Krisis Demokrasi
Hari ini, kondisi demokrasi Indonesia tidak baik-baik saja. Setelah mengalami
masa stagnasi yang panjang selama masa kepemimpinan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY), kini demokrasi ini mengalami proses kemunduran sejak satu
dekade terakhir (Thomas Power dan Eve Warburton, ISEAS, 2020). Ada juga yang
menyebutnya di “ujung kematian” (Sukidi, Kompas, 2024) dan berpotensi
melakukan bunuh diri (Vedi R Hadiz, Kompas, 2024).
Kesimpulan itu benar adanya. Pikiran yang kritis kerap dibungkam dengan UU ITE.
Pasal penghinaan kepala negara dan negara mencampuri urusan privat masih
dirawat dengan baik dalam KUHP yang baru.
Hari-hari ini, menghitung hari menjelang pemilu 2024, alarm tanda bahaya
demokrasi makin nyaring menjerit: Presiden Jokowi all-out untuk memenangkan
pasangan Cawapres-Cawapres tertentu.
Sejak 2023 lalu, atas nama kesinambungan pembangunan, Presiden Jokowi ikut
cawe-cawe dalam gesek-gesekan politik menuju 2024. Ia tak hanya mengundang
parpol-parpol ke Istana untuk bicara pemilu, tetapi juga memasang-masangkan
Capres-Cawapres yang dianggap cocok sebagai penerusnya. Belakangan, ia
makin terang-benderang memihak Capres tertentu.
Tentu saja, tidak ada yang salah jika Presiden punya preferensi politik terhadap
capres-cawapres tertentu. Namun, hal itu tak perlu diumbar ke publik. Sebab,
perlu diingat, pada Presiden melekat jabatan yang memegang otoritas atas
segala sumber daya dan aparatur/institusi di negeri ini.
Namun, imbas dari cawe-cawe politik yang kebablasan itu mulai menabur badai
yang membahayakan nasib demokrasi: mobilisasi dukungan perangkat desa,
Menteri aktif itu berkampanye, dan politisasi bansos untuk target elektoral
Capres-Cawapres tertentu.
Hari-hari ini, seiring dengan keresahan banyak pihak, termasuk para akademisi
berintegritas dari berbagai kampus, kita semakin was-was dengan netralitas PNS
dan TNI/Polri, ketika pemimpin tertingginya, yaitu Presiden, justru terang-
terangan memihak.
Kita boleh tidak dalil minimum demokrasi Przeworski, bahwa pemilu adalah
pelembagaan ketidakpastian. Namun, esensi dari kesimpulannya itu benar
adanya: pemilu bebas dan kompetitif adalah harga mutlak.
Ketika pemilu tidak bebas dan kompetitif, karena adanya kecurangan dan
pelibatan institusi negara untuk pemenangan capres tertentu, maka hasilnya pun
tidak kredibel dan tak layak dihormati. Ini memberi ruang bagi kontestan dan
pendukungnya untuk menolak hasil Pemilu.
Ada yang berteriak-teriak, agar pemilu satu putaran saja demi menghemat biaya.
Namun, mereka lupa, pemilu yang dicederai oleh kecurangan, mobilisasi aparatur
negara untuk capres tertentu, bahkan politisasi bansos demi memenangkan
capres tertentu, justru akan berbiaya lebih mahal.
Dari data Przeworski, dalam rentang waktu dari 1788 hingga 2008, ada 544
kekuasaan yang beralih secara damai lewat pemilu dan ada 577 kekuasaan yang
berpindah lewat kudeta atau pemberontakan.
Selain itu, pemilu curang juga akan melahirkan rezim korup dan nepotisme.
Korupsi akan menjadi normal untuk menutupi ongkos politik, sementara
nepotisme menjadi mekanisme untuk berbalas budi untuk semua tangan yang
punya andil dalam kecurangan itu.
Dalam artikel pendeknya yang tajam, Demokrasi Kita (1960), Bung Hatta
berpesan, demokrasi dapat berjalan baik, apabila ada rasa tanggung jawab dan
toleransi pada pemimpin-pemimpin politik.
Kalau demokrasi kita ibaratkan bejana, maka bejana itu kini dalam genggaman
para elit dan pemimpin politik. Nasib bejana itu ada tangan mereka. Di dalam
bejana itu bersemayam harapan ratusan juta rakyat Indonesia. Jika bejana itu itu
dihancurkan, maka menguaplah harapan-harapan itu.
Namun, jangan takut, masyarakat sipil bisa merebut bejana demokrasi dan
menjaganya. Caranya: rakyat turun mengawal dan menjaga proses pemilu.
Bio Singkat:
Alamat medsos:
Alamat rumah: