Anda di halaman 1dari 4

Pemilu Sebagai Pelembagaan Ketidakpastian

Apa itu demokrasi? Ilmuwan politik keturunan Polandia, Adam Przeworski,


menjawab: demokrasi adalah pelembagaan ketidakpastian atau institutionalized
uncertainty (Przeworski, 1991).

Przeworski adalah penganut konsep demokrasi minimalis. Ia menekankan aspek


terpenting demokrasi pada pemilu yang bebas dan kompetitif. Bagi Przeworski,
jika pemilu berjalan bebas dan kompetitif, maka hasilnya seharusnya tidak bisa
terprediksi.

Dengan ketidakpastian itu, setiap kandidat merasa punya kesempatan dan


peluang untuk bertarung secara adil dalam Pemilu. Dan sebagai konsekuensinya,
siapa pun yang tampil sebagai pemenang, pihak kalah yang bisa menerima hasil
Pemilu. Tentu saja, ini ada syaratnya: Pemerintahan berkuasa tidak cawe-cawe
dan menggunakan instrumen kekuasaan untuk memenangkan kandidat tertentu.

Krisis Demokrasi

Hari ini, kondisi demokrasi Indonesia tidak baik-baik saja. Setelah mengalami
masa stagnasi yang panjang selama masa kepemimpinan SBY, kini demokrasi ini
mengalami proses kemunduran sejak satu dekade terakhir (Thomas Power dan
Eve Warburton, ISEAS, 2020). Ada juga yang menyebutnya di “ujung kematian”
(Sukidi, Kompas, 2024) dan berpotensi melakukan bunuh diri (Vedi R Hadiz,
Kompas, 2024).

Kesimpulan itu benar adanya. Pikiran yang kritis kerap dibungkam dengan UU ITE.
Pasal penghinaan kepala negara dan negara mencampuri urusan privat masih
dirawat dengan baik dalam KUHP yang baru.

Namun, ada yang tak kalah mengkhawatirkan: penggelembungan kekuasaan


eksekutif yang melemahkan fungsi check and balance, melumpuhkan lembaga
penegak hukum yang harusnya independen (KPK), dan mengintervensi proses
hukum di Mahkamah Konstitusi.

Hari-hari ini, menghitung hari menjelang pemilu 2024, alarm tanda bahaya
demokrasi makin nyaring menjerit. Presiden Joko Widodo menyatakan Presiden
boleh berpihak dan berkampanye untuk Capres-Cawapres tertentu dalam Pemilu
(Kompas.com, 24/1/2024).

Sejak 2023 lalu, atas nama kesinambungan pembangunan, Presiden Jokowi ikut
cawe-cawe dalam gesek-gesekan politik menuju 2024. Ia tak hanya mengundang
parpol-parpol ke Istana untuk bicara pemilu, tetapi juga memasang-masangkan
Capres-Cawapres yang dianggap cocok sebagai penerusnya. Belakangan, ia
makin terang-benderang memihak Capres tertentu.

Tentu saja, tidak ada yang salah jika Presiden punya preferensi politik terhadap
capres-cawapres tertentu. Namun, hal itu tak perlu diumbar ke publik. Sebab,
perlu diingat, pada Presiden melekat jabatan yang memegang otoritas atas
segala sumber daya dan aparatur/institusi di negeri ini.

Namun, imbas dari cawe-cawe politik yang kebablasan itu mulai menabur badai
yang membahayakan nasib demokrasi: mobilisasi dukungan perangkat desa,
Menteri aktif itu berkampanye, dan politisasi bansos untuk target elektoral
Capres-Cawapres tertentu.

Hari-hari ini, seiring dengan keresahan banyak pihak, termasuk para akademisi
berintegritas dari berbagai kampus, kita semakin was-was dengan netralitas PNS
dan TNI/Polri, ketika pemimpin tertingginya, yaitu Presiden, justru terang-
terangan memihak.

Harga Yang Mahal


Kita boleh tidak dalil minimum demokrasi Przeworski, bahwa pemilu adalah
pelembagaan ketidakpastian. Namun, esensi dari kesimpulannya itu benar
adanya: pemilu bebas dan kompetitif adalah harga mutlak.

Ketika pemilu tidak bebas dan kompetitif, karena adanya kecurangan dan
pelibatan institusi negara untuk pemenangan capres tertentu, maka hasilnya pun
tidak kredibel dan tak layak dihormati. Ini memberi ruang bagi kontestan dan
pendukungnya untuk menolak hasil Pemilu.

Selain itu, seperti diperingatkan Przeworski (2019), ketidakpercayaan terhadap


demokrasi, dalam hal ini Pemilu yang bebas dan kompetitif, akan
menghamparkan jalan bagi model peralihan kekuasaan yang penuh konflik,
kekerasan, dan kudeta.

Dengan lapang dada harus diakui, pemilu masih satu-satunya mekanisme


demokrasi yang memungkinkan peralihan kekuasaan dengan jalan damai.

Ada yang berteriak-teriak, agar pemilu satu putaran saja demi menghemat biaya.
Namun, mereka lupa, pemilu yang dicederai oleh kecurangan, mobilisasi aparatur
negara untuk capres tertentu, bahkan politisasi bansos demi memenangkan
capres tertentu, justru akan berbiaya lebih mahal.

Pemilu curang akan menggerus kepercayaan publik terhadap demokrasi. Orang


tak lagi percaya pemilu sebagai mekanisme damai dan demokratis untuk
mengalihkan kekuasaan. Dan jika orang tak percaya lagi pada demokrasi dan
pemilu sebagai sarana peralihan kekuasaan secara damai, maka mereka akan
melirik jalan lain: kudeta, pembunuhan politik, hingga pemberontakan rakyat
(people power).

Dari data Przeworski, dalam rentang waktu dari 1788 hingga 2008, ada 544
kekuasaan yang beralih secara damai lewat pemilu dan ada 577 kekuasaan yang
berpindah lewat kudeta atau pemberontakan.
Selain itu, pemilu curang juga akan melahirkan rezim korup dan nepotisme.
Korupsi akan menjadi normal untuk menutupi ongkos politik, sementara
nepotisme menjadi mekanisme untuk berbalas budi untuk semua tangan yang
punya andil dalam kecurangan itu.

Dalam artikel pendeknya yang tajam, Demokrasi Kita (1960), Bung Hatta
berpesan, demokrasi dapat berjalan baik, apabila ada rasa tanggung jawab dan
toleransi pada pemimpin-pemimpin politik.

Kalau demokrasi kita ibaratkan bejana, maka bejana itu kini dalam genggaman
para elit dan pemimpin politik. Nasib bejana itu ada tangan mereka. Di dalam
bejana itu bersemayam harapan ratusan juta rakyat Indonesia. Jika bejana itu itu
dihancurkan, maka menguaplah harapan-harapan itu.

Namun, jangan takut, masyarakat sipil bisa merebut bejana demokrasi dan
menjaganya. Caranya: rakyat turun mengawal dan menjaga proses pemilu.

Pada 1983, gerakan pro-demokrasi bergerak untuk mengawal pemilu di tangan


diktator Ferdinand Marcos dengan mendirikan The National Citizens’ Movement
for Free Elections (NAMFREL). Di Indonesia, pada 1995, para aktivis, jurnalis, dan
akademisi mendirikan Komite Independen Pemantau Pemilihan (KIPP).

Mari jaga pemilu, demi menjaga demokrasi.

Anda mungkin juga menyukai