Anda di halaman 1dari 3

TIGA HAL UNTUK BERTAKTIK

Pada waktu resign dari Sampoerna pada awal 1990, setiap kali ditanya teman apa yang akan saya
lakukan, saya selalu mengatakan akan me"marketing"-kan marketing!

Umumnya orang akan tertawa dengan statement saya itu. Tapi, memang itulah yang terjadi sebenarnya.
Ketika itu, saya melihat bahwa 'angin' deregulasi di Indonesia akan bertambah dan trend tersebut tidak
mungkin berbalik.

Saya melihat suatu situasi yang berlawanan. Di satu pihak, teknologi yang makin canggih akan
'memaksa' sistem perekonomian makin terbuka dan membuat pasar akan makin meluas. Di lain pihak,
jelas terlihat bahwa perusahaan-perusahaan kita sendiri belum siap menghadapi persaingan yang akan
timbul.

Selama ini, perusahaan nasional lebih banyak jadi 'penonton' dari pelaksanaan strategi pemasaran yang
dijalankan perusahaan multinasional. Misalnya, kita heran melihat bagaimana Unilever berani mem back
up peluncuran suatu brand baru dengan biaya begitu besar. Pembukuan bisa 'merah' untuk tujuh tahun
berturut-turut dan begitu untung mulai tahun kedelapan, semuanya langsung tertutup.

Kita juga bingung melihat mengapa iklan Marlboro tidak banyak menampilkan rokok, tapi lebih banyak
meng expose gambar cowboy. Belum lagi, melihat mobil Toyota yang dijual di Indonesia dengan service
begitu baik. Mulai saat membeli, pengambilan kredit, pengirim mobil, waktu pakai dan bahkan sampai
pada menjual barang bekasnya, semuanya dibuat gampang. Sekali lagi perusahaan-perusahaa kita cuma
jadi penonton dari 'kiprah' perusahaan multinasional yang datang dari Eropa, Amerika Serikat maupun
Jepang! Bagi kebanyakan perusahaan Indonesia, pengertian marketing sebagai konsep mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu.

Masih ingat juga, pada waktu pertama kali buka kantor konsultan pemasaran, banyak orang yang datang
kepada saya minta omzet penjualannya dinaikkan. "Kalau kamu bisa naikkan penjualan saya sekian
persen, saya akan bayar kamu,!” Itu kalimat yang saya sering dengar. Saya menjawab bahwa marketing
bukan selling. Tapi, begitulah kenyataannya. Secara praktis, orang mulai tertarik pada marketing karena
salah sangka. Sekarang pun, masih banyak orang yang memajang kartu nama marketing director
marketing manager, atau national marketing manager tapi pekerjaannya tidak lebih dari 'jualan', atau
mengatur tenaga penjualan. Gejala seperti ini bukan terjadi di Indonesia saja. Di Amerika pun, orang
awam sering keliru mengartikan marketing sebagai selling.

Inilah pengertian 'pertama' dari marketing! Kalau mulai mengerti konsep marketing, entah dari baca
buku atau ikut seminar, biasanya marketing sudah punya arti yang lebih 'canggih”. Apakah itu?
Marketing mix atau bauran pemasaran. Jerome MC.Carthy membuat marketing mix jadi lebih gampang
dihafal dengan memberikan singkatan 4P, yakni product, price, place, dan promotion.

Begitu terkenalnya 4P ini di antara orang yang menganggap dirinya marketer sampai-sampai setiap kali
saya diminta klien untuk melakukan interview pada calon marketing manager, kata-kata itu selalu
keluar. Saya pernah mewawancarai seorang MBA lulusan salah satu business college asal ada dari
Amerika, yang baru pulang ke Indonesia. "Kalau Anda saya terima untuk menjabat sebagai salah seorang
product manager pabrik rokok ini, strategi pemasaran apa yang akan Anda lakukan?" tanya saya. "Itu
sederhana saja. Di sekolah saya, Amerika sana, sudah diajarkan semua! Saya akan tentukan product
strategy, pricing strategy, place strategy, dan promotion strategy," jawab si calon enteng.

Marketing mix tentu saja punya tingkat lebih 'tinggi' dari selling dalam konsep marketing. Tapi marketing
bukan cuma marketing mix. Product, price, place, dan promotion sebagai 4 elemen utama tidak hanya
cukup 'terintegrasi' hingga menuju ke satu arah. Kalau hanya itu yang diperhatikan, maka Anda belum
memperhatikan apa yang dilakukan pesaing. Padahal, konsep pemasaran makin dibutuhkan kalau
tingkat persaingan meningkat.

Orang yang fanatik pada konsep 4P akan mengatakan bahwa marketing adalah suatu konsep untuk
menentukan suatu produksi yang baik , menetapkan harga yang benar, memilih saluran distribusi yang
betul, dan mempromosikannya secara gencar. Asal itu semua sudah dilakukan, maka marketing sudah
dilakukan! Perusahaan bisa bangkrut, kalau punya marketing manager yang hanya sampai di situ!
Apalagi, kalau dia lantas mengusulkan untuk mendesain produk yang sebaik-baiknya, harga semurah-
murahnya, saluran distribusi seluas-luasnya, dan promosi besar-besaran!

Justru pengertian yang salah terhadap konsep marketing seperti inilah yang membuat para pengusaha
tradisional mulai tidak percaya terhadap konsep ini! Lebih baik mereka 'balik' pada konsep selling saja.
Sudah pasti dapat omzet tanpa peduli barang dijual pada siapa.

Biasanya, kalau marketing mix sudah tidak jalan', para marketer lantas mulai bicara differentiation. Di
Indonesia, salah satu perusahaan yang dengan gencar mempromosikan konsep ini adalah Sampoerna.
Anda masih ingat kan? "Kami memang beda!" katanya. Pada waktu kampanye KMB ini diluncurkan,
banyak orang tertarik. Putera Sampoerna termasuk orang yang sangat percaya harus ada different dari
Gudang Garam, Djarum, dan Bentoel, kalau mau menang. Waktu itu, Sampoerna adalah perusahaan
yang masih jadi pemain no. 4 dan tertinggal jauh. "It is better to be different, rather than to be better,"
katanya.

Tentu saja ide ini sangat menarik. Anda masih ingat, bagaimana Sampoerna membiayai marching band
yang crew-nya diambil dari para pengelinting rokok. Orang-orang yang belum pernah naik kapal ter-
bang sekalipun, langsung naik pesawat ke Los Angeles. Main di "Tournament of Roses" Pasadena,
bahkan ikut Parade di Disneyland!

Ini tentu menarik perhatian banyak orang. Waktu itu, pada ketiga pabrik rokok besar lainnya banyak
berpromosi lewat rock show dan tinju. Hampir semua event olah raga dan musik yang sama, disponsori
bergantian. Sampoerna dengan cerdik 'menghindar' dari cara yang sama. Bukan itu saja. Sampoerna
juga membuat rombong-rombong rokok yang diberikan pada para pedagang kaki lima. Mengapa
pedagang kaki lima? Ya, karena waktu itu, 90% omzet penjualan rokok masih berada di situ. Rombong
yang dihiasi dengan merek Sampoerna ini merupakan 'pedang' bermata dua. Pertama, sebagai
perangsang untuk mendorong para pengecer yang berada di garis depan agar lebih loyal' pada
Sampoerna. Kedua, rombong itu sendiri merupakan media iklan yang tidak konvensional.
Kebetulan, rokok Dji Sam Soe juga bentuknya berbeda dengan rokok kretek lain. Konsumen yang loyal
dan tidak bisa lepas dari rokok ini, bahkan menciptakan 'cara membuka' kotak rokok ini persis di tengah.
Begitu juga dengan harga Dji Sam Soe yang selalu diusahakan lebih mahal dari rokok-rokok lain.

Ini kelihatannya melanggar hukum supply-demand! Tapi kenyataannya, setiap kali dinaikkan, omzet
hanya turun sebentar, untuk kemudian naik lagi. Dan sampai sekarang pun, Dji Sam Soe dianggap rokok
kretek termahal dan sekaligus paling bergengsi.

Di sini terlihat bahwa pengertian marketing di Indonesia, berkembang dari selling ke marketing mix dan
differentiation.

Sebenarnya ketiga hal tersebut sangat diperlukan dalam marketing dan saling mempengaruhi satu sama
lain sebagai tiga elemen utama dari suatu marketing tactic!

Reviewing terhadap marketing mix itu bisa dicek efektivitasnya pada hasil penjualan. Dengan demikian
terlihat interaksi timbal balik antara marketing mix dan selling.

Nah, sekarang apa hubungan antara marketing mix dengan differentiation? Keempat elemen di dalam
suatu bauran pemasaran memang harus 'solid' dan saling menunjang satu sama lain. Tapi masalahnya
sekarang adalah marketing mix itu sendiri tidak hanya cukup 'terintegrasi', tapi sedapat mungkin bisa
membedakan diri dari produk lain.

Karena itu, marketing mix yang ditentukan harus melibatkan konsep differentiation. Produk yang sama,
diberi harga sama, dijual lewat saluran distribusi yang sama dan dipromosikan dengan cara yang sama
pula, tidak akan bisa menimbulkan persepsi berbeda di 'benak konsumen, walaupun brand yang dipakai
berbeda. Diferensiasi sendiri, sebenarnya bukan hanya meliputi perbedaan yang ada di bauran
pemasaran. Diferensiasi, kata Theodore Levitt, bisa terjadi di mana saja. Sistem manajeman yang
dipakai, situasi fisik gedung-gedung yang digunakan, bahkan pakaian seragam karyawan, bisa
menunjang diferensiasi yang diinginkan.

Marketing mix, kalau ditetapkan dengan landasan konsep diferensiasi yang sudah ditentukan
sebelumnya akan lebih baik. Sebaliknya, tiap reviewing terhadap marketing mix perlu dipikirkan
akibatnya konsep diferensiasi yang sedang digunakan. Begitu juga, korelasi antara konsep diferensiasi
dan selling terlihat amat jelas.

Aktivitas penjualan sebaiknya dilandasi oleh konsep diferensiasi dimana setiap tenaga penjualan
mengerti keunikan konsep marketing mix dan aspek-aspek lain. Sebaliknya, hasil penjualan tidak hanya
bisa mengakibatkan reviewing terhadap marketing mix, tapi juga konsep total pada konsep diferensiasi
yang dipakai!

Jadi, differentiation, marketing mix, dan selling adalah elemen-elemen utama marketing tactic yang
terintegrasi dan saling interaksi satu sama lain.

Anda mungkin juga menyukai