Anda di halaman 1dari 91

PENGEMBANGAN

USAHA KECIL MENENGAH


BERORIENTASI PASAR
UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4


Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan
hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi.
Pembatasan Pelindungan Pasal 26
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan
Pasal 25 tidak berlaku terhadap:
i. penggunaan kutipan singkat ciptaan dan/atau produk hak terkait
untuk pelaporan peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk
keperluan penyediaan informasi aktual;
ii. penggandaan ciptaan dan/atau produk hak terkait hanya untuk
kepentingan penelitian ilmu pengetahuan;
iii. penggandaan ciptaan dan/atau produk hak terkait hanya untuk
keperluan pengajaran, kecuali pertunjukan dan fonogram yang
telah dilakukan pengumuman sebagai bahan ajar; dan
iv. penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan
ilmu pengetahuan yang memungkinkan suatu ciptaan dan/atau
produk hak terkait dapat digunakan tanpa izin pelaku
pertunjukan, produser fonogram, atau lembaga penyiaran.

Sanksi Pelanggaran Pasal 113


1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak
ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i
untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).

2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin


pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak
ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
PENGEMBANGAN
USAHA KECIL MENENGAH
BERORIENTASI PASAR

Rafi Ohorella, S.St.Pi., M.Pi.

Dr. Arham Rumpa, S.St.Pi., M.Si.


PENGEMBANGAN USAHA KECIL MENENGAH
BERORIENTASI PASAR
Penulis:
Rafi Ohorella, S.St.Pi., M.Pi.
Dr. Arham Rumpa, S.St.Pi., M.Si.

Editor:
Rahmatang, S.Pi.,M.Si.

Tata Letak:
Mafy Media

Desain Cover:
Mafy Media

Sumber Gambar Cover:


Freepick.com

Ukuran:
viii, 82 hlm., 15,5 cm x 23 cm

ISBN:
978-623-8543-09-0

Cetakan Pertama:
Januari 2024

Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang


menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
Penerbit.

PT MAFY MEDIA LITERASI INDONESIA


ANGGOTA IKAPI 041/SBA/2023
Kota Solok, Sumatera Barat, Kode Pos 27312
Kontak: 081374311814
Website: www.penerbitmafy.com
E-mail: penerbitmafy@gmail.com
DAFTAR ISI

PRAKATA ............................................................... vii


BAB I PENDAHULUAN ................................................... 1
BAB II KONDISI USAHA KECIL MENENGAH (UKM) ......... 9
BAB III STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA ................ 13
BAB IV STRATEGI PEMASARAN PRODUK MELALUI MEDIA
SOSIAL ...................................................................... 23
BAB V STRATEGI DESAIN KEMASAN PADA
PENGEMBANGAN UKM ................................................ 29
BAB VI QUANTITATIVE STRATEGIC PLANING MATRIX
(QSPM) ...................................................................... 35
BAB VII ASPEK SOSIAL USAHA KECIL DAN MENENGAH
(UKM) ........................................................................ 45
BAB VIII ASPEK EKONOMI USAHA KECIL DAN MENENGAH
(UKM) ........................................................................ 51
BAB XI ASPEK TEKNOLOGI DAN PROSES PRODUKSI
USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH (UKM) ............. 55
BAB X ANALISIS KELAYAKAN USAHA ........................... 61
DAFTAR PUSTAKA ................................................ 73

v
vi
PRAKATA

Puji syukur kami panjatkan Allah SWT, berkat


limpahan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan
penulisan buku dengan judul, “PENGEMBANGAN USAHA
KECIL MENENGAH Berorientasi Pasar” ini.
Buku ini membahas kondisi dan merumuskan strategi
pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Strategi
pengembangan UKM yang dapat di ambil adalah strategi
menjalin hubungan kerjasama dan dukungan pemerintah
dalam mepromosikan produk olahan ikan asap, strategi
peningkatan/pengembangan UKM pengolahan usaha
dengan program pelatihan dan penyuluhan dari dinas
terkait, strategi penerapan inovasi-inovasi teknologi
pengolahan terkini dengan pemabaharuan sarana
prasarana, serta strategi penyelesaian perizinan dan
legalitas usaha.
Penulis berterima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dan memberi dukungan dalam proses
penyelesaian buku ini. Kepada keluarga, rekan dan seluruh
tim Penerbit PT Mafy Media Literasi Indonesia yang telah
melakukan proses penerbitan, cetak, dan distributor
terhadap buku kami, penulis haturkan terima kasih.
Penulis menanti saran konstruktif untuk perbaikan
dan peningkatan pada masa mendatang. Semoga buku ini
dapat memberikan kontribusi dan khazanah informasi.
Sebagaimana peribahasa tak ada gading nan tak retak,
mohon dimaafkan segala kekeliruan yang ada pada terbitan
ini. Segala kritik dan saran, tentu akan diterima dengan
tangan terbuka. Harapan penulis, semoga buku ini dapat

vii
bermanfaat bagi kita semua. Jangan takut untuk menulis,
dengan menulis kita bisa menuangkan asa-asa kita selama
ini terpendam menjadi otentik bukan khayalan
berkelanjutan tanpa ada realisasinya.

Penulis

viii
BAB I
PENDAHULUAN

Usaha Kecil dan Menengah (UKM) menyumbang lapangan

kerja yang cukup besar dan berperan dalam mengurangi

kesenjangan ekonomi serta menurunkan kemiskinan.

Pengembanga UKM adalah sebuah upaya strategis dalam

menguatkan dasar ekonomi rakyat Indonesia. Peningkatan

kuantitas UKM belum diringi dengan peningkatan dan

pemerataan kualitas UKM. Berdasarkan data Kementerian

Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah RI bahwa

perkembangan tenaga kerja tahun 2016 -2017 yang bekerja

pada sektor UKM sebanyak 8.989.595 orang dan rata-rata

peningkatan 4,87 %. Data tersebut tersaji pada tabel berikut:

1
Tabel 1.1 Perkembangan UKM di Indonesia
Perkembangan
No Indikator Tahun 2016 Tahun 2017 tahun 2016 – 2017

Tenaga Jumlah Pangsa Jumlah Pangsa Jumlah Pangsa


Kerja (orang) (%) (orang) (%) (orang) (%)
1. Usaha Kecil 5.402.073 4,65 5.704.321 4,74 302.248 5,60
2. Usaha 3.587.522 3,09 3.736.103 3,11 148.580 4,14
Menengah

Sumber: http://www.depkop.go.id/data-umkm
Bidang Perikanan adalah salah satu penyokong utama

ekonomi nasional. Sektor perikanan berkontribusi dalam

memberikan nilai tambah dan strategis sebagai penghasil devisa,

lapangan kerja dan sumber protein. Kontribusi sektor perikanan

terhadap pembangunan nasional sejauh ini memperlihatkan hasil

yang semakin baik dan nyata. Hasil tersebut tercermin dari

kontribusi bidang pengolahan perikanan pada tahun 2017

mencapai 5,59% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sektor

pengolahan dan pemasaran hasil perikanan juga menyerap

63.085 tenaga kerja secara langsung. (Ditjen Penguatan Daya

Saing Produk Kelautan dan Perikanan, 2019).

Pertumbuhan produksi perikanan Indonesia ikut

mendorong konsumsi ikan per kapita dari 37,89 Kg/Kap pada

tahun 2014 menjadi 41,11 Kg/Kap pada tahun 2015 atau naik

2
rata-rata 3,22 setiap tahun. Pada tahun 2015, kebutuhan ikan

per kapita 8,58 juta ton mencapai 9,37 juta ton pada tahun 2016.

Pada tahun 2017, konsumsi per kapita sekitar 47,34 kg dengan

pertumbuhan hingga 3,15 %. (Kementerian Kelautan dan

Perikanan, 2018).

Jenis ikan yang digunakan oleh pengolah ikan tradisional

di Kabupaten Bone untuk dijadikan ikan asap yaitu jenis ikan

tuna, cakalang dan tongkol. Ikan tuna dan cakalang adalah jenis

ikan yang banyak digunakan untuk ikan asap dibandingkan

dengan ikan tongkol. Dibawah ini disajikan jenis ikan hasil

tangkapan yang dijadikan ikan asap.

Hal yang terpenting dalam rangka mendukung

peningkatan dan pengembangan nelayan pengolah ikan melalui

Usaha Kecil dan Menengah (UKM) bidang pengolahan dan

pemasaran hasil perikanan dalam memproduksi atau mengolah

berbagai macam jenis olahan hasil perikanan adalah peran dari

pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang dihasilkan (Dinas

Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bone, 2019) seperti; (1)

Program pembinaan usaha dan kelembagaan.Program ini

dilaksanakan sebagai upaya peningkatan mutu produksi dan

3
produktivitas usaha perikanan dalam wadah kelembagaan

nelayan/pembudidaya ikan dan pengolah ikan yang maju dan

mandiri, (2) Program Pengembangan Optimalisasi Pengelolaan

dan Pemasaran Produksi Perikanan. Program ini dilaksanakan

sebagai upaya mendukung kelancaran proses produksi,

pengolahan dan pemasaran dalam kegiatan kelautan dan

perikanan yang mengarah kepada terwujudnya peningkatan

produksi dan produktivitas usaha dan mutu hasil perikanan.

Masalah yang dihadapi Usaha Kecil dan Menengah (UKM)

pengolahan ikan asap adalah kurangnya akses informasi,

khususnya informasi pasar, desain kemasan dari produk olahan

dan kualitas dari produk pengolahan ikan asap. Kurangnya akses

informasi, terutama akses terhadap pasar (Ishak, 2005).

Keterbatasan akses informasi berdampak pada kecilnya orientasi

pasar dan rendahnya daya saing produk UKM di tingkat global.

Minimnya pemahaman terhadap pasar menyebabkan UKM tidak

memiliki arah pengembangan usaha yang jelas dan akhirnya

mengalami stagnasi.

Menurut Rhina dan Heru (2015) kemasan merupakan

“pemicu” karena fungsinya langsung berhadapan dengan

4
konsumen dengan demikian, kemasan harus dapat memberikan

impresi spontan yang mempengaruh tindakan positif konsumen

di tempat penjualan. Hal ini membuat produk UKM Indonesia

kurang memiliki daya saing dengan produk dari luar negeri.

Produk UKM sebaiknya memiliki desain kemasan yang menarik,

terdapat informasi nama produk, nama perusahaan, berat

bersih, tanggal kadaluarsa, komposisi dan kandungan nutrisi,

Standar Nasional Indonesia, Hazard Analytical Critical Control

Point (HACCP) dan tanda halal.

Selain itu, aktivitas pengolahan ikan tradisional masih

kurang memprioritaskan mutu dan keamanan pangan. Jika

berpatokan pada produk perikanan lainnya yang telah diekspor,

maka produk olahan perikanan dari Kabupaten Bone belum

dapat diekspor. Proses pengolahan yang dikerjakan secara

manual dan mengabaikan aspek sanitasi dan higienis

menghasilkan produk kualitas rendah. Namun, meski masih

kurang optimal karena dikerjakan cara tradisional dengan

peralatan sederhana, hasil pengolahan ikan tersebut sanggup

menyuplai kebutuhan protein hewani masyarakat serta

berkontribusi cukup besar bagi pemerintah.

5
Terlepas dari hal tersebut di atas, ternyata permasalahan

yang muncul terkait UKM bidang pengolahan dan pemasaran

hasil perikanan di Pemerintah Daerah Kabupaten Bone yaitu

tidak berkembangnya sebagian kelompok usaha bersama bidang

pengolahan dan pemasaran hasil perikanan. Dimana indikator

yang paling mendasar tidak berkembangnya kelompok usaha

bersama bidang pengolahan dan pemasaran hasil perikanan

adalah tidak adanya akses informasi pasar, desain kemasan yang

kurang menarik dan kualitas dan kontinyuitas produksi.

Pelaku usaha perikanan mayoritas berpendidikan rendah,

90% di antara mereka hanya lulusan SD. Itu berpengaruh pada

minimnya kemampuan penguasaan teknologi dan hanya

mengandalkan kekuatan fisik dengan peralatan terbatas. Pada

akhirnya tingkat keberdayaan mereka juga rendah

(Supriharyono, 2002). Sementara itu, sangat minim produk

olahan Indonesia yang memenuhi kualitas standar Internasioanl.

Sesungguhnya komoditas olahan ikan Indonesia mampu

menjangkau pasar yang lebih luas jika kualitasnya ditingkatkan.

Hal tersebut dapat dimulai dengan peningkatan teknologi

penanganan dan pengolahannya (Martasuganda, dkk, 2003).

6
Identifikasi awal terhadap tidak berkembangnya Usaha

Kecil dan Menengah (UKM) disebabkan oleh Usaha Kecil dan

Menengah (UKM) itu sendiri. Beberapa hal penyebab tidak

berkembangnya suatu Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di

antaranya adalah ; (1) Akses pemasaran yang terbatas, (2)

desain kemasan dan (3) kualitas produk olahan ikan asap .

Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas maka perlu

dilakukan analisis atau kajian yang mendalam tentang

bagaimana strategi Pengembangan kelompok usaha bersama

pengolahan ikan asap yang berorientasi pasar dalam upaya

pengembangan dan peningkatan usaha pengolahan hasil

perikanan melalui Usaha Kecil dan Menengah (UKM) bidang

pengolahan dan pemasaran hasil perikanan.

7
8
BAB II
KONDISI USAHA KECIL
MENENGAH (UKM)

Usaha perikanan dibagi menjadi tiga jenis antara lain:


“Usaha melalui penangkapan, usaha melalui budidaya dan usaha
pengolahan ikan”.(Bappenas, 2000). Kelompok pengolahan ikan
adalah salah satu bagian dalam sistem bisnis perikanan. Setiap
unit usah pengolah ikan wajib memiliki SIUP, Pemerintah
mendorong, dan/atau menyelenggarakan penelitian dan
pengembangan perikanan yang bertujuan agar pengolahan hasil
perikanan menjadi lebih efektif dan efisien. Pengembangan
teknologi diharapkan dapat mengembangkan pengolahan
perikanan lebih ekonomis, berdaya saing tinggi, ramah
lingkungan dan menghargai nilai-nilai lokal.
Unit Pengolahan Ikan (UPI),
(http://jdih.kkp.go.id/peraturan/37-permen-kp, 2016) walaupun
dalam sekala industri rumah tangga harus memiliki beberapa
persyaratan umum diantaranya:
1. UPI harus memiliki sistem manajemen keamanan pangan
yang meliputi Good Manufacturing Practices (GMP), Standard
Sanitation Operating Procedure (SSOP) dan Hazard Analysis
Critical Control Point (HACCP) dan menerapkannya;

9
2. UPI memastikan bahan baku yang diterima dari unit
pembudidayaan ikan yang bersertifikat cara budidaya ikan
yang baik, kapal penangkap dan kapal pengangkut ikan yang
bersertifikat cara penanganan ikan yang baik, atau
pengumpul/supplier yang bersertifikat cara penanganan ikan
yang baik;
3. UPI harus memperhatikan jenis ikan yang dilarang untuk
dikonsumsi dan atau memiliki persyaratan tertentu.
4. Penggunaan bahan tambahan yang tidak diizinkan dilarang
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
5. Penggunaan bahan kimia harus dalam pengawsasan petugas
yang kompeten sesuai dengan peraturan perundang-
undangan; dan lain-lain.
Kondisi pengolah ikan sangat di pengaruhi oleh keadaan
topografi daerah pesisir adat istiadat dan kearifan lokal
masyarakat, teknologi yang digunakan, serta kebiasaan
pengolah ikan yang didapatkanya secara turun temurun. Untuk
industri pengolahan ikan asap, dapat dikatakan bahwa semakin
bertambahnya usia, tingkat produktivitas dan kinerja usaha akan
menjadi turun. Hal ini sesuai dengan kondisi bahwa untuk
mengolah ikan terutama pengasapan ikan, pemindangan dan
penggaraman membutuhkan tenaga ekstra, yang mana
kemampuan fisik manusia jika sudah berumur akan semakin
berkurang. Begitupun dengan tingkat pendidikan, yang semakin
tinggi pendidikan semakin rendah kinerjanya. Hal ini cenderung
terjadi pada usaha pengasapan, bahwa tidak seutuhnya hati

10
pengolah ikan rela bekerja untuk mengolah ikan dan menjualnya
langsung di pasar dan berkeliling di wilayah jual.
Industri pengolahan perikanan lahir sebagai rangkaian
kegiatan penangkapan ikan di Kabupaten Bone dan sudah
berlangsung sejak lama. Di Sulawesi Selatan, Kabupaten Bone
termasuk sebagai sentra produksi ikan asap. Setidaknya 11 dari
77 UKM yang terdata di Kabupaten Bone adalah usaha
pengasapan ikan. Umumnya masuk dalam kategoru mikro dan
usaha kecil. Pengembangan usaha yang lambat belum mampu
mendorong munculnya usaha pengasapan skala industri.
Menurut Saiman (2014) karakter adalah kualitas positif
seseorang yang membuatnya menarik dan lebih atraktif, reputasi
dan kepribadian yang eksentrik. Menurut Sunyoto (2013)
karakteristik adalah ciri-ciri yang dimiliki seseorang. Pelaku UKM
dibedakan menjadi dua karakteristik, yakni individu dan
psikologis (Muharastri 2013). Karakteristik individu melekat
dalam diri wirausaha sejak lahir dan terbentuk dari akumulasi
pengalaman hidup. Ramanti (2006) menjelaskan karakteristik
individu sebagai ciri atau sifat yang ditampilkan melalui pola pikir,
pola tindak, dan pola sikap.
Urusan teknis dan manajerial masih menjadi persoalan bagi
usaha pengolahan ikan. Di Indonesia umumnya usaha
pengolahan ikan masih tergolong kecil dan menengah. Kondisi
yang sama pada usaha pengasapan ikan. Pemasaran dan
minimnya modal kerja masih menjadi kendala utama. Teknik
pengolahan yang masih tradisional dengan teknologi sederhana,
minim diversifikasi dan kualiatas SDM, standar manajemen mutu

11
juga masih menjadi persoalan bagi usaha pengolahan ikan. Hal
ini senada sependapat dengan Nurlaili (2014), masih minimnya
teknologi pemanfaatan sumberdaya, skala usaha masih bersifat
tradisional, menjadi kendala pengembangan suberdaya kelautan
dan perikanan. Selain itu, dukungan infrastruktur dan kapasitas
sumberdaya manusia masih sangat minim.

12
BAB III
STRATEGI
PENGEMBANGAN USAHA

Secara umum, strategi dapat diartikan sebagai


“sekumpulan pilihan kritis untuk perencanaan dan penerapan
serangkaian rencana, tindakan dan alokasi sumberdaya yang
penting dalam mencapai tujuan, dengan memperhatikan
keunggulan kompetitif, komparatif, dan sinergis ideal
berkelanjutan sebagai arah, cakupan dan perspektif jangka
panjang keseluruhan yang ideal dari individu atau organisasi”
(Triton, 2007). Menurut Sudaryanto, dkk. (2011) strategi
merupakan perangkat luas suatu organisasi melalui pendekatan
secara menyeluruh yang berkaitan dengan pelaksanaan
ide/gagasan, perencanaan, dan pelaksanaan suatu kegiatan
dalam kurun waktu tertentu. Untuk meningkatkan kemapuan
konseptual, teoritis, teknis dan moral individu sesuai dengan
jenis pekerjaan maka diperlukan suatu pengembangan melalui
pendidikan dan pelatihan
Menurut Rudito dkk (2008:11) dalam Wibowo, H. dkk
(2019) menyampaikan bahwa pengembangan masyarakat
adalah kegiatan yang diarahkan untuk memperbesar akses

13
masyarakat untuk mencapai kondisi social ekonomi-budaya yang
lebih baik, sehingga masyarakat lebih mandiri dengan kualitas
kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik. Didalam
persaingan yang semakin ketat dalam suatu industri maka
diperlukan adanya suatu strategi yang tepat dalam bersaing.
Menurut Hunger dan Wheelen (2001), sebuah strategi
perusahaan akan membentuk dasar perencanaan komprehensif.
Strategi tersebut dapat mencapai misi dan tujuan dari
perusahaan, dengan cara memaksimalkan keunggulan bersaing
dan meminimalkan kelemahan-kelemahannya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan usaha
perikanan menurut Hikmah (2017), mencakup lima dimensi; 1)
dimensi karakteristik individu dengan atribut yang sensitif
meliputi status sosial istri, motivasi usaha, dan motivasi
pengembangan usaha, 2) dimensi karakteristik keluarga dengan
faktor yang berpengaruh mencakup faktor status sosial suami
dan pendapatan suami, 3) dimensi profil usaha dengan atribut
yang sensitif berpengaruh adalah faktor sanitasi, bentuk produk
dan sertifikasi produk. 4) dimensi kemitraan dengan atribut
dukungan penyuluh, dukungan lembaga input, dan dukungan
lembaga pemasaran, 5) dimensi akses dan kontrol dengan
atribut yang paling berpengaruh adalah akses terhadap informasi
pasar dan kontrol terhadap kredit.
Usaha kecil dan Menengah (UKM) merupakan salah satu
jenis usaha milik perorangan, badan usahanya berbadan hukum
atau tidak berbadan hukum. Badan usaha ini selain berdiri sendiri
dan bukan merupakan anak perusahaan atau cabang

14
perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung
maupun tidak langsung. Beberapa lembaga atau instansi bahkan
UU memberikan definisi Usaha Kecil dan Menengah (UKM),
diantaranya adalah Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil
Menengah (Menegkop dan UKM), Badan Pusat Statistik (BPS),
Keputusan Menteri Keuangan No 316/KMK.016/1994 tanggal 27
Juni 1994, Undang-Undang Nomor 9 tahun 1995 dan UU No. 20
Tahun 2008. Undang-Undang No. 9 tahun 1995 tentang Usaha
Kecil menjelaskan usaha kecil sebagai kegiatan ekonomi rakyat
yang memiliki hasil penjualan tahunan maksimal Rp
1.000.000.000 (1 milyar) dan memiliki kekayaan bersih, tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, paling banyak Rp
200.000.000,00.
Definisi menurut kategori Badan Pusat Statistik (BPS)
dalam Godam 2006, usaha kecil identik dengan industri kecil dan
industri rumah tangga. BPS mengklasifikasikan industri
berdasarkan jumlah pekerjanya, yaitu:
1. Industri rumah tangga dengan pekerja :1-4 orang.
2. Industri kecil dengan pekerja : 5-19 orang.
3. Industri menengah dengan pekerja : 20-99 orang.
4. Industri besar dengan pekerja :100 orang atau
lebih.
Menurut De Soto, H (2000) dalam Sulistyo (2010)
dinegara manapun indsutri kecil merupakan bagian terbesar dari
komunitas industri. Terdapat tiga pendekatan yang dapat diambil
oleh pemerintah dalam upaya pembinaan industri kecil yaitu :

15
1. Non Policy approach, jenis pendekatan ini difokuskan pada
industri yang bergerak pada lower spectrum (kegiatan
marginal). Pendekatan jenis ini dipilih mengingat bahwa
intervensi pemerintah pada umumnya akan menciptakan
biaya birokrasi yang relatif tinggi.
2. Protection approach, kebijakan proteksi pada umumnya
berupa larangan bagi industri berskala besar untuk
memproduksi barang-barang tertentu, batasan impor untuk
produk substitusi, kontrol terhadap penyebaran inovasi
teknologi yang dapat menyebabkan kejutan mendadak bagi
industri kecil. Kebijakan ini cenderung menguntungkan
produsen ketimbang konsumen.
3. Stimulaltion approach, kebijakan jenis ini lebih menfokuskan
pada sisi suplay dalam bentuk pemberian kredit, penyediaan
bahan baku dan peralatan produksi, serta penyelenggaraan
kursus. Kebijakan jenis ini memiliki dampak negatif, antara
lain berupa tergesernya unit usaha yang tidak atau belum
terlayani oleh program.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
pengembangan UKM, antara lain kondisi kerja, promosi usaha
baru, akses informasi, akses pembiayaan, akses pasar,
peningkatan kualitas produk dan SDM, ketersediaan layanan
pengembangan usaha, pengembangan cluster, jaringan bisnis,
dan kompetisi. Menurut Depatemen Koperasi (2008) UKM
memilki beberapa peran penting dalam perekenomian nasional
yaitu sebagai pemeran utama dalam kegiatan ekonomi, penyedia
lapangan kerja terbesar, pemain penting dalam pengembangan

16
perekonomian local dan Pengembangan masyarakat, pencipta
pasar baru dan memilki konstribusi terhadap neraca
pembayaran.
Dalam perspektif perkembangannya, UKM dapat
diklasifikasikan menjadi 4 (empat) kelompok yaitu:
1. Livelihood Activities, merupakan UKM yang digunakan
sebagai kesempatan kerja untuk mencari nafkah, yang lebih
umum dikenal sebagai sektor informal.
2. Micro Enterprise, merupakan UKM yang memiliki sifat
pengrajin tetapi belum memiliki sifat kewirausahaan
3. Small Dynamic Enterprise, merupakan UKM yang telah
memiliki jiwa kewirausahaan dan mampu menerima
pekerjaan subkontrak dan ekspor
4. Fast Moving Enterprise, merupakam UKM yang telah memiliki
jiwa kewirausahaan dan akan melakukan transformasi
menjadi Usaha Besar (UB)

Pengolahan Hasil Perikanan

Pengolahan perikanan adalah serangkaian proses dari


bahan baku ikan sampai menjadi produk yang dapat dikonsumsi
oleh manusia. Orang yang melaksanakan kegiatan pengolahan
perikanan dalam Nomenklatur KKP disebut sebagai Pengolah
Ikan. Penjelasan lain dalam Undang-undang Sistem penyuluhan
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (UU SP3K) Nomor 16 tahun
2016 disebutkan bahwa Pengolah ikan adalah perorangan warga
negara Indonesia atau korporasi yang melakukan usaha
pengolahan ikan.

17
Pada Permen KP Nomor Per.18/ MEN/2006 tentang usaha
pengolahan, produk perikanan dibedakan menjadi skala mikro,
skala kecil, skala menengah dan skala besar.Perbedaan tersebut
mngacu pada parameter omset, aset, jumlah tenaga kerja,
status hukum dan perizinan.
Pengolahan produk perikanan adalah industri trategis
Indonesia, ditopang oleh sumber daya bahan baku dan manusia,
sektor ini masih sangat potensial untuk dikembangkan. Peluang
pasar produk perikanan juga masih sangat terbuka lebar, baik
domestik maupun internasional. Adanya tuntutan diversifikasi
produk menjadikan industri industri ini bagian penting dalam
pembangunan ekonomi nasional. Dalam perkembangannya,
industri ini juga membutuhkan investasi dan dukungan dari
banyak pihak. (Tajerin, 2015).
Permasalahan yang dihadapi oleh pengolah ikan saat ini
menurut Mustarin (2013), adalah saat ini pengolahan perikanan
masih dilakukan secara tradisional mulai dari produksi sampai
pengemasan dan pemasarannya masih bersifat lokal, tingkat
keterampilan dan pengetahuan produksi masih belum meningkat
karena metode dan teknologi yang digunakan belum mengalami
perkembangan. Persoalan ini dapat ditemukan merata secara
nasional. Industri kecil dan rumah tangga berupa pengasapan,
fermentasi dan pengeringan masih mendominasi sektor
pengolahan. Metode tersebut tidak mampu secara signifikan
memberi nilai tambah. Sementara itu industri menengah dan
besar beru mampu memanfaatkan 50% dari kemampuan
produksinya karena keterbatasan suplai bahan baku dan

18
ketergantungan pada impor bahan baku penolong seperti bahan
kemasan dan lainnya (KKP, 2013).

Pengasapan Ikan

Pengolahan perikanan adalah serangkaian proses dari


bahan baku ikan sampai menjadi produk yang dapat dikonsumsi
oleh manusia. Orang yang melaksanakan kegiatan pengolahan
perikanan dalam Nomenklatur KKP disebut sebagai Pengolah
Ikan. Penjelasan lain dalam Undang-undang Sistem penyuluhan
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (UU SP3K) Nomor 16 tahun
2016 disebutkan bahwa Pengolah ikan adalah perorangan warga
negara Indonesia atau korporasi yang melakukan usaha
pengolahan ikan.
FAO mengartikan ikan olahan tradisional (curred
fish)sebagai produk yang diolah secara sederhana yang
umumnya dilakukan oleh industri rumah tangga. Diantara produk
tersebut adalah ikan asap, ikan kering, pindang dan produk lain
yang difermentasi. Di Indonesia pengolahan tradsional dilakukan
oleh para nelayan dan keluarganya sepanjang pantai tempat
pendaratan ikan dengan cara pengolahan yang diwariskan
secara turun temurun. Dari segi cita rasa produk tersebut disuaki
oleh konsumen yang mengkonsumsi secara terus menerus juga,
produk olahan tradsional mempunyai sebaran distribusi yang
luas karena pada umumnya produk relatif stabil walaupun
pengawetan dan pengemasanya masih sederhana.
Pengasapan merupakan suatu metode untuk
mengawetkan ikan dengan kombinasi antara penggunaan panas

19
dengan zat kimia yang dihasilkan dari pembakaran kayu atau
tempurung kelapa, yang bertujuan untuk membunuh bakteri,
merusak aktifitas enzim, mengurangi kadar air dan menyerap
berbagai senyawa kimia yang berasal dari asap (Sulfiani, dkk.
2017)
Pengasapan adalah metode pengawetan ikan yang lazim
di Indonesia. Metode ini memanfaatkan asap dan panas yang
bersumber dari kayu yang dibakar. Cara ini efektif menghentikan
aktivitas mikroorganisme dan enzim perusak ikan. Hasil dari
proses ini memberikan warna dan rasa yang khas pada ikan.
Secara garis besar, pengasapan ini bertujuan untuk
mengolah ikan agar siap dikonsumsi langsung dan memberi cita
rasa yang menarik konsumen. Pengasapan juga bertujuan
mengawetkan ikan melalui pemanasan, pengeringan dan reaksi
kimia yang terjadi selama proses pengasapan (Sulistijowati,
2018). Saat ini, umumnya pengasapan dilakukan dengan metode
pengasapan panas (hot smoking) dan dan pengasapan dingin
(cold smoking).
Pengasapan panas (hot smoking) adalah metode
pengasapan menggunakan suhu tinggi, 70–100 °C dengan
waktu relatif singkat berkisar 3 – 8 jam, bahkan hanya dalam 2
jam. Pada metode ini jarak antara sumber asap dan ikan dibuat
cukup dekat. Suhu tinggi tersebut membuat seluruh proses
enzim menjadi tidak aktif dan ikan akan terhindar dari
kebusukan. Selain itu, ikan juga dapat dikonsumsi langsung
(Adawyah 2007), hal ini diperkuat oleh Sulfiani, dkk 2017 bahwa
pengasapan panas (hot smoking) pengasapan panas dilakukan

20
dengan meletakkan bahan relatif cukup dekat dengan sumber
asap dan suhu diatur antara 650C-800C.
Pengasapan dingin (cold smoking) menggunakan suhu
rendah, berkisar antara 40-50 °C dengan waktu pengasapan
yang dapat mencapai berhari-hari bahkan minggu. Pada metode
ini ikan diletakkan agak jauh dari sumber asap atau api. Suhu
rendah dalam metode ini tidak menyebabkan ikan masak dan
protein ikan tidak terkoagulasi. Karena ikan yang dihasilkan
masih setengah masak maka sebelum disantap, ikan asap perlu
diolah kembali (Adawayah, 2007). Hal ini diperkuat oleh Sulfiani,
dkk ( 2017) bahwa pengasapan dingin (cold smoking)
merupakan proses pengasapan pada suhu 200C-250C dan
maksimal 280C dan biasanya membutuhkan proses pengasapan
selama berhari-hari.

21
22
BAB IV
STRATEGI PEMASARAN PRODUK
MELALUI MEDIA SOSIAL

Produk perikanan dan kelautan termasuk “perishable food”


atau produk yang mudah rusak, untuk itu perlu cara khusus
dalam proses pemasarannya. Terlebih adanya persepsi yang
mengaggap bahwa produk perikanan dapat menimbulkan alergi,
bau yang tidak sedap, rumit pengolahannya, mahal dan sulit
dikonsumsi karena berduri. Diperlukan strategi tersendiri untuk
mengubah pandangan tersebut.
Tjiptono dalam Mubarrak, N dan Malinda, E.Y, (2017)
mendefenisikan strategi pemasaran merupakan alat fundamental
yang dirancang atau direncanakan untuk mencapai tujuan suatu
perusahaan dengan melakukan pengembangan keunggulan
bersaing yang berkesinambungan lewat pasar yang dimasuki dan
program yang digunakan untuk melayani pasar sasarannya. Pada
prinsipnya tujuan sebuah organiasi terletak pada kemampuan
mereka memahami keinginan pelanggan dan memenuhi
kebutuhan mereka dengan cara efektif dan efisien daripada
pesaing. Pemasaran adalah salah satu bagian tersulit dan
penting bagi pengolah ikan, untuk itu perlu dikembangkan

23
sebuah metode yang tepat dan kontinyu untuk meningkatkan
ekonomi UKM.
Tim PPM Universitas Negeri Yogyakarta (2010)
memaparkan beberapa persyaratan dasar minimum yang harus
dipenuhi untuk mengembangkan strategi pemasaran yang akan
dibahas dibawah ini:
A. Strategi Umum
Strategi umum yang digunakan adalah strategi bauran
pemasaran yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Strategi Produk
Hal – hal yang dperhatikan berkaitan dengan strategi
produk adalah:
- Pemelihan bahan baku yang baik
- Jujur menyebutkan asal bahan baku yang digunakan
- Pengolahan hasil perikanan yang dilakukan dengan
mengikuti cara pengolahan yang baik dan benar
2. Strategi Harga
Hal – hal yang diperhatikan berkaitan dengan strategi
harga adalah:
- Mengetahui harga pasaran yang berlaku (dapat diketahui
dari cek langsung dipasaran atau melalui intenet)
- Bekerjasama dengan para nelayan untuk menjaga harga
pasar
3. Strategi Distribusi
Hal – hal yang diperhatikan berkaitan dengan strategi
distribusi adalah:

24
- Menyediakan produk untuk konsumen di tempat yang
tepat dengan kualitas dan kuantitas yang tepat pula.
- Agar memilih daya tawar yang tinggi, nelayan sebaiknya
saling bekerjasama menyediakan stok yang memadai.
- Sistem pengepakan dan pengiriman yang baik misalnya
desaian kemasan yang baik dan rantai dingin tetap
dipertahanka.
4. Strategi Promosi
Hal- hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan
strategi promosi adalah:
- Jaringan nelayan
- Iklan koran
- Iklan internet
- Jual beli melalui media sosial (instgram, facebook,
tweeter)

B. Strategi khusus
Strategi Pemasaran produk olahan ikan asap
- Pilih rantai pemasaran yang dekat dengan konsumen;
Umumnya rantai distribusi ikan asap akan melalui
pengepul, pedagang besar, pengecer, sebelum akhirnya
sampai ke konsumen. Alur pemasaran tersebut terbilang
panjang. Agar harga konsumen tetap terjangkau, selisih
keuntungan yang diperoleh akan sangat kecil, terutama
bagi produsen. Untuk itu, salah satu cara menaikkan
keuntungan adalah memotong jalur distribusinya.

- Buatlah jaringan UKM pengolahan ikan

25
Peran jaringan UKM sangat bermanfaat terutama dalam
mendapatkan informasi suplai bahan baku, penetuan
harga jual hingga distribusi. Keberadaan jaringan akan
membantu dalam memangkas rantai distribusi.
- Pertahankan harga, Jika sedang banyak ikan tongkol,
cakalang dan tuna sedang banyak, usahakan
mempertahankan produksi ikan asap dan harga jual ikan
tetap dipertahankan.
Media sosial menjadi bagian penting dalam hal internet
marketing atau pemasaran melalui internet. Arus media sosial
yang kian cepat, mudah dan murah kerap menjadi pilihan bagi
para pebisnis baik usaha mikro kecil bahkan menengah untuk
memasarkan produk perikanan.
Sosial media memungkinkan konsumen dan produsen
berinteraksi secara langsung. Produk yang menarik akan
mendorong orang-orang mengunjungi tautan informasi produk
tersebut pada sebuah blog atau website. Interaksi yang terjadi
memperbesar kemungkinan pengunjung menjadi pembeli. Jika
dibandingkan dengan metode konsvensional, media sosial
adalah sarana pemasaran yang tergolong mudah dan murah
dengan efektifitas yang lebih baik.
Sebagai situs jejaring sosial media memiliki peran penting
dalam pemasaran. Hal ini disebabkan, sosial media dapat
memainkan peran komunikasi. Menurut (Kotler & Keller 2009:45)
Komunikasi pemasaran adalah salah satu kegiatan pemasaran
yang berusaha menyebarkan informasi, mempengaruhi, atau
mengingatkan pasar sasaran atas perusahaan atau produk agar

26
bersedia menerima, membeli, dan setia pada produk yang
ditawarkan oleh produsen. Menurut Boyd dan Ellison (2008),
Social Networking Site (SNS) dapat dimaknai sebagai sebuah
platfom web dimana semua orang dapat menjalin interaksi apa
saja di dunia maya. Setiap penyedia SNS memiliki keunikan
tersendiri.
Pemasaran digital merupakan bagian dari hampir setiap
keputusan bisnis, mulai dari pengembangan produk dan
penetapan harga hingga hubungan masyarakat. Revolusi media
sosial sepenuhnya telah mengubah internet dan perilaku
konsumen. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa perusahan
yang lebih memilih memasang spanduknya di situs web dan
perusahaan yang mulai memikirkan mengenai strategi
pemasaran dengan menggunakan mesin pencarian (Kingsnorth,
2016). Selain media sosial sebagai media marketing, bahwa
dalam strategi Pengembangan usaha kecil dan menegah agar
bisa bersaing dengan produk usaha kecil dan menegah lainnya
maka desain kemasan pun menjadi prioritas dalam
memperdayakan produk – produk perikanan.

27
28
BAB V
STRATEGI DESAIN KEMASAN
PADA PENGEMBANGAN UKM

Kemasan harus mampu menggambarkan isi produk


sekaligus menarik minat pembeli agar bersedia mengonsumsi
produk tersebut. Daya tarik sebuah kemasan terletak pada
estetika visual yang ditangkap oleh konsumen tanpa
mengorbankan ciri dan sifat ikan asap itu sendiri.
Pada kemasan itu harus disertai label. Label menuat
informasi nama produk (bila ada), nomor registrasi dinas
kesehatan, kode produksi, keterangan kadar luarsa dan logo
halal. Agar lebih menarik dapat disertai gambar dan deskripsi
tentang produk. Label dilekatkan pada kemasan.
Penerapan konsep dan teori diatas belum merata secara
sepenuhnya oleh para pelaku usaha UKM. Untuk menekan
ongkos produksi umumnya pelaku usaha masi menggunakan
kemasan seadanya. Selain itu, pengetahuan dan kemampuan
untuk mebuat desain kemasan yang unik masih rendah.
Akibatnya distribusi produk hanya mnejangkau pasar yang
sempit. Padahal kemasan yang baik dapat meningkatkan
peluang penjualan ke pasar yang lebih luas. Kemasan juga

29
berfungsi melindungi produk olahan ikan dari kemungkinan
cemaran biologis, fisik dan kimiawi yang dapat merugikan
konsumen. Secara langsung, kemasan berpengaruh pada
kualitas produk ikan asap.
Desain kemasan merupakan salah satu strategi
perusahaan untuk dapat melakukan persaingan dalam dunia
bisnis, selain itu untuk dapat menciptakan citra merek dalam
benak konsumen yang bertujuan untuk menarik konsumen
sebanyak–banyaknya sehingga konsumen melakukan keputusan
pembelian terhadap produk tersebut (Mufreni, 2016)
Undang – Undang nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan,
dan sistem jaminan mutu pangan didalamnya dengan tegas
melarang setiap orang mengedarkan pangan yang mengandung
bahan beracun, berbahaya, dapat merugikan, atau
membahyakan kesehataan atau jiwa manusia. Mutu dan Gizi
Pangan yaitu kondisi dan upaya mencegah kemungkinan
kontaminasi pangan dari cemaran biologis, kimia dan benda lain.
Cara pengolahan ikan yang kurang saniter dan hygienes,
serta menyimpan dalam keadaan tidak dilindungi atau dikemas
dengan baik pada kondisi tropis, mengakibatkan produk ikan
olahan ikan tradisonal sangat rentan terhadap kerusakan
mikrobiologis. Kerusakan ini dapat menyebabkan kerusakan
produk baik oleh bakteri atau jamur yang pathogen maupun oleh
racun yang dihasilkan.
Anwar (2004), menjelaskan bahwa masalah keamanan
pangan dapat terjadi mulai pada saat prapanen, perlakuan saat
pengolahan dan penyimpanan sepeti penambahan bahan

30
makanan. Permasalahan juga dapat muncul selama proses
distribusi hingga saat disajikan kepada konsumen.
Penanganan keamanan pangan adalah suatu rangkaian
kegiatan dalam cara-cara budidaya, berproduksi sampai dengan
pengolahan pangan untuk menjamin agar makanan yang
dihasilkan dalam rantai pangan bebas dari bahayabahaya fisik,
kimia, dan biologi yang dapat berakibat buruk atau mengganggu
kesehatan konsumen. Di Indonesia, penanganan keamanan
pangan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang
Pangan No. 7 Tahun 1996, dan dijabarkan lebih lanjut dalam PP
No. 28/ 2004 bertujuan membantu konsumen untuk
mengevaluasi dan memilih produk, membantu produsen dalam
meningkatkan mutu serta dalam melakukan perdagangan yang
jujur, serta meningkatkan kesehatan. rakyat dan peningkatan
kegiatan ekonomi rakyat (Riyadi, P.H, dkk, 2007).
Persepsi para pengolah ikan banyak menganggap bahwa
harga bahan kimia untuk mengawetkan ikan tersebut murah dan
praktis maka penggunaan bahan kimia berbahaya masih banyak
digunakan. Oleh karena itu, perlu adanya informasi dan regulasi
untuk menghambat penjualan bahan kimia tersebut yang akan
ditambahkan ke dalam bahan makanan. Pengetahuan konsumen
tentang penerapan sistem pengawasan mutu dan keamanan
pangan oleh pemenrintah juga menjadi faktor penentu untuk
mengurangi penggunaan bahan kimia berbahaya (Ernik dkk,
2010).
Peran penyuluh sangat penting dalam memberikan
pendidikan informal kepada pengolah karena penyuluh adalah

31
pihak yang langsung berhubungan dengan upaya
pengembangan kompetensi pengolah ikan (Huda, 2010). Sistem
kebijakan pengawasan mutu di indonesia yang masih
menerapkan pola pengawasan mutu dan keamanan pangan
tradisional dengan menitik beratkan pada pengawasan di titik
akhir (end product) sehingga harus diubah dengan menitik
beratkan pada awal masuk dan setiap tahapan proses (in process
inspection) (Trilaksani et all 2010).
Analisis SWOT adalah upaya sistematis dalam
menganalisis beragam faktor untuk menyusun sebuah strategi.
Analisis SWOT mengacu pada logika untuk bisa mengoptimalkan
kekuatan (Strengths) juga peluang (Opportunities), dan di waktu
yang sama mampu mengatasi kelemahan (Weakness) dan
ancaman (Threats). Setiap keputusan strategis harus sejalan
dengan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan. Maka faktor-faktor
analisa SWOT harus dianalisis dalam perencanaan strategis
sesuai kondisi terkini (Rangkuti, 2006).
Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal
berupa peluang (opportunity) dan ancaman (threats) dengan
faktor internal berupa kekuatan (strenght) dan kelemahan
(weakness). Menurut (irham fahmi, 2013:260) untuk
menganalisis secara lebih dalam tentang SWOT, maka perlu
dilihat faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal
menyangkut dengan kondisi-kondisi yang terjadi di luar
perusahaan yang mempengaruhi dalam pembuatan keputusan
perusahaan seperti lingkungan industri dan lingkungan bisnis
makro, ekonomi, politik, hukum, teknologi, kependudukan, dan

32
sosial budaya. Hal tersebut mempengaruhi terbentuknya
opportunities and threats (O dan T). Faktor internal menyangkut
dengan kondisi yang terjadi dalam perusahaan, yang mana ini
turut mempengaruhi terbentuknya pembuatan keputusan
(decision making) perusahaan. Faktor internal meliputi semua
manajemen fungsional: pemasaran, keuangan, operasi,
sumberdaya manusia, penelitian dan pengembangan, sistem
informasi manajemen dan budaya perusahaan (corporate
culture). Faktor internal ini mempengaruhi terbentuknya
strenghts and weaknesses (S dan W).

33
34
BAB VI
QUANTITATIVE STRATEGIC
PLANING MATRIX (QSPM)

Menurut Rachman et al., (2013) Quantitative Strategic


Planing Matrix (QSPM) adalah teknik analisis yang dirancang
untuk menentukan daya tarik relatif dan tindakan alternatif
mana yang terbaik. Secara konsep metode ini menetapkan
kemenarikan relatif dari strategi yang bervariasi yang dipilih
untuk di implementasikan. Metode QSPM adalah bagian dari
pengambilan keputusan (decision stage) setelah melewati matrik
grand strategy dan matrik SWOT. Strategi terpilih dalam matriks
QSPM adalah hasil dari prioritas urutan strategi apa yang akan
dijadikan pilihan pertama.
Langkah – langkah yang diambil adalah:
1. Mengambil lanjutan data dari matrix IFE dan EFE.
2. Menyusun alternatif strategi yang akan dievaluasi.
3. Menetapkan Atractive Score (AS) dengan skala 1 – 4.
a. Nilai 1 = tidak mempunyai daya tarik.
b. Nilai 2 = daya tarik rendah.
c. Nilai 3 = daya tarik sedang.
d. Nilai 4 = daya tarik tinggi.

35
4. Menghitung Total Attractive Score (TAS) dan menjumlah
seluruh Total Attractive Score (TAS).
Permasalahan yang dihadapi Usaha Kecil dan Menengah
(UKM) Pengolahan ikan asap di Kabupaten Bone dalam
pemasaran produk ikan asap yaitu kurangnya bauran pemasaran
yang meliputi strategi produk, strategi harga, dan strategi
promosi. Keterbatasan bauran pemasaran tersebut berdampak
pada kecilnya orientasi pasar dan rendahnya daya saing produk
UKM di tingkat global. Minimnya pemahaman minimnya
pengetahuan sistem pasar untuk industri yang berasal dari hasil
perikanan dan skill SDM dalam mengolah produk olahan ikan
menyebabkan UKM tidak memiliki arah pengembangan usaha
yang jelas dan akhirnya mengalami stagnasi.
Permasalahan kebijakan pemerintah dalam
pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan, dimana
pemerintah harus memberikan kemudahan dalam
pengembangan usaha perikanan melalui kebijakan – kebijakan
peraturan – peraturan dan pendampingan untuk pengembangan
Usaha kecil dan Menengah (UKM).
Penelitian ini dilaksanakan untuk mengkaji kondisi UKM
dan bagaimana merumuskan strategi pengembangan usaha kecil
dan menengah pengolahan ikan asap yang berorientasi pasar.
dalam upaya pengembangan dan peningkatan usaha pengolahan
hasil perikanan melalui UKM bidang pengolahan dan pemasaran
hasil perikanan. Kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 1.
i

36
Kondisi iiUmum Wilayah iPenelitiani

1. iLetak Geografis idan iTopografii

i
Gambar 6.1. Peta Geografis Kabupaten Bone
Secara iadminstasi iKabupaten iBone iterdiri dari i27 i
(idua ipuluh itujuhi) kecamatan, 10 di antaranya memiliki wilayah
pesisir. Kabupaten Bone berada dipesisir timur Provinsi Sulawesi
Selatan dan berjarak 174 KM idari iKota iMakassari. Memiliki
igaris ipantai isepanjang i138 KM idari iarah selatan ikearah
iutarai.

37
Secara astronomisi, iBone iterletak iantara 4013’i-i5006’
iLintang iSelatan idan i119042’i-i120040’ iBujur iTimur dengan
ibatasi-ibatas iwilayah isebagai iberikuti:
iSebelah iUtara iberbatasan dengan iKabi. iWajo idan
iSoppeng i
a. iSebelah iSelatan berbatasan idengan iKabi. iSinjai idan
Gowa i
b. iSebelah iTimur iberbatasan dengan iTeluk iBone i
c. iSebelah iBarat berbatasan idengan iKabi. iMarosi,
iPangkep dan iBarru.
Kab. Bone miliki luas 4.559 KM² dengan topografi yang
bermacam-macam, mulai dari 0 meter ditepi pantai hingga lebih
dari 1.000 meter di permukaan laut. Potensi sumberdaya alam
yang dimiliki Kabupaten Bone meliputi ibidang ipertaniani,
perkebunani, ipeternakani, iperikanani, iperindustriani,
pertambangani, perdagangan idan iperhubungan iserta
ipariwisatai. iLuas wilayah idan ipotensi isumberdaya ialam
isetiap iKecamatan idi iKabi. Bone lebih jelas bisa dilihat pada
Lampiran 3.
Terdapat 11 kecamatan di Kab. Bone yang memiliki
potensi sumberdaya kelautan serta perikanan, yaitu Kecamatan
Kajuara, Salomekko, Tonra, Kecamatan Mare, Sibulue, Barebbo,
Tellu Siattinge, Awangpone, Tanete Riattang Timur, Cenrana,
dan Kecamatan Dua Boccoe. Secara umum pengelolaan serta
pemanfaatan sumberdaya kelautan serta perikanan di Bone
berupa penangkapan ikan (laut dan perairan umum), budidaya

38
ikan (tambak dan kolam), pembenihan ikan, budidaya rumput
laut, dan pengolahan hasil perikanan.
2. Keadaan Demografi
a. Jumlah Penduduk
Tahun 2019 penduduk Kab. Bone sebanyak 758.589
jiwa dengan kepadatan penduduk 166 jiwa/KM2, terdiri dari
363.030 pria serta 395.559 perempuan. Dibanding dengan
proyeksi jumlah penduduk tahun 2017. Penduduk Bone
Jumlah tersebut alami kenaikan sebanyak 0,49 %
dibandingkan jumlah penduduk pada tahun 2017.
Data Penduduk kabupaten Bone tahun 2019 bisa
dilihat di Tabel 5. Dari tabel itu bisa dipahami bahwasannya
jumlah penduduk terbesar terletak Kec. Tanete Riattang
sejumlah 53.624 jiwa, sedangkan penduduk terkecil terdapat
di Kec. Tonra sejumlah 13.978 jiwa.
Tabel 6.1. Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten
Bone Tahun 2019.
Penduduk
No Kecamatan Laki-Laki Perempuan Jumlah
1. Bontocani 7.909 7.953 15.862
2. Kahu 18.920 20.299 39.292
3. Kajuara 18.175 18.085 37.160
4. Salomeko 7.786 7.976 15.762
5. Tonra 6.793 7.185 13.978
6. Patimpeng 8.241 8.696 16.973
7. Libureng 15.245 14.955 30.200

39
8. Mare 13.330 14.041 27.371
9. Sibulue 16.488 18.326 34.814
10. Cina 12.885 13.959 26.844
11. Barebbo 13.089 14.956 28.045
12. Ponre 6.921 7.219 14.140
13. Lappariaja 11.500 12.571 24.071
14. Lamuru 11.740 13.486 25.226
15. Tellu Limpoe 7.147 7.078 14.225
16. Bengo 12.325 13.245 25.570
17. Ulaweng 11.591 13.245 24.818
18. Palakka 10.609 12.241 22.850
19. Awangpone 13.836 15.826 29.698
20. Tellu Siatinge 18.731 21.491 40.222
21. Amali 9.484 11.317 20.801
21. Ajangale 12.807 14.726 27.553
22. Dua Boccoe 13.999 16.307 30.306
23. Cenrana 11.641 12.822 24.463
24. T.R.Barat 24.329 26.145 50.474
25. T.Riattang 25.241 28.383 53.624
26. T.R.Timur 22.268 22.035 44.303
Jumlah 363.030 395.559 758.589
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bone, 2020
b. Ketenagakerjaan
Tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2019
mencapai 3,25%, dengan komposisi laki-laki 3,20% dan
perempuan 4,02%. Sementara itu penduduk usia kerja

40
menurut sektor lapangan usaha, sektor Pertanian merupakan
sektor yang memiliki jumlah usaha terbanyak di tahun 2019
yaitu sebesar 56,42 %. Sedangkan untuk usaha lainnya
termasuk didalamya usaha kelautan dan perikanan sebesar
9,23 % artinya penyerapan tenaga kerja diusaha kelautan
dan perikanan masih rendah.
3. Potensi Kelautan dan Perikanan
Potensi kelautan dan perikanan di Kabupaten Bone untuk
penangkapan ikan, budidaya laut dan air payau tersebar di 10
kecamatan yang memiliki wilayah pesisir, terdiri dari 63 desa dan
garis pantai sepanjang 138 KM. Meskipun demikian, budidaya air
tawar dapat dilakukan di 27 kecamatan di Kabupaten Bone.
Budidaya air payau yang telah dikeloa di Kabupaten Bone
seluas 15.244 Ha dari 15.244 Ha potensi yang ada. Budidaya
laut (marineculture) dengan luasan potensial 101.638 Ha baru
terealisasi seluas 1.597,7 Ha. Sementara itu budidaya kolam air
tawar hanya terkelola 261 Ha dari 2.085 Ha potensi yang ada.
Di sektor penangkapan potensi armada hingga 3.301
unit, terdiri dari kapal motor berukuran ≤5 GT termasuk perahu
tanpa motor dan motor tempel sebanyak 1.620 unit, kapal
ukuran >5 – 10 GT sebanyak 155 unit dan kapal berukuran >10
GT sebanyak 175 unit.
Ditinjau dari potensi tenaga kerja dan kelembagaan,
pembudidaya di Kabupaten Bone mencapai 18.977 orang dengan
340 Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) dan 1 (satu) unit
pengembangan perikanan (UPP). Jumlah nelayan mencapai
9.397 orang, KUB sebanyak 226 dan 1 Forum Komunikasi

41
Kelompok Usaha Bersama (FKKUB). Selain itu terdapat 1 unit
koperasi nelayan, Koperasi Mitra Mina Bahari, yang menaungi
seluruh nelayan di Kabupaten Bone.
Potensi sumberdaya manusia yang bergerak dibidang
pengolahan ikan asap cakalang memang masih tergolong belum
banyak karena baru terdapat 6 kelompok. Selebihnya, pengolah
ikan asap menggunakan ikan pari sebagai bahan baku.
4. Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah merupakan salah satu unsur yang
mendukung dalam pengembangan usaha pada suatu daerah.
Pemerintah sebagai pengambil kebijakan, menjabarkan
program-program dalam rangka pengembangan sumberdaya
manusia dan pengelolaan sumberdaya alam. Kabupaten Bone
dalam rencana kerja menyebutkan bahwa salah satu peran serta
Dinas Kelautan dan Perikanan dalam rangka meningkatkan
produksi ikan olahan didukung dengan pelaksanaan kegiatan
melalui program optimalisasi pengelolaan dan pemasaran
produksi perikanan melalui pembinaan dan sosialisasi,
pemberian bantuan berupa sarana dan prasarana pengolahan
dan pemasaran seperti peralatan pengolahan hasil perikanan
termasuk peralatan pengasapan ikan.
Pemerintah juga berkomitmen untuk meningkatkan
jumlah produksi produk olahan ikan, serta mencanangkan
program peningkatan mutu, keamanan dan nilai jual produk
olahan ikan. Peningkatan mutu hasil perikanan melalui
penerapan teknologi penanganan pascapanen dan penerapan
sistem rantai dingin. Sementara itu peningkatan produksi hasil

42
olahan ikan dengan pembentukan dan pemberdayaan Kelompok
Pengolan dan Pemasaran Hasil Perikanan (POKLAHSAR).
Peningkatan mutu dan nilai jual produk perikanan dicapai dengan
penerapan teknologi produksi pengolahan, pengemasan produk
dan peningkatan keamanan produk melalui penerapan Cara
Pengolahan Pangan yang Baik (CPPB) bagi pelaku usaha
pengolahan hasil perikanan.
Dukungan penyuluhan dalam rangka pengembangan
sumberdaya manusia terus diupayakan pemerintah daerah agar
berjalan optimal. Kementerian Kelautan dan Perikanan bahkan
memasukkannya sebagai suatu unsur utama dalam
pembangunan, pengembangan dan pembinaan sumberdaya
manusia kelautan dan perikanan.
Di Kabupaten Bone terdapat lebih dari 30 orang tenaga
penyuluh perikanan yang bertugas dalam pendampingan,
pembinaan, dan pemberdayaan bagi masyarakat kelautan dan
perikanan. Selain penyuluhan yang dilaksanakan oleh Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bone, pelatihan-pelatihan
bagi pengolah ikan juga sering dilakukan oleh Balai Pendidikan
dan Pelatihan Industri Makassar, hal ini dimaksudkan untuk
melatih para pelaku usaha pengolahan hasil perikanan secara
mandiri memamasarkan hasil olahannya, meningkatkan mutu
produk dan berjiwa wirausaha.

43
44
BAB VII
ASPEK SOSIAL USAHA KECIL
DAN MENENGAH (UKM)

Karakteristik sosial pengolah hasil perikanan dapat dilihat


berdasarkan pada beberapa variabel seperti umur, tingkat
pendidikan, jumlah tenaga kerja, pengalaman, pengetahuan,
keterampilan, latar belakang, partisipasi, pola hubungan kerja,
dan motivasi usaha. Di Kabupaten Bone UKM pengolahan ikan
asap dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok pengolahan asap yaitu
cakalang asap, bandeng asap dan pari asap.
Pengolahan cakalang asap tersebar di Kecamatan
Taneteriattang Timur yang meliputi Kelurahan Lonrae dan
Kelurahan Panyula, bandeng asap di Kelurahan Biru, Kecamatan
Taneteriattang. Pengelohan pari asap di desa Ujung Salangketto,
Kecamatan Mare dan Desa Muara di Kecamatan Tonra.
1. Umur
Umur merupakan salah satu faktor penting dalam suatu
usaha pengolahan hasil perikanan karena akan dapat
mempengaruhi tingkat produktivitas kerja. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa, secara umum rata-rata umur pengolah
hasil perikanan masih berada dibatas usia produktif kisaran 91,94

45
%, yaitu 16 – 60 tahun sebanyak 114 orang serta > 60 tahun
sejumlah 10 orang ataupun 8,06 %. sesuai dengan pendapat
Koeshendrajana (2011) mengemukakan bahwa “ Titik puncak
umur produktif pada usia 45 tahun” .
Umur menjadi faktor penting karena saat umur produktif
akan lebih cepat mengambil keputusan dan melakukan rekayasa
dan inovasi usahanya. Menurut Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 umur produktif berada antara 15 sampai 60 tahun.
Hal ini menunjukkan bahwa pengolah ikan masih didominasi oleh
tenaga kerja yang produktif, artinya masih mampu untuk bekerja
keras, mampu menghasilkan produk, dan masih memiliki
motivasi yang tinggi dalam melakukan sesuatu sehingga
berpotensi dalam pengembangan usaha pengasapan ikan. Hal ini
senada dengan pendapat Hermawan (2018), bahwa pada usia
produktif orang masih miliki kesanggupan fisik, pola pikir yang
baik serta sangat potensial ketika memperluas usaha karena
miliki semangat untuk ingin tahu serta aktif berusaha mencari
informasi. Untuk lebih jelasnya klasifikasi umur pengolah hasil
perikanan di Kabupaten Bone bisa dilihat dari Tabel 4.2.
2. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan formal mempunyai peranan besar
didalam proses pemakaian teknologi baru. Secara teoritis, makin
tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin cepat pula
kesanggupannya ketika menyesuaikan diri terhadap perubahan
teknologi. Pendidikan umumnya akan mempengaruhi sikap,
perilaku serta pola pikir ketika memahami suatu informasi serta
inovasi teknologi. Pada masyarakat pesisir, pengaruh tingkat

46
tercermin pada sikap serta respon terhadap informasi serta
inovasi teknologi dari luar, terutama kesanggupan mengikuti
proses alih teknologi dibidang perikanan serta kelautan.
Hasil analisis data menunjukkan 8,07% (10 orang)
pengolah ikan asap tidak tamat sekolah, 54,84 % (68 orang)
hanya menyelesaikan sekolah hingga tingkat Sekolah Dasar
(SD), 24,19 % (30 orang) yang menyelesaikan pendidikan
tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan 11,29 % (14
orang) menyelesaikan sekolah hingga tingkat Sekolah Menengah
Atas (SMA). Hanya 1,61% (2 orang) yang menyelesaikan
pendidikan hingga ke tingkat sarjana.
Tingkat pendidikan formal pengolah ikan penting karena
akan mempengaruhi kemampuan dan kapasitas pengolah ikan
dalam memahami dan menyerap informasi dan inovasi teknologi
baru. Selain itu, tingkat pendidikan bisa berpengaruh terhadap
produktifitas. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang,
semakin terlatih dalam belajar, memiliki beragam metode
belajar, sehingga semakin besar pula kemampuan belajarnya.
Menurut pendapat dari Hasibuan (2008: 69) yang
mengemukakan bahwasannya tingkat pendidikan seseorang bisa
pengaruhi pengalaman kerja, dengan demikian makin tinggi
tingkat pendidikan karyawan, maka makin tinggi keahlian serta
keterampilan, hingga pengalaman kerja akan berkembang.
Kajian empirik yang turut menyetujui riset ini ialah riset
Artatananya (2013) yang mengemukakan bahwasannya tingkat
pendidikan berpengaruh positif terhadap pengalaman kerja.

47
Semakin tinggi tingkat pendididkan yang dipunyai maka makin
tinggi pula pengalaman kerja yang didapatnya.
3. Lama Usaha
Pertambahan usia selalu diikuti oleh naiknya pengalaman
seseorang diberbagai aspek kehidupan, termasuk pengalaman
kerja yang ditekuni. Begitu juga dengan keberadaan UKM bidang
pengolahan ikan asap. Idealnya semakin lama usaha berjalan,
UKM tersebut semakin berkembang. Pengalaman berusaha
responden di lokasi penelitian bisa dilihat dari Tabel 4.4.
Berdasarkan Tabel 4.4 tersebut dapat dikemukakan
bahwa sebanyak 8 UKM (75 %) mempunyai pengalaman
berusaha bidang pengolahan ikan asap lebih dari 5-10 tahun.
Hal ini disebabkan karena kegiatan pengolahan hasil perikanan
di Kabupaten Bone sebagai usaha tradisi keluarga yang turun
temurun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman dan
keterampilan pengolah hasil perikanan diperoleh dari lingkungan
keluarga dan lingkungan usahanya sehingga kegiatan
pengolahan hasil perikanan dapat dilakukan oleh siapa saja yang
berminat.
Pengolah yang usahanya telah berlangsung lebih 10
tahun memiliki jangkauan pemasaran lebih luas dibanding
dengan usaha-usaha yang berlangsung dibawah 5 tahun.
Sementara itu, pengolah ikan yang usahanya dibawah 5 tahun
belum memiliki konsumen tetap. Lama usaha yakni lamanya
pengusaha berkarya diusaha yang sedang dijalani (Asmie, 2008).
Lamanya suatu usaha akan menetapkan pengalaman berusaha,
dimana pengalaman bisa mempengaruhi keahlian seseorang

48
ketika melakukan suatu aktivitas (Sukirno, 1994). Lama usaha
bisa pengaruhi tingkat pendapatan, produktivitas dan keahlian.
Hal tersebut bisa meningkatkan efisiensi hingga bisa
menurunkan biaya produksi lebih kecil daripada hasil jualan.
5. Tenaga Kerja
Jumlah tenaga kerja ditiap usaha pengasapan ikan (cakalang,
bandeng dan pari) di Kab. Bone masih terkategori sedikit. Tabel
dibwah ini menunjukan komposisi tenaga kerja pengolahan ikan
asap di Kabupaten Bone.
Data tenaga kerja tersebut diatas menandakan
penyerapan tenaga kerja pengolahan ikan asap belum maksimal.
Hal ini dikarenakan skala usaha masih tergolong kecil. Padahal
UKM seperti pengolaan ikan asap ini yang dapat bantu didalam
penyerapan tenaga kerja serta peningkatan pendapatan untuk
masyarakat.
Usaha kecil serta menengah (UKM) berfungsi sangat vital
didalam perkembangan serta pertumbuhan ekonomi,
dikarenakan selain menyerap paling banyak tenaga kerja serta
berkontribusi besar terhadap pertumbuhan domestik bruto
(Taufik 2017 dan Andiny, 2018). UKM juga berfungsi didalam
pemerataan pendapatan serta perkembangan taraf hidup serta
kesejahteraan masyarakat, sebagaimana disampakai dari
(Juliandini, 2017), bahwasannya Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM) punyai fungsi penting didalam penerimaan
tenaga kerja, pemerataan pendapatan serta menaikkan
kesejahteraan masyarakat.
6. Pola hubungan Kerja

49
Sebagaian besar pengolah ikan asap melibatkan anggota
keluarga seperti suami/istri, anak, dan keluarga lainnya dalam
proses produksi. Sebagian besar pengolah tidak menghitung
upah keluarga. Mereka bekerja sebagai bentuk kerjasama
keluarga untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Jika dalam proses produksi melibatkan tenaga kerja di
luar keluarga upah dibayarkan tunai setiap hari setelah pekerjaan
selesai. Ada pula yang upahnya dibayarkab setelah produk yang
dihasilkan laku terjual. Pelibatan tenaga kerja di luar keluarga
telah membangkitkan perekonomian dan aktivitas masyarakat
setempat.
Hasil wawancara dan pengamatan di lapangan, ada tiga
hal yang memotivasi pengolah ikan asap. Pertama, untuk
meneruskan tradisi keluarga dan tidak ada pekerjaan lain. Kedua,
ingin mengembangkan usahanya dan siap menanggung risiko
karena adanya keyakinan bahwa pengolah hasil perikanan
memberikan tambahan penghasilan bagi keluarga. Ketiga,
sebagai pekerjaan sembilan, ketika tidak ada musim padi para
ibu rumah tangga dapat mengolah ikan pari hasil tangkapan
suami menjadi ikan asap.

50
BAB VIII
ASPEK EKONOMI USAHA KECIL
DAN MENENGAH (UKM)

A. Bantuan Modal dan Akses Modal


Dari total responden UKM pengolah ikan asap sebanyak 11
(sebelas) kelompok mengaku belum pernah memperoleh
bantuan kredit dari perbankan dan koperasi. Sumber permodalan
pengolah ikan asap umumnya berasal dari modal sendiri atau
modal lancar. Hal ini menjadi kelemahan UKM pengolah ikan
asap karena keterbatasan dana yang dapat digunakan untuk
pengembangan usaha dalam rangka memenuhi target pasar
potensial yang belum dipenuhi. Untuk mengembangkan
usahanya UKM-UKM pengolahan ikan asap di Kabupaten Bone
sangat mengharapkan adanya bantuan untuk mendapatkan
supplai dana berupa pinjaman modal dengan sistem
pengembalian yang dapat dijangkau dari pemerintah daerah
maupun pusat.
Pengolah ikan asap sebenarnya menginginkan tambahan
modal. Terutama yang bersifat bantuan modal bergulir atau
kredit usaha dengan subsidi bunga dari pemerintah. Pemerintah
telah menggulirkan kredit usaha mikro yang dapat diperoleh
melalui lembaga perbankan misalnya Kredit Usaha Mikro Mandiri.

51
Tetapi mereka tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman
tentang sumber dan akses terhadap permodalan tersebut. Di
samping itu, masyarakat pesisir umumnya enggan berhubungan
dengan lembaga perbankan. Oleh karena itu, diperlukan
bimbingan dari instansi terkait sehingga pengolahan ikan asap
dapat memperoleh akses permodalan yang lebih luas sehingga
kegiatan pengolahan dapat semakin berkembang.
Pelaku pengolah ikan asap belum memanfaatkan sumber
permodalan yang berasal dari perbankan, koperasi, dan
perusahaan. Untuk mendapatkan modal dari lembaga keuangan
diperlukan persyaratan-persyaratan khusus yang harus dipenuhi
seperti, harus memiliki surat izin usaha, jaminan, dan kelayakan
usaha. Persyaratan tersebut disertakan dalam proposal
pengajuan pinjaman. Lembaga keuangan akan melakukan survei
ke lokasi pengolahan hasil perikanan yang memenuhi syarat
untuk menilai kelayakan usaha. Proses panjang seperti ini
membuat pengolah hasil perikanan sungkan dan enggan untuk
mengakses permodalan.

B. Informasi Pasar dan Akses Pasar


Pemasaran ialah aspek yang sangat dasar didalam
mengapai keuntungan usaha. Jikalau produksi besar, tapi tidak
miliki sasaran pasar maka hasil produksi tidak akan terjual. Pasar
sangat penting untuk kelangsungan usaha. Jikalau kemampuan
pasar untuk menyerap produksi yang cukup tinggi maka
pengolah hasil perikanan bisa jual produksinya dengan harga
yang tepat serta dapatkan keuntungan yang tinggi. Sebaliknya,

52
jikalau pasar tak sanggup menerima produksi dikarenakan
menurunnya permintaan, maka pengolah hasil perikanan tidak
bisa produksinya dengan harga yang tepat serta pada akhirnya
tak menghasilkan keuntungan yang memadai.
Data menunjukkan bahwa dari 11 UKM Pengolah ikan
asap yang memasarkan olahan ikan asapnya, 72 % (8 UKM)
menjual ikan asap dipasar tradisonal. 27 %(3 UKM) menjual
hingga keluar kota seperti Makassar dan 1% (1 UKM) sudah
bermitra dengan pihak pusat penjualan oleh-oleh.
Sumber informasi permintaan produk ikan asap bisa
berawal dari pembeli, pasar, diri sendiri, ataupun sesama
pengolah ikan. Informasi permintaan bisa berupa jumlah ikan
yang diminta konsumen, preferensi, serta harga jual. Sedang kan
informasi penawaran bisa tentang informasi tentang jenis ikan
yang laku serta ide desain produk yang akan ditawarkan kepasar.
Sumber informasi bisa berasal dari sesama pengolah, pembeli,
TPI ataupun nelayan.
Tempat pemasaran memang masih cenderung beragam,
namun sesuai data yang didapatkan pada saat wawancara,
semua pengolah jual produk ikan asapnya di Pasar Tradisional di
Kabupaten Bone, ialah di pasar Bajoe, pasar Palakka, serta pasar
Taccipi. Penjualan produk ikan asap di pasar tradisional yang ada
di Bone dilakukan setiap hari oleh pengolah ikan langsung. Para
pengolah ikan sudah memiliki lapak masing-masing di pasar-
pasar tersebut sehingga tidak perlu bersusah payah lagi untuk
mencari tempat menjualnya.

53
54
BAB XI
ASPEK TEKNOLOGI DAN PROSES
PRODUKSI USAHA MIKRO KECIL
DAN MENENGAH (UKM)

Pengolahan ikan asap (Cakalang, tuna, bandeng asap


dan pari) di Kabupaten Bone dilakukan oleh 11 (sebelas)
kelompok. Teknologi yang digunakan masih bersifat tradisional.
Berlandaskan data yang di peroleh dari responden, 10 kelompok
masih memakai teknologi secara turun temurun ataupun
tradisonal, serta hanya 1 (satu) kelompok yang beralih ke
teknologi pengolahan ikan asap modern dengan memakai lemari
pengasapan.
Pengolah ikan asap cakalang dan pari di Kabupaten Bone
lebih memilih metode tradisional dikarenakan volume produksi
dengan menggunakan tungku lebih besar dibanding dengan
memakai lemari pengasapan. Kasus ini pernah terjadi pada
pengolah ikan asap yang memperoleh bantuan lemari
pengasapan dari pemerintah. Bila menggunakan tungku
pengasapan tradisional, pengolah bisa memproduksi 300 – 400
iris ikan asap dalam waktu 3 – 4 jam, sementara jika
menggunakan lemari pengasapan yang diberikan pemerintah,
volume produksi hanya 100 – 200 iris dalam waktu 3 – 4 jam.

55
Padahal jika dilihat, kualitas ikan asap yang dihasilkan kedua alat
tersebut cenderung sama. Dengan demikian, pengolah ikan asap
di Bone masih pertahankan teknologi tradisional yang dipakaikan
selama ini dikarenakan masih lebih ampuh dibanding teknologi
baru yang diberi. Diperlukan lemari berkapasitas lebih besar
untuk meningkatkan produksi dengan teknologi modern.
Peralatan yang digunakan dalam pengasapan tradisional
menggunakan tungku pengasapan yang sederhana, terbuat dari
susunan batu bata berukuran 1 x 1,5 x 0.5 meter. Pada bagian
atasnya diberi besi penyangga sebagai tempat penyusunan
bahan baku ikan cakalang yang akan diasapi.
Pengolah ikan asap cenderung tidak mengalami kesulitan
dalam memperoleh bahan baku. Untuk menjamin ketersediaan
dan keberlangsungan, masing-masing pengolah ikan mempunyai
langganan nelayan sebagai pemasok bahan baku. Bahan baku
pun diantarkan langsung dari pemasok ke tempat masing-masing
pengolah.
Proses produksi dengan pengasapan tradisional
dilakukan dengan cukup sederhana. Langkah-langkah proses
produksi pengasapan ikan asap sebagai berikut:
1. Persiapan bahan baku, ikan cakalang yang telah diterima dari
nelayan dicuci menggunakan air bersih 2 hingga 3 kali;
2. Penyiangan, ikan disiangi dengan memotong bagian kepala,
membuang insang dan isi perutnya. Pada tahap ini juga ikan
di-fillet (diiris kecil);

56
3. Pencucian, ikan yang telah diiris kecil/fillet dicuci kembali
menggunakan air bersih dan disimpan pada baskom
penampungan dan siap diasapi;
4. Pengasapan, dilakukan dengan menyusun potongan-
potongan ikan pada tungku pengasapan yang telah
disipakan. Bahan bakar pada proses pengasapan
menggunakan tempurung kelapa. Proses pengasapan
berlangsung selama 2 – 4 jam. Selama proses pengasapan,
ikan dibolak balik untuk memastikan agar ikan matang secara
merata pada seluruh permukaan dagingnya;
5. Pendinginan, ikan yang telah diasapi kemudian ditampung
pada keranjang untuk proses pendinginan. Ikan didinginkan
pada ruang terbuka kemudian disimpan.
Ikan yang selesai diasapi pada dini hari biasanya dijual
dipasar pada hari yang sama. Sedangkan hasil produksi pada
pagi hari akan dijual keesokan. Pelaku UKM ikan asap di
Kabupaten Bone belum melakukan pengemasan dengan baik
pada produk olahannya kecuali jika akan dijual ke luar daerah.
Pada dasarnya, pengasapan ikan dengan menggunakan
inovasi teknologi terbaru bisa membantu dan mempermudah
proses produksi ikan asap serta menghemat waktu. Misalnya saja
penggunaan ruang pengasapan, penggunaannya lebih
sederhana karena tidak perlu proses bolak-balik produk yang
diasapi, cukup disusun rapih pada lemari pengasapan dan diasapi
dengan waktu yang ditentukan. Berbeda dengan teknologi yang
dipergunakan oleh pengolah saat ini dimana proses produksi
harus dikontrol secara rutin dalam beberapa menit. Sebagaimana

57
penelitian yang dilakukan oleh Setyawan (2018), pada proses
pengasapan otomatis dengan suhu dan waktu tertentu
berpengaruh terhadap tingkat kekeringan ikan dan kadar air,
penggunaan teknologi tepat guna terutama penggunaan
pengasapan otomatis dapat mengurangi waktu produksi dari 6
jam menjadi 2 jam. Temuan Solechan (2017), mengungkapkan
bawah pemakaian lemari pengasap ikan kapasitas 250 buah bisa
menaikkan produksi 117%, waktu kematangan 30 menit dengan
temperatur 100oC, dan menghemat bahan bakar kayu 33,3%.
Namun, karena pertimbangan efektifitas dan volume lemari
pengasapan yang diberikan dari pemerintah saat ini masih
tergolong kecil masyarakat masih bertahan dengan teknologi
yang lama.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden
pengolah ikan asap (Ketua UKM) diketahui bahwa 6 kelompok
pengolahan ikan asap pernah mendapat pelatihan teknik
pengolahan dan manajemen ikan asap. Sedangkan 5 kelompok
lainnya belum pernah mendapatkan pelatihan dan hanya
mendapatkan pendampingan dari penyuluh. Peran penyuluh
seperti disampaikan Dinas Perikanan Bone adalah sebagai
transfer teknologi dan pendampingan, Dinas Perikanan juga
melakukan kunjungan ke semua pengolah ikan setiap bulan.
Dari beberapa hal diatas, disimpulkan bahwasannya
akses teknologi pengolah ikan masih rendah. Terbukti
bahwasannya mereka masih mengaplikasikan usahanya secara
tradisional berdasarkan pengalaman mereka selama bertahun-
tahun. Hal ini berkaitan dengan tingkat pendidikan mereka yang

58
masih rendah hingga pengetahuannya sangat kurang. Hampir
tidak ada cara perbaikan teknologi yang dilakukan pengolah ikan
asap. Mereka masih memakai kayu bakar, tempat pengolahan
yang seadanya, dengan sistem sanitiasi yang sangat kurang.
Limbah langsung dialirkan kekali yang berada disebelah tempat
pengolaan, sehingga terlihat sangat kotor serta menimbulkan
bau yang tak sedap.

59
60
BAB X
ANALISIS KELAYAKAN USAHA

Secara finansial, analisis tingkat kelayakan suatu usaha


pengolahan ikan asap diukur berdasarkan besarnya
Revenue/Cost Ratio (R/C Ratio) yang didapat pengolah ikan
asap. Nilai R/C Ratio menunjukkan perbandingan antara
besarnya nilai produksi pengolahan ikan asap dibagi dengan
seluruh biaya yang di keluarkan. Nilai produksi pengolahan ikan
asap berasal dari total produksi pengolahan ikan asap yang
diperoleh dikalikan dengan harga jual. Hasil analisis usaha
pengolahan ikan asap bisa dilihat dari lampiran 4.
Salah satu analisis kelayakan usaha yang dilakukan adalah
dengan mengihtung Revenue Cost Ratio (R/C Ratio),
berdasarkan data rekapitulasi diatas dapat disimpulkan bahwa
usaha pengolahan ikan asap dengan jenis ikan yang berbeda
menunjukkan hasil Revenue Cost Ratio (R/C Ratio) > 1. Dengan
demikian, nilai R/C Rasio >1 menunjukkan bahwa usaha
pengasapan ikan layak untuk dilaksanakan dan dikembangkan.
Arah pengembangan usaha pengolahan ikan asap bisa diarahkan
pada peningkatan produksi atau kapastas produksi dengan
peningkatan skala usaha untuk meningkatkan pendapatan.

61
Dengan peningkatan skala usaha dan kapasitas produksi
nantinya bisa menyerap tenaga kerja dalam rangka
pemberdayaan masyarakat khususnya yang masih dalam umur
produktif.
A. Pemasaran Lewat Media Sosial
Iklan penjualan ialah gabungan dari advertising serta
personal selling yakni seseorang yang melakukan penjualan
secara langsung sekaligus melakukan kegiatan promosi melalui
sosial media, brosur, spanduk, dll agar ciptakan pembelian
terhadap suatu produk didalam waktu yang singkat. Para
produsen pengolahan ikan asap sendiri menawarkan produknya
secara langsung kekonsumen serta tidak lakukan kegiatan
promosi dengan media sosial.
Kesulitan didalam pemasaran diakibatkan dengan
keterbatasan informasi atas perubahan serta peluang pasar,
kurangnya biaya distribusi dan promosi, serta minimnya
pengetahuan mengenai bisnis serta komunikasi. Pada umumnya
kemampuan komunikasi pengusaha UKM sangat rendah dengan
sarana komunikasi yang masih kurang. Selain itu, manajemen
pemasaran juga masih kurang hingga pengusaha kecil kurang
sanggup didalam menyusun strategi pemasaran. Hal ini sebagai
akibat dari rendahnya kemampuan manajerial pengusaha yang
berhubungan. Adanya berbagai keterbatasan ini, berdampak
pada banyaknya pengusaha kecil yang sangat tergantung pada
pedagang ataupun pengumpul keliling khususnya bagi UKM yang
mau memasarkan kepasar diluar daerah. Tanpa pedagang serta
pengumpul keliling, para UKM hanya sanggup memasuki pasar

62
lokal yang relatif terbatas. Hal ini disetujui dengan temuan
Jauhari (2014), agar memajukan dayasaing UKM serta agar
dapatkan peluang expor serta peluang bisnis lain bisa
dilaksanakan dengan iklan yang passif dengan manfaatkan
perluasan Information and Communication Technology (ICT),
utamanya e-commerce tidak hanya manfaatkan internet sebagai
alat agar melakukan promosi ataupun mencari peluang bisnis.
Tempat pemasaran memang masih cenderung beragam,
namun sesuai data hasil wawancara, seluruh pengolah setiap
hari menjual lansung produk ikan asapnya dipasar Tradisional di
kabupaten Bone, ialah dipasar Bajoe, pasar Palakka, serta pasar
Taccipi. Mereka sudah memiliki lapak masing-masing di pasar-
pasar tersebut sehingga tidak bersusah payah lagi untuk mencari
tempat menjual.
Informasi yang dihimpun dari pengolah bahwasannya
penjualan keluar Kabupaten Bone serta luar negeri paling tidak
didalam waktu 3 (tiga) bulan pasti ada. Ini ialah suatu peluang
yang dipunyai oleh pengolah ikan didalam memperluas
jangkauan pasarnya. Daerah pemasaran memang butuh
diperluas jangkauannya sebagaimana yang di sampaikan
Hanoeboen (2012), strategi ampuh didalam pemasaran perlu
dibuat dengan perluasan zona pasar dengan mengaplikasikan ke
wilayah yang belum terlayani oleh produk sama. Selain itu
ketersediaan informasi yang cukup tentang kebutuhan akan
produk yang didapatkan sangat diperlukan didalam rangka
pengembangan pasar.

63
B. Desain Kemasan pada Pengembangan UKM
Kemasan ialah faktor penting didalam sebuah usaha
produksi dikarenakan fungsi serta peranan nya didalam bidang
pemasaran, baik produk berupa olahan pangan ataupun barang
kebutuhan sehari- hari (consumer goods). Secara universal guna
kemasan ialah sebagai bahan pelindung ataupun pengaman
barang/produk dari pengaruh-pengaruh luar yang bisa
mempercepat terjadinya kerusakan barang/produk yang
terdapat didalamnya. Kemasan juga berfungsi untuk
mempermudah distribusi ataupun pengontrolan produk. Saat ini
kemasan juga berguna sebagai media informasi serta iklan
produk.
Berdasarkan hasil penelitian, UKM belum memiliki desain
kemasan untuk memasarkan produk olahan ikan asap. Padahal
persyaratan agar produk olahan ikan asap bisa dikenal di luar
Kabupaten Bone adalah memiliki desain kemasan yang unik dan
bisa dikenal. Pembinaan dan pengembangan desain kemasan
bagi UKM oleh Dinas Perindustrian Kabuapaten Bone dan Balai
Diklat Industri (BDI) Makassar telah dilaksanakan setiap tahun.
UKM pengolahan ikan asap di Kabupaten Bone belum
menyadari pentingnya penggunaan kemasan bagi sebuah
produk. Berdasarkan pengamatan dilapangan UKM masih
menggunakan kemasan plastik dan kemasan mika dalam
menjual produk olahannya.

64
C. Strategi Pengembangan Usaha Pengasapan Ikan
Analisis SWOT dikenal juga dengan analisis situasi
(Tripomo & Udan, 2005) dengan faktor eksternal dan intenal
(Rangkuti, 2006) yang dibangun berdasarkan kesepakatan para
pemangku kepentingan (stakeholder, dalam hal ini stakeholder
adalah Ketua UKM, Penyuluh perikanan, Akademisi dan Dinas
Perikanan Kabupaten Bone. Hal ini penting dilakukan agar dapat
terwujud suatu tujuan yang akan dicapai. Analisis perlu dilakukan
para pemangku kebijakan agar pengambilan keputusan dapat
dilakukan dengan tepat. Analisis SWOT dilakukan dengan
memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang pengembangan
UKM yang berorientasi pasar tersebut sehingga pemelihan
responden dilakukan secara menyeluruh di semua stakeholder
yang berpengaruh secara langsung terhadap pengembangan
UKM tersebut.
Identifikasi stakeholder pengolahan ikan mempunyai
beberapa persyaratan yaitu sangat memahami situasi, kondisi
dan mau memberikan informasi. Stakeholder harus memahami
masalah-masalah yang ada baik dalam lingkup yang luas
maupun spesifik, memberikan solusi pemecahan masalah serta
mampu memberikan alternatif pemecahanya. Mereka bisa
mencari strategi terbaik, dengan membahas seluruh sisi positif
dan negatif pada faktor internal dan eksternal.
Identifikasi stakeholder dapat dilakukan dengan 2 cara
yaitu berdasarkan proses dan berdasarkan isu strategis. Pada
penelitian pengembangan pengolahan ikan asap cakalang
penetapan stakeholder utama diperlukan untuk mencapai tujuan

65
yaitu mensejahterakan pelaku pengolahan ikan asap.
Pengambilan keputusan dengan keterlibatan banyak pihak tentu
memberi keuntungan lebih. Apabila dikemudian hari terjadi
kesalahan dalam perumusan kebijakan maka pihak-pihak yang
terlibat merasa ikut bertanggung jawab.
Berdasarkan wawancara dan Focus Group Discussion
(FGD) dengan pelaku UKM, penyuluh perikanan, Dinas Kelautan
dan Perikanan Kabupaten Bone, maka dapat diidentifikasi kondisi
lingkungan internal usaha pengolahan ikan asap berupa
kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses) dan kondisi
eksternal perusahaan yang meliputi peluang (opportunities) dan
ancaman (threats) yang berpengaruh terhadap pengembangan
pengembangan UKM pengolahan ikan asap secara garis besar
dimulai dengan sistem informasi dari pelaku UKM (bottom up
planning), pengumpulan informasi mengenai kondisi sekarang di
lapangan yang di peroleh melalui kuesioner dengan pengolah
ikan, pendapat stakeholder (penyuluh perikanan dan Dinas
Perikanan, pendapat akademisi, serta studi literatur terkait
pengembangan pengolahan ikan asap di Kabupaten Bone,
Sulawesi Selatan. Identifikasi stakeholder digunakan untuk
memilih stakeholder utama dan pendukung. Tahapan input stage
dimulai dari memformulasikan kunci keberhasilan dengan
mengambil masing-masing 5 faktor kekuatan, kelemahan,
peluang dan ancaman. Tahapan matching stage adalah tahapan
perhitungan pada kuadran SWOT dimana posisi pengembangan
itu berada pada 1 dari 4 kuadran yang ada yaitu Kuadran
Strength Opportunity (SO), Strength Threat (ST), Weakness

66
Opportunity (WO) dan Weakness threats (WT). Tahapan d
adalah pengambilan keputusan berdasarkan prioritas terpenting.
Rangkuman secara runtun strategi pengembangan
pengolahan ikan asap di Kab. Bone, Sulawesi Selatan secara
berturut adalah sebagai berikut
Langkah pertama yang dilaksanakan dalam penetapan
strategi ialah mengindentifikasi faktor-faktor internal serta
external yang diperoleh dari data-data responden. Berdasarkan
data-data penelitian yang didapatkan selama penelitian
ditetapkan beberapa faktor-faktor internal serta external dalam
analisa SWOT.
Setelah proses analisis faktor-faktor internal serta eksternal
selanjutnya dilakukan pembobotan serta rating di masing-masing
faktor yang telah diinventarisir tersebut. Pemberian nilai bobot
didasarkan kemungkinan faktor itu memberikan dampak pada
faktor strategis. Pemberian bobot di mulai dari 1 (sangat penting)
sampai 0 (tidak penting). Begitu juga dengan pemberian rating,
didasarkan pada pengaruh faktor itu terhadap keadaan usaha
yang bersangkutan. Pemberian skala rating dari 5 (outstanding)
sampai 1 (poor). Pemberian nilai rating agar faktor peluang
bersifat positif, peluang yang terbesar diberi rating 5, tapi bila
peluangnya kecil diberi rating 1. Pemberian nilai rating ancaman,
jikalau nilai ancamannya sangat besar ratingnya 1, serta jikalau
nilai ancamannya sedikit di beri nilai 5. Perhitungan nilai bobot
dan rating dapat dilihat pada Lampiran 5. Adapun Matrik
pembobotan dan rating usaha pengolahan ikan asap bisa terlihat
di Tabel 4.9.

67
Pencocokan Strategi (Matching Stage)
Berlandaskan hasil analisis faktor internal eksternal serta
hasil penetapan strategi pada kuadran SWOT, maka ditetapkan
bahwa strategi ditempuh pada perluasan usaha pengasapan ikan
di Kab. Bone ialah strategi S-O, yakni kekuatan serta peluang
yang dimiliki. Strategi-strategi didapatkan berdasarkan matrik
SWOT diatas antara lain:
1) Peningkatan/Perluasan UKM Pengolahan Ikan Asap
dengan program pelatihan dan penyuluhan dari dinas
terkait,
2) Menjalin hubungan kerjasama dan dukungan pemerintah
dalam mempromosikan produk olahan ikan asap
3) Penerapan inovasi-inovasi teknologi pengolahan terkini
dengan pembaharuan sarana prasarana dan pelatihan
4) Efesiensi biaya produksi dengan mempertahankan harga
produk
5) Penyelesaian perizinan dan legalitas usaha
Starategi-strategi yang telah didapatkan melalui analisis
SWOT dijadikan sebagai dasar dan dijabarkan menjadi rencana
aksi. Rencana aksi ini dapat dijadikan sebagai rekomendasi dan
tindak lanjut pemangku kepentingan dalam rangka
pengembangan usaha pengasapan ikan yang dilaksanakan di
Kabupaten Bone.

Pengambilan Keputusan (The Decision Stage)


Metode QSPM digunakan untuk menentukan priorotas
strategis dan untuk mengetahui kemenarikan relatif (relatif

68
attractive) yang belum tergambar dalam metode SWOT.
Pedekatan pada teknik QSPM terletak pada Nilai Total
Kemenarikan (Total Attractive Score) dan nilai paling tinggi
adalah prioritas pertama. QSPM dapat menarik kesimpulan
strategi terpilih mana yang akan dijadikan urutan teratas.
Perhitungan QSPM termuat pada lampiran 6.
Hasil analisa matriks QSPM mempertunjukkan
bahwasannya alternatif strategi yang paling menarik yakni
strategi menjalin hubungan kerjasama dan dukungan
pemerintah dalam mempromosikan produk olahan ikan asap
dengan nilai skor total terbesar yakni 5,2789 distrategi SO, UKM
pengolah ikan asap di Kabupaten Bone disarankan agar memakai
kekuatan-kekuatan yang dipunyai saat ini agar memanfaatkan
peluang-peluang yang ada. Adapun alternatif strategi yang
disarankan distrategi SO, yakni.
1. Menjalin hubungan kerjasama dan dukungan pemerintah
dalam mempromosikan produk olahan ikan asap.
Strategi ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan
kerjasama dengan agen atau distributor dengan cara perluas
jaringan distribusi. Hal ini dilaksanakan dikarenakan sebenarnya
potensi perkembangan usaha ikan asap di Sulawesi Selatan
masih sangat besar mengingat beberapa Kabupaten di Sulawesi
Selatan masih memiliki potensi penjualan ikan asap seperti
Kabupaten Toraja, Enrekang, Sidrap dan Soppeng yang berada
pada daerah pegunungan. Dukungan pemerintah dalam
mempromosikan produk ikan asap melalui pameran produk
olahan perikanan dimana pelaku usaha pengolaha ikan asap

69
ketika memajukan ataupun memperluas usaha pengolah ikan
supaya sanggup berdayasaing tinggi serta mempunyai nilai
tambah dipasar lokal dan nasional.
Program yang bisa dijalankan adalah
a. Kerjasama dengan intansi terkait (pemerintah dan swasta)
dalam mempromosikan produk olahan ikan asap, dan
b. Mengikuti pameran produk olahan yang diadakan oleh
pemerintah daerah dan swasta
2. Peningkatan/Pengembangan UKM Pengolahan Ikan Asap
dengan program pelatihan dan penyuluhan dari dinas
terkait.
Strategi ini dimaksudkan untuk penguatan dan
pengembangan kelompok usaha secara terpadu bisa
dilaksanakan dengan support pemerintah, agar memajukan nilai
tambah suatu usaha serta sanggup berdayasaing. Langkah yang
bisa dilaksanakan ialah dengan cara perluasan SDM,
perkembangan teknologi, perkembangan jaringan kerjasama
bisnis, serta meningkatnya dayasaing. Perhatian pemerintah
dipenguatan serta perkembangan kelompok pengolahan ikan
secara sistematis bisa dilaksanakan dengan langkah tersebut
yang terpaut dengan peningkatan mutu produk ikan asap sesuai
dengan Standar Nasional Indonesia. Pelatihan dilaksanakan oleh
DKP bekerjasama Dinas Koperasi dan UKM, Kementerian
Perindustrian, dan Politeknik Kelautan dan Perikanan Bone.
Sedangkan penyuluhan dan pendampingan dilaksanakan oleh
penyuluh perikanan. Program yang wajib dilaksanakan, yakni:

70
a. Pelatihan manajerial dan kewirausahaan
b. Pelatihan teknis produksi dan sanitasi higiene
c. Penyuluhan dan pendampingan berkala
3. Penerapan inovasi-inovasi teknologi pengolahan terkini
dengan pembaharuan sarana prasarana
Strategi ini dimaksudkan agar pengolah ikan asap
menggunakan teknologi modern, efesian dan kualitas produk
ikan asap tetap terjaga. Inovasi-inovasi terkini seperti
penggunaan lemari asap dan penggunaan asap cair dianggap
lebih efesien dan produk lebih menarik. Program-program yang
harus dilakukan agar strategi ini dapat dilaksanakan:
a. Kerja sama dengan perguruan tinggi dan penyuluh
perikanan.
b. Peningkatan jumlah sarana dan prasarana pengolah ikan
4. Efesiensi biaya produksi dengan mempertahankan harga
produk
Strategi ini dimaksudkan untuk menekan biaya produksi,
ketika terjadi fluktuasi harga bahan baku, upah tenaga kerja
serta biaya produksi lainnya sehingga faktor-faktor produksi
lainnya dapat dikurangi. Penambahan kapasitas produksi untuk
meningkatkan omzet penjualan, dan penambahan sarana
prasaran baru melalui bantuan dan dari dinas dan kementerian
KP sebagai langka peningkatan asset usaha. Program-program
yang harus dilakukan agar strategi ini dapat dilaksanakan:
a. Upah tenaga kerja dan biaya produksi lainnya dikurangi;
b. Produksi ditingkatkan ketika bahan baku melimpah;
c. Mencari alternatif sumber bahan baku

71
5. Penyelesaian perizinan dan legalitas usaha.
Strategi tersebut tujuannya ialah agar meminimalkan
dampak ancaman dari external usaha UKM ikan asap. Ancaman
itu yakni persyaratan agar peroleh SKP/SNI masih diduga terlalu
sulit agar para pelaku UKM, serta tantangan total SNI serta UKM
yang banyak, hingga salahsatu cara meminimalkan yakni
mengaplikasikan strategi itu. Program- program harus dilakukan
meliputi:
a. Penyelesaian izin usaha mikro dan kecil (IUMK/PIRT)
b. Penerapam sanitasi dan hygiene
c. Penyelesaian sertifikat halal

72
DAFTAR PUSTAKA

Adawyah, R. (2007). Pengolahan dan Pengawetan Ikan.


Jakarta: Bumi Aksara.
Anwar, F. (2004). Keamanan Pangan. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Artatanaya. (2013). Pengaruh Pendidikan, Pengalaman
Kerja, dan Komunikasi Terhadap Kinerja Sekretaris
General Manager pada Hotel Berbintang Lima di Bali.
Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan, vol 9. No. 2. 1-12.
Asmie, P. (2008). Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Tingkat Pendapatan Pedagang Pasar
Tradisional di Kota Yogyakarta. Jurnal Ilmiah Ilmu
Ekonomi Universitas Yogyakarta. Jurnal NeO-
Bis, Vol 2, No. 2. 197-210.
BPS Kabupaten Bone. (2020). Data Statistik Jumlah Usaha
Perikanan Kabupaten Bone. Bone Sulawesi Selatan.
Boyd, D.M. dan Ellison, N.B. (2008). Social network sites:
definition, history and scholarship. Jurnal of
Computer-mediated commonication. Vol 13, 210-230

73
Data Statistik Perekembangan UMKM di Indonesia. (2019).
Kementerian Koperasi Usaha kecil dan Menenghah
Republik Indonesia, diunduh 10 Februari 2019, dari
situs World Wide Web:
http://www.depkop.go.id/data-umkm,2019
David dan Fred R. (2006). Manajemen Strategis. . Edisi
Sepuluhi. Jakarta : Salemba Empat
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bone. (2019).
Data Jumlah Usaha Perikanan Kabupaten Bone. Bone,
Sulawesi Selatan.
Direkotorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk
Kelautan dan Perikanan. (2019) Bahan Presentasi
Kementerian Kelautan dan Perikanan 2019. KKP
Effendi, S. dan Tukiran. (2012). Metode Penelitian Survei.
190-192. Jakarta: LP3ES
Fahmi dan Irham. (2013). Manajemen Strategis Teori
dan Aplikasi. Jakarta: Alfabeta
Hanoeboen, B.R.A. and Pudjihardjo, S. (2012). Strategi
Pengembangan Usaha Perempuan Pelaku UMKM di
Kota Ambon. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam
IQTISHODUNA. Vol 8, No.1, 1-18.
Hasibuan, M. (2008). Manajemen Sumber Daya Manusia.
Jakarta: PT. Bumi Aksara.

74
Hermawan, H. (2018). Dampak Pengembangan Desa
Wisatanglanggeran Terhadap Sosial Budaya
Masyarakat Lokal. Seminar Nasional Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi Komputer. Vol. 4, No. 1,
67-70.
Hikmah, Yulisti. M., dan Nasution, Z. (2011). Analisis Indeks
dan Status Keberlanjutan Peran serta Wanita dalam
Pengembangan Usaha Pengolahan Hasil Perikanan.
Jurnal Sosek KP, Vol 6, No. 1, 103 -114.
Hikmat dan Harry. (2010). Strategi Pengembangan
Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press.
Huda N. (2010). Kompetensi Penyuluh dalam Mengakses
Informasi Pertanian (Kasus Alumni UT di Wilayah
Serang). Jurnal Matematika, Sains, & Teknologi. Vol
11(1): 65-77.
Hunger, J.D dan T.L. Wheelen. (2001). Manajemen
Strategis (Terjemahan) Andi. Yokyakarta.
Ishak, E. (2005). Artikel : Peranan Informasi Bagi Kemajuan
UKM. Yogyakarta : Kedaulatan Rakyat.
Jauhari, J. (2014). Upaya Pengembangan Usaha Kecil dan
Menengah (UKM) dengan Memanfaatkan E-
Commerce. Jurnal Sistem Informasi, Vol 2, No. 1. 159-
168.

75
Juliandini, A., Syahza, A., & Indrawati, H. (2017). Strategi
Pengembangan Usaha Kue Kering pada UMKM Berkah
Kota Pekanbaru. Jurnal Online Mahasiswa (JOM)
Bidang Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Vol 4. No. 2,
1-12.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2013). Kelautan dan
Perikanan dalam Angka 2012. Jakarta. KKP.
Kingsnorth, S. (2016). Digital Marketing Strategy: An
Integrated Approach to Online Marketing.
Philadelphia: Kogan Page.
Koeshendrajana,S,. dkk. (2011). Kajian Kinerja Mikro
Pembangunan Perikanan Budidaya Tambak Udang
Skala Kecil. Prosending Forum Inovasi Teknologi
Akuakultur. ejournal-balitbang.kkp.go.id . 1257-1268.
Kotler, P. & Keller, K. L.. (2009). Manajemen Pemasaran.
Jakarta: Indeks
Martasuganda, S., Sudrajat, A.O., Saad, S., Purnomo, J.,
Basuki, R., Asyik, M.N., Rustam, S, dan Christano, D.
(2003). Teknologi Untuk Pemberdayaan Masyarakat
Pesisir. Dirjen Pemberdayaan Masyarakat Pesisir.
Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Muharastri, Y. (2013). Karakteristik Wirausaha, Kompetensi
Kewirausahaan dan Kinerja Usaha Peternakan Sapi

76
Perah di KTTSP Kania Bogor . Bogor (ID) : Institut
Pertanian Bogor
Mubarak, N. dan Maldina, E. Y. (2017). Strategi
Pemasaran Islami dalam Meningkatkan Penjualan
pada Butik Calista. Jurnal I-Economic. Vol 3, No. 1,
73-92.
Mustarin, A., Arief, A.A. and Indar, Y.N. (2013).
Pengembangan Ekonomi Rumah Tangga Masyarakat
Pesisir Berbasis Agribisnis di Desa Tongke-Tongke
Kabupaten Sinjai. Pascasarjana Univesitas
Hasanuddin.
Nurlaili, N., Witomo, C.M. and Zamroni, A. (2014). Potensi
dan Permasalahan Sosial Ekonomi Masyarakat
Perikanan Kabupaten Lombok Timur dalam
Mendukung Industrialisasi. Buletin Ilmiah Marina
Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.9(2), 41-48.
Ramanti RP. (2006). Perilaku Wirausaha Wanita Peternak
dalam Mencari dan Menerapkan Informasi Usaha
Ternak Ayam Buras (Kasus Kelompok Tani-Ternak
“Tanjung”, Desa Taman Sari, Kecamatan Taman Sari,
Kabupaten Bogor) [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor
Rangkuti, F. (2006). Analisis SWOT Teknik Membedah
Kasus Bisnis: Reorientasi Konsep Perencanaan

77
Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Jakarta (ID): PT
Gramedia Pustaka Utama
Rhina.U, dan Heru. I. (2015). Pengemasan Produk Dalam
Meningkatkan Produk Berbahan Baku Kacang Yang
Marketable. Laporan Prosiding Seminar Nasional 4th
SME’s Summit Dan Awards 2015
Riyadi, P.H. (2006). Analisis Kebijakan Keamanan Pangan
Produk Hasil Perikanan di Pantura Jateng dan DIY.
Tesis MSDP-UNDIP.
Saiman, L. (2014). Kewirausahaan Teori. Praktis dan Kasus-
Kasus. Jakarta (ID) : Salemba Empat
Setyawan, K., & Sutisna, U. (2018). Penerapan Teknologi
Pengasapan Otomatis Sebagai Strategi
Pengembangan Usaha Rumahan Ikan Asap Di Desa
Desa Tambakreja Kecamatan Cilacap Selatan Provinsi
Jawa Tengah. Pada Prosending Seminar Nasional
Unismus ITEKS, Vol 1, 10(2). 648-656
Solechan, S., & Rubijanto, J. P. (2017). Penggunaan Lemari
Pengasap Ikan Untuk Meningkatkan Produksi Di
Usaha Kecil Menengah (Ukm) Ikan Asap Desa
Dermolo Kecamatan Kembang Kabupaten Jepara.
Pada Prosiding Seminar Nasional & Internasional
Publikasi Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian

78
Masyarakat. 30 September 2017. Semarang:
Universitas Muhammadiyah Semarang
Sudaryanto, Ragimun, dan Rahma, R. (2011). Strategi
pengembangan UMKM menghadapi pasar bebas
ASEAN. Jember: Universitas Negeri Jember.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif dan
Kualitatif. Jakarta: R & D Alfabeta
Sulistyo. (2010). Pengembangan Usaha Kecil Menengah
dengan Basis Ekonomi Kerakyatan di Kabupaten
Pemalang. Jurnal Ekonomi Modernisasi. Universitas
Kanjuruhan Malang. Vol. 6, No.1, 58-73
Sulfiani, A Sukainah, A. Mustarin. (2017). Pengaruh Lama
dan Suhu Pengasapan dengan Menggunakan Metode
Pengasapan Panas Terhadap Mutu Ikan Lele Asap.
Jurnal Perdidikan Teknologi Pertanian. Universitas
Negeri Makassar.
Sulistijowati, R., (2018). Mekanisme Pengasapan
Ikan. SNI, 9(240)
Sunyoto D. (2013). Kewirausahaan Untuk Kesehatan.
Yogyakarta (ID) : Nuha Medika.
Supriharyono. (2002). Pelestarian dan Pengelolaan
Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

79
Tajerin, Kurniawan T, Wicaksana RMN, 2015. Impact on
Increasing Investment for The Development of
Processing Industry Fishery Products in Indonesia to
The National Economy. Buletin Ilmia Marina Sosek
Kelautan dan Perikanan. Vol 1(2).89-107.
Taufik, A. I. (2017). Evaluasi Regulasi Dalam Menciptakan
Kemudahan Berusaha Bagi UMKM. Jurnal Rechts
Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol 6(3),
369-386.
Taufik, M dan Sutopo. (2012). Strategi Pemasaran Produk
Perikanan. No.36/Th.XIX/ Oktober 2012. Jurnal
Dharma Ekonomi.1- 12.
Trilaksani. W. (2010). Analisis Regulasi Sistem Manajemen
Keamanan Pangan Tuna di Indonesia dan Negara
Tujuan Ekspor. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan
Indonesia, Hal: 63-81.
Tripomo, T dan Udan. (2005). Manajemen Strategi.
Bandung: Rekayasa Sains
Triton PB. (2007). Manajemen Strategis: Terapan
Perusahaan dan Bisnis. Yogyakarta: Tugu Publisher.
Wibowo, H., Bahri. E.S. dan Harto. P. P. (2019).
Pemberdayaan Ekonomi Nelayan. Jakarta. PT. Indeks
Yuliana, E., Suhardi, D.A. dan Susilo, A. (2010). Tingkat
Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya pada

80
Pengolahan Ikan Asin: kasus di Muara Angke dan
Cilincing, Jakarta. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan
Indonesia. 14-21.

81
82

Anda mungkin juga menyukai