Anda di halaman 1dari 14

Bab 2

Landasan Teori

2.1 Teori penokohan

Tokoh dan penokohan merupakan unsur terpenting dalam fiksi.

Mengenai penokohan Jones dalam Nurgiyantoro (2002: 165) mengemukakan,

“penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seorang yang

ditampilkan dalam sebuah cerita.” Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro

(2002: 165), tokoh cerita (character) adalah orang-orang yang ditampilkan

dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan

memiliki kualitas moral dan kecendrungan tertentu seperti yang diekspresikan

dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Antara seorang tokoh

dengan kualitas pribadinya berkaitan dengan penerimaan pembaca, khususnya

dari pandangan teori persepsi, pembacalah sebenarnya yang memberi arti

semuanya. Untuk kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan dilakukan

berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku (non verbal). Walaupun tokoh

dalam cerita merupakan tokoh ciptaan pengarang, tokoh harus bersifat hidup

sebagaimana kehidupan manusia yang mempunyai pikiran dan perasaan.

Seorang tokoh cerita dikatakan wajar, relevan apabila mencerminkan dan

mempunyai kemiripan dengan kehidupan manusia sesungguhnya (lifelike).

Realitas kehidupan manusia memang penting dalam kaitannya dengan

kehidupan tokoh cerita. Namun, harus disadari bahwa hubungan itu tidak

bersifat sederhana, melainkan bersifat kompleks. Hubungan antara

tokoh-tokoh fiksi dengan realitas kehidupan manusia tidak hanya berupa

hubungan kesamaan saja melainkan juga hubungan perbedaan. Tokoh manusia

nyata memiliki banyak kebebasan, namun tokoh dalam fiksi tidak pernah

10
berada dalam keadaan yang benar-benar bebas. Penokohan dalam karya fiksi

dapat dikaji dan dianalisis dengan unsur-unsur pembangun lainnya, misalnya

dengan unsur plot dan tema, atau unsur latar, sudut pandang, gaya, amanat,

dan lain-lain.

Menurut Nurgiyantoro (2002: 176-178), Tokoh-tokoh cerita dalam fiksi

dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut

mana penamaan itu dilakukan. Dilihat dari segi peranan atau tingkat

pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh utama (main character) dan

tokoh tambahan (peripheral character). Tokoh utama tergolong penting dan

diutamakan pencitraannya dalam novel yang bersangkutan, ia merupakan

tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun

yang dikenai kejadian. Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan

selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan

perkembangan plot secara keseluruhan. Sebaliknya tokoh tambahan hanya

dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita. Permunculan tokoh-tokoh

tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan

kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara

langsung ataupun tidak langsung. Menurut Forster dalam Nurgiyantoro (2002:

181-183), Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam

tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh

bulat (complex atau round character). Tokoh sederhana adalah tokoh yang

hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat, watak tertentu saja.

Tokoh sederhana bersifat datar, monoton dan tingkah lakunya tidak dapat

memberi efek kejutan bagi pembaca. Sedangkan tokoh bulat adalah tokoh

yang memiliki berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan

11
jati dirinya. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2002: 183), tokoh bulat

lebih menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya, karena disamping

memiliki berbagai kemungkinan sikap dan tindakan, ia juga sering

memberikan kejutan.

Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan, Abrams dalam

Nurgiyantoro (2002: 188, 189) membedakan tokoh ke dalam tokoh statis, tak

berkembang (static character) dan tokoh berkembang (developing character).

Tokoh statis adalah tokoh cerita yang tidak mengalami perubahan atau

perkembangan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh

berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan

perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan peristiwa dan plot

yang dikisahkan.

Berikut ini dijelaskan oleh Chiaki (2009: 43-45) mengenai penokohan:


「ヒーロー」なんともいえずカッコいい響きを持つ言葉だ。もと
もとは「英雄」という意味なのだが、小説や戯曲、シナリオのこ
とも、男性「ヒーロー」女性は「ヒロイン」といったりする。
もちろん、近代の小説にでてくる「中心人物」は、すべてが「英
雄」のように派手な行動をするわけではない。むしろそれとはま
ったく逆の「タイプ」が多い。

Terjemahan:
Pahlawan apapun sebutannya adalah kata yang mengandung
kehebatan. Sebagian besar arti pahlawan yang terdapat di dalam novel,
teater, dan scenario (tokoh utama), sebutan untuk pahlawan laki-laki
Hero dan untuk perempuan adalah Heroine. Tentu saja di novel
modern ada (tokoh utama) tetapi semuanya bukan seperti pahlawan
yang menonjolkan aksinya. Juga banyak yang tipenya terbalik.

そうすると主人公動的な登場人物と不動的な登場人物に二分で
きる。動的な登場人物は、境界線を横断し、題材的であるが、
不動的な人物は、あらかじめ分類された世界に固定され、境界
線を越えることは禁じられ、無題村的となる。題村的人物は、

12
時任謙作のように様々な試練を経ながら人格を変えていくよう
な、筋を構成する主人公になりうる。しかし、無題村的人物は、
三四郎のように、自分の周囲で他の人物が演じる事件傍観する、
視点人物的な主人公となる。

Terjemahan:
Kemudian tokoh utama bisa di bagi menjadi dua, penampilan
perannya dinamis dan penampilan perannya tidak dinamis/ imobilitas.
Peran yang dinamis terdapat kesamaan sisi dan subjek, peran yang
tidak dinamis adalah klasifikasi dunia yang sebelumnya telah
ditetapkan tentang melintasi garis besar yang dilarang dan tidak
ada yang menjadi subjek. Sebuah subjek peran merupakan
kepercayaan diri pengarang yang telah melalui bermacam-macam
percobaan seperti kesalahan orang yang terus berubah, ceritanya
menjadi cara menyusun tokoh utama. Peran yang tidak dinamis/
imobilitas seperti Sanshiro, yang dirinya sendiri dikelilingi dengan
peran lainnya memainkan kasus yang dilihatnya, buah pembicaraan
menjadi tokoh utamanya.

2.2 Teori Psikoanalisis Sosial

Teori psikoanalisis sosial dari Karen Horney dibentuk berdasarkan

asumsi bahwa kondisi sosial dan kultural, terutama pengalaman-pengalaman

masa kanak-kanak, sangat besar pengaruhnya dalam membentuk kepribadian

seseorang. Orang-orang yang tidak mendapatkan kebutuhan akan cinta dan

kasih sayang yang cukup selama masa kanak-kanak mengembangkan rasa

permusuhan dasar (basic hostility) terhadap orang tua mereka dan sebagai

akibatnya mengalami kecemasan dasar (basic anxiety). Pengalaman masa

kanak-kanak awal mempunyai peranan penting dalam membentuk kepribadian

manusia, menjadi kepribadian neuritik atau sehat (Horney dalam Feist, 2010:

192). Konflik neurotik dapat muncul dari hampir semua tahapan

perkembangan, tetapi masa kanak-kanak adalah masa dimana sebagian besar

masalah timbul. Peristiwa traumatis yang berbeda-beda, seperti pelecehan

13
seksual, pemukulan, penolakan atau pengabaian, dapat mempengaruhi

perkembangan anak di masa depan. Pengalaman-pengalaman yang merusak

ini hampir selalu ditimbulkan oleh kurangnya kehangatan dan kasih sayang

yang tulus (Horney dalam Feist, 2010: 197, 198).

Manusia membutuhkan kondisi-kondisi yang mendukung untuk

berkembang. Kondisi ini harus mencakup lingkungan yang hangat dan saling

mencintai. Anak-anak perlu merasakan cinta yang tulus dan kedisiplinan yang

baik. Kondisi-kondisi seperti ini akan memberikan perasaan aman dan puas

kepada mereka dan memungkinkan mereka tumbuh sesuai dengan diri mereka

sebenarnya (real self). Namun, sejumlah pengaruh buruk dapat mengganggu

kondisi-kondisi yang mendukung tersebut. Salah satu pengaruh buruk utama

adalah ketidakmampuan atau ketidakinginan orang tua untuk mencintai anak

mereka. Maka orang tua seringkali mendominasi, mengabaikan, terlalu

melindungi, menolak, atau terlalu memanjakan. Apabila orang tua tidak dapat

memenuhi kebutuhan akan kebutuhan anak akan keamanan dan kepuasan,

maka anak akan mengembangkan perasaan permusuhan dasar (basic hostility)

terhadap orang tuanya. Akan tetapi anak-anak jarang menunjukkan secara

langsung rasa permusuhan ini sebagai kemarahan, melainkan mereka menekan

rasa permusuhan mereka. Rasa permusuhan ini kemudian mengarah kepada

rasa tidak aman yang mendalam dan sebuah perasaan cemas yang samar-samar.

Kondisi ini disebut sebagai kecemasan dasar (basic anxiety). Kecemasan dasar

(basic anxiety) dapat digambarkan sebagai perasaan kecil, tidak berarti, tidak

berdaya, putus asa, dan merasa terancam disebuah dunia yang penuh dengan

penyerangan, kelicikan, penghinaan, kebencian, dan kecemburuan (Horney

dalam Feist, 2006: 147).

14
Menurut Horney dalam feist (2010: 199), Kecemasan dasar itu sendiri

bukanlah neurosis melainkan lahan subur dimana neurosis dapat berkembang

setiap saat. Kecemasan dasar terjadi secara terus menerus dan sulit dihentikan,

serta tidak membutuhkan stimulus tertentu.

15
Tabel 2.2 Interaksi Permusuhan Dasar dan Kecemasan Dasar

dengan Pertahanan terhadap Kecemasan (Horney dalam Feist, 2010:

203)

Permusuhan dasar
Akibat dari perasaan ditolak atau diabaikan oleh orang tua pada
masa kanak-kanak atau pertahanan diri terhadap kecemasan

Kecemasan dasar
Akibat dari perlakuan orang tua yang mengancam atau dari
pertahanan diri terhadap permusuhan

Pertahanan Diri terhadap


Kecemasan

Pertahanan diri normal Pertahanan diri neurotik


Pergerakan spontan Gerakan Kompulsif
Mendekati orang lain Menuju orang lain
(Kepribadian yang ramah dan (kepribadian yang penurut)
penuh kasih) Melawan orang lain
Melawan orang lain (kepribadian yang agresif)
(bertahan dalam masyarakat yang Menjauh dari orang lain
penuh persaingan) (kepribadian yang menyendiri)
Menjauh dari orang lain
(kepribadian yang otonom dan
damai)

16
Menurut Horney dalam Feist (2006: 143), manusia memerangi

kecemasan dasar dengan mengadopsi satu dari tiga jenis relasi dengan orang

lain, diantaranya: bergerak menuju orang lain (moving toward people),

bergerak menentang orang lain (moving against people), atau bergerak

menjauh dari orang lain (moving away from people).

Menurut Horney dalam Feist (2010: 192), pengalaman masa

kanak-kanak mempunyai peranan penting dalam membentuk kepribadian

manusia, menjadi kepribadian neurotik atau sehat. Dari tabel dibawah ini

Horney dalam Feist (2010: 207) merangkum tiga kecendrungan neurotik,

konflik-konflik dasar yang menyebabkan kecendrungan neurotik, karakteristik

penting dari masing-masing kecendrungan neurotik, sepuluh

kebutuhan-kebutuhan neurotik yang membentuk kecendrungan neurotik dan

tiga karakter serupa yang merupakan ciri-ciri dari orang-orang normal.

17
Tabel 2.2 Rangkuman dari Kecendrungan Neurotik Horney

Mendekati Melawan Orang Menjauhi Orang


Orang Lain Lain Lain

Kepribadian Kepribadian Kepribadian


Memisahkan diri
Penurut Agresif

Konflik dasar Perasaan Perlindungan dari Perasaan terpisah


atau sumber ketidakberdayaan permusuhan atau
dari ketidakramahan
kecendrungan orang lain
neurotik
Kebutuhan - Kasih sayang - Kekuasaan - Kemandirian dan
neurotik dan - Pemerasan kebebasan
penerimaan - Penghargaan dan -Kesempurnaan dan
- Rekan yang ketidakmungkinan gengsi
berpengaruh untuk salah
atau kuat -Kekaguman
- Batasan sempit pribadi
dalam hidup -Pencapaian
pribadi
Ciri normal Ramah, penuh Kemampuan Mandiri dan tenang
yang serupa cinta kasih untuk bertahan di
lingkungan yang
kompetitif

2.3 Teori Agresi

Pada umunya, setiap anak mempunyai dorongan agresif. Dorongan

agresif ini timbul sejak kecil dan muncul pada perbuatan-perbuatan.

Menurut Sobur (2009: 434), Agresi merupakan kekuatan hidup (life force)

dan energi yang bersifat membangun dan bisa juga menghancurkan. Sikap

keras kepala seorang anak kecil dalam usahanya mendapatkan apa yang

diinginkannya, permainan mereka yang kasar serampangan, jeritan anak

perempuan selagi kejar-kejaran, dan penggunaan sumpah serapah serta

kata-kata kasar pada anak remaja, semua itu dapat digolongkan dalam

perilaku agresi. Agresi yang berlebihan banyak didapatkan pada anak yang

orang tuanya bersikap terlalu memanjakan, terlalu melindungi, atau terlalu


18
bersifat kuasa serta penolakan orang tua. Selama pertumbuhannya,

anak-anak memiliki kecendrungan yang wajar untuk berusaha menekan

watak agresif mereka sedikit demi sedikit, kecuali bila orang tua mereka

justru mendorongnya kearah itu.

Ada dua macam sebab yang mendasari tingkah laku agresif pada anak.

Pertama, tingkah laku agresif yang dilakukan untuk menyerang atau

melawan orang lain. Jenis tingkah laku agresif ini biasanya ditandai dengan

kemarahan atau keinginan untuk menyakiti. Kedua, tingkah laku agresif

yang dilakukan sebagai sikap mempertahankan diri terhadap kesenangan

dari luar. Namun, tingkah laku agresif yang diperlihatkan anak tidak selalu

merupakan tingkah laku untuk mempertahankan diri atau menyerang atau

tingkah laku yang ditirunya dari orang-orang disekitarnya. Ada kalanya anak

bertingkah laku agresif hanya untuk mencoba-coba sampai dimana

kemampuan seseorang atau untuk mengetahui siapa yang paling hebat

diantara teman-temannya. Agresivitas yang diperlihatkan ini hanya

didasarkan atas keinginan untuk memuaskan rasa ingin tahu dan keinginan

jahil saja. Walaupun demikian, penanganan orang tua tetap dibutuhkan

untuk mengatasi keadaan seperti ini (Sobur, 2009: 435).

2.4 Teori Keluarga

Setiap keluarga mempunyai kondisi yang berbeda-beda, dalam ikatan

keluarga yang akrab dan hangat, seorang anak akan memperoleh pengertian

tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab. Anak belajar bekerja sama,

membagi rasa kepada yang lainnya, selalu ingat akan adanya saudara-saudara

sehingga membentuk sikap-sikap sosial yang memudahkan hubungan sosial.

Sebaliknya, seorang anak yang hidup dalam suasana keluarga yang diwarnai

19
oleh pertengkaran, akan terbiasa dengan suasana penuh ketegangan dan

pertengkaran. Ia mendambakan rasa sayang sebagai kebutuhan dasar tetapi

tidak tahu menyatakannya maupun cara memperolehnya. Keluarga dan

suasana keluarga sangat menentukan kehidupan emosi seseorang. Keluarga

sangat penting bagi pembentukan pribadi. Suasana keluarga mempengaruhi

perkembangan emosi, respons afektif anak, remaja dan orang dewasa. Di

dalam keluarga yang kurang cinta damai, tercetus dalam perilaku marah, anak

belajar melalui peniruan dan suasana tegang. Suasana keluarga yang penuh

dengan letupan emosi menimbulkan suasana panas dan menjadi sumber

masalah baru. Suasana keluarga yang panas maupun dingin akan

mempengaruhi perkembangan kepribadian anggota keluarga, Singgih (1991:

25-29).

David dalam Shochib (2000: 19,20) mengkategorikan keluarga kedalam

empat jenis, yaitu:

1. Keluarga seimbang, keluarga yang ditandai oleh keharmonisan hubungan

antara ayah dengan ibu, ayah dengan anak serta ibu dengan anak. Dalam

keluarga ini orang tua bertanggung jawab dan dapat dipercaya.

2. Keluarga kuasa, dalam keluarga ini lebih menekankan kekuasaan daripada

relasi. Anak merasa seakan-akan ayah dan ibu mempunyai buku peraturan.

Orang tua bertindak sebagai bos dan pengawas tertinggi.

3. Keluarga protektif, dalam keluarga ini ketidakcocokan sangat dihindari

karena lebih menyukai suasana kedamaian. Sikap orang tua lebih banyak

pada upaya memberi dukungan, perhatian, dan garis-garis pedoman

sebagai rujukan kegiatan.

4. Keluarga kacau, dalam keluarga ini cenderung timbul konflik, orang tua

20
kurang peka dalam memenuhi kebutuhan anak. Anak sering diabaikan dan

terdapat kesenjangan hubungan antara orang tua dan anak. Anak sering

dimarahi atau ditekan, hal ini mengakibatkan anak merasa tidak disayang

dan mendapatkan kesan tidak diinginkan keluarga.

5. Keluarga simbiotis, dicirikan oleh orientasi dan perhatian keluarga yang

kuat bahkan hampir seluruhnya terpusat pada anak. Keluarga ini berlebihan

dalam melakukan relasi. Orang tua banyak menghabiskan waktu untuk

memikirkan dan memenuhi keinginan anak-anaknya. Sehingga saat dewasa

anak belum memperlihatkan perkembangan sosialnya.

2.4.1 Konsep Keluarga Jepang Tradisional (Ie)

Terdapat berbagai bentuk keluarga di Jepang, tetapi sistem keluarga

yang dianggap ideal pada abad ke-20, yaitu sistem keluarga ie. Sistem dimana

seorang ayah memegang peran (sistem patrilineal) dan sistem hierarki yang

ditentukan oleh kelahiran. Menurut Nakane dalam Tobing (2006: 79),

anggota-anggota ie pada dasarnya terdiri dari mereka yang mempunyai

hubungan kekerabatan, tetapi sering juga anggotanya merupakan keluarga

yang hubungan kekerabatannya jauh dan bahkan tidak mempunyai hubungan

kekerabatan. Anggota-anggota ie yang tidak mempunyai hubungan

kekerabatan ini dapat merupakan yoshi (anak angkat), mukoyoshi (menantu

laki-laki) yang diangkat menjadi ie, bahkan juga pembantu yang disebut

dengan hokonin yang sudah lama bekerja dalam ie majikannya. Menurut Befu

dalam Tobing (2006: 86), keangotaan dari sistem ie meliputi orang-orang yang

tinggal bersama-sama serta menanggung kehidupan sosial dan ekonomi

bersama, baik yang memiliki hubungan darah yang dekat (chikai shinzoku),

21
maupun kerabat jauh yang tidak mempunyai hubungan darah, misalnya para

pekerja yang sudah lama tinggal bersama kelompok kerabat inti dan

berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan ekonomi.

Menurut Befu dalam Tobing (2006: 93), dalam sistem ie terdapat

pranata-pranata yang antara lain mengenai harta warisan kekayaan ie berupa

kazan (harta warisan) yang berwujud benda konkret, kamei (nama keluarga),

kakaku (status keluarga), kafu (tradisi keluarga), dan keifu (silsilah keluarga).

Norma-norma umum yang berlaku dalam sistem pewarisan ie, khususnya

penggantian kacho yang dianggap juga sebagai salah satu unsur warisan

bersifat patrilineal dan primogenitur. Mengenai pewarisan kazan dalam

hubungannya dengan struktur ie, Hiroyuki dalam Tobing (2006: 94)

menjelaskan, Kazan (harta warisan) yang dimiliki oleh ie diwariskan secara

turun-temurun kepada chonan (anak laki-laki sulung atau anak laki-laki

tunggal) sebagai ahli waris dan akan menggantikan kedudukan kacho.

Menurut Ishihara dalam Tobing (2006: 94), ie sebagai suatu sistem tidak

hanya terbatas pada kelompok anggota-anggota keluarga yang nyata, tetapi

juga bersifat sebagai suatu lembaga. Dengan demikian segala sumber-sumber

materi yang melekat pada Ie disebut kazan. Pada dasarnya kacho menerima

warisan kazan dari nenek moyangnya untuk dilanjutkan kepada generasi

berikutnya, dan kacho adalah sebagai orang yang mengelola dan memelihara

kazan bukan sebagai yang memiliki. Dalam Meiji Minpo (meiji civil code),

konsep tersebut diatur kembali dan disamping itu ada bentuk warisan lain yang

disebut katoku sozoku (warisan sebagai kepala ie) sesuai dengan keturunan,

chonan secara sendirian mewarisi katoku, termasuk alat-alat upacara (saigu)

yang dipakai untuk memuja leluhur ie (sosen saishi) sehingga akan membuka

22
kemungkinan bagi kacho untuk mewarisi kazan. Bentuk utama dari kazan

adalah harta tak bergerak (fudosan) yang berupa tanah (tochi) atau bangunan

rumah (kaoku).

Berikut ini dikemukakan mengenai sistem Ie oleh Katsurashima (2005: 99)

日本の家族は「イエ」制度のもとで成り立っていました。、家長が家
族に対して支配権をもち、長男が親と同居して嫁を迎え、財産な
どとともに「イエ」を継ぐという制度です。長男はその名字とと
もに伝統を受け継ぎ、
「イエ」を守っていく役割を担っていました。

Terjemahan:
Keluarga jepang terdiri atas sistem Ie. Kepala keluarga yang memegang
kuasa terhadap keluarga. putra tertua tinggal bersama orang tuanya.
Sistem dimana mewarisi harta dan lainnnya bersama. Putra pertama
mewarisi tradisi dengan nama keluarga, memikul peranan terus
mempertahankan Ie.

23

Anda mungkin juga menyukai