bagi ekonomi dan kesehatan perlu diajukan pertanyaan apakah jika Indonesia sudah
jutaan warga Malaysia. Mereka mendesak ASEAN meratifikasi perjanjian, ASEAN Agreement on
supaya mengambil tindakan atas masalah itu Transboundary Haze Pollution akan bisa
(Voanews, 2006). diimplementasikan secara efektif? Oleh karena itu
Tindakan yang dilakukan oleh Partai oposisi perlu dilakukan analisis terhadap isi perjanjian itu
Malaysia diatas secara tidak langsung mengartikulasikan sendiri, mengingat kesepakatan tentang aksi bersama
bagaimana pendapat dan persepsi dari sebagian menganggulangi masalah polusi asap sebelumnya juga
masyarakat Malaysia terhadap kabut asap yang terjadi. tidak berjalan efektif.
Pemerintah Malaysia mendesak Indonesia untuk segera
mengatasi kebakaran hutan agar kabut asap agar PEMBAHASAN
Malaysia tidak menerima dampak dari kabut asap. PRINSIP NON INTERFERENCE ASEAN
Untuk menyelesaikan masalah ini pemerintah Malaysia Menurut Acharya, prinsip non interference atau
mengatakan bahwa pihaknya tidak akan mengambil tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain
pendekatan konfrontatif terhadap pemerintah Indone- adalah satu dari tiga norma dasar dalam ASEAN yang
sia karena ada kebutuhan yang lebih luas untuk tumbuh dan dalam proses evolusi ASEAN sebagai
memelihara hubungan mereka. organisasi regional (Acharya, 2001:45). Prinsip ini
Sedangkan Singapura lebih memilih membawa secara kuat tercantum dalam dokumen-dokumen
masalah kabut asap di tingkat dunia. Singapura ASEAN seperti Treaty of Amity and Cooperation
190 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
VOL. 1 NO. 2 / OKTOBER 2012

1976 sampai dalam Asean Charter yang baru-baru ini ability and commitment of the international community
ditandatangani (Asiansec.org) and of international insititution is also tested
Prinsip ini telah menjadi landasan bagi ASEAN (Ramcharan dalam Siddique dan Kumar, 2003:53).
sehingga dapat memelihara hubungan baik antar
anggota ASEAN dan terbukti dapat membebaskan Beberapa fakta di atas menunjukan bahwa prinsip
kawasan ini konflik terbuka sejak ASEAN berdiri. non interference tetap menjadi prinsip yang sangat
Kuatnya prinsip non inteference dalam ASEAN dapat berpengaruh dalam hubungan antar negara ASEAN
dipahami dari latar belakang sejarah negara-negara Asia dan mekanisme institutional dalam ASEAN bahkan
Tenggara:sejarah intervensi kolonial, intervensi militer pada saat krisis atau menghadapi masalah yang emer-
negara adidaya pada era perang dingin, perselisihan dan gency.
konflik internal terutama yang bersumber dari gerakan Akhirnya pada tahun 2002 negar-negara ASEAN
komunis dan gerakan pemisahan diri (Ramcharan menyepakati sebuah komitmen bersama yang disebut
dalam Siddique dan Kumar, 2003:53). ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution
Prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri (Weatherbee, 2005:273-274). Dalam agreement ini
negara lain ini kemudian mendapat ujian bagi setiap negara yang meratifikasi berkomitmen untuk
relevansinya dalam menghadapi isu keamanan non ikut menyelesaikan masalah polusi asap di kawasan
tradisional seperti masalah kabut asap. Bencana kabut Asia Tenggara yang sebagian besar akibat kebakaran
asap yang sangat parah di tahun 1997-1999 yang hutan di Indonesia. Komitmen tersebut termasuk
bersumber dari kebakaran hutan di Indonesia komitmen asistensi teknis penanggulangan kebakaran
mengakibatkan kerugian tidak hanya di Indonesia, hutan dan bantuan dana. Perjanjian tersebut berlaku
bahkan meluas ke Singapura, Malaysia dan Brunei. efektif sejak 25 November 2003 setelah Thailand-
Prinsip non inteference menjadikan negara-negara sebagai negara keenam- menandatangani perjanjian
ASEAN cenderung menganggap masalah ini sebagai tersebut . Enam negara merupakan syarat minimum
masalah dalam negeri. Tidak ada upaya ASEAN untuk bagi perjanjian tersebut untuk dapat berlaku efektif.
misalnya meminta pertanggung jawaban hukum Negara-negara ASEAN yang telah menandatangani
kepada Indonesia atas kegagalannya mengatasi masalah perjanjian tersebut adalah Malaysia, Singapura, Brunei
kebakaran hutan dan kegagalan menegakan hukum Darussalam, , Myanmar, Vietnam dan Thailand.
domestiknya yang telah merugikan negara-negara lain Hingga tahun 2006 telah 7 negara yang meratifikasi
(Jin Tan, 2005:647-722). Negara-negara tetangga yang perjanjian tersebut , setelah Laos meratifikasinya pada
paling dirugikan seperti Malaysia, Singapura, dan tahun 2004. Sementara Indonesia sebagai pihak yang
Brunei cenderung menyikapi melalui protes dengan paling banyak menjadi target dari banyak pasal dalam
gaya diplomasi yang sangat sopan. Beberapa bantuan AATHP sampai sekarang belum.
dan asistensi juga ditawarkan oleh Malaysia dan Lagi-lagi ketika Indonesia,sebagai negara yang
Singapura. seharusnya paling bertanggung jawab terhadap bencana
Menyikapi reaksi ASEAN dalam menangani polusi kabut asap (haze) di kawasan Asia Tenggara
bencana kabut asap ini sampai saat ini belum meratifikasi perjanjian tersebut,
Simon Tay menyatakan: ASEAN juga tidak memiliki otoritas untuk
The Fires have implication for regional and inter-regional mengambil tindakan yang lebih jauh. Hanya himbauan
politics too. The ability of ASEAN ro react to the fires, or agar Indonesia segera meratifikasi AATHP yang muncul
their inability do so, will test the working relationship sebagai respon ketika kebakaran hutan di Indonesia
between the members states adn affect the grouping’s terjadi lagi pada tahun 2005,2006 dan 2007.
credibility in the eyes of other. Given the global implica-
tions of the fires to biodiversity and global warming, the
Sidiq Ahmadi
Prinsip Non-Interference Asean dan Problem Efektivitas Asean Agreement on Transboundary Haze Pollution 191

PENGARUH ASPEK PRINSIP NON INTERFERENCE ASEAN legalisasi suatu hukum internasional. Akan tetapi,
TERHADAP LEGALISASI (AATHP) ketiga aspek tersebut tidak dapat dijadikan satu
Selain alasan karena Indonesia belum meratifikasi kesatuan yang menentukan bentuk legalisasi, karena
AATHP sebagai penjelasan ketidakefektivan masing-masing aspek dari legalisasi ini memiliki
implementasi perjanjian tersebut, kita perlu melihat tingkat, baik rendah maupun tingginya secara indepen-
bagaimana perjanjian itu sendiri. Seandainya Indonesia dent. Kondisi demikian yang disebut oleh Abbot
meratifikasi AATHP apakah AATHP akan serta merta sebagai “ The dimension of legalization”. Dari situlah
efektif sebagai kerangka kerja sama ASEAN dalam akhirnya menimbulkan efek dari proses
menanggulangi bencana kabut asap di kawasan ini. pengimplementasian dari hukum internasional yang
Salah satu aspek yang sangat menentukan efektifitas memiliki tingkat obligasi, presisi, dan delegasi yang
sebuah perjanjian internasioanal menurut Kenneth W. tinggi, adapula yang memiliki elemen obligasi dan
Abbot adalah legalisasi. Legalisasi didefinisikan Abbot presisi yang tinggi, namun unsur delegasinya rendah,
sebagai the degree to wich rules are obligatory, the precision of dan adapula legalisasi yang ketiga aspek tersebut
those rules, and the delegation of some functions of interpreta- bersifat rendah/lemah.
tion, monitoring, and implementation to a third party Dari kombinasi aspek-aspek legalisasi di atas sebuah
(Abbot and Snidal, 2000). Derajat tiga elemen hukum sering dikategorikan sebagai hard law atau soft
legalisasi yaitu obligasi, presisi dan delegasi ini law. Istilah hard law merujuk pada perjanjian
menurut Abbot akan mempengaruhi efektifitas sebuah internasional yang memberi obligasi (O) mengikat
hukum internasional. pada para pesertanya diungkapkan dengan mendetail/
Obligasi adalah aspek legalisasi yang mencerminkan precision (P), dan aktor yang terlibat mendelegasikan
tingkat kewajiban atau pengikatan negara atau aktor (D) otoritas implementasi dan interpretrasi perjanjian
lain oleh sekumpulan aturan atau sekumpulan tersebut. Dengan legalisasi yang kuat tingkat kepatuhan
komitmen yang akhirnya berefek pada tingkah laku terhadap hukum cenderung tinggi, akan tetapi di sisi
dan tindakan aktor tersebut sesuai dengan aturan- lain proses pencapaian kesepakatan cenderung lama
aturan umum, prosedur serta diskursus diskursus dan sulit. Sementara, soft law adalah sebuah perjanjian
hukum internasional, dan juga domestik. Presisi internasional yang lemah dalam ketiga faktor diatas
adalah aspek legalisasi yang mencerminkan derajat (o,p,d). Soft law seringkali dianggap membuat seluruh
ketidak-ambiguan aturan-aturan yang ada, sehingga bisa sistem hukum internasional tidak banyak berguna,
secara pasti(unambigously) dijadikan sebagai suatu acuan akan tetapi soft law sebenarnya memiliki tujuan dan
tingkah laku yang diperbolehkan, dan dikehendaki manfaat tersendiri. Soft law sering sekali dipilih sebagai
ataupun yang dilarang bagi para aktor-aktornya. batu loncatan bagi terbentuknya hukum yang lebih
Sedangkan delegasi, berarti ditetapkannya pihak ketiga kuat, namun sebenarnya soft law memiliki beberapa
yang diberikan kuasa untuk mengimplementasikan, keuntungan sendiri. Antara lain karena memang soft
menginterpretasikan, dan mengaplikasikan peraturan- law akan lebih lebih mudah untuk disepakati, lebih
peraturan tersebut dan juga menyelesaikan sedikit mengancam terhadap kedaulatan, dan tentu
persengketaan, serta adanya kemungkinan membuat saja memberikan aktor lebih banyak ruang gerak
aturan yang baru. terhadap ketidakpastian dan kesempatan (Abbot and
Suatu hukum internasional dapat dikatakan Snidal, 2000).
memiliki tingkat legalisasi yang tinggi ,jika ketiga aspek Dengan melihat track record ASEAN dengan
dari legalisasi tersebut( obligasi, presisi, dan delegasi), prinsip non interference yang sangat kuat, pilihan
atau setidaknya aspek obligasi dan delegasinya tinggi. legalisasasi akan cenderung kepada Soft Law. Karena
Begitu juga sebaliknya, jika ketiga aspek legalisasi dalam soft law pasal-pasal yang mengurangi kedaulatan
tersebut rendah, maka menjadi rendah pula tingkat suatu negara akan dihindari. Semangat obligasi akan
192 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
VOL. 1 NO. 2 / OKTOBER 2012

lebih didasarkan pada semangat volunterisme. Dan dengan obligasi yang mengikat secara hukum yang
aturan-aturan akan dibuat tidak detail yang perbedaan ditandai dengan penggunaan “shall”. Dalam indikator
interpretasinya akan diselesaikan melalui diplomasi obligasi Abbot dapat dimaknai legalisasi AATHP
atau negosiasi politik. Berikut ini analisis detail memiliki obligasi kuat . Pada pasal 28 dan 29
legalisasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze dinyatakan perjanjian ini memerlukan ratifikasi dari
Pollution. negara penandatangan anda akan berlaku secara hukum
setelah 60 hari dari penyerahan ratifikasi negara ke
OBLIGASI enam. Dengan adanya keharusan ratifikasi berarti
Obligasi adalah aspek legalisasi yang mencerminkan perjanjian ini diharapkan diadopsi dalam hukum
tingkat kewajiban atau pengikatan negara atau aktor domestik tiap-tiap negara pihak sehingga memiliki
lain oleh sekumpulan aturan atau sekumpulan konsekuensi domestik. Namun jika dilihat secara
komitmen yang akhirnya berefek pada tingkah laku keseluruhan obligasi yang dirancang memiliki legally
dan tindakan aktor tersebut sesuai dengan aturan- binding menjadi lemah dengan tidak adanya aturan
aturan umum, prosedur serta diskursus diskursus tentang sanksi bagi pelanggar peraturan. Hal ini
hukum internasional, dan juga domestik. Dalam menjadikan tingkat obligasi perjanjian menjadi lemah.
article 4 tentang obligasi umum digunakan kata “shall” Dengan ketiadaan sanksi yang jelas dalam perjanjian
yang berarti para pihak diwajibkan. membuat insentif untuk melanggar tinggi. Hal ini
tentulah akan mempengaruhi efektifitas perjanjian.
GENERAL OBLIGATIONS
1. In pursuing the objective of this Agreement, the PRESISI
Parties shall: Presisi adalah aspek legalisasi yang mencerminkan
2. Co-operate in developing and implementing derajat ketidak-ambiguan aturan-aturan yang ada,
measures to prevent and monitor transboundary sehingga bisa secara pasti(unambigously) dijadikan
haze pollution as a result of land and/or forest fires sebagai suatu acuan tingkah laku yang diperbolehkan,
which should be mitigated, and to control sources dan dikehendaki ataupun yang dilarang bagi para
of fires, including by the identification of fires, aktor-aktornya. Dengan menggunakan indikator
development of monitoring, assessment and early precicion dari Abbot ASEAN Agreement on
warning systems, exchange of information and Transboundary Haze Pollution dapat dikatakan memiliki
technology, and the provision of mutual assistance. presisi yang rendah. Aturan yang tecantum tidak detail
3. When the transboundary haze pollution originates membahas berbagai hal substansi dalam upaya
from within their territories, respond promptly to penganggulangan polusi kabut asap dan cenderung
a request for relevant information or consultations membuka kemugkinan untuk perbedaan tafsir. Istilah
sought by a State or States that are or may be ‘appropriate’, ‘where appropriate’, ‘as appropriate’ dan
affected by such transboundary haze pollution, ‘relevant’, ‘as may be necessary’ muncul sepuluh kali
with a view to minimising the consequences of the dalam 32 yang dalam setiap kasus mengundang
transboundary haze pollution. pertanyaan apa yang dimaksud dengan appropriate,
4. Take legislative, administrative and/or other measures to relevant dan necessary. Sebagai contoh dalam pasal 7,
implement their obligations under this Agreement dinyatakan :
(ASEAN Agreement on Transboundary Haze Each Party shall take appropriate measures to monitor a.
Pollution, 2002). all fire prone areas, b. all /or forest fires, c. the environmental
conditions conducive to such /or forest fires, and d. haze
Dari pasal di atas dapat disimpulkan ASEAN pollution arising from such /or forest fires.
Agreement on Transboundary Haze Pollution dirancang Misalnya dalam beberapa hal seperti masalah
Sidiq Ahmadi
Prinsip Non-Interference Asean dan Problem Efektivitas Asean Agreement on Transboundary Haze Pollution 193

keuangan masih kurang detail tentang berapa dahulu. [article 5(2)] Selanjutnya setiap pihak
kontribusi yang harus diberikan oleh negara pihak diharuskan membentuk lembaga resmi yang bertugas
dalam suatu aksi kolektif pengelolaan polusi kabut melakukan monitoring dan assesment, pencegahan dan
asap ini (ASEAN Agreement on Transboundary Haze respon terhadap kasus kebakaran hutan yang terjadi di
Pollution, article 20). negaranya dan berkewajiban untuk mengkomuni-
kasikannya kepada “The ASEAN Centre” (ASEAN
DELEGASI Agreement on Transboundary Haze Pollution, articles
Aspek delegasi adalah ada atau tidaknya pihak 6-15). Hal ini menunjukkan bahwa peran The ASEAN
ketiga yang diberikan kuasa untuk Centre sebenarnya sangat lemah dan efektifitasnya
mengimplementasikan, menginterpretasikan, dan sangat tergantung kepada voluntarisme negara pihak.
mengaplikasikan peraturan-peraturan tersebut dan juga Dapat disimpulkan dalam hal ini dari indikator Rule
menyelesaikan persengketaan, serta adanya Making and Implementation delegasi ASEAN Agreement
kemungkinan membuat aturan yang baru. on Transboundary Haze Pollution adalah moderat.
Dalam aspek penyelesaian sengketa, AATHP Sementara dari sisi rule making, perubahan atau
memiliki tingkat delegasi yang rendah. ketika terjadi amandemen dapat dilakukan atas usulan para pihak
kasus pelangaran atau ketidakpatuhan, perselisihan melalui consensus (ASEAN Agreement on Trans-
dalam interpretasi atau implementasi perjanjian, akan boundary Haze Pollution, article 22) hal ini menun-
diselesaikan melalui konsultasi atau negosiasi. Hal ini jukkan lemahnya aspek delegasi dari perjanjian ini.
dinyatakan dalam pasal 27 tentang penyelesaian Jadi, secara keseluruhan dari elemen legalisasi
sengketa “Any dispute between Parties as to the interpreta- delegasi dengan indikator Dispute Resolution dan Rule
tion or application of, or compliance with, this Agreement or Making and Implementation ASEAN Agreement on
any protocol thereto, shall be settled amicably by consultation Transboundary Haze Pollution memiliki delegasi yang
or negotiation (ASEAN Agreement on Transboundary rendah.
Haze Pollution, article 20)”. Dengan ketiadaan Dari analisis legalisasi terhadap ASEAN Agreement
mekanisme dispute settlement yang kuat menjadikan on Transboundary Haze Pollution di atas, dapat
AATHP ini sangat lemah. Tidak ada insentif bagi para disimpulkan bahwa ASEAN Agreement on Transboundary
pihak untuk patuh terhadap isi perjanjian. Haze Pollution adalah hukum internasional dengan
Sementara dari aspek keberadaan lembaga atau derajat obligasi yang rendah, presisi rendah dan
pihak ketiga yang diberi kewenangan untuk mengawasi delegasi yang rendah [o,p,d]. Dengan demikian
dan mengkoordinasikan implementasi isi perjanjian, ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution
dalam AATHP di bagian II dari perjanjian yaitu pasal adalah hukum internasional yang masuk kategori soft
5 disebutkan tentang The ASEAN Co-ordinating law.
Centre for Transboundary Haze Pollution Control Sebagai hukum internasional dengan legalisasi yang
(“The ASEAN Centre”) yang dibentuk untuk rendah atau soft law, ASEAN Agreement on
melakukan” facilitating co-operation and co-ordination Transboundary Haze Pollution memiliki hambatan
among the Parties in managing the impact of land and/or inheren untuk bisa terimplementasi secara efektif.
forest fires in particular haze pollution arising from such Pertama, dengan karakter obligasi yang rendah
fires” (ASEAN Agreement on Transboundary Haze menjadikan AATHP memiliki legal binding yang
Pollution,article 5(1)) Namun dalam pelaksanaan lemah. Sebenarnya obligasi sudah dirancang memiliki
kerjanya, The ASEAN Centre baru bisa beroperasi di obligasi yang tegas yaitu dengan menggunakan kata-kata
suatu negara ketika mendapatkan permintaan dari yang mengharuskan secara kuat (shall). Namun
negara yang mengalami kasus kebakaran hutan, setelah ketiadaan klausul tentang sanksi bagi yang melanggar
negara tersebut telah berusaha mengatasinya terlebih menjadi kelemahan mendasar bagi aspek obligasi.
194 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
VOL. 1 NO. 2 / OKTOBER 2012

Dengan tidak adanya sanksi yang tegas negara-negara Pollution sebagai soft law dengan obligasi yang rendah,
yang menjadi korban asap dari negara yang tidak presisi yang rendah dan delegasi rendah prospek
melakukan upaya-upaya yang memadai dalam perjanjian ini akan terimplementasi efektif tetaplah
mengatasi kebakaran hutan di negaranya tidak bisa meragukan walaupun Indonesia ikut meratifikasinya.
mengajukan tuntutan hukum atau meminta Karakteristik soft law adalah konsekuensinya yang
pertanggung jawaban. lemah sehingga lebih mudah bagi suatu negara untuk
Kedua, dengan karakter presisi yang rendah , meratifikasinya. Karakter ini justru menjadikan Indo-
menjadikan ASEAN Agreement on Transboundary Haze nesia enggan untuk meratifikasinya. Sebagai negara
Pollution hanyalah sebuah refleksi rasa kebersamaan yang paling banyak mengalami kebakaran, menurut
saja. Sebagaimana dalam tradisi ASEAN semua pasal-pasal dalam AATHP, adalah negara yang
masalah dibicarakan dalam forum ASEAN tanpa ada terbebani paling banyak kewajiban. Dengan keterbasan
jaminan implementasi yang kuat. Dengan membuat kemampuan Indonesia dalam mengatasi kebakaran
pasal yang mengatur banyak hal substansial menjadikan insentif bagi Indonesia untuk meratifikasi
nampaknya lebih melayanai semangat kebersamaan AATHP adalah asistensi dari negara-negara peratifikasi.
ASEAN dari pada semangat menyelesaikan masalah. Namun dengan karakter soft law tidak ada juga
Ketiga, dengan delegasi yang rendah menjadikan jaminan bagi terlaksananya asistensi tersebut.
jaminan implementasi isi perjanjian juga lemah. The Meratifikasi AATHP bagi Indonesia berarti juga
Asean Centre yang dibentuk dengan fungsi mengakui bahwa Indonesia memang yang paling
mengoordinasi implementasi, monitoring, assesmen, bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan, padahal
pencegahan dan respon dari kasus kebakaran, ada banyak perusahaan asing seperti Malaysia yang
kewenangannya dilemahkan oleh absolutisme melakukan praktik illegal loging di wilayah Indonesia
kedaulatan negara anggota. Karena The Asean Centre yang berkontribusi besar dalam perusakan hutan. Dan
bekerja dengan sangat tergantung kepada volunterisme hal ini sama sekali tidak dibahas dalam AATHP.
negara-negara pihak. Prinsip tidak mencampuri urusan
dalam negeri negara anggota dalam ASEAN masih CATATAN AKHIR
menjadi hambatan besar bagi efektifitas AATHP. Hal 1
Beberapa peristiwa kebakaran hutan juga terjadi sebelum periode
1997/1998 meskipun skalanya relative lebih kecil. Kebakaran terjadi
ini juga dikemukakan oleh Snitwongse and
kembali di awal 1998 dan pertengahan tahun 1999. Bahkan di
Bunkongkarn bahwa” As these new security issues area, periode selanjutnya beberapa titik api ditemukan hampir disebagian
without exception, transnational in nature,co-operation besar wilayah Indonesia meskipun dengan ukuran relative lebih kecil.
Di periode 2002 juga dilaporkan terjadi kebakaran hutan di
among the ASEAN member countries is imperative. To be
beberapa wilayah hutan di Thailand.
effective, such co-operation will necessarily require a state to
cede a degree of its national sovereignty. There is,thus, a need
REFERENSI
to readjust the old mindset that sovereignty is absolute. Unless Abbot, Kenneth W. & Duncan Snidal. (2000).”Hard Law and Soft Law in
such adjustment is accepted, ASEAN solidarity coud be International Governance” dalam International Organization,
adversely affected (Snitwongse and Bunkongkarn dalam Volume 54, Number 3, Summer, 2000.
Abbot, Kenneth W. et.al. (2000). “The Concept of Legalization” dalam
Tay, Estaniloo, and Susastro (ed), 2001:160) International Organization, Volume 54, Number 3, Summer, 2000.
Acharya, Amitav. (2001).Cronstructing a Security Community in
KESIMPULAN Southeast Asia:
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, June 10, 2002,
Pengaruh norma non interference dalam ASEAN
available at http://www.aseansec.org/pdf/agr_haze.pdf
sangat mempengaruhi pilihan legasisasi dari ASEAN Cipto, Bambang, (2006). Hubungan Internasional di Asia
Agreement on Transboundary Haze Pollution ke dalam Tenggara:Teropong, terhadap Dinamika, Realitas, dan Masa Depan.
sebguah legalisasi yang lemah atau Softo Law. Dengan Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Collin, Alan. (2003). Security and Southest Asia:Domestic, regional and
melihat ASEAN Agreement on Transboundary Haze Global Issues.Singapore:ISEAS
Sidiq Ahmadi
Prinsip Non-Interference Asean dan Problem Efektivitas Asean Agreement on Transboundary Haze Pollution 195

Economy and Environment Programme for Southeast Asia (EEPSEA)


and World Wide Fund for Nature (WWF).(1998). The Indonesian
Fires and Haze of 1997 : The Economic Toll .
Siddique, Sharon & Kumar,Sree. (2003). The 2nd ASEAN Reader.
Singapura:Institute of Southeast Asian Studies.
Snitwongse, Kusuma and Bunkongkarn, Suchit. (2001). “New Security
Issues and Their Impact on ASEAN” dalam Simon S.C. Tay, Jesus P.
Estaniloo, Hadi Susastro, ed.2001. Reinventing ASEAN.
Singapore:Institute of South East Asian Studies.p.160
Weatherbee,Donald E.(2005). International Relations in Southeast
Asia:The Struggle for Autonomy.Lanham:Rowman&Littlefield
Publisher,Inc.
ASEAN the Problem of Regional Order. London&New York:Routledge.
Asean Charter, tersedia di www.asiansec.org
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0805/13/0102.htm
http:// www.BBC.com/ indonesian/Ungkapan Pendapat Indonesia/ kirim
asap lagi.htm
http:// www.BBC.com/ indonesian/Ungkapan Pendapat Indonesia/ kirim
asap lagi.htm
http://\www.haze-online.or.id/news.php/ID=20030702100607.htm
http://voanews.com/indonesian/archive/2006-10/2006-10-11-
voa5.cfm.htm
http://www.jeffooi.com/2006/11/haze_balls_on_un_table_and_ind.php
Kompas, 29 Juni 2003

Anda mungkin juga menyukai