Anda di halaman 1dari 18

BAB III TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

Pembahasan ini dimaksudkan para mahasiswa dilibatkan untuk memahami seluk


beluk Perusahaan terutama respon terhadap lingkungan maupun interen Perusahaan
yang berdasarkan pada kearifan lokal.

3.1 BUDAYA DAN MASYARAKAT


Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social
Responsibility (CSR) adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya
perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab
terhadap konsumen, karyawan, pemegang aham, komunitas dan lingkungan dalam
segala aspek operasional perusahaan. CSR berhubungan erat dengan "pembangunan
berkelanjutan", di mana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam
melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata
berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga
harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk
jangka panjang.

3.1.1 Analisis dan pengembangan

Hal ini yang menjadi perhatian terbesar dari peran perusahaan dalam
masyarakat telah ditingkatkan yaitu dengan peningkatan kepekaan dan kepedulian
terhadap lingkungan dan masalah etika. Masalah seperti perusakan lingkungan,
perlakuan tidak layak terhadap karyawan, dan cacat produksi yang mengakibatkan
ketidak nyamanan ataupun bahaya bagi konsumen adalah menjadi berita
utama suratkabar.

Peraturan pemerintah pada beberapa negara mengenai lingkungan hidup dan


permasalahan sosial semakin tegas, juga standar dan hukum seringkali dibuat hingga
melampaui batas kewenangan negara pembuat peraturan. Beberapa investor dan
perusahaam manajemen investasi telah mulai memperhatikan kebijakan CSR dari
Surat perusahaan dalam membuat keputusan investasi mereka, sebuah praktek yang
dikenal sebagai "Investasi bertanggung jawab sosial".

Banyak pendukung CSR yang memisahkan CSR dari sumbangan sosial dan
"perbuatan baik" (atau kedermawanan seperti misalnya yang dilakukan oleh Habitat

40
for Humanity atau Ronald McDonald House), namun sesungguhnya sumbangan
sosial merupakan bagian kecil saja dari CSR. Perusahaan di masa lampau seringkali
mengeluarkan uang untuk proyek-proyek komunitas, pemberian beasiswa dan
pendirian yayasan sosial. Mereka juga seringkali menganjurkan dan mendorong para
pekerjanya untuk sukarelawan (volunteer) dalam mengambil bagian pada proyek
komunitas sehingga menciptakan suatu itikad baik di mata komunitas tersebut yang
secara langsung akan meningkatkan reputasi perusahaan serta
memperkuat merek perusahaan. Dengan diterimanya konsep CSR, terutama triple
bottom line, perusahaan mendapatkan kerangka baru dalam menempatkan berbagai
kegiatan sosial di atas.
Kepedulian kepada masyarakat sekitar/relasi komunitas dapat diartikan sangat
luas, namun secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi dan
posisi organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan
bersama bagi organisasi dan komunitas. CSR bukanlah sekedar kegiatan amal, di
mana CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam pengambilan keputusannya agar
dengan sungguh-sungguh memperhitungkan akibat terhadap seluruh pemangku
kepentingan (stakeholder) perusahaan, termasuk lingkungan hidup. Hal ini
mengharuskan perusahaan untuk membuat keseimbangan antara kepentingan
beragam pemangku kepentingan eksternal dengan kepentingan pemegang saham,
yang merupakan salah satu pemangku kepentingan internal.

"dunia bisnis, selama setengah abad terakhir, telah menjelma menjadi institusi
paling berkuasa di atas planet ini. Institusi yang dominan di masyarakat
manapun harus mengambil tanggung jawab untuk kepentingan
bersama....setiap keputusan yang dibuat, setiap tindakan yang diambil
haruslah dilihat dalam kerangka tanggung jawab tersebut [1]
Sebuah definisi yang luas oleh World Business Council for Sustainable
Development (WBCSD) yaitu suatu asosiasi global yang terdiri dari sekitar 200
perusahaan yang secara khusus bergerak di bidang "pembangunan berkelanjutan"
(sustainable development) yang menyatakan bahwa:

" CSR merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk
bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada
pengembangan ekonomi dari komunitas setempat atau pun masyarakat luas,

41
bersamaan dengan peningkatan taraf hidup pekerjanya beserta seluruh
keluarganya".

3.1.2 Pelaporan dan pemeriksaan


Untuk menunjukkan bahwa perusahaan adalah warga dunia bisnis yang baik
maka perusahaan dapat membuat pelaporan atas dilaksanakannya beberapa standar
CSR termasuk dalam hal:

 Akuntabilitas atas standar AA1000 berdasarkan laporan sesuai


standar John Elkington yaitu laporan yang menggunakan dasar triple
bottom line (3BL)
 Global Reporting Initiative, yang mungkin merupakan acuan laporan
berkelanjutan yang paling banyak digunakan sebagai standar saat ini.
 Verite, acuan pemantauan
 Laporan berdasarkan standar akuntabilitas sosial internasional SA8000
 Standar manajemen lingkungan berdasarkan ISO 14000
Di beberapa negara dibutuhkan laporan pelaksanaan CSR, walaupun sulit
diperoleh kesepakatan atas ukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja
perusahaan dalam aspek sosial. Smentara aspek lingkungan--apalagi aspek ekonomi--
memang jauh lebih mudah diukur. Banyak perusahaan sekarang
menggunakan audit eksternal guna memastikan kebenaran laporan tahunan perseroan
yang mencakup kontribusi perusahaan dalam pembangunan berkelanjutan, biasanya
diberi nama laporan CSR atau laporan keberlanjutan. Akan tetapi laporan tersebut
sangat luas formatnya, gayanya dan metodologi evaluasi yang digunakan (walaupun
dalam suatu industri yang sejenis). Banyak kritik mengatakan bahwa laporan ini
hanyalah sekadar "pemanis bibir" (suatu basa-basi), misalnya saja pada kasus laporan
tahunan CSR dari perusahaan Enron dan juga perusahaan-perusahaan rokok. Namun,
dengan semakin berkembangnya konsep CSR dan metode verifikasi laporannya,
kecenderungan yang sekarang terjadi adalah peningkatan kebenaran isi laporan.
Bagaimanapun, laporan CSR atau laporan keberlanjutan merupakan upaya untuk
meningkatkan akuntabilitas perusahaan di mata para pemangku kepentingannya.

3.1.3 Alasan terkait bisnis (business case)

42
Skala dan sifat keuntungan dari CSR untuk suatu organisasi dapat berbeda-
beda tergantung dari sifat perusahaan tersebut. Banyak pihak berpendapat bahwa
amat sulit untuk mengukur kinerja CSR, walaupun sesungguhnya cukup banyak
literatur yang memuat tentang cara mengukurnya. Literatur lain misalnya Orlizty,
Schmidt, dan Rynes yang menemukan suatu korelasi positif walaupun lemah antara
kinerja sosial dan lingkungan hidup dengan kinerja keuangan perusahaan.
Kebanyakan penelitian yang mengaitkan antara kinerja CSR (corporate social
performance) dengan kinerja finansial perusahaan (corporate financial performance)
memang menunjukkan kecenderungan positif, namun kesepakatan mengenai
bagaimana CSR diukur belumlah lagi tercapai. Mungkin, kesepakatan para pemangku
kepentingan global yang mendefinisikan berbagai subjek inti (core subject) dalam
ISO 26000 Guidance on Social Responsibility--direncanakan terbit pada September
2010--akan lebih memudahkan perusahaan untuk menurunkan setiap subjek inti
dalam standar tersebut menjadi alat ukur keberhasilan CSR.

3.1.4 Model Tanggungjawab Sosial Perusahaan


Menurut Saidi dan Abidin ( 2004:64-65) ada empat model pola CSR di
Indonesia : (1) Keterlibatan langsung, Perusahaan menjalankan program CSR secara
langsung dengan menyelengarakan sendiri kegaiatn social atau menyerahkan
sumbangan ke masyarakat tanpa perantara. (2) Melalui yayasan atau organisasi sosial
perusahaan, Perusahaan mendirikan yayasan sendiri dibawah perusahaan atau
grupnya. Model ini merupaka adopsi dari model yang lazm diterapkan di perusahaan-
perusahaan di negara maju. (3) Bermitra dengan pihak lain, Perusahaan
menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan lembaga sosial atau organisasinn
pemerintah (Ornop), Instansi Pemerintah, Universitas atau media masa, baik dalam
mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya. (4) Mendukung
atau bergabung dalam suatu Konsorsium, perusahaan turut mendirikan, menjadi
anggota atau mendukung suatu lembaga social yang didirikan untuk tujuan social
tertentu

3.1.5 Peraturan Perundangan CSR

43
Pada bulan September 2004, ISO (International Organization for
Standardization) sebagai induk organisasi standarisasi internasional, berinisiatif
mengundang berbagai pihak untuk membentuk tim (working group) yang
membidani lahirnya panduan dan standarisasi untuk tanggung jawab sosial
yang diberi nama ISO 26000: Guidance Standard on Social Responsibility. ISO
26000 menyediakan standar pedoman yang bersifat sukarela mengenai tanggung
tanggung jawab sosial suatu institusi yang mencakup semua sektor badan
publik ataupun badan privat baik di negara berkembang maupun negara maju.
Dengan Iso 26000 ini akan memberikan tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung
jawab sosial yang berkembang saat ini dengan cara: 1)mengembangkan suatu
konsensus terhadap pengertian tanggung jawab sosial dan isunya; 2)
menyediakan pedoman tentang penterjemahan prinsip-prinsip menjadi kegiatan-
kegiatan yang efektif; dan 3) memilah praktek-praktek terbaik yang sudah
berkembang dan disebarluaskan untuk kebaikan komunitas atau masyarakat
internasional.

Apabila hendak menganut pemahaman yang digunakan oleh para ahli


yang menggodok ISO 26000 Guidance Standard on Social responsibility yang secara
konsisten mengembangkan tanggung jawab sosial maka masalah SR akan
mencakup 7 isu pokok yaitu: (1) Pengembangan Masyarakat (2) Konsumen (3)
Praktek Kegiatan Institusi yang Sehat (4) Lingkungan (5) Ketenagakerjaan (6) Hak
asasi manusia (7) Organizational Governance (governance organisasi)

Konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat;


Memperhatikan kepentingan dari para stakeholder; Sesuai hukum yang berlaku dan
konsisten dengan norma-norma internasional; Terintegrasi di seluruh aktivitas
organisasi, dalam pengertian ini meliputi baik kegiatan, produk maupun jasa.

Berdasarkan konsep ISO 26000, penerapan sosial responsibility


hendaknya terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi yang mencakup 7 isu
pokok diatas. Dengan demikian jika suatu perusahaan hanya memperhatikan isu

44
tertentu saja, misalnya suatu perusahaan sangat peduli terhadap isu lingkungan,
namun perusahaan tersebut masih mengiklankan penerimaan pegawai dengan
menyebutkan secara khusus kebutuhan pegawai sesuai dengan gender tertentu,
maka sesuai dengan konsep ISO 26000 perusahaan tersebut sesungguhnya
belum melaksanakan tanggung jawab sosialnya secara utuh.

3.2 ETIKA PROFESI


Profesi,suatu hal dimiliki seseorang yang berkaitan dengan keahlian dan
sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan pengetahuan. Tetapi dengan keahlian dan
kejuruan yang dimaksud adalah penguasaan aplikatif anatar teori dengan praktek
yang sistematis ,hal ini yang mendasari hubungan antara teori dan penerapan dalam
praktek. Istilah profesi biasanya digunakan pada bidang-bidang pekerjaan
seperti kedokteran,guru, militer, pengacara, seperti manajer, wartawan, pelukis,
penyanyi, artis, sekretaris dan sebagainya. Menurut De George, :
Profesi, adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk
menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian.Profesional,
adalah orang yang mempunyai profesi atau pekerjaan purna waktu dan hidup dari
pekerjaan itu dengan mengandalkan suatu keahlian yang tinggi. Atau seorang
profesional adalah seseorang yang hidup dengan mempraktekkan suatu keahlian
tertentu atau dengan terlibat dalam suatu kegiatan tertentu yang menurut keahlian,
sementara orang lain melakukan hal yang sama sebagai sekedar hobi, untuk senang-
senang, atau untuk mengisi waktu luang.

3.2.1 Ciri-Ciri Profesi


Secara umum,ciri atau sifat profesi dapat disimpulkan dengan sebuah pendekatan ,
yaitu : (1) Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini
dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman dalam jangka lama. (2)
Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku
profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi. (3) Mengabdi pada

45
kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi harus meletakkan
kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat. (4) Ada Izin khusus untuk
menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan dengan kepentingan
masyarakat, dimana nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan,
kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk menjalankan suatu profesi harus
terlebih dahulu ada izin khusus. (5) Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari
suatu profesi.
Dengan memahami ciri-ciri umum profesi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kaum
profesional adalah orang-orang yang memiliki tolak ukur perilaku yang berada di atas
rata-rata orang lain. Di satu pihak ada tuntutan dan tantangan yang sangat berat, tetapi
di lain pihak ada suatu kejelasan mengenai pola perilaku yang baik dalam rangka
kepentingan masyarakat. Seandainya semua bidang kehidupan dan bidang kegiatan
menerapkan suatu standar profesional yang tinggi, bisa diharapkan akan tercipta suatu
kualitas yang baik.

3.2.2 Prinsip-Prinsip Etika Profesi :


Prinsip etika kaum profesi dapat dilihat dari : (1) Tanggung jawab,terhadap
pelaksanaan pekerjaan serta dampak dari profesi itu untuk kehidupan masyarakat
pada umumnya. (2)Adil, artinya memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi
haknya. (3). Otonomi. prinsip ini menuntut pada setiap kaum profesional memiliki
dan di beri kebebasan dalam menjalankan profesinya.

3.2.3 Syarat-Syarat Suatu Profesi :


Keutamaan profesi dapat dicapai beberapa syarat diantaranya :
(1) Melibatkan kegiatan intelektual, (2) Menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang
khusus. (3) Memerlukan persiapan profesional yang alam dan bukan sekedar latihan.
(4) Memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan.(5) Menjanjikan karir
hidup dan keanggotaan yang permanen. (6) Mementingkan layanan di atas
keuntungan pribadi. (7) Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin
erat.(8) Profesional adalah seseorang yang hidup dengan mempraktekkan suatu

46
keahlian tertentu atau dengan terlibat dalam suatu kegiatan tertentu yang menurut
keahlian, sementara orang lain melakukan hal yang sama sebagai sekedar hobi, untuk
senang-senang, atau untuk mengisi waktu luang.

3.3 K3L PERUSAHAAN


3.3.1 Pengertian
Pertama-tama perlu dibedakan adanya dua kategori pekerja konstruksi yang terlibat
dalam pekerjaan di proyek, yang masing-masing juga menghadapi ancaman kecelakaan
atau penyakit akibat kerja yang berbeda. Kategori pertama ialah pekerja yang umumnya
sudah mempunyai ikatan kerja yang permanen dengan Kontraktor, sedangkan kategori
kedua adalah pekerja yang dikenal sebagai pekerja borongan atau harian lepas, biasanya
dibawah koordinasi para Mandor. Karena tidak adanya ikatan kerja formal, baik dengan
Mandor maupun dengan Kontraktor, maka kategori kedua ini disebut juga sebagai Sektor
Informal Jasa Konstruksi. Menurut perkiraan lebih dari 90% dari keseluruhan pekerja
konstruksi adalah mereka yang digolongkan pada kategori terakhir ini.

Sifat dan jenis pekerjaan yang ditangani masing-masing kategori ini juga
berbeda, karena itu jenis kemungkinan ancaman kecelakaan maupun penyakit akibat
kerjanya juga berbeda. Para pekerja borongan dan harian lepas ini jenis pekerjaannya
lebih banyak menggunakan tenaga fisik. Sebagai tenaga produksi mereka berada pada
lini paling depan, langsung berhubungan dengan peralatan maupun bahan konstruksi, yaitu
dua sumber ancaman bahaya yang paling potensial. Karenanya para pekerja ini lebih
rentan terhadap ancaman kecelakaan dan penyakit akibat kerja di bidang konstruksi. Itu
sebabnya sistim pengaturan yang ada juga lebih banyak mengatur dan berusaha
melindungi pekerja kategori kedua ini.

Berikut Guidelines for the implementation of OHSAS 18001:1999 (OHSAS


18002:2000) adalah sistem manajemen K3 yang dirumuskan oleh 13 organisasi internasional
dengan menggunakan 10 standar K3 di beberapa negara.

Standar ini dikembangkan sebagai reaksi atas kebutuhan masyarakat/institusi


yang sangat mendesak, sehingga institusi tersebut bisa melaksanakan manajemen K3

47
dengan standar tertentu, terhadap institusi tersebut bisa dilakukan audit serta
mendapatkan sertifikatnya. Demikian juga terhadap auditornya juga akan mempunyai
standar panduan dalam kegiatan auditnya.

Sistem OHSAS 18001:1999 dikembangkan kompatibel dengan standar sistem


ISO 9001:1994 (Quality) dan standar sistem ISO 14001:1996 (Environmental),
dengan tujuan sebagai fasilitas integrasi antara quality, environmental dan
occupational health and safety management system.

3.3.2 Elemen dan Sistem Manajemen K3


Bila dilihat secara lebih mendalam, ketiga sistem manajemen K3 mempunyai
esensi yang dimulai dengan perencanaan, dilanjutkan dengan pelaksanaan,
pengontrolan dan perbaikan yang berkelanjutan.

SMK3 (Kedua sistem yang ada) mengandung persyaratan-persyaratan dalam


sistem Keselamatan dan Kesehatan Kerja, sehingga suatu organisasi bisa
menggunakannya untuk mengontrol resiko dan melakukan perbaikan
berkesinambungan terhadap prestasi kerjanya.

Spesifikasi dalam SMK3 bisa diterapkan oleh berbagai jenis organisasi


dengan tujuan : (1) membangun sistem K3 dalam rangka meminimalisir secara
maksimal, bila memungkinkan menghilangkan suatu resiko terhadap karyawan, harta
benda maupun pihak lain terkait dalam rangka pengembangan K3, (2) menerapkan,
memelihara dan mewujudkan perbaikan berkesinambungan dalam sistem K3, (3)
adanya kontrol dalam hal pelaksanaan K3 terhadap kebijakan organisasi yang telah
ditetapkan, (4) mendemonstrasikan kesesuaian antara sistem K3 yang dibangun
dengan sistem lain dalam organisasi, (5) menjalani proses sertifikasi dan registrasi
dalam bidang sistem K3 oleh organisasi eksternal .

48
Pengembangan dalam pelaksanaan sistem K3 akan tergantung faktor-faktor
tertentu, misalnya kebijakan K3 dalam organisasi, sifat aktifitasnya, tingkat resiko
yang dihadapi dan tingkat kompleksitas operasional organisasi.

3.3.3 Alat Pelindung Diri (APD)


Sejak dahulu kala para pengurus/pengusaha dan pekerja sudah berusaha untuk
melindung diri mereka dari pada terjadinya kecelakaan yang akan menimpa mereka , baik
itu merupakan pakaian dan topi yang melindungi mereka dari serangan cuaca ataupun
sepatu yang kokoh agar mereka bisa bekerja dengan nyaman tanpa terganggu. Seiring
dengan kemajuan teknologi Alat Pelindung Diri (APD) semakin beragam bentuknya dan
ini sangat membantu berkurangnya pekerja yang cidera atau meninggal disebabkan
kecelakaan kerja.

Dinegara berkembang seperti Indonesia ini kesadaran akan penggunaan Alat


Pelindung Diri (APD) ini sangat kurang sehingga menurut data yang ada pada Jamsostek
lebih dari 8000 kecelakaan terjadi di Indonesia atau hampir 30 kali setiap hari ada
kecelakaan kerja terjadi, itu baru yang dilaporkan ke Jamsostek untuk memperoleh
santunan, belum lagi yang didiamkan atau kecelakaan yang tidak berakibat fatal yang
kadang memang sengaja ditutup-tutupi oleh kontraktor untuk menghindari masalah
dengan pihak yang berwajib (Polisi dan Depnaker). Kerugian yang ditimbulkan oleh
kecelakaan kerja ini cukup besar disamping biaya pengobatan terganggunya jadwal
pekerjaan, waktu kerja yang hilang dan berkurangnya aset nasional berupa tenaga kerja
yang trampil.

Banyak para kontraktor yang secara sengaja mengelak dalam kewajibannya untuk
menyediakan Alat pelindung Diri (APD) yang memadai dengan alasan tidak dianggarkan
dalam proyek dan dalam usahanya untuk mengejar target keuntungan yang sebesar-
besarnya. Padahal dengan menyediakan APD ini kontraktor justru dijaga dari pengeluaran
tak terduga yang timbul dari kecelakaan kerja sehingga target keuntungan yang akan
diraih takkan berkurang.

49
Pemerintah dalam hal ini dengan Undang-Undang Keselamatan dan Kesehatan
Kerja no. 1 tahun 1970 telah mewajibkan kepada pihak pengelola pekerjaan untuk
menyediakan Alat Pelindung Diri (APD) dan mewajibkan kepada para pekerja untuk
memakainya dan peraturan ini diperkuat lagi dengan Peraturan-peraturan dari menteri
yang terkait seperti Peraturan Menaker dan Mekrimpraswil/Pekerjaan Umum yang
membuat Pedoman Keselamatan Kerja bagi pekerjaan Konstruksi.

Penggunaan Alat pelindung Diri yang standar sangat diperlukan, karena


banyak kasus dimana pekerja yang sudah memakai Alat Pelindung Diri (APD) masih bisa
terkena celaka karena penggunaan Pelindung yang tidak standar.

3.3.4 Kewajiban Menyediakan dan Memakai Alat Pelindung Diri (APD)


Disamping bahwa kesadaran menyediakan dan memakai Alat pelindung Diri (APD) itu
bagi Pengurus/Pengusaha dan Pekerja merupakan keuntungan kepada mereka,
pemerintah dalam hal ini telah mewajibkannya dalam undang-undang. Kewajiban
untuk menyediakan bagi Pelaksana (Pengurus ) pekerjaan menyediakan dan memakai Alat
Pelindung Diri (APD) bagi para pekerja ada pada Undang-Undang Keselamatan Kerja
No, 1 tahun 1970

3.3.4 MANAJEMEN DAN ADMINISTRASI K3

Dalam pelaksanaan proses pekerjaan konstruksi dituntut penggunaan tenaga


kerja yang sangat dominan. Pada. kenyataannya, tingkat pendidikan pekerja dalam
sektor konstruksi relatif rendah bila dibandingkan sektor lain, misalnya sektor
manufaktur. Keadaan ini terjadi di Indonesia pada khususnya, maupun di negara-
negara lain pada umumnya. Tenaga kerja ini perlu untuk dilindungi, bukan hanya
karena peraturan yang mengharuskan, akan tetapi karena tenaga kerja adalah modal
usaha yang perlu dijaga dan dibina agar dapat memberi manfaat dan keuntungan
perusahaan.

50
Penggunaan tenaga kerja dalam jumlah besar dengan tingkat pendidikan relatif
rendah telah membukti kan bahwa sektor ini mempunyai andil yang cukup dominan
dalam hal timbulnya kecelakaan dan penya kit akibat kerja. Kecelakaan dan penyakit
akibat kerja tersebut pada umumnya disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya tingkat
pengetahuan pekerja yang kurang, kebiasaan buruk yang melekat pada diri pe kerja,
kurang disiplin, kondisi tempat kerja yang kurang terawat dengan baik. Hal ini bisa
dicegah, dikendalikan, diminimalisir dan ditindaklanjuti dengan baik bila perusahaan
menggunakan suatu sistem tertentu, berupa sistem manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja.

Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Manajemen K3) merupakan


rangkaian proses pekerjaan yang mempunyai siklus yang dimulai dari suatu
perencanaan, dilanjutkan dengan aplikasi, pemantauan terhadap aplikasi dan
peninjauan kembali terhadap perencanaan yang telah dibuat. Rangkaian tersebut
merupakan rangkaian tertutup dan mempunyai semangat adanya perbaikan
berkesinambungan. Bila proses tersebut diperhatikan dengan lebih seksama, maka
akan terlihat adanya perpaduan yang serasi antara pelaksanaan pekerjaan di lapangan
dengan pekerjaan administrasi di atas meja. Pihak-pihak yang berkompeten dalam
bidang K3 telah menyusun manajemen K3 secara sistematis menjadi suatu sistem
manajemen K3. Ada beberapa sistem manajemen K3 telah diperkenalkan kepada
masyarakat secara luas, diantaranya :

(a) Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Permenaker


No.5/1996, (b) Occupational Health and Safety Assessment Series 18001:1999
(OHSAS18001:1999).

3.3.5 Sistem Manejemen K3

Secara umum dan singkat, pengembangan sistem manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja (SMK3) bisa dilihat sebagaimana uraian berikut :

51
(1) Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Permenaker
No. 5/1996 adalah sistem manajemen K3 yang dirumuskan oleh Departemen
Tenaga Kerja Republik Indonesia, yang me rupakan penjabaran dari UU No. 1
thn 1970 dan dituangkan kedalam suatu Peraturan Menteri. Sistem ini terdiri
dari 12 elemen yang terurai kedalam 166 kriteria.
Penerapan terhadap SMK3 ini dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu :

a. Perusahaan kecil atau perusahaan dengan tingkat resiko rendah harus


menerapkan sebanyak 64 (enam puluh empat) kriteria,
b. Perusahaan sedang atau perusahaan dengan tingkat resiko menengah
harus menerapkan sebanyak 122 (seratus dua puluh dua) kriteria,
c. Perusahaan besar atau perusahaan dengan tingkat resiko tinggi harus
menerapkan sebanyak 166 (sera tus enam puluh enam) kriteria.
Keberhasilan penerapan SMK3 di tempat kerja diukur dengan cara berikut:

a. Untuk tingkat pencapaian penerapan 0% - 59% dan pelanggaran


peraturan perundangan akan dikenai tindakan hukum,
b. Untuk tingkat pencapaian penerapan 60% - 84% diberikan sertifikat dan
bendera perak,
c. Untuk tingkat pencapaian penerapan 85%-100% diberikan sertifikat dan
bendera emas.
Sistem ini bisa digunakan untuk semua jenis industri, berupa industri
manufaktur, industri jasa konstruksi, industri produksi dan lain-lain.

(2) Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) versi


OHSAS 18001:1999 (Occupational Health and Safety Assessment Series
18001:1999).
Sebagaimana diterangkan didepan bahwa, pada dasarnya secara umum ketiga
sistem dari SMK3 yang dimaksud diatas mengandung 5 prinsip dasar yang sama yang
terdiri dari 5 (lima ) prinsip dasar (elemen utama) yaitu :

(1) Kebijakan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja Policy) (2) Perencanaan

52
(Planning) (3) Penerapan dan Operasi (Implementation and operation) (4)
Pemeriksaan dan tindakan perbaikan (Checking and corrective action) , (5) Tinjauan
Manjemen (Management review) (6) Perubahan perbaikan Berkelanjutan (Perbaikan
berkelanjutan)

Gambar 3.1 Prinsip Dasar SMK3

Untuk memudahkan dan menyamakan pengertian, secara umum sebagaimana


diamanatkan Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dalam
pasal 87 ayat 2 yang menyebutkan setiap perusahaan wajib menjalankan SMK3. yang
dimaksudkan disini tentunya adalah SMK3 sesuai dengan Permennaker No.
5/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).
Berkaitan dengan yang tersebut terakhir ini maka penjelasan detail ke stiap elemen
SMK3 berikut ini, diberikan dengan tetap mengacu pada SMK3 yang dimaksudkan
oleh Undang -undang.

Terdapat Lima rinsip dasar pelaksanaan SMK3 sesuai Permennaker No.


5/MEN/1996 tentang pedoman penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja, terdiri dari : (1) Penetapan Komitmen dan Kebijakan K3 , (2)
Perencanaan (Pemenuhan Kebijakan, Tujuan dan Sasaran Penerapan K3)

53
a. Penerapan Rencana K3 secara Efektif dgn Mengembangkan Kemampuan dan
Mekanisme Pendukung yg Diperiukan utk Mencapai Kebijakan, Tujuan dan
Sasaran K3
b. Pemeriksaan dan tindakan perbaikan meliputi; Pengukuran, Pemantauan dan
pengendalian K3
c. Peninjauan Secara Teratur dan Peningkatan Penerapan SMK3 secara
Berkesinambungan, melalui evaluasi Kinerja dan penerapan kebijakan K3

Sedangkan Pedoman Teknis Pelaksanaan Audit Sistem Manajemen Keselamatan


dan Kesehatan Kerja (SMK3), diberikan dalam 12 elemen audit yang diberikan
sebagai berikut :

(1) Pembangunan dan Pemeliharaan Komitmen, (2) Pendokumentasian Strategi, (3)


Peninjauan Ulang Perancangan (Desain) dan Kontrak, (4)) Pengendalian Dokumen, (5)
Pembelian, (6) Keamanan Bekerja Berdasarkan SMK3, (7) Standar Pemantauan, (8)
Pelaporan dan Perbaikan Kekurangan, (9) Pengelolaan Material dan Perpindahannya,
(10) Pengumpulan dan Penggunaan Data , (11) Audit internal SMK3 , (12) Tinjauan
Manajemen

3.4 HYGIENE PERUSAHAAN DAN PROYEK

3.4.1 Pengertian

Pengertian Higiene adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan berbagai masalah
kesehatan, dan segala bentuk upaya untuk memperbaiki dan mempertahankan
kesehatan, atau dapat juga dikatakan bersih dan bebas penyakit.

Higiene Pemsahaan mempunyai art" higiene di dalam perusahaan, yang daiam


prakteknya mengadakan penilaian kepada faktor-faktor penyebab penyakit kwalitatif dan
kwantitatif didalam lingkungan kerja perusahaan melalui pengukuran, Hasil pengukuran
digunakan sebagai dasar tindakan korektif kepada lingkungan kerja termasuk lingkungan
disekitar tempat kegiatan kerja.

54
Tindakan korektif ini dapat berupa tindakan pencegahan/antisipasi, agar pekerja
dan masyarakat sekitar tempat kegiatan kerja terhindar dari bahaya - bahaya kesehatan
akibat kerja, kondisi yang demikian ini tentunya kan memberikan jaminan kesehatan
yang tinggi. Melihat yang demikian ini secara jelas sifat higiene perusahaan, mempunyai
sasaran yakni lingkungan kerja. Dimana pada pekerjaan konstruksi secara
keseluruhan kondisi lingkungannya selalu berinteraksi dengan kondisi teknik baik yang
menyangkut sarana kerja dan prasarana serta lingkungan tempat kerjanya.

Kesehatan Kerja. Semua Kegiatan yang mengupayakan untuk memberikan jaminan


kesehatan kepada setiap tenaga kerja pada semua jenis pekerjaan yang bertujuan, agar
setiap tenaga kerja / masyarakat pokerja memperoleh derajat kesehatan yang setinggi -
tingginya, baik fisik, atau mental, maupun sosial, dengan usaha - usaha preventif dan
kuratif, terhadap penyakit-penyakit / gangguan - gangguan kesehatan yang diakibatkan
oleh faktor-faktor pekerjaan, kondisi kerjanya dan lingkungan kerja, serta terhadap
penyakit-penyakit umum.

Disamping itu pemberian periindungan kesehatan pekerja dimaksudkan guna


mewujudkan produktifitas kerja yang optimal, sehingga diperlukan penyelenggaraan
upaya-upaya kesehatan kerja dan pemeliharaannya. secara jelas sifat kesehatan kerja
mempunyai sasaran adalah manusia, dan hal ini lebih bersifat medis.

Mendasarkan pada penjelasan diatas maka penggabungan keduanya yakni Higiene


Perusahaan dan Kesehatan Kerja atau biasanya disebutkan dengan istilah "HIPERKES"
mempunyai arti penggabungan dua disiplin ilmu yakni ilmu medis dan tehnik.

Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja, mempunyai suatu kesamaan pengertian


yang juga merupakan terjemahan dari "Occupational Health", yang secara umum
lebih di fokuskan dalam kesehatan untuk lingkungan kerja dan tenaga/pekerja di
lingkungan tersebut, hal ini berarti menangani yang berkenaan dengan masalah -
masalah kesehatan secara menyeluruh di dalam suatu perusahaan.

55
Penanganan kesehatan yang dimaksud adalah usaha-usaha kuratif, preventif,
penyesuaian faktor manusiawi terhadap pekerjaannya dan higiene dan lain-lain.

Dari uraian diatas secara umum Higiene Perusahaan dan kesehatan kerja di
maksudkan untuk mengangkat derajat kesehatan tenaga kerja setinggi - tingginya, hal ini
dapat dilakukan dengan cara mengatur pemberian pengobatan, perawatan tenaga kerja
yang sakit, mengatur persediaan tempat, cara-cara dan syarat yang memenuhi norma-
norma Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja untuk mencegah penyakit akibat, baik
sebagai akibat pekerjaan maupun penyakit umum serta menetapkan syarat-syarat
kesehatan bagi perumahan.

Pada pekerjaan konstruksi Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja ditempat


kegiatan konstruksi dapat diistilahkan pula higiene proyek dan kesehatan kerja, yang
memang berlaku dilingkungan tempat kegiatan kerja konstruksi berlangsung.

Untuk mencapai mengangkat derajat kesehatan yang tinggi yaitu tenaga kerja yang
sehat dan produktif. Higiene Perusahaan/Proyek dan Kesehatan Kerja harus menggunakan
ilmu-ilmu yang bersangkutan erat dengannya, seperti, psikologi, toksikologi dan lain-
lain.

PERTANYAAN

1. Uraikan Perusahaan yang berjiwa Pancasila dan UUD 45.

2. Rumuskanterhadap Perusahaan anda yag tertip Administrasi K3L

3. Buatlah dengan kelompok anda laporan / studi kasus K3 Konstruksi

4. Susunlah stake holder pada Organigram Perusahaan

5. Buatlah rancangan pelatihan SDM dan K3L.

56
57

Anda mungkin juga menyukai