Tasybih Dhimni
Sebuah unsur perumpamaan yang tidak dijelaskan secara teori yang diketahui, melainkan
dipahami melalui isi perkataan dan konteks ucapan. Oleh karena itu, perumpamaan ini
disebut dengan perumpamaan implisit. Seperti ucapan Abu Tayyib Al Mutanabbi:
Barangsiapa yang terhina maka dia akan mudah dihina dan dia tidak akan pernah
menderita kesakitan
Maksud dari syair tersebut adalah barangsiapa yang terbiasa dihina, akan mudah baginya
untuk menanggungnya dan tidak akan menderita karenanya. Pernyataan ini tidaklah salah.
Karena kalau orang mati dilukai, ia tidak merasakan sakit, dan ini merupakan kiasan dari
perumpamaan tersebut, namun tidak secara tersurat. Ini bukanlah salah satu bentuk
perumpamaan yang dikenal.
Bagian kedua merupakan perumpamaan yang tersirat, yang menunjukkan keabsahan makna
pada bagian pertama, karena dari syair tersebut kita telah belajar bahwa penyair itu ibarat
orang yang menerima hinaan, serta tidak iri terhadap martabatnya. ibarat orang mati yang
mengusir rasa irinya dan tidak merasakan sakit apa pun.
Dan seperti firman Allah: "Dan janganlah kamu saling menggunjing. Apakah ada di antara
kamu yang mau memakan daging saudaranya yang telah meninggal? Maka kamu sangat
membencinya" [Al-Hujurat: 12].
Ini merupakan perumpamaan tersirat dari apa yang didapat oleh pencela yang zalim dengan
menampilkan si penggunjing yang dianiaya dengan cara yang paling tidak masuk akal, dan
tidak sebatas mereprepresentasikan ghibah hanya dengan memakan daging manusia, namun
lebih dari itu yakni dengan menjadikannya sebagai saudara untuk dimakan. Kemudian: Dia
tidak sebatas memakan daging orang lain, namun sampai menjadikannya mati.
Sedangkan menurut Qatadah: Sebagaimana kamu benci makan bangkai jika kamu
menemukannya, maka kamu juga benci daging saudaramu.
Qatadah mengumpamakan ghibah dari segi konteksnya atas pengambilan kehormatan orang
yang mengghibah dengan memakan daging manusia yang sudah mati. Beliau menguraikan
keadaan musyabbahnya dengan keadaan musyabbah bihnya. Beliau tidak meragukan bahwa
keadaan musyabbah bih adalah keadaan yang sangat keji dan buruk. Perumpamaan yang
disebutkan adalah gambaran untuk menyakiti dengan buruknya beberapa gambaran. Atas hal
itu, sesungguhnya hati manusia pengghibah merasa sakit karena kehormatan yang dihina
sama seperti rasa sakit yang dirasakan badannya apabila terpotong dagingnya. Akan tetapi,
kehormatannya lebih terpandang daripada darah dan dagingnya. Apabila akal telah mencegah
untuk memakan daging manusia maka tercegahlah dari hinanya kehormatan.
Seperti pujian al-Mutanabbi terhadap Husain bin Ali Al-Mahadani dan bapaknya:
Rambutku menjadi salah satu di tempatnya dan pada leher wanita cantik wajib
diikatkan
Bagian kedua pada syair tersebut adalah Tasybih Dhimni. Hal tersebut dibuktikan dengan
pujian yang ada dalam syair yakni menyerupai kalung berharga di leher seorang wanita
cantik.
Seperti pujian al-Buhturi pada Muhammad bin Ali Al-Qummi
Dia menertawakan pahlawan sambil menakuti mereka dan pedang memiliki ujung
yang tajam ketika dipukul dan megah
Dapat dipahami bahwa bagian kedua adalah Tasybih Dhimni. Hal tersebut dapat dilihat
bahwa pujian dalam syair mengibaratkan pedang memiliki dua sifat. Yang pertama
menyenangkan mereka dengan sinarnya dan senyumannya. Yang kedua menakuti mereka
dengan kekuatan dan wibawanya.
Seperti perkataan Abi al-‘Atahiyah
Kamu mengharapkan keselamatan tapi tidak mengikuti jalannya. Sungguh tidak ada
kapal yang berlayar di atas kapal.
Bagian kedua merupakan Tasybih Dhimni. Perumpamaan tersebut tidak sama dengan
perumpamaan pada umumnya yang menyebutkan musyabbah dan musyabbah bih nya.
Penjelasan dari perumpamaan tersebut adalah barang siapa yang tidak menempuh jalan
keselamatan, maka keadannya sama seperti kapal laut. Apabila diletakkan di darat, maka
tidak akan berlayar.
Seperti perkataan Abi Tammam:
Bersabarlah terhadap kekesalan orang yang iri, karena kesabaranmu bagaikan api
yang melahap sebagian dirinya sendiri jika tidak menemukan sesuatu untuk dimakan.
Bagian kedua memuat perumpamaan tersirat dengan makna yang jelas.
Dan seperti yang dikatakan Abu Tammam ketika meratapi dua anak Abdullah bin Tahir:
Aku khawatir akan tanda-tandanya, jika aku diberi waktu sampai mereka berada di
utara, karena jika kamu melihat bulan sabit terbit, niscaya kamu akan menjadi bulan
purnama.
Bagian kedua memuat perumpamaan tersirat dengan makna yang jelas.
Dari pembahasan tasybih ini, kita dapat menyimpulkan beberapa hal berikut:
Kedua rukun tasybih (musyabbah-musyabbah bih) tidak mudah untuk dipahami.
Sesungguhnya memahaminya harus dengan merenungkan makna dari isi kata tersebut.
Tasybih dhimni tidak menyebutkan alat tasybihnya secara mutlaq
Bagian kedua (musyabbah bih) seringkali dilampirkan sebagai ungkapan atau peribahasa.