Anda di halaman 1dari 3

Di tengah konflik Palestina dan Israel, muncul isu terkait beberapa produk yang

disebut pro-Israel. Sejumlah orang kemudian mendeklarasikan boikot untuk produk-


produk tersebut.

Di satu sisi, dukungan tersebut diakui dapat berdampak pada upaya damai antara
Palestina dan Israel. Namun di sisi lain, beberapa orang berpendapat bahwa hal
tersebut dapat memicu penurunan ekonomi, khususnya bagi karyawan yang
bekerja di perusahaan produk tersebut.

Terkait fenomena tersebut, dosen Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah


Malang (UMM), Arif Luqman Hakim mengatakan bahwa boikot produk Israel
merupakan aksi yang meliputi penolakan produk yang mendukung Israel baik
secara langsung maupun tidak langsung.

Selain itu, aksi boikot produk pro-Israel adalah bentuk protes atas tindakan
genosida oleh Israel kepada masyarakat Palestina. Menurut Arif, protes ini dapat
menarik berbagai respons, termasuk dukungan untuk mendorong penyelesaian
konflik kedua negara.

Namun, Arif pun menyampaikan akan ada pandangan lain yang menyebut bahwa
aksi protes tersebut kurang efektif dan dapat merugikan perekonomian.

"Beberapa percaya bahwa boikot bisa mendorong perubahan politik dan perilaku,
sementara yang lain menilai bahwa dampaknya terbatas," tuturnya, dikutip dari
laman UMM, Selasa (7/11/2023).

Dampak Ekonomi

Jika dilihat dari segi ekonomi, aksi boikot produk Israel ini menurut Arif dapat
berpengaruh pada karyawan yang bekerja di perusahaan terkait. Adapun dalam
jangka panjang, dampak yang dihasilkan tentunya akan cukup signifikan.

Contoh dampaknya adalah hilangnya pekerjaan, penurunan penghasilan, hingga


menurunnya minat dan daya beli konsumen. Lebih jauhnya, efek boikot ini dapat
memengaruhi perdagangan internasional maupun ekonomi nasional.

Salah satu dampak yang bisa dirasakan Indonesia menurutnya adalah potensi
pengurangan produk impor dan dapat berpengaruh pada perdagangan dan
ketersediaan produk tertentu di pasar Indonesia.

Walaupun begitu, Arif menyampaikan, bentuk aksi tersebut memiliki dampak lain
yakni dapat mendukung geliat produk lokal semakin eksis dan dilirik masyarakat
Indonesia.

"Justru ini adalah momen yang tepat bagi pemerintah untuk mendukung produk
lokal agar lebih eksis di kancah nasional. Ini merupakan peluang untuk
menunjukkan kualitas produk lokal juga tidak kalah menarik dan dapat memenuhi
kebutuhan sehari-hari," ujarnya.
Alternatif Bentuk Dukungan ke Palestina

Tak hanya lewat aksi boikot produk pro-Israel, Arif menuturkan, ada beberapa
alternatif lain untuk menyalurkan dukungan bagi Palestina. Misalnya dengan
memberikan bantuan di bidang pendidikan, advokasi untuk dialog, dan bantuan
kemanusiaan.

"Alternatif-alternatif ini adalah cara untuk membantu Palestina tanpa merugikan


perekonomian mereka atau orang-orang yang mungkin terdampak oleh boikot,"
katanya.

Konflik antara Israel dan Hamas telah memicu polarisasi warganet


Indonesia, dengan sebagian dari mereka menyerukan boikot
terhadap perusahaan-perusahaan yang dianggap mendukung Israel.
Namun, alih-alih melumpuhkan ekonomi Israel, pengamat
mengatakan aksi boikot ini justru merugikan ekonomi Indonesia.
Adapun polarisasi di kalangan warganet Indonesia merupakan hal
lumrah karena masalah internasional kerap memicu dua kubu alias
binari di media sosial, kata pengamat hubungan internasional dari
Universitas Paramadina, Shiskha Prabawaningtyas.
“Ada ruang-ruang kontestasi identitas dan afiliasi, itu
mensimplifikasi bahwa tidak memboikot Israel sama saja dengan
[mendukung genosida], itu simplifikasi. Padahal belum tentu
begitu,” kata Shiskha kepada BBC News Indonesia, Kamis (02/11).
Ia menambahkan, meski reaksi emosional dalam percakapan di
media sosial adalah hal yang wajar, reaksi tersebut dapat dengan
mudah mengarah ke polarisasi keberpihakan terhadap sebuah topik
internasional.
Pada platform media sosial X (yang sebelumnya dikenal dengan Twitter),
sejumlah netizen Indonesia mendorong agar masyarakat melakukan boikot
terhadap produk-produk buatan Israel maupun perusahaan yang dianggap
terafiliasi dengan Israel.

Sebanyak 10.022 warga Gaza dilaporkan meninggal dunia dalam konflik Israel-
Palestina, menurut keterangan United Nations Office for the Coordination of
Humanitarian Affairs (OCHA) dari Kementerian Kesehatan Gaza.

Puncak eskalasi yang meletus pada 7 Oktober 2023 telah melahirkan seruan boikot
produk-produk Israel dan produk global yang terafiliasi dengan penjajahan Israel
terhadap Palestina menyebar luas di berbagai negara. Upaya ini dinilai dapat
menghentikan serangan militer Israel ke rakyat sipil Palestina.

Gerakan boikot pernah membuktikan keberhasilannya saat runtuhnya rezim apartheid Afrika Selatan.
Namun, aksi boikot produk yang terafiliasi dengan Israel perlu dilakukan proporsional agar tidak
merugikan ekonomi lokal.
Gerakan masyarakat memboikot produk-produk yang berafiliasi terhadap Israel perlu
dilakukan secara proporsional. Jika aksi boikot dilakukan secara tidak jeli, tenaga kerja dan
pelaku usaha lokal yang terlibat dalam rantai pasok produk terboikot bisa turut terkena imbas.

Sejak eskalasi konflik antara Hamas dan Israel di wilayah Gaza menjelma menjadi tragedi
kemanusiaan, seruan boikot dari konsumen dalam negeri terhadap produk atau merek yang
terafiliasi dengan negara Israel semakin mengemuka.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan telah mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 28 Tahun
2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Perjuangan Palestina. Dalam fatwa tersebut, MUI
mengimbau atau merekomendasikan masyarakat Muslim untuk menghindari transaksi dan
penggunaan produk pendukung Israel.

Fatwa MUI sejalan dengan fenomena gerakan sosial global bernama Boycott, Divestment,
and Sanction (BDS) yang bermakna boikot, divestasi, dan sanksi yang muncul sejak 2005.
Gerakan ini tidak hanya mengarah pada produk barang atau jasa, tetapi juga ranah budaya
dengan tujuan menekan Israel dari sisi ekonomi, sosial, budaya, dan politik.

Aksi boikot akan berdampak secara efektif jika penolakan


dilakukan terhadap produk impor yang memang didatangkan
langsung dari Israel.
Berdasarkan hasil kajian Litbang Kompas, restoran makanan cepat saji
McDonald’s, kedai kopi Starbucks, dan Unilever menjadi tiga perusahaan yang
kerap masuk dalam daftar boikot yang tersebar di berbagai platform media sosial.
Masyarakat yang gencar mengampanyekan aksi boikot menilai ketiga produk
cenderung mendukung tindakan Pemerintah Israel.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Indonesia Edy
Misero memahami rasa solidaritas dan kemanusiaan mendorong masyarakat Indonesia
memboikot produk yang disinyalir terafiliasi dengan Israel. Namun, aksi boikot perlu
dilakukan secara proporsional agar upaya menekan Pemerintah Israel tidak berdampak pada
pelaku usaha lokal.

Menurut dia, aksi boikot akan berdampak secara efektif jika penolakan dilakukan terhadap
produk impor yang memang didatangkan langsung dari Israel. Namun, aksi boikot yang
dilakukan untuk sektor jasa atau restoran yang beroperasi di Indonesia punya potensi
menghambat pertumbuhan kinerja pengusaha lokal.

Anda mungkin juga menyukai