Anda di halaman 1dari 7

HANYA SURABAYA DAN AKU

Karya
Eka Budianta
29 Desember 1986
Jalan Pemuda 15
Surabaya

Untuk putera-puteri Madura,


pedagang buah, bakul ikan,
sate dan soto yang ikut
membangun Surabaya
sejak 1000 tahun yang lalu.

Melintasi bukit,
ladang-ladang dan kebun tebu,
aku akan sampai di Surabaya.
Kotaku, kotaku,
aku datang untuk berterima kasih
karena kerikilmu, debu jalananmu, sungai dan langitmu
telah ikut membesarkan aku.

Kubawakan untukmu
salam dari berbagai dusun kecil
yang di sepanjang perjalanan
melambaikan tangan kepadaku
bersama jajaran pisang dan rumpun bambu.
Surabaya, Surabaya,
matahari terbit dan terbenam
aku tetap anakmu.
Di laut, di pegunungan,
di hutan dan di cakrawala
aku selalu mengenangmu,
menyanyikan lagu-lagu untukmu
sebab engkaulah kota kenangan
sekalipun tidak datang padamu.
Kalau ditanya siapa bercinta
tanpa perlu bertemu?
Jawabnya: hanya Surabaya dan aku.

Engkau selalu hidup di hati, Surabaya


Engkau terhampar
di jiwa-jiwa yang merdeka.
Namamu menjulang bagai tugu
di langit para pecinta kebebasan.
Lihatlah benderamu, kotaku
berkibar lama sebelum Indonesia.
Bahkan di pangkuanmu ini
bercengkerama manusia-manusia pertama.
Dua juta tahun yang lalu,
ya, dua juta tahun yang lalu,
ketika aku bersama phytecantropus mojokertensis,
berlarian dan tidur di haribaanmu,
ketika adam dan hawa belum jadi cerita,
tembangku telah menyanyikan Surabaya.
Surabaya Surabaya
Bersamamu aku terbaring
Dengan jiwa terbuka
Membiarkan mimpi datang dan pergi.

Anak-anak sejarah
lahir dan mati di pangkuanmu,
menyepuh masa depan ddan masa lalu
dengan dendam kencana,
dendam cinta manusia yang tak ada habis-habisnya.
Sehingga bila di akhirat ditanya
siapa kasih nyawa untuk kotanya?
“Hanya Surabaya dan aku”

Aku berdiri di tepi kali Mas


menatap air yang coklat,
menatap matahari yang coklat,
menatap bumi yang coklat,
tumpah darah nenek-moyangku.

Kalau sampeyan ditanya


siapa tidak lari
ketika bumi disiram peluru?
Jawab saja: hanya Surabaya dan aku.
Aku melihat sampeyan menghadang tank baja
dengan bambu, celurit dan batu.
Aku melihat sampeyan memanjat tiang bendera.
Aku melihat sampeyan berdarah
dan berteriak, “Merdeka!”
Aku melihat sampeyan mati dan lahir
bersama Surabaya.

Surabaya,
padamu kubayangkan Gajah Mada
berdiri di Ujung Galuh
melepas perahu-perahunya
sampai ke Australia, Afrika,...
Padamu kurasakan
degup jantung anak-anak terbaik Indonesia.
Bung Karno yang mengejutkan dunia
juga di sini lahirnya.

Kalau sampeyan ditanya


siapa tidak menangis
ketika Sungai Mas disumbat tahun1625
lantaran menolak tunduk pada Mataram
sampai warga kota mati kehausan?
Jawabnya: hanya Surabaya dan aku.
Aku melihat sampeyan tetap bertahan
mengubur anak-anak, istri dan famili
satu persatu, satu persatu
hingga dari 60.000 warga kota ini
cuma tinggal 1000.
Surabaya, o, ibukota penderitaan Tanah airku.
Siapakah lebih tabah dari kamu?
Pada sebuah dinihari
aku masuk ke dada Surabaya.
Angin pulang dari laut
menyusuri Kali Mas sampai ke pundakku.
Aduh, rek, beban apa ini
tak mau lepas dari punggungku?
Hari-hari kosong,
hari-hari padat
meluncur dari pagi ke pagi.
Aku tenggelam
dari rahang cinta yang satu
ke rahang cinta lainnya.
Aku lumat
dikunyah-kunyah dunia.
Hanya Surabaya dan aku yang tahu
mengapa aku menyelam dalam-dalam ke lautmu.
Hanya Surabaya dan aku yang paham
mengapa aku mendaki gunung-gunungmu.

Surabaya,
bersamamu aku akan tidur
dengan jiwa terbuka
membiarkan mimpi
datang dan pergi.

Surabaya,
engkaulah barometer temperamen Indonesia
Surabaya,
engkaulah ukuran emosi bangsa ini
Surabaya,
engkaulah hati nurani Indonesia.
Kalau engkau diam,
negeriku akan sepi-sepi saja.
Kalau engkau marah
Tumpah darahku akan bergolak.
Tersenyumlah Surabaya,
maka bangsaku akan tertawa.

Sore hari kalau aku terbaring,


burung layang-layang berhamburan memenuhi langitmu.
Awan-awan berwarna menatapku
dan aku balik bertanya menatapnya,
sepert dulu nenek-moyangku menatapnya,
seperti dulu para pujangga menatapnya,
seperti dulu para pahlawan menatapnya,
seperti dulu, seperti sekarang,
seperti di masa depan
bila cucu-cucuku di sini berkembang.
Bila senja menjadi anggun menyambut malam,
bila bunga-bunga api berpijar
semburat ke langit sampeyan.

Surabaya, Surabaya
darahmu memukul-mukul jantungku
nafasmu menggelorakan sukmaku
pandanganmu berseri-seri dan menyala-nyala
membakar seluruh jiwa-ragaku.

Hanya Surabaya dan aku,


hanya Surabaya dan aku,
hanya Surabaya dan aku.

Anda mungkin juga menyukai