Hal ini yang menjadi perhatian terbesar dari peran perusahaan dalam
masyarakat telah ditingkatkan yaitu dengan peningkatan kepekaan dan kepedulian
terhadap lingkungan dan masalah etika. Masalah seperti perusakan lingkungan,
perlakuan tidak layak terhadap karyawan, dan cacat produksi yang mengakibatkan
ketidak nyamanan ataupun bahaya bagi konsumen adalah menjadi berita
utama suratkabar.
Banyak pendukung CSR yang memisahkan CSR dari sumbangan sosial dan
"perbuatan baik" (atau kedermawanan seperti misalnya yang dilakukan oleh Habitat
40
for Humanity atau Ronald McDonald House), namun sesungguhnya sumbangan
sosial merupakan bagian kecil saja dari CSR. Perusahaan di masa lampau seringkali
mengeluarkan uang untuk proyek-proyek komunitas, pemberian beasiswa dan
pendirian yayasan sosial. Mereka juga seringkali menganjurkan dan mendorong para
pekerjanya untuk sukarelawan (volunteer) dalam mengambil bagian pada proyek
komunitas sehingga menciptakan suatu itikad baik di mata komunitas tersebut yang
secara langsung akan meningkatkan reputasi perusahaan serta
memperkuat merek perusahaan. Dengan diterimanya konsep CSR, terutama triple
bottom line, perusahaan mendapatkan kerangka baru dalam menempatkan berbagai
kegiatan sosial di atas.
Kepedulian kepada masyarakat sekitar/relasi komunitas dapat diartikan sangat
luas, namun secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi dan
posisi organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan
bersama bagi organisasi dan komunitas. CSR bukanlah sekedar kegiatan amal, di
mana CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam pengambilan keputusannya agar
dengan sungguh-sungguh memperhitungkan akibat terhadap seluruh pemangku
kepentingan (stakeholder) perusahaan, termasuk lingkungan hidup. Hal ini
mengharuskan perusahaan untuk membuat keseimbangan antara kepentingan
beragam pemangku kepentingan eksternal dengan kepentingan pemegang saham,
yang merupakan salah satu pemangku kepentingan internal.
"dunia bisnis, selama setengah abad terakhir, telah menjelma menjadi institusi
paling berkuasa di atas planet ini. Institusi yang dominan di masyarakat
manapun harus mengambil tanggung jawab untuk kepentingan
bersama....setiap keputusan yang dibuat, setiap tindakan yang diambil
haruslah dilihat dalam kerangka tanggung jawab tersebut [1]
Sebuah definisi yang luas oleh World Business Council for Sustainable
Development (WBCSD) yaitu suatu asosiasi global yang terdiri dari sekitar 200
perusahaan yang secara khusus bergerak di bidang "pembangunan berkelanjutan"
(sustainable development) yang menyatakan bahwa:
" CSR merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk
bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada
pengembangan ekonomi dari komunitas setempat atau pun masyarakat luas,
41
bersamaan dengan peningkatan taraf hidup pekerjanya beserta seluruh
keluarganya".
42
Skala dan sifat keuntungan dari CSR untuk suatu organisasi dapat berbeda-
beda tergantung dari sifat perusahaan tersebut. Banyak pihak berpendapat bahwa
amat sulit untuk mengukur kinerja CSR, walaupun sesungguhnya cukup banyak
literatur yang memuat tentang cara mengukurnya. Literatur lain misalnya Orlizty,
Schmidt, dan Rynes yang menemukan suatu korelasi positif walaupun lemah antara
kinerja sosial dan lingkungan hidup dengan kinerja keuangan perusahaan.
Kebanyakan penelitian yang mengaitkan antara kinerja CSR (corporate social
performance) dengan kinerja finansial perusahaan (corporate financial performance)
memang menunjukkan kecenderungan positif, namun kesepakatan mengenai
bagaimana CSR diukur belumlah lagi tercapai. Mungkin, kesepakatan para pemangku
kepentingan global yang mendefinisikan berbagai subjek inti (core subject) dalam
ISO 26000 Guidance on Social Responsibility--direncanakan terbit pada September
2010--akan lebih memudahkan perusahaan untuk menurunkan setiap subjek inti
dalam standar tersebut menjadi alat ukur keberhasilan CSR.
43
Pada bulan September 2004, ISO (International Organization for
Standardization) sebagai induk organisasi standarisasi internasional, berinisiatif
mengundang berbagai pihak untuk membentuk tim (working group) yang
membidani lahirnya panduan dan standarisasi untuk tanggung jawab sosial
yang diberi nama ISO 26000: Guidance Standard on Social Responsibility. ISO
26000 menyediakan standar pedoman yang bersifat sukarela mengenai tanggung
tanggung jawab sosial suatu institusi yang mencakup semua sektor badan
publik ataupun badan privat baik di negara berkembang maupun negara maju.
Dengan Iso 26000 ini akan memberikan tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung
jawab sosial yang berkembang saat ini dengan cara: 1)mengembangkan suatu
konsensus terhadap pengertian tanggung jawab sosial dan isunya; 2)
menyediakan pedoman tentang penterjemahan prinsip-prinsip menjadi kegiatan-
kegiatan yang efektif; dan 3) memilah praktek-praktek terbaik yang sudah
berkembang dan disebarluaskan untuk kebaikan komunitas atau masyarakat
internasional.
44
tertentu saja, misalnya suatu perusahaan sangat peduli terhadap isu lingkungan,
namun perusahaan tersebut masih mengiklankan penerimaan pegawai dengan
menyebutkan secara khusus kebutuhan pegawai sesuai dengan gender tertentu,
maka sesuai dengan konsep ISO 26000 perusahaan tersebut sesungguhnya
belum melaksanakan tanggung jawab sosialnya secara utuh.
45
kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi harus meletakkan
kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat. (4) Ada Izin khusus untuk
menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan dengan kepentingan
masyarakat, dimana nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan,
kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk menjalankan suatu profesi harus
terlebih dahulu ada izin khusus. (5) Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari
suatu profesi.
Dengan memahami ciri-ciri umum profesi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kaum
profesional adalah orang-orang yang memiliki tolak ukur perilaku yang berada di atas
rata-rata orang lain. Di satu pihak ada tuntutan dan tantangan yang sangat berat, tetapi
di lain pihak ada suatu kejelasan mengenai pola perilaku yang baik dalam rangka
kepentingan masyarakat. Seandainya semua bidang kehidupan dan bidang kegiatan
menerapkan suatu standar profesional yang tinggi, bisa diharapkan akan tercipta suatu
kualitas yang baik.
46
keahlian tertentu atau dengan terlibat dalam suatu kegiatan tertentu yang menurut
keahlian, sementara orang lain melakukan hal yang sama sebagai sekedar hobi, untuk
senang-senang, atau untuk mengisi waktu luang.
Sifat dan jenis pekerjaan yang ditangani masing-masing kategori ini juga
berbeda, karena itu jenis kemungkinan ancaman kecelakaan maupun penyakit akibat
kerjanya juga berbeda. Para pekerja borongan dan harian lepas ini jenis pekerjaannya
lebih banyak menggunakan tenaga fisik. Sebagai tenaga produksi mereka berada pada
lini paling depan, langsung berhubungan dengan peralatan maupun bahan konstruksi, yaitu
dua sumber ancaman bahaya yang paling potensial. Karenanya para pekerja ini lebih
rentan terhadap ancaman kecelakaan dan penyakit akibat kerja di bidang konstruksi. Itu
sebabnya sistim pengaturan yang ada juga lebih banyak mengatur dan berusaha
melindungi pekerja kategori kedua ini.
47
dengan standar tertentu, terhadap institusi tersebut bisa dilakukan audit serta
mendapatkan sertifikatnya. Demikian juga terhadap auditornya juga akan mempunyai
standar panduan dalam kegiatan auditnya.
48
Pengembangan dalam pelaksanaan sistem K3 akan tergantung faktor-faktor
tertentu, misalnya kebijakan K3 dalam organisasi, sifat aktifitasnya, tingkat resiko
yang dihadapi dan tingkat kompleksitas operasional organisasi.
Banyak para kontraktor yang secara sengaja mengelak dalam kewajibannya untuk
menyediakan Alat pelindung Diri (APD) yang memadai dengan alasan tidak dianggarkan
dalam proyek dan dalam usahanya untuk mengejar target keuntungan yang sebesar-
besarnya. Padahal dengan menyediakan APD ini kontraktor justru dijaga dari pengeluaran
tak terduga yang timbul dari kecelakaan kerja sehingga target keuntungan yang akan
diraih takkan berkurang.
49
Pemerintah dalam hal ini dengan Undang-Undang Keselamatan dan Kesehatan
Kerja no. 1 tahun 1970 telah mewajibkan kepada pihak pengelola pekerjaan untuk
menyediakan Alat Pelindung Diri (APD) dan mewajibkan kepada para pekerja untuk
memakainya dan peraturan ini diperkuat lagi dengan Peraturan-peraturan dari menteri
yang terkait seperti Peraturan Menaker dan Mekrimpraswil/Pekerjaan Umum yang
membuat Pedoman Keselamatan Kerja bagi pekerjaan Konstruksi.
50
Penggunaan tenaga kerja dalam jumlah besar dengan tingkat pendidikan relatif
rendah telah membukti kan bahwa sektor ini mempunyai andil yang cukup dominan
dalam hal timbulnya kecelakaan dan penya kit akibat kerja. Kecelakaan dan penyakit
akibat kerja tersebut pada umumnya disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya tingkat
pengetahuan pekerja yang kurang, kebiasaan buruk yang melekat pada diri pe kerja,
kurang disiplin, kondisi tempat kerja yang kurang terawat dengan baik. Hal ini bisa
dicegah, dikendalikan, diminimalisir dan ditindaklanjuti dengan baik bila perusahaan
menggunakan suatu sistem tertentu, berupa sistem manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja.
51
(1) Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Permenaker
No. 5/1996 adalah sistem manajemen K3 yang dirumuskan oleh Departemen
Tenaga Kerja Republik Indonesia, yang me rupakan penjabaran dari UU No. 1
thn 1970 dan dituangkan kedalam suatu Peraturan Menteri. Sistem ini terdiri
dari 12 elemen yang terurai kedalam 166 kriteria.
Penerapan terhadap SMK3 ini dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu :
52
(Planning) (3) Penerapan dan Operasi (Implementation and operation) (4)
Pemeriksaan dan tindakan perbaikan (Checking and corrective action) , (5) Tinjauan
Manjemen (Management review) (6) Perubahan perbaikan Berkelanjutan (Perbaikan
berkelanjutan)
53
a. Penerapan Rencana K3 secara Efektif dgn Mengembangkan Kemampuan dan
Mekanisme Pendukung yg Diperiukan utk Mencapai Kebijakan, Tujuan dan
Sasaran K3
b. Pemeriksaan dan tindakan perbaikan meliputi; Pengukuran, Pemantauan dan
pengendalian K3
c. Peninjauan Secara Teratur dan Peningkatan Penerapan SMK3 secara
Berkesinambungan, melalui evaluasi Kinerja dan penerapan kebijakan K3
3.4.1 Pengertian
Pengertian Higiene adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan berbagai masalah
kesehatan, dan segala bentuk upaya untuk memperbaiki dan mempertahankan
kesehatan, atau dapat juga dikatakan bersih dan bebas penyakit.
54
Tindakan korektif ini dapat berupa tindakan pencegahan/antisipasi, agar pekerja
dan masyarakat sekitar tempat kegiatan kerja terhindar dari bahaya - bahaya kesehatan
akibat kerja, kondisi yang demikian ini tentunya kan memberikan jaminan kesehatan
yang tinggi. Melihat yang demikian ini secara jelas sifat higiene perusahaan, mempunyai
sasaran yakni lingkungan kerja. Dimana pada pekerjaan konstruksi secara
keseluruhan kondisi lingkungannya selalu berinteraksi dengan kondisi teknik baik yang
menyangkut sarana kerja dan prasarana serta lingkungan tempat kerjanya.
55
Penanganan kesehatan yang dimaksud adalah usaha-usaha kuratif, preventif,
penyesuaian faktor manusiawi terhadap pekerjaannya dan higiene dan lain-lain.
Dari uraian diatas secara umum Higiene Perusahaan dan kesehatan kerja di
maksudkan untuk mengangkat derajat kesehatan tenaga kerja setinggi - tingginya, hal ini
dapat dilakukan dengan cara mengatur pemberian pengobatan, perawatan tenaga kerja
yang sakit, mengatur persediaan tempat, cara-cara dan syarat yang memenuhi norma-
norma Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja untuk mencegah penyakit akibat, baik
sebagai akibat pekerjaan maupun penyakit umum serta menetapkan syarat-syarat
kesehatan bagi perumahan.
Untuk mencapai mengangkat derajat kesehatan yang tinggi yaitu tenaga kerja yang
sehat dan produktif. Higiene Perusahaan/Proyek dan Kesehatan Kerja harus menggunakan
ilmu-ilmu yang bersangkutan erat dengannya, seperti, psikologi, toksikologi dan lain-
lain.
PERTANYAAN
56
57