Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

WHO menyatakan bahwa kebutuhan zat besi yang besar (1000 mg)
selama masa kehamilan tidak cukup apabila hanya didapatkan dari makanan
saja, sehingga harus dibantu dengan suplementasi tablet besi. Bila tidak segera
ditangani, kekurangan zat besi sejak sebelum kehamilan dapat mengakibatkan
ibu hamil menderita anemia.1 Berdasarkan WHO, 40% kematian di negara
berkembang berkaitan dengan anemia pada kehamilan. Risekdas menyatakan
bahwa kejadian anemia pada ibu hamil meningkat dari tahun 2013 yang
berjumlah 37,1% menjadi 48,9% pada tahun 2018.2

Penelitian cross-sectional di Rumah Sakit Umum Adigrat, Tigrai,


Ethiopia Utara pada tahun 2018 menyatakan prevalensi anemia pada ibu hamil
sebanyak 7,9% dari 304 perempuan.3 Kemudian prevalensi anemia defisiensi
besi pada ibu hamil pada penelitian cross-sectional di Hebron, Palestina,
mencapai 25,7% dari 300 perempuan.4

Didapatkan 2,2% kejadian anemia dalam kehamilan dari 3396 ibu pada
penelitian deskriptif gambaran anemia pada kehamilan di bagian Obstetri dan
Ginekologi RSUP Dr. M. Djamil, Padang.5

Pada penelitian cross-sectional di empat negara bagian Jerman (Berlin,


Bradenburg, Lower Saxony, dan Hesse) dilakukan permeriksaan prevalensi
pemberian suplemen besi selama kehamilan pada 207 perempuan yang baru
saja melahirkan. Dua per tiga atau 65,7 % perempuan dilaporkan
mengkonsumsi suplemen besi selama kehamilan mereka. Kemudian menurut

1
2

penelitian cluster randomised trial, yang dilakukan di Ha Nam, Vietnam,


ketaatan mengkonsumsi suplemen besi dan asam folat harian mencapai 91%
dari 335 ibu dan suplemen besi dan asam folat mingguan mencapai 96% dari
359 ibu. Lalu pada observational study didapatkan 10,3% dari 390 ibu tidak
mengkonsumsi suplemen besi sama sekali.

Pada Penelitian cross-sectional di Rumah Sakit Umum Debre, Ethiopia


dikatakan bahwa 44% (107) dari 241 ibu hamil yang menghadiri program
ANC memiliki kepatuhan yang baik dalam mengonsumsi Tablet Tambah
Darah (TTD) sehingga pengarunya baik terhadap kadar Hb Ibu hamil.8

Kemudian kepatuhan mengonsumsi Tablet Tambah Darah (TTD) selama


hamil, didapatkan prevalensi 12.58% dari 200 ibu pada penelitian cross-
sectional yang dilakukan di Blitar, Jawa Timur.9

1.2 Rumusan Masalah

Kekurangan zat besi sejak sebelum kehamilan dapat mengakibatkan ibu


hamil menderita anemia yang dapat menimbulkan masalah kesehatan seperti
meningkatnya risiko pendarahan post-partum, preeklamsia, infeksi pada ibu,
dan melahirkan bayi dengan BBLR, menurunnya kesehatan anak di masa
depan, dan stunting. Risekdas menyatakan bahwa kejadian anemia pada ibu
hamil meningkat dari tahun 2013 yang berjumlah 37,1% menjadi 48,9% pada
tahun 2018 di Indonesia, kemudian didapatkan prevalensi kepatuhan
mengonsumsi Tablet Tambah Darah (TTD) selama hamil, 12.58% dari 200
ibu pada penelitian cross-sectional yang dilakukan di Blitar, Jawa Timur.
Untuk melihat adanya dampak pemberian Tablet Tambah Darah (TTD)
terhadap kadar Hb Ibu hamil maka dilakukan penelitian dengan judul
“Dampak Pemberian Tablet Tambah Darah terhadap Kadar Hb Ibu Hamil di
Nanggoe Aceh Darussalam Periode 07 September – 03 Oktober 2020”.
3

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui adanya dampak pemberian Tablet Tambah Darah
(TTD) terhadap kadar Hb ibu hamil di Nanggroe Aceh Darussalam
periode 07 September – 03 Oktober 2020.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran angka kejadian anemia pada ibu hamil di
Nanggroe Aceh Darussalam periode 07 September – 03 Oktober
2020.
2. Mengetahui kepatuhan konsumsi Tablet Tambah Darah (TTD)
pada ibu hamil di Nanggroe Aceh Darussalam periode 07
September – 03 Oktober 2020.
3. Mengetahui persentase ibu hamil dengan anemia di Nanggroe
Aceh Darussalam periode 07 September – 03 Oktober 2020.
4. Mengetahui dampak pemberian Tablet Tambah Darah (TTD)
terhadap kadar Hb ibu hamil di Nanggroe Aceh Darussalam
periode 07 September – 03 Oktober 2020.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti
a. Melatih peneliti dalam menyusun penelitian sebagai tugas akhir
dalam program pelayanan kesehatan masyarakat (PKM)
b. Meningkatkan kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian
ilmiah.
1.4.2 Manfaat Bagi Institusi
a. Memberikan informasi dan menambah referensi bagi mahasiswa
FK UKI mengenai dampak pemberian Tablet Tambah Darah (TTD)
terhadap kadar Hb ibu hamil.
4

b. Mewujudkan tujuan mulia FK UKI sebagai pusat pendidikan yang


mengabdi pada masyarakat.
1.4.3 Manfaat Bagi Dinas Kesehatan Sumedang
a. Menjadi bahan informasi dan evaluasi bagi divisi gizi, khususnya
masalah kesehatan mengenai anemia pada ibu hamil yang
berhubungan dengan kejadian stunting.
b. Sebagai bahan informasi bagi pemerintah khususnya petugas
kesehatan untuk melakukan pencegahan dan tatalaksana stunting
secara komprehensif.
1.4.4 Manfaat Bagi Masyarakat
a. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai dampak anemia
pada ibu hamil dan dampaknya terhadap kualitas kesehatan anak di
masa depan seperti kejadian stunting.
b. Memberikan informasi tambahan kepada masyarakat mengenai
dampak anemia pada ibu hamil dan pencegahan terhadap stunting.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Stunting


Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan
yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau
tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan
anak dari WHO. Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh
banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi,
dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan
mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang
optimal.10
Stunting juga didefinisikan sebagai kondisi anak usia 0 – 59 bulan, dimana tinggi
badan menurut umur berada di bawah minus 2 Standar Deviasi (<-2SD) dari standar
median WHO. Lebih lanjut dikatakan bahwa stunting akan berdampak dan dikaitkan
dengan proses kembang otak yang terganggu, dimana dalam jangka pendek
berpengaruh pada kemampuan kognitif. Jangka panjang mengurangi kapasitas untuk
berpendidikan lebih baik dan hilangnya kesempatan untuk peluang kerja dengan
pendapatan lebih baik.
Dalam jangka panjang, anak stunting yang berhasil mempertahankan hidupnya, pada
usia dewasa cenderung akan menjadi gemuk (obese), dan berpeluang menderita
penyakit tidak menular (PTM), seperti hipertensi, diabetes, kanker, dan lain-lain. 10
2.2. Faktor Risiko Stunting
a. Berat Badan Lahir
Berat badan lahir sangat terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan jangka
panjang anak balita, pada penelitian yang dilakukan oleh Anisa menyimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara berat lahir dengan kejadian stunting pada
balita di Kelurahan Kalibaru.25 Bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah
(BBLR) yaitu bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram, bayi
6

dengan berat badan lahir rendah akan mengalami hambatan pada pertumbuhan dan
perkembangannya serta kemungkinan terjadi kemunduran fungsi intelektualnya selain
itu bayi lebih rentan terkena infeksi dan terjadi hipotermi.11
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin menentukan pula besar kecilnya kebutuhan
gizi untuk seseorang. Pria lebih banyak membutuhkan zat tenaga dan protein
dibandingkan wanita. Pria lebih sanggup mengerjakan pekerjaan berat yang tidak
biasa dilakukan wanita. Selama masa bayi dan anak-anak, anak perempuan cenderung
lebih rendah kemungkinannya menjadi stunting dan severe stunting daripada anak
laki-laki, selain itu bayi perempuan dapat bertahan hidup dalam jumlah lebih besar
daripada bayi laki-laki dikebanyakan Negara berkembang termasuk Indonesia. Anak
perempuan memasuki masa puber dua tahun lebih awal daripada anak laki-laki, dan
dua tahun juga merupakan selisih dipuncak kecepatan tinggi antara kedua jenis
kelamin.14
Studi kohort di Ethiopia menunjukan bayi dengan jenis kelamin laki-laki memiliki
risiko dua kali lipat menjadi stunting dibandingkan bayi perempuan. Anak laki-laki
lebih berisiko stunting dan tau underweight dibandingkan anak perempuan. Beberapa
penelitian di sub-Sahara Afrika menunjukan bahwa anak laki-laki prasekolah lebih
berisiko stunting dibanding rekan perempuannya. Dalam hal ini, tidak diketahui apa
alasannya.15
Dalam dua penelitian yang dilakukan di tiga negara berbeda,yaitu Libya. serta
Banglades dan Indonesia, menunjukan bahwa prevelansi stunting lebih besar pada
anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Hasil penelitian lain
menunjukkan bahwa jenis kelamin anak adalah faktor prediktor yang kuat dari
stunting dan severe stunting pada anak usia 0-23 bulan dan 0-59 bulan. Anak
perempuan memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan anak laki-laki dalam hal
ini. Selama masa bayi dan masa kanak-kanak, anak perempuan cenderung lebih
rendah kemungkinannya menjadi stunting dan severe stunting, selain itu bayi
7

perempuan dapat bertahan hidup dalam jumlah besar daripada bayi laki-laki di
kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia.14
c.ASI Eksklusif
ASI Eksklusif menurut Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 33 tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif adalah
pemberian Air Susu Ibu (ASI) tanpa menambahkan dan atau mengganti dengan
makanan atau minuman lain yang diberikan kepada bayi sejak baru dilahirkan selama
6 bulan.17Pemenuhan kebutuhan bayi 0-6 bulan telah dapat terpenuhi dengan
pemberian ASI saja. Menyusui eksklusif juga penting karena pada usia ini, makanan
selain ASI belum mampu dicerna. oleh enzim-enzim yang ada di dalam usus selain
itu pengeluaran sisa pembakaran makanan belum bisa dilakukan dengan baik karena
ginjal belum sempurna. Manfaat dari ASI Eksklusif ini sendiri sangat banyak mulai
dari peningkatan kekebalan tubuh, pemenuhan kebutuhan gizi, murah, mudah, bersih,
higienis serta dapat meningkatkan jalinan atau ikatan batin antara ibu dan anak.
Penelitian yang dilakukan di Kota Banda Aceh menyatakan bahwa kejadian stunting
disebabkan oleh rendahnya pendapatan keluarga, pemberian ASI yang tidak
eksklusif, pemberian MP-ASI yang kurang baik, imunisasi yang tidak lengkap
dengan faktor yang paling dominan pengaruhnya adalah pemberian ASI yang tidak
eksklusif. Hal serupa dinyatakan pula oleh Arifin pada tahun 2012 dengan hasil
penelitian yang menyatakan bahwa kejadian stunting dipengaruhi oleh berat badan
saat lahir, asupan gizi balita, pemberian ASI, riwayat penyakit infeksi, pengetahuan
gizi ibu balita, pendapatan keluarga, jarak antar kelahiran namun faktor yang paling
dominan adalah pemberian ASI.35 Berarti dengan pemberian ASI eksklusif kepada
bayi dapat menurunkan kemungkinan kejadian stunting pada balita, hal ini juga
tertuang pada gerakan 1000 HPK yang dicanangkan oleh pemerintah Republik
Indonesia. 18

4. Tinggi Ibu
Stunting pada masa balita akan berakibat buruk pada
8

kehidupan berikutnya yang sulit diperbaiki. Pertumbuhan fisik berhubungan dengan


genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik meliputi tinggi badan orang tua dan
jenis kelamin. Tinggi badan ayah dan ibu yang pendek merupakan risiko terjadinya
stunting.
Kejadian stunting pada balita usia 6-12 bulan dan usia 3-4 tahun secara signifikan
berhubungan dengan tinggi badan ayah dan ibu. Hasil penelitian Rahayu ada
hubungan antara tinggi badan ayah dan ibu terhadap kejadian stunting pada balita.36
Jesmin et al mengemukakan bahwa tinggi badan ibu merupakan faktor yang
berpengaruh langsung terhadap anak yang stunting.37 Penelitian Candra, dkk juga
mengemukakan bahwa tingga badan ayah memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap stunting pada anak usia 1-2 tahun. Anak yang memiliki tinggi badan ayah <
162 cm memiliki kecenderungan untuk menjadi pendek sebesar 2,7 kali.19
5. FaktorEkonomi
Azwar (2000), yang dikutip oleh Manurung (2009),
mengatakan pendapatan keluarga adalah jumlah uang yang dihasilkan dan jumlah
uang yang akan dikeluarkan untuk membiayai keperluan rumah tangga selama satu
bulan. Pendapat keluarga yang memadai akan menunjang perilaku anggota keluarga
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan keluarga yang lebih memadai.19
Beberapa faktor penyebab masalah gizi adalah kemiskinan. Kemiskinan dinilai
mempunyai peran penting yang bersifat timbal balik sebagai sumber permasalahan
gizi yakni kemiskinan menyebabkan kekurangan gizi sebaliknya individu yang
kurang gizi akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses
kemiskinan.40
Hal ini disebabkan apabila seseorang mengalami kurang gizi maka secara langsung
akan menyebabkan hilangnya produktifitas kerja karena kekurang fisik, menurunnya
fungsi kognitif yang akan mempengaruhi tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi
keluarga. Dalam mengatasi masalah kelaparan dan kekurangan gizi, tantangan yang
dihadapi adalah mengusahakan masyarakat miskin, terutama ibu dan anak balita
9

memperoleh bahan pangan yang cukup dan gizi yang seimbang dan harga yang
terjangkau.18,19
Standar kemiskinan yang digunakan BPS bersifat dinamis, disesuaikan dengan
perubahan/pergeseran pola konsumsi agar realitas yaitu Ukuran Garis Kemiskinan
Nasional adalah jumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk makanan
setara 2.100 Kilo kalori perorang perhari dan untuk memenuhi kebutuhan nonmakan
berupa perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan aneka
barang/jasa lainnya.

f. Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan sesuatu yang dapat membawa
seseorang untuk memiliki ataupun meraih wawasan dan pengetahuan seluas- luasnya.
Orang –orang yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan memiliki wawasan dan
pengetahuan yang lebih luas jika dibandingkan dengan orang- orang yang memiliki
pendidikan yang lebih rendah.20
Anak-anak yang lahir dari orang tua yang terdidik cenderung tidak mengalami
stunting dibandingkan dengan anak yang lahir dari orang tua yang tingkat
pendidikanya rendah. Penelitian yang dilakukan di Nepal juga menyatakan bahwa
anak yang terlahir dari orang tua yang berpendidikan berpotensi lebih rendah
menderita stunting dibandingkan anak yang memiliki orang tua yang tidak
berpendidikan. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Haile yang
menyatakan bahwa anak yang terlahir dari orang tua yang memiliki pendidikan tinggi
cenderung lebih mudah dalam menerima edukasi kesehatan selama kehamilan,
misalnya dalam pentingnya memenuhi kebutuhan nutrisi saat hamil dan pemberian
ASI eksklusif selama 6 bulan.13

6. Penilaian Status Gizi Secara Antropometri


Kata antropometri berasal dari bahasa latin antropos dam
10

metros. Antropos artinya tubuh dan metros artinya ukuran, jadi antropometri adalah
ukuran dari tubuh.Pengertian dari sudut pandang gizi antropometri adalah hubungan
dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari
berbagai tingkat umur dan tingkat gizi, berbagai jenis ukuran tubuh antara lain: berat
badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, dan tebal lemak dibawah kulit.21
Penilaian status gizi merupakan proses pemeriksaan keadaan gizi seseorang dengan
cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat objektif atau subjektif. Data
yang telah dikumpulkan kemudian dibandingkan dengan baku yang telah tersedia.
Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu penilaian status gizi
secara langsung dan penilaian status gizi secara tidak langsung.21
Penilaian status gizi secara antropometri merupakan penilaian status gizi secara
langsung yang paling sering digunakan di masyarakat. Antropometri dikenal sebagai
indikator untuk penilaian status gizi perseorangan maupun masyarakat.Pengukuran
antropometri dapat dilakukan oleh siapa saja dengan hanya melakukan latihan
sederhana, selain itu antropometri memiliki metode yang tepat, akurat karena
memiliki ambang batas dan rujukan yang pasti, mempunyai prosedur yang sederhana,
dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar.
Jenis ukuran tubuh yang paling sering digunakan dalam survei gizi adalah berat
badan, tinggi badan, dan lingkar lengan yang disesuaikan dengan usia anak.
Pengukuran yang sering dilakukan untuk keperluan perorangan dan keluarga adalah
pengukuran berat badan (BB), dan tinggi badan (TB) atau panjang badan
(PB).Indeksantropometri adalah pengukuran dari beberapa parameter yang
merupakan rasio dari satu pengukuran terhadap satu atau lebih pengukuran atau yang
dihubungkan dengan umur. Indeks antropometri yang umum dikenal yaitu berat
badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB).
Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat diukur) karena
mudah diubah, namun indikator BB/U tidak spesifik karena berat badan selain
dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh tinggi badan. Indikator TB/U
11

menggambarkan status gizi masa lalu. Indikator BB/TB menggambarkan secara


sensitif dan spesifik status gizi saat ini.21

2.3. Gejala dan Tanda Stunting


Berat badan dan panjang badan lahir bisa normal,atau BBLR(berat bayi lahir
rendah) pada keterlambatan tumbuh intra uterine, umumnya tumbuh kelenjarnya
tidak sempurna.2
Pertumbuhan melambat, batas bawah kecepatan tumbuh adalah 5cm/tahun desimal.
Pada kecepatan tumbuh tinggi badan < 4cm/ tahun kemungkinan ada kelainan
hormonal.
Umur tulang (bone age) bisa normal atau terlambat untuk umurnya.
Pertumbuhan tanda tanda pubertas terlambat.

2.4. Kriteria Diagnosis Stunting


Stunting pada anak merupakan suatu proses kumulatif gangguan
pertumbuhan yang dapat terjadi sejak kehamilan, masa kanak-kanak dan sepanjang
siklus kehidupan. Anak dikatakan mengalami gangguan pertumbuhan jika
menunjukkan adanya perbandingan antropometri yang bermakna terhadap anak yang
menjadi referensi normal. Perbandingan antropometri anak disesuaikan dengan usia
dan jenis kelamin.21 Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan adalah
Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB), Berat, Badan menurut Umur (BB/U),
Tinggi
Badan menurut Umur (TB/U) yang dinyatakan dengan standar deviasi unit z (Z-
score).
Standar yang dapat digunakan stunting antara lain, Z-score baku National Center
for Health Statistic/Center for Disease Control (NCHS/CDC), Kurva Pertumbuhan
CDC 2000, atau Child Growth Standart World Health Organization (WHO) tahun
2005.74 Skrining pertumbuhan anak usia balita telah ditetapkan menggunakan kurva
12

pertumbuhan World Health Organization (WHO).23 Klasifikasi status gizi anak baik
laki-laki maupun perempuan mengacu pada standar WHO 2005 adalah seperti pada
tabel berikut.

2.5. Proses Terjadinya Stunting


Masalah gizi merupakan masalah multidimensi, dipengaruhi
oleh berbagai faktor penyebab. Masalah gizi berkaitan erat dengan masalah pangan.
Masalah gizi pada anak balita tidak mudah dikenali oleh pemerintah, atau masyarakat
bahkan keluarga karena anak tidak tampak sakit. Terjadinya kurang gizi tidak selalu
didahului oleh terjadinya bencana kurang pangan dan kelaparan seperti kurang gizi
pada dewasa. Hal ini berarti dalam kondisi pangan melimpah masih mungkin terjadi
kasus kurang gizi pada anak balita. Kurang gizi pada anak balita bulan sering disebut
sebagai kelaparan tersembunyi atau hidden hunger.12
Stunting merupakan retradasi pertumbuhan linier dengan deficit dalam panjang atau
tinggi badan sebesar -2 Z-score atau lebih menurut buku rujukan pertumbuhan World
Health Organization/National Center for Health Statistics (WHO/NCHS). Stunting
disebabkan oleh kumulasi episode stress yang sudah berlangsung lama (misalnya
infeksi dan asupan makanan yang buruk), yang kemudian tidak terimbangi oleh catch
up growth (kejar tumbuh).11
13

Dampak dari kekurangan gizi pada awal kehidupan anak akan berlanjut dalam setiap
siklus hidup manusia. Wanita usia subur (WUS) dan ibu hamil yang mengalami
kekurangan energi kronis (KEK) akan melahirkan bayi dengan berat badan lahir
rendah (BBLR). BBLR ini akan berlanjut menjadi balita gizi kurang
(stunting) dan berlanjut ke usia anak sekolah dengan berbagai konsekuensinya.
Kelompok ini akan menjadi generasi yang kehilangan masa emas tumbuh
kembangnya dari tanpa penanggulangan yang memadai kelompok ini dikuatirkan lost
generation. Kekurangan gizi pada hidup manusia perlu diwaspadai dengan seksama,
selain dampak terhadap tumbuh kembang anak kejadian ini biasanya tidak berdiri
sendiri tetapi diikuti masalah defisiensi zat gizi mikro.11

2.6. Tatalaksana Stunting


pengobatan pada stunting antara lain :
1. Kalsium :
Kalsium berfungsi dalam pembentukan tulang serta gigi, pembekuan darah dan
kontraksi otot. Bahan makanan sumber kalsium antara lain : susu,keju,ikan teri
kering,kacang-kacangan.
2. Yodium :
Yodium sangat berguna bagi hormone tiroid dimana hormone mengatur
metabolism, pertumbuhan dan perkembangan tubuh.
3. Zink
Zink berfungsi dalam metabolism tulang, penyembuhan luka, fungsi
perkembangan dan pengembangan fungus reproduksi laki-laki
4. Zat Besi
Zat besi berfungsi dalam system kekebalan tubuh,pertumbuhan otak dan
metabolism energy.
5. Asam Folat
Asam folat terutama berfungsi pada periode pembelahan dan pertumbuhan sel,
memproduksi sel darah merah dan mencegah anemia.
14

2.7. Kerangka Teori

2.8. Kerangka Konsep


15

DAFTAR PUSTAKA
16

1. Anggraini D.D, Purnomo W., Trijanto B. INTERAKSI IBU HAMIL


DENGAN TENAGA KESEHATAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP
KEPATUHAN IBU HAMIL MENGONSUMSI TABLET BESI (Fe) DAN
ANEMIA DI PUSKESMAS KOTA WILAYAH SELATAN KOTA
KEDIRI.April 2018; 83.
2. Kadry S., Sleem C., Samad R.A. Hemoglobin Levels in Pregnant Women and
its Outcomes.August 2018;7(4):326-336.
3. Berhe B., Mardu F., Legese H. et al. Prevalence of Anemia and Associated
Factors among Pregnant Women in Adigrat General Hospital, Tigrai,
Northern Ethiopia,2018. 2019;1-6.
4. Srour M.A, Aqel S.S, Srour K.M et al. Prevalence of Anemia and Iron
Deficiency among Palestinian and its Association with Pregnancy Outcome.
December 2018;1-7.
5. Sabrina CM, Serudji J., Almurdi. Gambaran Anemia Pada Kehamilan di
Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode 1
Januari 2012 sampai 31 Desember 2012.Jurnal Kesehatan Andalas
2017;6(1):142-146
6. Demuth IR, Martin A, Weissenborn A. Iron supplementation during
pregnancy - A cross-sectional study undertaken in four German states. BMC
Pregnancy Childbirth. 2018;18(1):1–10.
7. Tran TD, Fisher J, Hanieh S, Tran T, Simpson JA, Tran H, et al. Antenatal
iron supplementation regimens for pregnant women in rural Vietnam and
subsequent haemoglobin concentration and anaemia among their infants.
PLoS One. 2015;10(4):1–11
8. Gebremariam A.G, Tiruneh S.A, Abate B.A. Adherence to Iron with Folic
Acid Supplementation and its Associated Factors among Pregnant Women
Attending Ante Natal Care Follow Up at Debre Tabor General Hospital,
Ethiopia,2017.January 2019:1-10.
9. Febrina A., Dewi Y.L.R.,Murti B., Contextual Effect of Posyandu on
Adherence to Iron Tablet Consumption among Pregnant Women in Blitar,
East Java:Journal of Maternal and Child Health.2019;4(2):110-117.
10. Direktorat Bina Kesehatan Ibu . 2012. Direktorat Bina Kesehatan Ibu Akan
Lakukan Assessment Kualitas Pelayanan Kesehatan Ibu di 20
Kabupaten/Kota. Diunduh 16 September 2020, dari Kesehatan
Ibu:http://www.depkes.go.id
11. Sartono. 2013. Hubungan Kurang Energi Kronis Ibu Hamil Dengan Kejadian
Stunting Pada Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kota Yogyakarta. Tesis.
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
12. Milman, A., Frongillo, E. A., Onis, M., and Hwang J-Y. 2018. Differential
Improvement among Countries in Child Stunting is Associated with Long-
Term Development and Specific Interventions. The Journal of Nutrition.
17

13. Ramli, et al. 2018. Prevalence and Risk Factor for Stunting and Severe
Stunting Among Under Fives in North Maluku Province of Indonesia. BMC
Pediatrics. Press, Inc. Florida. Page. 147-198.
14. Medhin, Gima et al. 2017. Prevalence and Predictors Of Undernutrition
Among Infants Age Six and Twelve Months In Butajira, Ethiopia: The P-
MaMiE Birth Cohort. Mdhin et al. BMC Public Health, 10:27. Dapat diakses
di www.biomedcentral.com.
15. Lesiapeto, et al. 2016. Risk Factors of Poor Anthropometric Status In
Children Under Five Years of Age Living In Rural Districts of The Eastern
Cape And Kwazulu-Natal Provinces, South Africa. S Afr J Clin Nutr, 23(4):
202-207. Dapat diakses di www.sajcn.co.za.
16. Kementrian Kesehatan RI. 2012. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor: 1995/MENKES/SK/XII/2010. Jakarta: Kemenkes RI.
Diunduh tanggal 01 Juni 2017 dari http://www.gizi.depkes.go.id
17. AL – Rahmad Ah, Miko A, Hadi A. 2013. Kajian Stunting Pada Anak Balita
Ditinjau Dari Pemberian ASI Eksklusif, MP-ASI, Status Imunisasi, Dan
Karakteristik Keluarga Di Kota Banda Aceh. Jurnal Kesehatan Ilmiah
Nasawakes. 6(2) : 169 – 184.
18. Candra A., Puruhita N., Susanto J.C., 2011. Risk Factors of Stunting among
1-2 Years Old Children in Semarang City. M Med Indones, 45(3): 206-12.
19. BAPPENAS. 2011. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015.
http://www.4shared.com/get/I45gBOZ/Rencana_Aksi_Nasional_Pangan.
Diakss 8 Mei 2017.
20. Aryastami, Ni Ketut, Shankar Anuraj, Kusumawardani Nunik, Besral Besral,
Jahari Abas Basuni, Achadi Endang. 2017. Low birth weight was the most
dominant predictor associated with stunting among children aged 12–23
months in Indonesia. Indonesia: BMC Nutrition.

Anda mungkin juga menyukai