Judul Penelitian
“Keterlibatan Perempuan dalam Sektor Pertanian untuk Menunjang Kesejahteraan
Keluarga Menurut Perspektif Feminisme (Studi Kasus di Desa Songan, Bangli, Bali)”
B. Identitas Peneliti
Nama : Ni Luh Sinta Yani
NIM : 1717011027
Program Studi : Pendidikan Ekonomi
C. Latar Belakang Masalah
Bangli adalah salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Bali. Bangli menjadi
satu–satunya kabupaten yang wilayahnya tidak terdapat pantai atau lautan. Namun,
Bangli memiliki danau terluas di Bali yaitu Danau Batur dengan luas sekitar 1.067, 05
Ha. Jika dilihat secara astronomis, Kabupaten Bangli terletak di antara 11’50” 13’ 48”
Bujur Timur dan 80’ 8’ 30” sampai 80 31’ 87” Lintang Selatan dengan luas wilayah
sebesar 520,81 km2 atau 9,25 persen dari luas wilayah Provinsi Bali, dan memiliki daerah
dataran rendah di bagian utara, serta daerah pegunungan di daerah bagian selatan.
Kabupaten Bangli memiliki curah hujan yang relatif tinggi karena berada dalam
perputaran arus udara di pegunungan, dan memiliki potensi unggul di bidang pertanian
dan hortikultura. Potensi pertanian di Bangli sangat didukung oleh tanahnya yang
berjenis regosal, sehingga lahannya menjadi subur dan memungkinkan untuk ditanami
berbagai jenis tanaman. Menurut Data Statisitik Kabupaten Bangli (2019), komoditi
sayuran yang dihasikan di Kabupaten Bangli yaitu, bawang merah sebanyak 22.470 ton;
kubis sebanyak 19.736 ton; cabai sebanyak 16.103 ton; tomat sebanyak 4.646 ton; dan
buncis sebanyak 1.802 ton.
Desa Songan menjadi salah satu penghasil pertanian di Kabupaten Bangli,
tepatnya berada di Kecamatan Kintamani. Secara administratif, Desa Songan dibagi
menjadi dua yaitu Desa Songan A dan Desa Songan B. Wilayah yang mendukung untuk
melakukan kegiatan bercocok tanam, menjadi faktor sebagian besar masyarakat Desa
Songan berprofesi sebagai petani. Data statistik menyebutkan bahwa 41,63 % penduduk
Desa Songan bekerja sebagai seorang petani. Dari data statistik disebutkan pula bahwa,
perempuan Songan mendominasi ladang pencarian sebagai petani. Persentase
perbandingan antara petani perempuan dengan petani laki-laki di Songan A adalah 19,
16% (persentase laki-laki) dan 19,76% (persentase perempuan). Sedangkan,
perbandingan persentase antara petani laki-laki dan petani perempuan di Songan B adalah
21,19% dan 23,09% (data statistik, 2019).
Observasi awal peneliti menemukan bahwa, memang perempuan memiliki
keterlibatan yang sangat tinggi dalam sektor pertanian. Suwena (2020) mengemukakan
bahwa jumlah petani perempuan yang lebih tinggi dibandingkan petani laki–laki
menunjukkan bahwa perempuan di Desa Songan lebih kreatif dan agresif dalam
memanfaatkan sumber daya yang ada. Perempuan Desa Songan juga menilai bahwa
lingkungan kerja pertanian sangat menarik dan penuh tantangan. Kenyataan tersebut
ditunjukkan dengan lebih banyaknya perempuan mau bekerja di sektor pertanian dalam
membantu perekonomian keluarga, padahal pekerjaan bertani merupakan kegiatan
mencari nafkah yang identik dengan peran laki-laki sebagai kepala keluarga. Selain itu,
kemauan perempuan bekerja sebagai seorang petani menunjukan bahwa perempuan Desa
Songan memiliki harga diri lebih tinggi dibandingkan laki – laki dalam hal memenuhi
kebutuhan keluarga untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga (Suwena, 2020).
Eksistensi perempuan Desa Songan yang turut bekerja di bidang pertanian sangat
berlainan dengan budaya patriarki yang dianut oleh masyarakat Bali. Bali sangat terkenal
dengan budaya patriarki dan kuasanya atas kontruksi sosial yang pada umumnya
menempatkan peran perempuan hanya pada ranah domestik (Rahmawati, 2015).
Perempuan Songan diberikan kedudukan yang sama dalam bekerja di ladang pertanian
yang notabenenya adalah pekerjaan berat. Perempuan tidak hanya dibebankan pada tugas
rumah tangga, tetapi diberikan kesempatan untuk berekspresi di dunia kerja dan diberikan
hak –hak yang berkaitan dengan keterlibatan dominasi di dunia kerja. Tentu hal ini
sejalan dengan penghormatan gender yang berkaitan dengan kesetaraan kesempatan di
lingkungan kerja (Fadhilah, 2018)
Dukungan sosial dari pemerintah juga diberikan kepada para petani perempuan
Desa Songan. Kenyataannya bisa dilihat dari adanya pembentukan KWT (Kelompok
Wanita Tani) di Desa Songan. Menurut informasi dari ibu Ni Kadek Priandani (tanggal
15 Agustus 2015) sebagai salah satu petani perempuan di Desa Songan, mengemukakan
bahwa:
Pemerintah sudah memberikan pendampingan dan pengadaan sarana dan
prasarana untuk menunjang petani perempuan dalam melakukan kegiatan bertani.
Pendampingan ini sebagai upaya pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan
petani terutama petani perempuan. Program kesejahteraan petani menjadi salah
satu visi pemerintah Bali yaitu Nangun Sat Kerthi Loka Bali. Perwujudan visi
pemerintah Bali dalam mengembangkan usaha pertanian dituangkan dalam
bentuk Peraturan Gubernur Bali Nomor 99 Tahun 2018 tentang pemasaran dan
pemanfaatan produk pertanian, perikanan, dan industry lokal Bali yang
mewajibkan pihak hotel, restoran, swalayan, catering, untuk memanfaatkan
produk lokal Bali.
D. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah dari penelitian ini adalah, (a) perempuan harus diberikan
beban lebih karena menjadi inferior dalam keluarga dan masyarakat. Perempuan Desa
Songan mendominasi pekerjaan di bidang pertanian. Ini menjadi menarik karena
perempuan yang dicap sebagai makhluk lemah ternyata mampu menyaingi laki-laki
dalam bekerja di bidang pertanian, dan bahkan kuantitasnya lebih tinggi dibandingkan
laki-laki. (b) Usaha perempuan untuk bisa setara dengan laki-laki melalui ikut serta
bekerja mencari nafkah tidak menghentikan stigma bahwa perempuan tetap tidak pantas
setara dengan laki-laki. Ini terbukti dengan pelabelan perempuan hanya sebagai pencari
nafkah tambahan bukan sebagai pencari upah utama. (c) Upah yang diberikan juga tidak
setara antara petani perempuan dan laki-laki. Upah petani perempuan tetap berada di
bawah upah petani laki-laki, walaupun hasil kerja mereka sama. (d) Perempuan turut
serta mencari nafkah untuk menopang perekonomian keluarganya, perempuan tidak bisa
dilepaskan dari tanggung jawab domestik dan tanggung jawab publik. (e) Kontribusi
pendapatan perempuan terhadap perekonomian daerah lebih rendah dibandingkan
kontribusi pendapatan laki-laki. (f) Latar belakang perlu adanya kajian feminisme dalam
perspektif peningkatan perekonomian keluarga terhadap petani perempuan di Desa
Songan, Kintamani, Bangli. (g) Faktor keterlibatan perempuan terhadap sektor pertanian
dalam menunjang perekonomian keluarga di Desa Songan, Kintamani, Bangli. (h)
keterlibatan perempuan terhadap sektor pertanian dalam menunjang perekonomian
keluarga di Desa Songan Kintamani Bangli.
E. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam penelitian ini memberikan fokus pada beberapa aspek
atau variabel penelitian. Penentuan variabel bebas di dalam penelitian ini bertujuan untuk
menggali data dan informasi yang bersifat holistik agar fenomena atau masalah penelitian
yang dibahas mencapai tingkat kejenuhan data. Masalah yang diberikan batasan atau
fokus penelitian antara lain (a) mendeskripsikan latar belakang perlu adanya kajian
feminisme dalam perspektif peningkatan perekonomian keluarga terhadap petani
perempuan di Desa Songan, Kintamani, Bangli, (b) mendeskripsikan faktor perempuan
Desa Songan, Kintamani, Bangli terlibat dalam sektor pertanian (c) mendeskripsikan
kontribusi dan keterlibatan perempuan terhadap sektor pertanian dalam menunjang
perekonomian keluarga di Desa Songan, Kintamani, Bangli.
F. Rumusan Masalah
Pembatasan masalah yang dilakukan oleh peneliti, berhasil memformulasikan tiga
rumusan masalah, yang terdiri dari :
1. Mengapa perlu adanya kajian feminisme dalam perspektif peningkatan
perekonomian keluarga terhadap petani perempuan di Desa Songan, Kintamani,
Bangli?
2. Apa yang menjadi faktor perempuan Desa Songan, Kintamani, Bangli terlibat
dalam sektor pertanian?
3. Bagaimana kontribusi dan keterlibatan perempuan terhadap sektor pertanian
dalam menunjang perekonomian keluarga di Desa Songan, Kintamani, Bangli?
G. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian yang diangkat pada penelitian ini
dengan fokus kajian Feminisme, maka tujuan penulisan karya tulis ini adalah sebagai
berikut
1. Mendeskripsikan latar belakang perlu adanya kajian feminsme dalam perspektif
peningkatan perekonomian keluarga terhadap petani perempuan di Desa Songan
Kintamani Bangli.
2. Mendeskripsikan faktor perempuan Desa Songan, Kintamani, Bangli terlibat
dalam sektor pertanian
3. Mendeskripsikan keterlibatan perempuan terhadap sektor pertanian dalam
menunjang perekonomian keluarga di Desa Songan Kintamani Bangli
H. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah ilmu
pengetahuan bagi pembaca. Kajian feminsme adalah suatu konsep untuk
menyetarakan gender, dari berbagai lingkup kehidupan. Jika dikaji lebih dalam,
teori feminsme memberikan andil kepada pembaca untuk memahami
ketimpangan-ketimpangan yang disebabkan karena perbedaan perlakuan manusia
berdasarkan gender/jenis kelamin. Penelitian berbasis disiplin ilmu ekonomi
dengan melihat fenomena petani perempuan di Desa Songan, Kintamani, Bangli
menjadi semakin multidimensional karena dibantu dengan menggunakan
perspektif feminisme.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada:
1) Program Studi Pendidikan Ekonomi
Penelitian ini bermanfaat untuk program studi pendidikan ekonomi
sebagai pandangan bahawa penelitian ekonomu tidak hanya tentang
keuangan, tetapui mampu melihat realitas sosial masyarakat.
2) Masyarakat Desa Songan
Penelitian ini diharapkan mampu mengedukasi tentang bagaimana
menerapkan kesetaraan gender untuk mencapai harmoni sosial.
3) Akademisi Lain
Penelitian ini diharapkan mapu menginspirasi peneliti lain untuk meneliti
tema penelitian yang sama tetapi dari sudut pandang yang berbeda.
I. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian ini ditopang oleh penelitian yang relevan dengan tujuan
mengkomparasi substansi penelitian agar ditemukan persamaan dan perbedaan dari aspek
isi, teori, metode, dan temuan penelitian. Maka daripada itu, dalam penelitian ini
dibandingkan dengan 5 penelitian ilmiah, antara lain :
pemahaman akan
konsep purusa dan
pradana dalam wujud
laki-laki dan
perempuan dalam
kehidupan sosial di
masyarakat
telah menimbulkan
adanya ketimpangan
dan ketidakadilan
terhadap perempuan
di Bali, terutama
dalam adat
perkawinan. Di mana
perempuan (predana)
dianggap lebih rendah
kedudukannya dari
pada laki-laki
(purusa). Perempuan
Bali
memandang kerja
sebagai suatu
persembahan
(yadnya)
sehingga harus
dilakukan secara tulus
ikhlas tanpa
memandang adanya
ketidakseimbangan
peran antara laki-laki
dan Perempuan.
karena memaknai
setiap perannya
sebagai suatu
kewajiban,
walaupun sebenarnya
Perempuan Bali
merasakan beban
kerja
akibat ketimpangan
peran yang
diterimanya
Dusun Cilengek
sebesar Rp
5.698.000,00 per
tahun; 3) Total
pendapatan yang
telah diuji
Dusun Cantilan
sebesar 0,05% dan di
Dusun Cilengek
sebesar 0,04%, dan
sumbangan efektif
di Dusun Cantilan
dan Dusun Cilengek
sebesar 0,04%; 4)
Seluruh rumah tangga
petani
memiliki kondisi
rumah tangga dengan
kategori Tidak
Miskin di Dusun
Cantilan sebesar
J. Kajian Teori
1. Teori Feminisme
Gerakan feminism muncul karena adanya serangan hak perempuan untuk
mengontrol fertilisasi dan tubuhnya, upah yang tidak setara, kekerasan seksual
dan kekerasan rumah tangga, kurangnya akses terhadap pekerjaan yang layak, dan
praktek diskriminasi secara terus menerus (Democratic Sosialist Party, 1992).
Menurut Dea Safira (2019 : 3), feminsme merupakan sebuah ideologi politis
berasal dari perempuan yang mengalami ketertindasan. Kertertindasan yang
dialami perempuan berlandaskan banyak hal yaitu gender, orientasi seksual, ras,
kelas, etnisitas, agama, dan lain-lain. Perempuan tidak memiliki banyak hak dan
akses seperti yang dimiliki oleh laki-laki sehingga menuangkan pemikirannya
dalam bentuk ideology feminism. Perempuan yang acapakali dikatakan memiliki
emosi dijadikan sebagai alasan untuk mendelegitimasi pemikiran perempuan. Dea
Safira (2019 : 4) juga mengungkapkan bahwa, justru karena manusia memiliki
emosi yang akan membedakan manusia dengan robot. Banyak kesalahpahaman
masyarakat dalam mengartikan feminsme. Masyarakat berpikir bahwa feminsme
sangat jauh dari nilai-nilai keluarga. Masyarakat juga mengatakan bahwa,
perempuan akan cenderung melawan apabila memahami feminism. Bahkan ada
anggapan bahwa feminsme artinya tidak mau mengurus keluarga. Stigma ini
sengaja dimunculkan lalu dilekatkan dalam masyarakat. Dea Safira (2019 : 4)
mengungkapkan bahwa laki-laki sudah dibiasakan dengan kenyamanan dalam
membebankan peran domestic kepada perempuan. Para laki-laki memakai segala
cara agar tidak kehilangan kenyamanan itu. Laki-laki menggunakan segala
propaganda bahwa feminsime berasal dari Barat, ajaran setan, tidak cocok dengan
ajaran agama tertentu, serta merusak ketahanan keluarga. Padahal dogma yang
diterapkan kepada perempuan tidak diterapkan pada laki-laki. Doktrin yang
diberikan kepada perempuan menyebabkan pemikiran perempuan tidak bisa
berkembang karena lingkungan yang mengonstruksikan pikirannya agar tetap
stagnansi dan tidak melebihi laki-laki. Menurut Democratic Socialist Party
(1992), penyebab penindasan perempuan adalah sistem keluarga. Dalam bahasa
Latin, keluarga berasa dari kata famulus yang artinya budak rumah tangga atau
keseluruhan budak milik satu orang. Sistem keluarga menginstitusikan bahwa
peran mandiri perempuan dalam produksi sosial dihilangkan. Kemudian peran
produktif perempuan (istri) dibatasi oleh keluarga yang memilikinya cenderung
mensubordinatkannya terhadap laki-laki. Ini yang menyebabkan perempuan
memiliki ketergantungan ekonomi terhadap laki-laki serta telah menempatkan
status sosial perempuan sebagai kelas kedua. Sebenarnya, jika perempuan bisa
membawa anak-anaknya pergi tanpa ada tekanan sosial dan ekonomi, sangat tidak
mungkin sistem keluarga mampu bertahan sejak ribuan tahun lalu. Sistem
keluarga dijadikan sebagai bagian dari unit ekonomi. Sejarah menyebutkan bahwa
perbudakan utama yang dialami perempuan bersifat ekonomi. Perempuan
dilepaskan kebebasannya untuk menemukan makanannya sendiri lewat institusi
keluarga sebagai unit ekonomi. Perempuan akan bergantung pada laki-laki dalam
hal ekonomi individual. Pada prinsipnya adalah “rumah kepada perempuan, dan
tempat bekerja kepada laki-laki” sehingga semua bidang kemajuan manusia
dianggap prerogative maskulin, sementara perempuan dipisahkan dalam aktivitas
pribadi dalam ekonomi sosial, serta dibatasi oleh kegiatan fungsional akibat
kodrat jenis kelaminnya (Thornham, 2000 : 27).
Menurut Rokmansyah (2016) dapat disimpulkan bahwa indikator dari
teori feminisme adalah hak yang harus diperoleh oleh perempuan, adanya
kesetaran posisi antara perempuan dan laki-laki, kebebasan perempuan sebagai
makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, dan adanya persamaan perlakuan antara
perempuan dan laki-laki.
2. Teori Kesetaraan Gender/Emansipasi Perempuan
Perbedaan gender melahirkan identitas gender sebagai penanda atau ciri
khas dari gender tersebut. Identitas gender merupakan suatu konsep diri individu
tentang keadaan dirinya sebagai laki-laki atau perempuan atau bukan keduanya
yang dirasakan dan diyakini secara pribadi oleh individu. Gender akan
memunculkan dikotomi sifat, peran, dan posisi antara laki-laki dan perempuan.
Dikotomi tersebut meliputi (Rokhmansyah, 2016 : 6 – 10) :
a. Maskulin dan Feminim
Organ biologis antara laki-laki dan perempuan diciptakan berbeda.
Perempuan diciptakan memiliki organ tubuh untuk reproduksi sehingga
perempuan dikodratkan untuk melahirkan anak. Anak yang dilahirkan
memerlukan sifat-sifat halus, penyabar, penyayang, untuk merawatnya. Sehingga
perempuan diwajibkan memiliki sifat-sifat demikian.
Organ tubuh yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan
mengkontruksikan keharusan sifat yang dimiliki masing-masing. Perempuan
dengan organ yang dimiliki dikontruksikan budaya untuk mempunyai sifat halus,
penyayang, keibuan, lembut, dan sabar. Inilah yang dimaksud dengan feminim.
Sedangkan laki-laki dikontruksikan sebagai fisik yang kekar, jantan, perkasa, dan
kasar. Sifat ini disebut dengan maskulin.
b. Peran Dosmetik dan Publik
Feminim dan maskulin memberikan dampak pada dikotomi peran yang
harus dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Perempuan dan sifat feminimnya
dilihat selayaknya untuk berperan di sektor domestic, seperti membersihkan
rumah, mencuci, memasak, menyetrika, dan mengasuh anak. Sebaliknya, laki-laki
dengan sifat maskulinnya ditugaskan di ranah publik seperti mencari nafkah dan
melindungi keluar.
c. Posisi Mendominasi dan Tersubordinasi
Sifatnya yang feminim, perempuan membutuhkan perlindungan dari laki-
laki yang maskulin. Muncullah dominasi laki-laki terhadap perempuan, baik
dalam kehidupan rumah tangga maupun di dunia publik. Dalam rumah tangga,
laki-laki atau semua dengan sifatnya yang maskulin, ditempatkan sebagai kepala
rumah tangga, sedang istri sebagai orang keduanya. Istri digambarkan sebagai
pendamping suami. Suami mendominasi dan istri tersubordinasi.
d. Stereotif Gender
Stereotif gender merupakan kategori luas yang merefleksikan kesan dan
keyakinan tentang apa perilaku yang tepat untuk pria dan wanita. Memberi cap
stereotip sebagai maskulin atau feminim pada individu dapat menimbulkan
konsekuensi signifikan. Mencap laki-laki sebagai feminim dan perempuan
sebagai maskulin dapat menghilangkan status sosial dan penerimaan mereka
dalam kelompok.
Pengklasifikasian masyarakat yang ditimbulkan akibat perbedaan jenis
kelamin menyebabkan adanya ketimpangan perlakuan karena kepentingan. Kaum
yang seringkali dirugikan adalah kaum perempuan yang menjadi subordinasi dari
lawan jenisnya. Perempuan tidak pernah berhenti dalam memperjuangkan
kesetaraannya dengan laki-laki. Djoharwinarlien (2012 : 33) mengungkapkan
bahwa, perempuan tidak pernah berhenti untuk keluar dari keterkukungan,
walaupun dianggap melawan kultur dan mitos-mitos yang sejatinya
memarginalkan posisinya. Perlawanan perempuan untuk memperoleh kesetaraan
bukan berarti perempuan hendak melawan kodratnya. Perempuan yang berusaha
untuk tidak stagnansi terhadap mitos-mitos yang menyebabkan penomorduaan
kelasnya, sejatinya sedang memperjuangkan dua hal. Pertama, untuk
memperjuangkan hak kebebasan sebagai perempuan, seperti hak untuk
berpendidikan, hak memperoleh pekerjaan yang layak, hak untuk
mengembangkan diri dan meraih cita-cita. Hak tersebut wajib untuk dilindungi
dalam konstitusi Negara tanpa membedakan jenis kelamin. Kedua, perempuan
yang memperjuangkan kedudukannya merupakan perempuan yang mendaulatkan
eksistensi sebagai perempuan agar dapat sejajar dengan laki-laki dari semua lini
kehidupan.
Pada dasarnya, emansipasi perempuan merupakan sebuah upaya
transformasi sosial yang didalamnya harus ada keterlibatan seluruh elemen
masyarakat. Dalam memperjuangkan kesetaraan, ada tiga indikator yang harus
dipenuhi. Pertama, perempuan membutuhkan jaminan Negara untuk keluar dari
stagnansi yang diciptakan oleh mitos. Negara dapat membantu perjuangan
perempuan dengan cara menciptakan regulasi untuk melindungi perempuan.
Regulasi harus menjamin perempuan mendapatkan fasilitas saat bekerja di sektor
publik, mendapatkan hak memperoleh pendidikan, dan penghidupan yang layak.
Negara juga harus membuat lembaga yang bersifat independen yang bisa
mengontrol implementasi dari peraturan tersebut. Kedua, yaitu menghargai setiap
pekerjaan perempuan baik pekerjaan domestic maupun publik. Perempuan kerap
kali tidak memperoleh penghargaan saat mereka melakukan pekerjaan rumah
tangga karena pekerjaan tersebut dianggap pekerjaan kodrat dan kewajiban. Pada
sektor publik, perempuan yang bekerja dianggap sekadar membantu suami dalam
memenuhi kebutuhan keluarga, dan tidak dianggap sebagai sikap mandiri
perempuan dalam meraih apa yang diinginkan. Perempuan membutuhkan
apresiasi untuk membakar semangat sehingga bisa terus berinovasi. Ketiga, yaitu
adanya pemberdayaan keluarga. Maksud dari pemberdayaan keluarga ini adalah
tugas rumah tangga tidak lagi dimaknai sebagai beban kerja istri/ibu, akan tetapi
beban seluruh keluarga. Seperti misalnya, laki-laki/ayah dalam keluarga turut
serta melakukan pekerjaan rumah tangga. Kemudian anak juga diberi pemahaman
bahwa ibunya bukanlah orang yang bisa tinggal di rumah selama 24 jam sehingga
mereka harus bisa juga mandiri mengurus dirinya (Djoharwinarlien, 2012 : 36 –
37). Hal yang ditekankan pada emansipasi perempuan ini adalah, jika perempuan
ingin disetarakan dengan laki-laki, perempuan harus memiliki kapsitas dan
kemampuan untuk berprestasi dan mampu bersaing secara sehat. Jadi tidak
mengandalkan belas kasihan untuk memperoleh posisi sebagai warga kelas
pertama.
3. Teori Feminisme Sosialis
Teori feminisme sosialis adalah sebuah teori yang meletakkan isu
perempuan dalam kerangka kritik terhadap kapitalisme dan menganggap
penindasan perempuan lebih bersifat struktural (Rokhmansyah, 2016 : 53). Ada
feminisme sosialis, menganggap bahwa kapitalis dan patriarki merupakan sumber
dari penindasan perempuan. Adapun indikator dari feminisme sosialis yaitu:
pertama, mampu mengikutsertakan perempuan di sektor publik sehingga akan
menjadikan perempuan lebih produktif dan memiliki tawar menawar dengan laki-
laki. Kedua, menghapuskan institusi keluarga karena keluarga identik dengan
kapitalisme yang mengeksploitasi perempuan. Ketiga, memfokuskan perjuangan
perempuan dengan melakukan perubahan terhadap sistem ekonomi.
4. Teori Kesejahteraan
Kesejahteraan adalah sebuah kondisi dimana seorang dapat memenuhi
kebutuhan pokok, baik itu kebutuhan akan makanan, pakaian, tempat tinggal, air
minum yang bersih serta kesempatan untuk melanjutkan pendidikan dan memiliki
pekerjaan yang memadai yang dapat menunjang kualitas hidupnya sehingga
hidupnya bebas dari kemiskinan, kebodohan, ketakutan, atau kekhawatiran
sehingga hidupnya aman tentram, baik lahir maupun batin (Fahrudin dalam
Suwena, 2020). Keadaan sejahtera dapat ditunjukkan oleh kemampuan
mengupayakan sumber daya keluarga untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa
yang dianggap penting dalam kehidupan berkeluarga. Dengan demikian
kesejahteraan adalah terpenuhinya seluruh kebutuhan baik barang maupun jasa
dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Kesejahteraan adalah suatu tata kehidupan
dan penghidupan sosial, material, maupun spiritual yang diliputi rasa
keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin yang memungkinkan setiap
warga Negara untuk mengadakan usaha-usaha pemenuhan kebutuhan jasmani,
rohani dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, rumah tangga serta masyarakat
(Rambe, 2011). Konsep kesejahteraan menurut Nasikun (1996) dapat dirumuskan
sebagai padanan makna dari konsep martabat manusia yang dapat dilihat dari
empat indikator yaitu: (1) Rasa aman (security), (2) kesejahteraan (welfare), (3)
kebebasan (freedom), dan (4) jati diri (identity). Indikator tersebut merupakan hal
yang digunakan untuk melihat tingkat kesejahteraan yang mana terciptanya rasa
aman, kesejahteraan, kebebasan dan jati diri seseorang dalam memenuhi
kebutuhannya.
K. Model Penelitian
Di dalam tulisan yang mengkaji terkait dengan Kajian Feminisme Keterlibatan
Perempuan Terhadap Sektor Pertanian Dalam Menunjang Kesejahteraan Keluarga (Studi
Kasus di Desa Songan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali), penulis mencoba
untuk menyajikan model penelitian dalam bentuk bagan. Model penelitian ini bertujun
untuk menggambarkan beberapa variabel yang dijadikan fokus penelitian dan hubungan
antar variabel yang diteliti. Model penelitian ini juga bertujuan untuk memperlihatkan
teori yang digunakan dalam penelitian yang akan dilaksanakan (Tim Penyusun Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah Universitas Pendidikan Ganesha, 2016 : 51). Model penelitian
yang penulis paparkan disajikan dalam bentuk bagan sebagai berikut.
Patrilinialisme yang
melekat pada masyarakat
Bali memang sangat
mendiskreditkan kaum
perempuan. Di desa Pendekatan penelitian
Teori yang digunakan
Songan, pekerjaan bertani dalam tulisan ini
untuk membedah
didominasi oleh adalah penelitian
permasalahan ini
perempuan. Namun kerja kualitatif. Proses
adalah teori teori
perempuan tidak dihargai pengambilan data
feminism, teori
sama dengan kerja laki- menggunakan 3
kesetaraan gender,
laki. Perempuan juga teknik, yang terdiri
teori feminisme
dibebankan dengan tugas dari proses observasi
sosialis, dan teori
rumah dan tugas di partisipatif,
kesejahteraan
masyarakat yaitu wawancara mendalam
menyame braya. (in-depht
Feminism adalah gerakan interviewing), dan
untuk memperjuangkan studi dokumen.
kesetaraan gender.
M. Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Desa Songan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli
Bali. Lokasi ini dipilih sebagai tempat penelitian karena kuantitas petani perempuan di
Desa Songan lebih banyak daripada petani laki-laki dibandingkan dengan daerah-daerah
lainnya. Perempuan yang dianggap tidak berdaya akibat konstruksi dari budaya patriarki,
namun ditampikkan oleh para petani perempuan di Songan. Mereka mampu melakukan
pekerjaan berat (bertani) dan sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki.
Namun tetap saja mereka tidak diberikan suatu keadilan dalam hal pemberian upah. Gelar
bahwa perempuan makhluk lemah masih dikalungkan kepada mereka sehingga mereka
tidak mendapatkan hak yang setara dengan laki-laki. Selain harus turut memenuhi
kebutuhan keluarga, petani perempuan di Songan juga harus dibebankan tugas diranah
privat (rumah tangga) dan ranah publik (sosial bermasyarakat). Sehingga hal ini sangat
menarik untuk peneliti mengambil lokasi penelitian di Desa Songan.
N. Sumber Data
Di dalam penelitian ini informasi yang didapatkan sekaligus membantu penulis di
dalam mencari berbagai macam fakta untuk keperluan menjawab permasalahan
penelitian dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) jenis, yakni:
a) Data primer, yaitu sekumpulan informasi yang diperoleh peneliti langsung
dari lokasi peneltian melalui sumber pertama (responden atau informan,
melalui wawancara) atau melalui hasil pengamatan yang dilakukan sendiri
oleh peneliti (Martono, 2015 : 65). Untuk memperoleh data mengenai kondisi
petani perempuan di Desa Songan, peneliti melakukan observasi untuk
menyelidiki tingkah laku nonverbal. Peneliti ikut berpatisipasi dalam kegiatan
bertani dan kegiatan lainnya yang dilakukan oleh petani perempuan di Desa
Songan dan mengamati kondisi lingkungan yang mempengaruhi fisik dan
psikologi para petani perempuan di desa Songan. Selain itu, data primer juga
diperoleh dengan cara melakukan wawancara mendalam terhadap petani
perempuan. Hal ini dilakukan untuk menyelami kondisi yang sesungguhnya
terjadi pada petani perempuan, seperti perasaan ketika dibebankan banyak
tugas, perjuangan dalam menyibak peran, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya
yang berkaitan dengan rumusan masalah. Wawancara mendalam juga akan
dilakukan dengan para pemimpin di Desa Songan, seperti klian adat beserta
dengan perangkatnya. Wawancara ini dilakukan untuk mengetahui adat dan
budaya di Desa Songan yang sangat mempengaruhi kondisi sosial
bermasyarakatnya. Dari wawancara mendalam kepada klian adat , peneliti
dapat mempertimbangkan dalam mencari jalan untuk mengupayakan
kesetaraan gender agar tidak keluar jalur dari adat dan tradisi yang dianut di
Desa Songan serta menyadari tantangan-tantangan dalam memperjuangkan
kesetaraan gender.
b) Data sekunder, yaitu data yang digunakan untuk menunjang data primer. Data
sekunder tidak berasal dari sumber pertama yang artinya peneliti tidak
mengumpulkan data secara langsung (Martono, 2015 : 66 - 67). Dalam
penelitian ini, peneliti juga menggunakan sumber data sekunder untuk
mendukung penelitian ini. Adapun sumber data sekunder dari penelitian ini
adalah (a) Profil Desa Songan Kecamatan Kintamani (b) jurnal-jurnal
penelitian dari Ni Nyoman Rahmawati (2015) Perempuan Bali Dalam
Pergulatan Gender (Kajian Budaya, Tradisi, dan Agama Hindu); Nanang
Hasan Susanto (2015) Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Gender Dalam
Budaya Patriarki; Siti Fadilah (2018) Kesetaraan Gender : Fenomena
Pergeseran Peran Ekonomi Wanita Dari Tulang Rusuk Menjadi Tulang
Punggung; Qori Kartika (2017) Peran Ganda Perempuan Pada Keluarga
Masyarakat Petani : Kasus Istri Petani di Kecamatan Merapi Selatan
Kabupaten Lahat; (c) data pada Badan Pusat Statistik.
O. Metode Pengumpulan Data
Di dalam penelitian ini, informan yang berkontribusi dalam memberikan
informasi adalah para petani perempuan Desa Songan A dan Songan B, Kecamatan
Kintamani. Sebelum memasuki situasi sosial, peneliti menentukan sumber data yang akan
dijadikan sebagai subyek yang diteliti dalam konteks sosial budaya. Pada penelitian ini,
peneliti metode pengumpulan data yang digunakan adalah teknik Snowball Sampling.
Pada konteks penelitian, Snowball Sampling diartikan sebagai memilih informasinya
mulai dari sedikit makin lama makin besar sampai pada akhirnya benar–benar dapat
diketahui sesuatu yang ingin diketahui dalam konteksnya (Yusuf, 2016 : 36). Pada
penelitian ini, informan yang digunakan adalah petani perempuan di Desa Songan A dan
Desa Songan B, Kecamatan Kintamani. Pada proses penelitian ini, teknik pengambilan
data dilakukan dengan cara triangulasi data. Triangulasi data yaitu triangulasi yang
dilakukan dengan memanfaatkan beberapa sumber informasi yang berbeda untuk
menguji kebenaran data mengenai fenomena atau gejala sosial tertentu yang sedang
diteliti. Triangulasi ini adalah triangulasi yang cukup populer di kalangan peneliti karena
dianggap sebagai teknik yang paling mudah diterapkan. Triangulasi ini dapat dilakukan
dengan mengecek kebenaran data dengan memanfaatkan dokumen yang ada (Martono,
2015 : 324). Dalam konteks ini, triangulasi data dalam proses pengambilan data di
kancah atau lapangan menggunakan 3 teknik, yang terdiri dari proses observasi
partisipatif, wawancara mendalam (in-depht interviewing), dan studi dokumen.
a. Observasi Partisipatif
Menurut Yusuf (2016 : 384), observasi partisipatif merupakan bentuk observasi
dimana pengamat secara teratur berpatisipasi dan terlibat dalam kegiatan yang diamati.
Pada observasi partisipatif, peneliti memiliki fungsi ganda yaitu sebagai peneliti yang
tidak diketahui dan dirasakan oleh anggota lainnya, dan kedua sebagai anggota
kelompok, penenliti berperan aktif sesuai tugas yang diberikan. Dalam penelitian ini,
peneliti terlibat langsung dalam kegiatan yang dilakukan oleh petani perempuan, dari
kegiatan bertani, kegiatan menyama braya, sampai kegiatan rumah tangga. Sehingga
peneliti dapat mengamati secara nyata tingkah laku nonverbal untuk menjawab rumusan
masalah.
b. Wawancara Mendalam
Sumber data yang sangat penting dalam penelitian kualitatif adalah berupa
manusia yang dalam posisi sebagai narasumber atau informan. Untuk mengumpulkan
informasi dari sumber data ini diperlukan teknik wawancara, yang dalam penelitian
kualitatif khususnya dilakukan dalam bentuk yang disebut wawancara mendalam (in-
depth interviewing). Teknik wawancara ini merupakan teknik yang paling banyak
digunakan dalam penelitian kualitatif, terutama pada penelitian lapangan. Tujuan utama
melakukan wawancara adalah untuk bisa menyajikan konstruksi saat sekarang dalam
suatu konteks mengenai pada pribadi, peristiwa, aktivitas, organisasi, perasaan, motivasi,
tanggapan atau persepsi, tingkat dan bentuk keterlibatan dan sebagainya untuk
merekonstruksi beragam hal seperti itu sebagai bagian dari pengalaman masa lampau,
dan memproyeksikan hal-hal itu yang dikaitkan dengan harapan yang bisa terjadi di masa
yang akan datang (Sutopo, 2006 : 67 – 68).
Kegiatan wawancara dilakukan untuk mengetahui dan mendapatkan informasi
yang bersifat integral dan komprehennsif dari informan yang sudah ditentukan. Selain itu,
kegiatan wawancara dilakukan untuk mengetahui pemahaman, sikap, dan wawasan
informan terhadap kontribusi perempuan terhadap pertanian dalam menunjang
kesejahteraan keluarga dan kemudian dikorelasikan dengan kajian feminisme.
c. Studi Dokumen
Dokumen merupakan catatan atau karya seseorang tentang seseuatu yang sudah
berlalu. Dalam penelitian kualitatif, dokumen tentang orang atau sekelompok orang,
peristiwa, atau kejadian dalam situasi sosial yang sesuai dan terkait dengan fokus
penelitian merupakan suatu informasi yang sangat berguna (Yusuf, 2016 : 391). Pada
penelitian ini untuk menambah kelengkapan data selain menggunakan teknik observasi
dan wawancara, penulis juga menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara studi
dokumen. Dokumen yang digunakan adalah buku profil desa Songan dan kajian – kajian
tentang feminisme.
P. Pengecekan Keabsahan Data
Data yang telah berhasil digali di lapangan studi, dikumpulkan dan dicatat dalam
kegiatan penelitian, harus diusahakan bukan hanya untuk kedalaman dan kemantapannya,
tetapi juga bagi kemantapan dan kebenarannya. Oleh karen itu, setiap peneliti harus bisa
memilih dan menentukan cara-cara yang tepat untuk mengembangkan validitas data yang
diperolehnya. Cara pengumpulan data dengan beragam tekniknya harus benar-benar
sesuai dan tepat untuk menggali data yang diperlukan bagi kemantapan hasil
penelitiannya. Ketepatan dan kemantapan data tersebut tidak hanya tergantung dari
ketepatan memilih sumber data dan teknik pengumpulan datanya, tetapi juga diperlukan
teknik pengembangan validitas datanya. Validitas data ini merupakan jaminan bagi
kemantapan simpulan dan tafsir makna sebagai hasil penelitian. Dalam penelitian
kualitatif beberapa cara yang bisa dipilih untuk pengembangan validitas (kesahihan) data
penelitian (Sutopo, 2006 : 91 – 92). Dalam penelitian ini, untuk menjaga kesahihan data
digunakan metode triangulasi. Triangulasi merupakan metode pengujian keabsahan atau
kebenaran suatu data hasil penelitian dengan menggunakan metode yang berbeda atau
bervariasi. Untuk melakukan triangulasi, peneliti harus menggali data menggunakan
beberapa metode dan sumber data (Martono, 2015 : 323). Triangulasi pertama kali
diterapkan oleh Campbell dan Fiske pada 1959. Kemudian, teknik ini dikembangkan oleh
Webb pada tahun 1966. Mereka berpendapat bahwa para peneliti harus menggunakan
lebih dari satu instrumen untuk mengukur sebuah variabel. Ini artinya, triangulasi
digunakan pertama kali pada penelitian kuantitaif. Namun kemudian, relevansi
triangulasi dalam metode kualitatif segera dikembangkan (Martono, 2015 : 323).
Ada tiga jenis triangulasi yang penulis gunakan untuk melakukan pengecekan keabsahan
data atau menjaga kesahihan data penelitian.
a. Triangulasi sumber
Teknik triangulasi sumber menurut istilah Patton (1984) juga disebut sebagai
triangulasi data. Cara ini mengarahkan peneliti agar di dalam mengumpulkan data, ia
wajib menggunakan beragam sumber data yang berbeda-beda yang tersedia. Artinya,
data yang sama atau sejenis, akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa
sumber data yang berbeda. Dengan demikian, apa yang diperoleh dari sumber satu, bisa
lebih teruji kebenarannya bilamana dibandingkan dengan data sejenis yang diperoleh
dari sumber lain yang berbeda, baik kelompok sumber sejenis atau sumber yang berbeda
jenisnya. Teknik triangulasi sumber bisa menggunakan satu jenis sumber data seperti
misalnya informan, namun beberapa informan atau narasumber yang digunakan harus
perlu diusahakan posisinya dari kelompok atau tingkatan yang berbeda-beda, misalnya
dalam status atau posisi perannya yang berkaitan dalam konteks tertentu (Sutopo, 2006 :
93).
Triangulasi data atau triangulasi sumber adalah triangulasi yang dilakukan dengan
memanfaatkan beberapa sumber informasi yang berbeda untuk menguji kebenaran data
mengenai fenomena atau gejala sosial tertentu yang sedang diteliti. Triangulasi ini
adalah triagulasi yang cukup populer di kalangan peneliti karena dianggap sebagai
teknik yang paling mudah diterapkan. Triangulasi ini dapat dilakukan dengan mengecek
kebenaran data dengan memanfaatkan dokumen yang ada (Martono, 2015 : 324).
Menurut Denzin (1978), ada tiga jenis triangulasi data, yaitu: waktu, ruang dan orang.
Validitas data dapat bervariasi berdasarkan waktu ketika data dikumpulkan, orang yang
terlibat dalam proses pengumpulan data serta tempat dari mana data diperoleh.
Informan I
Informan III
b. Triangulasi Metode
Teknik triangulasi ini bisa dilakukan oleh seorang peneliti dengan cara
mengumpulkan data sejenis, tetapi dengan menggunakan teknik atau metode
pengumpulan data yang berbeda, dan bahkan lebih jelas untuk diusahakan mengarah
pada sumber data yang sama untuk menguji kemantapan informasinya (Sutopo, 2006 :
95). Triangulasi metode juga dapat diartikan sebagai teknik menguji validitas data
dengan menggunakan beberapa metode kualitatif dan/atau kuantitatif. Misalnya, data
yang diperoleh dari angket, FGD, wawancara, serta dokumentasi dibandingkan untuk
melihat apakah data yang diperoleh dari setiap metode tersebut sama atau tidak. Jika
kesimpulan dari masing-masing metode adalah sama, maka data tersebut adalah valid
(Martono, 2015 : 325).
Observasi
Dokumen
c. Triangulasi Teori
Triangulasi jenis ini dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan perspektif
lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji. Dari beberapa
perspektif teori tersebut akan diperoleh pandangan yang lebih lengkap dan mendalam,
tidak hanya sepihak, sehingga bisa dianalisis dan ditarik simpulan yang lebih utuh dan
menyeluruh. Karena setiap disiplin ilmu atau perspektif teori selalu memiliki kekhususan
cara pandang yang akan menghasilkan tafsir tertentu yang berbeda dari hasil tafsir dari
cara pandang teori yang lain, maka dengan menggunakan beberapa perspektif teori akan
menghasilkan simpulan yang bersifat multidimnsional.
Teori 1
Suatu
Makna Teori 2
Q. Metode dan Teknik Analisis Data peristiwa
Pengumpula Penyajian
n Data Data
Reduksi Verifikasi,
Data penarikan
kesimpulan
…………………