Anda di halaman 1dari 8

Liturgi Pemakaman Orang Mati

Gabriel Marcelinus Natanael – 6122101010

A. Makna dan Prinsip Dasar


Arti Kematian secara Kristen adalah peralihan dari tubuh duniawi untuk menetap bersama
dengan Tuhan (2 Kor 5:8), atau dengan kata lain, sebagai sarana bagi Anak-anak Allah untuk
menuju Kerajaan Allah (KGK. 1680). Keluarga yang ditinggalkan mendapatkan kata-kata
penghiburan dari Imam yang memimpin ibadat pemakaman. Tujuan dari kata-kata penghiburan
ini adalah supaya keluarga yang ditinggalkan tidak berlarut di dalam kesedihan. Selain itu,
keluarga juga mendapatkan penguatan bahwa orang yang meninggal akan hidup abadi di surga
bersama Allah (1 Tes 4:18). Apabila orang yang meninggal semasa hidupnya mengalami sakit,
penyakit itu telah terlepas dari tubuhnya. Ini juga menjadi bentuk penghiburan bagi keluarga
yang ditinggalkan.

Prinsip dasar pemakaman Gerejawi merujuk kepada Kan. 1176:


§1. Umat beriman kristiani yang telah meninggal harus diberi pemakaman gerejawi
menurut norma hukum.
§2. Pemakaman gerejawi, dengannya Gereja memohon bantuan spiritual bagi mereka
yang telah meninggal dan menghormati tubuh mereka serta sekaligus memberikan
penghiburan berupa harapan bagi yang masih hidup, harus dirayakan menurut norma
undangundang liturgi.
§3. Gereja menganjurkan dengan sangat, agar kebiasaan saleh untuk menguburkan
jenazah dipertahankan; namun Gereja tidak melarang kremasi, kecuali cara itu dipilih
demi alasan-alasan yang bertentangan dengan ajaran kristiani.

Dalam Perayaan Ekaristi yang diadakan bersamaan dengan liturgi upacara orang mati, Doa
Syukur Agung yang cocok digunakan adalah Doa Syukur Agung ketiga. Alasannya adalah DSA
ini tidak memiliki prefasi khusus yang dengan demikian dapat digunakan prefasi untuk orang
mati.

B. Tempat Upacara Pemakaman dan Penguburan


Tempat upacara pemakaman orang-orang Katolik merujuk kepada Kan. 1177:
§1. Pemakaman bagi setiap orang beriman yang telah meninggal harus dirayakan pada
umumnya dalam gereja parokinya sendiri.
§2. Namun diperbolehkan setiap orang beriman atau pun mereka yang berwenang
mengurus pemakaman seorang beriman yang telah meninggal, memilih suatu gereja lain
untuk pemakaman itu, dengan persetujuan orang yang mengepalai gereja, dan setelah
memberitahu pastor paroki orang yang meninggal.
§3. Jika kematian itu terjadi di luar parokinya sendiri dan jenazah tidak dipindahkan ke
sana, sedangkan tidak ada gereja lain yang dipilih dengan legitim untuk pemakamannya,
hal itu hendaknya dirayakan di gereja paroki di mana orang itu meninggal, kecuali suatu
gereja lain ditunjuk dalam hukum partikular.

Tempat penguburan orang-orang Katolik merujuk kepada Kan. 1180:


§1. Jika paroki memiliki tempat pemakaman sendiri, maka orang-orang beriman yang
telah meninggal harus dimakamkan di sana, kecuali suatu tempat pemakaman lain telah
dipilih secara legitim oleh orang yang telah meninggal itu atau oleh mereka yang
berwenang untuk mengurus penguburannya.
§2. Namun setiap orang boleh memilih tempat penguburannya, kecuali dilarang oleh
hukum

C. Tatacara Pelaksanaan
Ordo Exsequarium menyebutkan bahwa ada tiga bentuk upacara terhadap orang mati yang
disesuaikan dengan tempat di mana upacara itu dilakukan: rumah, gereja, dan tempat
pemakaman. Walaupun OEx telah menyebutkan tempat yang kiranya dapat menjadi tempat
untuk upacara, zaman sekarang, ada umat yang memilih untuk menempatkan orang yang telah
meninggal di rumah duka. Upacara pemakaman tidak memberikan sakramen atau sakramentali
kepada orang yang telah meninggal karena mereka berada di luar rahmat sakramental.
Merujuk kepada KGK no. 1686-1690, ada empat unsur yang tercakup di dalam upacara
pemakaman.
1686 Ordo exsequiarum (OEx) liturgi Roma menyebut tiga bentuk upacara pemakaman yang
sesuai dengan tiga tempat di mana itu dilakukan: rumah, gereja, dan tempat pemakaman.
Ritus itu juga harus disesuaikan dengan bobot yang diberi kepadanya oleh keluarga,
kebiasaan setempat, kebudayaan, dan kesalehan populer. Jalannya upacara untuk semua
tradisi liturgi dan mencakup empat unsur pokok:

1687 Salam untuk jemaat. Salam imam membuka upacara. Sanak keluarga dari orang yang
mati mendapat salam berupa perkataan "hiburan" [dalam arti Perjanjian Baru: kekuatan Roh
Kudus dalam harapan]. Bdk. 1 Tes 4:18. Jemaat yang berkumpul dan berdoa juga
mengharapkan "kata-kata hidup abadi". Kematian seorang anggota jemaat (atau hari ulang
tahun kematian ataupun hari ketujuh dan keempat puluh sesudah kematian) merupakan
kesempatan untuk mengarahkan pandangan melewati cakrawala dunia ini. Ia harus
mengantarkan umat beriman kepada pengertian yang benar dalam iman akan Kristus yang
telah bangkit.

1688 Ibadat Sabda. Perayaan upacara Sabda waktu pemakaman memerlukan satu persiapan
yang saksama, karena mungkin ada juga umat beriman hadir, yang kadang sekali mengikuti
liturgi, demikian juga sahabat yang bukan Katolik dari orang yang mati. Terutama homili
harus menjauhkan "gaya sastra pidato perpisahan waktu pemakaman" (OEx 41) dan
menjelaskan misteri kematian Kristen dalam terang Kristus yang telah bangkit. 1689 Kurban
Ekaristi. Kalau perayaan itu dilakukan di gereja, maka Ekaristi adalah pusat kenyataan Paska
kematian Kristen. Bdk. OEx 1. Di dalamnya Gereja menyatakan persekutuannya yang
berdaya guna dengan orang yang mati: ia mempersembahkan kepada Bapa dalam Roh Kudus
kurban kematian dan kebangkitan Kristus dan memohon kepada-Nya, supaya membersihkan
anak-Nya dari dosa-dosanya dan dari akibat-akibatnya dan menerimanya di dalam kepenuhan
Paska perjamuan perkawinan surgawi. Bdk. OEx 57. Melalui Ekaristi yang dirayakan atas
cara ini, jemaat beriman, terutama keluarga dari orang yang mati, belajar hidup dalam
persekutuan dengan dia yang "telah meninggal dalam Tuhan", dengan menerima Tubuh
Kristus, dalamnya ia adalah anggota hidup, dan berdoa untuk dia dan bersama dia.

1690 Perpisahan dengan orang yang mati dalamnya Gereja "menyerahkannya kepada Allah".
Perpisahan adalah "salam terakhir dari jemaat Kristen kepada seorang anggotanya, sebelum
jenazahnya diusung ke makam" (OEx 10). Tradisi Bisantin menyatakan hal ini dalam kecup
perpisahan kepada orang yang mati:

Dalam salam terakhir ini "orang menyanyi, karena ia telah berpisah dan berangkat dari
kehidupan ini, tetapi juga, karena ada satu persekutuan dan satu penyatuan kembali. Oleh
kematian kita sama sekali tidak dipisahkan satu dari yang lain, karena kita semua berjalan
di jalan yang sama dan kita akan bertemu kembali di tempat yang sama. Kita tidak pernah
akan dipisahkan satu dari yang lain, karena kita hidup untuk Kristus dan sekarang telah
bersatu dengan Kristus; kita pergi kepada-Nya.... Kita semua akan bersatu lagi satu
dengan yang lain di dalam Kristus" (Simeon dari Tesalonika, sep.).

Tatacara Misa Requiem


1. Salam Pembuka
2. Tanda Salib
3. Tobat
4. Doa Pembuka
5. Bacaan Pertama
6. Bait Pengantar Injil
7. Bacaan Injil
8. Homili
9. Syahadat
10. Doa Umat
11. Persembahan
12. Doa Persiapan Persembahan
13. Doa Syukur Agung
14. Bapa Kami
15. Pemberkatan Jenazah
16. Pemercikan Air Suci
17. Doa Penutup
18. Lagu Penutup

Misa atau Ibadat Tutup Peti (dilakukan malam hari sebelum pemakaman)
1. Lagu Pembuka
2. Tanda Salib dan Salam
3. Tobat dan Absolusi
4. Doa Pembuka
5. Bacaan Pertama
6. Mazmur Tanggapan
7. Bacaan Injil
8. Homili
9. Doa Umat
10. Persiapan Persembahan
11. Doa Persiapan Persembahan
12. Doa Syukur Agung
13. Bapa Kami
14. Anak Domba Allah
15. Komuni
16. Doa Penutup

Tatacara Ibadat Pelepasan


1. Tanda Salib
2. Pengantar
3. Doa Pembuka
4. Pemberkatan: Pemberkatan makam, memasukkan peti jenazah, pemercikan air suci,
menabur bunga, menabur tanah, menutup liang kubur
5. Penutup

Upacara Pemakaman Uskup Diosesan


 Kan. 1178 – Pemakaman Uskup Diosesan hendaknya dirayakan di gereja katedralnya
sendiri, kecuali Uskup itu telah memilih suatu gereja lain.

Upacara Pemakaman Kaum Religius


 Kan. 1179 – Pemakaman para religius atau anggota-anggota serikat hidup kerasulan pada
umumnya hendaklah dirayakan di gereja atau tempat ibadatnya sendiri, dilakukan oleh
Superiornya, jika tarekat atau serikat itu klerikal; jika tidak, dilakukan oleh kapelan.

Persembahan untuk Pemakaman


 Kan. 1181 – Mengenai persembahan yang diberikan pada kesempatan pemakaman itu,
hendaknya ditepati ketentuan-ketentuan kan. 1264; namun hendaknya diusahakan agar
dalam pemakaman jangan ada pembedaan dan orang-orang miskin jangan sampai tidak
diberi pemakaman yang semestinya.

Pencatatan
 Kan. 1182 – Selesai pemakaman, hendaknya dibuat catatan dalam buku orang-orang mati
(liber defunctorum) menurut norma hukum partikular.

Pelayan Liturgi
Dalam liturgi upacara orang mati ini, yang dapat memberikan pelayanan adalah Imam yang
dengan demikian diadakan misa dalam setiap upacara. Apabila Imam berhalangan untuk hadir
dalam pelayanan ini, dia dapat mengutus seorang Asisten Imam yang memimpinnya dengan
ibadat.

D. Pengabulan atau Pemakaman Gerejawi


Pengabulan atau pemakan secara Gerejawi merujuk kepada:
Kan. 1183:
§1. Sejauh mengenai pemakaman, para katekumen harus diperlakukan sama seperti orang
beriman kristiani.
§2. Ordinaris Wilayah dapat mengizinkan agar anak-anak yang sebenarnya mau dibaptis
oleh orangtuanya, namun telah meninggal sebelumnya, diberi pemakaman gerejawi.
§3. Orang-orang dibaptis yang termasuk pada suatu Gereja atau komunitas gerejawi tidak
katolik, dapat diberi pemakaman gerejawi menurut penilaian arif Ordinaris Wilayah,
kecuali nyata kehendak mereka yang berlawanan, dan asalkan pelayannya sendiri tidak
bisa didapatkan.

Kan. 1184:
§1. Pemakaman gerejawi harus ditolak, kecuali sebelum meninggal menampakkan suatu
tanda penyesalan, bagi:
1º mereka yang nyata-nyata murtad, menganut bidaah dan skisma;
2º mereka yang memilih kremasi jenazah mereka sendiri karena alasan yang
bertentangan dengan iman kristiani;
3º pendosa-pendosa nyata (peccatores manifesti) lain yang tidak bisa diberi
pemakaman gerejawi tanpa menimbulkan skandal publik bagi umat beriman.
§2. Jika ada suatu keraguan, hal itu hendaknya dikonsultasikan kepada Ordinaris Wilayah
yang penilaiannya harus dituruti.

Kan. 1185: Bagi orang yang tidak boleh dimakamkan secara gerejawi, juga tidak boleh
dipersembahkan Misa pemakaman apa pun.

Kebiasaan Penguburan yang Sangat Dianjurkan


Melalui Instruksi Piam et Constantem (Kesalehan dan Kebiasaan Konstan), Gereja
mengizinkan praktik kremasi, sejauh alasan memilih kremasi tidak bertentangan dengan iman
Kristiani. Namun, Gereja menegaskan bahwa kebiasaan saleh menguburkan jenazah yang sangat
dianjurkan untuk dipertahankan oleh umat Kristiani. Kremasi tidak dilarang, tetapi juga tidak
dianjurkan, yang sangat dianjurkan adalah penguburan jenazah.

Ada beberapa alasan mengapa Gereja lebih menganjurkan penguburan jenazah dibandingkan
kremasi.
Pertama, pemakaman merupakan praktik yang sudah ada dalam Kitab Suci. Tobias dalam
Kitab Tobit, juga menguburkan orang mati. Bahkan Yesus sendiri dikuburkan. Praktik
penguburan sudah lazim sejak Gereja perdana.
Kedua, tubuh manusia merupakan Kenisah Roh Kudus atau Bait Roh Kudus (1 Kor 3:16; 1
Korintus 6:19), maka mesti dihormati melalui penguburan yang dilaksanakan dalam tata liturgi
Kristiani.
Ketiga, melalui penguburan terungkap makna kematian, beralihnya hidup manusia dari dunia
dan menetap pada Tuhan (2 Korintus 5: 8; Yohanes 14: 2-3). Melalui penguburan orang
meninggal, kita menyerahkan orang meninggal kepada Tuhan Allah dan dengan penuh harapan
menaburkan di bumi benih tubuh, yang akan bangkit dalam kemuliaan (bdk. 1 Kor 15: 36; KGK
1683).
Keempat, sejak semula, umat Kristen telah menghendaki agar orang-orang yang meninggal
menjadi objek doa dan kenangan komunitas Kristiani. Makam mereka telah menjadi tempat doa,
kenangan, dan permenungan. Umat beriman yang telah meninggal tetap menjadi bagian Gereja
yang percaya pada “persekutuan semua umat yang beriman kepada Kristus, yang adalah peziarah
di bumi, orang mati yang sedang dimurnikan, dan para kudus di surga, semua bersama-sama
membentuk satu Gereja.” Hal ini ditegaskan dalam Instruksi Ad Resurgendum cum Christo, art.
5. Dokumen ini dikeluarkan oleh Kongregasi untuk Ajaran Iman pada tahun 2016.
Kelima, makam merupakan tempat suci. Hal ini ditegaskan dalam Kitab Hukum Kanonik
Kanon 1205. Bunyinya demikian: “Tempat-tempat suci ialah tempat yang dikhususkan untuk
ibadat ilahi atau pemakaman umat beriman melalui persembahan atau pemberkatan sesuai
dengan buku-buku liturgi yang ditetapkan untuk itu”.

E. Kremasi
Gereja sejak abad awal hingga sebelum tahun 1963, hanya mengizinkan penguburan jenazah
umat beriman Kristiani. Sementara pada tahun-tahun itu, kremasi dilarang keras. Ada beberapa
alasan mengapa Gereja melarang kremasi jenazah, antara lain:
Pertama, praktik kremasi jenazah itu bukanlah praktik Kristiani, melainkan praktik pagan
atau kaum penyembah berhala.
Kedua, praktik kremasi sebagai tindakan menunjukkan permusuhan dan kebencian kepada
orang Kristiani. Pada abad-abad pertama, Kekaisaran Romawi membenci dan memusuhi Gereja.
Bahkan, orang-orang Kristen dibunuh dan mayatnya dibakar, lalu abunya tidak dikuburkan tetapi
ditaburkan. Melalui tindakan ini, orang-orang Romawi ingin memastikan bahwa tidak ada
kemungkinan lagi bagi Allah umat Kristen untuk mempersatukan tubuh dan jiwa para martir
seperti yang diajarkan oleh para rasul.
Ketiga, memilih kremasi karena tidak meyakni bahwa setelah kematian ada kebangkitan
badan. Dengan kata lain, tidak meyakini adanya kehidupan setelah kematian.

Gereja baru mulai mengizinkan praktik kremasi pada tahun 1963 melalui Instruksi Sanctum
Officium berjudul Piam et Constantem (5 Juli 1963) yang disetujui oleh Paus Paulus VI.
Selanutnya, Piam et Constantem disingkat PC. Dalam dokumen PC ini, Gereja menegaskan
bahwa kremasi pada dasarnya tidak bertentangan dengan iman Kristen oleh karena kremasi tidak
mempengaruhi jiwa orang meninggal. Kremasi tidak mencegah Allah dalam kemahakuasaan-
Nya untuk membangkitkan jenazah dalam kehidupan baru. Oleh sebab itu, kremasi, dalam dan
dari dirinya sendiri, secara objektif tidak menyangkal ajaran Kristen mengenai keabadian jiwa
maupun kebangkitan badan (bdk. Sanctum Officium, Instructio Piam et Constantem, 5 Juli
1963: AAS 56 [1964], 822-823).

Ada beberapa alasan kremasi yang bertentangan dengan iman dan ajaran Kristiani, antara lain:
Pertama, memilih kremasi karena tidak percaya pada kebangkitan badan, tidak percaya
pada kehidupan kekal, tidak percaya pada kemahakuasaan Allah atas orang mati.
Kedua, memilih kremasi untuk menunjukkan permusuhan atau kebencian kepada umat
Kristiani (bdk. ARCC 1; Piam et Constantem dalam AAS 56 (1964), hlm. 822-823).
Ketiga, memilih kremasi karena menganut paham panteisme, naturalisme dan nihilisme
(bdk. ARCC 7). Ketiga aliran ini jelas bertentangan dengan ajaran dan iman Kristiani. Panteisme
memandang bahwa Tuhan adalah segalanya, dan segalanya adalah Tuhan. Natularisme meyakini
bahwa segala sesuatu berasal dan kembali ke alam. Aliran ini menolak kemahakuasaan Allah.
Panteisme dan naturalisme sama-sama memandang bahwa Allah melebur dengan alam. Allah
tidak memiliki sifat adikodrati. Aliran ini memahami bahwa melalui kematian, tubuh manusia
kembali bersatu dengan alam atau kosmos. Tubuh tidak beralih ke surga, tidak menetap pada
Tuhan. Penganut pandangan ini cenderung menaburkan abu jenazah di udara, darat dan laut,
dengan tujuan agar roh orang yang telah meninggal tersebut terserap oleh ibu bumi atau semesta.
Aliran nihilisme bertentangan dengan iman Kristiani oleh karena aliran ini meyakini
bahwa kehidupan tidak memiliki nilai, tidak punya makna dan tidak punya tujuan. Kematian
manusia adalah akhir dari segalanya. Tak ada kehidupan sesudah kematian, tak ada kehidupan
kekal, tidak ada pula kebangkitan badan. Kematian merupakan penihilan seorang pribadi.
Keempat, memilih kremasi karena percaya pada ajaran reinkarnasi (bdk. ARCC 3).
Aliran ini percaya akan lingkaran-lingkaran regenerasi. Setelah kematian seseorang akan hidup
lagi dalam sosok yang lain. Kremasi dipilih untuk membantu mempercepat pelepasan jiwa dari
tubuh lamanya, yang sudah tidak berguna lagi.
Melalui Kitab Hukum Kanonik Kanon 1184 §1, no. 2, Gereja sangat tegas menyatakan
bahwa kremasi jenazah harus ditolak jika kremasi itu dipilih atas alasan yang bertentangan
dengan iman Kristiani. Dalam Ad Resurgendum cum Christo, art. 4, alasan kremasi yang tidak
bertentangan dengan iman Kristiani adalah alasan higienis (kesehatan) dan alasan sosial atau
ekonomi. Pernah terjadi pada masa tertentu manusia diserang penyakit menular hingga
meninggal. Atas alasan kesehatan, jenazah mereka ada yang dikremasi, kemudian abu jenazah
mereka dikubur di pemakaman atau di tempat suci atau disimpan dalam Columbarium. Di
daerah-daerah tertentu, ada keluarga yang tidak mampu mendapatkan area pemakaman yang
layak atau tidak mampu membayar pajak makam. Atas alasan ekonomi ini, kemudian mereka
memilih melakukan kremasi atas jenazah anggota keluarganya.

Beberapa tindakan yang dapat dilakukan oleh Gereja terkait pelaksanaan kremasi.
Pertama, sebelum melakukan kremasi, alasan keluarga memilih kremasi tidak
bertentangan dengan ajaran dan iman Kristiani.
Kedua, perlu diketahui tindakan keluarga setelah melakukan kremasi. Jika abu jenazah
itu nantinya ditaburkan (dilarung) di udara, di darat dan di laut, jelas ini dilarang oleh Gereja.
Otoritas Gereja (seperti pastor paroki atau pastor vikaris) perlu menyampaikan kepada umat
larangan ini. Penaburan (pelarungan) abu jenazah di udara, darat dan laut mengandung paham
panteisme, naturalisme dan nihilisme. Ketiga aliran ini bertentangan dengan ajaran dan iman
Kristiani. Tindakan yang paling dianjurkan adalah mengubur abu jenazah itu. Bisa juga abu
jenazah disimpan dalam tempat suci lainnya, seperti Columbarium.
Ketiga, di tingkat paroki, Gereja stasi, lingkungan atau kring perlu diadakan katekese terkait
praktik kremasi. Pada saat itu, pastor paroki atau orang yang kompeten perlu memberikan arahan
liturgis dan pastoral yang relevan. Kepada umat Katolik perlu disampaikan langkah-langkah
pastoral khusus terkait kremasi. Langkah pastoral ini bertujuan untuk menghindari tindakan yang
bertentangan dengan iman Kristiani, menghindari skandal dan tindakan indiferentisme religius
dalam praktik kremasi. Tindakan indiferentisme itu, misalnya, sikap acuh tak acuh atas ajaran
agama (Katolik) atau sikap yang menyamakan semua ajaran agama.

F. Kolumbarium
Columbarium adalah bangunan atau struktur yang dirancang untuk menampung guci berisi
sisa-sisa kremasi. Istilah "columbarium" berasal dari bahasa Latin "columba" yang berarti
merpati. Columbarium biasanya memiliki relung untuk menampung guci yang menyerupai
dovecote, atau rumah merpati.
Columbarium telah ada selama berabad-abad, sejak zaman Romawi. Istilah ini berasal dari
bangunan umum di Roma kuno, yang dibuat dengan struktur atap terkotak-kotak untuk
menampung burung. Columbarium biasanya terletak di kuburan, tetapi juga dapat ditemukan di
gereja, ruang bawah tanah, monumen luar ruangan, lokasi krematorium, dan banyak lagi.

Sumber Pustaka

Katekismus Gereja Katolik no. 1686-1690


Kitab Hukum Kanonik 1987 Kan. 1176-1185
Buku Upacara Pemakaman (revisi) Gereja Katolik, Jakarta: OBOR

Sumber Internet
https://keuskupanbandung.org/blog/post/mengapa-gereja-lebih-menganjurkan-penguburan-
jenazah-daripada-kremasi diakses pada Minggu, 14 April 2024 pukul 15.15 WIB.

Anda mungkin juga menyukai