Anda di halaman 1dari 5

Menjaga Republik

Penciptaan keadaan darurat palsu dan manipulasi undang-undang demi politik dinasti tanda
kemunduran reformasi politik.

Oleh Yasraf A Piliang Pemikir Sosial dan Kebudayaan ITB

Kompas 4 November 2023 05:01 WIB

KOMPAS/HERYUNANTO

Ilustrasi

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024 akan berlangsung beberapa bulan lagi, tetapi panggung
politik anak bangsa hari ini telah dihantam guncangan kegaduhan politik menyesakkan.

Episentrum kegaduhan adalah pengajuan Gibran Rakabuming Raka—putra Presiden Joko Widodo
(Jokowi) yang masih berusia 36 tahun—sebagai calon wakil presiden (cawapres) yang diusung Partai
Golkar.

Ruang politik menjadi gaduh ketika Gibran sebagai kader PDI Perjuangan (PDI-P) tiba-tiba diusung
sebagai cawapres oleh partai lawan, Partai Golkar. Politik kutu loncat.

Kegaduhan kian meruyak ketika pencalonan Gibran yang terkesan dipaksakan dikaitkan dengan
putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan
Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres, yang
juga terkesan dipaksakan dan kontroversial.

Keputusan MK ini memungkinkan Gibran yang belum berusia 40 tahun dapat mencalonkan diri
sebagai wapres karena sudah berpengalaman sebagai Wali Kota Solo.

Berbagai tokoh publik dan elemen masyarakat lain menduga ada dimensi ”kolusi” di balik penetapan
Gibran, dilandasi kepentingan sesaat ”dinasti politik” Jokowi, dengan memanipulasi aturan hukum.
Mereka mengungkapkan rasa keprihatinan dan penolakan atas pencalonan cacat moral ini sebagai
artikulasi ”suara publik” yang menjadi jiwa res publica.
Akan tetapi, Jokowi mengabaikan suara publik, menciptakan ”jurang” antara suara publik dan hasrat
individu, yang membawa pada kondisi darurat—state of emergency.

Mereka mengungkapkan rasa keprihatinan dan penolakan atas pencalonan cacat moral ini sebagai
artikulasi ”suara publik” yang menjadi jiwa res publica.

Darurat palsu

Darurat adalah situasi berbahaya dan serius yang terjadi tiba-tiba atau tak diperkirakan dan
memerlukan tindakan segera. ”Darurat republik” adalah situasi berbahaya dan serius ketika
prinsip res publica sebagai basis ideologi bernegara terancam, dan perlu tindakan segera.

Ketika nilai-nilai kebaikan atau keutamaan publik—kejujuran, kepercayaan, rasa tanggung jawab,
keikhlasan, dan rela berkorban demi bangsa—digantikan dengan keculasan, kemunafikan,
kecurangan, egosentris, dan khianat, maka tak ada lagi makna res publica.

Keadaan darurat biasanya dinyatakan oleh negara ketika ada potensi kekacauan sipil sehingga cara-
cara kekerasan dan pemaksaan dapat dilakukan secara ”sah”, misalnya oleh kekuatan militer,
meskipun cara itu melampaui aturan hukum yang ada. Misalnya, pada fenomena terorisme atau
pandemi Covid-19 (Armitage, 2020).

Keadaan darurat adalah ketika aneka tindakan ”luar biasa” terpaksa dilakukan otoritas tertentu untuk
menghindari keadaan lebih buruk meskipun ironisnya dengan cara ”melanggar” aturan hukum
(Agamben, 2003).

Hanya saja, di era hipermodernitas kini, apa pun bisa diberi label ”darurat”, dengan menarasikan
adanya ancaman terhadap negara. Narasi ini menggiring pada kondisi psikis meningkatnya perasaan
mendesak dan paranoia sehingga menuntut pengendalian segera, baik ancaman perang, pandemi,
bencana, gerakan sosial, radikalisme, maupun teror.

Melalui cara-cara populis, negara kemudian menentukan ”musuh bersama”, bagi pembenaran atas
kekerasan dan pemaksaan oleh negara (Bhisai, 2020).

Ilustrasi
Akan tetapi, keadaan darurat bisa berupa keadaan ”darurat palsu”, yakni negara menyatakan
keadaan darurat karena ada ancaman terhadap negara, padahal semuanya tak pernah terbukti.

Misalnya, seakan-akan ada ancaman ”senjata pemusnah massal” yang dikembangkan Irak terhadap
kedaulatan dan supremasi Amerika Serikat (AS), sebagai alasan Presiden AS George Bush menyerang
Irak dan menjatuhkan Saddam Hussein. Padahal, keberadaan senjata itu tak pernah terbukti.

Keadaan darurat palsu banyak digelar pemerintah, yang memungkinkan negara melakukan tindak
eksesif secara ”sah” meskipun melampaui hukum. Misalnya, seakan-akan ada keadaan darurat—
dengan alasan tak cukup anggaran atau efek pandemi Covid-19—sehingga mendorong perubahan
undang-undang, yang memungkinkan jabatan presiden tiga periode. Digagalkan tekanan publik,
rezim lalu membangun lagi wacana penundaan pilpres, yang juga gagal.

Pembiaran rezim atas pencalonan cacat moral Gibran adalah langkah terakhir rezim melanjutkan
kekuasaan.

Penciptaan keadaan darurat palsu dan manipulasi undang-undang demi politik dinasti adalah tanda
kemunduran reformasi politik karena semuanya digunakan untuk melindungi kepentingan individu,
kelompok, dinasti keluarga, atau rezim, bukan kepentingan rakyat.

Gerakan sosial sebagai corong suara publik kini dipersempit ruang geraknya melalui revisi undang-
undang. Alih-alih mendengarkan suara publik sebagai acuan kebijakan publik, negara justru memata-
matai gerak-gerik warga negara yang mengancam rezim (Dibley dan Ford, 2019).

Gerakan sosial sebagai corong suara publik kini dipersempit ruang geraknya melalui revisi undang-
undang.

Arus pendek politik

Prinsip republik adalah prinsip nondominasi, ketika semua keputusan politik harus dikontestasikan
melalui deliberasi publik. Dan, pemerintah harus melacak suara publik sebagai acuan bagi kebijakan,
keputusan, atau tindakan.

Untuk itu, wakil rakyat harus berintegritas, memiliki kapabilitas, amanah, dan akuntabel, agar tak
mudah dikendalikan eksekutif. Di pihak lain, eksekutif harus fokus melaksanakan tugas publik
memajukan bangsa. Sementara, yudikatif bertugas menjamin terciptanya keadilan bagi semua warga
negara (Honohan, 2002).

Akan tetapi, kondisi darurat palsu dan hubungan kolusif-nepotis antarlembaga yang secara sistematis
diciptakan oleh rezim penyelenggara negara telah merusak keseimbangan dan akuntabilitas ketiga
lembaga negara, yang membawa pada darurat republik.

Prinsip res publica sebagai basis ideologi dalam menjalankan roda pemerintahan kini terancam oleh
aneka hasrat seketika individu, dinasti keluarga, kelompok atau rezim, yang menandai senja kala
Republik.

Darurat republik adalah ketika kepentingan individu, kelompok, atau dinasti keluarga mengalahkan
kepentingan publik. Kebaikan bersama (common good) sebagai nilai dasar res publica kini digantikan
hasrat kekuasaan individu, kelompok, dinasti keluarga, atau rezim, dengan mengorbankan tujuan
membangun anak bangsa.

Keutamaan publik berupa jiwa kebangsaan, kejuangan, kebersamaan, dan persatuan diganti jiwa aji
mumpung, egosentris, kolusif, nepotis, dan manipulatif. Darurat republik adalah ketika rezim
kekuasaan membangun semacam hubungan ”arus pendek” (short-circuit), yaitu hubungan ”jalan
pintas” di antara ketiga lembaga negara tanpa melalui forum diskusi publik atau deliberasi (Stiegler,
2013).

Hubungan arus pendek ini demi melindungi kepentingan sektoral individu, dinasti keluarga,
kelompok, atau rezim, dengan menegasi prinsip kontestasi rasional-deliberatif sebagai jiwa res
publica. Arus pendek dapat memuaskan dahaga berkuasa seketika, tetapi dapat membawa
”korsleting” tatanan bangsa di masa depan.

Ilustrasi

Darurat republik adalah ketika prinsip check and balance—sebagai dasar dalam menjaga keterujian
dan keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif agar tak eksesif—kini tak berfungsi
lagi.

Yang dirayakan rezim adalah prinsip uncheck and unbalance, berupa kolusi sistematis dan struktural
di antara tiga lembaga negara, dengan eksekutif sebagai konduktornya (Schwarz dan Huq, 2007). Kini,
lembaga legislatif cenderung menjadi ”tukang stempel” dan lembaga yudikatif ”tukang ketok palu”
demi kepentingan eksekutif.

Darurat republik adalah ketika partisipasi publik dalam politik—yang diartikulasikan tak hanya
melalui suara elektoral, tetapi juga wacana deliberasi publik berlandaskan akal sehat—kini
dibungkam oleh arus besar nepotisme dan kartel politik, berlandaskan dorongan hasrat berkuasa dan
akal tak sehat (Mietzner, 2020).

Matinya akal sehat mengubah hasrat dicintai, dihormati, dan dibanggakan anak bangsa melalui
amanah kekuasaan, menjadi hasrat memiliki kekuasaan demi ego kekuasaan (Lacan, 1986).

Republik memerlukan partisipasi publik dalam deliberasi, yaitu diskusi dan refleksi publik dalam
memutuskan suatu kebijakan. Prinsip permusyawaratan sebagai nilai inti Pancasila adalah forum
untuk diskusi dan refleksi itu.

Pemilihan langsung justru membuka ruang bagi tirani mayoritas yang memiliki suara terbanyak,
menjadi pemimpin.
Namun, sistem pemilihan langsung menghancurkan prinsip permusyawaratan itu. Memang
DPR/MPR di era Orde Baru tak lebih dari ”tukang stempel” dari kebijakan Soeharto. Namun, yang
salah bukan DPR/MPR sebagai lembaga, melainkan manusia politiknya, yang rela dikendalikan
Soeharto.

Selain itu, pemilihan langsung sesungguhnya ”ancaman” terhadap prinsip res publica karena ia lebih
merayakan nilai-nilai individu atau pribadi calon pemimpin ketimbang nilai-nilai publik. Pemilihan
langsung justru membuka ruang bagi tirani mayoritas yang memiliki suara terbanyak, menjadi
pemimpin.

Proses ini menegasi prinsip dasar res publica, yaitu prinsip deliberasi atau permusyawaratan, yaitu
diskusi, pertimbangan, dan penilaian publik terhadap calon pemimpin publik (Pettit, 2002).

Gerak-gerik untuk menciptakan ”politik dinasti”—melalui mekanisme hubungan ”arus pendek” di


antara lembaga-lembaga tinggi negara demi hasrat berkuasa instan, dengan mengabaikan suara
publik—sesungguhnya penistaan terhadap prinsip res publica itu sendiri.

Baca juga : Jimly Sebut Ada Indikasi Hakim Konstitusi Langgar Etik

Yasraf Amir Piliang

Editor: SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN

https://www.kompas.id/baca/opini/2023/11/03/menjaga-republik

Anda mungkin juga menyukai