Anda di halaman 1dari 9

JURNAL SOSIOLOGI AGRARIA: KAJIAN GENDER DALAM AKSES DAN

KONTROL TERHADAP LAHAN PERTANIAN DI PEDESAAN

DI SUSUN OLEH :
ALAN RIADI B20121023
KELAS A

UNIVERSITAS TADULAKO FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
TAHUN 2024
ABSTRAK

Kajian gender dalam agraria menjadi penting untuk memahami ketimpangan struktural yang
dihadapi perempuan dalam akses dan kontrol terhadap lahan pertanian. Jurnal ini mengkaji
bagaimana konstruksi sosial gender dan norma-norma patriarki memengaruhi akses dan
kontrol perempuan terhadap lahan di pedesaan. Di banyak negara, perempuan pedesaan
memainkan peran penting dalam sektor pertanian. Mereka berkontribusi dalam berbagai
aspek, seperti pengolahan lahan, penanaman, panen, dan pemasaran hasil panen. Namun,
akses dan kontrol perempuan terhadap lahan pertanian masih terhambat oleh berbagai faktor,
termasuk konstruksi sosial gender dan norma-norma patriarki. Perempuan di pedesaan
memainkan peran penting dalam sektor pertanian. Mereka berkontribusi dalam berbagai
aspek, seperti pengolahan lahan, penanaman, panen, dan pemasaran hasil panen. Namun, di
banyak negara, perempuan masih menghadapi hambatan dalam mengakses dan
mengendalikan lahan pertanian. Ketimpangan gender ini memiliki dampak signifikan pada
ketahanan pangan dan kesejahteraan keluarga.
PENDAHULUAN

Isu gender dalam akses dan kontrol terhadap pertanian di pedesaan menjadi topik penting
dalam diskusi tentang keadilan sosial dan ekonomi. Menurut studi PBB, menutup
ketimpangan gender di sektor pertanian dan industri makanan dapat menguntungkan secara
ekonomi global, dengan perempuan masih menghadapi kekurangan akses lahan dan
cenderung mendapat upah lebih rendah. Organisasi Pangan Dunia (FAO) menyatakan bahwa
keterlibatan perempuan yang setara dalam produksi dan distribusi pangan akan menciptakan
keuntungan senilai USD 1 triliun. Dalam banyak negara, perempuan mewakili lebih dari
separuh tenaga kerja di sektor pertanian dan makanan, namun hanya segelintir yang punya
lahan atau mampu mengakses kredit dan teknologi agrikultur. FAO mencatat bahwa jumlah
laki-laki yang memiliki lahan atau mendapat jaminan atas lahan pertanian mencapai dua kali
lipat ketimbang perempuan.

Di Indonesia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerja sama


dengan Kementerian Pertanian sejak 2016 untuk mendorong kesetaraan gender, termasuk
pengakuan terhadap hak tradisional perempuan dalam pemanfaatan sumber daya dan
memastikan akses lahan dan pemodalan yang setara. Namun, faktor besar yang mendorong
ketimpangan di Indonesia adalah budaya patriarki, di mana perempuan sering dianggap
sumber sekunder ekonomi keluarga dan sering dipinggirkan, seperti dalam hukum waris.

Pada tahun pertama pandemi Covid-19, sebanyak 22 persen perempuan di dunia menghadapi
pemecatan di industri pangan dan pertanian, dibandingkan hanya dua persen pada laki-laki.
Pendapatan perempuan secara umum juga ditaksir 18,4 persen lebih rendah di sektor
pertanian. Melihat bagaimana konstruksi budaya terhadap peran perempuan di pertanian
menghambat akses, kontrol, dan manfaat bagi perempuan petani itu sendiri, maka perlu
adanya transformasi kebudayaan, baik melalui upaya-upaya yang bersifat intervensi maupun
partisipasi. Kolektivitas perempuan bisa menjadi pintu masuk strategis baik bagi kedua upaya
tersebut, seperti pembentukan kelompok atau grup petani atau peternak yang beranggotakan
perempuan.

Diskriminasi gender di pertanian masih ditemukan di 17 negara di seluruh dunia dengan


rentang 78% perempuan di India sampai dengan 52% di Amerika Serikat mengalami
diskriminasi. Penelitian menunjukkan adanya marginalisasi terhadap perempuan petani di
beberapa wilayah di Indonesia, terutama karena hambatan kultural dan psikologis. Untuk
mengatasi isu-isu ini, diperlukan kerjasama antara berbagai pihak, termasuk pemerintah,
organisasi pengembangan, dan komunitas pedesaan. Solusi yang efektif harus
mempertimbangkan kebutuhan dan hak semua anggota komunitas, termasuk perempuan dan
anak-anak, dalam akses dan kontrol terhadap lahan. Ini termasuk mempertimbangkan model
kepemilikan lahan yang inklusif gender dan memastikan bahwa perempuan dan pria memiliki
akses yang sama terhadap sumber daya lain seperti kredit, teknologi, dan pelatihan yang
diperlukan untuk pengelolaan lahan yang berkelanjutan.

Perempuan memainkan peran penting dalam pertanian pedesaan di banyak negara, termasuk
Indonesia. Mereka seringkali bertindak sebagai penghasil utama makanan di rumah tangga,
yang mencakup pengelolaan lahan, produksi, dan penjualan hasil pertanian. Perempuan juga
seringkali bertanggung jawab atas pengelolaan sumber daya alam, seperti air dan tanah, yang
sangat penting untuk pertanian. Meskipun perempuan memainkan peran penting dalam
pertanian, mereka seringkali menghadapi tantangan dalam akses ke lahan, kredit, dan
teknologi. Diskriminasi gender dan norma sosial yang mendukung pengelolaan lahan oleh
pria juga seringkali menghambat kemampuan perempuan untuk mengelola lahan dan
menghasilkan pendapatan.

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan upaya untuk memperkuat hak perempuan atas
lahan dan sumber daya, termasuk pendidikan dan pelatihan dalam teknologi pertanian, serta
dukungan hukum dan sosial untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses yang setara
terhadap pria dalam pertanian. Organisasi dan program pemerintah juga dapat berperan
penting dalam mendukung perempuan dalam pertanian, termasuk melalui program kredit dan
insentif untuk perempuan petani.

Secara keseluruhan, perempuan memainkan peran penting dalam pertanian pedesaan, tetapi
mereka seringkali menghadapi hambatan yang memerlukan upaya bersama untuk mengatasi
dan mengatasi ketidakadilan gender dalam sektor ini.

Dalam konteks sosiologi agraria, kajian gender dalam akses dan kontrol terhadap pertanian di
pedesaan sangat penting karena:

1. Pengaruh Budaya dan Norma Sosial: Budaya dan norma sosial yang mendukung
pengelolaan lahan oleh pria seringkali menghambat perempuan dalam mengelola
lahan dan menghasilkan pendapatan. Kajian gender dapat membantu memahami
bagaimana norma-norma ini mempengaruhi akses dan kontrol terhadap pertanian.

2. Diskriminasi dan Ketidakadilan: Perempuan seringkali menghadapi diskriminasi


dan ketidakadilan dalam akses ke lahan, kredit, dan teknologi. Kajian gender dapat
membantu mengidentifikasi dan mengatasi faktor-faktor yang mendorong
diskriminasi ini.

3. Pengembangan Kebijakan dan Intervensi: Kajian gender dapat memberikan


wawasan yang penting untuk pengembangan kebijakan dan intervensi yang lebih
efektif untuk mendukung perempuan dalam pertanian. Ini termasuk
mempertimbangkan kebutuhan dan hak perempuan dalam akses dan kontrol terhadap
lahan, serta memastikan bahwa perempuan memiliki akses yang setara terhadap pria
dalam pertanian.

4. Peningkatan Kesejahteraan: Mengatasi ketidakadilan gender dalam pertanian di


pedesaan dapat berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan ekonomi dan sosial
perempuan dan keluarga mereka. Kajian gender dapat membantu dalam mengevaluasi
dampak dari berbagai intervensi dan kebijakan terhadap kesejahteraan ini.

5. Pendidikan dan Pelatihan: Kajian gender juga dapat membantu dalam


mengidentifikasi dan mengatasi hambatan dalam pendidikan dan pelatihan perempuan
dalam pertanian. Ini termasuk memahami bagaimana pendidikan dan pelatihan dapat
diperluas untuk memasukkan perempuan dan memastikan bahwa mereka memiliki
keterampilan yang diperlukan untuk mengelola lahan dan menghasilkan pendapatan.

Secara keseluruhan, kajian gender dalam akses dan kontrol terhadap pertanian di pedesaan
dalam perspektif sosiologi agraria sangat penting untuk memahami dan mengatasi
ketidakadilan gender dalam sektor ini. Ini juga penting untuk mendukung pengembangan
kebijakan dan intervensi yang lebih efektif untuk mendukung perempuan dalam pertanian.
TUJUAN PENELITIAN :

Kajian ini bertujuan untuk:

1. Memahami bagaimana konstruksi sosial gender dan norma-norma patriarki


memengaruhi akses dan kontrol perempuan terhadap lahan pertanian di pedesaan.
2. Mengidentifikasi hambatan dan peluang bagi perempuan dalam mengakses dan
mengendalikan lahan pertanian.
3. Merekomendasikan kebijakan dan program untuk mengatasi ketimpangan gender
dalam akses dan kontrol terhadap lahan pertanian.
PEMBAHASAN

1. Konstruksi Sosial Gender dan Norma-Norma Patriarki:

konstruksi gender pada masyarakat Indonesia lebih cenderung menyudutkan perempuan, dan
dominasi laki laki terhadap perempuan disebut dengan partiarki. Ideologi partiarki dapat
dimulai dari lingkup terkecil, misalnya keluarga. Menurut millet dan wardani (2009), Pada
keluarga yang masih menganut ideologi partiarki akan bersikap sesuai jenis kelamin anak.
Misalnya di lingkungan keluarga penulis, konstruksi atas penanaman nilai-nilai stereotip
masyarakat akan wanita, yakni. Bayi perempuan baru lahir atau masih balita, akan diberikan
pakaian yang berwarna pink dan diberikan sebuah boneka. Masih adanya penganggapan
bahwa perempuan hanya akan sia-sia ketika berpendidikan tinggi sampai ke perguruan tinggi,
jika pada akhirnya hanya berakhir berkarir sebagai ibu rumah tangga. Dan hal hal lain yang
masih berbau perempuan yang pada akhirnya dianggap sebagai, kodrat perempuan. Di
istilahkan dalam bahasa jawa, “ndapur, sumur, lan amben”. ada sebuah perbedaan dalam
penganggapan gender di Indonesia dengan di luar negeri. Di Jerman contohnya, pada suatu
rumah tangga memiliki houseman, dimana seorang ayah berperan juga dalam merawat anak
dan rumah tangga untuk menyeimbangkan dan berbagi peran antara ayah dan ibu. Sehingga
ibu tidak terus-menerus untuk bekerja dalam area domestik rumah. Sehingga peran keduanya
saling melengkapi dan ber-simbiosis mutualisme

Kajian gender terhadap akses dan kontrol lahan pertanian di pedesaan menunjukkan bahwa
konstruksi sosial gender dan norma-norma patriarki memainkan peran penting dalam
membatasi akses dan kontrol perempuan terhadap lahan. Di banyak masyarakat, perempuan:

 Disteriotipekan sebagai pengasuh rumah tangga dan anak-anak, sehingga dianggap


tidak memiliki kemampuan untuk mengelola lahan pertanian.
 Dihalangi untuk memiliki hak atas tanah, karena sistem warisan yang patrilineal dan
budaya yang memprioritaskan laki-laki dalam kepemilikan properti.
 Diperlakukan tidak adil dalam hal akses terhadap sumber daya dan informasi terkait
pertanian, seperti kredit, pelatihan, dan teknologi.

2. Dampak Ketimpangan Gender :


Ketimpangan gender dalam akses dan kontrol terhadap lahan pertanian memiliki dampak
negatif pada:

 Ketahanan pangan: Ketidakmampuan perempuan untuk mengakses dan


mengendalikan lahan pertanian dapat menyebabkan penurunan produksi pangan dan
kerawanan pangan, terutama bagi keluarga yang dipimpin perempuan.
 Kesejahteraan keluarga: Ketidakmampuan perempuan untuk menghasilkan
pendapatan dari pertanian dapat menurunkan pendapatan keluarga secara keseluruhan,
dan berakibat pada akses yang lebih rendah terhadap pendidikan, kesehatan, dan
kebutuhan dasar lainnya.
 Pemberdayaan perempuan: Ketidakmampuan perempuan untuk memiliki dan
mengendalikan aset, seperti tanah, dapat menghambat pemberdayaan mereka dan
membatasi partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan.

3. Upaya Mengatasi Ketimpangan Gender:

Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi ketimpangan gender dalam akses dan
kontrol terhadap lahan pertanian:

 Reformasi agraria: Mendorong reformasi agraria yang memberikan akses dan


kontrol yang setara kepada perempuan atas lahan, termasuk melalui redistribusi tanah
dan pengakuan hak kepemilikan perempuan.
 Peningkatan kesadaran: Meningkatkan kesadaran tentang kesetaraan gender dan
hak-hak perempuan atas tanah melalui edukasi, kampanye, dan program penyadaran.
 Penguatan organisasi perempuan: Memperkuat organisasi perempuan dan
meningkatkan partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan terkait agraria, serta
menyediakan akses terhadap pelatihan dan pendampingan.
 Penyediaan akses terhadap sumber daya dan informasi: Memberikan perempuan
akses yang sama terhadap sumber daya dan informasi seperti laki-laki, seperti kredit,
pelatihan, teknologi, dan pasar.
 Perubahan norma dan budaya: Mendorong perubahan norma dan budaya yang
diskriminatif terhadap perempuan dan menghambat akses mereka terhadap lahan
pertanian.
4. Pentingnya Kajian Gender:

Kajian gender terhadap akses dan kontrol lahan pertanian di pedesaan penting untuk:

 Meningkatkan pemahaman tentang bagaimana konstruksi sosial gender dan norma-


norma patriarki memengaruhi akses dan kontrol perempuan terhadap lahan.
 Mendorong kebijakan dan program yang mengatasi ketimpangan gender dalam akses
dan kontrol terhadap lahan.
 Meningkatkan ketahanan pangan, kesejahteraan keluarga, dan pemberdayaan
perempuan.

KESIMPULAN

Kajian gender terhadap akses dan kontrol lahan pertanian di pedesaan menunjukkan bahwa
ketimpangan gender masih merupakan masalah yang serius. Upaya untuk mengatasi
ketimpangan ini perlu dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan, dengan melibatkan
berbagai pihak, seperti pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai